EVALUASI KEBIJAKAN BEA KELUAR ATAS BARANG EKSPOR MINERAL (TINJAUAN TERHADAP PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 75/PMK.011/2012) Fachrie Edwin Djaafar dan Haula Rosdiana Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Policy Evaluation of Export Tax on Mineral Export Goods (Review of Finance Ministers Regulation Number 75/PMK.011/2012) Abstract This research raised issues regarding the reason government implemented export tax policy on mineral export goods, objective achievement of export tax policy on mineral export goods, and alternative policy for export tax policy on mineral export goods. This research uses qualitative approach with descriptive design. The result showed that the reason government implemented export tax policy on mineral export goods is to support value added enhancement practice, which is mandated of Law Number 4 Year 2012. Generally, the objectives is achieved, that is mineral ore export control, value added enhancement, and protect availability of mineral resources in domestic. However export control objective is not optimally achived, some comodity on the contrary increased in export volume. Alternative policy given is application of earmarked tax on tax export revenue, application of rate differentiation either by value added product classification nor by its processing level, and progressive rate. Keywords: Policy Evaluation, Export Tax, Mineral 1. Pendahuluan Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi sumber daya alam, baik yang terbarukan (hasil bumi) maupun yang tidak terbarukan (hasil tambang dan mineral). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi mineral merupakan benda padat homogen bersifat takorganis yang terbentuk secara alamiah dan mempunyai komposisi kimia tertentu. Sementara menurut Undang-Undang Republik Indonesia mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Mineral merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang melimpah terkandung dalam wilayah pertambangan Indonesia. Mineral mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat luas, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Untuk saling mendapatkan manfaat dan keuntungan dari perdagangan internasional negaranegara di dunia melakukan kegiatan ekspor dan impor. Kemajuan komunikasi dan 1
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
transportasi telah memberikan kontribusi dan ikut mematangkan iklim yang kondusif terhadap hubungan ekonomi internasional (Gunadi, 2007, h. 1). Indonesia selama ini hanya berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri hilir mineral di luar negeri. Karenanya, industri hilirisasi mineral justru berkembang di negara-negara yang relatif tidak memiliki sumber bahan baku. Dengan mempertimbangkan segala potensi yang dimiliki Indonesia maka industri pertambangan dan pengolahan mineral sangat layak untuk dipercepat dan diperluas pengembangannya. Ketentuan mengenai kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral diatur pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam undang-undang tersebut Pemegang IUP dan IUPK wajib
melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri dalam waktu paling lama lima tahun sejak undang-undang tersebut mulai berlaku, yakni pada tanggal diundangkan. Dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran, seperti ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%. Oleh karena itu guna menjamin ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, maka mutlak diperlukan adanya pengendalian ekspor bijih mineral. Produksi Barang Tambang Mineral Tahun 2009-2011 Tahun Bauksit (ton) Nikel (ton) Emas (kg) Perak (kg) Granit (ton) Pasir Besi (ton) Konsentrat Tin (tonmetrik) Konsentrat Tembaga (tonmetrik)
2009 935,211 5,819,565 140,488 359,451 na 4,561,059 56,602 973,347
2010 2,200,000 9,475,362 119,726 335,040 2,172,080 8,975,507 97,796 993,152
2011 24,714,940 12,482,829 68,220 227,173 3,316,813 11,814,544 89,600 1,472,238
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam periode tahun 2009-2011, selain emas dan perak, peningkatan produksi terjadi secara konsisten pada seluruh jenis barang tambang mineral. Bauksit merupakan jenis barang tambang mineral dengan peningkatan produksi tertinggi. Pada tahun 2010 produksi bauksit mencapai 2.200.000 ton yakni mengalami 2
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
peningkatan 135,24% dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2011 meningkat tajam mencapai 24.714.940 ton yakni 1023,41% dari jumlah produksi tahun 2010. Berdasarkan data tersebut peningkatan produksi barang tambang mineral sangat tinggi dan berpotensi lebih tinggi di tahun-tahun berikutnya. Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan pada tahun 2014 mendorong para pengusaha tambang untuk meningkatkan produksi serta ekspor ke luar negeri sebelum tahun 2014 sebab saat itu ekspor tambang mentah sudah dilarang. Nilai ekspor yang tinggi menandakan volume ekspor yang tinggi pula. Bila keadaan ini terus berlangsung tentu akan mengancam ketersediaan mineral sebagai bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri. Selain itu, hal ini juga melenceng dari tujuan pengelolaan pertambangan mineral yakni menjamin manfaat pertambangan mineral secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pertambangan mineral sepatutnya dikelola dengan berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan kepada kepentingan bangsa; partisipatif, tranparansi, dan akuntabilitas; dan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kemudian pada bagian pertimbangan disebutkan bahwa pertambangan mineral berperan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, diperlukan peraturan mengenai peningkatan nilai tambah komoditas tambang dalam rangka meningkatkan penerimaan negara serta memberikan efek ganda terhadap perekonomian negara. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka mengamankan terlaksananya amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri yang harus dilaksanakan paling lambat pada tanggal 12 Januari 2014. Sementara mengenai Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan diatur pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29/M-DAG/PER/5/2012. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 29/M-DAG/PER/5/2012, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Kebijakan bea keluar dikenakan terhadap 65 jenis mineral dengan tujuan mengantisipasi eksploitasi tambang secara berlebihan pada masa 3
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
transisi menjelang pelarangan ekspor tambang mentah tahun 2014. Bersama dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 ditetapkan pengenaan bea keluar terhadap 65 jenis mineral dengan tujuan mengantisipasi eksploitasi tambang secara berlebihan dalam masa transisi menjelang pelarangan ekspor tambang mentah tahun 2014. Namun sejak awal pemberlakuannya kebijakan ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, khususnya oleh asosiasi yang merupakan representatif dari pengusaha-pengusaha mineral. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai evaluasi kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral sebagaimana diatur dalam PMK No. 75/PMK.011/2012. Berdasarkan permasalahan tersebut maka tujuan penulisan penelitian ini adalah menganalisis evaluasi kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral sebagaimana diatur dalam PMK No. 75/PMK.011/2012, terutama dalam hal: Menganalisis latar belakang pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral; Menganalisis pencapaian tujuan kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral ditinjau dari kriteria efektifitas Dunn; Menganalisis alternatif kebijakan bagi kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral. 2. Tinjauan Teoritis Kebijakan Publik Dye yang dikutip Young dan Quinn, memberikan definisi kebijakan publik secara luas, yakni sebagai “whatever governments choose to do or not to do” (Suharto, Analisis, 2008, h. 44). Sementara itu, Anderson yang juga dikutip oleh Young dan Quinn, menyampaikan definisi kebijakan publik yang relatif lebih spesifik, yaitu sebagai “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (Suharto, Analisis, 2008, h. 44). Pada dasarnya, kebijakan publik menitikberatkan pada “publik dan masalah-masalahnya”. Kebijakan publik membahas bagaimana isu-isu dan persoalan tersebut disusun (constructed), didefinisikan, serta bagaimana kesemua persoalan tersebut diletakkan dalam agenda kebijakan (Fermana, 2009, h. 34). Menurut Parson sebagaimana dikutip Fermana (2009, h. 34) kebijakan publik merupakan studi bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah atau kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.”
4
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
Kebijakan publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan (Nugroho, 2003, h. 50). Anderson (Subarsono, 2010, h. 12-13) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut: Formulasi masalah (problem formulation), Formulasi kebijakan (formulation), Penentuan kebijakan (adoption), Implementasi (implementation), dan Evaluasi (evaluation). Evaluasi Kebijakan Wholey sebagaimana dikutip Dye (2005, h. 332), “Policy evaluation is the assessment of the overall effectiveness of a national program in meeting its objectives, or assessment of the relative effectiveness of two or more programs in meeting common objectives.” Evaluasi kebijakan adalah penilaian terhadap efektifitas keseluruhan sebuah program nasional dalam mencapai tujuannya, atau penilaian terhadap efektifitas relatif dari dua atau lebih program dalam mencapai tujuan umum. Nachmias mengatakan, “Policy evaluation research is the objective, systematic, empirical examination of the effects ongoing policies and public programs have on their targets in terms of the goals they are meant to achieve” (Dye, 2005, h. 332). Penelitian evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan objektif, sistematis, dan empiris dari efek kebijakan dan program publik yang berlangsung terhadap targetnya dalam hal mencapai tujuan yang dimaksudkan untuk dicapai. Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Berikut ini fungsi evaluasi menurut Dunn (2003, h. 609-611): 1. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai. 2. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kapantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif sumber nilai maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas.
5
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
3. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain. Evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri dari evaluasi kebijakan adalah (Nugroho, 2009, h. 670): Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan; Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan; Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi; Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian; Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan. Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan digunakan tipe kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Berikut merupakan kriteria evaluasi menurut Dunn (2003, h. 610): Efektifitas, Efisiensi, Kecukupan, Perataan, Responsivitas, Ketepatan. Efektifitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektifitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya (Dunn, 2003, h. 429). Konsep Customs/Bea Globalisasi mempermudah bisnis internasional dan menjanjikan pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan internasional. Namun demikian, globalisasi juga menguntungkan bagi perdagangan gelap. Kurangnya pengawasan yang efektif akan mendatangkan risiko pada ekonomi dan sosial, dan dapat menghilangkan keuntungan yang berpotensi untuk diterima. Kepabeanan mempunyai fungsi sebagai pengawas di satu pihak dan pelayanan di lain pihak dalam lalu lintas barang yang keluar atau masuk ke atau keluar daerah pabean (Purwito, 2008, h. 13). Customs/bea diamanatkan untuk berkontribusi pada pembangunan sosial-ekonomi, di satu pihak memudahkan perdagangan yang sah, di lain pihak melindungi ketahanan sosialekonomi nasional dalam menghadapi resiko. Sebagaimana dikemukakan Yasui (2012, h. 2), “Customs is mandated to contribute to socio-economic development by, on the one hand,
6
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
facilitating legitimate trade and, on the other hand, protecting national economies and societies against the risks.” Bea bukan merupakan pajak dan lebih ke pengertian pungutan negara. Namun karena kesamaan karakter yang dimilikinya sejumlah ahli memasukkan bea sebagai salah satu jenis pajak. Mankiw (2001, h. 183) menyatakan “…tariff is a type of tax.” Sebagaimana pajak, secara umum pada bea dikenal pula dua fungsi, fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Nurmantu (2005, h. 30) menjelaskan, fungsi budgetair disebut fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul. Sementara fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu (Nurmantu, 2005, h. 36). Bea Keluar Terdapat beberapa bentuk dari pembatasan ekspor, termasuk diantaranya bea keluar, pelarangan ekspor, pengaturan ekspor (quota dan perizinan), dan pengawasan ekspor. Piermartini (2004, h. 3) mengatakan secara umum pajak ekspor (bea keluar) adalah intrumen yang lebih disukai diantara pilihan kebijakan lain untuk membatasi ekspor. “Tax are a credible policy, yielding the government some revenue while being transparent and simple to administer.” Pajak lebih disukai karena sifatnya yang transparan dan kemudahan dalam pengelolaannya. Bea keluar adalah bea yang dikenakan, baik dengan tarif ad valorem maupun tarif spesifik, terhadap barang yang diekspor ke pasar dunia. Sebagaimana menurut Latina et al (2011, h. 187), “an export tax is a tax (ad valorem or specific) imposed on goods exported to the world market.” Pemerintah memungut pajak ekspor dan pungutan ekspor atau yang sekarang dikenal dengan bea keluar dengan maksud agar para ekportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan bukanlah bahan mentah atau setengah jadi, filosofi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia (Rahayu, 2010, h. 80). Beberapa pertimbangan yang mendasari konsep bea keluar menurut Purwito (2008, h. 188): Peningkatan ekspor adalah tujuan dan upaya pemerintah dalam perolehan devisa. Oleh karena itu, hanya terhadap barang-barang tertentu saja yang dipungut bea keluarnya, yaitu barang7
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
barang yang jenis, tipe, ukurannya akan ditentukan oleh masing-masing departemen teknis terkait dengan ekspor; Pengenaan dan pemungutan bea keluar hanya dalam keadaan tertentu, bersifat situasional, kondisional dan jenis, tipe, ukuran tertentu dengan batasan waktu; Maksud dari ketentuan tersebut adalah untuk melindungi kepentingan nasional, mengingat kebutuhan di dalam negeri yang memerlukan tindakan segera; Pemungutan bea keluar bukan untuk membebani daya saing komoditi ekspor di pasar internasional. 3. Metode Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Menurut Moleong, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Herdiansyah, 2011, h. 118). Berdasarkan definisi menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan sebagai sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi (Herdiansyah, 2011, h. 118). Menurut Noor (2011, h. 139) wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data dari bebagai literatur, meliputi buku, artikel, jurnal, dan peraturan terkait, baik yang berbentuk media cetak maupun elektronik, untuk menghimpun sebanyak mungkin pengetahuan berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Melalui studi kepustakaan akan diperoleh data sekunder. Teknik Analisis Data Menurut Bogdan & Biklen, analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip interview, catatan di lapangan, dan bahan-bahan lain untuk meningkatkan pemahaman dan membantu untuk mempresentasikan penemuan kepada orang lain (Irawan, 2006, h. 73). Penelitian ini menggunakan prosedur analisis data penelitian kualitatif sebagaimana diuraikan Irawan (2006, h. 76-80) sebagai berikut: Pengumpulan data mentah, pada tahap ini dilakukan pengumpulan data mentah, dalam hal ini melalui wawancara; Transkrip data, pada tahap ini, catatan (rekaman atau tulisan tangan) dirubah ke bentuk tertulis; Pembuatan koding, pada tahap ini anda membaca ulang seluruh data yang sudah 8
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
ditranskrip; Kategorisasi data, pada tahap ini mulai menyederhanakan data dengan cara mengikat konsep-konsep (kata-kata) kunci dalam satu besaran yang kita namakan kategori; Penyimpulan sementara, sampai di sini diambil kesimpulan meskipun masih bersifat sementara, kesimpulan berdasarkan data; Triangulasi, sederhananya, triangulasi adalah proses check dan recheck antara satu sumber data dengan sumber data lainnya; Penyimpulan akhir, pengambilan kesimpulan akhir. Informan Informan dalam penelitian ini meliputi: Kepala Subbidang Bea Keluar Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia; Staff Subdit Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia; Kepala Seksi Pertambangan Subdit Migas dan Pertambangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia; Kasi Pengawasan Usaha Operasi Produksi Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia; Executive Director Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO); Akademisi Perpajakan. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Latar Belakang Pemerintah Menerapkan Kebijakan Bea Keluar atas Barang Ekspor Mineral Sebagaimana diamanatkan undang-undang, mineral sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengaturan baik melalui undang-undang maupun peraturan sehingga pengelolaan pertambangan khususnya mineral dapat memberikan manfaat optimum terhadap rakyat. Kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan No. 75 Tahun 2012 dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya amanat UndangUndang No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Dalam undangundang tersebut telah diamanatkan mengenai kewajiban peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara. Kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral adalah tindak lanjut dari kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan
9
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
pemurnian mineral di dalam negeri sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 yang direvisi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2012. Pengenaan bea keluar sendiri sebenarnya tergolong jarang digunakan karena implikasi ekonomisnya. Barang yang akan diekspor, yang semestinya mampu bersaing dengan komoditas sejenis yang berasal dari negara lain, kemudian diberikan beban atau cost di atas harga tersebut. Hal ini tentu mengurangi kompetensi dari komoditas ekspor tersebut. Namun demikian, kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral sudah sesuai dengan pertimbangan yang mendasari konsep bea keluar menurut Purwito. Diantaranya, bea keluar hanya dikenakan tehadap barang-barang tertentu; pengenaan dan pemungutan bea keluar hanya dalam keadaan tertentu, bersifat situasional, kondisional dan jenis, tipe, ukuran tertentu dengan batasan waktu; bermaksud untuk melindungi kepentingan nasional; dan bukan untuk membebani daya saing komoditi ekspor di pasar internasional. Beberapa poin penting dalam Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 adalah: Tata cara dan pelaksanaan peningkatan nilai tambah, yakni kewajiban untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian hasil penambangan di dalam negeri untuk komoditas mineral; Dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak peraturan tersebut berlaku. Namun sebelum kebijakan pelarangan ekspor atas mineral ini mulai efektif berlaku, Peraturan Menteri ESDM No. 07 direvisi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 11. Peraturan Menteri ESDM No. 11 terbit pada 21 Mei 2012 menggantikan Peraturan Menteri ESDM No. 07 yang diterbitkan pada 6 Februari 2012, yang berarti belum genap 4 bulan. Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 11 disisipkan ketentuan bahwa diperbolehkan menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri apabila mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM. Terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 11 merupakan pertimbangan utama diperlukannya kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral. Jika Peraturan Menteri ESDM No. 07 tidak direvisi maka ekspor atas mineral telah dilarang sehingga tidak diperlukan pengaturan pengendalian ekspor melalui bea keluar. Perubahan kebijakan dalam tempo yang terhitung singkat tersebut memancing timbulnya banyak persepsi. Perlukah kebijakan ini direvisi, apakah perubahan kebijakan tersebut adalah wujud sensitifitas pemerintah terhadap publik atau justru sikap ketidaktegasan pemerintah dalam mendesain dan memutuskan suatu kebijakan.
10
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
Dalam perspektif bisnis merupakan hal yang wajar bagi pengusaha untuk mempertimbangkan jaminan yang tersedia sebelum melakukan penanaman investasi. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 11 sebagai revisi Peraturan Menteri ESDM No. 07. Namun semestinya pertimbangan ini sudah diketahui pemerintah sejak Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 diundangkan, atau setidaknya sebelum Peraturan Menteri ESDM No. 07 diterbitkan. Sebagaimana Young and Quenn yang dikutip Suharto, mengenai konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik, kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, sebuah kebijakan publik, sejak awal penyusunan seharusnya peka menangkap aspirasi publik. Dalam perumusan suatu kebijakan publik tentunya harus menunjukkan keberpihakan pada publik. Untuk membuat kebijakan yang demikian seorang birokrat perlu memiliki sensitifitas untuk menangkap aspirasi publik. Peran serta publik diperlukan pada level pembuatan undang-undang. Dalam perumusan undang-undang semestinya memperhatikan aspirasi publik sebagai pertimbangannya, demikian juga dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan pertimbangan dan perencanaan yang matang tentu akan menghasilkan kebijakan-kebijakan pendukung yang mantap dalam rangka mencapai tujuan dan amanat undang-undang tersebut. Saat ini yang terjadi, alih-alih memperlihatkan sensitifitasnya terhadap publik, pemerintah justru menunjukkan sikap yang tidak tegas. Sikap yang demikian menandakan ketidakmantapan dalam penyusunan kebijakan sejak awal pada level undang-undang. Hal yang dikhawatirkan adalah ketidaktegasan pemerintah dalam produk kebijakan ini diakomodir oleh kepentingan-kepentingan tertentu sehingga oleh pihak-pihak yang lain dirasakan sebagai ketidakadilan. Pencapaian Tujuan Kebijakan Bea Keluar atas Barang Ekspor Mineral Ditinjau dari Kriteria Efektifitas Dunn Pengendalian Penjualan Bijih ke Luar Negeri Berkembangnya industri pada negara-negara di dunia seperti Cina dan India berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan atas mineral sebagai bahan baku. Demand yang semakin tinggi ini tidak didukung oleh supply yang terbatas sehingga menimbulkan kenaikan harga mineral dunia. Fenomena ini semakin membuat pertambangan mineral menjadi salah satu bisnis yang menarik dan diminati karena menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. 11
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
Imbasnya adalah peningkatan pengajuan IUP dan semakin banyak produk mineral yang diekspor. Sementara itu dari dalam negeri, terbitnya Undang-Undang No. 4 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara turut berperan terhadap peningkatan ekspor mineral. UU No. 4 mengatur tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral paling lambat januari 2014, saat itu mineral tidak lagi boleh diekspor dalam bentuk bijih atau mentah. Pelarangan ekspor ini membuat pengusaha berusaha menghimpun keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan ekspor sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya dilarang pada tahun 2014. Setelah sebelumnya sempat dikejutkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 yang melarang untuk menjual bijih mineral ke luar negeri dalam jangka waktu 3 bulan sejak peraturan menteri tersebut berlaku, pengusaha kini dapat merasa lega dengan direvisinya peraturan tersebut melalui Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2012. Diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 11 telah memberikan kesempatan kembali bagi para pengusaha mineral untuk tetap bisa melakukan ekspor. Namun tanpa adanya pengaturan lebih lanjut terkait ekspor mineral tersebut akan membuat kebijakan ini kontradiktif dengan tujuan semula sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 tentang pertambangan mineral dan batubara. Dengan memberikan kesempatan untuk dapat melakukan ekspor kembali, akan berpotensi mengancam ketersediaan cadangan mineral kita sebelum akhirnya siap melakukan pemurnian, pengolahan serta hilirisasi produk mineral di dalam negeri. Untuk itu diperlukan kebijakan disinsentif berupa bea keluar untuk dapat mengendalikan ekspor mineral tersebut. Volume Ekspor Komoditas Mineral Logam 2011-2012 Deskripsi HS Bijih besi tidak diaglomerasi Bijih besi diaglomerasi Bijih mangan Bijih tembaga Bijih nikel Bijih alumunium Bijih timbal Bijih seng Bijih kromium Bijih ilmenite Bijih zirconium
2011 11.696.200.975 2.192.791.351 163.879.556 1.471.420.191 40.792.164.833 40.643.852.395 15.222.406 1.658.221 6.534.098 17.763.611 127.078.624
2012 10.432.544.627 1.113.207.171 19.081.118 1.123.541.044 48.449.392.135 29.506.555.883 5.083.897 1.334.982 79.195.295 6.258.500 109.020.998
Sumber: Badan Pusat Statistik 12
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
Tabel di atas merupakan realisasi volume ekspor komoditas mineral logam tahun 2011 sampai 2012. Berdasarkan tabel di atas penurunan volume ekspor terjadi di hampir semua komoditi mineral logam. Komoditas dengan penurunan volume ekspor terbesar adalah bijih mangan dengan penurunan sebesar 88,36%. Komoditas ekspor utama seperti bijih besi, bijih tembaga dan bijih alumunium juga mengalami penurunan. Bijih besi mengalami penurunan volume ekspor sebesar 10,80%, bijih tembaga sebesar 23,64%, dan bijih alumunium atau bauksit sebesar 27,40%. Namun hal tersebut tidak berlaku pada bijih nikel dan bijih kromium yang justru mengalami kenaikan volume ekspor. Bijih kromium mengalami kenaikan volume bahkan mencapai 1012%. Sementara pada nikel yang merupakan salah satu komoditas ekspor utama kenaikan hanya sebesar 18,77%. Namun angka tersebut terhitung tinggi dengan memperhatikan besarnya volume ekspor bijih nikel. Pada tahun 2012 volume ekspor nikel mencapai 48.449.392,135 ton dengan peningkatan sebesar 7.657.227,302 ton dari tahun sebelumnya. Berikut ini adalah realisasi volume ekspor komoditas mineral bukan logam dan batuan tahun 2009 sampai 2012: Volume Ekspor Komoditas Mineral Bukan Logam dan Batuan 2011-2012 (Dalam Kg) Mineral Bukan Logam Deskripsi HS Kaolin dan tanah liat kaolin lainnya, dikalsinasi maupun tidak Feldspar Zeolit bubuk diaktivasi dengan nilai KTK 100 milliequivalen
2011 363.632.244 6.856.283 3.073.026
2012 130.767.525 16.000 1.735.985
200.000 776.654
1.200.000 175.065
188.146.429 218.366 3.316.813.681 4.007.456
122.612.892 639.880 2.320.624.682 3.736.217
Batuan Garnet alami Batu sabak, dikerjakan secara kasar atau semata-mata dipotong maupun tidak, digergaji atau dengan cara lain, menjadi balok atau lembaran tebal berbentuk empat persegi panjang (termasuk bujur sangkar) Marmer dan travertine dalam bentuk balok Marmer dan travertine dalam lembaran tebal Granit, tidak dikerjakan atau dikerjakan secara kasar Perlit mengembang Sumber: Badan Pusat Statistik
Dari tabel di atas dapat diketahui penurunan ekspor terjadi pada sebagian besar komoditas mineral non logam dan batuan. Komoditas dengan persentase penurunan ekspor terbesar adalah feldspar, yakni 99,76%. Kemudian diikuti oleh batu sabak dan kaolin dengan 13
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
persentase penurunan masing-masing 77,46% dan 64,03%. Granit yang merupakan salah satu komoditas dengan kuantitas ekspor terbesar ikut pula mengalami penurunan, yakni sebesar 34,83%. Sama halnya dengan jenis mineral logam, terdapat pula beberapa komoditas yang justru mengalami kenaikan volume ekspor pada jenis batuan. Diantaranya garnet alami dengan kenaikan 500% dan marmer dan travertine dalam bentuk balok dengan kenaikan 193,03%. Peningkatan Nilai Tambah Dalam industri pertambangan mineral khususnya logam, smelter merupakan bagian dari proses produksi. Mineral hasil produksi biasanya masih tercampur dengan material bawaan yang tidak dikehendaki. Smelter adalah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan konsentrasi logam sehingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Di Indonesia industri smelter masih sangat terbatas sehingga sebagian besar mineral Indonesia diekspor dalam bentuk mentah atau bijih dengan nilai tambah yang rendah. Kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral ini diharapkan dapat menarik investasi bagi industri smelter dalam negeri sehingga dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu dengan adanya industri smelter akan turut mempengaruhi perkembangan dan pembangunan industri sekitar. Keadaan ini disebut multiplier effect dari peningkatan nilai tambah, yang pada akhirnya akan mencapai pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti dikatakan Nugroho, kebijakan publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan. Melalui peningkatan nilai tambah diharapkan manfaat dari mineral dapat seoptimal mungkin diserap masyarakat Indonesia. Mineral yang sudah diolah dan dimurnikan memiliki nilai jual dan manfaat yang lebih tinggi, selain itu melalui pembangunan smelter serta industri hilir akan memberikan manfaat besar terhadap perekonomian Indonesia. Bea keluar adalah pungutan negara yang harus dibayarkan oleh eksportir ketika melakukan ekspor mineral setelah sebelumnya melalui rangkaian prosedur yang panjang di Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM. Rangkaian prosedur tersebut meliputi pengakuan Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan dan Persetujuan Ekspor Produk Pertambangan yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan dimana masing-masing harus dilengkapi Rekomendasi dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM sebagai 14
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
salah satu syaratnya, dan terakhir yakni verifikasi setiap pelaksanaan ekspor oleh surveyor yang ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan. Rangkaian prosedur tersebut berimplikasi positif pada penataan pertambangan yang lebih baik. Melalui rangkaian prosedur tersebut tercipta mekanisme pengawasan yang selama ini belum terlaksana. Berikut ini adalah data mengenai jumlah rencana kerja pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang diterima Kementerian ESDM, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh rekomendasi pengakuan eksportir terdaftar: Rekap Dokumen Rencana Pengolahan dan Pemurnian Per 18 Oktober 2012* Pengolahan dan pemurnian telah beroperasi 7 perusahaan Pengajuan pembangunan dan pemurnian sebelum 24 Perusahaan Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 Pengajuan pembangunan dan pemurnian setelah 123 Perusahaan Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 Total 154 Perusahaan *berdasarkan jumlah rekomendasi ET yang telah dikeluarkan per 18 Oktober 2012 Sumber: Direktorat Informasi Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Sebelum diterbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 07 jumlah pengajuan pengolahan dan pemurnian hanya sebanyak 24 perusahaan. Setelah Peraturan Menteri ESDM No. 07 diterbitkan, sampai dengan pertengahan Oktober 2012, jumlah pengajuan bertambah sebanyak 123 perusahaan. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 07 memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perusahaan untuk mengajukan rencana pengolahan dan pemurnian. Ketersediaan Sumber Daya Mineral di Dalam Negeri Peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya jaminan terkait ketersediaan bahan baku mineral, sebab sangat disayangkan bila saat Indonesia siap untuk melakukan pengolahan dan pemurnian justru bahan baku yang tersedia hanya tersisa sedikit atau bahkan habis. Jaminan ini juga diperlukan untuk menarik investasi untuk pembangunan smelter yang biayanya sangat besar. Melalui bea keluar diharapkan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri dapat terjaga. Hal ini sesuai tujuan pengelolaan mineral sebagaimana diamanatkan undang-undang yakni, menjamin tersedianya mineral sebagai bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri.
15
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
Alternatif Kebijakan Earmarked Tax Di banyak negara maju penerapan earmarked tax telah banyak digunakan. Sementara pemerintah mengatakan bahwa penerimaan bukanlah tujuan dari dikenakannya bea keluar atas barang ekspor mineral, untuk itu sangat tepat bila diterapkan earmarked tax pada penerimaan bea keluar tersebut. Bea keluar dengan penerimaan terpusat tidak akan efisien, sebab manfaatnya tidak dapat dirasakan langsung oleh industri pertambangan serta pengolahan. Earmarked tax adalah pajak yang dipungut dan digunakan untuk tujuan tertentu. Sebagaimana dikutip Rosdiana (2012, hal. 80) earmarked tax adalah “tax collected and used for a specific purpose”. Namun demikian, penggunaan hasil pungutan earmarked tax tidak harus selalu rigid dan spesifik. Dalam hal ini penggunaan earmarked tax ditujukan untuk pengembangan industri pertambangan khususnya terkait industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, wujudnya dapat berupa pemberian fasilitas perpajakan, subsidi atau pembangunan sarana dan prasarana penunjang. Diferensiasi Tarif Berdasarkan Klasifikasi Produk Diferensiasi tarif berdasarkan klasifikasi produk patut diperhitungkan sebab tidak semua jenis produk pertambangan mineral memiliki nilai tambah yang sama. Sebagai salah satu contoh, jenis mineral logam memiliki nilai tambah yang lebih tinggi daripada mineral batuan. Untuk itu perlu dilakukan pemilahan atau klasifikasi produk berdasarkan nilai tambahnya. Produkproduk mineral dengan nilai tambah tinggi dimasukkan dalam satu kelompok, demikian pula bagi produk dengan nilai tambah sedang maupun rendah masing-masing dimasukkan dalam kelompok tertentu. Kemudian, terhadap masing-masing kelompok diberikan perlakuan tarif yang berbeda atau diferensiasi tarif. Untuk kelompok produk yang menghasilkan nilai tambah besar dapat dikenakan bea keluar yang lebih tinggi, sebaliknya produk yang menghasilkan nilai tambah kecil dapat dikenakan bea keluar yang lebih rendah. Kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral dibuat dengan tujuan untuk mengendalikan ekspor ke luar negeri yang notabene-nya meningkat secara signifikan sejak UU No. 4 diterbitkan pada Tahun 2009. Namun realisasinya tidak semua jenis mineral mengalami kenaikan ekspor. Kenaikan ekspor secara signifikan hanya dialami pada jenis mineral logam, khususnya bijih besi, nikel, dan bauksit. Sementara itu pada jenis mineral lain, mineral batuan 16
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
misalnya, perkembangan ekspor relatif stabil. Dengan memperhatikan keterkaitannya dengan dengan tujuan semula, maka kebijakan bea keluar akan kurang sesuai bila menggunakan besaran tarif yang berlaku sama terhadap seluruh jenis mineral. Pengenaan Tarif Bertingkat Sesuai Dengan Tingkat Pengolahan Mineral Penetapan besaran tarif berhubungan dengan kebijakan peningkatan nilai tambah, sebab kebijakan bea keluar adalah kebijakan yang dibuat untuk men-support kebijakan peningkatan nilai tambah. Konsep peningkatan nilai tambah berarti memberikan kesempatan untuk mengekspor mineral, baik yang belum mengalami proses maupun yang sudah diproses. Peningkatan nilai tambah itu hanya mungkin kalau ada lapisan tarif yang lain untuk masingmasing level produk. Semestinya pemerintah menggunakan tarif progresif yakni tarif bertingkat yang besarannya berbeda untuk setiap tingkat pengolahan. Bijih berupa raw material atau ore dikenakan tarif yang lebih tinggi, sementara produk yang sudah diolah dikenakan tarif yang lebih rendah, kemudian pada tingkat pengolahan tertentu mencapai tarif 0%. Dengan susunan tarif yang demikian akan mempengaruhi kecenderungan pengusaha dalam melakukan ekspor mineral. Untuk menikmati tarif yang lebih rendah mereka tentu harus ekspor dalam bentuk produk yang sudah diproses. Namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk melakukan ekspor dalam bentuk bijih jika mereka siap dengan tarif yang lebih tinggi. Tarif Progresif Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 75 Tahun 2012 ditetapkan pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor bijih mineral dengan besaran tarif 20% bersifat flat terhadap 65 jenis produk mineral. Sebenarnya dengan pengunaan tarif flat akan menguntungkan pengusaha atau eksportir saat harga melambung tinggi, sebab keuntungan yang diperoleh relatif lebih besar dibanding proporsi bea keluar yang dibayarkan. Kecenderungannya akan melakukan ekspor sebanyak-banyaknya saat harga naik. Namun disaat harga turun penggunaan tarif flat justru memberatkan pengusaha, tarif akan dirasa begitu tinggi dan membebani. Penggunaan tarif progresif akan menciptakan mekanisme yang otomatis menyesuaikan terhadap fluktuasi harga pasar. Ketika harga naik tarif bergeser lebih tinggi, demikian ketika harga turun tari bergeser lebih rendah. Dengan pengenaan tarif yang tinggi saat harga pasar melambung naik akan efektif menghambat ekspor. Bea keluar yang tinggi menjadi beban bagi 17
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
pengusaha sehingga akan mempertimbangkan kembali tindakannya dalam melakukan ekspor. Namun disaat harga turun pemerintah harus siap dengan penerimaan yang rendah, hal ini tidak menjadi masalah sebab penerimaan bukanlah tujuan utama dari pengenaan bea keluar. Sementara itu, pengusaha tidak begitu terbebani sebab beban bea yang ditanggung turun bersama dengan rendahnya harga pasar. 5. Simpulan Kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan peningkatan nilai tambah, yang merupakan amanat dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Salah satu alasan diperlukannya kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral adalah terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2012 yang memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk dapat melakukan ekspor produk mineral kembali, sehingga diperlukan peraturan terkait pengendalian ekspor mineral. Secara umum terdapat tiga tujuan kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral, yakni pengendalian penjualan bijih ke luar negeri, peningkatan nilai tambah, dan menjaga ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri. Bea keluar serta rangkaian prosedur yang mengiringinya
telah
dapat
menciptakan
mekanisme
pengawasan
dan
pengelolaan
pertambangan yang lebih baik. Namun terkait dengan tujuan pengendalian ekspor belum tercapai secara optimal, terbukti dengan makin tingginya volume ekspor pada beberapa komoditi tertentu, khususnya bijih nikel. Alternatif kebijakan yang dapat diberikan bagi kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral ini diantaranya adalah penerapan earmarked tax pada penerimaan bea keluar. Earmarked tax akan menunjang fungsi regulerend bea keluar yakni pengembangan industri pertambangan khususnya industri pengolahan dan pemurnian. Terkait dengan tarif, agar sejalan dengan tujuan peningkatan nilai tambah semestinya pada bea keluar diterapkan diferensiasi tarif baik berdasarkan klasifikasi nilai tambah produk maupun berdasarkan tingkat pengolahannya. Untuk komoditas dengan nilai tambah yang tinggi dikenai bea keluar yang lebih besar, demikian pula untuk komoditas dengan tingkat pengolahan yang minim dikenai bea keluar yang lebih besar. Menyikapi fluktuasi harga mineral yang dinamis maka lebih baik jika menggunakan tarif progresif, sehingga ketika harga rendah eksportir tidak terlalu terbebani sebab besarnya bea menyesuaikan dengan harga pasar.
18
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
6. Saran Penyusunan undang-undang seharusnya didesain secara matang berikut rencana mengenai peraturan-peraturan pendukungnya. Kemantapan pada tahap formulasi akan menghasilkan kebijakan yang kuat dan tegas. Sebuah kebijakan termasuk kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral ini harus mampu memastikan manfaatnya dapat diterima publik, jangan sampai diakomodir untuk mencapai kepentingan pihak-pihak tertentu. Pengendalian eskpor merupakan salah satu tujuan utama dari penerapan kebijakan bea keluar atas barang ekspor mineral. Namun hasil penelitian menunjukkan tujuan tersebut belum optimal tercapai, terdapat kenaikan volume ekspor terhadap beberapa komoditas mineral terutama bijih nikel. Terkait dengan hal tersebut maka perlu dipertimbangkan untuk menerapkan alternatif kebijakan sebagaimana telah disampaikan, yakni diferensiasi tarif baik berdasarkan klasifikasi nilai tambah produk maupun berdasarkan tingkat pengolahannya, dan penerapan tarif progresif. Perlu dipertimbangkan mengenai penerapan earmarked tax pada penerimaan bea keluar atas barang ekspor mineral. Dengan pengawasan yang baik, earmarked tax akan menjamin pengembangan dan pembangunan industri pertambangan mineral khususnya industri smelter dalam negeri. Sehubungan dengan peningkatan nilai tambah sebaiknya bea keluar menggunakan diferensiasi tarif baik berdasarkan klasifikasi nilai tambah, maupun tahap pengolahannya. Kemudian perlu diterapkan tarif progresif agar fleksibel terhadap perubahan harga pasar DAFTAR REFERENSI Buku: Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dye, Thomas R. 2005. Understanding Public Policy Eleventh Edition. New Jersey: Pearson Education. Fermana, Surya. 2009. Kebijakan Publik: Sebuah Tinjauan Filosofis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Herdiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
19
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mankiw, N. Gregory. 2001. Priciples of Economics Second Edition. Orlando: Harcourt College Publishers. Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nugroho, Riant. 2009. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nurmantu, Safri. 2005. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Purwito, Ali. 2008. Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang): Teori dan Aplikasi. Jakarta: Kajian Hukum Fiskal UI Bekerjasama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Rahayu, Ani Sri. 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT Bumi Aksara. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Subarsono, AG. 2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Jurnal: Latina, Joelle., Roberta Piermartini, Michele Ruta. 2011. Natural resources and noncooperative trade policy (International Economics and Economic Policy Volume 8, Issue 2 , pp 177-196). Springer. Piermartini, Roberta. 2004. The Role of Export Taxes in the Field of Primary Commodities. Geneva: WTP Publications. Yasui, Tadashi. 2012. Customs Environmental Scan 2012 (WCO Research Paper No.23. World Customs Organization.
20
Evaluasi kebijakan..., Fachrie Edwin Djaafar, FISIP UI, 2013