Jip dan Sen 15/08/2010 Tsai-
“Ada apa, Jip?” Aku tersadar dari lamunanku lantas menatap ke depan. Sen bertumpu di pagar belakang rumahku, dia berdiri membelakangi matahari sehingga membuatku kesilauan. Aku menudungi wajah dengan tangan agar bisa melihat wajahnya lebih jelas. Dia tersenyum lebar, wajahnya tampak seakan dia tengah bersiap untuk berbuat iseng. “Tidak ada apa-apa, Sen.” Kami hanya diam dan saling menatap selama beberapa saat, saling menikmati kehadiran satu sama lain. Rambut hitam Sen yang pendek dan rapi berkilauan tertimpa matahari. Jaket olahraga berwarna biru tua dengan corak merah di bagian bahu, kaus putih, celana kargo kuning keruh, dan sepasang sepatu lari abu-abu, lagi-lagi dia mengenakan pakaian yang sama. Sen mengalihkan pandangan ke samping, menatap jauh ke arah rumpun pepohonan. “Masuk, sini,” aku memanggilnya. Sen menurut, dia melompati pagar dengan mudah lalu segera duduk di sampingku, di teras belakang rumah yang menghadap ke hutan perbatasan. Aku masuk ke dalam untuk mengambil kue ketan dan minuman. Saat kembali, Sen tengah tidur telentang dengan gaya malas, sebelah kakinya terjulur ke bawah teras. Kedua sepatu larinya yang besar ada di atas rumput, kaus kaki berwarna putih disumpalkan asal-asalan ke sepatu-sepatu itu. “Aku lebih senang kalo kamu kasih semangka.” “Jangan makan sambil tiduran,” aku menepak dahi Sen. Dia tertawa sembari mengubah posisi tubuh. “Kulkasnya penuh, jadi semangkanya belum dingin.” “Maksudmu, semangkanya belum kamu masukin kulkas.” “Ah, kamu toh mengerti apa yang aku maksud.” Aku mendengus dan dia tertawa lagi lalu mengambil sepotong kue yang lain. Selama beberapa waktu kemudian hanya ada kesunyian, aku, Sen, es teh, dan kue ketan. Kami bertemu dua musim gugur yang lalu. Aku dan Sen masuk ke kampus yang sama, jadi anggota angkatan yang sama, lalu mengambil daftar kelas yang juga sama. Awalnya kami tidak dekat, kami bahkan tidak menarik perhatian satu sama lain. Sen selalu berisik, paling berisik di antara anak-anak di kelompoknya. Sedangkan aku adalah si penyendiri. Ada beberapa orang
teman, tapi aku lebih memilih tidak menjadi dekat dengan siapapun. Ada alasan tertentu atas pilihan itu. Suatu ketika kami bertemu di ujung lorong gedung kampus yang sedang kosong dan untuk pertama kalinya aku melihat Sen yang begitu diam dan kelam. Kemudian, kami menemukan bahwa kami memiliki sejumlah kemiripan. Sejak itu, kami tak terpisahkan. “Aah...” Sen menumpangkan kepalanya di atas pahaku. Seulas senyum kekanakan menghias wajahnya yang tampak puas. “Sen?” “Ya?” “Kapan kamu akan pulang?” “Yang jelas tidak dalam waktu dekat.” Suara serangga musim panas terdengar nyaring bersahut-sahutan. Daerah perumahan tempatku tinggal memang sepi, terlebih lagi di kala liburan musim panas seperti ini. Sen berasal dari kota sebelah. Dia mengalami sedikit gangguan semenjak adik laki-lakinya meninggal dan sejak saat itu jadi bermasalah dengan keluarganya. Sen juga tidak suka berada di tengah keluarga besarnya dan dia senantiasa mencari alasan untuk bisa berada di luar. Orangorang melihatnya sebagai seorang yang muda dan aktif, tapi aku tahu Sen hanya berusaha melarikan diri. Sen sendiri yang mengakui hal itu kepadaku. Aku tidak jauh berbeda dengannya. Daerah perumahan yang aku tinggali memang sepi, tapi rumahku sepi untuk alasan yang berbeda. Karena memang sepi. Tidak ada orang di rumah ini kecuali aku. Terkadang adik sepupuku yang tinggal di sisi lain kota datang, tapi dia hanya akan menginap dua-tiga hari, sekadar memastikan apakah aku baik-baik saja. Sama seperti Sen, aku bermasalah dengan keluargaku. Perbedaan kami hanyalah aku berusaha menutup lukaku dengan kesunyian sedangkan Sen menggunakan keramaian. Tahu apa yang terjadi kemudian? Hubungan yang penuh keseimbangan. Tidak terlalu sunyi, juga tidak terlalu ramai. Pas. Sen yang mulai kepanasan membuka jaket. Dia masuk ke dalam lalu mulai mencari-cari sesuatu yang bisa dimasak di dapur. “Aku gak punya bawang putih, kalo itu yang lagi kamu cari,” aku menyilangkan tangan di depan dada seraya bersandar di ambang pintu dapur. Wajahku dihias senyum kemenangan. Aku tidak suka bawang putih tapi Sen selalu berkeras bahwa bawang putih adalah penyedap yang paling handal dan selalu menggunakan banyak bawang dalam masakan yang dia buat.
“Aku bawa kok,” Sen mengeluarkan segenggam bawang putih dari saku celananya sambil tertawa. Wajahku berubah masam dan tawa Sen malah menjadi-jadi. “Kamu gak akan tau kamu makan bawang, Jip, bakal aku cincang kecil-kecil kok. Janji.” Segera saja Sen asyik sendiri di dapur. Mengiris wortel, merajang bawang. Menjerang air, melelehkan mentega. Aku duduk di kursi meja makan yang menghadap kompor, menonton punggung Sen sambil bertopang dagu. Sen mulai bernyanyi-nyanyi pelan, dia selalu melakukan itu jika sedang berhati riang. Aku? Aku cukup duduk di sini dan menontonnya, kehadirannya saja sudah cukup membuatku senang. “Rambutmu mulai panjang,” selesai makan, Sen mengajakku kembali ke teras. Dia kembali ke posisinya yang tadi, menumpangkan kepala di atas pahaku. “Kamu sendiri harusnya manjangin rambutmu sedikit,” aku membalas. Rambutnya yang pendek dan rapi membuat dia sering kali disangka anak laki-laki. Sayang, padahal sebetulnya Sen gadis yang manis. “Mulai musim gugur nanti aku magang di istana.” Kami saling bertatapan. “Aku udah tau.” Aku sudah tahu, Sen sudah memberitahuku rencananya untuk magang di istana sejak sebelum liburan musim panas dimulai. Dia akan bekerja di dapur istana, sesuatu yang sejalan dengan keinginannya untuk membuka usaha sendiri suatu hari nanti. Lamarannya diterima meskipun dia memiliki latar belakang kuliner nol. Sen berulang kali mengatakan dia hanya beruntung, namun bagiku itu hasil kerja kerasnya. Sen adalah pemilih yang menyebalkan dan bisa sangat malas pada satu bidang, namun jika sudah menyukai sesuatu dia tidak akan kenal kata berhenti. Matahari naik semakin tinggi dan suhu udara kian menyengat. Dalam bahasa negeri kami, Jip berarti bunga kecil sedangkan Sen berarti tempat yang luas dan terang. Seperti itulah Sen. Dia berhati luas dan sikap riangnya bagai sinar penerang, walau seringkali dia akan mengatakan makna nama itu tidak cocok dengan dirinya dan bahwa dia memiliki pribadi yang lebih gelap dibanding orang lain. Ketika aku bilang namaku juga tidak cocok, dia bilang justru namaku sangat mencerminkan diriku. Bunga rumput yang kecil namun keras kepala dan tidak mau kalah. Benar, aku memang keras kepala dan tidak mau kalah. Tapi
begitu pula dengan Sen, aku rasa itu sebabnya kami bisa tahan dengan kepribadian masingmasing. “Sudah tiga hari, Sen. Mau sampai kapan kamu menginap di asrama sekolah?” “Sampai aku berangkat magang, boleh?” Aku memelototinya sekilas, lalu kembali memandangi rumpun semak bunga di sudut pagar. Sen menjulurkan tangan dan meraih ujung rambut cokelatku yang pendek sebahu. “Sebelum pergi, aku mengguyur salah seorang pamanku.” “Kamu menceburkan dirimu ke dalam masalah besar,” aku merasa sedikit khawatir. Keluarga besar Sen memiliki aturan yang ketat—salah satu hal yang membuat Sen muak, terlebih lagi setelah mengetahui tabiat asli sejumlah kerabatnya—dan sikap kurang ajar seperti itu pasti akan membuatnya kesulitan. “Aku dua puluh tahun, aku mandiri secara hukum. Aku akan mandiri secara finansial juga segera setelah sampai di ibu kota,” suaranya terdengar tenang namun mengandung dendam. Belaka aksi, sampai saat ini Sen belum pernah benar-benar menentang keluarganya secara terang-terangan. “Sen...” “Mereka mengataimu, Jip.” Hening. “Mereka bilang aku bersahabat denganmu hanya karena aku kasihan. Mereka bilang kamu pengaruh buruk.” “Sen, sungguh...” “Padahal mereka yang pengaruh buruk, mereka yang rusak semua. Kemudian mereka mengataiku kurang ajar, aku dibilang lebih mengutamakan teman-temanku. Setelah semua yang aku lakukan demi mereka, hah, pembohong-pembohong itu hanya bisa bicara saja. Padahal mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak berhak bilang apa-apa. Padahal yang ada saat aku butuh seseorang cuma kam—” “Sen!!” aku membentaknya. Sen terdiam. Tersadar. Tangan Sen yang tadi sempat terkepal kini membuka lagi. Wajahnya tidak lagi terlihat tegang dan tarikan napasnya menjadi lebih santai. Sen menggumamkan kata maaf lalu memiringkan badan, kini kami sama-sama menatap sisi dalam pagar.
Aku membentaknya bukan karena aku marah pada Sen. Aku membentak Sen untuk menghentikannya sebelum dia melakukan sesuatu yang destruktif pada dirinya. Sejak adik lakilakinya meninggal Sen mengalami sedikit gangguan, itu yang kubilang tadi, tapi sebetulnya lebih dari sedikit. Sen bisa menjadi sangat emosional terhadap topik tertentu, namun setelah itu dia akan merasa sangat bersalah sampai ke ambang destruksi diri. Ya, itu salah satu hal yang mengikat kami. Aku dan Sen sama-sama tipe orang yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal buruk yang terjadi di sekitar kami. Dan kami mampu melakukannya sampai ke tingkat terburuk. Pertemuan antara aku dan Sen di ujung lorong yang sepi bukanlah cerita yang menyenangkan. Aku sedang marah besar pada orang rumahku sehingga memutuskan untuk tidak masuk kelas demi tidak mengganggu kenyamanan teman-teman yang lain. Hari itu hujan deras dan suara petir berulang kali menggelegar, cocok sekali dengan suasana hatiku. Aku pergi ke ujung lorong itu karena aku pikir tidak ada orang, lagipula di sana ada bangku panjang. Saat melihat ada seseorang yang duduk sambil menopang kepala dengan sebelah tangan, tadinya aku merasa sedikit terganggu. Saat sadar bahwa orang itu ternyata Sen dan ada sebuah ponsel yang hancur di dekat kakinya, atas dorongan yang tidak aku mengerti asalnya aku berlutut di depan Sen dan menanyai dia. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban, hanya tangan kiri yang menopang dahi dan tinju kanan yang terkepal erat. “Sen, kenapa?” aku tidak akan bertanya apakah dia tidak apa-apa. Bagiku itu pertanyaan bodoh, orang hampir selalu melontarkan pertanyaan itu pada orang yang sudah jelas apa-apa. Sen yang selalu ramai bertampang seperti ini, bagiku ini jelas lebih dari sekedar apa. “Sen?” “Hey...” “Ada apa?” Deru napas yang tidak teratur seakan setengah mati menahan emosi adalah satu-satunya jawaban yang aku dapat. Entah atas dasar apa, aku kemudian memeluk Sen. Memeluk Sen, yang langsung meledak dalam tangisan. Aku sendiri kemudian ikut menangis. Setelah sama-sama merasa lega, kami tertawa bersama karena merasa sangat konyol. Itu awal mula dari runtuhnya tembok kami terhadap satu sama lain.
Hanya terhadap satu sama lain, tidak kepada orang lain. Aku dan Sen masih dalam tahapan belajar untuk yang satu itu. “Jip?” “Ya?” “Bilang saja.” Aku menatapnya dan Sen membalasku tanpa berkedip. Dalam waktu yang bagi sebagian orang dirasa singkat untuk sebuah persahabatan, kami telah mencapai level kedalaman yang luar biasa. Tapi ada hal-hal yang tidak bisa diukur dari usia dan aku rasa ini adalah salah satu di antaranya. Aku dan Sen telah menjadi begitu dekat hingga kami bahkan seakan mampu saling membaca diri. Sesuatu yang menguntungkan sekaligus juga, terkadang, menyebalkan. “Tidak boleh.” “Kenapa?” “Nanti menyusahkanmu.” “Tidak akan. Bilang saja.” “Sen...” “Kamu ingin bilang ‘jangan pergi’ kan?” Keheningan dan udara panas menerpa kami. Angin lembut mendadak berhembus, membuat lonceng angin yang terpasang di atas kami berkelinting. Sen benar, aku memang tidak ingin dia pergi. Tapi aku tidak mungkin menahannya, tidak boleh. “Bilang saja.” “Apa maksudmu?” tanyaku dengan mata terpicing. Sen tertawa. Pelan, seperti tidak benarbenar ingin tertawa. Sekilas Sen seperti memiliki kepribadian yang terbuka. Banyak teman, banyak cerita, banyak tawa. Namun percayalah, itu hanya salah satu permainannya. Sen gemar memanipulasi orang lain dan hampir selalu memiliki maksud terselubung. “Entahlah... Hanya saja, senang rasanya mengetahui ada orang yang menginginkanku.” “Senang rasanya dibutuhkan.” Aku merasakan sesuatu yang tidak beres. “Sen?” “Aku takut, Jip. Ibu kota jauh sekali dari sini dan tidak ada yang aku kenal di sana. Terlebih lagi harus selalu menggunakan bahasa sopan. Aku tidak mau dipenjara hanya karena salah ucap di depan Yang Mulia Caellum.”
“Tidak ada orang yang pernah dipenjara karena salah ucap di depan Yang Mulia,” aku menertawai ucapan lugu Sen lalu mengelus rambutnya. Dalam waktu yang bagi sebagian orang dirasa singkat, kami telah menganggap hubungan kami bahkan setaraf dengan ikatan persaudaraan. Namun jangan mengira kami selalu akur, ada juga saat-saat di mana kami saling menyakiti. Dan saat kami melakukannya, kami melakukan perbuatan itu dengan sangat kejam dan jahat. Akan tetapi, itulah yang membuat kami menjadi bahkan lebih dekat lagi. Sebab bukan hanya tawa, tapi kami juga akrab dengan luka. “Aku mau kamu pergi menemaniku, Jip.” Lonceng angin kembali berkelinting. Walaupun aku ingin meminta Sen agar tidak pergi, walaupun Sen berkata dia tidak ingin pergi dan ingin ditemani, kami sama-sama tahu dia akan tetap pergi jika saatnya tiba baik dengan maupun tanpa diriku. Yang mengikat kami adalah rasa tidak ingin kesepian. Tapi kami sudah tidak sebodoh dulu, kami tahu kami tidak akan pernah lagi kesepian seperti di masa lalu. Kesepian yang sedemikian mengerikan, bahkan lebih mengerikan dibanding kematian. Karena aku dan Sen tahu, kami saling memiliki. Meskipun begitu ibu kota tetaplah tempat yang sangat jauh dan asing, dan kota ini akan menjadi dingin tanpa keberadaan Sen yang panas menyengat seperti matahari. Telepon dan surat mungkin bisa membantu, tapi tidak sebanyak yang kami perlukan. Tapi kami akan bertahan. Aku dan Sen sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah, dan hidup, meskipun berat, tetap tidak akan bisa menundukkan kami. “Kamu tahu aku juga berencana ke ibu kota, tapi tidak secepat ini,” aku mencandainya. Sen menyeringai bagai bocah. “Aku tahu. Kuliah lanjutan dengan gelar ganda, kamu mengincar jabatan di istana. Sebegitunya tidak ingin jauh-jauh dariku, Jip?” Sen tertawa-tawa sembari menamengi diri dengan lengan saat aku memukulinya bercanda. Aku memang bermaksud mengambil kuliah lanjutan di ibu kota segera setelah lulus dari sekolahku di sini meski sejujurnya aku masih belum tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Saat ini aku hanya ingin bisa pergi dari kota ini secepat mungkin. Meninggalkan masa laluku sejauh mungkin. Tapi aku tidak akan lupa. Sen tidak akan pernah membiarkanku melupakan masa laluku.
“Aku akan menunggumu, Jip,” Sen memejamkan mata. “Aku tunggu kamu di ibu kota. Kita akan sama-sama pergi dari kota ini. Bukan kabur, tapi menemukan jalan baru untuk hidup kita masing-masing. Mungkin kita akan melalui jalur yang terpisah, tapi jangan khawatir.” “Kita akan selalu saling menemukan.” Aku menatap wajah Sen yang tampak damai. Dia tidak tahu aku sedang memperhatikannya, tidak mungkin tahu dengan mata terpejam rapat seperti itu. Bagi orang lain kata-katanya mungkin terdengar bagai omong kosong, namun aku mempercayainya. Tidak ada kebohongan di antara kami. Bahkan hal yang paling menyakitkan sekalipun selalu kami buka di hadapan satu sama lain. Aku tidak mau membohongi Sen dan begitu juga sebaliknya. Kepercayaan yang mengerikan, aku tahu, namun itu membuat kami nyaman. Bagaimanapun, bisa hidup tanpa topeng namun tetap merasa aman bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Aku meletakkan tangan kiriku menutupi wajah Sen. “Jangan pergi.” Aku menengadahkan kepala agar air mataku tidak jatuh ke wajah Sen. Sen meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiriku namun alih-alih menyingkirkan tanganku dia justru menahannya. Basah. Sela jari-jemariku yang terbasahi memberitahuku bahwa Sen juga sedang menangis. “Kita seperti orang bodoh,” aku menghapus bekas air mataku dengan tangan yang lain. “Setuju,” Sen menggosok-gosok mukanya dengan kedua belah tangan. Mata kamu beradu, lalu kami sama-sama tertawa pelan. Sen masuk ke dalam lalu keluar dengan membawa setengah bagian semangka yang sudah dingin beserta dua buah sendok. Kami makan sambil saling bercerita dan bercanda, sesekali terbatuk akibat tersedak semangka. Meski petang mulai menjelang namun hari masih terang. Siang-siang musim panas memang selalu panjang. “Boleh malam ini aku tidur di sini?” “Bayar.” “Aku buatkan makan malam,” Sen melompat ke atas rumput lalu meregangkan badan. “Aku mau nasi almond untuk sarapanku besok,” aku pura-pura merajuk. “Baiklah, makan malam dan sarapan,” Sen tertawa geli. Aku melempar kepalanya dengan cuilan kulit semangka main-main. “Tapi seingatku persediaan almondmu sudah habis. Pergi beli sekarang?”
Tepat di samping rumahku ada jalan kecil yang kiri-kanannya rapat ditutupi pepohonan. Sen sangat menyukai jalan kecil itu sebab dia suka memandangi sinar matahari yang tengah menembus dedaunan. Karena itulah dia selalu memarkir sepedanya di samping, disembunyikan di balik semak-semak. Aku masuk ke dalam untuk mengambil jaket. Ketika aku keluar ke depan rumah, Sen sudah siap di atas sadel sepedanya. Angin semilir menerpa rambutku, membuatnya berkibar ke belakang. Sen menyanyikan sebuah lagu tentang laut dan matahari. Lagu para pelaut. Lagu tentang kami, Sen yang cerah hangat seperti matahari pagi dan aku yang dingin sejuk seperti ombak laut di musim panas. Lagu tentang dua benda yang selalu bersisian walau berseberangan. Aku berpegangan erat di kedua bahu Sen untuk menjaga keseimbangan sebab aku berdiri di atas kedua injakan yang dia pasang di roda belakang. Aku menundukkan kepala ke bawah dan mendapati puncak kepala Sen yang entah bagaimana terlihat seriang wajahnya. Aku tersenyum dan mulai ikut bernyanyi walau dengan suara lebih pelan. Sen benar. Aku dan dia pada akhirnya akan memilih jalan masing-masing. Pada akhirnya, kami akan sampai di tujuan masing-masing. Aku dan dia sama-sama takut, tapi tidak setakut itu juga. Karena kami tahu kami masih akan saling bertemu. Kami akan saling menemukan. Selalu saling menemukan. Biarlah saat ini kami menikmati kebersamaan yang kami miliki, tak mengacuhkan dunia dengan kemewahan zona nyaman yang kami punya. Akan tiba saatnya waktu istirahat ini usai, dan jika momen itu tiba, kami akan harus berjuang dengan segenap hidup kami lagi. Aku menatap sosok Sen yang ada di bawahku dan merekam sosok yang aku sukai itu baikbaik menggunakan memoriku. Hal-hal sederhana semacam ini adalah harta karun bagi kami berdua. Sebenarnya kami sangat khawatir, tapi tidak sekhawatir itu juga. Karena ke arah manapun angin takdir bertiup dan hidup membawa kami, aku dan Sen akan saling menemukan. Aku dan Sen akan selalu saling menemukan. Udara berubah menjadi lebih sejuk, langit tertutup awan yang cerah. Matahari tidak lagi seganas tadi dan dewa angin sudah selesai bermalas-malasan. Segala macam warna tampak lebih jelas dan terang, dan aku berusaha merekam semuanya selengkap mungkin dalam kepalaku. Berusaha menikmati sebaik mungkin berkah-berkah kecil yang dilimpahkan kepadaku. Punggung Sen entah bagaimana caranya tampak riang. Hatiku sungguh senang dan musim panas masih panjang.
Ya. Musim panas masih panjang.