RESUME PERMOHONAN PERKARA
Nomor 005/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 29 Maret 2006 I. PARA PIHAK YANG TERKAIT DALAM POKOK PERKARA PEMOHON
: Prof Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH dkk
KUASA HUKUM
: Prof. Dr. Indrianto Senoadji, SH dkk
PIHAK TERKAIT LANGSUNG : KOMISI YUDISIAL PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG : KRHN, LBH, ICW, KONTRAS II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 1. Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial a. Pasal 1 butir 5 “Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. b. Pasal 20 ”Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim”. c. Pasal 21 “Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim kepada Pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”. d. Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) Ayat (1) huruf e “Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR”.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
Ayat (5) “Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta”. e. Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5) Ayat (2) “Kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”. Ayat (3) “Diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Hakim yang akan di jatuhi sanksi sebagaimana di maksud ayat (3) diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Ayat (5) “Keputusan Presiden mengenai pemberhentian Hakim, ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul ke Mahkamah Agung. f. Pasal 24 ayat (1) “Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”. g. Pasal 25 ayat (3)dan (4) Ayat (3) “Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh Anggota Komisi Yudisial. Ayat (4) “Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas putusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota”.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 34 ayat (3) “Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung dan Hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 a. Pasal 24 B ayat (1) “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim”. b. Pasal 25 “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang” III. ALASAN Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena: 1. Pasal 24 B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim”. Apabila kalimat dalam pasal tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteknya satu sama lain maka akan bermakna “Komisi Yudisial mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung”. 2. Dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan jadi Hakim ditetapkan dengan undang-undang yaitu: Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
a. Hakim Tingkat I dan Banding Peradilan Umum Undang-undang Nomor.8 Tahun 2004; b. Hakim Tingkat I dan Banding Peradilan Tata Usaha Negara UU Nomor 9 Tahun 2004 c. Hakim Tingkat I dan Banding Peradilan Peradilan Agama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 d. Hakim Tingkat I dan Banding Peradilan Militer Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 e. Hakim Agung Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 f. Hakim Mahkamah Konstitusi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Dalam hal ini jelas bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, karena untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding. Lebih jelas lagi bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang untuk mengadakan pengawasan terhadap Hakim Ad Hoc, dari sini jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan kata “Hakim” di dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan seluruh Hakim. Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksudkan oleh Pasal 24 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat, serta perilaku Hakim adalah Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung. 3. Dalam rumusan Pasal 20 dan Pasal 1 butir 5, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 membawa makna bahwa Pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim pada badan peradilan semua lingkungan peradilan termasuk Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi jelas bertentangan dengan Pasal 24 B UndangUndang Dasar Negara Repbublik Indonesia Tahun 1945 karena Pasal 24 B tidak mencakup Hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi karena secara Universal Komisi Yudisial merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
melakukan pengawasan terhadap para Hakim pada peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi: a. Mahkamah
Agung
penyelenggaraan
melakukan
peradilan
di
pengawasan
semua
tertinggi
lingkungan
peradilan
terhadap dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman; b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberikan kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. 4. Khusus mengenai Pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan Pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan Kepada Hakim Konstitusi bersangkutan diberi kesempatan
untuk
membela
diri
terlebih
dahulu
dihadapan
Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tanpa campur tangan Komisi Yudisial. Hal ini berbeda terhadap Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung, yang disamping mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial, juga kepada Hakim yang bersangkutan diberi kesempatan lebih dahulu untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
5. Pengawasan Komisi Yudisial selama ini yang telah memanggil beberapa Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya yaitu Bagir Manan, Mariana Sutadi, Paulus Effendi Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A. Tumpa telah mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan berpotensi bahwa semua Hakim Agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus suatu perkara. Hal ini menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Serta pemanggilan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial karena memutus suatu perkara merupakan sebab akibat (causal verband), hilangnya atau terganggunya kebebasan hakim yang dijamin dalam UUD 1945. 6. Memperluas makna “Hakim” pada Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana berdasarkan pada Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundangundangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. 7. Pemohon juga mendalilkan bahwa, perluasan makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan “penjatuhan sanksi” pada Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah bertentangan dengan asas Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
IV. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya ; 2. Menyatakan isi : ¾ Pasal 1 angka 5 ¾ Pasal 20 ¾ Pasal 21 ¾ Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) ¾ Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5) ¾ Pasal 24 ayat (1) dan, ¾ Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, serta Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, sepanjang yang menyangkut Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, bertentangan dengan Pasal 24 B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 3. Menyatakan pasal-pasal tersebut pada angka 2 di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi ; Atau mohon putusan yang seadil-adilnya.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI