ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi)
Oleh : AKHIRUL SHOLEH NIM : 105046101664 KONSENTRASI MUAMALAH PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Mei 2010
Akhirul Sholeh
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarganya dan para sahabat dan umatnya yang senantiasa cinta padanya. Skripsi yang berjudul Analisa Penerapan Fatwa DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.Ei) Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai kekurangan. Namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan khlayak umumnya. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, diantaranya kepada : 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amien Suma. SH,MA,MM. 2. Ketua Prodi Muamalat, Dr. Eius Amalia M.Ag. dan Sekretaris Prodi Muamalat Ah. Azharuddin Lathif M.Ag. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Dr. Jaenal Arifin M.Ag. beliau dosen pembimbing yang banyak membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis. 4. Dr. H.A. Juaini Syukri, Lcs, MA. dan Dr. Hasanuddin, M.Ag. beliau dosen penguji munaqosah yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis. 5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing selama perkuliahan penulis. 6. Pimpinan serta Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini telah memberikan andil besar dalam menyediakan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini. 7. Bpk. Wisnu Suwarno Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara. 8. Bpk. Muhammad Gunawan Yasni DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara. 9. Ibunda tercinta Suyati dan Almarhum Bapak yang telah mendidik, mendoakan dan berjuang untuk penulis dan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan juga kepada kakak-kakak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
ii
10. Teman-teman Mahasiswa Perbankan Syariah Angkatan 2005 yang telah memberikan dukungan kepada penulis dan teman-teman PS D yang selama 3 tahun berkumpul dan memberikan masukan dan sahabat-sabahat lainnya.. Akhirnya hanya kepada Allah SWT semua kembali, semoga amal yang telah mereka sumbangkan mendapatkan balasan yang lebih baik dan menjadi tabungan kebaikan di akhirat kelak, amin.
Jakarta, 20 Jumadil Awal 1431H. 5 Mei 2010 M.
iii
DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ……………………………..... 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………...... 6
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………........ 7
D.
Tinjauan Pustaka …………………………………….....
E.
Metodologi Penelitian ..................................................... 12
F.
Sistematika Penulisan ..................................................... 16
9
: TINJAUAN TEORITIS A.
Mengenal Murabahah ………………………………….. 18 1. Pengertian Murabahah ……………………………... 18 2. Rukun dan Syarat Murabahah .................................... 21
B.
Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional .............................................................. 25 1. Pengertian Fatwa …………………………………... 25 2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa ................................... 28 3. Sifat Fatwa …………………………………………. 37 4. Metode Fatwa ............................................................ 39
iv
BAB III
:
GAMBARAN UMUM TENTANG BANK BNI SYARIAH PUSAT
BAB IV
A.
Sejarah Singkat Berdirinya Bank ..................................... 49
B.
Produk Bank BNI Syariah ............................................... 52
C.
Struktur Organisasi .......................................................... 68
: ANALISA DAN PEMBAHASAN A.
Kedudukan Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah pada Bank BNI Syariah ……………………………….... 72
B.
Implementasi Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah pada Bank BNI Syariah .................................................... 85
C.
Analisa Penerapan Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah pada Bank BNI Syariah ................................. 93
BAB V
: PENUTUP A.
Kesimpulan ………………………………………......... 111
B.
Saran ............................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………........ 116 LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Surat permohonan dosen pembimbing B. Surat permohonan wawancara ke pihak Bank BNI Syariah Pusat C. Surat permohonan wawancara ke pihak DSN-MUI Pusat
v
D. Surat pernyataan wawancara dari pihak Bank BNI Syariah Pusat E. Hasil wawancara dengan pihak Bank BNI Syariah Pusat F. Hasil wawancara dengan pihak DSN-MUI Pusat G. Lembar Surat perjanjian pembiayaan murabahah dari pihak Bank BNI Syariah Pusat. H. Lembar fatwa No. 49/DSN MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
vi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi syari’ah 1 di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal, pegadaian, leasing, dan lembaga keuangan mikro syariah. Sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan lembaga ekonomi dan keuangan syariah tersebut, maka para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia. 2 DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan
1
Ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai islam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.wikipedia.com. 2 Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.
2
prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS). 3 Tren bank syariah sendiri memang makin marak. Dimulai tahun 1992, ketika Bank Muamalat Indonesia berdiri, sistem perbankan syariah diasumsikan bisa melenggang tenang ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Kenapa bisa demikian? Asumsinya, penerapan sistem bagi hasil dinyatakan lebih baik ketimbang sistem bunga yang dianut bank konvensional. Dalam urusan kredit, syariah sebenarnya tidak menerapkan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti mudharabah, musyarokah atas dasar jual beli (murabahah), atau atas dasar sewa (ijarah). Sistem keuangan dan Perbankan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama tujuannya adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam kedalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka Lembaga Keuangan Syariah bagi kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan Muslim sebagai kewajiban agama. Kemampuan Lembaga Keuangan Syariah menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga
3
Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.
3
itu menghasilkan keuntungan, tetapi pada persepsi bahwa secara sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam. 4 Dalam dunia perbankan, terutama perbankan syariah tidak lepas dari berbagai permasalahan salah satunya adalah masalah pembiayaan, khususnya dalam pembiayaan Murabahah. Pembiayaan merupakan kegiatan utama dalam Perbankan, sebagai usaha untuk memperoleh laba. Akan tetapi pembiayaan rawan resiko kredit yang tidak saja dapat merugikan bank tapi juga berakibat kepada masyarakat penyimpan dan pengguna dana. Penyebab utama terjadinya resiko kredit pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit yang kurang cermat dalam mengantasipasi berbagai kemungkinan resiko usaha yang dibiayainya. 5 Kredit macet dalam pembiayaan merupakan salah satu permasalahan yang harus ditangani dengan serius oleh pihak bank. Sebab menyangkut beberapa pihak yang dapat dirugikan haknya, terutama dari pihak bank dan pihak penyimpan dana. Oleh karena itu, pihak bank dapat memberikan sanksi administratif kepada nasabah yang melakukan kredit macet. 6 Ada fenomena menarik dalam permasalahan resiko kredit pembiayaan murabahah di Perbankan Syariah. Pihak Perbankan Syariah melakukan konversi
4
Raymond Dantes, Bank Syariah Antara Teori Dan Realita: Studi Komperatif Akad dan Produk Bank Syariah di Dunia Islam., diakses pada 08 Mei 2008 dari http//www.konsultasimuamalat.com/home/index php. 5 Drs. Zainul Arifin, MBA, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006),cet.4, h.225. 6 Kasmir,SE.,MM., Pemasaran Bank. (Jakarta: Kencana 2007). hal.29.
4
akad murabahah supaya nasabah yang telah menunggak tagihan bank dapat segera melunasi hutang-hutang tersebut. Akan tetapi, tidak semudah membalikkan tangan bagi perbankan syariah untuk melakukan reconditioning pembiayaan murabahah tersebut. Adanya aturan-aturan untuk melakukan reconditioning pembiayaan murabahah tersebut, salah satunya dengan meminta Dewan Syariah Nasional untuk berijtihat supaya dapat mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bank.
ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ، ﺛﻨﺎ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ اﻟﺰﻧﺠﻲ، ﺛﻨﺎ هﺸﺎم ﺑﻦ ﻋﻤﺎر، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ أﺑﻲ زرﻋﺔ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ، ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس، ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ، ﻋﻦ داود ﺑﻦ اﻟﺤﺼﻴﻦ، ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ رآﺎﻧﺔ ، ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ: ﻓﻘﺎﻟﻮا، ﺟﺎءﻩ ﻧﺎس ﻣﻨﻬﻢ، اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻟﻤﺎ أﻣﺮ ﺑﺈﺧﺮاج ﺑﻨﻲ اﻟﻨﻀﻴﺮ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ، إﻧﻚ أﻣﺮت ﺑﺈﺧﺮاﺟﻨﺎ وﻟﻨﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎس دﻳﻮن ﻟﻢ ﺗﺤﻞ ﺠُﻠﻮْ » ﻟﻢ ﻳﺮو هﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ رآﺎﻧﺔ إﻻ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ « )ﻓﻲ ﺿَ ُﻌﻮْا و َﺗ َﻌ ﱠ: 7
(اﻟﻜﺘﺎب اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻻوﺳﻂ ﻟﻠﻄﺒﺮاﻧﻲ
Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo” Maka Rasulullah saw berkata: “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”. (H.R. Thabrani dalam Kitab Al-Mu’jam al Aswad, juz 15, hal.24) Telah kita ketahui bahwa, fatwa merupakan salah satu pendirian dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan 7
Kitab Al-Mu’jam al-Ausad lil Thabrani. Dalam Maktabah Syamilah. Juz 15, h.24.
5
alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi). 8 Dari penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dikeluarkan jika terdapat permasalahan yang muncul dalam perkembangan ekonomi syariah. Dalam melaksanakan penyusunan fatwa tentang produk perbankan syariah, maka pada tahapan proses penetapannya DSN akan berkonsultasi dengan Bank Indonesia khususnya untuk memperoleh pandangan tentang aspek teknis keuangan dan perbankan serta keselarasan fatwa dengan berbagai hukum positif yang terkait dengan perbankan syariah. 9 Apabila kita kaitkan dengan permasalahan pada pembiayaan Murabahah, maka yang menjadi permasalahannya adalah masih adakah penerapan dan efektivitas
Fatwa
DSN
No.49/DSN/MUI/II/2005
tentang
Konversi
Akad
Murabahah yang dipakai oleh Perbankan Syariah dalam meminimalkan permasalahan pada pembiayaan Murabahah. Sebab hal ini sangatlah penting dalam mewujudkan suatu pembiayaan yang bebas dari permasalahan yang sering kali dapat mempersulit dan merugikan pihak perbankan. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis akan memilih tempat penelitian di Bank BNI Syariah Pusat. Hal ini disebabkan pada tahun berdirinya Bank BNI 8
Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org. 9 Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Perbakan Syariah Tahun 2008. Jakarta : 2008.
6
Syariah sekitar tahun 2001, maka berpendapat adanya jangka waktu yang cukup lama sebelum dikeluarkannya Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah. Disamping itu, hanya Bank BNI Syariah yang mau menerima penulis dalam melaksanakan proses penelitian tersebut. Berdasarkan pemahaman dan pengkajian mengenai permasalahan di atas, serta keinginan untuk menelusuri lebih jauh bagaimana peran dan eksistensi fatwafatwa Dewan Syariah Nasional bagi kemajuan Perbankan Syariah. Dengan demikian penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah skipsi dengan judul ”ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSNMUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Banyak penelitian yang telah membahas tentang pembiayaan murabahah yang merupakan salah satu produk yang dibuat oleh bank syariah dengan berbagai macam penelitian yang difokuskan oleh para penulis. Pada penelitian ini penulis akan membatasi permasalahan hanya pada ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”. 2. Perumusan
7
Dari uraian latar belakang, penulis merumuskan masalah penelitian dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan Syariah? Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah. b. Bagaimana implementasi atau penerapan fatwa DSN di Lembaga Keuangan
Syariah?
Terutama
implementasi
Fatwa
DSN
No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah. c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kedudukan dan implementasi Fatwa
DSN
No.49/DSN/MUI/II/2005
Tentang
Konversi
Akad
Murabahah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan diangkatnya skripsi yang berjudul ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”. Sesuai uraian permasalahan di atas akan memberikan beberapa hal penjelasan untuk menjawab permasalahan tersebut diantaranya : a. Penjelasan posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan Syariah. Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
8
b. Penjelasan implementasi atau penerapan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan
Syariah.
Terutama
implementasi
Fatwa
DSN
No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah. c. Mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kedudukan dan implementasi Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah. Dengan demikian menurut penulis dianggap penting untuk mengetahui pandangan dari Dewan Syariah Nasional (DSN), UU No. 21 tahun 2008 pasal 125 tentang Konversi Akad Murabahah, PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah dan Lembaga Keuangan Syariah dalam menyikapi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah. Berdasarkan tujuan di atas maka perlu adanya manfaat dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut : 1. Dalam lembaga kepustakaan, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmu dalam memperkaya cakrawala khazanah pemikiran hukum islam. 2. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih dalam mengenai penggunaan menyikapi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah di Lembaga Keuangan Syariah yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
9
3. Dapat mengetahui prosedur penggunaan fatwa-fatwa dalam mengatasi permasalahan di Lembaga Keuangan Syariah. 4. Dapat
mengetahui
upaya
Lembaga
Keuangan
Syariah
dalam
menggunakan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah untuk menyelesaikan permasalahan. 5. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Lembaga Keuangan Syariah terutama tentang reconditioning akad murabahah jika terjadi permasalahan. 6. Dapat memberikan penjelasan tentang eksistensi dan peran dari Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah kepada masyarakat umumnya dan kepada nasabah khususnya. D. Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian studi terdahulu melalui beberapa skripsi terdahulu untuk mengetahui apa saja yang sudah diteliti, dan mengetahui kekurangan serta kelebihan yang terdapat dalam skripsi terdahulu. Dengan demikian penulis melakukan penelitian skripsi yang disusun oleh Ardi Triyanto dengan judul Analisa Efektivitas Penerapan Pembiayaan Murabahah Pada Lembaga Multifinance (Studi Kasus PT. Federal International Finance Tbk. Divisi Usaha Syariah). Dalam skripsi tersebut
10
membahas tentang analisa penerapan pembiayaan di Lembaga Multifinance, dan hasil penelitiannya adalah : 1. Sistem murabahah yang ideal belum sepenuhnya menerapkan prinsip murabahah yang ideal, terlihat ada beberapa hal yang belum sesuai. Misalnya dalam sistem operasionalnya khususnya dalam hal pengadaan barang yang dipesan oleh konsumen masih belum sepenuhnya dimiliki oleh FIF Syariah. Kemudian hal lain juga terjadi dalam operasional di lapangan terutama transparasi margin yang belum tertransparasikan kepada konsumen ketika terjadi akad awal. 2. Faktor utama yang memiliki peran penting dalam mendukung efektivitas pembiayaan murabahah yang ada di FIF Syariah adalah pertama, faktor Sumber Daya Manusia yang berkompeten dari sisi skill dan pemahaman terhadap muamalah syariah dan kedua, faktor teknologi informasi yang canggih dan mudah di akses. Bacaan kedua penulis adalah penelitian skripsi yang disusun oleh Silvi Yanti dengan judul Dominasi Murabahah Pada Perbankan Syariah Dalam Perspektif Manajemen Resiko (Studi kasus Pada Permata Bank Syariah). Dalam skripsi tersebut membahas tentang penerapan manajemen resiko pada Bank Permata Syariah, dan hasil penelitiannya adalah adalah : 1. Penerapan manajeman resiko oleh Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 dan resiko-resiko
yang
disyaratkan
Bank
Indonesia
untuk
dikelola
11
diantaranya: resik kredit, (pembiayaan), resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategi dan resiko kepatuhan. 2. Program manajemen resiko yakni untuk mengidentifikasikan resiko-resiko yang dihadapi mengukur besar dan kecilnya, kemudan ditarik jalan untuk menangani resiko itu. Jika resiko itu kecil, maka harus dikendalikan. Bacaan ketiga penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Mahfudin dengan judul skripsi Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Dalam Pembiayaan KPR Syariah Pada unit Usaha Syariah Pt. Bank Permata Tbk. Dalam skripsi tersebut membahas tentang aplikasi pembiayaan KPR Syariah pada Bank Permata Syariah, dan hasil penelitiannya adalah: Biaya kredit pada pembiayaan bank syariah berdasarkan murabahah atau mark up harga adalah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berdasarkan bunga (fixed) yaitu pada sisi faktor yang mempengaruhi keduanya, pembagian resiko, hubungan antara bank dan nasabah, dan juga paada penyelesaian hutang akan dikenakan sanksi apabila telah membayarnya. Subtansi dalam skripsi diatas jelas berbeda dengan penulisan skripsi ini karena ada beberapa perbedaan yakni : 1. Perbedaan tempat penelitian yakni di Bank BNI Syariah Pusat. 2. Perbedaan objek yang akan diteliti, yakni penelitian tentang Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
12
3. Pandangan UU. No.21 Tahun 2008 Pasal 125 Tentang Konversi Akad Murabahah, dan PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah terhadap masalah tingkat kredit macet di perbankan syariah. 4. Alasan dasar hukum Dewan Syariah Nasional (DSN) memutuskan dan mengeluarkan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah tersebut. E. Metode Penelitian Dalam upaya mendapat data yang akurat, lengkap, dan objektif, untuk penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian melalui: 1. Jenis Penelitian. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang merupakan penelitian melalui pengamatan lansung di lapangan yang berlokasi pada PT. Bank BNI Syariah Pusat. Dimana penelitian ini akan menggabungkan fakta dan teori-teori yang diambil dari studi kepustakaan melalui pengupasan dari buku-buku dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab fiqih, serta berbagai literatur lainya yang dapat dijadikan sebagai rujukan yang berhubungan dengan bahasan yang sedang dikerjakan. 2. Pendekatan Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan analisis Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang
13
Konversi Akad Murabahah dengan cara mengurai dan mendiskripsikan putusan fatwa, kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga di temukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis. 10 3. Sumber Pengumpulan Data. Sumber pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan–bahan mengikat yakni; Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah, UU No. 21 tahun 2008 pasal 125 Tentang Konversi Akad Murabah, PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah yang digunakan oleh pihak Bank. Dan sumber pengumpulan data bahan sekunder yaitu bahan–bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer 11 ; Buku-buku, pendapat ulama yaitu pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama dari Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang penjelasan dan pengeluaran fatwa yang berkaitan dengan konversi akad murabahah, penjelasan dari pihak Bank dalam menggunakan fatwa tersebut, dan penjelasan dari para Praktisi Hukum Ekonomi Islam.
10
Amiruddin. Zainal Asikin., Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2003. 11 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif suatu tinjaun singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. hal 13
14
4. Teknik Pengumpulan Data. a. Studi Pustaka, dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu pengertian yang bersifat teoritis, untuk itu penulis menggunkan beberapa literatur yang mendukung penelitian ini dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Studi ini dilakukan untuk menguji kebenaran serta relevansi antara teori yang terdapat dalam buku dengan praktek di lapangan. b. Wawancara, adalah proses pengumpulan data dan memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan menggunakan alat yang dinamakan pedoman wawancara. 12 Proses wawancara ini akan ditujukan kepada beberapa nara sumber diantaranya : - DPS (Dewan Pengawas Syariah) BNI Syariah atau staff DPS BNI Syariah. - DSN (Dewan Syariah Nasional) sebagai pembuat fatwa-fatwa perbankan. c. Dokumenter, berupa pengumpulan data-data yang diperoleh melalui data dokumentasi. Maka data yang akan penulis analisa berupa Fatwa
12
234.
Nazir,Muh. Ph.D. Metode Penelitian. Jakata : Ghalia Indonesia, 1988. cetakan ketiga. hal.
15
DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah dan peraturan-peraturan yang lainnya. 5. Analisa Data. Seluruh data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dan kepustakaan diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifiksi data. Estela diklarifikasi lalu di analisis, dalam hal ini data yang di kumpulkan penulis adalah kualitatif, maka teknik analisa data yang digunakan adalah content análisis (analisa isi), artinya penulis menggambarkan sesuatu yang menjadi objek penelitian secara kritis melalui analisa isi yang bersifat kualitattif. Deskriptif dimaksudkan memberikan data yang seteliti mungkin keadaan dan gejalanya. 13 Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing. 6. Teknik Penulisan. Tehnik penulisan dalam penyusunan penulis berpedoman pada prinsipprinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum tahun 1428 H/2007 M, agar penulisan skripsi ini sesuai dengan kaidah penulisan skripsi.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, tahun 1984. hal.10.
16
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan menguraikan logika yang mendasari tahap-tahap uraian penulisan pelaporan hasil penelitian. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan Dalam bab ini penulis mengenal alasan pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II. Tinjuan Teoritis Dalam bab ini, penulis menjelaskan tentang mengenal Murabahah, diantaranya: Pengertian, Rukun dan Syarat Murabahah. Disamping itu menjelaskan juga tentang deskripsi umum tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional,diantaranya: Pengertian, Metode, Sifat dan Implikasi Fatwa terhadap Perkembangan Hukum Islam. Bab III. Gambaran Umum tentang Bank Dalam bab ini Menguraikan tentang profil dari tempat penelitian dan menguatkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka penelti mendeskripsikan objek-objek penelitian ini terdiri dari: Sejarah Singkat, Visi dan Misi, Struktur Organisasi Bank.
17
Bab IV. Analisa dan Pembahasan Dalam bab ini penjelasan tentang informasi yang dihasilkan dalam pengelolaan data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan metode yang digunakan dengan berpedoman pada landasan teori dasar. Bab V. Kesimpulan dan Saran Dalam bab ini merupakan bab penutup dari skripsi yang menyajikan kesimpulan, yang berisi penjelasan secara singkat dari hasil pembahasan dan analisa, dan penulis juga mencoba untuk mengemukakan saran yang dianggap perlu untuk dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembaca.
18
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Mengenal Bai’ Murabahah 1. Pengertian Bai’ Murabahah Bai’ Murabahah adalah jual beli barang yang harga asalnya dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Secara bahasa kata “murabahah” berasal dari Bahasa Arab dengan asal kata (رﺑﺢ-ﻳﺮﺑﺢ-رﺑﺢ.) yang berarti beruntung atau mendapatkan laba. 1 Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Bai’ Murabahah yang dikemukakan oleh : a. Menurut di dalam kitabnya fiqh sunnah murabahah adalah penjualan dan harga pembelian barang berikut keuntungan yang diketahui.2 b. Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, Murabahah adalah jika penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia menyaratkan atas labanya dalam jumlah tertentu, dinar atau dirham. 3 Bai’ Murabahah merupakan salah satu jual beli yang dibenarkan oleh syariah islam dan suatu implementasi muamalah “tijarah” (interaksi bisnis). Maka dapat digambarkan praktek Bai’ Murabahah sebagai berikut : 1
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). hal.463. 2 Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12. Al-Ma’rif, (Bandung, 1995). h.47. 3 Ibnu Rusyd. Terjamahan Bidayatul Mujtahid Jilid III. Penerbit As-Syifa’, (Semarang, 1990). h.181.
19
“Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp.10.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.750.000,dan ia menjual kepada pembeli dengan harga Rp.10.750.000,- Jadi penjual memberitahukan kepada pembeli besarnya harga pokok dan keuntungan yang dia minta. Pada umumnya pedagang eceran tidak akan membeli barang dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli". 4 Dari beberapa pengertian Bai’ Murabahah penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa murabahah adalah suatu akad jual beli barang dengan menyebutkan harga pokok, biaya-biaya, dan keuntungan yang disepakati dengan pembeli beserta pembayaran secara tunai. Murabahah sebagaimana digunakan dalam perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok yang harus diketahui oleh nasabah, dimana perkara tersebut tidak terdapat pada jual beli lainnya, diantaranya adalah : 1. Harga beli barang dan biaya terkait 2. Kesepakatan atas mark up (keuntungan). Dengan demikian murabahah dapat dikatakan transaksi kepercayaan, karena pembeli mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang akan dibelinya. Ketika bank menawarkan skim murabahah maka sebenarnya bank akan menawarkan kepercayaan dan good willnya kepada nasabah dan sebaliknya nasabah yang memberikan kepercayaan penuh kepada pihak bank.
4
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi. (Jakarta: Bank Indonesia bekerjasama dengan Tazkia Institute, Desember 1999), h. 159.
20
Bai’ Murabahah merupakan sarana jual beli atau saling tukar menukar harta diantara sesama manusia yang mempunyai landasan hukum yang amat kuat dalam islam. Diantara landasan hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum bai’ murabahah adalah sebagai berikut : QS. An-Nisa’ ayat 29
⌧ (٢٩ : ) اﻟﻨﺴﺂء.
☺
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’(4): 29) Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang berdagang tidak boleh mengambil untung terlalu banyak atau tinggi, karena itu akan memberatkan nasabah dan juga dapat memakan harta saudaranya dengan jalan bathil atau merugikan orang lain. Dengan demikian dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa penjual dan pembeli harus sama-sama rela, suka sama suka saat transaksi berniaga, penjual rela menyerahkan barangnya dan pembeli juga rela memberikan uangnya. Dalam transaksi murabahah, barang yang telah dibeli dibayar dengan cara tunai. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat islam untuk memenuhi akad-akad yang telah dibuat dan disepakati oleh manusia itu sendiri. Akad itu sendiri mencakup janji prasetya kepda Allah SWT dan perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh manusia dalam pergaulan sesamanya
21
Dalam setiap perniagaan tidak selamanya berjalan sesuai dengan syariatsyariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Oleh karena itu, setiap perniagaan harus berhati-hati dan semaksimal mungkin untuk menjauhi kecurangan atau praktek riba. Dalam Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 275 (٢٧۵ : ) اﻟﺒﻘﺮة...
Artinya : …“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”… (QS. Al-Baqarah(2) : 275). Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli, karena jual beli mendapatkan harta seseorang dengan jalan sukarela diantara mereka, dan Allah SWT telah mengharamkan riba karena hal itu berarti melipat gandakan pembayaran uang salah satu orang diantara mereka. Ayat di atas merupakan teguran dan perintah untuk semaksimal mungkin menjauhi praktek riba, sehingga tidak saling merugikan dalam perniagaan. 2. Rukun dan Syarat Bai’ Murabahah a. Rukun Bai’ Murabahah Bai’ Murabahah adalah suatu transaksi jual beli, dengan demikian rukunrukunnya sama dengan rukun jual beli, adalah sebagai berikut : 1) Pihak yang berakad dalam jual beli yaitu : penjual dan pembeli. 2) Objek yang diakadkan, meliputi barang yang diperjual belikan dan harga barang yang diperjual belikan.
22
3) Akad atau sighot yaitu : ijab dan qobul. 5 Adapun ketentuan rukun Bai’ Murabahah adalah sesuai dengan rukun jual beli di atas yaitu : 1) Pihak yang berakad menurut ulama fiqh sepakat, bahwa orang yang melakukan akad murabahah harus memenuhi syarat sebagai berikut : a) Cakap hukum dan baligh (berakal sehat dan dapat membedakan baik-buruk) sehingga jual beli dengan orang gila tidak sah, sedangkan dengan anak kecil dianggap sah apabila seijin orang tua atau walinya. b) Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. 6 2) Orang jual beli harus memenuhi : a) Barang yang diperjual belikan adalah barang yang halal b) Barang yang diperjual belikan harus bisa diambil manfaatnya atau memiliki nilai. c) Barang tersebut dimiliki oleh penjual.bukan milik orang lain. d) Barang tersebut dapat diserah terimakan tanpa syarat. e) Barang
tersebut
harus
diketahui
secara
spesifik
dan
diindentifikasikan oleh penjual. f) Barang tersebut diketahui kuantitasnya dengan jelas. 5
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.77. 6
Hasan Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004). h.119.
23
g) Barang tersebut dapat diketahui kualitasnya dengan jelas. h) Harga barang tersebut jelas. i) Barang tersebut diakadkan secara fisik dan ditangan penjual. 7 3) Ketentuan yang terkait dengan ijab qabul Perkara utama dalam bai’ Murabahah adalah kerelaan diantara penjual dan penbeli. Kerelaaan ini dapat terlihat saat akad berlangsung, maka ijab qabul harus diucapkan secara jelas karena transaksi ini mengikat kedua belah pihak. Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut : a) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad. b) Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifiksi barang maupun haraga yang disepakati. c) Tidak menggantungkan klausul yang bersifat keabsahan transaksi pad شhal atau kejadian yang akan datang. d) Tidak membatasi waktu, misalnya : “saya jual barang ini kepada anda dalam jangka waktu 12 bulan, setelah itu maka jadi milik saya kembali”. 8
7
Sri Nurharyati dan Washilah. Akuntamsi Syariah di Indonesia. (Jakarta : Salemba Empat, 2008). h.166. 8 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.18.
24
b. Syarat Bai’ Murabahah Dalam Bai’ Murabahah juga dibutuhkan beberapa syarat untuk melengkapi rukun bai’ murabahah diatas, diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : 1) Mengetahui harga pertama ( harga pembelian). 2) Mengetahui besarnya keuntungan . 3) Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis, seperti benda-benda yang dapat ditakar dan ditimbang. 4) Sistem Bai’ Murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut terhadap harga pertama. 5) Transaksi pertama harus sah secara syara’. 9 Skema Jual-Beli Akad Murabahah 1.Negoisasi & Persyaratan 2.Akad jual beli
PENJUAL
5. Serah Terima Barang 6. Bayar Tunai 3. Beli barang SUPLIER BARANG 4. Kirim barang
9
Wiroso. Jual Beli Murabahah. h.18.
PEMBELI
25
Berdasarkan Skema Bai’ Murabahah diatas, sang penjual melakukan pembelian barang setelah ada negoisasi atau pemesanan barang
dari pembeli.
Untuk menunjukkan keseriusan pembeli, penjual boleh meminta “hamish ghadiya” 10 (artinya uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul). Jika di kemudian hari pembeli membatalkan pesanannya, maka uang muka tersebut dapat digunakan untuk menutupi kerugian sang penjual. Apabila kerugian tersebut lebih besar dari uang muka, maka penjual dapat meminta kekurangan itu kepada sang pemesan dan sebaliknya terdapat kerugian yang lebih kecil maka sang penjual wajib mengembalikan sisanya kepada sang pemesan. B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional 1. Pengertian Fatwa Secara etimiologi fatwa berasal dari bahasa arab yaitu ( )اﻻﻓﺘﺎءyang yang merupakan mufrod (tunggal) dan memiliki arti pendapat resmi atau fatwa. 11 Menurut bahasa Indonesia fatwa berarti “jawaban” atau keputusan yang diberikan oleh ahli hukum islam atau mufti. 12 Di dalam Al-quran terdapat bentuk kata yang menggambarkan aktivitas konsultasi hukum, jadi kata fatwa disini dapat diartikan sebagai mengerjakan sesuatu dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. 10
Hamish ghadiyah adalah uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul. Lihat juga buku Adi Warma Azhwar Karim, bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta : IIIT Indonesia, 2003). h.163. 11 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). h.1034. 12 Mufti adalah orang pemberi fatwa tentang suatu masalah. Lihat di buku Muhammad Ali. Kamus Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani. h.96.
26
Firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 176
⌧ ☺
⌧ ⌧
☯
⌧ ☯
(١٧٦ : ) اﻟﻨﺴﺎء
⌧ .
⌧
Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) 13 . Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. AnNisaa’(4): 176). Penggunaan kata “ístifta’” pada ayat tersebut merupakan sebuah penjelasan singkat terhadap terminology yang berkaitan dengan aktivitas pemberian keputusan hukum (menerangkan hukum suatu masalah atau perkara). Terdapat beberapa pengertian tentang fatwa yang dikemukakan oleh :
13
Kalalah artinya seseorang yang telah meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan
27
a. Menurut M. Hasbi Ash-Shidiqie memberikan maksud bahwa fatwa adalah sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya. 14 b. Menurut Yusuf Qardhawi memberikan maksud bahwa fatwa adalah menerangkan atau menjelaskan hukum syara’ dari suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh yang meminta fatwa, baik individu, maupun kolektif atau lembaga. 15 c. Dalam ilmu Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diminta atau diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pihak pribadi, lembaga atau kelompok masyarakat. 16 d. Menurut Zamakhsyari, fatwa adalah penjelasan hokum syara’ tentang suatu permasalahan atas pertanyaan seseorang atau kelompok. 17 e. Menurut As-Syatibi, fatwa dalam arti al-iftaa berarti keteranganketerangan tentang hukun syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti. 18 Beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fatwa merupakan suatu pendapat atau jawaban yang diberikan oleh seorang mujtahid, mufti atau ahli hukum islam terhadap suatu pertanyaan atau permasalahan 14
M. Hasbi Ash-Shidiqie. Peradilan dan Hukum Acara Islam.(Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001). h.86. 15
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : Elsas, 2008). h.20. Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). h.32. 17 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : Elsas Jakarta, Juli 2008). h.20. 18 Ibid., h.20. 16
28
penting menyangkut masalah hukum islam yang diminta oleh pihak pribadi atau lembaga atau kelompok masyarakat. Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Sedangkan ifta’ hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad. 19 Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai
hukum suatu
permasalahan
yang
dihadapinya.
Apabila
mufti
menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, disertai dalildalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan. 2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk tahakkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan
19
Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com/web/index.php.
29
hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan (adillah syar’iyyah). Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang dapat dijadikan dasar penetapan fatwa dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa. Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adilliah al-ahkam al-muttafaq ‘alaihi), yaitu meliputi : a. Al-Quran Para ulama menjelaskan bahwa kata “Al-qur’an” secara etimologi berasal dari bahasa Arab ﻗﺮء-ﻳﻘﺮء- ﻗﺮءyang mempunyai arti “bacaan”. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah ayat 17-18. 20
(١٨-١٧ : ) اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ..
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-Qiyamah (75):1718). Para ulama juga menyimpulkan ciri-ciri Al-qur’an sebagai berikut : 21 1). Al-qur’an merupakan lafadz 2). Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
20
KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.59. 21 Ibid., h.60.
30
3) Al-qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir (diturunkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang). 4). Membaca setiap kata dalam Al-qur’an mendapat pahala, baik bacaan itu berasal dari hafalan maupun dibaca langsung dari mushaf Alqur’an. 5). Al-qur’an itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan suarat An-Nass. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun sesuai dengn petunjuk Allah melalui malaikat Jibril Nabi Muhammad saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Para ulama sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah, dimana seorang mujtahid harus mendahulukan nash-nash Al-qur’an sebagai dasar penetapan sebelum mempergunakan sumber hukum lainnya. Begitu juga dalam penetapan fatwa, Al-qur’an merupakan dasar pertimbangan pertama sebelum beralih pada yang lainnya. Apabila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam Al-qur’an, maka barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil yang lainnya. b. As-Sunnah Pengertian As-Sunnah dari sisi bahasa adalah “jalan yang biasa di lalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Hal ini bias kita lihat dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi :
31
ْﻋﻦ َ ﺤﻴْ َﻔ َﺔ َﺟ ُ ﻦ أَﺑِﻲ ِ ْن ﺑ ِ ْﻋﻮ َ ْﻋﻦ َ ﺷﻌْ َﺒ ُﺔ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺟﻌْ َﻔ ٍﺮ َ ﻦ ُ ْﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ َ ي َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻣ ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ اﻟْ َﻌ َﻨ ِﺰ ﱡ ُ ْﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪﺛَﻨِﻲ ُﻣ َ ﺳ ﱠﻨ ًﺔ ُ ﻦ ﻓِﻲ اﻟْ ِﺈﺳْﻠَﺎ ِم ﺳﱠ َ ْ َﻣﻦ...ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋ َﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻋﻨْ َﺪ َرﺳُﻮ ِل اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﻋﻦْ َأﺑِﻴ ِﻪ ﻗَﺎ َل ُآﻨﱠﺎ َ ﺟﺮِﻳ ٍﺮ َ ﻦ ِ ْاﻟْ ُﻤﻨْ ِﺬ ِر ﺑ ﻦ ﻓِﻲ ﺳﱠ َ ْﺺ ِﻣﻦْ ُأﺟُﻮ ِر ِهﻢْ ﺷَﻲْءٌ َو َﻣﻦ َ ﻏﻴْ ِﺮ َأنْ َﻳﻨْ ُﻘ َ ْﻋ ِﻤ َﻞ ِﺑﻬَﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ ِﻣﻦ َ ْﺴ َﻨ ًﺔ َﻓ َﻠ ُﻪ أَﺟْ ُﺮهَﺎ َوَأﺟْ ُﺮ َﻣﻦ َ ﺣ َ ْﺺ ِﻣﻦْ َأوْزَا ِر ِهﻢ َ ﻏﻴْ ِﺮ َأنْ َﻳﻨْ ُﻘ َ ْﻋ ِﻤ َﻞ ِﺑﻬَﺎ ِﻣﻦْ َﺑﻌْ ِﺪ ِﻩ ِﻣﻦ َ ْﻋ َﻠﻴْ ِﻪ ِوزْ ُرهَﺎ َو ِوزْ ُر َﻣﻦ َ ن َ ﺳ ﱢﻴ َﺌ ًﺔ آَﺎ َ ﺳ ﱠﻨ ًﺔ ُ اﻟْ ِﺈﺳْﻠَﺎ ِم 22 ( )رواﻩ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻓﻲ اﻟﻜﺘﺎب اﻟﺼﺤﺢ اﻟﻤﺴﻠﻢ.ٌﺷَﻲْء Sedangkan secara terminology, As-Sunnah bisa dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut disiplin ilmu hadis, pengertian Sunnah sama dengan pengertian Hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya atau sifatnya sebagai manusia, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah di angkat menjadi rasul”. Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ushul fiqh adalah : “segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”. 23 Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ilmu fiqh, disampingnya pengertian yang dikemukan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”. Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di kalangan ahli ushul fiqh, disebabkan perbedaaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh memandang bahwa Sunnah tersebut merupakan salah satu sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu hukum taklifi.
22 23
Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5, h.198. Ibid., h.76.
32
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga bentuk (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi yang kedua setelah Al-qur’an. Sehingga dalam penetapan fatwa, As-Sunnah menjadi rujukan kedua setelah Al-qur’an. Ada beberapa alasan yang dikemukan oleh para ulama untuk mendukung penyataan di atas, di antaranya adalah sebagai berikut : 24 1). Surat Ali Imran ayat 31.
(٣١ : ) اﻟﻌﻤﺮان.
⌦
⌧
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Imran: 31). 2). Surat Al-Ahzab (33)ayat 21 ⌧ ⌧ ) .
☺ ⌧
⌧ (٢١ : اﻻﺣﺰب
Artinya : “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".(QS. Al-Ahzab ayat 21). (QS. Al-Ahzab (33)ayat 21). 3). Surat Al-Hasyr (59) ayat 7.
( ٧ : ) اﻟﺤﺸﺮ 24
h.87.
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
33
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(QS. Al-Hasyr (59) ayat 7). 4). Surat An-Nisa’ (4)ayat 59.
⌧ ) .
⌧ ( ۵٩ :اﻟﻨﺴﺎء
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa’ (4)ayat 59). 5). Hadist ﻦ ِ ْﻦ اﻟْ ِﻤﻘْﺪَا ِم ﺑ ِﻋ َ ﻲ ﺷﱢ ِ ﺠ َﺮ ُ ْف اﻟ ٍ ْﻋﻮ َ ﻦ أَﺑِﻲ ِ ْﻦ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ َ ْﻋﻦ َ ٌن ﻗَﺎ َل َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ ﺣَﺮِﻳﺰ َ ﻦ هَﺎرُو ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َﻳﺰِﻳ ُﺪ ﺑ َ ب َو ِﻣﺜْ َﻠ ُﻪ َﻣ َﻌ ُﻪ أَﻟَﺎ َ ﺖ اﻟْ ِﻜﺘَﺎ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ أَﻟَﺎ إِﻧﱢﻲ أُوﺗِﻴ َ ﻋ َﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل اﻟﱠﻠ ِﻪ. ي ﻗَﺎ َل ب اﻟْ ِﻜﻨْ ِﺪ ﱢ َ َﻣﻌْﺪِي َآ ِﺮ ن َﻓﻤَﺎ ِ ﻋ َﻠﻴْ ُﻜﻢْ ﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ َ ﻋﻠَﻰ َأرِﻳ َﻜ ِﺘ ِﻪ َﻳﻘُﻮ ُل َ ﺷﺒْﻌَﺎﻧًﺎ َ ﺟﻞٌ َﻳﻨْ َﺜﻨِﻲ ُ َﻚ ر ُﺷ ِ ن َو ِﻣﺜْ َﻠ ُﻪ َﻣ َﻌ ُﻪ ﻟَﺎ ﻳُﻮ َ ﺖ اﻟْ ُﻘﺮْﺁ ُ إِﻧﱢﻲ أُوﺗِﻴ ﻲ ﺤﻤَﺎ ِر اﻟْ َﺄهْ ِﻠ ﱢ ِ ْﺤ ﱡﻞ َﻟ ُﻜﻢْ َﻟﺤْ ُﻢ اﻟ ِ ﺤ ﱢﺮﻣُﻮ ُﻩ َأﻟَﺎ ﻟَﺎ َﻳ َ ﺣ َﺮا ٍم َﻓ َ ْﺟﺪْ ُﺗﻢْ ﻓِﻴ ِﻪ ِﻣﻦ َ ﺣﻠﱡﻮ ُﻩ َوﻣَﺎ َو ِ ﺣﻠَﺎ ٍل َﻓ َﺄ َ ْﺟﺪْ ُﺗﻢْ ﻓِﻴ ِﻪ ِﻣﻦ َ َو ﺣ ُﺒﻬَﺎ َو َﻣﻦْ َﻧ َﺰ َل ِ ﻋﻨْﻬَﺎ ﺻَﺎ َ ﻲ َ ﻄ ٌﺔ ِﻣﻦْ ﻣَﺎ ِل ُﻣﻌَﺎ َه ٍﺪ ِإﻟﱠﺎ َأنْ َﻳﺴْ َﺘﻐْ ِﻨ َ ع َأﻟَﺎ َوﻟَﺎ ُﻟ َﻘ ِ ﺴﺒَﺎ ب ِﻣﻦْ اﻟ ﱢ ٍ َوﻟَﺎ ُآﻞﱡ ذِي ﻧَﺎ 25 ِْﺑ َﻘﻮْ ٍم َﻓ َﻌ َﻠﻴْ ِﻬﻢْ َأنْ َﻳﻘْﺮُو ُهﻢْ َﻓ ِﺈنْ َﻟﻢْ َﻳﻘْﺮُو ُهﻢْ َﻓ َﻠ ُﻬﻢْ َأنْ ُﻳﻌْ ِﻘﺒُﻮ ُهﻢْ ِﺑ ِﻤﺜْ ِﻞ ِﻗﺮَا ُهﻢ Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam hadist di atas, menurut jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw. c. Ijma’
25
Kitab Musnad Ahmad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 35. h.37.
34
Pengertian Ijma’ menurut bahasa (etimilogi) adalah “kesepakatan” atau “konsensus”. Selain itu mengandung arti “ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para ulama. Imam Ghazali mendefinisikan ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”. Rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad saw., yaitu umat Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat Islam, termasuk orang awam. 26 Rumusan menurut al-Amidi mengikuti pandangan Imam As-Syafi’I yang meyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Selanjutnya al-Amadi merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa/kasus”. Rumusan tersebut menunjukkkan bahwa tidak semua orang bias melakukan ijma’, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat. Maka orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’. 27
h.92. h.93.
26
KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008.
27
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
35
Sedangkan jumhur ulama merumuskan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’”. Dari beberapa rumusan diatas bahwa ijma’ hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama perlu menyatakan “setelah wafatnya Rasulullah saw”. sebab selama Rasulullah masih hidup seluruh permasalahan yang timbul langsung dapat ditanyakan kepada beliau, sehingga tidak diperlukan ijma’. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat menjadi dalil hukum (hujjah) selagi memenuhi rukun-rukun ijma’. Dalam kondisi terseut ijma’ menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh diingkar, sehingga jika ada orang yang mengingkarinya maka dianggap kafir. Dengan begitu ijma’ juga dapat dijadikan sebagai dasar penetapan fatwa. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ tidak boleh lagi menjadi permasalah oleh umat generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan menempati urutan yang ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan As-Sunnah. d. Qiyas Pengertian qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian qiyas secara terminology terdapat beberapa definisi yang
36
dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung arti yang sama. 28 Menurut mayoritas ulama Syafiiyyah : ﺣﻤﻞ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻠﻮم ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻠﻮم ﻓﻰ اﺛﺒﺎت اﻟﺤﻜﻢ ﻟﻬﻤﺎ او ﻧﻔﻴﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺑﺎﻣﺮ ﺟﺎﻣﻊ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺣﻜﻢ 29
او ﺻﻔﺔ
“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada *hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat”. Menurut Wahbah al-Zuhaili merumuskan qiyas dengan: اﻟﺤﺎق اﻣﺮ ﻏﻴﺮ ﻣﻨﺼﻮص ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻤﻪ اﻟﺸﺮﻋﻰ ﺑﺎﻣﺮ ﻣﻨﺼﻮص ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻤﻪ ﻻﺷﺘﺮا آﻬﻤﺎ ﻓﻲ 30 ﻋﻠﺔ اﻟﺤﻜﻢ “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebutkan kasatuan ‘illat hukum antara keduanya”. Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, tetapi hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang telah ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi.
28
h.105.
29
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah), jilid II, h.54. Wahbah al-Zuhaili. Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah 1991), jilid I. h.601. 30
37
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum meminum bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman tersebut mengandung zat yang memabukkan, seperti yang ada pada zat yang ada pada khomer (mengandung zat yang memabukkan). Zat yang memabukkan inilah yang menjadi illatnya, sebab illatnya bir dan wisky sama seperti ‘illatnya khomer. Dengan demikian mujtahid tersebut telah menemukan bahwa hukum bir dan wisky sama dengan hukum khomer yaitu haram. 31 Para ulama berbeda pendapat tentang apakah qiyas dapat dijadikan dasar hukum. Tetapi jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. 3. Sifat Fatwa Dalam perkembangan ekonomi syariah, fatwa mempunyai peranan penting dan menjadi aspek organik dalam bangunannya, fatwa juga menjadi alat ukur bagi kemajuan ekonomi syariah di Indonesia. Secara teknis fatwa ekonomi syariah tampil menyuguhkan pembaharuan dalam fiqh muamalah maaliyah (fiqh ekonomi). 32 Dari beberapa pengertian fatwa di atas, fatwa memiliki sifat-sifat yang harus diketahui. Ada dua hal penting yang harus dicatat adalah sebagai berikut :
31
h.106.
32
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
Syakir Sula dan Aris Mufti. Amanah Bagi Bangsa Konsep Sistem Ekonomi Syariah. Jakarta : MES dan MUI, BI, Dept. Keuangan RI. h.221.
38
a. Fatwa bersifat responsive. Fatwa merupakan jawaban suatu hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang belum terjadi, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar. ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﻚ ( َو َﻟ ُﻪ أَﻳْﻀًﺎ َ ﻋﻦْ َذ ِﻟ َ ﻋ َﻤ َﺮ َﻧﻬَﻰ ُ ن ﻋﻤﱠﺎ َﻟﻢْ َﻳ ُﻜﻦْ َﻓ ِﺈ ﱠ َ ﻋ َﻤ َﺮ ) ﻟَﺎ َﺗﺴْ َﺄﻟُﻮا ُ ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ َروَى َأﺣْ َﻤ ُﺪ ﻋﻠَﻰ َآﺮَا َه ِﺔ َ ﻲ ﺞ اﻟﺸﱠﺎ ِﻓ ِﻌ ﱡ ﻋﻤﱠﺎ َﻳﻨْ َﻔ ُﻌ ُﻬﻢْ " وَاﺣْ َﺘ ﱠ َ ن إﻟﱠﺎ َ ﺼﺤَﺎ َﺑ ِﺔ " ﻣَﺎ آَﺎﻧُﻮا َﻳﺴْ َﺄﻟُﻮ ﻋﻦْ اﻟ ﱠ َ س ﻗَﺎ َل ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ { ْﺴﺆْ ُآﻢ ُ ﻋﻦْ َأﺷْﻴَﺎ َء إنْ ُﺗﺒْ َﺪ َﻟ ُﻜﻢْ َﺗ َ } ﻟَﺎ َﺗﺴْ َﺄﻟُﻮا: ﻋ ِﻪ ِﺑ َﻘﻮْ ِﻟ ِﻪ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ ِ ﺸﻲْ ِء َﻗﺒْ َﻞ ُو ُﻗﻮ ﻋﻦْ اﻟ ﱠ َ ﺴﺆَا ِل اﻟ ﱡ ﻆ ٍ ْﺴﺆَا ِل " وَﻓِﻲ َﻟﻔ ﻋ ِﺔ اﻟْﻤَﺎ ِل َو َآﺜْ َﺮ ِة اﻟ ﱡ َ ﻋﻦْ ﻗِﻴ َﻞ َوﻗَﺎ َل َوِإﺿَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ " َﻳﻨْﻬَﻰ َ ﻋ َﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ن َ َوآَﺎ 33 ﻋ َﻠﻴْ ِﻬﻤَﺎ َ ٌﻚ { ُﻣ ﱠﺘﻔَﻖ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َآ ِﺮ َﻩ َﻟ ُﻜﻢْ َذ ِﻟ }إ ﱠ Artinya (yang digaris bawahi): “Jangan kalian menanyakan tentang peristiwa yang belum terjadi karena Umar RA. (pernah) melarang hal tersebut”. Walaupun begitu, seorang mufti tetap disunahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. b. Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa (mustafti), baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan 33
Kitab Syarih Muntaha al-Iradad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz:12, h.58.
39
bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha’). Bisa saja fatwa seorang mufti di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti lain di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini kemudian diadopsi menjadi keputusan pengadilan dan hal ini lazim terjadi, maka barulah ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Terlebih lagi jika ia diadopsi menjadi hukum positif atau regulasi suatu wilayah. 34 Dalam kajian Ushul Fiqh, fatwa memiliki sifat mengikat bagi pihak-pihak yang meminta dan memberi fatwa. Namun teori lama ini dapat diperbaharui seiring dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Teori fatwa yang mengikat bagi pihak yang meminta fatwa dan memberi fatwa ini sudah tidak relevan untuk fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Maka dalam fatwa ekonomi syariah Dewan Syariah Nasional (DSN) tidak hanya mengikat bagi pihak yang meminta atau bagi praktisi (lembaga) ekonomi syariah, tapi juga bagi masyarakat Indonesia khususnya yang bertransaksi dengan lembaga terkait. Karena fatwa-fatwa ini telah dipositivisasi oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), bahkan DPR RI mensyahkan Perbankan Syariah melalui undang-undang No. 21 Tahun 2008. 4. Metode Fatwa Fatwa merupakan salah satu metode dalam hukum islam yang terdapat dalam Al-quran dan hadist untuk memberikan keterangan dan penjelasan mengenai 34
h.20-21.
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
40
hukum-hukum secara syara’ Islam, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Sebagai sebuah metode dalam memberikan penjelaan terhadap suatu masalah yang belum jelas status hukumnya, maka fatwa menempati posisi yang sangat penting dan strategis. Mengeluarkan fatwa merupakan salah satu cara untuk menerangkan hukumhukum Islam kepada masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan mengandung resiko yang berat, maka orang yang pantas untuk memberikan dan membuat fatwa tidaklah sembarang orang, diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan layak dipatuhi umat Islam, dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menimbulkan perselisihan. Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu : a. Apa hukum atas masalah yang dimaksud. b. Apakah dalilnya c. Apa wajib dalalah-nya. d. Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud. 35 Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang 35
Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com/web/index.php. tentang fatwa&catid=34:artikel-ekonomi syariah&Itemid=56.
41
muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun asSyaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam. Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan. Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat. Disamping itu, Jalaluddin Al-Mahalli juga menyebutkan seorang mufti atau orang yang ahli hukum Islam harus mempunyai persyaratan tertentu agar dalam keputusan-keputusannya layak untuk dipatuhi. وأن ﻳﻜﻮن آﺎﻣﻞ اﻵﻟﺔ ﻓﻲ،ً ﺧﻼﻓ ًﺎ وﻣﺬهﺒﺎ،ًﻼ وﻓﺮﻋﺎ ً وﻣﻦ ﺷﺮط اﻟﻤﻔﺘﻲ أن ﻳﻜﻮن ﻋﺎﻟﻤ ًﺎ ﺑﺎﻟﻔﻘﻪ أﺻ ﻋﺎرﻓًﺎ ﺑﻤﺎ ﻳﺤﺘﺎج إﻟﻴﻪ ﻓﻲ اﺳﺘﻨﺒﺎط اﻷﺣﻜﺎم ﻣﻦ اﻟﻨﺤﻮ واﻟﻠﻐﺔ وﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﺮﺟﺎل وﺗﻔﺴﻴﺮ،اﻻﺟﺘﻬﺎد 36 .اﻵﻳﺎت اﻟﻮاردة ﻓﻲ اﻷﺣﻜﺎم واﻷﺧﺒﺎر اﻟﻮاردة ﻓﻴﻬﺎ Artinya: “Mengusai pendapat-pendapat dan akidah-akidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunyai kelengkapan untuk ijtihad, mengetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum (istinbat al-hukum), misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan hadist-hadist hukum”.
36
Kitab Al-Waraqoh lil ‘abdillah Al-Fauzan, dalam Maktabah Syamilah. Juz 1 h.143.
42
Dari uraian di atas tersebut mengandung makna bahwa setiap menyatakan hukum terhadap suatu masalah seorang mufti atau ahli hukum Islam tidak hanya mampu menguasai dalil-dalil, tetapi harus menguasai ilmu-ilmu pendukung ijtihad seperti ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan hadist-hadist hukum. Sehingga dapat terhindar dari praktek “tahkim” yaitu membuat-buat hukum dan mengeluarkan sebuah hukum tanpa suatu landasan hukum yang jelas. Menjadi seorang mufti harus memenuhi persyaratan yang telah disebutkan diatas. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan praktek tahkim yang tidak diperbolehkan dan sangat dilarang oleh Allah SWT, karena dapat merusak tatanan hukum Islam, bahkan dapat menimbulkan perselisihan umat Islam. Dalam QS. AnNahl ayat 116. ☺ ⌧ ⌧ (١٦٦ : ) اﻟﻨﺤﻞ.
Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS. An-Nahl (16) : 116). Firman Allah SWT di atas memberikan penjelasan yang sangat tegas, bahwa seorang mufti atau ahli hukum Islam dalam mengeluarkan fatwa tidak dibenarkan hanya didasarkan pada dugaan-dugaan atau suatu kebohongan semata, tanpa didasarkan dalil-dalil yang menguatkannya. Tidak dibenarkan juga dalam
43
memberikan keputusan hukum sesuai dengan kemauannya hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Menurut para ulama ushul fiqh, seorang mufti atau ahli hukum Islam harus mempunyai persyaratan sebagai berikut : a. Baligh, berakal dan merdeka b. Adil c. Memenuhi persyaratan seorang Mujtahid atau memilki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. 37 Untuk memberikan bentuk kehati-hatian dalam memberikan fatwa, imam Ahmad Hambal menyatakan bahwa seseorang tidak pantas untuk mengeluarkan fatwa sebelum pada dirinya terdapat lima hal berikut : 38 a. Mempunyai niat yang tulus ikhlas. Maksudnya setiap orang yang mengeluarkan fatwa harus diniatkan “lillahi ta’ala”, tidak karena maksudmaksud lain, apalagi maksud keduniaan, misalnya agar mendapat kedudukan yang mulia. Karena menurut imam Ahmad, fatwa yang tidak didasari oleh niat ”lillahi ta’ala” tidak mempunyai “nur” (cahaya). b. Mempunyai ketenangan dan kewibawaan. Karena setiap mufti harus mampu menyampaikan dan menjelaskan fatwanya kepada pihak yang meminta fatwa (mustafti), sehingga fatwanya dipahami secara utuh dan 37
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). h.327. 38
h.30.
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
44
benar. Orang yang tidak mempunyai ketenangan dan kewibawaan akan sulit untuk menyampaikan secara jelas fatwanya. c. Mempunyai kapasitas kelilmuan yang memadai untuk menetapkan fatwa. Karena seseorang yang mengeluarkan fatwa tanpa didasari oleh keyakinan akan keilmuannya, maka orang tersebut termasuk orang yang membuatbuat hukum dan diancam oleh hadist :
ب َ ﻦ أَﺑِﻰ َأﻳﱡﻮ ِ ْﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑ َ ْﻋﻦ َ ك ِ ﻦ اﻟْ ُﻤﺒَﺎ َر ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﺑ َ ﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ أَﺑِﻰ ُ ْأَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ِإﺑْﺮَاهِﻴ ُﻢ ﺑ »: -ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ﺟﻌْ َﻔ ٍﺮ َﻗﺎ َل ﻗَﺎ َل رَﺳُﻮ ُل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻦ َأﺑِﻰ ِ ْﻋ َﺒﻴْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑ ُ ْﻋﻦ َ 39 ( ) ﻓﻲ اﻟﻜﺘﺎب ﺳﻨﻦ اﻟﺪرﻣﻲ.« ﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ ْﻋﻠَﻰ اﻟْ ُﻔﺘْﻴَﺎ َأﺟْ َﺮ ُؤ ُآﻢ َ َْأﺟْ َﺮ ُؤ ُآﻢ d. Mempunyai kecukupan dalam penghidupannya. Karena jika tidak mempunyai penghidupan yang cukup dikhawatirkan menggantungkan hidupnya dari berfatwa yang bisa menjadikannya tidak independent dalam berfatwa. e. Memiliki kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi masalah. Hal ini sangat dibutuhkan oleh seorang mufti agar tidak terjebak dalam tipu daya orang yang ingin menjadikan fatwa sebagai tempat berlindung dari masalah yang dihadapinya. Ada beberapa metode yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa. Adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut : 40
39 40
h.44.
Kitab Sunan Al-Darami. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 1, h.179. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
45
a. Metode Bayani (Analisa Kebahasaan) Metode ini dipergunakan untuk memperjelaskan teks Al-Quran dan AsSunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisa kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul fiqh untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahwaan bangsa Arab sendiri. Pembahasaan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup : 1). Analisa berdasarkan segi makna lafadz 2). Analisa berdasarkan segi pemakian makna. 3). Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna. 4). Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut maksud pencipta nash. b. Metode Ta’lili Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga ada ijma’ yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Istinbath seperti ini ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang telah ada hukumnya Karena antara dua peristiwa itu terdapat kesamaan illat hukumnya. Dalam hal ini, mufti menetapkan hukum
46
suatu peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya, istinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas atau istihsan. Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga ketegori, yaitu : 41 1). Illat tasyr’i, ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti adanya, atau boleh diubah kepada yang lainnya. Dalam illat tasyri’i ini tidak dipersoalkan adanya qiyas atau tidak, karena penekanan kajiannya adalah pada masalah itu sendiri. 2). Illat qiyasi adalah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya. Dengan kata lain, illat ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah nash yang mengatur masalah ”x ”juga berlaku untuk menjawab masalah ”y” (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun di antara kedua masalah tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat. 3). Illat Istihsani yaitu pengecualian maksudnya mungkin saja ada pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang 41
h.46-47.
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
47
menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagimana mungkin juga pengecualian dari kategori yang kedua. Yang membedakan ketiga pengelompokan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas persyaratannya. c. Metode Istishlahi Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath’i maupun dhanni dan tidak memungkinkan mencari kaitannya engan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’ dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan. Jadi dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam bentuk mendatangkan manfaat (jalb al-manfaat) ataupun menolak kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta. 42 Lebih jauh para ualam telah membuat tiga ketegori kemaslahatan yang menjadi sarana semua perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dharuriyyah, hajiyat dan tahsiniyat.
42
h.48.
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008).
48
Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang mengandung konsep umum sebagai dalil atau sandarannya. Biasanya penalaran ini dilakuakn kalau masalah yang akan diidentifikasikan tersebut tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadist tertentu secara khusus. Dengan kata laintidak ada bandingan yang tepat dari zaman Nabi yang bias digunakan. Contohnya seperti aturan membuat SIM (Surat Ijin Mengemudi) tidak ada bandingannya dari sunnah Nabi. Tetapi mengatur maslah baru tersebut, baik menerima atau menolaknya adalah perlu karena menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak. Cara kerjanya, ayat dan hadis tersebut digabungkan satu sama lain, sehingga kesimpulannya adalah merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip umum ini dideduksikan pada persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan tadi.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BANK BNI SYARIAH A. Sejarah Berdirinya Bank BNI Syariah 1. Profil Bank BNI Syariah
Sistem Syariah yang terbukti dapat bertahan dalam tempaan krisis moneter 1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu menjawab kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan mengacu pada UU No 10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia (Persero ) merintis Divisi Usaha Syariah.
Selain adanya demand dari masyarakat terhadap perbankan syariah, untuk mewujudkan visinya (yg lama) menjadi “universal banking”, BNI membuka layanan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan konsep dual system banking, yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah sekaligus. Hal ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang memungkinkan bank-bank umum untuk membuka layanan syariah.
Di awali dengan pembentukan Tim Bank Syariah di Tahun 1999, Bank Indonesia kemudian mengeluarkan ijin prinsip dan usaha untuk beroperasinya unit usaha syariah BNI. Setelah itu BNI Syariah menerapkan strategi pengembangan jaringan cabang, syariah sebagai berikut :
49
a. Tepatnya pada tanggal 29 April 2000 BNI Syariah membuka 5 kantor cabang syariah sekaligus di kota-kota potensial, yakni : Yogyakarta, Malang, Pekalongan, Jepara dan Banjarmasin. b. Tahun 2001 BNI Syariah kembali membuka 5 kantor cabang syariah, yang difokuskan di kota-kota besar di Indonesia, yakni : Jakarta (dua cabang), Bandung, Makassar dan Padang. c. Seiring dengan perkembangan bisnis dan banyaknya permintaan masyarakat untuk layanan perbankan syariah, Tahun 2002 lalu BNI Syariah membuka dua kantor cabang syariah baru di Medan dan Palembang . d. Di awal tahun 2003, dengan pertimbangan load bisnis yang semakin meningkat sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, BNI Syariah melakukan relokasi kantor cabang syariah di Jepara ke Semarang. Sedangkan untuk melayani masyarakat Kota Jepara, BNI Syariah membuka Kantor Cabang Pembantu Syariah Jepara. e. Pada bulan Agustus dan September 2004, BNI Syariah membuka layanan BNI Syariah Prima di Jakarta dan Surabaya. Layanan ini diperuntukan untuk individu yang membutuhkan layanan perbankan yang lebih personal dalam suasana yang nyaman.
Dari awal beroperasi hingga kini, BNI Syariah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Asset meningkat dari Rp. 160 Milyar di Tahun 2001 menjadi 460
50
Milyar di Tahun 2002. Seiring dengan itu kinerja usaha juga mengalami peningkatan dengan pencapaian laba sebesar Rp. 7,2 Milyar dibanding tahun 2001 yang masih rugi sebesar 3,1 Milyar. Dana pihak ketiga meningkat sebesar 88% dari tahun 2001 menjadi Rp. 205 Milyar. Pembiayaan juga meningkat 163% menjadi 292,9 Milyar.
Data di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki prospek yang baik dan akan terus berkembang di masa yang akan datang. Pada akhir tahun 2003 dana pihak ketiga meningkat 97.56% menjadi Rp405 milyar, pembiayaan meningkat sebesar 67.57% menjadi Rp490milyar sedangkan laba mencapai peningkatan sebesar 281.39% menjadi Rp.27.46 milyar. Pada tahun 2004 BNI Syariah mendapatkan penghargaan The Most Profitable Islamic Bank untuk yang kedua kalinya, penghargaan ini berdasarkan penilaian oleh Karim Business Consulting bekerja sama dengan Majalah Manajemen dan PPM.
2. Tujuan Pendirian Bank BNI Syariah
Tujuan pendirian Bank BNI Syariah tercermin dalam visi dan misi Bank BNI Syariah. Adapun visi dan misi Bank BNI Syariah adalah sebagai berikut :
- Visi. Menjadi Bank Syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja dengan menjalankan bisnis sesuai kaidah sehingga insya Allah membawa berkah.
51
- Misi. Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja dan layanan perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi bank syariah kebanggaan anak negeri.
Bank BNI Syariah mengembangkan misinya untuk meningkatkan kualitas dan kredibelitas bank, diantaranya adalah :
a. Melaksanakan operasional perbankan yang berdasarkan dengan prinsip syariah Islam. b. Memberikan mutu pelayanan yang unggul kepada nasabah dengan system for end dan otomasi online . c. Meningkatkan kualitas bisnis di segmen pasar usaha ritel. d. Memberikan kontribusi laba nyata terhadap laba BNI secara keseluruhan.
B. Produk Bank BNI Syariah
1. Produk Inovatif Sesuai Syariah
BNI Syariah menjalankan operasional bank berdasarkan prinsip syariah, seperti jual beli dan bagi hasil serta memiliki beragam produk dan jasa perbankan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan nasabah. BNI Syariah menyadari bahwa masyarakat yang menghendaki layanan syariah tidak terbatas pada masyarakat muslim namun juga dibutuhkan oleh seluruh golongan masyarakat yang menghendaki layanan dan fasilitas perbankan yang nyaman, adil, dan
52
modern. Untuk itulah BNI Syariah senantiasa melakukan peningkatan kualitas produk, baik produk dana maupun pembiayaan serta terus menerus melakukan penyempurnaan pada fitur-fiturnya.
Dalam perjalanan usaha terkadang pengusaha menghadapi tantangan yang membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, dimana keputusan tersebut membutuhkan dukungan modal. Untuk menangkap peluang emas tersebut BNI Syariah menyediakan pembiayaan yang dijalankan dengan prinsip syariah dengan target win-win solution.
a. BNI iB Wirausaha
BNI iB Wirausaha (iB diabaca aibi, = islamic Banking) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan usaha Anda, dengan besarnya pembiayaan dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta yang diproses lebih cepat dan fleksibel sesuai dengan prinsip syariah. Jenis akad yang digunakan adalah sebagai berikut :
Murabahah adalah prinsip jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
53
Mudharabah adalah kerjasama antara pihak bank sebagai penyedia dana 100 % sedangkan nasabah menjadi pengelola dana dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan nisbah bagi hasil.
Musyarakah adalah kerjasama dalam penyertaan modal antara pihak bank dan nasabah dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan nisbah bagi hasil.
Keunggulan Akad yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Proses lebih cepat dengan persyaratan mudah sesuai dengan prinsip syariah. 2) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 7 tahun. 3) Mendapatkan perlindungan asuransi jiwa gratis. 4) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
Persyaratan Umum untuk menjadi nasabah pembiayaan :
1) Usaha telah berjalan minimal 1 tahun, dan usaha sesuai syariah 2) Mengisi formulir aplikasi dengan melampirkan fotocopy. 3) KTP suami/isteri dan kartu keluarga. 4) Surat Nikah. 5) NPWP.
54
6) Pembiayaan sampai dengan Rp 150 juta dilengkapi dengan surat keterangan kelurahan/kecamatan. 7) Untuk pembiayaan diatas Rp 150 juta dielngkapi dengan legalitas usaha. 8) Bukti kepemilikan jaminan. b. BNI iB Usaha Kecil
BNI iB Usaha Kecil (iB dibaca aibi = islamic Banking) adalah pembiayaan modal kerja atau investasi kepada pengusaha kecil sampai dengan Rp 10 miliar berdasarkan prinsip murabaha, musyarakah, mudharabah dan ijarah.
Keunggulan :
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari transaksi ribawi. 2) Akad murabahah akan memudahkan anda mengelola keuangan karena besar angsuran tetap selama masa pembiayaan. 3) Dengan akad mudharabah dan musyarakah akan memberikan rasa keadilan. 4) Setoran angsuran dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI. 5) Variasi produk keuangan syariah yang lengkap untuk mendukung kegiatan usaha Anda.
55
6) Pembiayaan dapat diberikan dalam mata uang Rupiah dan USD.
Persyaratan Umum :
1) Melampirkan aktivitas usaha. 2) Identitas diri (KTP/SIM/Paspor). 3) NPWP. 4) Laporan aktivitas Keuangan Usaha. 5) Menyerahkan jaminan. 6) Kegiatan usaha telah berjalan minimal 2 tahun.
Jenis akad BNI iB Usaha Kecil
Jenis akad yang digunakan :
1) Murabahah. 2) Mudharabah 3) Musyarakah 4) Ijarah
c. BNI iB Usaha Besar
Sesuai dengan falsafah dasar ekonomi syariah yaitu bertransaksi dengan penuh keberkahan dan saling menguntungkan, maka produk-produk perbankan syariah didesain untuk melayani dunia usaha sehingga antara
56
pemodal dan pengusaha dapat bertumbuh bersama-sama dalam prinsip keadilan. Pembiayaan Produktif dari BNI Syariah mendukung kemajuan usaha dengan cara mudah dan fleksibel berdasarkan prinsip – prinsip syariah. Cara kerja pembiayaan syariah hampir sama dengan cara kerja perbankan pada umumnya, sehingga masyarakat akan mendapati prosedur yang umum berlaku dan tidak rumit. Demikian pula dengan maksimum pembiayaan, BNI Syariah dapat membiayai korporasi yang memerlukan dana diatas Rp 10 milyar melalui BNI Pembiayaan Besar Syariah.
BNI Pembiayaan Besar Syariah adalah Pembiayaan Modal Kerja atau Investasi kepada pengusaha menengah dan korporasi diatas Rp. 10 Milyar berdasarkan prinsip Murabahah, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah.
2. Produk Pembiayaan
a. Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan Modal Kerja dengan akad Mudharabah/ Musyarakah aplofend dapat diberikan s/d 5 tahun atau dapat diperpanjang setiap tahun.
57
b. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan Investasi memiliki jangka waktu maksimal 7 tahun dengan angsuran kewajiban tetap selama periode pembiayaan sehingga terbebas dari fluktuasi suku bunga pasar.
c. Pembiayaan Beragunan Tunai (Cash Collateral Financing)
Pembiayaan Beragunan Tunai merupakan jenis pembiayaan yang memungkinkan investor memperoleh pembiayaan dengan menjaminkan agunan dalam bentuk tunai yaitu deposito ataupun giro.
d. Pembiayaan Pola Kerjasama
BNI Syariah merupakan pembiayaan melalui pola kerjasama dengan multifinance, sekuritas dan asuransi syariah.
e. BNI iB Trade Finance
BNI memiliki jaringan korespondensi yang luas sehingga memudahkan nasabah untuk bertransaksi dengan mitra usaha di seluruh dunia. BNI Trade Finance Syariah meliputi L/C, SKBDN dan Bank Garansi. Dengan reputasi BNI yang telah dikenal baik di dunia usaha, BNI Garansi Bank Syariah dapat meningkatkan kepercayaan mitra usaha nasabah institusi. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi umumnya membutuhkan adanya Surat
58
Keterangan Bank yang diperlukan sebagai syarat dalam tender BNI Syariah menerbitkan Surat Keterangan Bank yang dapat mendukung kredibilitas perusahaan karena BNI Syariah sebagai Bank dengan mayoritas saham dimiliki oleh pemerintah akan memberi kesan/ image positif bagi pemilik proyek.
Keunggulan:
1) Rasa tenteram dan tenang karena pembiayaan syariah terhindar dari transaksi ribawi. Bagi pengusaha yang sangat memperhatikan aspek syariah dapat menggunakan pembiayaan ini, karena setiap produk yang diluncurkan akan melalui prosedur persetujuan Dewan Pengawas Syariah dan dalam aplikasinya akan secara periodik dipantau nilai syar’i nya. 2) Akad murabahah akan memudahkan dalam mengelola keuangan karena jumlah yang diangsur tetap selama masa pembiayaan. 3) Dengan akad mudharabah/musyarakah akan memberikan rasa keadilan. 4) Setoran dapat dilakukan di seluruh kantor Cabang BNI 5) Variasi produk keuangan Syariah yang lengkap untuk mendukung kegiatan usaha. 6) Pembiayaan dapat diberikan dalam mata uang Rupiah dan USD. 7) Mampu membiayai permohonan dengan nominal sama dengan Bank korporasi lainnya.
59
3. Produk Trade Finance a. Transaksi LC Ekspor
BNI Syariah menangani LC yang diterbitkan oleh Bank Koresponden untuk kepentingan nasabah seperti advising dan negotiating LC. Transaksi akan diproses melalui Trade Processing Center.
1) Advising LC
BNI Syariah dapat bertindak sebagai ’advising’ atas setiap LC yang diterbitkan oleh bank koresponden yang dikirimkan melalui telex, surat atau SWIFT. LC dapat dikirimkan langsung kepada cabang-cabang BNI Syariah dan akan diproses dengan cepat dan efisien, administrasi yang akurat serta respon yang tepat.
2) Negotiating LC
BNI Syariah selalu siap menegosiasi LC yang diterbitkan oleh bank koresponden untuk kepentingan nasabah. BNI Syariah memiliki staf yang terlatih dan siap untuk menjawab kebutuhan nasabah dengan nyaman, cepat dan aman. Nasabah dapat mengkonversikan hasil ekspor ke dalam mata uang lain.
60
3) Confirming LC
BNI Syariah siap untuk mengkonfirmasi LC yang diterbitkan oleh bank koresponden untuk kepentingan nasabah.
Keuntungan transaksi ekspor melalui BNI Syariah :
a) BNI Syariah menggunakan SWIFT dalam transaksi LC ekspor sehingga proses memnjadi tepat dan akurat. b) BNI Syariah telah membina hubungan baik dengan bank koresponden ternama di seluruh dunia.
b. Import Services
BNI Syariah memberikan layanan transaksi impor termasuk penanganan LC seperti pembukaan LC dan pembayaran LC. LC yang diterbitkan oleh BNI Syariah, pembayaran tagihan kepada negotiating bank akan dilakukan melalui bank koresponden utama BNI Syariah.
Keuntungan impor melalui BNI Syariah :
1). BNI Syariah menggunakan SWIFT dalam transaksi LC ekspor sehingga proses memnjadi tepat dan akurat.
61
2). BNI Syariah telah membina hubungan baik engan bank koresponden ternama di seluruh dunia.
c. Bank Guarantee
Untuk membantu nasabah dalam melakukan transaksi dengan mitra usaha di dalam maupun luar negeri, BNI Syariah dapat menerbitkan bank garansi untuk menjamin nasabah seperti: bid bonds, performance bonds dan advance payment. BNI Syariah dapat membuka bank garansi dengan jaminan LC (counter guarantee) yang diterbitkan oleh bank koresponden.
d. Transaksi Kiriman Uang (Remittance/Fund Transfer)
BNI Syariah memberikan layanan kiriman uang dari dan ke seluruh dunia melalui draft, SWIFT atau Smart Remittance. Kiriman uang ke luar negeri menggunakan mata uang yang tercatat di Bank Indonesia.
Keunggulan:
1) Didukung oleh lebih dari 900 cabang BNI on line dengan lebih 2500 ATM di seluruh Indonesia. 2) Didukung oleh teknologi yang terpercaya sehingga kiriman uang dapat diterima tepat waktu.
62
3) Didukung oleh aplikasi berbasis internet yang dinamakan ’Smart Remittance’. 4) Cepat dan aman mengirimkan uang ke luar negeri dan menerima kiriman dari luar negeri.
4. Pembiayaan Personal
Dalam kehidupan banyak hal-hal yang harus dipilih dan dipilah secara bijak. Kita harus membedakan antara “needs” dan ‘wants”. Kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi hidup dan prasarana hidup. Keinginan adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan selera, gaya dan level kepuasan tertentu. Untuk itu BNI Syariah menyajikan rangkaian jenis pembiayaan yang dikelola secara syariah diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan personal anda.
a. BNI iB Griya
Melalui pembiayaan BNI iB Griya nasabah dapat mewujudkan kebutuhan perumahan, kavling siap bangun ataupun renovasi rumah. Pembayaran dengan cara diangsur dalam periode waktu sampai dengan 15 tahun. Bentuk pembiayaan adalah jual beli ataupun ijarah.
63
Keunggulan:
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari transaksi yang ribawi. 2) Selama masa pembiayaan besarnya angsuran tetap dan tidak berubah sampai lunas. 3) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat. 4) Uang muka ringan, minimum 10 % khusus untuk pembelian rumah 5) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI. 6) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 15 tahun 7) Maksimum pembiayaan sampai Rp 5 miliar. 8) Tarif bersaing.
Persyaratan Umum :
1) Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas berusia maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk pengusaha. 2) Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun 3) Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur 4) Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
64
b. BNI iB Oto
BNI iB Oto merupakan pembiayaan untuk pembelian kendaraan dengan proses yang mudah dan cepat berdasarkan syariah. Uang muka relatif ringan dan pembayaran dapat dilakukan secara debet otomatis.
Keunggulan:
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari transaksi yang ribawi. 2) Selama masa pembiayaan besarnya angsuran tetap dan tidak berubah sampai lunas. 3) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat. 4) Uang muka ringan, minimum 20 % dari harga kendaraan. 5) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI. 6) Khusus mobil buatan Jepang jangka waktu pembiayaan sampai dengan 8 tahun. 7) Maksimum pembiayaan sampai Rp 1 miliar.
65
Persyaratan Umum :
1) Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas berusia maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk pengusaha. 2) Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun. 3) Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur. 4) Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
c. BNI iB Gadai Emas
BNI iB Gadai Emas atau juga disebut Rahn merupakan pembiayaan dengan jaminan berupa emas (lantakan atau perhiasan) yang secara fisik dikuasai oleh Bank. Proses pembiayaan cepat dan sangat membantu bagi mereka yang membutuhkan dana jangka pendek untuk kebutuhan yang mendesak.
Keunggulan :
1) Cepat, karena seluruh proses hanya 30 menit. 2) Mudah, karena dengan prosedur yang sederhana dan diperuntukkan untuk segenap lapisan masyarakat. 3) Murah, karena tarif jasa penyimpanan dihitung secara harian. 4) Menenteramkan karena dikelola secara syariah.
66
Persyaratan Umum :
1) Memiliki identitas diri (KTP/Paspor). 2) Memiliki rekening tabungan/ giro BNI Syariah sebagai rekening penampung dana gadai. 3) Menyerahkan emas perhiasan/ lantakan (khusus emas lantakan harus di sertai sertifikat). 4) Pembiayaan dapat diberikan maksimal 90 % dari nilai taksiran untuk emas lantakan atau 80 % dari nilai emas perhiasan dengan minimal Rp 1 juta.
d. BNI iB Multijasa
BNI iB Multijasa (iB dibaca aibi, = islamic Banking) adalah pembiayaan jasa konsumtif yang diberikan kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu jasa misalnya pembiayaan untuk jasa pernikahan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, wisata umroh/haji, dan jasa lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah, dengan menggunakan akad ijarah. Akad ijarah adalah sewa menyewa untuk mendapatkan imbalan atas barang/jasa yang disewakan.
Keunggulan :
1) Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari transaksi yang ribawi
67
2) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat. 3) Uang muka ringan, minimum 20 % dari manfaat jasa yang diinginkan. 4) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis, dan dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI. 5) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 3 tahun. 6) Maksimum pembiayaan sampai Rp 500 juta. 7) Tarif bersaing.
Persyaratan Umum :
1) Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas berusia maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk pengusaha. 2) Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun 3) Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur 4) Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
C. Struktur Organisasi Bank BNI Syariah BNI Syariah secara struktur tidak terpisah dengan unit-unit oraganisasi Bank BNI lainnya. Adapun strukutr tersebut adalah sebagai pimpinan tertinggi yaitu : Rapat Umum Pemegang Saham, kemudian Dewan Pengawas Syariah (DPS) terdiri atas KH. Ma’ruf Amin dan Drs. Hasanuddin, M.Ag yang bertugas untuk
68
memastikan dan menjamin opersional bisnis BNI sesuai dengan prinsip-prinsip system ekonomi Islam. Fungsi pokok Dewan Pengawas Syariah BNI Syariah adalah : 1. Memberikan
advisi
kepada
manajemen
perihal
pengolahan
dan
pengembangan bisnis BNI sayriah dari sisi asspek syariah. 2. Bertindak sebagai perantara BNI Syariah dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk kajian dan fatwa yang berkaitan dengan pengelolaan atau penerapan fatwa dan pengembangan bisnis syariah BNI (produk, jasa, system penunjang dan sebagainya). 3. Melaporkan kegiatan usaha dan pengembangan bisnis perbankan syariah bank BNI kepada DSN dan atau lembaga-lembaga eksternal lainnya yang terkait. Sementara itu, Dewan Komisaris membewahi Direktur Utama. Sedangkan Divisi Usaha Syariah merupakan bagian dari Strategi Bisnis Unit (SBU) Ritel, yang berada dibawah penyajianlangsung Direktur Ritel Bank BNI. Adapun fungsi pokok Divisi Usaha Syariah Bank BNI adalah : 1. Melakukan aktivitas-aktivitas antara divisi. 2. Menunjang penyediaan logistic dan materi Cabang Syariah bekerja sama dengan unit atau Divisi terkait. 3. Mengelola kebijakan manajemen sumber daya manusia cabang syariah bekerja sama dengan unit atau divisi terkait.
69
4. Mengkoordinsi penegeloalaan anggaran syariah. 5. Menyusun laporan keuangan usaha syariah dan mengkoordinasi dengan pengendalian (PKU). 6. Menunjang pengelolaan system teknologi usaga syariah bekerja sama dengan teknologi. Sedangkan fungsi Divisi Syariah sebagai kantor cabang-cabang syariah. 1 Di bawah Divisi Syariah terdapat kelompok perbankan syariah yang langsung membawahi pengelolaan pengembangan bisnis syariah. Pengelolaan treasury 2 , investment, 3 dan pengelolaan penunjang bisnis syariah. Sedangkan disi\visi syariah juga langsung membawahi pengelolaan penyediaan bisnis syariah dan bisnis umum cabang syariah berada di bawah pengelolaan penyediaan bisnis syariah. Cabang syariah membawahi bisnis operasional dan bertanggung jawab terhadap control intern dan unit pemasaran bisnis. Bisnis operasional bertanggung jawab terhadap unit operasional dan unit umum dan akuntansi. Adapaun fungsi pokok unit-unit tersebut adalah sebagai berikut :
1
Fungsi Divisi Syariah diantaranya kantor cabang-cabang syariah : a. Sebagai kantor pusat cabang-cabang syariah. b. Melaksanakan fungsi treasury (likuiditas,placement, pricing) usaha syariah. c. Menyediakan organisasi bisnis cabang syariah bekerja sama dengan Satuan Pengawas Intern (SPI). d. Memantau kualitas bisnis usaha cabang syariah sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)> e. Mengelola system akuntansi dan pembukuan keuangan syariah. f. Mengembangkan system akuntansi atau jasa syariah sesuai tuntutan pasar. 2 Treasury adalah departemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan perusahaan, menyusun rencana pengeluaran untuk departemen-departemen lainnya. Chistoper dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi. (Jakarta : Erlangga, 1994). H.663. 3 Investment adalah investasi yaitu dalam bidang yang berhubungan dengan keputusan pendanaan perusahaan tetapi dilihat dari sudut pandang yang lain.
70
1. Pengelolaan treasury dana internasional a) Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka penempatan dan usaha syariah. b) Mengelola bisnis internasional usaha syariah. 2. Penegelolaan pengendalian keuangan dan teknologi. a) Mengkoordinasi pengelolaan anggaran usaha syariah. b) Mengelola system akuntansi pembukuan keuangan syariah. c) Menyusun laporan keuangan usaha syariah dan mengkoordinasikan dengan KPU. 3. Pengelolaan penunjang operasional a) Menunjang penyediaan logistik dan material cabang syariah dan bekerja sama dengan unit-unit terkait. b) Mengelola sumber daya manusia cabang syariah. c) Menunjang pengembangan system manajemen cabang syariah. 4. Pengelolaan penyedia bisnis usaha syariah a) Memantau kualitas operasional sesuai dengan prinsip syariah bekerja sama dengan bisnis usaha syariah. b) Memantau system operasional sesuai dengan prinsip syariah bekerja sama dengan Dewan Pengawas Syariah. c) Menyediakan operasional bisnis cabang syariah bekerja sama dengan Satuan Pengawas Intern (SPI).
71
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Fatwa Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah. 1. Kedudukan Fatwa Fatwa merupakan salah satu pendirian dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. 1 Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi) Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktis bagi lembaga 1
Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 - 02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
72
keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN. Tawjih yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. 2 Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustafti (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI No.10/16/PBI/2008). Bahkan DPR telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama. Berdasarkan penjelasan dari DSN-MUI, sifat fatwa yang pada mulanya hanya mengikat kepada pihak-pihak yang meminta fatwa tersebut. Tetapi untuk semua fatwa tentang Perbankan Syariah yang telah ditetapkan dan diterbitkan oleh DSNMUI, telah dipositivisasikan dan dijelaskan dalam PBI No.10/16/PBI/2008, Surat
2
Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
73
Edaran BI No.8/19/Dpbs, serta dalam UU Perbankan No.21 Tahun 2008,sehingga fatwa-fatwa Perbankan Syariah menjadi mengikat kepada seluruh Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. 3 Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardli jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’. Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional (boleh memilih) atau dalam arti bahasa Arab ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan atau kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
3
Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
74
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. 4 Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.
4
Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
75
2. Kaedah dan Prinsip Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah. Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya. Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). 5 Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan). Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas. Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah
5
Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
76
(pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan. Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma (jelas kebenarannya) dalam fiqh muamalah.
3. Peranan Ulama Dalam Sosialisasi Perbankan Syari’ah Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam. Ulama tidak hanya sebagai figur ilmuan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga sebagai penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat ke arah pengembangan dan pembangunan umat. Perilaku ulama selalu menjadi teladan dan panutan. Ucapan ulama selalu menjadi pegangan dan pedoman. Ulama adalah pelita umat dan memiliki kharisma terhormat dalam masyarakat. Penerimaan atau penolakan masyarakat terhadap suatu gagasan, konsep atau program, banyak dipengaruhi oleh ulama.
77
Peran ulama bukan hanya pada aspek ibadah mahdhah, memberikan fatwa atau berdoa saja, tetapi juga mencakup berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sesuai dengan komprehensifan ajaran Islam itu sendiri. Membatasi peran ulama pada persoalan agama, fatwa dan akhlak saja, merupakan kekeliruan besar, karena hal itu dipandang sebagai a historis, sebab dalam sejarah peran ulama sangat luas, seluas ajaran Islam yang komprehensif itu pula. Kualitas dan kapasitas keilmuan yang dimiliki para ulama telah mendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan seharihari. Terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual, termasuk sistem perbankan syariah, adalah hasil ijtihad dan kerja keras intelektual para ulama, dan tentunya hal itu berkat ‘inayah Allah Swt. Sepuluh peran ulama dalam memasyarakatkan perbankan syariah kepada umat, setidaknya ada sepuluh macam peran ulama diantaranya adalah sebagai berikut : 6 a. Pertama, ulama berperan menjelaskan kepada masyarakat bahwa ajaran muamalah maliyah harus dihidupkan kembali sesuai dengan syariah Islam yang berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama ini sebagian umat Islam memang telah melakukan aktivitas ekonomi maupun mengkaji ilmu ekonomi, tetapi sayang sekali, prakteknya banyak sekali
6
Agustianto. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 02- 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.
78
bertentangan dengan syari’at Islam, seperti riba, maysir, gharar dan bisnis bathil. Aktualisasi muamalah tersebut diwujudkan dalam bentuk Perbankan Syariah, Asuransi Takaful, Pasar Modal Syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil, Pasar Modal Syari’ah (Obligasi dan Reksadana Syariah), Pegadaian Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb. b. Kedua, ulama juga berperan menjelaskan bahwa keterpurukkan ekonomi umat Islam selama ini di antaranya disebabkan karena umat Islam mengabaikan fiqh muamalah. Kitab Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali, misalnya hanya digali aspek tasawufnya saja,
sedangkan aspek
ekonominya tidak dikaji dan dikembangkan. Demikian pula ratusan judul kitab-kitab fiqh. Yang menjadi bahasan prioritas para ustadz di masjid, khutbah jum’at, majelis ta’lim adalah mengenai aspek ibadah saja. Padahal sebagian kitab-kitab itu Kalaupun
di
sekolah
tertentu
berbicara mengenai muamalah.
(pesantren
misalnya)
mempelajari
muamalah, sifatnya normatif dan dogmatis (fanatic terhadap sesuatu), belum dikembangkan sesuai dengan aplikasi perbankan. c. Ketiga, ulama berperan menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbankan syariah pada dasarnya adalah pengamalan fiqih muamalah maliyah. Fiqh ini menjelaskan bagaimana sesama manusia berhubungan dalam bidang harta, ekonomi, bisnis dan keuangan. Bila umat telah menyadari bahwa membangun dan memasuki bank syariah merupakan ajaran muamalah,
79
maka umat Islam pasti tidak mau lagi memakan riba yang sangat dikutuk Islam dan merupakan dosa besar yang diperoleh dari bank konvensional. d. Keempat, mengembalikan masyarakat pada fitrahnya. Menurut fitrahnya, baik fitrah alam dan maupun fitrah usaha, umat Islam adalah umat yang menjalankan
syariah
dalam
bidang
ekonomi,
seperti
pertanian,
perdagangan, investasi dan perkebunan, dsb. Budaya demikian, telah dirusak oleh liberalisasi dunia perbankan, sehingga masyarakat tercemari oleh budaya bunga yang sebenarnya bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Bahkan ironisnya, karena ketidakberdayaan (maaf) ulama di masa silam, ada di antara ulama membolehkan saja bunga yang dipraktekkan di dalam perbankan. Fitrah alam dan fitrah usaha tidak bisa dipastikan harus berhasil, karena sebuah usaha bisa bisa untung besar, untung kecil, malah bisa rugi. Sedangkan dalam konsep bunga usaha dipastikan berhasil. Padahal yang bisa memastikan hanya Allah (lihat surah Luqman : 34). …..
⌧
….. ( ٣٤ : ) ﻟﻘﻤﻦ
Artinya : “Seseorang tidak bisa mengetahui (secara pasti) berapa hasil usahanya besok”. (QS. Luqman : 34). e. Kelima, ulama menjelaskan kepada ummat keunggulan-keunggulan sistem ekonomi Islam, termasuk keunggulan sistem bank syariah dari
80
bank konvensional yang menerapkan bunga.. Jadi, ulama sebenarnya mempunyai peran penting dalam pengembangan produk perbankan syariah, karena para ulama umumnya mengusai dan bisa mengajarkan fiqih muamalah, seperti konsep mudharabah, musyarakah, murabahah, ba’i salam, ba’i istisna’, ba’i bit tsamanil ‘ajil, wakalah, kafalah, hiwalah, ijarah, qardhul hasan, dsb. f. Keenam, membantu menyelamatkan perekonomian bangsa melalui perkembangan dan sosialisasi perbankan syariah. Krisis ekonomi di penghujung dekade 1990-an menjadikan perekonomian bangsa mengalami kehancuran. Suku bunga terpaksa dinaikkan, agar dana masyarakat mengalir ke perbankan sebagai tambahan darah bagi kehidupan bank. g. Ketujuh, mengajak umat untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh), tidak sepotong-potong seperti selama ini. Selama ini masih banyak kaum muslimin yang bergumul secara langsung dengan sistem riba yang diharamkan Al-Qur’an dalam bank konvensional. Menabung atau membuka rekening di bank syariah merupakan sebuah upaya menuju Islam Kaffah. Sehingga kita tidak lagi kapitalis dalam kegiatan ekonomi. h. Kedelapan, menjelaskan kepada masyarakat tentang dosa riba yang sangat besar, baik dari nash Al-Qur’an, sunnah, pendapat para filosof Yunani, pakar non muslim, pakar ekonomi Islam, dsb.
81
i. Kesembilan, memberikan motivasi kepada masyarakat, khususnya para pengusaha kecil, menengah atau wirausaha, agar mereka memiliki etos kerja yang sangat tinggi, bekerja keras sesuai dengan ridha Allah dan bersifat jujur (amanah) dalam mengelola uang umat. j. Kesepuluh, mengajak para hartawan dan pengusaha muslim agar mau mendukung dan mengamalkan perbankan syariah dalam kegiatan bisnis mereka. Dengan demikian, syiar muamalah Islam melalui perbankan syariah lebih berkembang dan diminati seluruh kalangan. 4. Aplikasi Hukum Islam Dalam Lembaga Perekonomian Islam Di Indonesia Hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara kelembagaan hanya dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses positifisasinya. Sehingga positifisasi tersebut berangkat dari gejala institusionalisasi hukum ekonomi Islam yang secara adat belum banyak dipraktikkan oleh seluruh umat Islam. Kalau melihat langsung pada praktiknya, justru masih banyak praktik ekonomi umat Islam yang masih menyimpang dari hukum Islam dan semakin mengkristal menjadi semacam kebiasaan. Bahkan lembaga-lembaga perekonomian Islam yang
82
menjadi barisan terdepan dalam penegakan hukum ekonomi Islampun juga belum sepenuhnya mengaplikasikannya. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syari'ah pada umumnya, lebih banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total pembiayaan mereka. 7 Padahal, sebenarnya bank syari'ah memiliki produk unggulan, yang berbasis profit and loss sharing (PLS), yaitu mudharabah dan musyarakah. Berdasarkan data yang telah penulis ambil dari Bank BNI Syariah, pembiayaan Murabahah masih tergolong sebagai pembiayaan unggulan yang banyak digunakan oleh para nasabahnya. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan tabel dibawah ini. 8 Pembiayaan
Persentase
Murabahah
76%
Mudharabah dan Musyarokah
18%
Ijaroh
6%
Meskipun demikian, mekanisme pembiayaan murabahah ini, ternyata tak lepas dari kecaman dan kritikan dari para Ilmuwan Muslim sendiri. Mereka berpendapat bahwa bank-bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya,
7
Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id. 8
Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
83
ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap mempertahankan praktik pembebanan bunga, namun dengan label 'Islam'. Dalam hukum Islam dikenal teori ’urf atau adat, sebagai salah satu metode istinbat hukum. Dalam teori ini hukum dirumuskan dengan mempertimbangkan adat istiadat masyarakat. Apalagi dalam konteks hukum ekonomi Islam sangat berkaitan dengan masyarakat secara langsung yang sarat dimensi sosialnya. Sehingga diperlukan fleksibelitas dalam hukum ekonomi Islam yang dikenal dengan kaidah, ”Al-Asl fi al-Muamalah al-Ibahah Illa ay-Yadulla Dalilan ’ala Tahrimih” (Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Maksud kaidah ini bahwa semua transaksi dalam bidang muamalah adalah dibolehkan seperti jual-beli, sewa menyewa, kerja sama (Mudharabah atau Musyarakah) dan sebagainya, bahkan untuk transaksi yang mungkin akan tercipta di kemudian hari, selama tidak ada nash yang melarang transaksi tersebut. 9 Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami akselerasi yang luar biasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa Undang-undang yang mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga
9
Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
84
berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam dalam operasional dan inovasi produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan terjadinya penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka itulah hadir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang memberikan terobosan baru dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Fatwa-fatwa DSN-MUI ini telah diserap dalam UU Perbankan dan Peradilan Agama. Hebatnya lagi, Peradilan Umum dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan syarat memutuskan perkara tersebut berdasarkan fatwa-fatwa DSN-MUI dan hukum-hukum syariah. Jadi perkembangan fatwafatwa
DSN-MUI
telah
memberikan
kontribusi
kepada
kemajuan
dan
perkembangan hukum islam di Indonesia demi tegaknya syariat-syariat islam di dunia. 10 Di samping itu, para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam.
B. Implementasi Fatwa Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah. Perkembangan ekonomi Islam saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional maupun di Indonesia. Perkembangan tersebut meliputi kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun 10
Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
85
secara praktik operasional seperti yang terjadi di lembaga- lembaga perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah,
Reksadana Syariah, Obligasi Syariah, Leasing Syariah, Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Koperasi Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan publik Islam seperti Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai bentuk bisnis syariah lainnya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti
upah dan perburuhan dan
sebagainya. 11
1. Konsep-Konsep Pembiayaan Bank Syariah Produk bank syariah yang berkaitan dengan penyaluran dana, dalam istilah bank syariah dikenal dengan pembiayaan (sama dengan kredit dalam istilah bank konvensional) menerapkan beberapa sistem. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Bab VI Pasal 28
11
Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
86
tentang Kegiatan Usaha[1] disebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya yang meliputi: 12 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi a. giro berdasarkan prinsip wadiah, b. tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah, c. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau d. bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah. 2. Melakukan penyaluran dana melalui: a. murabahah, b. istisna c. ijarah d. salam e. jual-beli lainnya 3. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip a. mudharabah b. musyarakah c. bagi hasil lainnya 4. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip a. hiwalah b. rahn 12
Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya. Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
87
c. qard. Pada prakteknya, seperti Bank BNI Syariah produk pembiayaan yang diaplikasikan adalah Jual-Beli (murâbahah), Bagi-Hasil (Mudhârabah), SewaBeli (Ijârah bai’ at Ta’jiri), dan kongsi (musyârakah). Secara formal bentuk akad atau perjanjian pembiayaan murabahah merupakan akad jual beli antara bank syariah selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, namun hakekatnya bank syariah sebatas menawarkan produk pembiayaan atau pendanaan kepada calon nasabah yang membutuhkan pendanaan, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif. Praktek ini masih mirip dengan mekanisme pada bank konvensional. 13 Masyarakat awam mempunyai kesan bahwa bank syariah adalah bank dengan sistem bagi hasil. Semua produk dianggap menggunakan bagi hasil. Padahal bank syari’ah dari fungsi penyaluran dana atau dalam bentuk pembiayaan banyak menawarkan produk pembiayaan dengan model pembiayaan murabahah (jualbeli). Hampir semua bank syariah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah, termasuk pada bank BNI Syariah. Sistem penyaluran dana pembiayaan dengan bagi hasil dan lainnya masih sangat sedikit direalisasikan. Sebagaimana pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa produk murabahah pada bank BNI Syariah masih merupakan produk primadona yang mendominasi dibandingkan produk penyaluran dana yang lain. 13
Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya. Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
88
Pembiayaan
Persentase
Murabahah
76%
Mudharabah dan Musyarokah
18%
Ijaroh
6%
2. Problematika Bank Syariah dan Solusinya Dominasi pilihan yang jatuh pada murabahah tersebut disebabkan karena untuk jual-beli itulah kebutuhan riil masyarakat. Apabila dominasi tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian di salah satu bank syariah di Surakarta tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Bank Syari’ah yang menghasilkan temuan di antaranya bahwa alasan yang paling utama dari beberapa nasabah yang memperoleh pembiayaan di Bank Syari’ah utama yaitu ingin menghindari riba (65,96%). Alasan dari beberapa pengusaha yang tertarik untuk menabung dan memperoleh pembiyaan dari Bank Syari’ah ini cukup beragam. Alasan mengapa mereka tertarik pada Bank Syari’ah setelah diperdalam dengan pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan keuntungan maka faktor kesesuaian dengan syari’at Islam ini menjadi melemah. Hal ini berarti bahwa ketertarikan masyarakat terhadap Bank Syari’ah masih sangat terbatas pada faktor-faktor yang bersifat
89
emosional, sementara faktor-faktor yang berkaitan dengan akses dan mutu pelayanan belum mendapat perhatian utama. 14 Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank syariah adalah alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi pada nasabah, yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya secara lebih baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat lemah dan pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang dimaksud di sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya, secara riil keberadaan bank syariah di dunia, khususnya di Indonesia baru dipandang sebagai penyelamatan diri secara emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari problem ekonomi, bahkan secara makro penyelamatan eksistensial, yang menyelamatkan kemanusiaan dari kekuatan kapital yang merongrong eksistensi kemanusiaan, yang berujung pada problem kemanusiaan. Merujuk pada prinsip dasar perbankan syariah bahwa pola bagi hasil sesuai syariat Islam semestinya produk-produk perbankan yang berupa bagi hasil lebih unggul daripada produk-produk lainnya. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesan bahwa bank syariah Indonesia sebenarnya bukan bank bagi hasil, melainkan “Bank Murabahah”. Sebagian orang bahkan memelesetkan nama Bank Muamalat Indonesia menjadi “Bank Murabahah Indonesia”, Bank Syariah Mandiri menjadi “Bank Syariah Murabahah”. Semestinya pembiayaan bagi hasil 14
Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya. Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
90
lebih tinggi daripada pembiayaan yang lain, karena pembiayaan bagi hasil inilah yang dapat mempercepat pengembangan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan umat. Logikanya, umumnya pembiayaan profit and lose sharing atau revenue sharing tersalur ke sektor riil. 15 Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang lebih berorientasi konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya kesulitan menembus pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan seperti adanya lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dhaman (ganti rugi). Untuk mengatasi hal ini, bank syariah sebenarnya bisa membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat. Jadi bukan menolak
permohonan
pembiayaan
produktif,
tetapi
menerima
dengan
pendampingan. Beberapa kendala yang lain sebagai berikut; Pertama, Money Circulation yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, adverse selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis yang memiliki keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah enggan meminta pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang beresiko tinggi yang sering 15
Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya. Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
91
menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha memberikan prospektus proyek yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank tertarik. Ketiga, moral hazard yaitu pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan kepada bank; yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang diberikan juga kecil, padahal pembukuan yang (2) sebenarnya mempunyai keuntungan berjumlah besar. Fenomena yang terjadi pada praktek bank syariah menunjukkan bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam belum menunjukkan perannya yang signifikan dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi umat. Kekuatan bank syariah selama ini hanya bertumpu pada pijakan emosionalideologis yang memang menjadi kekuatan yang terbesar. Namun akan sangat rentan apabila perkembangan bank syariah tidak menunjukkan perannya yang lebih signifikan pada pengembangan ekonomi dan kesejahteraan umat. 16 Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membuka konsep-konsep pembiayaan yang masih mungkin digulirkan, dengan prosedur yang lebih mudah dan tetap hati-hati. Beberapa perbaikan berkaitan dengan problema di atas adalah peningkatan mutu sistem pembiayaan yang lebih baik. Secara riil adalah menghindari transaksi jual-beli fudhul dan memprioritaskan pembiayaan kepada sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan dan memperkecil kemiskinan. Prosedur yang memberatkan seperti adanya masa pekerjaan bagi 16
Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya. Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net.
92
nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dhaman. Dengan model ini lapangan kerja akan lebih terbuka dan pada gilirannya kesejahteraan akan menjadi lebih luas sebarannya.
C. Analisa Penerapan Fatwa Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah. Dari uraian dan penjelasan tentang ketentuan umum fatwa tentang konversi akad Murabahah dan pelaksanaan pembiayaan Murabahah pada bank BNI Syariah diatas, penulis berpendapat bahwa aplikasi murabahah dan konversi akadnya yang diterapkan di BNI Syariah sebagian besar sesuai dengan murabahah yang ada dalam prinsip Islam yaitu suatu perjanjian jual beli dimana bank membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan system pembayaran ditangguhkan yang dapat dibayar dengan cicil. Namun, menurut penulis hal ini bukan berarti aplikasi fatwa konversi akad Murabahah di Bank BNI Syariah tidak luput dari beberapa penyimpangan. Maka penulis akan mencoba menganalisa pasal-pasal yang berkenaan konversi akad murabahah pada Bank BNI Syariah, analisa ini ditinjau dari ketentuan umum fatwa DSN No.48/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah dan fatwa-fatwa lainnya yang berhubungan dengan pembiayaan Murabahah. Beberapa analisa yang dapat disimpulkan adalah sebagi berikut :
93
1. Proses Pembiayaan Murabahah Di Bank BNI Syariah Pelaksanaan pembiayaan Murabahah yang telah dijalankan oleh pihak Bank BNI Syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah yang telah di jelaskan pada Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah. Bahwa di dalamnya telah disebutkan beberapa ketentuan umum tentang proses pembiayaan dengan akad murabahah, diantaranya adalah : a. Bank dan Nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas riba. b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam. c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank itu sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
94
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Disamping itu, pihak Bank BNI Syariah juga memiliki beberapa proses persetujuan untuk menerima atau menolak permohonan pembiayaan dari para nasabahnya. Penulis akan memaparkan sesuai dengan hasil wawancara dengan pihak Bank BNI Syariah. Pihak Bank BNI Syariah melakukan beberapa langkah untuk menganalisa permohonan pembiayaan murabahah, diantaranya adalah : -
Pengumpulan data-data nasabah yang akan memohon pembiayaan. diantaranya data-data yang harus dipenuhi oleh nasabah adalah : 1) Kartu Tanda Penduduk (KTP). 2) Kartu Keluarga (KK) *jika sudah berkeluarga. 3) Slip Gaji. 4) Ada persetujuan dari suami atau istri nasabah yang bersangkutan. 5) Dewasa. artinya sudah cakap hukum. atau usia minimal 21 Tahun 6) Jika masih single tidak perlu adanya persetujuan dari pihak manapun.
95
-
Melakukan verifikasi data atau dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan nasabah.
-
Jika nasabah merupakan suatu perusahaan maka ada hal penting yang harus di cek, yaitu : a. Mengecek kreadibilitas perusahaan. b. Meneliti laporan keungan perusahaan. c. Meneliti ada atau tidaknya blacklist pada pemegang perusahaan.
-
Proses persetujuan 1) Struktur fasilitas 2) Keputusan kredit 3) Proses administrasi a) Surat keputusan pembiayaan. b) Proses pencairan dana. adanya surat pencairan dana dari nasabah ke pihak bank sebagai tanda bukti untuk memperkuat kepada pihak penjual.
Maka kita dapat memperhatikan, bahwa hampir semua Bank-Bank Syariah akan melakukan kebijakan yang relative sama dengan yang dilakukan oleh Bank
96
BNI Syariah. Karena semua kebijakan yang akan diambil oleh pihak Bank Syariah harus sesuai dengan aturan-aturan fatwa Dewan Syariah Nasional. 2. Mekanisme Pemesanan Barang Proses pemesanan barang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, pihak bank akan menyerahkan secara penuh kepada pihak nasabah. Pihak bank BNI Syariah memberikan surat perjanjian yang akan ditanda tangani oleh pihak nasabah dan juga pihak penjual barang. Jadi pihak Bank akan memberikan surat kuasa untuk memilih dan menentukan barang yang akan dibeli dari pihak penjual. 17 Maka jika terjadi suatu kecacatan pada barang tersebut, maka nasabah sendiri yang akan menanggungnya atau meminta klaim terhadap pihak penjual barang. Jika kita perhatikan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan bank dengan prinsip akad Murabahah dan kebijakan dari fatwa tentang Murabahah No.04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam ketentuan umum fatwa Murabahah, pemberian pembiayaan Murabahah dapat menggunakan dua tipe, yaitu : a. Tipe pertama yaitu tipe yang konsisten terhadap fiqih muamalah yakni bank membeli terlebih dahulu barang yang di inginkan nasabah kepada supplier.
17
Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi
Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
97
b. Tipe kedua yaitu bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang setelah barang dari pihak ketiga (pemasok), jual beli Murabahah harus harus dilakukan setelah barang memang benar-benar menjadi milik bank. Sesuai dengan ketentuan fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000, pada ketentuan pertama butir 9 “Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”. Maka jika terjadi perwakilan dalam pemesanan barang, fatwa menyarankan nasabah membeli barang setelah barang memang betul-betul dimiliki oleh pihak bank. Pada ketentuan pertama butir 4 “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba”. Maka ketentuan ini juga berbeda dengan pihak bank yang memberikan kewenangan pihak nasabah untuk memilih dan menentukan barang tersebut. Seperti skema Murabahah pada Bank BNI Syariah dibawah ini. 1. Akad jual beli
BANK SYARIAH
2. Wakalah
NASABAH
5. Terima dokumen 4. Kirim Barang 3. Beli barang SUPLIER PENJUAL
98
Menurut penulis skema di atas tidak sesuai dengan prinsip akad Murabahah, seharusnya pihak bank BNI Syariah yang bertindak sebagai penjual barang kepada nasabah harus memiliki dan menguasai terlebih dahulu barang yang akan dijual atau dipesan (lihat skema pada Bab II). Karena jika bank tidak memiliki barang, maka rukun murabahah tidak terpenuhi dan akad menjadi tidak syah. Adapun alasan pihak Bank BNI Syariah adalah agar pihak nasabah lebih puas dan yakin atas pilihannya nasabah itu sendiri. Akan tetapi alasan tersebut ada plus dan minusnya, nilai plusnya nasabah memang akan lebih puas dengan pilihannya. Tetapi nilai minusnya, jika terjadi masalah atas barang tersebut maka akan menjadi tanggungan pihak nasabah dengan pihak pedagang (pemasok). Hal inilah yang akan menjadikan ketidakpuasan nasabah dalam hal pelayanan dari pihak bank, yang seharusnya semua permasalahan harus ditanggung bersama. 3. Penetapan Marjin Keuntungan yang akan didapatkan oleh pihak bank adalah berdasarkan besar kecilnya marjin yang ditetapkan. Marjin (keuntungan) yang terdapat dalam perjanjian pembiayaan Murabahah dalam pasal 2, bertambahnya harga jual pada barang ”Y” dari harga pokok tidak dapat dikategorikan sebagai bunga (tambahan nilai atau harga barang yang telah diharamkan syariah islam). Sebab disini transaksinya untuk jual beli, jadi bank sebagai penjual wajar bila mengambil keuntungan.
99
Nasabah sebagai pembeli tidak bisa menuntut harga pokok karena transaksi ini dapat merugikan bank akan kehilangan keuntungan dari tidak adanya perputaran modal dan harga yang telah disepakati sifatnya tetap dan tidak berubah selama masa cicilan atau angsuran. Dalam menentukan besarnya marjin (keuntungan) tidak ada batasan tertentu yang harus ditaati oleh bank syariah. Hal ini sesuai dengan fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan pertama butir 6 “Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan”. Tingkat besar kecilnya marjin bank sudah ditentukan sebelumnya (fixed rate) yang dihitung berdasarkan tingkat rata-rata pertahun dari keuntungan yang diperoleh dari bank tersebut.
18
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan pada
bank BNI Syariah, proses penentuan marjin dari pihak bank telah menentukan dan menetapkan nilai atau harga minimal yang harus diambil oleh pihak bank, sebagai contoh penetapan marjinya adalah : Tarif Marjin Minimal Pembiayaan Produktif FLAT
Waktu Rupiah
18
Valas
Sutan Remi Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. (Jakarta: Pustaka Uatama Grafiti, 1999). h. 153.
100
1 tahun
8.25 %
4.50 %
2 tahun
8.50 %
4.75 %
3 tahun
8.75 %
5.00 %
4 tahun
9.00 %
5.25 %
< 5 tahun
9.25 %
5.50 %
Tabel diatas merupakan gambaran penetapan marjin yang telah ditetapkan oleh pihak bank, dimana pihak bank secara transparan memberitahukan harga pokok ditambah marjinnya, kemudian akan dinegoisasikan oleh kedua belah pihak. Naik-turunnya nilai marjin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 19 -
Pengaruh dari persaingan antar bank, baik bank syariah maupun bank konvensional yang menggunakan sistem bunga.
-
Adanya informasi-informasi pihak lapangan yang mengikuti pergerakan nilai pasar.
-
Adanya pengaruh kurs mata uang
-
Adanya pengaruh kondisi ekonomi dalam negeri.
19
Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
101
Hal inilah yang membedakan dengan konsep ekonomi konvensional yang menetapkan imbalan atas kredit atau pembiayaan yang diberikan berdasarkan persentase tertentu yang diseduaikan dengan tingkat suku bunga pasar dari saldo kredit atau pembiayaan. Dengan demikian, bunga yang dibebankan kepada nasabah akan mengikuti pergerakan atau naik-turunnya tingkat suku bunga. Maka berdasarkan penjelasan diatas, penulis berpendapat bahwa penentuan dan penetapan marjin (keuntungan) yang dilakukan oleh pihak Bank BNI Syariah telah sesuai dengan syariat Islam dan telah sesuai dengan fatwa pembiayaan Murabahah. 4. Penetapan Uang Muka Uang muka dalam suatu pembiayaan sangat diperlukan untuk menujukkan kesungguhan dan keseriusan pihak nasabah khusunya dalam proses pengembalian angsuran. Maka tujuan pemberian uang muka dalam pembiayaan murabahah yaitu supaya tidak ada pihak yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan prinsip ajaran islam seperti yang telah ditetapkan oleh fatwa DSN No.13/DSN-MUI/IV/2000 tentang uang muka. Di dalam prakteknya bank BNI Syariah memberikan besarnya pembiayaan maksimal 80% dari nilai permohonannya dan meminta uang muka kepada nasabah minimal sebesar 20% dari harga barang yang telah disepakati. Uang muka tersebut diharuskan bagi nasabah pembiayaan personal, jika pembiayaan
102
secara kolektif dan ada instansi yang dapat menjaminnya seperti perusahaan, maka uang muka bisa ditiadakan. 20 5. Pemberian Jaminan Dalam pembiayaan murabahah yang sebenarnya memang tidak ada jaminan dari objek murabahah. Akan tetapi, karena perbankan syariah masih dibawah domain perbankan umum yang diharuskan meminta jaminan resiko terhadap suatu pembiayaan untuk mengcover jika terjadi wan prestasi dari pihak nasabah. Disamping itu, jaminan pembiayaan merupakan tuntutan positifisasi dari dunia perbankan. Nilai jaminan harus di atas 100% dari nilai objek pembiayaan dan sekurang-kurangnya nilainya sama dengan nilai objek pembiayaan tersebut. 21 Jaminan pembiayaan telah dijelaskan pada perjanjian pembiayaan murabahah pada pasal 8 ayat 1. Jaminan pada dasarnya bukanlah suatu rukun dan syarat yang mutlak yang harus dipenuhi dalam pembiayaan murabahah. Sesuai dengan fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 3 tentang jaminan dalam murabahah adalah: a. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. b. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
20
Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran. 21 Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
103
Sama seperti bank-bank lainnya, untuk semua jenis pembiayaan pada Bank BNI Syariah menggunakan jaminan demi kelancaran pembiayaan. Karena sudah menjadi ketentuan dari peraturan perbankan, maka nilai jaminan minimal sebesar 100% dari nilai pembiayaan. 22 Mengenai jaminan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada yang bertentangan dengan fatwa DSN di atas. Maka dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dalam akad pembiayaan murabahah dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang. 6. Penyelesaian Utang Nasabah Dalam penyelesaian hutang-piutang antara nasabah dan pihak bank, maka hal ini akan difokuskan dalam hal terjadinya wanprestasi atau kelalaian nasabah untuk melunasi hutangnya. Kredit macet dalam pembiayaan merupakan suatu permasalahan yang sering terjadi, maka setiap lembaga keuangan termasuk bank mempunyai kebijakan-kebijakan yang berbeda. Akan tetapi kebijakan tersebut harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah yang telah tertuang dalam fatwa-fatwa DSN. Menurut fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah pasal pertama telah menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan pembiayaan yang bermasalah. Dijelaskan bahwa Perbankan boleh melakukan konversi (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa
22
Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
104
menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi masih memiliki prospektif dengan ketentuan: Akad murabahah dihentikan dengan cara: a. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar; b. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan; c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah; d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah. LKS menyewakan obyek ex-murabahah yang telah dibeli kepada nasabah exmurabahah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penulis dengan pihak bank BNI Syariah, memberikan beberapa kebijakan dalam menangani kredit macet. Dalam pengambilan keputusan jika terjadi suatu kredit macet, maka pihak bank telah mempunyai beberapa langkah yang akan ditempuhnya, diantaranya adalah sebagai berikut : 23 -
23
Melakukan proses pendekatan kepada pihak nasabah yang bermasalah.
Wawancara pribadi dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010. lihat pada lampiran.
105
-
Melakukan proses negoisasi jika pendekatan tidak dapat dilakukan. dalam proses negoisasi ini jika nasabah dengan sengaja tidak membayar maka pihak bank akan memberikan surat teguran (SP) sebanyak 3 kali kepada nasabah.
-
Jika proses negoisasi sudah tidak dapat dilakukan, ada kemungkinan barang akan dijual dengan adanya surat penarikan barang dari pihak bank.
-
Jika sudah ditarik maka barang tersebut akan dilelang kepada masyarakat yang ingin membelinya.
Ketidakmampuan
nasabah
dalam
melunasi
hutangnya
tidak
selalu
mengindentitaskan bahwa nasabah itu sengaja untuk menghindari hutanghutangnya. Akan tetapi permasalahan tersebut dipengaruhi oleh keadaaan ekonomi di masyarakat yang mengakibatkan keadaaan ekonomi seseorang menjadi terguncang. Jika kita perhatikan kebijakan Bank BNI Syariah diatas, kebijakan tersebut tidak berlaku kepada nasabah pailit yang masih berniat baik untuk melunasi hutangnya dan masih menginginkan barang yang telah nasabah beli. Maka pihak bank akan berupaya untuk memberikan waktu atau penambahan tempo pelunasan hutang kepada nasabah. Kebijakan ini telah sesuai dengan ketentuan fatwa No.47/DSN-MUI/II/2005 tentang Recheduling Akad Murabahah. Untuk nasabah yang benar-benar tidak bisa melunasi kewajibannya, maka kebijakan pihak bank untuk memberikan surat teguran (SP) sampai dengan 3 kali.
106
Hal ini tidak bertentang dengan prinsip syariah, karena pihak bank berniat baik untuk memberikan waktu pelunasan dan meringankan beban nasabah. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 280. ⌧ (٢٨٠ : ) اﻟﺒﻘﺮﻩ......
Artinya : “ Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia lapang…..” (QS. Al-Baqarah 280). Pada proses diatas pihak bank akan melakukan proses rescheduling dan restructuring pembiayaan murabahah. Pada proses restructuring pembiayaan, pihak bank akan memberikan tenggang waktu yang berbeda-beda kepada nasabah tergantung tingkat kemampuan nasabah untuk melunasi semua sisa hutangnya. Sisa hutang tersebut sudah mencakup nilai harga pokok dan marjin yang telah digabungkan sesuai kesepakatan pada awal perjanjian akad murabahah. Nilai angsuran tersebut pihak bank tidak diperbolehkan adanya tambahan harga dari sisa hutang yang akan dibayarkan oleh nasabah. Bank BNI Syariah telah mematuhi ketentuan tersebut dan hal ini sudah sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Nisa’ ayat 29.
( ٢٩ : ) اﻟﻨﺴﺎء.
☺
⌧
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta sesame dengan jalan yang abathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Al-Nisa’:29).
107
Jika nasabah memang tidak bisa melunasi sampai dengan penambahan waktunya, pihak bank memberikan kebijakan yang sesuai dengan ketentuan fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah. Hal ini dapat kita lihat pihak bank akan menarik barang tersebut untuk dijual kembali atau dilelang kepada masyarakat lain yang berkeinginan untuk membelinya. Menurut fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah, barang tersebut ditarik oleh bank dan dijual kembali kepada nasabah yang bersangkutan dengan harga pasar. Sepintas jika kita perhatikan proses ini menyerupai proses Ba’I Innah yang dilarang oleh syariat Islam. Tetapi menurut hasil penelitian penulis kepada pihak DSN-MUI, proses ini bukan termasuk proses ba’I Innah, terdapat perbedaan di dalamnya yaitu: 24 -
Dalam ba’I Innah, harga pembelian kembali objek murabahah telah disyaratkan sebelumya dan telah ditetapkan harganya apabila nasabah (pembeli) diwaktu yang akan datang tidak dapat melunasinya.
-
Sedangkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSNMUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah tesebut, harga pembelian objek murabahah tidak mensyaratkan dan tidak ditentukan waktunya oleh pihak Bank. Hal ini ditempuh supaya memberikan win-win
24
Hasil Wawancara pribadi dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. lihat pada lampiran.
108
solution kepada nasabah yag kesulitan melunasi pembayaran pembiayaan murabahah, agar pihak bank dapat memberikan akad-akad baru kepada nasabah bilamana nasabah tersebut masih menginginkan objek murabahah tersebut. Pada proses ini pihak bank akan melakukan konversi akad murabahah menjadi akan yang lainnya. Menurut penelitian penulis di Bank BNI Syariah, pihak bank mengkonversi akad murabahah menjadi akad Mudharabah dan Musyarokah. Akan tetapi proses konversi akad ini Bank BNI Syariah belum sepenuhnya memenuhi ketentuan fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 pada pasal 1 butir b ” LKS menyewakan obyek ex-murabahah yang telah dibeli kepada nasabah ex-murabahah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSNMUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik”. Bank BNI Syariah belum dapat menerapkan konversi akad murabahah dengan akad ijaroh al-muntahiyah bit tamlik. 7. Penyelesaian Sengketa Pihak Bank BNI Syariah dalam menyelesaikan sengketa atau wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah, akan membawa masalah ini kepada Pengadilan Agama. Hal ini sudah dijelaskan dalam surat perjanjian akad Murabahah pada pasal 20 tentang penyelesaian sengketa. Akan tetapi, di dalam fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 menyebutkan dalam pasal 2 “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-
109
pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.” Dalam proses eksekusi barang akan diserahkan kepada pihak Pengadilan Negeri dan atau Balai Lelang untuk mengambil barang sengketa tersebut. Hal ini terdapat perbedaan antara pihak bank dengan pihak DSN-MUI dalam mengambil kebijakan untuk menyelesaikan sengketa. Seharusnya pihak bank bisa mematuhi kebijakan DSN-MUI untuk menyelesaikan sengketa di Basyarnas, karena dapat menutupi kejelekan pihak nasabah dari pihak-pihak lainnya. Menurut penulis, jika terjadi permasalahan Bank BNI Syariah sedikit agak memaksa kepada pihak nasabah untuk menyelesaikan masalah sengketa ke Pengadilan Agama. Karena prinsip pembiayaan murabahah itu terjadi dari kesepakatan kedua belah pihak, begitupun jika terjadi permasalahan seharusnya terdapat kesepakatan instansi yang akan menanganinya.
110
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari hasil penulisan skripsi, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut : 1.
Kedudukan fatwa-fatwa DSN-MUI ini sangatlah penting bagi Lembaga Keuangan Syariah dalam memberikan dan menetapkan kebijakan-kebijakan internal bank tersebut. Sifat fatwa pada mulanya hanya mengikat kepada pihak-pihak yang meminta fatwa tersebut, tetapi untuk semua fatwa tentang Perbankan Syariah yang telah ditetapkan dan diterbitkan oleh DSN-MUI, telah dipositifisasikan sehingga fatwa-fatwa Perbankan Syariah menjadi mengikat kepada seluruh Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Berdasarkan Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 kepada DSN-MUI untuk mengeluarkan fatwa DSN No.49/DSM-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah dapat menjadi pedoman bagi Bank Syariah dalam memutuskan kebijakan konversi akad pembiayaan Murabahah dan dapat menjadikan acuan dalam bertransaksi yang sesuai dengan syariat Islam.
2.
Implementasi
fatwa
DSN-MUI
tentang
perbankan
dalam
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Pihak perbankan
111
syariah telah mematuhi dan mentaati semua peraturan yang telah di tetapkan oleh DSN-MUI. Jika dapat dipersentasekan tingkat kepatuhan pihak perbankan syariah hampir 100% perbankan syariah di Indonesia telah mematuhi dan mentaati fatwa-fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI.
Sedangkan
fatwa-fatwa
perbankan
syariah
dalam
kemajuan hukum islam di Indonesia, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI ini telah diserap dalam UU Perbankan dan Peradilan Agama. Hebatnya lagi, Peradilan Umum dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan syarat memutuskan perkara tersebut berdasarkan fatwa-fatwa DSN-MUI dan hukum-hukum syariah. 3.
Penerapan dan kedudukan fatwa DSN No.49/DSM-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah sebagi berikut : a.
Adanya permasalahan-permasalahan yang muncul dalam perbankan syariah itu sendiri, seperti permasalahan dalam pembiayaan. Maka dengan sendirinya, mau tidak mau perbankan syariah akan meminta kebijakan fatwa-fatwa tersebut dalam menyelesaikan permasalahannya.
b.
Adanya
nasabah
pembiayaan
yang
Murabahah,
melakukan sehingga
wanprestasi pihak
Bank
mengeluarkan kebijakannya sesuai dengan syariat Islam.
112
dalam dapat
c.
Adanya permasalahan dalam perekonomian islam, khususnya dalam dunia Perbankan Syariah.
d.
Adanya tuntutan masyarakat untuk membuat kebijakan system ekonomi Islam yang lebih baik dan adil.
e.
Adanya pengaruh sistem konvensional yang dapat menekan perkembangan dan pertumbuhan sistem ekonomi Islam.
4.
Penerapan fatwa-fatwa DSN pada Perbankan Syariah sudah dipatuhi hampir semua Lembaga Keuangan Syariah, meskipun ada beberapa hal yang masih belum dipenuhi oleh Perbankan Syariah. Pada fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah ada 2 hal yang dipenuhi pihak Bank BNI Syariah. Diantaranya adalah pertama hal proses konversi akad Murabahahnya, Bank BNI Syariah hanya mengkonversi akad Murabahah dengan akad Mudhorabah dan Musyarokah. Sedangkan dalam fatwa dikonversi ke akad Ijaroh al munjahiyah bit tamlik. Kedua dalam proses penyelesaian sengketa pihak Bank BNI Syariah memilih Pengadilan Agama sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2008 pasal 55 ayat 1-3 tentang penyelesaian sengketa.
Sedangkan
dalam
diselesaikan di Basyarnas.
113
fatwanya
penyelesaian
sengketa
5.
Ketidak sesuaian yang terjadi antara fatwa dan pihak Bank BNI Syariah bukan berarti Bank melakukan hal yang menyalahi aturan dan ketentuan syariat Islam. Dalam fatwa DSN No.49/DSM-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah tidak membatasi pihak Bank dalam melakukan
konversi
akad.
Bank
diberikan
kebebasan
untuk
menentukan kebijakannya tanpa melanggar syariat Islam. Dalam hal penyelesaian sengketa, penulis menemukan keganjalan bahwa pihak Bank BNI Syariah terkesan memaksa pihak nasabah untuk mengikuti pihak Bank menyelesaikannya di Pengadilan Agama. Seharusnya pihak Bank bisa lebih fleksible dalam memutuskan sengketa antara Pengadilan Agama dan Basyarnas.
B.
Saran Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini, maka penulis memberikan saran-saran
sebagai berikut : 1.
DSN-MUI hendaknya lebih dan terus memperhatikan dan mengawasi terhadap penerapan fatwa-fatwa agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan syariat Islam termasuk di dalamnya fatwa tentang akad Murabahah ini.
2.
Bagi pihak Bank BNI Syariah hendaknya dalam menangani sengketa hendaknya di musyawarahkan kembali dengan nasabah. Sehingga
114
tidak ada rasa terpaksa untuk menyelesaikan masalah tersebut pada satu isntansi saja. 3.
Bagi masyarakat khususnya para nasabah hendaknya lebih teliti dalam setiap melakukan perjanjian pembiayaan. Harus diketahui aturanaturan yang pihak bank berikan, sehingga tidak ada pihak yang merasa untuk dirugikan.
4.
Bagi para peneliti lain yang ingin meneliti tentang akad Murabahah, penulis menyarankan agar meneliti tentang permasalahan sengketa pada pembiayaan Murabahah.
115
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahannya. Adi Warma Azhwar Karim, bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta : IIIT Indonesia, 2003). Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997. Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah), Jilid II. Amiruddin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Arifin, Zainul, MBA. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alfabet, 2006, cet ke-4. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT. Rikena Cipta, Agustus 2006, cet ke-13. Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Perbakan Syariah Tahun 2008. Jakarta : 2008. Darmawi, Herman. Management Resiko. Jakarta : Bumi Aksara, 2004, cet ke-8. Djojosoedarso, Soeisno. Prinsip-Prinsip Manajemen Resiko Dan Asuransi. Jakarta : Salemba Empat, 1999, cet ke-1. Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya media Pratama, 2000. Hasan Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Ibnu Rasyd. Terjamahan Bidayatul Mujtahid Jilid III. Penerbit As-Syifa’, (Semarang, 1990). Kasmir, SE, MM. Pemasaran Bank Jakarta : kencana 2007, cet ke-1.
116
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu kajian Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Perss, 2001, cet ke-1. Karim, Helmi. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Jakarta: April 1997, cet ke-2. Kitab Al-Waraqoh lil ‘abdillah Al-Fauzan, dalam Maktabah Syamilah. Juz 1. Kitab Al-Mu’jam al-Ausad lil Thabrani. Dalam Maktabah Syamilah. Juz 15. Kitab Musnad Ahmad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 35. Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5. Kitab Sunan Al-Darami. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 1. Kitab Syarih Muntaha al-Iradad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz:12. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : Elsas, 2008). Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1997. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi. (Jakarta: Bank Indonesia bekerjasama dengan Tazkia Institute, Desember 1999). Nazhir, Mohammad. Ph.D. Metode Penelitian . Jakarta : Ghalia Indonesia, Agustus 2006, cet ke-13. Nazir,Muh. Ph.D. Metode Penelitian. Jakata : Ghalia Indonesia, 1988. cetakan ketiga. Rivai, veithzal dan Andri P. Veithzal. Credit Management Handbook. Jakarta : PT. Rajawali Press. 2006. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12. Al-Ma’rif, (Bandung, 1995). Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986, cet ke-2. Soerjono, Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Singkat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
117
Suatu Tinjuan
Sri Nurharyati dan Washilah. Akuntamsi Syariah di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat, 2008. Supramono, Gatot. Perbankan Dan Masalah Kredit : Suatu Tinjuan Yuridis. Jakarta : Djambaran, 2006. cet ke-2. Sutan Remi Djahdeini. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. (Jakarta : Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999). Syakir Sula dan Aris Mufti. Amanah Bagi Bangsa Konsep Sistem Ekonomi Syariah. Jakarta : MES dan MUI, BI, Dept. Keuangan RI. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). Wahbah al-Zuhaili. Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. (Beirut: Dar al-Kutub alIslamiyyah 1991), jilid I.
Sumber dari Internet Agus Rakasiwi. Model "Artificial" untuk Prediksi Kredit Macet. Arikel diakses pada tanggal 4 Oktober 2009 dari http://newspaper.pikiran rakyat.com/prprint.php. Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 - 022010 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index. Dr. H.Amir Mu'allim, MIS. Praktek Pembiayaan Bank Syariah Dan Problematikanya. Diakses pada tanggal 7 February 2010 dari http://msi-uii.net. Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com. Ekonomi islam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.wikipedia.com. Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org. Potensi Kredit Macet Perbankan 2009. Artkel diakses pada tanggal 4 Oktober 2009 dari http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=487
118
Raymond Dantes. Bank Syariah antara Teori dan Realita : Studi Kompertif Akad dan Produk Perbankan Syariah di Dunia Islam., Artikel diakses pada tanggal 08 Mei 2008 dari http;//konsultasimuamalat.com. Rahmani Timorita Yulianti. Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktik Ekonomi Islam Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 dari http://master.islamic.uii.ac.id.
119
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang KONVERSI AKAD MURABAHAH
ِﻢﺣِﻴﻤﻦِ ﺍﻟﺮﺣﻢِ ﺍﷲِ ﺍﻟﺮﺑِﺴ Dewan Syari’ah Nasional setelah, Menimbang
:
a.
b. c.
d.
Mengingat
:
1. a.
bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah pada Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) pada umumnya dilakukan secara cicilan dalam kurun waktu yang telah disepakati antara LKS dengan nasabah; bahwa dalam hal nasabah mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan; bahwa keringanan sebagaimana dimaksud di atas dapat diwujudkan dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam penyelesaian pembayaran kewajiban; bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut Syari’ah Islam, Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman. Firman Allah SWT; antara lain: Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
…ﺎﺑ ﺍﻟﺮﻡﺮﺣ ﻭﻊﻴﻞﱠ ﺍﷲُ ﺍﻟﹾﺒﺃﹶﺣ… ﻭ b.
"…Dan Allah telah menghalalkan mengharamkan riba…." Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
jual
beli
dan
ﻥﹶﻜﹸﻮﺎﻃِﻞِ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﺑِﺎﻟﹾﺒﻜﹸﻢﻨﻴ ﺑﺍﻟﹶﻜﹸﻢﻮﺍ ﺃﹶﻣﺄﹾﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻻﹶﺗﻮﻨ ﺁﻣﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻬﺂ ﺃﹶﻳﻳ ...ﻜﹸﻢﺍﺽٍ ﻣِﻨﺮ ﺗﻦﺓﹰ ﻋﺎﺭﺗِﺠ
c.
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
… ِﺩﻘﹸﻮﺍ ﺑِﺎﻟﹾﻌﻓﹸﻮﺍ ﺃﹶﻭﻮﻨ ﺁﻣﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻬﺂ ﺃﹶﻳﻳ “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu”.
49 Konversi Akad Murabahah
d.
2
Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:
ﻠﹶﻰ ﺍﻹِﰒﺍ ﻋﻮﻧﺎﻭﻌﺗﻯ ﻭﻻ ﻭﻘﹾﻮﺍﻟﺘ ﻭﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﺒِﺮﺍ ﻋﻮﻧﺎﻭﻌﺗ… ﻭ (٢ :ﺍﻥ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓﻭﺪﺍﻟﻌﻭ e.
“… dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa….” Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 280:
ﺮﻴﺍ ﺧﻗﹸﻮﺪﺼﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﻭ،ٍﺓﺮﺴﻴﺓﹲ ﺇِﻟﹶﻰ ﻣﻈِﺮﺓٍ ﻓﹶﻨﺮﺴ ﻋﺇِ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺫﹸﻭ ﻭ... ... ﻟﹶﻜﹸﻢ ”... Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih bik bagimu, jika kamu mengetahui.” 2. a.
Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain: Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu Hibban :
ُﻠﱠﻰ ﺍﷲﻝﹶ ﺍﷲِ ﺻﻮﺳ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﹶ ﱠﻥ ﺭﺭِﻱﺪﺪٍ ﺍﻟﹾﺨﻌِﻴ ﺳ ﺃﹶﺑِﻲﻦﻋ ،ٍﺍﺽﺮ ﺗﻦ ﻋﻊﻴﺎ ﺍﻟﹾﺒﻤ ﺇِﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶﻠﱠﻢﺳﺁﻟِﻪِ ﻭﻪِ ﻭﻠﹶﻴﻋ
b.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Hadis Nabi riwayat al-Thabrani dalam al-Kabir dan alHakim dalam al-Mustadrak yang menyatakan bahwa hadis ini shahih:
ﺮ ﺎ ﺃﹶﻣ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﹶﻤ ﻋﺒﺎﺱٍ ﺃﻥﱠ ﺍﻟﻨﱯﺭﻭﻯ ﺍﺑﻦ ﺇِﻧﻚ،ﱯ ﺍﷲﺎ ﻧ ﻳ: ﻓﻘﹶﺎﻟﹸﻮﺍ، ﻣﻨﻬﻢﺎﺀﻩ ﻧﺎﺱﺮِ ﺟﻀِﻴﻨِﻲ ﺍﻟﻨﺍﺝِ ﺑﺑﺈﺧﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ،ﺤِﻞﱠﻥﹲ ﱂ ﺗﻮﻳﺎﺱ ﺩ ﺑﺈﺧﺮﺍﺟِﻨﺎ ﻭﻟﹶﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺮﺕﺃﻣ ﺍ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﱐﻠﹸﻮﺠﻌﺍ ﻭﺗﻮﻌ ﺿ:ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ (ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ ﰲ ﺍﳌﺴﺘﺪﺭﻙ ﻭﺻﺤﺤﻪ Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo” Maka Rasulullah saw berkata: “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”.
Dewan Syariah Nasional MUI
49 Konversi Akad Murabahah
c.
3
Hadits Nabi Riwayat Muslim, beliau bersabda:
ﹰﺔﺑ ﻛﹸﺮﻪﻨ ﺍﷲُ ﻋﺝ ﻓﹶﺮ،ﺎﻴﻧﺏِ ﺍﻟﺪ ﻛﹸﺮ ﹰﺔ ﻣِﻦﺑﻠِﻢٍ ﻛﹸﺮﺴ ﻣﻦ ﻋﺝ ﻓﹶﺮﻦﻣ ِﻥﻮ ﻋ ﻓِﻲﺪﺒ ﺍﻟﹾﻌﺍﻡﺎﺩﺪِ ﻣﺒﻥِ ﺍﻟﹾﻌﻮ ﻋﺍﷲُ ﻓِﻲ ﻭ،ِﺔﺎﻣﻡِ ﺍﻟﹾﻘِﻴﻮﺏِ ﻳ ﻛﹸﺮﻣِﻦ .ِﻪﺃﹶﺧِﻴ
d.
“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, beliau bersabda:
ﺎﺍﻣﺮﻞﱠ ﺣ ﺃﹶﺣﻼﹶﻻﹰ ﺃﹶﻭ ﺣﻡﺮﺎ ﺣﻠﹾﺤ ﺇِﻻﱠ ﺻﻠِﻤِﲔﺴ ﺍﻟﹾﻤﻦﻴ ﺑﺎﺋِﺰ ﺟﻠﹾﺢﺍﹶﻟﺼ ﻞﱠ ﺃﹶﺣﻼﹶﻻﹰ ﺃﹶﻭ ﺣﻡﺮﻃﹰﺎ ﺣﺮ ﺇِﻻﱠ ﺷﻭﻃِﻬِﻢﺮﻠﹶﻰ ﺷﻮﻥﹶ ﻋﻠِﻤﺴﺍﻟﹾﻤﻭ .ﺎﺍﻣﺮﺣ “Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 3.
Kaidah fiqh:
ﺎﻤِﻬﺮِﻳﺤﻠﹶﻰ ﺗﻞﹲ ﻋﻟِﻴﻝﱠ ﺩﺪﺔﹸ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺎﺣﻼﹶﺕِ ﺍﹾﻹِﺑﺎﻣﻌﻞﹸ ﻓِﻰ ﺍﻟﹾﻤﺍﹶﻷَﺻ “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
ﺮﺴِﻴﻴ ﺍﻟﺘﻠِﺐﺠﻘﱠﺔﹸ ﺗﺸﺍﹶﻟﹾﻤ “Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan”. 1.
Memperhatikan
2. 3.
Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 perihal Permohonan Fatwa. Hasil workshop BPH-DSN, 9-10 Dzulqa’dah 1425/21-22 Desember 2004. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari Jum’at, 16 Muharram 1426/ 25 Februari 2005. MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
FATWA TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH
Pertama
:
Ketentuan Konversi Akad LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/ melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif, dengan ketentuan:
Dewan Syariah Nasional MUI
49 Konversi Akad Murabahah
4
a. Akad murabahah dihentikan dengan cara: i. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar; ii. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan; iii. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah; iv. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah. b. LKS dan nasabah ex-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad: i. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut di atas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSNMUI/III/2002 tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik; ii. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau iii. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. Kedua
:
Ketentuan Penutup 1.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 16 Muharram 1426 H. 25 Februari 2005 M. DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
Dewan Syariah Nasional MUI
Daftar Pertanyaan Wawancara Kepada DSN-MUI untuk judul Skripsi ”Analisa Penerapan Fatwa DSN NO. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank Bni Syariah Pusat” 1. Pada saat kapan DSN MUI diminta untuk mengeluarkan fatwa N0. 49 th 2005? 2. Apakah jaminan merupakan suatu keharusan dalam pembiayaan murabahah? pdhal dalam prakteknya murabahah yang sebenarnya tdk ada jaminan di dalamnya. 3. Bagaimana implikasi fatwa DSN tentang perbankan dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia. apakah telah sesuai aturan yang ditetapkan ataukah tidak? 4. Bagaimana implikasi fatwa DSN tentang perbankan dalam kemajuan hukum islam di Indonesia.
Hasil Wawancara Hasil wawancara dengan DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program, Bpk. Muhammad Gunawan Yasni. Tanggal 24 Februari 2010. pukul 14.00-15.00 WIB. 1. Permohonan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah kepada Pihak Dewan Syariah Nasional pada saat diterbitkannya Surat Direksi Bank Syariah Mandiri No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004. Maka pihak DSN dengan segala upaya telah menerbitkan fatwa tersebut untuk menyelesaikan permasalahan tentang murabahah, dimana permasalahannya adalah tentang mengkonversi akad murabahah dengan akad-akad yang baru karena nasabah telah melakukan kesulitan dalam akad murabahah dan atau sedang mengalami wan prestasi. Sedangkan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pihak perbankan syariah adalah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan DSN-MUI pada perihal “MEMUTUSKAN” poin a dan b. (lihat fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah). Dalam proses restructuring dan rescheduling pada pembiayaan murabahah, tidak diperbolehkan bank syariah merubah atau menambah harga pokok objek murabahah untuk memperoleh keuntungan. Bank hanya
diperbolehkan menambahkan tempo pembayaran kepada nasabah terhadap sisa hutang yang belu terlunasi oleh nasabah. Sedangkan dalam proses penjualan objek murabahah kepada LKS atau Bank Syariah dengan harga pasar saat itu, proses ini hampir mirip dengan ba’I Innah yang telah dilarang. akan tetapi terdapat perbedaan didalamnya yaitu : -
Dalam ba’I Innah, harga pembelian kembali objek murabahah telah disyaratkan sebelumya dan telah ditetapkan harganya apabila nasabah (pembeli) diwaktu yang akan datang tidak dapat melunasinya.
-
Sedangkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSNMUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah tesebut, harga pembelian objek murabahah tidak mensyaratkan dan tidak ditentukan waktunya oleh pihak Bank. Hal ini ditempuh supaya memberikan winwin solution kepada nasabah yag kesulitan melunasi pembayaran pembiayaan murabahah, agar pihak bank dapat memberikan akad-akad baru kepada nasabah bilamana nasabah tersebut masih menginginkan objek murabahah tersebut. DSN-MUI tidak menetapkan dalam marjin yang diambil oleh pihak
bank dari para nasabah. Penentuan marjin tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan antara pihak Bank dan nasabah, asalkan marjin tersebut nilainya tidak 100% dari nilai objek murabahah.
Sifat fatwa pada mulanya hanya mengikat kepada pihak-pihak yang meminta fatwa tersebut, tetapi untuk semua fatwa tentang Perbankan Syariah yang telah ditetapkan dan diterbitkan oleh DSN-MUI, telah dipositifisasikan sehingga fatwa-fatwa Perbankan Syariah menjadi mengikat kepada seluruh Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. 2. Dalam pembiayaan murabahah yang sebenarnya memang tidak ada jaminan dari objek murabahah. Akan tetapi, karena perbankan syariah masih dibawah domain perbankan umum yang diharuskan meminta jaminan resiko terhadap suatu pembiayaan untuk mengcover jika terjadi wan perstasi dari pihak nasabah. Disamping itu, jaminan pembiayaan merupakan tuntutan positifisasi dari dunia perbankan. Nilai jaminan harus ditas 100% dari nilai objek pembiayaan dan sekurang-kurangnya nilainya sama dengan nilai objek pembiayaan tersebut. 3. Dalam implikasi fatwa DSN-MUI tentang perbankan dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia, pihak perbankan syariah telah mematuhi dan mentaati semua peraturan yang telah di tetapkan oleh DSN-MUI. Jika dapat dipersentasekan tingkat kepatuhan pihak perbankan syariah hampir 100% perbankan syariah di Indonesia telah mematuhi dan mentaati fatwa-fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI.
Hal ini dipengaruhi oleh permasalahan-permasalahan yang muncul dalam perbankan syariah itu sendiri. maka dengan sendirinya, mau tidak mau perbankan syariah akan merujuk kepada fatwa-fatwa tersebut dalam menyelesaikan permasalahannya. 4. Sedangkan fatwa-fatwa perbankan syariah dalam kemajuan hukum islam di Indonesia, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI ini telah diserap dalam UU Perbankan dan Peradilan Agama. Hebatnya lagi, Peradilan Umum dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan syarat memutuskan perkara tersebut berdasarkan fatwa-fatwa DSN-MUI dan hukum-hukum syariah. Jadi perkembangan fatwa-fatwa DSN-MUI telah memberikan kontribusi kepada kemajuan dan perkembangan hukum islam di Indonesia demi tegaknya syariatsyariat islam di dunia.
Nama : Akhirul Sholeh Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Daftar Pertanyaan Wawancara Skripsi Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”. 1. Produk-produk pembiayaan apa saja yang sudah dikembangkan oleh Bank BNI Syariah? 2. Bagaimanakah proses pembiayaannya dan berapa lama masa angsurannya? Mohon dijelaskan. Untuk lebih spesifik, kami mohon di jelaskan proses pembiayaan murabahah yang telah dilakukan oleh Bank BNI Syariah. 3. Apakah Bank BNI Syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah 100% atau 50% dari nilai permohonan pembiayaannya? 4. Apakah ada jaminan dalam pembiayaan murabahah tersebut? Jika jaminan di adakan, berapa persentase perhitungan jaminan atas pembiayaan murabahah tersebut? 5. Dalam hal pengadaan barang, apakah Bank BNI Syariah langsung memesan kepada suplier, menemani nasabah membeli barang, atau memberikan surat kuasa kepada nasabah untuk menentukan sendiri? 6. Apakah Bank BNI Syariah secara transparan untuk memberi tahu kepada nasabah jika terdapat cacat pada barang tersebut? Ataukah sebaliknya apakah nasabah selalu memberi tahu jika barang yang diterima cacat? 7. Apakah Bank BNI Syariah memberi tahukan kepada nasabah secara transparan tentang harga barang berikut marjin dan biaya-biaya yang dibutuhkan?
1
8. Jika nasabah mengalami kredit macet atau pailit dalam melunasi angsurannya, langkah apakah yang selalu di ambil pihak bank dalam menyelesaikan masalah tersebut? 9. Apabila pihak bank melakukan proses restrukturing pada angsuran pembiayaannya, bagaimanakah prosesnya?berapa tenggang waktu yang masih diberikan kepada nasabah tersebut? Jika diberikan tenggang waktu pelunasan kreditnya, apakah nasabah harus melunasi berdasarkan sisa pokok hutang dan marjinya atau hanya melunasi sisa pokok hutangnya saja? 10. Apabila pihak bank melakukan proses reconditioning atau proses konversi akad pada pembiayaan macet, akad apakah yang akan diberikan pihak Bank kepada pihak nasabah? 11. Apabila nasabah melakukan pembatalan kontrak pembiayaan murabahah, apa konsekuensi yang harus ditanggung oleh pihak bank dan nasabah? 12. Apabila terjadi wanprestasi dan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak (pihak Bank dan nasabah), apakah bank akan menyelesaikan masalah ini ke Basyarnas? Mohon dijelaskan alasan dalam menyelesaikan masalah tersebut jika penyelesaiannya bukan ke pihak Basyarnas. 13. Berapa besarkah persentase perbandingan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan murabahahah dibandingkan dengan bentuk penyaluran dana yang lainnya? mohon diberikan tabel persentase perbandingannya.
2
HASIL WAWANCARA Hasil Wawancara dengan Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI, Bpk. Wisnu Suwarno. Tanggal 10 s/d 11 Maret 2010 1. Produk Pembiayaan BNI Syariah : -
Pembiayaan Murabahah a. Pembiayaan Produktif b. Pembiayaan Konsumtif
-
Pembiayaan Ijaroh
-
Pembiayaan Mudharabah
-
Pembiayaan Musyarokah
-
Pembiayaan Qardhul Hasan
2. Proses Awal Pembiayaan a. skema permohonan pembiayaan b. prosedur analisa pembiayaan -
pengumpulan data-data nasabah yang akan memohon pembiayaan. diantaranya data-data yang harus dipenuhi oleh nasabah adalah : 1). Kartu Tanda Penduduk (KTP). 2). Kartu Keluarga (KK) *jika sudah berkeluarga. 3). Slip Gaji. 4). Ada persetujuan dari suami atau istri nasabah yang bersangkutan.
3
5) Dewasa. artinya sudah cakap hukum. atau usia minimal 21 Tahun 6). Jika masih single tidak perlu adanya persetujuan dari pihak manapun. -
melakukan verifikasi data atau dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan nasabah.
-
jika nasabah merupakan suatu perusahaan maka ada hal penting yang harus di cek, yaitu : 1). mengecek kreadibilitas perusahaan. 2). meneliti laporan keungan perusahaan. 3) meneliti ada atau tidaknya blacklist pada pemegang perusahaan.
-
proses persetujuan 1). struktur fasilitas 2). keputusan kredit 3). proses administrasi a). surat keputusan pembiayaan. b). proses pencairan dana. adanya surat pencairan dana dari nasabah ke pihak bank sebagai tanda bukti untuk memperkuat kepada pihak penjual.
-
Setelah proses diatas terpenuhi, maka terjadi proses hutang piutang antara nasabah dan pihak bank.
-
Angsuran
4
Angsuran tidak boleh lebih dari 40% dari pada gaji nasabah, jika istri atau suami sama-sama bekerja maka nilai angsuran max. 50% dari jumlah gaji keduanya. Untuk waktu angsurannya akan dijelaskan di bawah pada point 7. 3. Bank BNI Syariah hanya memberikan dana pembiayaan sebesar max 80 % dari permohonan pembiayaan yang telah diajukan oleh nasabah. Pihak bank BNI Syariah juga meminta Uang Muka kepada nasabah minimal sebesar 20% dari harga yang telah disepakati. Uang muka tersebut diharuskan bagi nasabah pembiayaan personal, jika pembiayaan secara kolektif dan ada instansi yang dapat menjaminnya seperti perusahaan, maka uang muka bisa ditiadakan. 4. Setiap pembiayaan di haruskan adanya suatu jaminan, karena sudah menjadi ketentuan dari peraturan perbankan. dan nilai jaminan minimal sebesar 100% dari nilai pembiayaan. 5. Dalam proses pengadaan barang, pihak bank BNI Syariah memberikan surat perjanjian yang akan ditanda tangani oleh pihak nasabah dan juga pihak penjual barang. Jadi pihak Bank akan memberikan surat kuasa untuk memilih dan menentukan barang yang akan dibeli dari pihak penjual. 6. Jadi sesuai dengan surat kuasa yang diberikan oleh nasabah tersebut, maka jika terjadi suatu kecacatan pada barang tersebut, maka nasabah sendiri yang akan menanggungnya atau meminta klaim terhadap pihak penjual barang. 7. Dalam penentuan marjin dari pihak bank telah menentukan dan menetapkan nilai atau harga minimal yang harus diambil oleh pihak bank, diantaranya adalah : Tabel penentuan Marjin Tarif Marjin Minimal Pembiayaan Produktif
5
Waktu
FLAT Rupiah
Valas
1 tahun
8.25 %
4.50 %
2 tahun
8.50 %
4.75 %
3 tahun
8.75 %
5.00 %
4 tahun
9.00 %
5.25 %
< 5 tahun
9.25 %
5.50 %
Tarif Marjin Minimum Pembiayaan BNI Griya iB WAKTU
FLAT
1-5 tahun
8.50 %
>5-10 tahun
9.50 %
>10-15 tahun
10.50 %
Tarif Marjin Minimum Pembiayaan Multiguna Oto Waktu
FLAT
1 tahun
8.50 %
2 tahun
8.75 %
3 tahun
9.00 %
6
4 tahun
9.25 %
5 tahun
9.50 %
Naik-turunnya nilai marjin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : -
pengaruh dari persaingan antar bank, baik bank syariah maupun bank konvensional yang menggunakan sistem bunga.
-
adanya informasi-informasi pihak lapangan yang mengikuti pergerakan nilai pasar.
-
adanya pengaruh kurs mata uang
-
adanya pengaruh kondisi ekonomi dalam negeri.
8. Dalam pengambilan keputusan jika terjadi suatu kredit macet, maka pihak bank telah mempunyai beberapa langkah yang akan ditempuhnya, diantaranya adalah sebagai berikut : -
melakukan proses pendekatan kepada pihak nasabah yang bermasalah.
-
melakukan proses negoisasi jika pendekatan tidak dapat dilakukan. dalam proses negoisasi ini jika nasabah dengan sengaja tidak membayar maka pihak bank akan memberikan surat teguran (SP) sebanyak 3 kali kepada nasabah.
-
jika proses negoisasi sudah tidak dapat dilakukan, ada kemungkinan barang akan dijual dengan adanya surat penarikan barang dari pihak bank.
-
jika sudah ditarik maka barang tersebut akan dilelang kepada masyarakat yang ingin membelinya.
7
9. Proses Restrukturing terdiri dari beberapa hal. diantaranya yaitu : a. Penjadwalan kembali piutang. hal ini biasanya dilakukan pada pembiayaan konsumtif. b. Reconditioning piutang, hal ini dilakukan pada pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Tapi proses reconditioning lebih diarahkan pada pembiayaan produktif. Pada proses restructuring pembiayaan, pihak bank akan memberikan tenggang waktu yang berbeda-beda kepada nasabah tergantung tingkat kemampuan nasabah untuk melunasi semua sisa hutangnya. Sisa hutang tersebut sudah mencakup nilai harga pokok dan marjin yang telah digabungkan sesuai kesepakatan pada awal perjanjian akad murabahah. Bank BNI Syariah juga mensyaratkan cara angsuran yang telah direstrukturing pembiayaannya : -
Angsuran sudah termasuk harga pokok dan marjin.
-
Tidak diperbolehkan adanya tambahan harga dari harga pokok
dalam
melakukan structuring atau memberikan tambahan waktu angsurannya, karena didalam fatwa telah dijelaskan tidak boleh adanya tambahan harga. 10. Dalam melakukan proses reconditioning pihak Bank BNI Syariah mengkonversi akad murabahah dengan akad Mudharabah dan Musyarokah. Sedangkan akad Ijaroh Al-Munjahiyah Bit-Tamlik belum diterapkan. 11. Pembatalan kontrak hanya boleh dilakukan oleh pihak bank itu sendiri, sedangkan pihak nasabah tidak boleh membatalkan kontrak. Jika pihak nasabah membatalkan kontrak maka dapat dianggap sebagai pembiayaan macet.
8
12. Dalam menyelesaikan sengketa atau wanprestasi yang dilakukan oleh pihak nasabah, maka pihak Bank BNI Syariah akan membawa masalah ini ke Pengadilan Agama. Dan dalam proses eksekusi diserahkan kepada pihak Pengadilan Negeri atau Balai Lelang. Hal ini sudah dijelaskan dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah. 13. Untuk jumlah pembiayaan yang diberikan oleh Bank BNI Syariah dapat kita lihat pada tabel selanjutnya yang telah dilampirkan dibelakang. Dan penulis memberikan
tabel
singkat
untuk
membandingkan
besarnya
persentase
pembiayaan. Pembiayaan
Persentase
Murabahah
76%
Mudharabah dan Musyarokah
18%
Ijaroh
6%
9
ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi) Oleh :
AKHIRUL SHOLEH NIM : 105046101664 Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Dr. Jaenal Arifin, M.Ag NIP : 197210161998031004 KONSENTRASI MUAMALAH PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN TIM PEMBIMBING SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
Tim Pembimbing Seminar Proposal Skripsi Program Studi Muamalat mengesahkan proposal skripsi.
Nama
: Akhirul Sholeh
NIM
: 105046101664
Konsentasi
: Perbankan Syariah
Judul
: ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Reconditioning Akad Murabahah Terhadap Tingkat Kredit Macet (Studi Kasus Pada Bank Indonesia)”.
Jakarta, 3 Desember 2009 Disahkan oleh TIM Pembimbing Seminar Proposal Skripsi :
Ketua
Dr. Euis Amalia, M.Ag.
(…………………….)
Sekretaris
Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H.
(…………………….)
Pembimbing I
Drs. H. Zainal Arifin Yusuf
(…………………….)
Pembimbing II
Dr. Jaenal Arifin
(…………………….)