HILANGNYA HAK-HAK ANAK DAN ISTRI AKIBAT NIKAH DIBAWAH TANGAN (Studi di Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh : Muh. Rizki Prasetya NIM : 104044101434
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA U I N SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431H / 2010M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul HILANGNYA HAK-HAK ANAK DAN ISTRI AKIBAT NIKAH DI BAWAH TANGAN (STUDI KASUS DI RW.010 KELURAHAN KEBON SIRIH KECAMATAN MENTENG) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu sayarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Peradilan Islam (Ahwal Syakhsyiyyah). Jakarta, 31 Agustus 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: DRS. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (……………………) 150 169 102
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag, MH.
(..…………………..)
197202241998031003
3. Pembimbing
: DR. H. A. Muhaimin Zen, MA
(…………………….)
010 178 068
4. Penguji I
: Kamarusdiana, S.Ag, MH.
(……………………..)
197202241998031003
5. Penguji II
: Sri Hidayati, M.Ag 197102151997032002
(…………………….)
HILANGNYA HAK-HAK ANAK DAN ISTRI AKIBAT NIKAH DIBAWAH TANGAN (Studi di Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy) Oleh : Muh. Rizki Prasetya NIM : 104044101434
Dibawah Bimbingan Pembimbing
Dr. H. A. Muhaimin Zen, MA NIP : 010.178.068
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA U I N SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431H / 2010M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syaraif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Juni 2010
Muh. Rizki Prasetya
KATA PENGANTAR Alhamdulillah rasa syukur penulis panjatkan kepada sang pencipta alam semesta, Allah SWT., yang mana atas ridho dan rahmatnya yang diberiokan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Karena telah memberikan tauladan kepada penulis hingga dapat melewati masa-mas tersulit menyelesaikan skripsi ini. Dalam masa perkuliahan hingga tahap penyelesaian skripsi ini, telah banyak pihak yang membantu memberikan motivasi bagi penulis. Oleh karenanya dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 2. Drs. A. Basiq Djalil, SH. MA. Selaku ketua prodi Ahwal Al-syakhsiyyah serta Bapak Kamarusdiana, MA. Selaku sekretaris Prodi Ahwal Ah-Syakhsiyyah. 3. Drs. H. A. Muhaimin Zen, MA. selaku dosen pembimbing yang telah membantu memberikan arahan, bimbingan serta saran kepada penulis. 4. Masyarakat serta perangkat Rw 010 Kelurahan Kebon Sirih termpat penulis mengadakan penelitian dan mendapat informasi. 5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas bagi penulis dalam menggali informasi pustaka.
i
6. Orang tua penulis, terima kasih karena telah memberikan semuanya pada penulis. Dan yang terbesar kepada Almarhumah mama, adik-adik penulis. Serta keluarga besar H. Machdum di Tangerang. 7.
Teman-teman seangkatan Kosentrasi Peradilan Agama B yang telah banyak membantu penulis semasa perkuliahan hingga akhir. Sahabat-sahabat Zulkarnaen, M. Indrawan, Farhan , Fajar, Evri, Ika Atikah dan yang lainnya, aku akan merindukan kalian, dan special buat Nurul Khotimah. Terima kasih, ku sulit membalas semua kebaikanmu.
8. Sahabat-sahabatku, Taufan, Vera, Dheby, Oscar, Arif, Astri, Agam, dan Seprina (Seven Adventure), terimakasih atas semua yang telah kita lewati bersama. Kau adalah yang terbaik yang kumiliki. 9. Dan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu melancarkan penyusunan skripsi ini yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan Allah SWT selalu bersamamu.
Jakarta, 31 Agustus 2010
(PENULIS)
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
iii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. ………………………………………..
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………..
7
C. Tujuan dan Manfaat …………………………………………….
8
D. Metodologi Penelitian …………………………………………..
8
E. Metode Pengumpulan Data ...…………………………………...
9
F. Sistematika Penulisan…………………………………………..
10
G. Review Studi Teredahulu ………………………………………
11
BAB II : PERKAWINAN dan AKIBATNYA A. Pengertian, Dasar, Syarat, Rukun, dan Tujuan Pernikahan ……
13
B. Hukum Menikah …………………………………………………
15
C. Akibat Yang Timbul Dari Pernikahan ………………………….
18
D. Pengertian Pernikahan Bawah Tangan ……………...…………
28
E. Faktor-Faktor Pendorong Nikah Bawah Tangan……..……...….
31
BAB III : GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN MASYARAKAT KELURAHAN KEBON SIRIH KECAMATAN MENTENG A. Gambaran Umum ………………………………………………… 33 B. Penduduk …………………………………………………………. 34
iii
C. Pendidikan ………………………………………………………....
34
D. Perekonomian.…………………………………………………….. . 35
BAB IV : PEMBAHASAN SERTA ANALISA MASALAH A. Pembahasan…………………………………… ……….………..
39
B. Analisa Permasalahan ………………………………….………..
66
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………..…… …
71
B. Saran-Saran ..…………………………………………..………..
72
iv
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain. Perekatan manusia berbeda jenis kelamin adalah suatu contoh bahwa manusia itu saling membutuhkan satu sama lain. Upaya melakukan perekatan itu dilakukan dengan cara perkawinan. Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bangsa dengan beribu pulau dengan ratusan suku bangsa terdapat di dalamnya. Kemajemukan yang ada banyak menimbulkan bermacam-macam perbedaan, khususnya dalam tatanan hukum, bahasa, kebiasaan dan banyak lainnya. Indonesia sebagai negara yang sedang membangun mengupayakan untuk mencapai suatu taraf hidup yang lebih baik. Oleh karena itulah disusun suatu materi hukum yang diharapkan bisa mengatur kemajemukan itu sendiri ke dalam satu kesatuan. Hukum merupakan suatu alat pengendalian. Menurut H.F.A. Vollmar, hukum adalah suatu aturan yang sebanyak mungkin harus dipertahankan oleh atasan dan akan dikenakan sanksi apabila melanggarnya. 1 Sanksi berarti bahwa jika aturan tersebut tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya akan menimbulkan efek hukum. Bangsa Indonesia sebagai Negara yang berkembang, sudah mempunyai kodifikasi sendiri dalam mengatur perkawinan yaitu dengan adanya Undang-undang No. 1 1
hal. 1
Terjemah H.F.A Vollmar. Pengantar Studi Hukum Perdata. (Jakarta: CV. Rajawali, 1983)
2
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berisikan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaan dengan syarat pernikahan itu harus dicatatkan. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur bahwa perkawinan itu harus dicatatkan agar apabila terjadi sesuatu di dalam biduk rumah tangga itu dapat mengandung suatu kekuatan hukum. Perkawinan juga menimbulkan hak dan kewajiban, serta hak orang lain yaitu anak. Hak dan kewaijiban itu harus dipenuhi karena manusia memiliki hak tersebut sejak mereka dilahirkan. Bahkan sejak masih dalam kandungan hak itu sudah terdapat (hak waris). Hak itu dibedakan atas hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak adalah hak absolut, yang melekat pada diri seseorang, disamping itu, ada juga kewajiban yang mengikutinya. Hak mutlak terbagi menjadi; 3 1. hak kebendaan (eigendom). 2. hak kepribadian (hak individu atas hidupnya, atas badannya, kehormatan serta nama baiknya). 3. hak keluarga. 2
Lihat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1
3
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 625
3
Sedangkan hak nisbi adalah hak yang memberikan kewenangan terhadap seseorang yang berkewajiban mewujudkan kewenangan haknya, misalnya hak menagih piutang. Keanekaragaman bangsa Indonesia membuat masyarakat indonesia mempunyai culture tersendiri yang bisa menjadi penghalang masyarakat Indonesia untuk membangun. Perubahan tidak langsung diterima dengan mudah sehingga hukumhukum baru sulit untuk dijalankan. Contoh perkawinan harus dicatatkan. Namun kenyataaannya masih tetap saja ada perkawinan yang tidak dicatatkan (pernikahan bawah tangan) dengan berbagai alasan. Padahal akibat yang ditimbulkan dari tidak tercatatnya perkawinan itu sangat besar sekali. Akibat itu bukan hanya berpengaruh pada dirinya sendiri melainkan akan berpengaruh juga kepada anak-anak mereka. Disinilah permasalahan yang ingin diteliti langsung oleh peneliti. Hak-hak anak mulai dipertanyakan. Manusia itu sudah mendapatkan haknya sejak masih dalam kandungan, yaitu hak mutlak. Hak mutlak adalah hak yang diperoleh/sudah melekat pada diri manusia. 4 Disamping hak mutlak manusia juga mendapatkan hak nisbi, yaitu hak tidak melekat pada diri seseorang sehingga hak tersebut hanya menjadi kewenangan. Dilihat dari berbagai aspek, anak-anak sebagai generasi penerus justru lebih banyak memerlukan perhatian dibandingkan kelompok umur dewasa. Laju pembangunan suatu Negara ditentukan oleh mereka. Tapi saat ini hak-hak mereka tidak didengar. Selama ini aspirasi mereka selalu dikebelakangkan, dianggap warga 4
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, h.6
4
Negara kelas dua yang tidak mengerti apa-apa. Padahal anak-anak usia sekolah sudah bisa membedakan mana baik dan mana buruk. Sejak tahun 1954 hingga hari ini, jumlah negara yang menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia telah meningkat dari 50 menjadi 150 negara. Melalui peringatan tersebut, masalah dan problem yang dihadapi anak-anak di dunia menjadi bahan perhatian negara-negara, organisasi dan lembaga-lembaga internasional. Melalui peringatan itu juga, berbagai sumber mengajukan laporan data statistik terbaru mengenai keadaan anak-anak, masalah dan kesulitan yang mereka hadapi serta kondisi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Sebagian dari data itu menyingkap realita pahit kehidupan jutaan anak di seluruh dunia yang hidup serba berkekurangan. Mereka bergelut dengan krisis makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Anak-anak lebih memerlukan perhatian, dukungan dan keamanan di banding kelompok umur yang lain. Masa depan dunia yang lebih baik memerlukan dukungan kesehatan mental dan keamanan anak-anak, tanpa diskriminasi apapun, anak-anak di dunia harus diberi perlindungan khusus oleh seluruh negara di dunia. Riset mengatakan bahwa 50 juta anak dan 41% bayi yang lahir diseluruh dunia tidak mempunyai akta kelahiran. Berarti para orang tua masih kurang menyadari pentingnya pencatatan peernikahan yang akan berdampak kepada hak-hak anak mereka 5 .
5
“Hak-hak Anak”, artikel diakses pada 7 Agustus 2006 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Hak-Hak_Anak"
5
130 juta anak tidak memiliki kesempatan belajar di sekolah dasar, di mana 60 persen dari jumlah tersebut adalah anak-anak perempuan. Secara realitas, ia tidak termasuk anggota masyarakat dan tidak bisa mendapat hak seperti anak-anak lain seperti pendidikan dan kesehatan cuma-cuma. Dari sudut ini, ketika menginjak usia dewasa, dia tentu tidak akan mendapat hak-hak sosial. Anak-anak seperti ini yang tidak memiliki surat pengenal dengan mudah menjadi korban penyelundupan anakanak atau jaringan mafia lainnya. Organisasi buruh dunia dalam laporannya juga menyinggung, sebanyak 245 juta anak usia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia menjadi tenaga pekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8 juta 400 ribu anak lelaki dan perempuan menjadi korban aktivitas ilegal seperti perbudakan, penyelundupan manusia, eksploitasi seks dan dipaksa terjun ke medan militer. Perlu juga dicatat bahwa sebanyak 2 juta anak dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk keperluan seks dan pornografi. 6 Setiap tahunnya lebih dari 700 anak menjadi korban penyeludupan manusia. Mereka diperdagangkan layaknya budak. Dalam hal ini PBB melaporkan bahwa permintaan akan tenaga kerja murah begitu banyak, dan kebutuhan akan anak-anak perempuan dan lelaki dalam perniagaan seks semakin meningkat. Dalam agama Islam, anak-anak memiliki hak-hak khusus. Islam bahkan menggolongkan pendidikan anak yang benar sebagai ibadah. Tidak hanya itu,
6
“Hak-hak Anak”, artikel diakses pada 7 Agustus 2006 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Hak-Hak_Anak"
6
pandangan kasih sayang juga terhitung sebagai amal kebajikan, menghormati kedudukan dan kemuliaan anak-anak dianggap perlu di setiap situasi dan kondisi. Hak anak-anak, hak keluarga dan hak manusia, sudah dijelaskan dalam ajaran Islam. Islam telah menjelaskannya lebih lengkap dari apa yang dipaparkan oleh piagam hak Asasi Manusia atau Konvensi Hak Anak Sedunia. Salah satu kelebihan Islam ialah selain menyodorkan undang-undang dan metode, juga menyuguhkan teladan hidup. Nabi Muhammad SAW, beliau sangat menghormati hak-hak anak dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang. Setiap anak berhak untuk dianggap sebagai individu bebas yang mempunyai hak-hak. Anak-anak berhak untuk memilih keluarga, tempat tinggal dan juga berhak atas pendidikan yang diinginkannya. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1,8 juta pekerja anak, 2,7 juta anak yang terlantar, lebih dari 50 ribu anak yang berkeliaran di jalanan. Di Indonesia, telah terjadi kecenderungan bahwa anak-anak semakin banyak diperkerjakan di bidang pariwisata, terutama di pantai-pantai, dan sering mendapat pelecehan seksual. Anak-anak memang selalu tidak dianggap penting. Apalagi hak-haknya. Tampaknya para wakil rakyat tidak begitu peka dengan masalah perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi di media-media elektronik. Bahkan masyarakat pun seperti salah menginterpretasikan ajaran agama. Selain anak-anak,
perempuan
pun
ikut
menjadi
korban
ketidakadilan
yang
mengatasnamakan agama. Masalahnya, orang-orang itu menafsirkan syariat dan
7
ajaran Islam secara serampangan. Mereka hanya berlindung di balik ayat-ayat yang ditafsirkan secara keliru. Situasi dan kondisi diatas seharusnya membuat kita prihatin dan bertindak agar hal ini dapat segera berkurang, bahkan terhapuskan. Untuk mewujudkan hal itu harus dimulai dari diri kita sendiri, masyarakat, barulah menyebar ke Negara. Dari pemaparan situasi dan kondisi diatas, maka penulis mencoba meneliti, “HILANGNYA HAK-HAK ANAK DAN ISTRI AKIBAT NIKAH DIBAWAH TANGAN
(Studi
di
Kelurahan
Kebon
Sirih
Kecamatan
Menteng)”.
Dimaksudkan untuk memberikan gambaran terhadap tingkat kesadaran masyarakat Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dengan memperhatikan perrmasalahan diatas maka peneliti mengkhususkan permasalahan yang akan dibahas mengenai kesadaran para pelaku pernikahan bawah tangan terhadap hilangnya hak-hak mereka. Yang dimaksud disini adalah hak para pelaku maupun hak anak-anak mereka. Oleh karena cangkupan wilayah Kelurahan Kebon Sirih sangat luas, maka penulis membatasi masalah yang akan dikaji hanya di Rt.02, Rt.05 dan Rt.07 Rw.010 Kelurahan Kebon Sirih dengan jumlah pelaku 4 orang. Pembatasan ini dimaksudkan agar permasalahan yang akan dikaji penulis tidak terlalu meluas.
8
2. Perumusan Masalah a. Bagaimana tingkat kesadaran para pelaku pernikahan bawah tangan terhadap hak-hak anak mereka? b. Bagaimana para pelaku nikah bawah tangan menuntut hak-hak mereka terutama anak-anak mereka?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Penelitian ini ditujukan untuk; a. Mengetahui bagaimana tingkat kesadaran pelaku nikah bawah tangan terhadap hak-hak mereka. b. Mengetahui peluang para pelaku nikah bawah tangan memperjuangkan haknya khususnya anak-anak mereka 2. Manfaat Agar penelitian ini bisa menjadi sumbangsih bagi pemerintah juga pelaku pernikahan bawah tangan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Juga agar hakhak anak indonesia terpenuhi.
D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini melakukan pendekatan sosiologis, dikarenakan subyek yang ingin dikaji lebih banyak mengikuti adat kebiasaan. Namun demikian, penelitian ini
9
sesungguhnya lebih bersifat kualitatif, mengingat alat yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah melalui wawancara dengan nara sumber.
2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris, dimana peneliti mencari sumber-sumber data di lapangan untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yamg lebih khusus.
E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer Data yang diambil melakukan wawancara langsung terhadap objek dan sumber data yang ada dengan instrument pengumpul data berupa angket juga alat perekam. 2. Data Sekunder Dengan menggunakan beberapa referensi, yaitu buku-buku yang terkait, artikel, makalah ataupun media elektronik juga internet untuk lebih memperdalam suatu pemahaman. 3. Teknik Analisa Data Setelah data diperoleh kemudian dilakukanlah analisa secara deskriptif terutama mengenai hal tingkat kesadaran para pelaku nikah bawah tangan, tindakan pemerintah menyelesaikan masalah ini, serta cara anak-anak hasil pernikahan bawah tangan menuntut hak-hak mereka.
10
4. Subyek-Obyek Penelitian Sumber informasi data yang akan dikaji adalah masyarakat pelaku nikah bawah tangan. Dilakukan dengan sample random (acak) agar peneliti mudah menarik suatu kesimpulan
F. Sistematika Penulisan Adapun metode penulisan ini berpedoman sepenuhnya kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang telah diperbaharui oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartya. Dengan disesuaikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Penulisan skripsi ini mengacu pada sistem pembagian bab, dengan beberapa rincian sebagai sub bagian, yaitu: Bab I pendahuluan, dimana disini penulis menjelaskan mengenai latar belakang penulis mengambil judul ini, pembatasan serta perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat, serta metodologi penelitian penulis mengumpulkan data, sistematika penulisan, dan review studi terdahulu. Bab II landasan teori, merupakan pemaparan teori yang penulis dapatkan seputar judul skripsi dalam hal pengertian variable yang berhubungan dengan judul meliputi; dasar, syarat, rukun, dan tujuan pernikahan, hukum menikah, dan pernikahan-pernikahan yang dilarang.
11
Bab III gambaran umum lokasi penelitian tempat penulis melakukan studi. Penulis memaparkan kondisi masyarakat yang menjadi objek penelitian dari segi pendidikan, ekonomi dan kondisi sosial. Bab IV pembahasan dan analisis data, merupakan deskripsi tentang permasalahan yang termaktub di judul berikut analisis penulis mengenai penyebab permasalahan yang timbul di tempat penelitian. Bab V penutup, berisikan kesimpulan dan saran, penarikan pembuktian dari uraian materi permasalahan yang telah terkupas di materi bab IV.
G. Review Studi Terdahulu 1. “Perkawinan Nikah Bawah Tangan dan Pengaruhnya Terhadap Pembagian Harta Waris Akibat Perceraian” (Studi Kasus Pada PA Jakarta Barat) Penyusun; hafiz (2005) Skripsi ini menitikberatkan pada pandangan hukum islam dan juga UU No.1 tahun 1974, khususnya pernikahan bawah tangan. Disini juga dilhat bagaimana PA Jakarta Barat memutus pembagian harta waris. 2. “Mahalnya Biaya Perkawinan Sebagai Faktor Pemicu Nikah Bawah Tangan” (Studi Kasus di KUA Kecamatan Benda Tangerang) Penyusun; Ahmad Syadzaly (2006) Skripsi ini menguraikan faktor-faktor penyebab mahalnya pernikahan di KUA Kecamatan Benda juga cara pemerintah mengatasi permasalahan ini.
12
3. “Tinjauan Hukum Islam dan UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Bawah Tangan”. (Studi Kasus di Depok) Penyusun; Ifi Rahmawati (2003) Skripsi menguraikan faktor penyebab nikah bawah tangan dan akibat hukumnya serta bagaimana tinjauan hukum islam dan UU No.1 tahun 1974 tentang hal ini. 4. “Status Anak dari Pernikahan Sirri dan Dampaknya Terhadap Harta Warisan Yang Diperoleh Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif” Penyusun; Azzah Rawi (2003) Diuraikan pengertian nikah sirri beserta tinjauan hukumnya baik hukum islam maupun hukum positif. Dicari status anak hasil dari hubungan ini menurut kedua hukum diatas, juga dampak anak tersebut memperoleh harta warisan orang tuanya.
13
BAB II PERKAWINAN DAN AKIBATNYA
A. Pengertian, Dasar, Syarat, Rukun, dan Tujuan Pernikahan Perkawinan menurut bahasa adalah al-jam’u dan al-dhomu yang artinya berkumpul. Pengertian lainnya ialah zawaj, bisa diartikan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah, atau wath’u al-zaujah yang bermakna menyetubuhi istri. 1 Nikah berasal dari bahasa arab “nikahun“ yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. 2 Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. 3 Drs. Slamet Abidin mengatakan, perkawinan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga. 4
1
Sulaiman Al Mufarraj, Bekal Pernikahan : Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Kata Mutiara. Alih Bahasa, Kuais Mandiri Cipta Persada, Jakarta: Qithi Press, 2003, h.5 2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h.4
3
Lihat Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1
4
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat ( Bandung: Pustaka Setia, 1999) h.12
14
Bangsa Indonesia sebagai negara yang berkembang sudah mempunyai kodifikasi sendiri dalam mengatur perkawinan yaitu dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berisikan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing dengan syarat pernikahan itu harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan agar pihakpihak yang menuntut haknya apabila hak-haknya itu tidak terpenuhi dengan baik. Selain daripada itu juga ada Kompilasi Hukum Islam yang menguatkannya. Undang-Undang No.1 tahun 1974 menyebutkan syarat-syarat perkawinan itu : 5 1. harus ada persetujuan dari calon mempelai 2. usia pria minimal 18 tahun dan wanita 16 tahun 3. harus mendapat izin orang tua/wali Kompilasi Hukum Islam menambahkan selain daripada di atas dengan adanya 2 orang saksi dan adanya ijab kabul. 6 Menurut hukum islam sendiri, mahar termasuk di dalam syarat-syarat perkawinan. 7 Para jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan yaitu :8 (1) adanya calon istri dan suami (2) adanya wali dari pihak calon mempelai wanita (3) adanya 2 orang saksi (4) sighat akad nikah. Sedangkan Imam Malik mengatakan selain 4 hal tersebut juga diharuskan dengan adanya mahar. 5
Lihat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 6 dan 7
6
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 14
7
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undangundang Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2007) h.61 8
Slamet Abidin dan H. Amiuddin, Fiqh Munakahat, h.65-72
15
Adapun tujuan dari sebuah pernikahan itu adalah : 9 1. melaksanakan dorongan hawa nafsu atau libido seksualitas 2. memperoleh keturunan 3. memperoleh kebahagian dan ketenangan 4. mengikuti sunnah Rasul 5. mengikuti perintah Allah (surah An Nisa ayat 13) 6. untuk berdakwah
B. Hukum Menikah Pada dasarnya para fuqoha sepakat bahwa hukum menikah itu adalah sunnah. Namun ulama zahiri mengatakan bahwa menikah itu hukumnya wajib. Penyebabnya perselisihannya adalah syighot amar firman Allah, ﻓﺎ ﻧﻜﺤﻮا ﻣﺎ ﻃﺎب ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء, ayat ini mengandung
kemungkinan
wajib,
sunnah
atau
mubah
tergantung
kepada
kemaslahatannya. 10 Para ulama Maliki muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib bagi sebagian orang yang takut terjerumus akan zina, tidak mampu berpuasa. Sunnah bagi sebagian lainnya karena syahwatnya tidak terlalu bergejolak, ingin keturunan dan ada kemampuan. Mubah untuk sebagian golongan dikarenakan kekhawatiran terhadap kesulitan dirinya, tidak suka membujang, dan tidak ingin mempunyai keturunan.
9
Ibid, h.12-18
10
Dawud Az Zahiry, Fiqh ‘ala Madzahibul Arbaah 4. H.4
16
1.
Wajib Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya mendesak,
serta takut terjerumus dalam perzinahan. Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib, maka menikah menjadi wajib untuk menghindari zina.
☺ ☺ ☺
⌦
⌧
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budakbudak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. An Nuur Ayat 33)
17
Ulama Malikiyah memberikan beberapa kriteria tentang wajibnya menikah bagi seseorang, yaitu : 11 a. apabila takut dirinya akan terjerumus ke dalam lembah perzinahan. b. untuk mengekangnya tidak mampu berpuasa, atau apabila mampu tetapi tidak mampu mengekang nafsunya. c. tidak mampu menyatukan kekayaan umat. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, sama seperti ulama Malikiyah, namun ditambahkan dengan mampu memberikan mahar dan memberi nafkah. 12 2.
Sunnah Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, namun masih bisa
mengendalikan diri dari perbuatan zina, maka hukum menikah bagi dia adalah sunnah. Namun menikah lebih utama bagi dia karena menjalani hidup seperti pendeta (tidak menikah) sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. 13 ( ﻋﻦ أﺑﻮاﻣﻤﺔ ﺗﺰوﺟﻮاﻓﺎﻧﻲ ﻣﻜﺎﺛﺮﺑﻜﻢ وﻻ ﺗﻜﻮﻧﻮاآﺮهﺒﺎﻧﻴﺔ اﻟﻨﺼﺎرة ) روي اﻟﺒﻴﻬﻖ Artinya ; “nikahlah kalian karena aku akan membanggakan jumlah kalian pada umatumat yang lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta nasrani.” (HR. Baihaqi) Ulama-ulama Hanafiyah maupun ulama Hanbaliyah, sepakat bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus ke lembah 11
Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Penerjemah Bisri Ida, dkk, cet.1 (Jakarta: Rineka Cipta, 1992) h.8 12 Ibid., h.8 13
Tim Al Manar, Fikih Nikah : Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, Cet.2 (Bandung; Cipta Media, 2006) h.13
18
perzinahan. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang kurang menyukainya, tetapi ingin memiliki keturunan. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap sunnah bagi orang yang ingin menjaga ketenangan jiwa dan mendapatkan keturunan. 14
3.
Haram Bagi orang yang tidak menginginkan menikah karena tidak mampu
memberi nafkah, baik nafkah bathin maupun lahir kepada istrinya serta mempunyai penyakit yang cukup gawat yang ditakutkan akan menular pada istri dan anaknya, maka hukum menikah adalah haram. 15 4.
Makruh Menikah menjadi makruh bagi seseorang apabila dia lemah syahwat, tidak
mampu memberi nafkah lahir, dan tidak mempunyai nafsu yang kuat. 5.
Mubah Ulama Hambali mengatakan bahwa menikah hukumnya mubah apabila
orang tersebut tidak ingin menikah. Juga apabila tidak mempunyai alasan-alasan yang mewajibkanya untuk menikah. 16
14 15 16
Ibid., h.14 Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h.9 Slamet Abidin dan H. Amiuddin, Fiqh Munakahat, h.33-36
19
C. Akibat Yang Timbul Dari Pernikahan Keluarga adalah unit terkecil didalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, atau keluarga sedarah lurus keatas maupun kebawah. Keluarga timbul akibat adanya perkawinan. Dalam setiap perbuatan pasti terbentuk sebab dan akibat, hal ini pun tak terlepas dari perbuatan perkawinan. Oleh karenanya pihak-pihak yang akan melangsungkan pernikahan harusnya mengetahui hal-hal yang akan timbul setelah akad. Akibat yang timbul dalam perkawinan hanya bisa dipertanggung jawabkan setelah terjadinya akad. Setelah akad terlaksana maka secara otomatis, apa yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anak perempuannya beralih kepada suaminya. Peralihan ini meliputi segala hal termasuk hak-haknya. Hak itu dibedakan atas hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak adalah hak absolut, yang melekat pada diri seseorang, disamping itu, ada juga kewajiban yang mengikutinya. Hak mutlak terbagi menjadi; 17 1. hak kebendaan (eigendom). 2. hak kepribadian (hak individu atas hidupnya, atas badannya, kehormatan serta nama baiknya). 3. hak keluarga.
17
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 625
20
Sedangkan hak nisbi adalah hak yang memberikan kewenangan terhadap seseorang yang berkewajiban mewujudkan kewenangan haknya, misalnya hak menagih piutang. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengemukakan hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. 18
Pasal 30 Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tanggadan pergaulan hidup bersama masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Pasal 32 (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama. Pasal 33 18
Lihat Undang-Undang No.1 Tahun 1974
21
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu pada yang lainnya.
Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi isatrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami dan istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Dari pemaparan diatas dapat kita ketahui apa yang menjadi hak istri menjadi kewajiban suami, begitu pula sebaliknya apa yang menjadi hak suami menjadi kewajiban istri. Ringkasnya dapat penulis simpulkan apa yang menjadi hak istri dan menjadi kewajiban suami adalah; 1. Nafkah Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan sang istri harus dipenuhi oleh suami dengan batas kemampuannya. Baik disini adalah nafkah lahir maupun nafkah batin, suami wajib memenuhinya. Karena setelah akad terjadi beban nafkah lahir yang tadinya adalah kewajiban orang tua, otomatos beralih kepada suami. Jadi tak ada alas an bagi suami untuk memungkirinya. 2. Perlindungan
22
Hal ini penting dikarenakan seperti yang kita ketahui bersama bahwa kaum adam adalah pengayom kaum hawa. Maka dari itu wajib bagi suami untuk melindungi istrinya dari segala sesuatunya. Dalam agama islam, bentuk perlidungan terhadap istri digambarkan sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An Nisa ayat 19
⌧ ☺ ⌧ ☺ ☺
⌧
⌧ Artinya; Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An Nisa ayat 19) Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
23
Keterangan lain dari ayat ini menyebutkan bahwa suami patut melindunginya dengan patut walau suami kurang menyukainya. Adapun perlindungan lain dari seorang suami terhadap istrinya adalah menyediakan tempat tinggal yang layak. Hal ini bertujuan agar si istri dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai ibu rumah tangga.
3. Waris Kewarisan akan jatuh kepada sang istri secara otomatis apabila suaminya meninggal dunia apabila tidak ada perkara yang menghalanginya. Apa yang menjadi harta waris adalah harta bawaan maupun harta bersama yang telah dikumpulkan dalam masa biduk rumah tangganya berjalan. Harta ini akan dibagikan setelah dipotong untuk keperluan si mayit. Adapun hal lain yang ditimbulkan dari pernikahan adalah dam hal pengasuhan dan pendidikan anak. Keluarga meliputi suami, istri, dan anak. Satu sama lain saling berkaitan dan tak dapat terlepas. Perkawinan juga menimbulkan hak terhadap orang lain yaitu anak. Manusia itu sudah mendapatkan haknya sejak masih dalam kandungan, yaitu hak mutlak. Hak mutlak adalah hak yang diperoleh/sudah melekat pada diri manusia. 19 Disamping hak
19
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, h.6
24
mutlak manusia juga mendapatkan hak nisbi, yaitu hak tidak melekat pada diri seseorang sehingga hak tersebut hanya menjadi kewenangan. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tuanya, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. Jadi disini orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya. Diantara hak-hak itu meliputi;
1. Ekonomi Orang tua wajib memberikan nafkah pada anak-anaknya. Dalam segala hal dan bentuk, orang tua mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala yang dibutuhkan oleh anaknya dalam hal materiil. Meliputi sandang dan pangannya, teampat tinggal, serta kebutuhan ekonomi lainnya. Hal ini akan menjadi tanggung jawab orang tua hingga sang anak dewasa atau telah menikah. Batas umur dewasa dimaksud adalah 18 tahun sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 47 ayat 1. Ekonomi sangat berperan penting bagi perkembangan anak. Karena pendidikan dan segala sesuatunya di dunia ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu menurut penulis, dijaman sekarang yang serba modern ini memerlukan perekonomian yang bagus agar anak pun bisa mengikuti perkembangannya dengan baik.
25
Peran ekonomi juga menjadi penunjang bagi kesejahteraan dan kesehatan sang anak sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social. 2. Pendidikan Kewajiban orang tua yang lain terhadap anaknya adalah pendidikan. Sebagai mana mungkin seorang tua harus mendidik anak-anaknya sebagai bekal masa depannya nanti. Pendidikan yang harus diterima anak bukan hanya di sekolah, tapi yang lebih penting dirumah. Perilaku seorang anak dapat tercermin dari pendidikan yang didapat dari orang tuanya dirumah. Dengan kata lain orang tua berperan penting dalam penunjang masa depan anaknya. Orang tuanya lah yang mengajarkan perbuatan baik dan buruk. Orang tua adalah teladan bagi sang anak. Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, menyebutkan bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus lebih dulu menanamkan pohon-pohon keimanan dalam diri si anak. 20 Hal ini dimaksudkan agar anak-anak kita sudah mempunyai bekal yang kuat sebelum terjun ke masyarakat. Ini menunjukan pentingnya ilmu bagi umat manusia. Setiap anak juga berhak menentukan pendidikannya sendiri demi pengembangan tingkat kecerdesannya dengan pengawasan dari orang tuanya. Pendidikan ini tak bisa dipaksakan. Biarkan sang anak berekspresi sendiri. Karena kita tidak bisa membatasi daya fikir anak. 3. Perlindungan
20
2008
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Berakhlak Mulia Sejak Belia. Jakarta; Titian Pena,
26
Setiap manusia pastinya butuh perlindungan, tak terlepas pula dengan seorang anak. Anak akan membutuhkan perlindungan dari orang tuanya. Karena siapa lagi yang bisa melindungi dan menjaganya selain orang tuanya. Kewajiban orang tua pula untuk melindunginya dari api neraka dengan bekal pendidikan agama. Maka dari itu diperlukan kesiapan yang khusus dari seseorang sebelum melangsungkan pernikahan. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 21 Anak juga behak mendapat istirahat, bermain sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan dengan perlindungan dan pengawasan dari kedua orang tuanya. Anak mjuga berhak mendapat kasih saying dari kedua orang tuanya sebagai wujud rasa perlindungan orang tua terhadap anaknya. 4. Nama Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan. Selain itu seaorang anak juga berhak mengetahui siapa orang tuanya dan mendapat pengasuhan dari orang tuanya sendiri. 5. Berpendapat
21
Lihat Pasal 3 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
27
Kita wajib menghargai pendapat siapapun termasuk pendapat anak. Jangan hanya beranggapan dia masih kecil sehingga kita menyepelekan pendapatnya. Mereka berhak menyatakan pendapat, mencari dan menerima informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya. 6. Waris Setiap anak didunia ini pastilah mewarisi kekayaan dari orang tuanya. Hal ini telah diatur oleh Undang-Undang maupun Al Quran dengan sangat baik. Waris akan langsung jatuh ketangan si anak bila tidak ada perkara yang menghalanginya.
Sebab-sebab mewarisi dalam islam; 22 1. Al Qarabah Atau kita menyebutrnya hubungan pertalian darah. Yaitu ahli waris yang ada pertalian darah, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak, diberi hak untuk menerima bagian menurut jauh dekatnya pertalian darah.
⌧
☺
⌧
☺ ☺ ⌧ Artinya; Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu22
Drs. Ahmad Rofiq, MA. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta; Raja Grafindo, 1995.
28
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An Nisa Ayat 7) 2. Al Musaharah Atau hubungan perkawinan. Perkawinan secara tak langsung menimbulkan waris, perkawinan yang dimaksud disini adalah perkawinan yang sah menurut agama dan Negara. 3. Al Wala’ Adalah hubungan kewarisan yang timbul akibat memerdekakan hamba sahaya atau melalui perjanjian tolong menolong.
D. Pengertian Nikah Bawah Tangan Di dalam masyarakat Indonesia mengenal beberapa jenis perkawinan. Diantaranya pernikahan bawah tangan. Nikah bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan pernikahan tetapi dianggap sah menurut agama karena sudah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pernikahan itu sendiri menurut hukum agama. Walau agama menyatakan perkawinan ini sah namun menurut hukum perdata (BW) belum dianggap sah karena belum dicatatkan di catatan sipil. Masyarakat indonesia umumnya masih mengikuti adat kebiasaan yang berlaku dahulu, yaitu dengan menganggap bahwa perkawinan itu sudah cukup dilakukan hanya melalui para pemuka agama. Tapi sebenarnya kalau kita mau mengkaji lebih
29
dalam bahwa itu semua belumlah cukup. Kita ingin maju, oleh karena itu kita perlu peraturan. Pencatatan pernikahan itu sebenarnya sangatlah penting untuk mendapatkan hak-hak kita sebagai warga Negara Indonesia. Selain hak-hak kita itu juga berpengaruh terhadap hak-hak keturunan kita. Bisa bayangkan apabila perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah menurut Negara berarti anak hasil perkawinan kita tidak akan dipandang oleh Negara. Nikah bawah tangan atau islam menyebutnya nikah sirri yang dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (KUA). Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka. 23 Dan definisi tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’I dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh
23
h.21
Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, cet.I, (KSA: Darul Ashimah, 1426 H)
30
pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat. DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat”. 24 Dalam pendapat lain pernikahan siri diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. 25 Namun yang lebih tepat disini adalah pernikahan sirri, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
24
Ibid., h.22 Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/) 25
31
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara. 26 Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga tidak berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, seorang qadhi tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh. 27
E. Faktor-faktor Pendorong Nikah Sirri
26 27
Ibid., Ibid.,
32
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Diantaranya adalah: 1.Faktor Sosial a. Problem Poligami. Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau bahkan melarangnya. b. Undang-undang usia. Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.
c. Tempat tinggal yang tidak menetap. Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya. 2. Faktor Harta Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan kebanggan bagi mereka. Tatkala ada pasangan suami istri yang ridho
33
dengan dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir akan diejek oleh masyarakatnya. 3. Faktor Agama Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi. 28
28
Ahmad Bin Yusuf Ad Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, h.85-89
33
BAB III GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN MASYARAKAT RW.010 KELURAHAN KEBON SIRIH KECAMATAN MENTENG
A. Gambaran Umum Kelurahan Kebon Sirih terletak di bagian barat wilayah kecamatan Menteng Pusat kota Jakarta. Dengan luas wilayah yang hanya 83,40 Ha terbagi menjadi 10 Rukun Warga (RW). Menjadikan daerah ini padat penduduk. Menurut peruntukan tanah lahan utama yang digunakan untuk perumahan penduduk hanya 64,60 Ha, sisanya digunakan untuk fasilitas umum dan lain-lain. Daerah RW.010 sendiri hanya seluas 5,13 Ha, dengan luas hanya sedikit ini namun memiliki kepadatan penduduk 2556 jiwa. Keadaan rumah disini berdempetdempetan dan berlorong-lorong menjadikan daerah ini terpadat nomor dua di kelurahan kebon sirih. Berisikan tidak sampai seperempat bangunan yang permanen karena rumah yang berdempet dan sulit menemukan tanah kosong sehingga warga disini hanya membangun rumah yang semi permanen sebagai tempat tinggal, termasuk pula bangunan masjid, MCK, dan tempat-tempat umum lainnya. Bangunanbangunan disini pun rata-rata menjulang keatas (bertingkat) karena terbatasnya lahan tempat tingal. Dan daerah ini pun menjadi daerah yang rawan banjir karena dilalui oleh kali ciliwung. Wilayah RW.010 berbatasan langsung dengan, -
utara : kali ciliwung
34
-
timur : RW.008
-
barat
-
selatan : kelurahan cikini
: jalan menteng raya
Kepadatan penduduk menjadikan daerah ini rawan akan segala tindak kejahatan. Menjadikan daerah ini disegani dibanding daerah lain di kawasan kelurahan kebon sirih. Obat-obatan terlarang, perkelahian massa, seperti sudah menjadi keseharian di daerah ini. B. Penduduk Wilayah RW 010 adalah wilayah dengan penduduk yang paling padat bila dibandingkan dengan RW lain yang terdapat di wilayah kelurahan kebon sirih. Jumlah kepala keluarga yang tercatat dikelurahan adalah sebanyak 619 kepala keluarga WNI dan tambahan 1 kepala keluarga WNA. Jumlah keseluruhan adalah 620 kepala keluarga, yang terbagi atas 507 laki-laki dan 113 perempuan. 1 Jumlah penduduk keseluruhan mencapai 2556 jiwa. Dengan perincian, jenis kelamin laki-laki sebanyak 1294 jiwa, dan jenis kelamin wanita sebanyak 1261 jiwa. Ditambah warga asing perempuan 1 jiwa. C. Pendidikan Dengan kepadatan yang telah dipaparkan diatas, harusnya menjadikan daerah ini sebagai penghasil bibit-bibit penerus bangsa yang banyak. Namun sangat disayangkan, faktor pendidikan anak-anak yang ada disini kurang darikata cukup. Hal ini dikarenakan pendidikan bukan prioritas bagi para orang tua dengan alasan 1
Data pada bulan oktober 2008
35
mahalnya biaya pendidikan. Perbandingan anak-anak yang sekolah hingga SLTA hanyalah seperempat dari jumlah anak yang ada. Lainnya adalah lulusan SD dan SLTP ataupun tidak tamat sekolah. Dan parahnya anak-anak yang menginjak bangku perkuliahan bisa terhitung dengan jari. Ekonomi yang sangat pas-pasan menjadikan anak-anak disini harus bisa mencari biaya sendiri untuk membantu keluarga. Kerja serabutan atau berjualan menjadi andalan mereka. Tak jarang mereka melakukan perbuatan melawan hukum untuk menghidupi keluarga. Obat-obatan terlarang sangat terkenal disini. Tak terhitung sudah anak-anak yang mati karena memakai obat-obatan terlarang, tapi tidak membuat warga sadar karena itu bagi sebagian warga adalah sumber mata pencaharian mereka. D. Perekonomian Masyarakat RW. 010 Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng Kepadatan penduduk yang terjadi menandakan bahwa penghasilan masyarakat disini rendah. Pekerjaan sebagian penduduk adalah buruh ataupun berdagang. Ditambah lagi dengan minimnya pendidikan yang dianyomi oleh pemuda-pemuda yang ada menjadikan mereka sulit berkembang dan mendapat pekerjaan yang layak. Kebanyakan penghasilan dari keluarga disini adalah berdagang ataupun menjadi buruh. Anak-anak mereka pun seperti mereka. Ikut bekerja membantu orangtuanya. Hal ini menjadikan mereka sulit untuk mandiri dan berkembang. Mereka tidak akan jauh-jauh dari orang tua mereka. Menambah beban malah bisa
36
dikatakan begitu. Tidak mempunyai keinginan untuk keluar dan mencoba untuk maju. Berfikiran pendek. Mereka sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk keluar. Bahkan setelah berkeluarga pun mereka tetap tinggal disini. Dengan alasan daerah ini sangat dekat kemana-mana. Dengan demikian menjadikan wilayah ini semakin sempit karena luas wilayah yang tidak juga bertambah namun penduduknya terus bertambah dan sesak. Perniagaan menjadi agak lumayan di daerah ini. Tidak akan sulit mencari warung ataupun rumah makan karena hampir di tiap-tiap gang ada yang berjualan. Namun ada beberapa kegiatan perniagaan yang meresahkan di daerah ini. Penjualan obat-obatan terlarang marak disini. Dari dulu daerah ini terkenal dengan hal tersebut. Masyarakat yang ada terlalu masa bodoh dengan keadaan sekitar apalagi bila menyangkut urusan perut. Beberapa masyarakat yang ada dan tahu akan hal ini tidak ada yang berani melapor ke pihak berwajib dengan alasan tidak enak hati dengan orang tersebut karena merupakan warga asli. Bisa disebutkan bahwa perekonomian di wilayah ini sangat rendah. Hal ini disebabkan mungkin karena kurangnya lahan pekerjaan. Rata-rata penduduknya adalah karyawan swata, buruh, dan lain-lain. Oleh karenanya penghasilan penduduk disini tidaklah besar sehingga berdampak kepada taraf hidup keluarga di bawah ratarata. Hal ini menjadikan nak-anak di wilayah ini putus sekolah dengan alasan tidak mempunyai biaya. Dengan banyaknya anak-anak yang putus sekolah menjadikan wilayah ini sukar untuk maju.
37
Masalah perekonomian yang rendah ini menjadi faktor pembentuk jati diri para anak-anak di lingkungan ini. Perhatian yang kurang menjadikan mereka sering salah pergaulan. Ditambah dengan maraknya kenakalan remaja yang sudah sangat memprihatinkan membuat mereka semakin tak terkendali. Di usia yang masih tergolong muda, mereka sudah mengenal rokok, minuman keras, obat-obatan terlarang, bahkan seks bebas. Maka tidaklah mengherankan apabila di umur sekitar 17-an mereka sudah ada yang menikah. Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa kebiasaan buruk sudah mulai ditinggalkan. Saat ini beberapa orang tua sudah tersadar akan pentingnya pendidikan. Beberapa pemuda pun tergerak untuk berubah ke taraf hidup yang lebih baik. Sudah ada yang berani keluar untuk maju. Ketaatan dalam hal beribadah pun sudah mulai berkembang. Beberapa pengajian terbentuk disini. Membuka peluang untuk belajar melalui taklim-taklim baik ibu maupun bapak. Ada beberapa fasilitas umum di daerah ini, diantaranya; rumah sakit, hotel, museum, tempat beribadah dan MCK yang bisa dikatakan lumayan terawat. MCK disini menjadi kebutuhan pokok warga karena dengan bangunan rumah yang semi permanent, sempit, dan berisikan beberapa kepala keluarga mustahil untuk membangun kamar mandi yang baik. Dibutuhkan perhatian yang sangat khusus sekali dari para orang tua untuk mendidik anak-anak di lingkungan ini. Karena lengah sedikit saja, anak-anak meraeka sudah terjerumus dengan pergaulan lingkungan yang meresahkan.
38
Maka dari itu dibutuhkan kewaspadaan yang besar dari para orang tua agar anak-anak tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Mungkin dengan mengontrol anak-anak mereka termasuk kedalam protek yang baik untuk masa depan anaknya.
39
BAB IV PEMBAHASAN SERTA ANALISA DATA A. Pembahasan Dalam masyarakat perkotaan, segalanya mudah didapatkan. Informasi cetak maupun elektronik begitu cepat tersebar. Apalagi di era digital ini, tidak ada satupun berita yang tidak teraktual. Oleh karenanya sangatlah tidak mungkin apabila masyarakat perkotaan ketinggalan berita. Mulai dari berita yang tak lazim untuk diberitakan atau memang berita yang layak untuk diberitakan tersaji jelas di masyarakat perkotaan. Media elektronik dapat ditemukan disini. Bisa dikatakan 1 : 1000 masyarakat yang tidak mempunyai alat elektronik. Karena alat elektronik di masyarat perkotaan adalah kebutuhan primer bagi masyarakat perkotaan. Selain itu media cetak pun dapat dengan mudah didapatkan. Mustahil di ibukota sulit untuk mendapatkan media cetak. Dipinggir-pinggir jalan banyak sekali pedagang asongan menjajakan Koran. Biasanya dihalaman pertama pasti terpampang berita terbaru dan terpanas di negeri ini. Oleh
karenanya
dapat
dipastikan
adanya
perundang-undangan
baru
penyempurnaan pada undang-undang terdahulu tentunya akan mudah di dapatkan. Tinggal kita mencari cara yang tepat untuk mengaplikasikannya kepada masyarakat. Tidak dapat kita pungkiri, di masyarakat kita, walaupun sudah maju cuma sulit untuk menerima hal-hal baru yang menuju kearah positif. Sangat berbalik dengan hal-hal baru yang bersifat negatif maka akan dengan sangat cepat sekali teraplikasi.
40
Pernikahan adalah sebuah akad yang agung. Dibangun di atas dasar hak dan kewajiban pasangan suami istri kepada sang Kholiq dan kepada sesama. Islam pun mengaturnya sejak awal proses pemilihan pasangan hidup, prosesi pernikahan itu sendiri, saat-saat bersama mengayuh biduk maupun ketika terselimuti kabut fitnah. Bahkan ketika porak poranda sekalipun Islam mengaturnya. Islam mensyaratkan akad dari seorang wali wanita dengan disaksikan dua orang saksi, serta mensyariatkan agar diumumkan kepada masyarakat adanya ikatan agung ini. Dan berlayarnya bahtera ini dibarengi dengan keridhoan dan kebahagiaan, tanpa ada keresahan sosial dan pandangan curiga dari masyarakat sekitar. Namun seiring dengan semakin jauhnya manusia dari cahaya nubuwwah, bermunculanlah manusia yang melalaikan kewajiban. Suami pura-pura lupa tugasnya atau istri terlalu berani pegang kendali. Di luar rumahpun ada orang-orang yang mau bersaksi palsu, muncullah problematika baru yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal itu dan untuk kebutuhan-kebutuhan penting lainnya maka dibutuhkanlah sebuah bukti akurat berupa pencatatan akad pernikahan oleh sebuah lembaga resmi. Pemerintah muslim di seluruh dunia pun mewajibkan pencatatan pernikahan pada lembaga resmi tersebut. Banyak maslahat yang diperoleh dan banyak mafsadah yang dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalkan dengan hal baru ini, pencatatan akad nikah. 1
1
Abu Ubdaidah, “Nikah Ilegal, Nikah bermasalah”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/02/26/menikah-sirri-nikah-urfi-antara-hukum-syari-undangundang-negara/
41
Meski bukan syarat sah sebuah pernikahan, dan pernikahan tetap sah selama terpenuhi syarat rukun secara syar’i, namun karena pencatatan akad nikah diwajibkan oleh pemerintah maka wajib bagi setiap insan beriman untuk menaati ketetapan ini. Bukankah merupakan salah satu pokok aqidah Ahlussunnah yang sudah mapan bahwa wajib menaati pemerintah selagi bukan untuk maksiat kepada Allah. Jika peraturan semacam ini dianggap tidak wajib, lalu peraturan pemerintah macam apa lagi yang akan menjadi wajib. Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturanaturan lain yang telah ditetapkan oleh negara. 2 Berdasarkan keterangan diatas, masyarakat yang pro terhadap nikah sirri menyimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul.
2
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/)
42
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. 3 Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain
3
72
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat ( Bandung: Pustaka Setia, 1999) h.65-
43
sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut. 4 Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis. Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi hukum kepada orang yang melakukan tindakan melanggar
4
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/)
44
hukum. 5 Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadhi dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi akibat pelanggaran hukum yang telah ditetapkan oleh khalifah. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak
5
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/)
45
memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara padahal negara telah menetapkan aturan tersebut telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan. Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara. 6 Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah) 7 . Nabi saw bersabda; ﻋﻦ أ ﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎ ﻟﻚ أن ﻋﺒﺪ اﻟﺮ ﺣﻤﻦ ﻋﻮ ف ﺗﺰوج ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ر ﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ( وزن ﻧﻮاة ﻣﻦ زهﻦ ﻓﻘﺎ ل ﻟﻪ رﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ أو ﻟﻢ و ﻟﻮ ﺑﺸﺎ ة )ر و ى ﻣﺴﻠﻢ 6
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/) 7
M.A. Tihari dan Sohari Sahroni, Fikih Munakahat Kajian: Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) h.132
46
Artinya : “Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim] 8 Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum. 9 Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahankemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah. 10
8
A. Razak dan Rais Lathief, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Cet.2 (Jakarta; Pustaka Al Husna, 1980) h.177 9
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/) 10
Ibid.,
47
Masyarakat Indonesia ini adalah masyarakat yang konsumtif, tapi sayang dalam hal negatif. Bila hal itu mengarah ke perbaikan maka ada saja alasan masyarakat menolak hal ini. Seperti baru-baru ini pemerintah hendak mengeluarkan peraturan baru, yakni menjatuhkan sanksi pidana terhadap pernikahan sirri, masyarakat dengan lantang menolak ini. Hal ini bahkan didukung oleh para pemuka masyarakat untuk menolak peraturan ini. Mereka beralasan bahwa nikah sirri itu sah secara agama. Penulis setuju dengan hal ini, tapi seharusnya masyarakat itu juga sadar bahwa pemerintah mengeluarkan peraturan ini semata-mata untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Sepertinya masyarakat itu masih ingin melaksanakan pernikahan sirri. Padahal apa susahnya menikah resmi. Tinggal datang ke pejabat terkait, lalu daftarkan diri. Tidak repot dan prosesnya juga cepat. Bila alasan masyarakat adalah biaya, toh nikah sirri juga memerlukan biaya. Bahkan tidak beda jauh dengan nikah resmi. Atau kita usul saja ke pemerintah agar ada pengurangan biaya nikah untuk masyarakat tidak mampu. Jadi tidak perlu ada pro dan kontra dalam permasalahan nikah sirri. Dan baiknya pula, para pemuka masyarakat mendukung pemerintah menerapkan hal ini. Agar tidak ada jarak antara pemerintah dengan masyarakat. Sebagai warga yang baik dan ingin menuju ke perubahan yang lebih baik lagi, kita wajib mendukung gerakan pemerintah yang mengarahkan kita kearah perbaikan. Jangan kita cemooh. Harusnya kita senang karena pemerintah masih mau memikirkan kita.
48
Jadi segala peraturan yang baru itu harus bisa di aplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi undang-undang yang telah berjalan lama seperti undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang telah memasuki usia lebih dari 35 tahun. Harusnya telah mendarah daging dan tidak ada lagi persoalan terlebih di kota besar. Pernikahan sebagai sesuatu yang sangat sakral dan telah diatur oleh pemerintah hendaklah dipatuhi. Tidak ada alasan sebagai masyarakat yang sadar hukum untuk mengesampingkan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Meskipun dengan berbagai alasan yang dapat di mengerti oleh nalar. Karena pemerintah pun pasti punya solusi akan masalah atau kendala terhadap semua peraturan yang telah dibuat. Sejarah pencatatan akad nikah dimulai ketika kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, dimana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis. 11 Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat
11
, Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, cet.I, (KSA: Darul Ashimah, 1426 H)
h. 5
49
tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”. 12 Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, diantaranya: 1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut. 2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tidak ada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari. 3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
12
Abu Ubaidah as-Sidawi, Hukum Menikah Sirri (Nikah 'Urfi)? (Antara Hukum Syar'i & Undang Undang Negara), artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http://abiubaidah.com/
50
4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya sebelum melakukan pernikahan. 5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu. 13 Dalam, kiprahnya di masyarakat selama 35 tahun sepertinya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sepertinya tidak mengena langsung di masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari penemuan penulis disini dimana masih ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Untuk dewasa ini sepertinya diperlukan revisi terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974, mengingat adanya pro kontra mengenai pemidanaan pelaku nikah sirri. Sebagian masyarakat yang kontra merasa keberatan dengan hal ini, karena menurutnya hal ini tidak dilarang dalam agama. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menilai berlebihan jika kemudian nanti orang yang menikah siri dihukum pidana. Menurutnya lebih baik pemerintah mengurusi saja masalah perzinahan. Maraknya perzinahan di negeri ini. Jangan kemudian orang yang sudah sah menikah secara agama Islam kemudian dibayangbayangi dengan pidana.
13
. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, h.74-75
51
Sebaiknya pemerintah melakukan pendekatan dengan pembinaan secara baik. Ini bisa dilakukan melalui para tokoh-tokoh dan pemuka agama Islam di negeri ini. Karena sebenarnya kesadaran umat untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA juga sudah sangat tinggi. Jangan kemudian pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hukum pidana. 14 Di satu sisi, bisa saja mereka yang menikah siri adalah karena terkendala masalah dana, jika pernikahannya dicatatkan di KUA. Dikatakan dalam Undangundang biaya untuk menikah di KUA murah. Tapi menurut masyarakat kenyataannya di lapangan tidak demikian. Mereka yang tidak memiliki dana cukup untuk ke KUA, lebih memilih nikah siri. Nikah siri dalam artian nikah yang sah secara agama Islam. Masih menurut kelompok yang kontra terhadap pemidanaan pelaku nikah sirri, pasangan yang menikah siri tentunya juga harus mengetahui konsekuensi yang harus dihadapi. Dalam artian, mereka tentu juga sudah siap menanggung resikonya. Jika kelak dikemudian hari ada sengketa hukum, tentunya tidak bisa diproses secara hukum nasional. Jadi sekali lagi, peran negara tidak bisa mencampuri terlalu jauh. Daripada mengurusi orang yang sudah nikah secara sah namun sirri, urus saja masalah maraknya perzinahan, aksi pornografi dan pornoaksi yang marak di negeri ini dan sangat merusak.
14
MUI : “Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010, h.23
52
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim mengatakan, pemerintah sebaiknya jangan mengatur terlalu dalam tentang formalitas perkawinan terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama. Yang harus menjadi prioritas Negara manurutnya adalah Negara harusnya hanya melegalkan perkawinan dengan melakukan pencatatan dan tidak terlalu mengatur tentang masalah formalitasnya. 15 Pengaturan formalitas perkawinan yang berlebihan bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pihak negara. Ifdhal mencontohkan, bila terdapat pengaturan yang berlebihan maka pemerintah bisa saja mengkriminalisasikan banyak orang hanya karena mereka tidak mencatat pernikahan yang telah mereka lakukan. 16 Persoalan perkawinan tersebut dinilai bisa dikategorikan termasuk dalam bagian privasi dari seseorang. Untuk itu, pemerintah harus dapat bersikap pasif dengan tujuan antara lain untuk menghormati nilai-nilai HAM dari warga negaranya. Miris memang mendengar penuturan diatas, namun inilah yang terjadi di Negara ini. Mereka lupa akan manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, padahal
15
Krisman, “Komnas HAM : Pemerintah Jangan Terlalu Mengatur Perkawinan”, diakses pada 10 Maret 2010 dari http:/www.antaranews.com/berita/1266186453/komnas-ham-pemerintahjangan-terlalu-mengatur-perkawinan. 16
Ibid.,
53
hal ini merupakan politik syar’i17 yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat dibaliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran. 18 Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelekan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah. Jadi apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah ta’ala berfirman:
…ْﻷﻣْ ِﺮ ﻣِﻨ ُﻜﻢ َ ْل وَُأوْﻟِﻰ ا َ ﷲ وَأَﻃِﻴﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا ا َ ﻳَﺎأَ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS. an-Nisaa’: 59)
17
Ketahuilah bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syariat, bukan haya yang diperintahkan syariat. Semua undang-undang yang membawa kepada keadilan dan kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syariat maka itulah politik syar’i Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6/517 oleh Ibnul Qoyyim dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-lati Yuriduha Salafiyyun hlm. 14-16 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman 18
Abu Ubaidah as-Sidawi, Hukum Menikah Sirri (Nikah 'Urfi)? (Antara Hukum Syar'i & Undang Undang Negara), artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http://abiubaidah.com/
54
Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”. 19 Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kita taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat. Bukankah menjaga kehormatan dan nasab manusia adalah maslahat yang besar. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam; 1. Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardlu, maka wajib menaatinya. 2. Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh menaatinya. 3. Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu-lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka wajib ditaati juga, bila tidak menaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal. 20 Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada
19 20
Hasan Ali, AL-Ahkam As-Sulthoniyyah, (Mekah, 450 H)h,30
Abu Ubaidah as-Sidawi, Hukum Menikah Sirri (Nikah 'Urfi)? (Antara Hukum Syar'i & Undang Undang Negara), artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http://abiubaidah.com/
55
dalam perintah syari’at maka tidak wajib menaatinya, maka ini adalah pemikiran yang batil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. 21 RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010, terdapat ketentuan pidana antara lain terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mut’ah (kontrak), dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun. Masyarakat yang pro menanggapi hal ini sebagai suatu kemajuan. Menurut mereka, perlu diadakan revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 terutama bagian pasal 7 ayat 2 tentang batas usia menikah. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Ahmad Sofian SH, MA Undang-Undang UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan harus lebih sensitif (peka-red) terhadap persoalan anak. 22 Yaitu dengan memberikan perlindungan yang komperehensif terhadap anak. Terutama sekali masalah pernikahan dini yang cenderung dijadikan modus eksploitasi seksual komersial anak.
21
Mustofa Said Al Khin, Mustofa Al Buqho, Imam Nawawi, Syarh Riyadhus Sholihin, Penerjemah Muhil Dhofir dan Faria Dhofir, (Jakarta: Al I’tishomCahaya Umat, 2006), h.726 22
Krisman, “Direktur PKPA : Revisi UU Perkawinan Harus Sensitif terhadap Anak” diakses pada 10 Maret 2010 dari http:/www.antaranews.com/berita/1266186454/direktur-pkpa-revisi-uuperkawinan-harus-sensitif-terhadap-anak
56
Kementrian Agama RI dan DPR harusnya segera dapat mempertimbangkan batas usia enambelas tahun bagi perempuan untuk diperbolehkan menikah karena hal itu salah satu pemicu terjadinya pernikahan dini dan bisa menjurus kearah pernikahan sirri. Masih menurut direktur PKPA, UU Perkawinan itu juga perlu disempurnakan dengan memasukkan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan pelarangan pernikahan dini, termasuk pemidanaan bagi pelaku demi mendukung perangkat hukum kita dalam melindungi hak anak-anak. Batas usia yang dianut oleh UU perkawinan belum singkron dengan Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Perdagangan Orang, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU lain yang berkaitan dengan melindungi anak dari perlakuan salah. Saat ini Kementrian Agama yang sedang mempersiapkan revisi mengenai pasal pemidanaan bagi pihak yang melakukan perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan. Menurut keyakinan kementrian agama, perkawinan siri banyak menimpa perempuan yang belum dewasa. Beberapa diantaranya masih berusia di bawah 14
57
tahun seperti yang terjadi dalam kasus Sheikh Puji di Semarang dan H Azka di Rantauprapat-Sumut. 23 Alhasil hal ini menjadi perbincangan sengit di mata masyarakat dalam berbagai versi pandangan berbeda. Ada yang menyaksikan miris dan adapula yang jusru pro terhadap kelakuan mereka. Padahal masyarakat bisa menilai bahwa hal ini diluar batas kewajaran. Terobosan terbaik telah dilakukan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan mengatakan, bahwa pelaku pernikahan yang menurut undang-undang tidak sah, seperti pernikahan siri bisa dikenai sanksi. Sesuai dengan fatwa yang diputuskan di Padangpanjang, Sumatra Barat, Januari 2009, dengan mengacu pada undangundang perkawinan tahun 1974, sebuah pernikahan harus sah secara agama dan Negara. 24 Kalau secara agama sah tapi negara tidak, maka bertentangan dengan undangundang, ada sanksinya. Nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Undang-undang perkawinan memang tidak memuat aturan khusus tentang pernikahan siri namun ketentuan itu mewajibkan warga negara yang menikah melaporkan pernikahannya ke instansi terkait. 23
Taufik Rachman, “Kawin Siri Rugikan Perempuan”, diakses pada 10 Maret 2010 dari http;/www.antaranews.com/berita/126635845/kawin-siri-rugikan-perempuan 24
MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010, h.23
58
Meski secara agama sah, pernikahan siri tidak dicatatkan atau dilaporkan ke lembaga pencatatan negara. Apabila tidak ada laporan mengenai pernikahan, maka pernikahan ini dianggap tidak sah dan menyalahi aturan Undang-undang yang bisa dikenakan sanksi. Aturan yang seperti ini sudah diterapkan sejak lama namun tidak ditegakkan pelaksanaannya. Berkenaan dengan hal itu Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir Karding mengatakan pihaknya masih mengkaji pokok-pokok aturan dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang antara lain membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak tersebut. Namun anggota DPR Komisi VIII berhati-hati mengambil sikap dalam hal ini karena nikah siri memang tidak dilarang agama. 25 Anggota DPR Komisi VIII juga akan membahas dampak peraturan semacam itu terhadap kehidupan perempuan dan anak mengingat selama ini perempuan dan anak paling dirugikan dalam pernikahan siri. RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010 antara lain memuat ketentuan pidana terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mut’ah (kontrak), dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman penjara berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun.
25
MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010, h.23
59
Kawin "sirri" kalau dilihat secara umum masih banyak "mudarat" (dampak buruk) karena merugikan istri atau perempuan dan anaknya. Hal ini diutarakan oleh ketua Majealis Ulama Kabupatean Bangka, Yubahar Hasan, secara administrasi pemerintahan, kawin `sirri` tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga yang sah mengeluarkan surat nikah. 26 Menurut dia, dengan tidak terdaftarnya di KUA, maka pasangan suami istri yang melakukan nikah "sirri" sudah pasti tidak mempunyai surat nikah sebagai dokumen administarsi penting untuk keluarga. Dan jika tidak ada surat nikah maka seorang istri dan anaknya tidak bisa menuntut haknya dari suaminya karena memang tidak bisa dibuktikan secara hukum pernikahan. Dalam ketentuan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, katanya, pelaku kawin "sirri" bisa dijatuhi hukum pidana, karena undang-undang itu mengatur bahwa laki-laki dan perempuan harus menikah menurut agama dan menjadi keluarga yang "sakinah mawaddah wa rahmah." Mengacu dari penjelasan UU itu, masalahnya sekarang dikembalikan kepada masing-masing orang untuk dapat menerjamahkan yang lebih mendalam dan secara operasional tentang makna pernikahan dan hak-hak mereka.
26
Ibid.,
60
Secara legalitas, kawin siri dengan kawin kontrak tetap akan merugikan pihak perempuan karena tidak bisa menuntut hak dan tidak mempunyai surat bukti nikah yang sah dari KUA. Praktik nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 Tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana. Untuk itu rencana kriminalisasi praktik nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan. 27 Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Sosial (eLSAS) Dr Asrorun Niam Sholeh dalam perbincangan di Jakarta, Rabu(17/2/10). "Masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya," ujar Niam. 28 Beliau menegaskan setuju terhadap keharusan pencatatan pernikahan, untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak atau motif negatif dalam pernikahan. Kata dia, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan, bahkan bisa jadi hukumnya wajib. Walau demikian Niam mengingatkan perlunya sikap proporsional pada kasus nikah siri. Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana. Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, 27
Dwi, “DDII: Berlebihan, Jika Nikah Siri Dipidana,” Republika, 20 February 2010, h.24
28
MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi, Republika, 18 februari 2010, h.24
61
merupakan tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini dinilainya bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara. Warga Rw 10 kelurahan kebon sirih mungkin hanya sebagian kecil median penelitian. Berpenduduk lebih dari 2500 jiwa, daerah sempit namun padat. Terdapat berbagai perbedaan pandangan mengenai peran pemerintah menjalankan UndangUndang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pemuka-pemuka berdasarkan ‘urf, berpendapat bahwa pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan dalam syariah islam. Dilihat disini yang menjadi prioritas disini adalah faktor keagamaan, mengesampingkan ospek pemerintahan. Kemajemukan masyarakat yang ada di Indonesia membuat bermacam-macam pandangan mengenai banyak hal. Tidak terlepas pula mengenai hal bersangkutan masalah ‘urf yang ada di masyarakat. Dalam banyak masalah pasti akan kembali dan bersandingan dengan ‘urf. Dalam konteks pembahasan dalam masalah ini, al ‘urf atau mudahnya disebut adat kebiasaan, menjadi “buku pedoman” yang tak tertandingi di masyarakat Indonesia. Segala hal pasti dikaitkan dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang sudah di laksanakan dari dulu. Hingga demikian akan sulit untuk menghapuskan secara permanen.
62
Pernikahan sebagai suatu kegiatan yang dianggap sakral pun tak lepas dari kondisi ini. Adanya bermacam-macam kebiasaan yang sepertinya harus dilakukan masyarakat, untuk merubahnya butuh keberanian. Pemerintah sebagai pengatur masyarakat mengupayakan segala yang terbaik buat kelangsungan hidup bermasyarakat. Menciptakan berbagai aturan hukum yang di upayakan sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat. Namun dalam perjalanannya sering kali bertabrakan dengan adat kebiasaan yang ada di masyarakat. Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mendalami esensi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan didalam masyarakat, khususnya daerah perkotaan yang mudah mendapat komunikasi dan berita-berita teraktual mengenai segala yang terjadi dinegara ini. Pemerintah, dalam hal ini perumus Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mempunyai maksud yang sangat baik yaitu menciptakan masyarakat yang lebih teratur dan peduli hukum. Karena setiap perundang-undangan yang dikeluarkan pastinya adalah untuk kesejahteraan masyarakat pula. Pernikahan sebagai sesuatu yang dianggap sakral diatur dengan sedemikian rupa dengan maksud agar tidak sembarangan dan terkesan asal-asalan. Pencatatan pernikahan dimaksudkan sebagai penguat di depan hukum yang berlaku di Negara ini. Jadi, sebagai warga yang baik dan patuh hukum, kita diharuskan mengikuti aturan ini. Adanya sebab akibat yang ditimbulkan pernikahan bisa dipertanggung jawabkan dengan adanya peraturan ini. Menjamin hak-hak istri, anak, harta, juga hak
63
suami tanpa mengesampingkan kewajiban yang mengikutinya. Semuanya sudah diatur dengan rapi di dalam Undang-Undang ini. Daerah perkotaan, sebagai asal mula mengalirnya berita pertama sebelum dijalarkan ke belahan daerah kecil lainnya di Indonesia ini mendapat kesempatan pertama untuk menjalankan peraturan ini. Mustahil kota-kota besar ketinggalan berita. Hal ini menjadi tolok ukur dengan daerah pelosok atau pesdesaan yang mungkin agak telat mendapatkan informasi terkini Ditambah lagi dengan merosotnya moral bangsa ini memungkinkan hal-hal negatif akan mudah terjadi. Orang yang di tuakan yang seharusnya menjadi suri teladan dan percontohan, malah mengajarkan keburukan-keburukan yang ditiru generasi penerus. Segala sesuatu di Negara ini menjadi mudah dan tidak akan dipersulit asalkan ada “uang”. Tidak peduli itu legal ataupun illegal, boleh atau tidak, semua itu tidak akan berpengaruh. Keinginan dan uang menjadi penguasa di negeri ini. Masyarakat selama berdirinya Negara ini malah tidak mengalami kemajuan. Bisa dibilang justru mengalami kemunduran. Belum ada kemajuan-kemajuan berarti di Negara ini. Kemorosotan semakin terasa dengan terjadinya korupsi, suap menyuap, seperti mendarah daging dan sulit dihapuskan. Sepertinya masyarakat sudah termakan sifat alaminya sendiri yakni serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang telah ia dapatkan selama ini. Hal-hal negatif yang memudahkan dengan “uang pelicin” telah membodohi bangsa ini sendiri. Tak terlepas dengan pernikahan bawah tangan, hal ini dengan
64
sangat mudah dilaksanakan. Dengan alasan apapun tindakan ini tidak bisa dibenarkan. Dalam penelitian dilapangan, penulis menemukan bahwa pelaku nikah bawah tangan lebih disebabkan karena tidak adanya biaya untuk menikah secara legal. Saat penulis mengkonfirmasi kepada pihak terkait ternyata pernikahan itu tidak membutuhkan biaya yang mahal. Bahkan bila dihitung-hitung jumlahnya tidak lebih daripada pernikahan bawah tangan yang juga memerlukan biaya. Dilain responden lainnya, penulis menemukan alasan pernikahan bawah tangan hanya agar tidak repot. Padahal pernyataan ini jelas salah. Lebih repot justru apabila pernikahan tidak dilakukan dengan seharusnya. Karena pernikahan legal itu sendiri untuk menjamin hak-hak mereka, bukan untuk merepotkan mereka. Ini adalah pemikiran yang salah. Disisi lain para pelaku poligami akan mendapat angin segar. Bagaimana tidak, dengan mudahnya mendapatkan sesuatu yang ilegal maka semua akan lebih mudah, misalnya dalam hal pembuatan kartu tanda pengenal, pemohon harus melampirkan kartu kerluarga yang masih berlaku plus surat pengantar pejabat terkait di lingkungan. Dengan adanya “uang pelican” tidak perlu-lah menyiapkan yang seperti itu. Di dalam ataupun instansi terkait banyak sekali oknum-oknum “pembantu” mereka. Tinggal tawar-menawar lalu besoknya jadilah kartu tanda pengenal itu. Bayangkan apabila satu warga memiliki lebih dari satu kartu tanda pengenal. Bukankah dia akan mudah berpoligami. Semua ini karena kurangnya kepedulian kita terhadap hak-hak kita sendiri apalagi hak orang lain.
65
Dan selanjutnya, mengenai anak-anak hasil pernikahan bawah tangan pun mudah sekali untuk mendapatkan kelegalan di Negara ini. Mereka tinggal melakukan hal seperti halnya pelaku poligami yakni menhubungi calo-calo terkait. Walaupun ada hal-hal yang sulit mereka raih dan justru akan sangat merepotkan. Seperti waris. Sampai kapanpun mereka akan sulit memperjuangkan hal ini. Karena apa, karena mereka bukanlah anak yang legal dari bapaknya. Mungkin kalau bapaknya tidak poligami, tapi apabila poligami bahkan dia adalah anak dari istri kedua dengan pernikahan bawah tangan pula, bisa dibayangkan dia akan sulit sekali mendapat hak warisnya karena pengadilan tidak akan menganggap dia anak sah si bapak. Dengan sulitnya langkah waris dalam poligami membuat beberapa pelaku yang mungkin sudah lihai, pintar. Mereka akan hibahkan jauh hari sebelum terjadi apa-apa terhadap dirinya. Mereka memberikan terlebih dahulu harta-harta mereka kepada sang anak agar tidak ada sengketa setelah mereka meninggal. Penulis juga sempat berbincang-bincang dengan pemuka agama di masyarakat ini yang mana sering dimintai pertolongan untuk menjadi “amil” dari pernikahan bawah tangan yang terjadi disini. Bahwasanya mereka masih berpegang teguh bahwa pernikahan bawah tangan itu dilegalkan oleh pemerintah. Tapi menurut sumber yang dimintai keterangan, sebelumnya mereka mendapat arahan dulu dari pemuka agama ini untuk menikah melalui KUA. Dengan alasan yang kuat barulah mereka akhirnya bisa menikah bawah tangan.
66
Menurut para pelaku nikah bawah tangan, prosedur pernikahan bawah tangan tak jauh beda dengan nikah legal. Yang membedakan hanya dalam pernikahan bawah tangan tidak ada pencatatan dari pegawai pencatat nikah. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan administrasi biasanya sama saja. Para saksi dan walinya pun sama. Dalam pernikahan legal, disyaratkan agar para mempelai mengisi formulir N1, N2, N3 dan N4 (diisi orang tua). Itu semua adalah keterangan dari kelurahan tentang asal-usul, persetujuan wali dan kedua mempelai. Dan yang terakhirnya adalah surat pendaftaran pernikahan. 29 B. Analisa Permasalahan Masih banyaknya pernikahan bawah tangan membuat kita harus kembali lagi meneliti apakah masih relevan Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan itu. Bila berkaca kepada ide-ide pembuat Undang-Undang ini adalah kalangan ulama-ulama islam. Tapi kenyataanya setelah Undang-Undang ini digodok kemudian disahkan sebagai Undang-Undang malah turun pamor dari maksud Undang-Undang ini sendiri. Karena kurangnya sarana pendukung dari para pemimpin umat islam itu sendiri. Semua pernikahan bawah tangan melibatkan mereka yamg notabenenya adalah pencetus Undang-Undang ini. Hal ini sangat merugikan masyarakat muslim.
29
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Dahlan ( PPN Kecamatan Menteng Jakarta Pusat). Jakarta, 8 Agustus 2007
67
Sebagai sebuah masyarakat yang ingin hidup tentram dan nyaman maka sepatutnya Negara membentuk kewajiban tanpa terkecuali kepada masyarakat mengikuti Undang-Undang ini. Galakkan kembali atau bisa juga adakan kembali penyuluhan-penyuluhan mengenai peran KUA sebagai pencatat pernikahan dan berikan masukan kepada masyarakat tentang kerugian melakukan pernikahan bawah tangan. Dari hasil data yang peneliti dapatkan hanya sample dari satu RW. Dan kebanyakan atau semua mengatakan tidak tahu kalau ada Undang-Undang yang mengatur masalah pencatatan pernikahan untuk memenuhi semua sebab akibat pernikahan. Akan tetapi apabila ditinjau kembali sebenarnya pernikahan bawah tangan mulai berkurang terhadap tahun kelahiran 1975 ke bawah. Hal ini bisa dilihat pada responden kelahiran dibawah tahun 1974 dapat dikatakan sukses karena hanya satu orang yang melakukan pernikahan bawah tangan, itupun dengan factor yang sangat meninjau karena wali enggan untuk menikahkan. Walaupun ini salah karena dia tidak tahu kalau instansi pencatat pernikahan mengenal adanya wali hakim sebagai pengganti orang tua apabila tidak mau menikahkan dengan alasan-alasan yang jelas. Lainnya penikahan yang dilakukan dibawah tahun 1974 memang masih melakukan pernikahan bawah tangan karena pada tahun iti belum disahkan UndangUndang pernikahan. Tapi masih dibilang salah lagi karena dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dicantumkan isbath nikah atau pencatatan pernikahan yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini keluar.
68
Bila diteliti dengan lebih seksama faktor pernikahan kurang perhatian masyarakat terhadap pencatatan perkawinan lebih banyak dari ketidaktahuan, kebiasaan di daerah itu dan kurangnya kesadaran amil akan hal ini. Faktor lainnya dimungkinkan dengan rendahnya pendidikan yang mereka emban sehingga kurang memperdulikan hal yang terlihat ringan tetapi menimbulkan dampak yang sangat besar. Faktor pertama dan kedua masih bisa dimaklumi. Tapi faktor ketiga ini perlu diluruskan karena melihat ke awal lagi bahwa Undang-Undang ini adalah cita-cita pemimpin muslim sendiri. Amil sendiri tidak bisa disalahkan. Mungkin sosialisasi pemerintah terhadap mereka ini yang menyebabkan hal ini masih terus terjadi sampai sekarang. Baiknya apabila ingin menyelesaikan permasalahan ini menurut hemat penulis adalah dengan melakukan pengarahan-pengarahan kepada tokoh masyarakat, amil, tentang pentingnya masalah pernikahan karena menyangkut banyak hal dalam hal ini di fokuskan terhadap hak anak. Lembaga pemerintah terkait juga perlu diluruskan. Seperti yang terjadi pada kasus yang pertama, bagaimana mungkin KK keluar apabila tidak di dukung oleh akta nikah. Hal ini perlu diselidiki. Kepada badan yang berwenang agar lebih waspada lagi terhadap hal-hal seperti ini. Bila dilihat dari hasil perolehan data tidak dapat atau tidak ada data yang menyebutkan bahwa mereka tahu akan hilangnya hak-hak anak mereka terhadap hasil dari pernikahan mereka. Andai mereka ada kepedulian terhadap nasib anak-anak mereka kelak. Tapi ini wajar karena toh semua pelaku nikah bawah tangan tidak
69
mengetahui tentang keharusan pencatatan perkawinan yang menimbulkan hak-hak anak mereka hidup. Permasalahan akan kembali timbul ketika anak-anak mereka tumbuh dewasa. Karena saat mereka berhubungan dengan pemerintah (sekolah) tidak bisa menuntut haknya karena tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas dikarenakan tidak mempunyai akta kelahiran. Hilanglah hak-hak mereka. Kepedulian para orang tua akan kerugian pernikahan ini setidaknya dapat mencegah hal itu terjadi. Oleh karenanya pemerintah sangat mengharapkan peran serta masyarakat untuk mensukseskan program ini. Semua ini diharapkan kerjasama antar pihak. Namun penulis juga tidak menyangkal bahwa pengetahuan masyarakat tentang pernikahan harus di KUA itu sudah menyeluruh. Hanya saja menurut penulis masyarakat masih kurang keperdulian terhadap hal ini. Karena dalam perjalananya di masyarakat, masyarakat yang hendak melakukan pernikahan sudah mengetahui peran KUA sebagai amil pernikahan, tapi mahalnya biaya dan alasan lainnya menjadi alternatif mengapa mereka melakukan pernikahan bawah tangan. Disini dapat kita ambil kesimpulan bahwa para pelaku nikah bawah tangan tidak mengetahui hak-hak yang akan mereka dapatkan dalam pernikahan legal. Dengan alibi mahalnya biaya pernikahan dan ribetnya proses nikah di KUA, mereka membuang hak-hak mereka sebagai suami istri. Hal ini tentunya akan merugikan diri sendiri. Inilah yang harus kita tekankan kepada mereka bahwa pernikahan di KUA itu tidak mahal dan mudah.
70
Untuk itu diharapkan agar kedepan tentunya peran pemerintah terkait bisa mensosialisasikan peran KUA kepada masyarakat. Setidaknya ada konseling ke kelurahan atau RW mengenai hak-hak pasangan suami istri yang menikah di KUA. Serta memasyarakatkan biaya pernikahan hingga masyarakat tidak lagi mnenganggap nikah yang sah itu mahal. Adanya kedekatan pemerintah dengan masyarakat juga penting agar hal-hal seperti ini bisa terhindar. Dari beberapa pelaku yang terwawancara kebanyakan masih menganggap hal-hal seperti pernikahan bawah tangan lumrah. Ini adalah hal yang salah dan harus diperbaiki. Perjalanan waktu diharapkan bisa mengubah pemikiran masyarakat. Dari pemikiran yang sempit menjadi pemikiran yang luas. Dimasyarakat tidak hanya perkotaan namun sampai pedesaan harus dimajukan pola fikirnya. Jangan lagi ada pemikiran-pemikiran yang berasal dari dokrin para pendahulunya. Kurangnya pemikiran ini juga merugikan para anak-anak yang notabenenya tidak tahu apa-apa. Akan sangat memilukan jika kita saksikan mereka jadi susah akibat pola fikir orang tuanya yang masih jauh dari kemajuan. Bisa dipastikan, pola fikir ini akan menurun kepada anak-anaknya. Karena para orang tua yang jadi suri tauladan tidak bisa memaksimalkan perannya sebagai pendidik anak-anak. Peran pemerintah sungguhlah amat penting. Karena dapat kita lihat uraian diatas semua kemajuan masyarakat tak terlepas dari peran pemerintah juga. Namun yang terpenting tetaplah dari diri masyarakat itu sendiri.
71
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan yang telah di sampaikan di bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan, yaitu : 1. Masyarakat kalipasir gang tembok, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan rata-rata hanya berpendidikan maksimal SMA. Bahkan responden yang penulis dapatkan pun hanya berpendidikan menengah. Pengetahuan mereka tentang adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sangat minim sekali. Hal ini dibuktikan dari para pelaku pernikahan bawah tangan umumnya hanya mengetahui nikah sah tidak harus melalui lembaga terkait. Hal ini menyebabkan mereka tidak mengetahui hakhak mereka yang timbul akibat pernikahan, hak-hak anak mereka juga harta mereka yang telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan. 2. Dampak dari ini akan menyebar ke berbagai aspek. Khusus bagi anak-anak hasil pernikahan bawah tangan akan sulit mendapatkan hak-haknya. Anakanak ini tidak mempunyai tanda pengenal sebagai warga Negara. Bisa dianggap sebagai penduduk gelap. Para pelaku nikah bawah tangan umumnya “menembak” tanda pengenal anak-anak mereka melalui oknum-oknum yang duduk di pemerintahan. Disini hal itu dianggap lumrah dan hal biasa. Alasan
72
mereka membantu agar tidak mempersulit. Mereka tidak sadar bahwa hal ini tidak akan membuat maju bangsa kita. Hal ini membuat anak-anak hasil pernikahn bawah tangan bisa meandapatkan hak-haknya.
B. SARAN-SARAN
1. Mengetahui bahwa persoalan pernikahan telah diatur dengan baik dan tertib melalui UU No.1 Tahun 1974, maka dari itu dibutuhkan sosialisasi dan penyuluhan yang mendalam mengenai UU ini kepada masyarakat maupun perangkat masyarakat, sehingga dapat mengurangi terjadinya pernikahan bawah tangan 2. Mengingat bahwa UU ini sudah ada sejak lama, namun eksistensinya masih kurang di masyarakat, hendaknya diperlukan suatu penegakan peraturan yang jelas dan sesuai bagi para pelaku nikah bawah tangan karena perbuatan mereka tidak hanya merugikan diri sendiri namun juga meruagikan anak-anak mereka. Dengan begitu akan mengurangi kebiasaan di dalam masyarakat secara perlahan-lahan. 3. Perlu adanya perhatian yang lebih dari pemerintah untuk menyikapi hal ini, agar para anak-anak hasil nikah bawah tangan tidak melakukan hal yang sama seperti orangtuanya juga menjaga agar generasi berikutnya juga tidak melakukan pernikahan bawah tangan.
73
4. Untuk kebelakang anak-anak yang sudah terlanjur menjadi anak hasil nikah bawah tangan hendaknya diberikan perhatian khusus untuk melengkapi hakhak mereka. 5. Berikan pemahaman yang mendalam kepada pemuka agama tentang maksud dan tujuan UU No.1 Tahun 1974 sehingga para pemuka agama dan masyarakat juga ikut membantu menegakan UU ini.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press. 2002. Abidin, Drs. Slamet dan Drs. Aminuddin. Fiqh munakahat. Bandung ; Pustaka Setia, 1999. Abdurrahman. Perkawinan Dalam Syari’at Islam. Penerjemah Bisri Ida, dkk. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Ad-Daryuwisy, Ahmad bin Yusuf. Az-Zawaj Al-‘Urfi. Darul Ashimah, KSA, cet.I. 1426 H. Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah KMCP, Imron Rosadi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2005. Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Abu Daud. Penerjemah Tajuddin Arif, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Al-Asyqor, Usamah Umar Sulaiman. Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq. Dar Nafais, Yordania, 1425 H. Ali, Hasan. Al Ahkam As Sulthoniyyah. Mekah, 450H. Al Mufarraj, Sulaiman. Bekal Pernikahan : Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara. Penerjemah Kuais Mandiri Cipta Persada. Jakarta: Qithi Press, 2007. An Nawiy, Syamsuddin Ramadhan. “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”. Artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukumislam-tentang-nikah-siri/ Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Cet.1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Dwi. “DDII: Berlebihan, Jika Nikah Siri Dipidana,” Republika. 20 February 2010. Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia. 1999. Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah. Cet.II. Bogor: Putaka A-Taqwa, 2006.
Krisman. “Direktur PKPA : Revisi UU Perkawinan Harus Sensitif terhadap Anak”. Artikel diakses pada 10 Maret 2010 dari http:/www.antaranews.com/berita/1266186454/direktur-pkpa-revisi-uuperkawinan-harus-sensitif-terhadap-anak Krisman. “Komnas HAM : Pemerintah Jangan Terlalu Mengatur Perkawinan”. Artikel diakses pada 10 Maret 2010 dari http:/www.antaranews.com/berita/1266186453/komnas-ham-pemerintahjangan-terlalu-mengatur-perkawinan. ------. ”MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010. Rachman, Taufik. “Kawin Siri Rugikan Perempuan”. Artikel diakses pada 10 Maret 2010 dari http;/www.antaranews.com/berita/126635845/kawin-siri-rugikanperempuan. Razak, H. A. dan H. Rais Lathief. Terjemah Hadis Shahih Muslim. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980. Said Al Khin, Dr. Musthofa, Musthofa Al Boqho dan Imam Nawawi. Terjemah Riyadhus Sholihin. Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat, 2006. Salman, Otje Drs, SH. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung: Alumni, 1993. Shihab, Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES, 1989. Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cet. IX. Jakarta, 1978. Syakir, Dr. Muhammad Fu’ad. Perkawinan Terlarang. Cet.I. Jakarta: Cendekia Muslim, 2002. Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. Hukum Perkawinan Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007. Tihari, Prof. Dr. H. M. A. dan Drs. Sohari Sahroni. Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Tim Al Manar. Fikih Nikah : Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami. Bandung: Syamul Cipta Media, 2006. Umar, Prof. Dr. H. Nasaruddin. Berakhlak Mulia Sejak Belia. Cet 1. Jakarta: Titian Pena, 2008. Ubdaidah, Abu. “Nikah Ilegal, Nikah bermasalah”. Artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/02/26/menikah-sirrinikah-urfi-antara-hukum-syari-undang-undang-negara/ Ubaidah, Abu. “Hukum Menikah Sirri (Nikah 'Urfi)? (Antara Hukum Syar'i & Undang Undang Negara)”. Artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http://abiubaidah.com/ Vollmar, H.F.A. Terj, Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Dahlan ( PPN Kecamatan Menteng Jakarta Pusat). Jakarta, 8 Agustus 2007.
Transkrip Wawancara
1. Keluarga Bapak Bintang
Nama
: Ilham Bintang
Tempat Tgl. Lahir
: Brebes, 2 juli 1971
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Kalipasir Gg. Tembok No. 11 RT/RW. 05/010 Kebon Sirih Menteng Jakarta Pusat
Pekerjaan
: supir
Pendidikan
: SMP
Nama istri
: supinah
Umur
: 36 tahun
T ; Sudah berapa lama bapak menikah? J ; kurang lebih 18 tahun T ; sudah punya anak? J ; Sudah 2. Dua-duanya laki-laki. T ; umur anak bapak yang paling besar? J ; bulan November nanti 18 tahun. T ; pak waktu bapak menikah dengan ibu itu dimana?
J ; di kampung waktu itu, di desa saya. T ; saat itu siapa yang menikahkan? J ; waktu itu yang menikahkan kakak saya karena kebetulan ayah saya sudah meninggal. T ; jadi kakak anda itu amil ya? J ; oh ngga, maksud saya waktu itu saya di wali sama kakak saya. Yang menikahkan mah tokoh masyarakat setempat dan kebetulan juga masih ada famili dengan istri saya. T ; untuk ibu siapa yang menjadi wali saat itu? J ; yah itu paman saya adik dari bapak saya. T ; menikah di masjid apa di kantor urusan agama? J ; dirumah, kan waktu itu saya(suami) datang melamar terus langsung aja menikah gitu biar ga kelamaan, soalnya dirumah istri sudah ada keluarganya T ; berarti pernikahan bapak tidak dicatatkan ya? J ; iya Cuma dihadiri sama kerabat aja ga sempet ke kantor pernikahan. T ; ga punya kartu keluarga dong? J ; kartu keluarga punya. T ; bisa ya? bagaimana caranya pak karena biasanya pernikahan yang ga dicatatkan ga bisa mendapat KK? J ; saya kan penduduk musiman awalnya. Trus setelah saya menabung saya membeli rumah ini dan kebetulan RT disini bisa Bantu memberikan KK karena beliau dekat / kenal gitu deh sama orang kelurahan.
T ; bapak tahu tidak bahwa sebenarnya pernikahan yang tidak dicatatkan itu tidak sah? J ; tidak tahu. Habis semua pernikahan di desa saya memang jarang di kelurahan si jadinya gimana ya kaya sudah turun temurun adatnya begitu. T ; nah sekarang kan bapak sudah tahu nih ada UU yang mengatur pernikahan, kirakira ada ga minat untuk mensahkan / mengistimbatkan pernikahan bapak ini? J ; kayamya ga usah deh karena saya sudah ada KK ini.
2. Keluarga Bapak Eman Nama
: Suherman
Tempat Tgl. Lahir
: Jakarta, 10 april 1955
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Kalipasir Gg. Tembok No. 7 RT/RW. 02/010 Kebon Sirih Menteng Jakarta Pusat
Pekerjaan
: wiraswasta
Pendidikan
: SD
Nama istri
: alm. Heri Yuniar
T ; Sudah berapa lama bapak menikah? J ; dengan almarhum kurang lebih 35 tahun. T ; anak sudah berapa pak?
J ; yang paling besar udah kawin anaknya udah 3. trus anak ke 2 perempuan udah menikah juga punya anak 1, yang bungsu baru aja lulus SMA. Benernya ada satu lagi tapi meninggal waktu baru 11 bulan. T ; dulu waktu menikah dengan almarhum siapa yang menikahkan pak? J ; yang menikahkan sesepuh sini.
1. Keluarga Bapak Suhendri Nama
: Suhendri
Tempat Tgl. Lahir
: Jakarta, 30 Oktober 1979
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Kalipasir Gg. Tembok No. 1 RT/RW. 07/010 Kebon Sirih Menteng Jakarta Pusat
Pekerjaan
: Tukang ojek
Pendidikan
: STM
Nama istri
: Lely Sriningsih
Umur
: 24 tahun
T ; sudah berapa lama anda menikah? J ; baru 4 setengah tahun. T ; anak sudah berapa? J ; satu T ; penghasilan cukup? J ; alhamdulilah
T ; menikah dimana? J ; di sukabumi. T ; jauh amat pak. Kenapa menikah disana? J : yah kalau di Jakarta udah susah kali nikah bawah tangan. Di daerah sana kan masih banyak dan juga ada saudara disana. T ; kenapa menikah dibawah tangan? J ; hubungan saya dengan istri tidak disetujui oleh orang tua istri katanya takut jadi orang susah jadi saya bawa lari aja dia ke sukabumi trus saya nikahi disana. T ; kan disana juga ada KUA kenapa harus nikah bawah tangan? J ; kalau di KUA repot, entar ditanyain walinya sedangkan disana kan tinggal datengin ustad setempat minta izin buat jadi wali beres deh! T ; sampai sekarang orang tua istri anda tidak tahu kalau anda sudah menikah dan dikaruniai 1 anak? J ; sekarang sih udah tau kemarin aja habis maen kerumah orang tuanya. Orang tuanya dah bisa nerima kite apa adenye gitu. T ; anak punya akte kelahiran? J : belum bikin karena KK nya aja kan belum ada. T ; anda tau tidak kalau ada UU yang mengatur tentang perkawinan beserta sebab dan akibatnya? J ; tidak tahu T ; ada niat ga buat pencatatan pernikahan kan sekarang orang tua istri sudah setuju? J ; entar-entaran dulu aja deh
Transkrip Wawancara
1. Keluarga Bapak Asep
Nama
: Asep Kurniawan
Tempat Tgl. Lahir
: Brebes, 2 juli 1977
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Kalipasir Gg. Tembok No. 11 RT/RW. 05/010 Kebon Sirih Menteng Jakarta Pusat
Pekerjaan
: supir
Pendidikan
: SMP
Nama istri
: supinah
Umur
: 30 tahun
T ; Sudah berapa lama bapak menikah? J ; baru kemarin. 2 bulan yang lalu. T ; sudah punya anak? J ; belumlah. T ; waktu bapak menikah dengan ibu itu dimana? J ; disini, dirumah. T ; saat itu siapa yang menikahkan? J ; yang menikahkan ust. Syafuddin. T ; untuk ibu siapa yang menjadi wali saat itu? J ; yah itu paman saya adik dari bapak saya. T ; berarti pernikahan bapak tidak dicatatkan ya? J ; iya Cuma dihadiri ma kerabat aja. T ; ga punya kartu keluarga dong? J ; kartu keluarga ga ada lah belum bikin. T ; bapak tahu tidak bahwa sebenarnya pernikahan yang tidak dicatatkan itu tidak sah?
J ; tahu. Kan memang bila ingin menikah harus ke KUA. Terus dikasi tau juga sama ust. Syaipuddin. T ; terus kalau sudah tahu kenapa anda tidak menikah di KUA? J ; mahal. Saya ga ada uang. T ; memang berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk menikah di KUA? J ; kurang tahu deh. T ; kok kurang tahu? Terus tahu darimana nikah di KUA itu mahal? J ; dari tetangga. Kemarin waktu menikah katanya dia disuruh bayar Rp 500000,-. T ; memang kalau menikah sama ust. Syaifuddin berapa biayanya? J ; yah terserah kita mau kasih berapa. ga ditarifin
2. Keluarga Bapak Eman Nama
: Suherman
Tempat Tgl. Lahir
: Jakarta, 10 april 1955
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Kalipasir Gg. Tembok No. 7 RT/RW. 02/010 Kebon Sirih Menteng Jakarta Pusat
Pekerjaan
: wiraswasta
Pendidikan
: SD
Nama istri
: alm. Heri Yuniar
T ; Sudah berapa lama bapak menikah? J ; dengan almarhum kurang lebih 35 tahun. T ; anak sudah berapa pak? J ; yang paling besar udah kawin anaknya udah 3. trus anak ke 2 perempuan udah menikah juga punya anak 1, yang bungsu baru aja lulus SMA. Benernya ada satu lagi tapi meninggal waktu baru 11 bulan. T ; dulu waktu menikah dengan almarhum siapa yang menikahkan pak? J ; yang menikahkan sesepuh sini.
2. Keluarga Bapak Suhendri Nama
: Suhendri
Tempat Tgl. Lahir
: Jakarta, 30 Oktober 1979
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Kalipasir Gg. Tembok No. 1 RT/RW. 07/010 Kebon Sirih Menteng Jakarta Pusat
Pekerjaan
: Tukang ojek
Pendidikan
: STM
Nama istri
: Lely Sriningsih
Umur
: 24 tahun
T ; sudah berapa lama anda menikah? J ; baru 4 setengah tahun. T ; anak sudah berapa? J ; satu T ; penghasilan cukup? J ; alhamdulilah T ; menikah dimana? J ; di sukabumi. T ; jauh amat pak. Kenapa menikah disana? J : yah kalau di Jakarta udah susah kali nikah bawah tangan. Di daerah sana kan masih banyak dan juga ada saudara disana. T ; kenapa menikah dibawah tangan? J ; hubungan saya dengan istri tidak disetujui oleh orang tua istri katanya takut jadi orang susah jadi saya bawa lari aja dia ke sukabumi trus saya nikahi disana. T ; kan disana juga ada KUA kenapa harus nikah bawah tangan? J ; kalau di KUA repot, entar ditanyain walinya sedangkan disana kan tinggal datengin ustad setempat minta izin buat jadi wali beres deh! T ; sampai sekarang orang tua istri anda tidak tahu kalau anda sudah menikah dan dikaruniai 1 anak?
J ; sekarang sih udah tau kemarin aja habis maen kerumah orang tuanya. Orang tuanya dah bisa nerima kite apa adenye gitu. T ; anak punya akte kelahiran? J : belum bikin karena KK nya aja kan belum ada. T ; anda tau tidak kalau ada UU yang mengatur tentang perkawinan beserta sebab dan akibatnya? J ; tidak tahu T ; ada niat ga buat pencatatan pernikahan kan sekarang orang tua istri sudah setuju? J ; entar-entaran dulu aja deh