PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (studi putusan Mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012)
DANIEL FRANKY SAPUTRA 12100074
ABTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim didalam menjatuhkan putusan atas tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis data dengan metode silogisme dan intepretasi berdasarkan kata dalam Undang-Undang dengan menggunakan pola berpikir deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi ,tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mana dikaitkan dengan rumusan tentang tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan pertimbangan hukum hakim di dalam menjatuhkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012 bahwa penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sebagai negara yang berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Salah satu aspek pembangunan adalah pembangunan di bidang hukum, yang sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sesuai dengan ketentuan yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Untuk menegakkan negara hukum serta untuk menegakkan tertib hukum guna mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Dalam mencapai tujuan tersebut tidaklah jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum. Dalam kaitannya terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi karena tidak dilakukannya tugas dan kewenangan oleh PPTK untuk mengawasi pelaksanaan pembuatan kebun bibit karet di kabupaten Bangka Selatan, sehingga menimbulkan kerugian Negara, penulis ingin meneliti sejauh mana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya akan disebut UUPTK dapat mengatur tentang kesengajaan yang memunculkan kerugian Negara sebagai unsur tindak pidana korupsi. PPTK yang dengan sengaja tidak melakukan tugas pengawasannya terhadap pengguna anggaran pelaksanaan pembuatan kebun bibit karet di Kabupaten Bangka Selatan pun dapat dijerat dengan UUPTK. Walaupun diketahui bahwa PPTK tidak menggunakan langsung uang Negara untuk memperkaya diri sendiri, namun karena PPTK telah sengaja tidak mengawasi pelaksanaan pembuatan kebun bibit karet sehingga terdeteksi ada beberapa pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pengguna anggaran namun diabaikan, maka UUPTK pun tidak tebang pilih dalam menjerat pelaku tindak pidana korupsi, bukan hanya direktur CV. Berlian Perkasa selaku pengguna anggaran saja yang dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi, namun juga PPTK yang dengan sengaja tidak melakukan tugas dan wewenangnya sebagai pengawas dan pencatat pelaksanaan pembuatan bibit karet juga dapat dijerat hukuman dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi. Dewasa ini, keberadaan mahasiswa dan kaum akademisi ditengah-tengah masyarakat menjadi sangat berarti. Mahasiswa sebagai garda terdepan pembangunan dan
kemajuan Bangsa memiliki beban moral untuk dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang arti pentingnya hukum dan tindak pidana. Istilah korupsi yang sudah tidak asing lagi juga tidak luput dari kacamata kaum awam. Dan keberadaan mahasiswa di tengahtengah masyarakat diharapkan menjadi saluran bagi Negara untuk dapat menyuluh masyarakatnya secara tidak langsung mengenai tindak pidana korupsi. Sehingga diharapkan tindak pidana korupsi di Indonesia akan semakin berkurang dengan terbukanya pola piker dan nalar hukum masyarakat pada umumnya, dan mahasiswa pada khususnya. B.
PEMBATASAN MASALAH Agar penelitien ini tetap mengarah kepada permasalahan dan tidak menyimpang
dari pokok permasalahan hingga menimbulkan tindak pidana korupsi maka diperlukan suatu pembatasan masalah dalam penelitian ini. Mengingat inti permasalahan yang akan diteliti adalah kasus tindak pidana korupsi. C.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis merumuskan
masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, menganalisa, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1.
Penerapan pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan MA no.1183K/Pid.Sus/2012
2.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung no. 1183 K/Pid.Sus/2012
D.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melaksanakan
penelitian agar mampu mewawancari pemecaham isu hukum terkait .Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Mengkaji Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan MA no.1183K/Pid.Sus/2012
b. Mengkaji pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan MA no.1183K/Pid.Sus/2012. 2. Tujuan Subyektif a. Menambah serta memperluas pengetahuan penulis mengenai hukum pidana pada umumnya dan tindak pidana korupsi pada khususnya. b. Melatih
kemampuan
penulis
dalam
menerapkan
teori
ilmu
hukum,
mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna menganalisis mengenai pertimbangan hakim dalam menangani tindak pidana korupsi karena adanya kesengajaan membiarkan pelaksanaan pembuatan kebun bibit karet tanpa pengawasan oleh PPTK yang mengakibatkan kerugian Negara c. Melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang Ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. E.
MANFAAT PENELITIAN
1.
Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. b. Bermanfaat sebagai literatur dan informasi ilmiah dalam konteks kasus tindak pidana korupsi. c. Dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis berikutnya.
2.
Manfaat Praktis Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh selama bangku kuliah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti
II.
KERANGKA TEORI a.
Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana
1) Istilah Hukum Pidana
Pada dasarnya hukum pidana memang berfokus pada pengaturan tentang masalah kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Hukum pidana menjadi penjaga agar mayarakat terhindar dari kejahatan. Apabila Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai The Guardian of Constitution, maka hukum pidana dalam hubungannya dengan kejahatan layak disebut sebagai The Guardian of Security yang berusaha memberikan jaminan agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan. Andi Hamzah dan Sumangelipu menyatakan bahwa hukum pidana itu ada untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum seperti terdapat dalam hukum perdata, dagang, dan tata negara ditaati. Ada sanksi terhadap pelanggaran hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum pidana sering disebut sebagai hukum sanksi istimewa. Ia mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma. Pelanggaran-pelanggaran atas perbuatan tersebut dianggap sedemikian jahatnya, dan pelanggaran atas normanorma tadi disebut kejahatan. Karena itu, tidaklah berlebihan jika istilah hukum pidana yang kita maksud dan dikenal dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia adalah hukum tentang kejahatan. Dalam Bahasa Indonesia tidak dikenal istilah hukum kejahatan, tetapi digunakan istilah hukum pidana. Hal ini disebabkan karena istilah pidana sendiri dipergunakan untuk menerjemahkan istilah poenali dalam Bahasa Latin yang dalam Bahasa Belanda diterjemahkan menjadi straf. Istilah Hukum Pidana dalam Bahasa Belanda adalah Straf Recht. Karena hukum yang digunakan di Indonesia adalah berasal dari Belanda, maka terjemahan yang tepat untuk kata Straf Recht adalah hukum pidana. b.
Tinjauan umum tentang tindak pidana
1)
Pengertian tindak pidana Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah
strafbaar feit dalam Bahasa Belanda, walaupun tidak ada terjemahan resmi dari strafbaar feit. Terjemahan atas istilah strafbaar feit ke dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah misalnya, tindak pidana, delik, peristiwa
pidana, perbuatan yang boleh di hukum, perbuatan pidana, strafbaar feit, dan sebagainya Pembentuk undang-undang Indonesia telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana adalah : a)
Menurut Pompe “strafbaar feit” secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.
b)
Van Hamel merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-ak orang lain.
c)
Menurut Simons, “strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
d)
Menurut E. Utrecht “strafbaar feit” dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen negatif maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).
Sementara, Moeljatno menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat Dalam perundang-undangan Indonesia, dapat ditemukan istilah-istilah yang maksudnya sama dengan tindak pidana (strafbaar feit), antara lain peristiwa
pidana (UUDS 1950 Pasal 14 ayat 1), perbuatan pidana (Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951), perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat no. 2 Tahun 1951), hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat no. 16 Tahun 1951). Sekarang pada umumnya di dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia menggunakan istilah tindak pidana. c.
Tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi
1)
Pengertian tindak pidana korupsi
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam korupsi didefinisikan 4 (empat) jenis : a)
Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
b)
Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
c)
Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk
memperoleh
keuntungan
pribadi,
melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. d)
Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andreae dalam ,kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus (Webster Atudent Dictionary: 1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.
Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh corruptie juga disalin menjadi corruption dalam Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut (A.I.N bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Kramer SR, 1997: 62) mengartikan kata korupsi sebagai : busuk, rusak, atau dapat disuap. Pengertian korupsi menurut Gunar Myrda adalah : To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers . “Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan”. III.
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan untuk menyusun penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doctrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder . B. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum . Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan preskriptif atau penelitian mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Pidana Terhadaap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Penerapan pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 1183 K/Pid.Sus/2012. Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kepada terdakwa PATONI,SP. M.Si bin M. SYAFEI. Karna telah terbukti secara sah dan meyskinkan berwsalah melakukan tindak pidaa ”Korupsi” sebagaimana telah didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6(enam) bulan dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara ditambah dengan denda sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Subsidiair selama 3(tiga) bulan kurungan dengan perintah terdakwa masuk dalam tahanan Putusan hakim atau putusa pengadilan merupakan aspek penting yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana . Dengan demikian dapatlah dikonslusikan lebih jauh bahwa putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum tetang statusnya dan sekaligus dapat menentukan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat meerima putusan, melakukan upaya hukum,bading atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, hakim yang mengadili perkara diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai nilai keadilan dengan memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dengan kesalahannya Putusan hakim sangat dipengaruhi oleh pembuktian yang dilakukan oleh penuntut dalam penyelidikan, penyidikan dan pembuktian didalam sidang. Proses pengadilan akan berakir dengan suatu putusan akir. Dalam putusan tersebut, hakim hanya bisa menyatakan pendapatnya mengenai hal hal yang dipertimbangkan oleh Hakim dalam putusan tesebut. Semua putusan pengadilan akan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila putusan tersebut d ucapkan pada sidang.
B. Dasar Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012 Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012 dapat dilihat dari unsur-unsur dari pasal yang didakwakan kepada Patoni,S.p.,M.Si. bin M. Syafei yaitu Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur-unsur dalam Pasal 3 Undangundang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah : a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu keorporasi Bahwa terdakwa patoni,S.P.,M.Si. bin M. Syafei tanpa melakukan pengecekan secara teliti telah menyetujui pembayaran pekerjaan 100 % padahal masih ada pekerjaan yang belum dikerjakan oleh CV. Brilian Perkasa sehingga mengakibatkan keuntungan bagi pihak CV. Brilia Perkasa. Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah terpenuhi, karena dengan jelas terdakwa Patoni,S.P.,M.Si. bin M. Syafei dengan kesengajaan tidak mengawasi pekerjaan pelaksana kegiatan mengakibatkan keuntungan bagi Pelakasana Kegiatan yaitu saksi Hendra Sanjaya bin Cholid Sanjaya selaku Direktur CV. Brilian Perkasa. b. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan Bahwa terdakwa Patoni,S.P.,M.Si. bin M. Syafei terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan Jaksa / Penuntut umum, yaitu terdakwa selaku Pejabat Pelaksana teknis Kegiatan (PPTK) pembuatan kebun bibit karet pada Dinas Pertanian dan kehutanan Kabupaten Bangka Selatan, tidak mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh saksi hendra Sanjaya bin Cholid Sanjaya (Direktur CV. Brilian Perkasa) sebagai Pelaksana Kegiatan (Kontraktor), sehingga dalam pelaksanaan pengerjaan pembuatan Kebun Bibit Karet tersebut ada beberapa item yang tidak dilaksanakan yang
mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 125.900.000,- (seratus dua puluh lima juta Sembilan ratus ribu rupiah). Unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan
atau
kedudukan
telah
terpenuhi
karena
terdakwa
Patoni,S.P.,M.Si bin M. Syafei telah menyalahgunakan kewenangannya karena
tidak
Mengendalikan
pelaksanaan
kegiatan,
Melaporkan
perkembangan pelaksanaan kegiatan, dan menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan. c. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara Bahwa dengan kesengajaan Patoni,S.P.,M.Si. bin M.Syafei selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) tidak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pelaksana Kegiatan, menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp 125.900.000,- (seratus dua puluh lima juta sembilan ratus ribu rupiah). Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara telah terpenuhi Pertimbangan Hakim mengenai hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terdakwa.
1. Hal-hal yang memberatkan terdakwa a. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 125.900.000,2.. Hal-hal yang meringankan terdakwa a. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan b. Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah c. Terdakwa belum pernah dihukum d. Terdakwa tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan didalam persidangan. V. KESIMPULAN A. KESIMPULAN Dari Penulisan Hukum tersebut, hasil dari pembahasan dan rumusan-rumusan masalah yang ditemui, maka dapat ditarik simpulan, yaitu : Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi oleh Patoni,S.P.,M.Si bin M. Syafei selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang tidak melakukan pengawasan dalam pembuatan kebun bibit karet pada Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bangka Selatan termasuk tindak pidana korupsi karena telah memenuhi seluruh unsur-unsur Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu : a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; b. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan; c. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012 adalah terdakwa Patoni,S.P.,M.Si bin M. Syafei terbukti bersalah karena telah melanggar Pasal 3 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga hakim agung menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsider kurungan 3 (tiga) bulan penjara. B. SARAN Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan penulisan hukum ini adalah : Berdasarkan sudut pandang yang dipaparkan, penulis memberi saran bahwa pemerintah harus lebih memperhatikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai regulasai yang digunakan dalam penyediaan barang dan jasa kaitannya dengan kepentingan umum, sehingga tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat diwujudkan melalui pemahaman yang lebih dalam terhadap peraturan tersebut oleh pejabat pemerintahan terkait, dalam rangka untuk meminimalisir pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan hierarkis perundangundangan yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan pemerintahan. Pertimbangan hukum judex factie dan judex ratio decidendi yang yang termaktup dalam suatu amar putusan, dalam hal ini hakim harus memahami unsur unsur dalam pasal-pasal UU nomor 31 tahun 1999 jo. Undang undang Nomor 20 tahun 2001 yang merupakan lex specialis derogat legi generalie dari suatu aturan Pidana yang bersifat umum yang
terkodifikasi dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana untuk mengetahui tujuan hukum dari formulasi peraturan yang terkait, sehingga dalam mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap seuatu perkara pidana dapat mewujudkan suatu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum dan tidak mencederai rasa keadilan dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2002. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bandung : PT. Alumni. Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua. Bandung : PT. Alumni. Andi Hamzah. 2006. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung : PT. Refika Aditama. Gunar Myrdal, 1968: 973, Asia Dama,Vol II,(NewYork:Patheon,1968),hal 973 Guse Prayudi, 2008, “Tindak Pidana Korupsi Dalam Berbagai Aspek”, Pustaka Press, Yogyakarta Indiyanto Seno Adji, 2009: 172, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta 2009 hal17 John M. Echils dan Hasan Shadily, 1997: 149,Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia pustaka utama, 1997, hal 149 Johny Ibrahim, 2006:44, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, Putra Media Nusantara Dan ITS Press, Surabaya 2006:44 Leden Marpaung, 2001:33, Tindak Pidana Korupsi, sinar grafika: jakarta
P.A.F. Lamintang. 1991. Delik-Delik Khusus, Kejahatan-kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan. Bandung : Mandar Maju. P.A.F. Lamintang. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Prof Moeljianto, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Pt Rineka Cipta, Jakarta Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama. 2007. Wijowasito. 1999. Kamus Hukum Belanda Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum. Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi ketiga. Bandung : PT. Refika Aditama.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1183 K/Pid.Sus/2012