KEMAMPUAN MENGAPRESIASI TOKOH CERITA RAKYAT SISWA KELAS X SMAN 3 BLITAR TAHUN AJARAN 2011/2012 Dwi Angga Septianingrum*) E-mail:
[email protected] Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang ABSTRACT: This researching is to description student’s abilities of SMAN 3 Blitar at grade 10th in appreciating folktale figure , especially for: (1) identifying the figure of folktale, (2) in description the character of folktale physically, attitute, social condition, and (3) in evaluating the character of folktale figure. This researching used descriptive evaluation draft. The result are the student’s abilities of SMAN 3 Blitar at grade 10th in appreciating folktale figure is not capable because the student’s can standart value ≥75 is 68,96% or ≤ 75% than SKM (Minimal Standar Score). Keywords: the appreciating competence, figure of tale, folktale ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar dalam mengapresiasi tokoh cerita rakyat, khususnya : (1) mengidenfikasi tokoh cerita rakyat, (2) mendeskripsikan karakter tokoh cerita rakyat berdasarkan fisik, psikis, keadaan sosial, dan (3) menilai tokoh cerita rakyat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian adalah siswa kelas X SMAN 3 Blitar tidak mampu mengapresiasi tokoh cerita rakyat karena persentase siswa yang memperoleh nilai standar ≥75 yakni 68,96% atau ≤75% SKM (Standar Ketuntasan Minimal). Kata kunci: kemampuan mengapresiasi, tokoh cerita, cerita rakyat
Cerita rakyat merupakan bagian dari foklor. Menurut Danandjaja (2002: 2) foklor adalah sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Cerita rakyat tidak saja merefleksikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dahulu, tetapi juga mengantarkan nilai-nilai itu kepada masyarakat sekarang. Hal itu disebabkan cerita pada satu generasi diwariskan dari cerita masyarakat sebelumnya (Nurgiyantoro, 2005: 117). Dengan memahami dan menceritakan kembali ceritacerita lama kepada anak-anak, maka proses pewarisan nilai-nilai luhur dan nilainilai moral budaya Indonesia yang terkandung di dalamnya akan tetap hidup, serta menumbuhkan kecintaan akan tanah air terutama pada budaya sendiri kepada setiap generasi. Penjelasan tersebut menggambarkan peran penting cerita rakyat sebagai sarana komunikasi antargenerasi dan pengembangan pengetahuan di dalam masyarakat yang bersifat homogen mengingat di masa globalisasi ini semakin banyak produk budaya Indonesia diambil oleh negara-negara lain (Djamaris, 2011:151). Untuk itu salah satu usaha yang perlu dilakukan dalam rangka pelestarian cerita rakyat adalah pengenalan serta penggunaan cerita rakyat dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah. Pembelajaran sastra merupakan wahana efektif bagi pengembangan dan pendidikan karakter siswa. Kegiatan pembelajaran sastra tersebar menjadi empat *) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 1
ranah ketrampilan, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam pembelajaran sastra di sekolah khususnya tingkat SMA, terdapat tuntutan capaian kompetensi sastra. Salah satunya kemampuan mengapresiasi prosa, baik prosa lama maupun prosa baru. Kemampuan apresiasi sastra adalah kemampuan memahami, menikmati, menghayati dan memberikan penilaian terhadap karya sastra (Aminudin, 1990:205). Apabila disuguhkan dengan baik, cerita rakyat bisa menjadi materi pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa. Kegiatan mengapresiasi cerita rakyat berarti mengenalkan para siswa pada berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan bangsanya secara asli. Dengan mengapresiasi karya sastra berupa cerita rakyat khususnya pada unsur intrinsik berupa tokoh diharapkan siswa dapat menghayati dan meneladani tokoh tersebut dengan baik. Hal ini dikarenakan tokoh cerita mempunyai posisi startegis sebagai pembawa dan penyampaian pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Wirwan:2009). Hal inilah secara tidak langsung merupakan sarana mendidik karakter siswa mengingat permasalah karakter siswa menjadi pembicaraan hangat dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini (Suyatno, 2011: 268). Dengan demikian, pembelajaran mengapresiasi tokoh cerita rakyat sangat efektif dalam membentuk Mengapresiasi prosa khususnya cerita rakyat merupakan salah satu kompetensi dasar yang terdapat pada kurikulum bahasa Indonesia jenjang SMA/MA kelas X semeter genap dan berdasarkan observasi yang pernah dilakukan di SMA Negeri 3 Blitar, sebelumnya belum pernah ada penelitian tentang kegiatan mengapresiasi cerita rakyat pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Oleh sebab, itu penelitian ini dilaksanakan padea siswa kelas X SMA Negeri 3 Blitar tahun pelajaran 2011/2012. Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui kemampuan mengapresiasi tokoh cerita rakyat siswa kelas X SMAN 3 Blitar tahun ajaran 2011/2012. Secara khusus yakni mendeskripsikan kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar dalam mengidentifikasi tokoh cerita rakyat, mendeskripsikan karakter tokoh cerita rayat berdasarkan fisik, psikis, keadaan sosial, dan menilai tokoh cerita rakyat.
METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan memaparkan mengenai Kemampuan Mengapresiasi Tokoh dalam Cerita Rakyat Pada Siswa Kelas X SMAN 3 Blitar Tahun Ajaran 2011/2012 sebagaimana adanya. Penelitian kuantitatif ini menggunakan angka-angka dalam pengolahan datanya. Sehubungan dengan hal tersebut Arikunto (2006:12) telah memberikan batasan bahwa penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan hasilnya disertai dengan tabel, grafik, bagan, gambar, atau tampilan lainnya. Selain data berupa angka, dalam penelitian kuantitatif juga ada data yang berupa informasi kualitatif. Dalam penelitian ini, mengunakan sampel 15% dari jumlah keseluruhan populasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arikunto (2006:134), apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya *) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 2
merupakan penelitian populasi, namun jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10—15% atau 20—25% atau lebih. penentuan jumlah sampel diambil 15% dari jumlah keseluruhan siswa. Jumlah keseluruhan populasi sebesar 210 siswa diambil 15% dapat dipaparkan sebagai berikut, 210 x 15 : 100 = 32 siswa. Karena antara kelas yang satu dengan kelas yang lain memiliki peluang yang sama, peneliti mengambil satu kelas yang jumlahnya mendekati prosentase pengambilan sampel, hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengambilan sampel dan proses penelitian. Peneliti menggunakan teknik tes tulis untuk mengumpulkan data. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah tes tulis dan rubrik penilaian yang telah divalidasi oleh pakar berdasarkan hasil proses uji coba instrumen. Data yang diperoleh berupa skor kemampuan mengapresiasi tokoh cerita siswa kelas X SMAN 3 Blitar meliputi: (1) skor kemampuan mengidentifikasi tokoh cerita rakyat, (3) skor kemampuan mendeskripsikan karakter tokoh cerita rakyat berdasarkan fisik, psikis, keadaan sosial, dan (3) kemampuan menilai tokoh cerita rakyat. Skor kemudian diolah untuk menentukan nilai standar dan kualifikasi kemampuan siswa. Siswa dikatakan mampu apabila mendapat nilai ≥75 atau ≥75% dalam mengerjakan tes. Penentuan ini didasarkan pada SKM yang berlaku di SMAN 3 Blitar sesuai dengan kurikulum KTSP. Kemudian untuk penentuan taraf keberhasilan kelas yang ditentukan adalah 75%, jika jumlah siswa ≥ 75 yang memenuhi kriteria penyekoran sebanyak 75%, maka dapat dikatakan bahwa siswa SMAN 3 Blitar telah mampu mengapresiasi tokoh cerita rakyat berdasarkan aspek yang diteliti.
HASIL PENELITIAN A. Kemampuan Siswa Kelas X SMAN 3 Blitar Mengidentifkasi Tokoh dalam Cerita Rakyat Aspek kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar mengidentifikasi tokoh cerita rakyat dibagi menjadi empat subaspek yaitu: (1) menemukan tokoh dalam cerita rakyat, (2) menentukan tokoh utama dan pendukung dalam cerita rakyat, (3) menentukan tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita rakyat, dan (4) menentukan tokoh berkembang dan tidak berkembang dalam cerita rakyat. Aspek kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar mengidentifikasi tokoh dijabarkan sebagai berikut. Pertama, Pada subaspek kemampuan menemukan tokoh dalam cerita rakyat diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 27 siswa atau 93, 10% dari jumlah keseluruhan siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menemukan tokoh dalam cerita rakyat ≥ 75% dari Standar Ketuntasan Minimal (SKM). Kedua, pada subaspek kemampuan menentukan tokoh utama dan pendukung, yakni jumlah siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥ 75 sebanyak 21 siswa atau 71,41% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menentukan tokoh utama dan tokoh pendukung ≤75% dari Standar Ketuntasan Minimal. Ketiga, pada subaspek kemampuan menentukan tokoh protagonis dan antagonis diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 sebanyak 18 siswa atau 62, 06% dari 100% siswa sampel. Hal ini
*) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 3
berarti kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menentukan tokoh protagonis dan antagonis kurang dari 75% dari Standar Ketuntasan Maksimal (SKM). Keempat, pada subaspek kemampuan menentukan tokoh berkembang dan tidak berkembang diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai ≥75 sebanyak 11 siswa atau 37,93 % dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menentukan tokoh berkembang dan tidak berkembang dengan menyertakan alasan ≤75% dari Standar Ketuntasan Maksimal (SKM). B. Kemampuan Siswa Kelas X SMAN 3 Blitar Mendeskripsikan Karakter Tokoh dalam Cerita Rakyat Berdasarkan Fisik, Psikis dan Keadaan Sosial Aspek mendeskripsikan karakter tokoh dalam cerita rakyat dibagi menjadi tiga subaspek yaitu subaspek mendeskripsikan tokoh berdasarkan fisik, subaspek mendeskripsikan tokoh berdasarkan psikis (watak), dan subaspek mendeskripsikan tokoh berdasarkan keadaan sosial. Aspek mendeskripsikan karakter tokoh dalam cerita rakyat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, pada subaspek kemampuan mendeskripsikan tokoh cerita rakyat berdasarkan fisik diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 24 siswa atau 82,75% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X SMAN 3 mendeskripsikan tokoh cerita rakyat berdasarkan fisik ≥75% dari Standar Ketuntasan Maksimal (SKM). Kedua, pada subaspek kemampuan mendeskripsikan tokoh cerita rakyat berdasarkan psikis (watak) diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 23 siswa atau 79,31% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X mendeskripsikan tokoh cerita rakyat berdasarkan psikis (watak) kurang dari 75% dari pedoman penilaian kelas. Ketiga, pada subaspek kemampuan mendeskripsikan tokoh cerita rakyat berdasarkan keadaan sosial diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 21 siswa atau 72,41% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X mendeskripsikan tokoh cerita rakyat berdasarkan keadaan sosial ≤75% dari Standar Ketuntasan Maksimal. C. Kemampuan Siswa Kelas X SMAN 3 Blitar Menilai Tokoh Cerita Rakyat Aspek kemampuan menilai tokoh dalam cerita rakyat dibagi menjadi tiga subaspek yaitu subaspek menilai sikap tokoh utama I, subaspek menilai semangat tokoh utama II, dan menilai perjuangan tokoh utama III. Aspek kemampuan menilai tokoh dalam cerita rakyat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Pada subaspek kemampuan menilai sikap tokoh utama I (Raden Banterang) diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 3 siswa atau 10,34% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menilai sikap tokoh utama I (Raden Banterang) ≤75% dari pedoman penilaian kelas. Kedua, pada subaspek menilai semangat tokoh utama II (Dewi Surati) diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 15 siswa atau 51,72% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti *) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 4
kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menilai semangat tokoh utama II ≤75% dari Standar Ketuntasan Maksimal. Ketiga, pada subaspek kemampuan menilai perjuangan tokoh utama III (Bagus Tantra) diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar ≥75 yakni 15 siswa atau 51,72% dari 100% siswa sampel. Hal ini berarti skor kemampuan siswa kelas X menilai perjuangan tokoh utama III (Bagus Tantra) ≤75% dari Standar Ketuntasan Maksimal. D. Kemampuan Siswa Kelas X SMAN 3 Blitar Mengapresiasi Tokoh Cerita Rakyat Berdasarkan analisis yang mencakup seluruh aspek diketahui bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar yang mendapatkan nilai standar di atas SKM (75) dengan kualifikasi sangat baik dan baik yakni 20 siswa atau 68,96% dari 100% siswa sampel. Sedangkan jumlah siswa yang mendapatkan nilai standar di bawah SKM (75) yakni 9 siswa atau 31,03% dari 100% siswa sampel. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar mengapresiasi tokoh dalam cerita rakyat kurang dari Standar Ketuntasan Maksimal yaitu 75%.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan nilai standar yang dicapai oleh siswa kelas X SMAN 3 Blitar memiliki tingkat keberagaman kualifikasi dikarenakan tingkat kemampuan mengapresiasi tokoh cerita rakyat masingmasing siswa sampel berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Syafi’ie (1990:198) yang menyatakan bahwa kegiatan mengapresiasi sastra pada dasarnya adalah kegiatan individual yang bersifat subjektif artinya setiap individu mempunyai kemungkinan-kemungkinan pemahaman, penghayatan, yang berbeda sesuai dengan minat, kesungguhan, kejujuran, kepekaan emosional serta pengetahuan dan pengalaman kehidupan masing-masing. Kemampuan siswa kelas X SMAN 3 mengapresiasi tokoh cerita rakyat diukur dari kemampuan siswa mengidentifikasi tokoh cerita rakyat, mendeskripsikan tokoh cerita rakyat dan menilai tokoh cerita rakyat yang merupakan unsur intrinsik cerita rakyat. Hal ini senada dengan teori Aminuddin (2004:34) yang menyatakan bahwa proses apresiasi melibatkan aspek kognitif yakni kemampuan apresiator untuk memahami unsur intrinsik teks sastra. Berdasarkan analisis dari lembar jawaban yang siswa kelas X SMAN 3 Blitar pada kemampuan mengapresi tokoh cerita rakyat yang dilakukan, ternyata siswa kelas X SMAN 3 Blitar tidak mampu mengapresiasi tokoh cerita rakyat. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama proses penelitian, terdapat beberapa hal yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menjadi tidak mampu mengapresiasi tokoh cerita rakyat, yakni pertama kurangnya minat siswa kelas X SMAN 3 Blitar terhadap cerita rakyat karena guru cenderung kurang menggunakan cerita rakyat sebagai materi pembelajaran apresiasi. Sesuai dengan pendapat Kosasih (2011:40) bahwa minat siswa terhadap sastra klasik seperti cerita rakyat akan berkembang dengan baik apabila kegiatan pengajarannya disajikan secara baik dan menarik oleh guru. Peranan minat siswa terhadap cerita rakyat ini dapat membantu siswa untuk menemukan daya tarik, manfaat, atau makna cerita-cerita rakyat bagi diri siswa *) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 5
sehingga nilai-nilai didaktis di dalam cerita rayat dapat tersalurkan sebagai upaya pembelajaran karakter budi pekerti bagi siswa. Kedua, kurangnya pengetahuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar terhadap macam-macam cerita rakyat di daerahnya. Siswa kelas X SMAN 3 Blitar kurang mengetahui macam-macam cerita rakyat yang terdapat di dalam daerahnya sendiri karena peranan guru dan orang tua dalam menyampaikan cerita rakyat sebagai warisan sastra masih kurang. Hal senada disampaikan Kosasih (2011:37) bahwa para orang tua dan guru mempunyai tanggung jawan mengajarkan cerita rakyat melalui dongeng-dongen tradisional, baik secara lisan maupun melalui buku-buku sastra mengingat pentingnya pengajaran cerita rakyat untuk membetuk moral siswa yang berbudi mulia. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Djamaris (2011: 152) bahwa pengenalan cerita rakyat merupakan usaha melestarikan nilai budaya serta penyampaikan pendidikan moral dan nasihat. Kosasih (2011:42) juga menambahkan bahwa siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra yang berlatar belakang daerah mereka sendiri dan mempunyai kesamaan dengan orang-orang di sekitar mereka. Dengan demikian, secara umum hendaknya guru memilih materi pengajaran dengan menggunakan prinsip mengutamakan karya klasik yang latar ceritanya dikenal para siswa. Guru hendaknya memahami karya sastra yang mereka minati sehingga mudah pula menjangkau kemampuan imajinasi siswa dalam berapresiasi. Ketiga, pembelajaran menyimak khususnya kompetensi dasar menyimak cerita rakyat di SMAN 3 Blitar kurang diperhatikan secara khusus oleh guru pengajar. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Heryadi (254: 2011) bahwa aktivitas pembelajaran menyimak sastra pada lembaga-lembaga pendidikan harus lebih diperhatikan. Hal ini dikarenakan pembelajaran sastra cenderung dominan pada ranah ketrampilan menulis dan membaca saja. Keempat, pembelajaran apresiasi prosa khususnya cerita rakyat yang kurang diaplikasikan secara baik di SMAN 3 Blitar. Dengan menerapakan pembelajaran apresiasi, khususnya apresiasi prosa diharapkan siswa mampu mengenali dan memahani karya-karya sastra khususnya cerita rakyat sehingga siswa lebih mudah mempelajarinya. Siswanto (1994:69) juga menyatakan untuk mengapresiasi sastra siswa harus berhadapan langsung dengan karya sastra. Hail ini sesuai dengan tujuan kurikulernya bahwa siswa mampu mengenal, memahami, dan dapat mengapresiasi karya sastra Indonesia serta dapat mengkomunikasikannya secara lisan atau tulisan. Kelima, siswa kelas X SMAN 3 Blitar belum terbiasa dengan bentuk soalsoal uraian pada tes ketrampilan menyimak. Dalam penelitian ini siswa kelas X SMAN 3 Blitar dituntut untuk mengerjakan soal-soal uraian yang telah disusun oleh peneliti untuk mengukut tingkat kemampuan siswa mengapresiasi tokoh cerita rakyat. Peneliti memilih tes tulis dengan bentuk soal uraian dengan alasan agar siswa lebih leluasa menuangkan ide-ide dan pendapat. Selain itu, evaluasi ketrampilan menyimak cenderung mengukur ranah kognitif siswa. Hal senada juga disampiakan Kosasih (2011:49) bahwa evaluasi untuk kompetensi dasar menyimak dongeng dominan pada ranah kognitif. Ranah kognitif dapat berbentuk tes tulis ataupun tes lisan sehingga mampu mengukur daya apresiasi, kreasi, dan sikap siswa terhadap karya sastra. Kosasih (2011:50) juga menambahkan bahwa evaluasi apresiasi sastra ditujukan untuk mengukur penghayatan serta pandangan siswa terhadap karya-karya sastra klasik yang didengarkan, ditonton, atau *) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 6
dibacanya. karya-karya sastra klasik tersebut mencakup dongeng, cerita rakyat, hikayat, pantun, dan lain-lain. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa siswa kelas X SMAN 3 Blitar tidak mampu mengapresiasi tokoh cerita rakyat karena kurangnya pemahaman siswa teradapat karya sastra prosa khususnya cerita rakyat . Pendapat sesuai dikemukakan oleh Aminuddin (2004:58) bahwa bekal awal yang harus dimiliki seorang apresiator adalah: (1) kepekaan emosi sehingga mampu memahami unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2) wawasan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman aspek kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pertimbangan untuk keseluruhan aspek serta keberhasilan siswa mengacu kepada SKM (Standar Ketuntasan Minimum) untuk masing-masing aspek adalah 75. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa (1) kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar pada aspek mengidentifikasi tokoh cerita rakyat tergolong tidak mampu karena persentase siswa yang mampu mengidentifikasi tokoh cerita rakyat dengan nilai standar ≥75 yakni 72, 41% atau ≤75% dari SKM, (2) kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar pada aspek mendeskripsikan karakter tokoh cerita rakyat tergolong tidak mampu karena persentase siswa yang mampu mendeskripsikan karakter tokoh cerita rakyat berdasarkan fisik, psikis, dan keadaan sosial denggan nilai standar ≥75 yakni 72,41% atau ≤75% dari SKM, (3) kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar menilai tokoh cerita rakyat dengan nilai standar ≥75 yakni 37,93% atau ≤75% dari SKM, dan (4) secara keseluruhan kemampuan siswa kelas X SMAN 3 Blitar mengapresiasi tokoh cerita rakyat tergolong tidak mampu karena persentase siswa yang mampu memperoleh nilai standar ≥75 yakni 68, 96% atau ≤75% SKM. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang diberikan peneliti ditujukan kepada guru pengara mata pelajaran Bahasa Indonesia serta kepada peneliti selanjutnya. Kepada guru disarankan untuk lebih memperkenalkan cerita rakyat kepada siswa dalam pembelajaran apresiasi prosa, sekaligus membantu dan membimbing siswa agar lebih memahami unsur-unsur intrinsik dalam cerita rakyat, khususnya pada tokoh. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini terbukti bahwa kemampuan mengapresiasi tokoh dalam cerita rakyat siswa kelas X SMAN 3 Blitar tergolong tidak mampu. Dengan bimbingan yang intensif maka tidak menutup kemungkinan kemampuan siswa dalam memahami cerita rakyat khususnya tokoh dalam cerita rakyat akan lebih baik dari sebelumnya. Kepada peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian tentang mengapresiasi tokoh dalam cerita rakyat disarankan untuk menggunakan metodemetode tertentu yang dapat mengukur kemampuan siswa secara lebih rinci dalam penelitiannya. Peneliti selanjutnya juga bisa menggunakan rancangan penelitian yang lain seperti eksperimen ataupun PTK untuk mengetahui kemampuan mengapresiasi tokoh dalam cerita rakyat pada siswa kelas X.
*) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 7
DAFTAR RUJUKAN Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Danandjaja, J. 2002. Foklor Indonesia (Ilmu gosip, Dongeng, dan lain-lain). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Djamaris, E. 2011. Peran Sastra Rakyat Nusantara untuk Mencegah Disintregrasi Bangsa Indonesia. Kajian Sastra, 3(2) :151-156 Heryadi, D. Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Menyimak. Pendidikan Sastra dan Karakter Bangsa. 1 (1), 256:275 Kosasih, E. 2011. Sastra Klasik Sebagai Wahana Efektif Pengembangan Pendidikan Karakter. Pendidikan Sastra dan Karakter Bangsa, 1(1) 35:54 Nurgiyantoro, B. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Siswanto, W. 1994. Kemampuan Apresiasi Sastra Sebagai Landasan Pengembangan Kemampuan Berbahasa. Vokal (Telaah Bahasa dan Sastra), 1(5) 69:80 Suyatno. 2011. Nilai Karakter Anak Dalam Novel Karya Anak Usia 10 Tahun. Jurnal Penelitian Sastra Atavisme, 2(4): 268:278 Syafi’ie, I. 1990. Penerapan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dalam Pengajaran Sastra: Sekitar Masalah Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh. Wirwan, T. 2009. Cerita Rakyat Sendang Senjaya Di Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah Sebuah Tinjauan Foklor, (online), (http://teguhwirwan.blogdetik.com/2009/08/27/ cerita-rakyat-sendangsenjaya-di-desa-tegalwaton-kecamatan-tengaran-kabupaten-semarangpropinsi-jawa-tengah-sebuah-tinjauan-folklor), diakses 1 oktober 2011.
*) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 8
*) Dwi Angga Septianingrum adalah mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Page 9