KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.60/MEN/2001 TENTANG PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang :
a.
bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 508 Tahun 1996 tentang Pengadaan Kapal Perikanan dan Penghapusan Sistem Sewa Kapal Perikanan, penggunaan kapal berbendera asing telah dihapus, dan bagi perusahaan perikanan yang menyewa kapal perikanan diberi prioritas membeli kapal yang disewa dan diberi kesempatan membentuk usaha patungan, dengan syarat sebagian atau seluruh kapal yang disewa merupakan penyertaan modal pihak asing; b. bahwa dalam rangka peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab, optimal dan berkelanjutan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, pengadaan kapal perikanan dari luar negeri dan penggunaan kapal perikanan asing perlu dibuka kembali dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan; c. bahwa dalam rangka mencapai sasaran butir b, dan sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
Mengingat :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
10. 11. 12.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 141 Tahun 2000; Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi Dan Tugas Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2001; Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001; Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Departemen; Keputusan Menteri Eskplorasi Laut dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan;
13. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 14. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2001 tentang Organisasi dan tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.30/MEN/2001; 15. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2001 tentang Tata Cara Pemungutan Pungutan Perikanan Yang Tertuang; 16. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.47/MEN/2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan; MEMUTUSKAN : Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam keputusan ini, yang dimaksud dengan : 1.
Alat Bantu Penangkapan Ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan.
2.
Alat Penangkap Ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
3.
Alokasi Penangkapan Ikan Asing (APIA) adalah izin tertulis yang harus dimiliki oleh orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan asing beserta alat penangkap ikan sesuai dengan daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan asing yang digunakan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
4.
Badan Hukum adalah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggungjawab dan memiliki hak-hak serta kewajibankewajiban dan merupakan subyek hukum yang ditetapkan oleh pejabat dari instansi yang berwenang.
5.
Beli Angsur adalah transaksi pembelian kapal perikanan asing oleh perusahaan perikanan yang pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur dalam periode waktu tertentu dan dituangkan dalam perjanjian beli-angsur.
6.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
7.
Izin Usaha Perikanan (IUP) adalah izin tertulis yang harus dimiliki oleh perusahaan perikanan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan atau usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan beserta alat penangkap ikan sesuai dengan daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan yang akan digunakan, dan/atau usaha pengangkutan ikan.
8.
Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB) adalah banyaknya Sumberdaya Ikan yang boleh ditangkap dengan memperhatikan pengamanan kelestariannya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
9.
Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan.
10. Kapal Perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan termasuk untuk melakukan survey atau eksplorasi perikanan. 11. Kapal Perikanan Asing adalah kapal perikanan yang dimiliki oleh orang atau badan hukum asing. 12. Lembar Laik Tangkap Operasional (LLTO) adalah lembar yang berisi tentang kelaikan alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan yang digunakan untuk operasional penangkapan ikan. 13. Lisensi adalah kesempatan yang diberikan kepada orang atau badan hukum asing untuk menggunakan kapal perikanan miliknya menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dimana penerima kesempatan wajib menunjuk perusahaan perikanan sebagai agen atau perwakilannya di Indonesia dan pemberian kesempatan tersebut merupakan pelaksanaan perjanjian di bidang perikanan tangkap antara Pemerintah Negara Republik Indonesia dengan pemerintah negara dari penerima kesempatan. 14. Menteri adalah Menteri Kelautan dan Perikanan. 15. Orang adalah manusia pribadi pendukung hak dan kewajiban yang dapat diminta pertanggungjawaban sebagai subyek hukum. 16. Penataan adalah sistim pengawasan dan pengendalian untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berdayaguna dan berhasilguna. 17. Perusahaan Perikanan adalah perusahaan yang melakukan Usaha Perikanan dan dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. 18. Rencana Usaha adalah rencana kegiatan investasi dan pelaksanaan usaha yang akan dilakukan oleh Perusahaan Perikanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, yang meliputi jumlah, jenis dan ukuran kapal perikanan, jenis alat penangkap ikan, daerah operasi penangkapan ikan, perkiraan produksi, rencana investasi dan hasil analisis kelayakan usaha dalam rangka memperoleh IUP yang dituangkan dalam bentuk proposal. 19. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) adalah surat izin yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP. 20. Surat Penangkapan Ikan (SPI) adalah surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP. 21. Surplus Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB) adalah sisa JTB yang belum dimanfaatkan oleh perusahaan perikanan dalam kurun waktu tertentu.
22. Usaha Patungan adalah kerjasama antara perusahaan perikanan dengan orang atau badan hukum asing untuk membentuk Badan Hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal Asing. 23. Usaha Penangkapan Ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, menyimpan, mengolah, mendinginkan, mengawetkan dan mengangkutnya untuk tujuan komersial. 24. Usaha Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan dan mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. 25. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang Perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. BAB II BENTUK PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DI ZEEI Pasal 2
(1)
Untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan di ZEEI, dilakukan penataan terhadap penggunaan kapal perikanan yang menangkap ikan di ZEEI.
(2)
Penataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara : a. Usaha patungan (joint venture); b. Beli-angsur (purchase on instalment); c. Lisensi.
Pasal 3 (1)
Penataan penggunaan kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan maksud agar setiap penangkapan ikan di ZEEI oleh kapal perikanan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan tujuan agar setiap penangkapan ikan di ZEEI oleh kapal perikanan dilakukan secara bertanggungjawab dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. BAB III PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN CARA USAHA PATUNGAN Pasal 4
(1)
Penataan penggunaan kapal perikanan dengan cara usaha patungan dilakukan dengan menjadikan kapal perikanan asing sebagai penyertaan modal pada perusahaan perikanan patungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal Asing.
(2)
Perusahaan perikanan patungan dapat juga mengadakan kapal perikanan dengan cara beli-angsur.
(3)
Pengadaan kapal perikanan dengan cara beli-angsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Bab IV. Pasal 5
(1)
Perusahaan perikanan patungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang akan mengadakan kapal perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal.
(2)
Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyampaikan permohonan dengan melampirkan fotokopi surat persetujuan (SPT) penanaman modal. Pasal 6
(1)
Perusahaan perikanan patungan di bidang penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengoperasikan 20 kapal penangkap ikan atau lebih wajib membangun unit pengolahan ikan di darat minimal senilai 20% dari seluruh nilai kapal penangkap ikan yang dioperasikan.
(2)
Pada perusahaan perikanan patungan, penyertaan modal pihak Indonesia untuk tahun pertama minimal 20% dari seluruh modal yang disetorkan/ditempatkan. Pasal 7 Nilai Kapal perikanan asing yang dimasukkan sebagai penyertaan modal dalam usaha patungan ditetapkan berdasarkan pertimbangan Tim Penilai yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Pasal 8
(1)
Kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap ikan di ZEEI oleh perusahaan perikanan patungan wajib dilengkapi dengan SPI.
(2)
Surat permohonan SPI disampaikan kepada Direktur Jenderal dan sekurangkurangnya memuat : a. Identitas pemohon; b. Jumlah SPI yang dimohonkan; c. Alat penangkap ikan yang akan digunakan dan daerah penangkapan serta pelabuhan pangkalan; d. Asal-usul kapal.
(3)
Permohonan untuk memperoleh SPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan dengan melampirkan :
a. Fotokopi SPT yang telah dilegalisasi; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum (General Arrangement) kapal; c. Spesifikasi Teknis Kapal; d. Daftar Anak Buah Kapal (ABK); e. Fotokopi dokumen tehnis alat penangkap ikan yang akan dipergunakan yang disyahkan oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk; f. Hasil pemeriksaan fisik kapal; g. Fotokopi Paspor, pasphoto nakhoda dan ABK asing; h. Fotokopi NPWP. (4)
SPI diterbitkan dan diserahkan kepada pemohon setelah : a. Memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3); b. Menyerahkan tanda bukti penyetoran pungutan perikanan. Pasal 9
(1)
SPI diterbitkan dan diberikan kepada pemohon sebagai pemilik kapal yang tercantum dalam dokumen kepemilikan kapal.
(2)
SPI berlaku untuk jangka waktu : a. Tiga tahun, untuk pancing prawe, pukat cincin dan gill net pelagis besar; b. Dua tahun, untuksquid jigging, bouke-ami, pukat cincin dan gill net pelagis kecil; c. Satu tahun, untuk pukat udang dan pukat ikan.
(3)
SPI yang masa berlakunya akan berakhir, pdapat dimohonkan perpanjangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku SPI. Pasal 10
(1)
Pemegang SPI wajib mengajukan permohonan penggantian atau perubahan SPI kepada Direktur Jenderal dalam hal : a. SPI hilang atau rusak sehingga tidak dapat dibaca; b. Akan mengalihkan pelabuhan lapor; c. Akan m,engganti alat tangkap.
(2)
Dalam hal SPI hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pemohon wajib melampirkan Surat Keterangan Hilang asli yang diterbitkan oleh POLRI di pelabuhan lapor sebagaimana tercantum dalam SPI.
(3)
Dalam hal terjadi kerusakan SPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pemohon wajib melampirkan SPI yang rusak.
(4)
Pelabuhan lapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Pelabuhan Pangkalan sesuai yang tercantum dalam SPI.
BAB IV PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN CARA BELIANGSUR (PURCHASE ON INSTALMENT) Pasal 11 (1)
Penataan penggunaan kapal perikanan dengan cara beli-angsur dilakukan dengan memberi kesempatan kepada perusahaan perikanan untuk melakukan pengadaan kapal perikanan dengan cara beli-angsur kapal perikanan asing.
(2)
Perusahaan perikanan yang akan melakukan pengadaan kapal perikanan dengan cara beli-angsur sebagaiumana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal.
(3)
Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan : a. Salinan IUP; b. Rencana pengoperasian kapal; c. Rencana pembayaran angsuran.
(4)
Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan sesuai dengan ketersediaan surplus JTB. Pasal 12 Pengadaan kapal perikanan melalui beli-angsur meliputi jenis-jenis :
a.
Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan longline berukuran 100 GT sampai dengan 350 GT dengan konstruksi baja atau fibreglass maksimal berumur 15 tahun;
b.
Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan purse seine berukuran 100 GT sampai dengan 800 GT dengan sistem satu kapal dengan konstruksi baja maksimal berumur 15 tahun;
c.
Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan pukat ikan berukuran 100 GT sampai dengan 400 GT dengan konstruksi baja maksimal berumur 15 tahun;
d.
Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan pukat udang berukuran 100 GT sampoai dengan 300 GT dengan konstruksi baja maksimal berumur 15 tahun;
e.
Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan jaring insang (gill net) berukuran 100 GT sampai dengan 300 GT dengan konstruksi baja maksimal berumur 15 tahun;
f.
Kapal perikanan lain dengan alat penangkap ikan bouke-ami dan pancing cumi (squid jigging) berukuran 100 GT sampai dengan 300 GT dengan konstruksi baja maksimal berumur 15 tahun. Pasal 13
(1)
Perusahaan perikanan yang telah memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) wajib melaksanakan pengadaan kapal dengan perjanjian beli-angsur.
(2)
Perjanjian beli-angsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat di hadapan Notaris dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
(3)
Perjanjian beli-angsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya memuat: a. Identitas para pihak; b. Spesifikasi teknis kapal yang diperjanjikan; c. Hak dan kewajiban para pihak; d. Tata cara pembayaran beli-angsur kapal dan pengalihan kepemilikan kapal; e. Jangka waktu beli-angsur. Pasal 14
(1)
Pembayaran kapal perikanan yang diperoleh dengan cara beli-angsur, wajib dilakukan dengan menggunakan jasa perbankan;
(2)
Pengalihan kepemilikan atau penggantian bendera kapal perikanan menjadi kepemilikan orang atau badan hukum Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15
(1)
Kapal perikanan yang diperoleh dengan cara beli-angsur yang digunakan menangkap ikan di ZEEI, wajib dilengkapi dengan SPI.
(2)
Surat permohonan untuk memperoleh SPI diajukan kepada Direktur Jenderal dan sekurang-kurangnya memuat : a. Identitas pemohon; b. Jumlah SPI yang dimohonkan; c. Alat penangkap ikan yang akan digunakan dan daerah penangkapan serta pelabuhan pangkalan; d. Asal-usul kapal.
(3)
Permohonan SPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan dengan melampirkan : a. Salinan IUP; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum (General Arrangement) kapal; c. Fotokopi perjanjian kerjasama beli-angsur; d. Spesifikasi Teknis Kapal; e. Daftar Anak Buah Kapal (ABK); f. Fotokopi dokumen teknis alat penangkap ikan yang akan dipergunakan yang disyahkan oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk; g. Fotokopi Paspor, pasphoto nakhoda dan ABK asing; h. Hasil pemeriksaan fisik kapal;
i. Fotokopi NPWP. (4)
SPI diterbitkan dan diserahkan kepada pemohon setelah : a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3); b. menyerahkan tanda bukti penyetoran pungutan perikanan. Pasal 16
(1)
SPI diterbitkan dan diberikan kepada pemohon sebagai pemilik kapal yang tercantum dalam dokumen kepemilikan kapal.
(2)
SPI berlaku untuk jangka waktu : a. Tiga tahun, untuk pancing prawe, pukat cincin dan gillnet pelagis besar. b. Dua tahun, untuk squid jigging, bouke-ami, pukat cincin dan gillnet pelagis kecil. c. Satu tahun, untuk pukat udang dan pukat ikan. Pasal 17
(1)
Pemegang SPI wajib mengajukan permohonan penggantian atau perubahan SPI kepada Direktur Jenderal dalam hal : a. SPI hilang atau rusak sehingga tidak dapat dibaca; b. Akan mengalihkan pelabuhan lapor; c. Akan mengganti alat tangkap.
(2)
Dalam hal SPI hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pemohon wajib melampirkan Surat Keterangan Hilang asli yang diterbitkan oleh POLRI di pelabuhan lapor sebagaimana tercantum dalam SPI.
(3)
Dalam hal terjadi kerusakan SPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pemohon wajib melampirkan SPI yang rusak.
(4)
Pelabuhan lapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelabuhan Pangkalan sesuai yang tercantum dalam SPI. BAB V PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN CARA LISENSI Pasal 18
(1)
Penataan penggunaan kapal perikanan dengan cara lisensi dilakukan dengan memberiu kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk menggunakan kapalnya menangkap ikan di ZEEI.
(2)
Pemberian kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk menangkap ikan di ZEEI dengan cara lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan syarat : a. telah diadakan perjanjian bilateral antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Negara Asing asal orang atau badan hukum asing;
b. kebangsaan kapal perikanan yang dipergunakan sama dengan kebangsaan orang atau badan hukum asing; c. terdapat surplus Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang akan ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Menteri. Pasal 19 (1)
Orang atau badan hukum asing yang akan melakukan penangkapan ikan di ZEEI dengan cara lisensi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 harus terlebih dahulu memperoleh Alokasi Penangkapan Ikan Asing (APIA) dari Direktur Jenderal.
(2)
APIA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disampaikan permohonannya apabila telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
(3)
Surat permohonan untuk memperoleh APIA sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), disampaikan kepada Direktur Jenderal dan sekurang-kurangnya memuat : a. Identitas pemohon; b. Jumlah alokasi kapal berdasarkan alat tangkap dan ukuran; c. Daerah penangkapan.
(4)
Permohonan untuk memperoleh APIA sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan dengan melampirkan : a. Rekomendasi dari pemerintah negara asal pemohon yang memuat jumlah kapal penangkap ikan berdasarkan alat tangkap dan daerah penangkapan; b. Rencana pengoperasian kapal asing; c. Surat pernyataan kesediaan membayar pungutan perikanan; d. Surat pernyataan kesediaan penunjukan perusahaan perikanan sebagai perwakilan; e. Dua lembar pas-foto berwarna ukuran 4x6 cm dari orang atau penanggungjawab badan hukum asing.
(5)
APIA diterbitkan dan diberikan kepada pemohon jika telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (4), dan berlaku sesuai dengan jangka waktu berlakunya perjanjian bilateral. Pasal 20
(1)
Kapal perikanan berbendera asing yang akan digunakan oleh orang atau badan hukum asing untuk menangkap ikan di ZEEI wajib dilengkapi SIPI.
(2)
Permohonan untuk memperoleh SIPI disampaikan paling lambat satu tahun terhitung sejak tanggal penerbitan APIA.
(3)
Surat permohonan untuk memperoleh SIPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Direktur Jenderal oleh orang atau badan hukum asing melalui perwakilan yang ditunjuk dengan sekurang-kurangnya memuat : a. Jumlah kapal yang akan digunakan;
b. Nama, alamat dan kebangsaan pemilik kapal; c. Nama kapal; d. Nama panggilan kapal; e. Negara registrasi, nomor registrasi dan bendera kapal; f. Panjang, lebar, tinggi geladak, berat kotor, merek dan kekuatan mesin induk serta nomor serinya; g. Nama, alamat dan kebangsaan nakhoda; h. Jumlah awak kapal; i. Jenis dan jumlah alat penangkap ikan serta alat bantu penangkap ikan yang digunakan; dan j. Daerah penangkapan ikan yang diinginkan. (4)
Permohonan untuk memperoleh SIPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan dengan melampirkan : a. Salinan Alokasi Penangkapan Ikan Asing (APIA); b. Dokumen identitas dan kebangsaan pemohon; c. Surat Ukur dan tanda-tangan kebangsaan kapal; d. Cetak Biru Gambar Rencana Umum (General Arrangement) Kapal; e. Daftar Spesifikasi Teknis Kapal; f. Daftar dan dokumen Anak Buah Kapal (ABK); g. Fotokopi Paspor, pasfoto Nakhoda dan ABK asing; h. Fotokopi perjanjian penunjukan perusahaan perikanan sebagai perwakilan atau agen; i. Rencana pengoperasian kapal perikanan berbendera asing; j. Fotokopi dokumen spesifikasi teknis alat penangkap ikan yang akan dipergunakan; k. Hasil pemeriksaan fisik kapal.
(5)
SIPI diterbitkan dan diberikan kepada pemohon setelah : a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4). b. menyerahkan tanda bukti penyetoran pungutan perikanan untuk kapal perikanan berbendera asing;
(6)
SIPI diberikan kepada dan atas nama pemohon yang merupakan pemilik kapal sebagaimana tercantum dalam dokumen tanda kepemilikan kapal. Pasal 21
(1)
Kapal perikanan asing yang dioperasikan di ZEEI dengan cara lisensi meliputi jenis-jenis :
a. Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan longline berukuran 100 GT sampai dengan 350 GT dengan konstruksi baja atau fibreglass; b. Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan purse seine berukuran 100 GT sampai dengan 800 GT dengan sistem satu kapal dengan konstruksi baja; c. Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan pukat ikan berukuran 100 GT sampai dengan 400 GT dengan konstruksi baja; d. Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan pukat udang berukuran 100 GT sampai dengan 300 GT dengan konstruksi baja; e. Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan jaring insang (gill net) berukuran 100 GT sampai dengan 300 GT dengan konstruksi baja; f. Kapal perikanan lain dengan alat penangkap ikan bouke-ami dan pancing cumi (squid jigging) berukuran 100 GT sampai dengan 300 GT dengan konstruksi baja; (2)
Dalam hal kapal perikanan asing terbuat dari konstruksi kayuu dapat berukuran 60-150 GT. Pasal 22
(1)
SIPI berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperbarui untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya sepanjang kebijakan penggunaan kapal perikanan dengan cara lisensi masih berlaku.
(2)
Pengajuan permohonan pembaruan SIPI dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku SIPI.
(3)
Permohonan pembaruan SIPI disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan : a. fotokopi APIA yang dilegalisasi; b. fotokopi SIPI yang akan diperbarui; c. hasil pemeriksaan fisik kapal; d. daftar ABK dan fotokopi paspor nakhoda kapal; e. rencana umum (general arrangement) kapal. Pasal 23
(1)
Pemegang SIPI wajib mengajukan permohonan penggantian atau perubahan SIPI kepada Direktur Jenderal dalam hal ini : a. SIPI hilang atau rusak sehingga tidak dapat dibaca; b. Akan mengalihkan pelabuhan lapor; c. Akan mengganti alat penangkap ikan.
(2)
Dalam hal SIPI hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pemohon wajib melampirkan Surat Keterangan Hilang asli yang diterbitkan oleh POLRI di pelabuhan lapor sebagaimana tercantum dalam SIPI.
(3)
Dalam hal terjadi kerusakan SIPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pemohon waib melampirkan SIPI yang rusak
(4)
Pelabuhan lapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Pelabuhan Pangkalan sesuai yang te3rcantum dalam SIPI Pasal 24
(1)
Orang atau badan hukum asing wajib menunjuk perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP untuk bertindak sebagai perwakilan guna mengurus kepentingannya di Indonesia;
(2)
Penunjukan perwakilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa INdinesia dan bahasa Inggris;
(3)
Perjanjian penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya memuat: a. Identitas para pihak; b. Hak dan kewajiban para pihak; c. Prosedur penyelesaian perselisihan; dan d. Jangka waktu dan tata cara berakhirnya perjanjian. BAB VI PEMERIKSAAN FISIK KAPAL PERIKANAN Pasal 25
(1)
Terhadap kapal perikanan yang akan dimohonkan izin penangkapan ikan wajib dilakukan pemeriksaan fisik kapal.
(2)
Untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan yang diperoleh melalui cara beli-angsur atau usaha patungan, perusahaan perikanan wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. Salinan IUP atau fotocopi SPT yang dilegalisir; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum Kapal; c. Dokumen teknis kapal; d. Sertifikat pembangunan kapal; e. Gambar alat penengkap ikan; f. Spesifikasi teknis alat penengkap dan alat bantu penengkap ikan.
(3)
Untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan yang akan digunakan menangkap Ikan di ZEEI dengan cara lisensi, perusahaan perikanan wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. Salinan APIA; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum Kapal; c. Dokumen teknis kapal; d. Sertifikat pembangunan kapal; e. Gambar alat penengkap ikan; f. Spesifikasi teknis alat penengkap dan alat bantu penengkap ikan. Pasal 26
(1)
Untuk pemeriksaan fisik kapal yang akan menegkap ikan di ZEEI dengan cara lisensi dapat dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di tempat kapal berada.
(2)
Dalam hal pemeriksaan fisik kapal dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ditemukan ketidak-sesuaian dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, sehingga permohonan ditolak untuk proses, pemilik kapal wajib membawa kembali kapalnnya keluar dari wilayah Negara Kasatuan Republik Indonesia. Pasal 27
Pemeriksaan fisik kapal yang diperoleh dengan cara beli-angsur atau yang akan dimasukkan sebagai penyerta modal pada perusahaan perikanan patungan dilakukan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 28 (1)
Setiap pembaruan atau perpanjangan SPI dan SIPI berdasarkan usaha patungan, beli-angsur atau lisensi wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik kapal.
(2)
Untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan yang diperoleh melalui cara usaha patungan atau cara beli-angsur, perusahaan perikanan wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan : a. Salinan IUP atau fotokopi SPT atau Izin Usaha Tetap (IUT) yang dilegalisasi; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum Kapal; c. Dokumen teknis kapal; d. Gambar alat penangkap ikan; e. Spesifikasi teknis alat penangkap dan alat bantu penangkap ikan.
(3)
Untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan yang akan digunakan menangkap ikan di ZEEI dengan cara lisensi, perusahaan perikanan wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan : a. Salinan APIA; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum kapal; c. Dokumen teknis kapal; d. Gambar alat penangkap ikan; e. Spesifikasi teknis alat penangkap dan alat bantu penangkap ikan. Pasal 29
(1)
Penggantian SIPI/SP:I yang hilang atau rusak wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik kapal.
(2)
Pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimohon kepada Direktur Jenderal;
(3)
Untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal dalam rangka penggantian SPI atau SIPI yang hilang atau rusak bagi kapal perikanan yang diperoleh melalui cara usaha patungan atau beli-angsur, pemohon wajib melampirkan : a. Salinan IUP atau fotokopi SPT atau Izin Usaha Tetap (IUT) yang dilegalisasi; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum kapal;
c. Dokumen teknis kapal; d. Gambar alat penangkap ikan; e. Spesifikasi teknis alat penangkap dan alat bantu penangkap ikan. (4)
Untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal dalam rangka penggantian SIPI atau SPI yang hilang atau rusak bagi kapal perikanan yang digunakan menangkap ikan di ZEEI dengan cara lisensi, pemohon wajib melampirkan : a. Salinan APIA; b. Cetak Biru Gambar Rencana Umum kapal; c. Dokumen teknis kapal; d. Gambar alat penangkap ikan; e. Spesifikasi teknis alat penangkap dan alat bantu penangkap ikan. Pasal 30
(1)
Pemeriksaan fisik kapal dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.
(2)
Biaya untuk pemeriksaan fisik kapal dibebankan kepada pemohon. BAB VII PENGOPERASIAN KAPAL PERIKANAN UNTUK MENANGKAP IKAN DI ZEEI Pasal 31
(1)
Alat penangkap ikan yang boleh digunakan oleh kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli-angsur atau lisensi untuk menangkap ikan di ZEEI meliputi : a. Pancing Prawai (longline); b. Pukat cincin tunggal (purse seine single); c. Pukat cincin kelompok (purse seine group); d. Pukat ikan (fish net); e. Jaring insang (gill net); f. Pancing cumi (squid jigging); g. Pukat udang (shrimp net).
(2)
Ukuran panjang alat penangkap ikan jenis jaring insang hanyut (drift gill net) tidak lebih dari 2500 meter.
(3)
Pengoperasian pukat udang (shrimp net) dan pukat ikan (fish net) dilarang menggunakan 2 (dua) kapal. Pasal 32
(1)
Kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli-angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan sistem pemantauan kapal (vessel monitoring system-VMS).
(2)
Transmitter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib setiap saat difungsikan dimanapun kapal berada.
(3)
teknis pengoperasian transmitter diatur dengan ketentuan tersendiri. Pasal 33
(1)
Kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli-angsur atau lisensi, wajib memasang tanda pengenal kapal (vessel marking).
(2)
Tanda pengenal kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipasang sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 34
(1)
SPI asli, Lembar Laik Tangkap Operasional (LLTO), Log-book Perikanan dan fotokopi SPT/IUT yang dilegalisasi atau salinan IUP wajib selalu berada di atas kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan atau beli-angsur;
(2)
SIPI asli, salinan APIA, LLTO, dan Log-book perikanan wajib selalu berada di atas kapal perikanan yang dioperasikan dengan cara lisensi. Pasal 35
(1)
Kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di ZEEI dilarang memindahkan atau mengalihkan ikan hasil tangkapannya di tengah laut di luar wilayah kerja pelabuhan.
(2)
Kapal perikanan Indonesia dilarang mengekspor ikan hasil tangkapannya langsung dari tengah laut di luar wilayah kerja pelabuhan.
(3)
Kapal perikanan yang akan membongkar atau mengekspor ikan hasil tangkapannya wajib dilakukan melalui pelabuhan perikanan yang menjadi pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SPI/SIPI. Pasal 36
(1)
Orang atau badan hukum asing yang menggunakan kapal perikanan berbendera asing yang beroperasi di ZEEI wajib mempekerjakan Anak Buah Kapal Indonesia sekurang-kurangnya 20% dari jumlah seluruh ABK untuk masing-masing kapal.
(2)
Penggunaan ABK Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam Perjanjian Kerja Laut (KPL) antara orang atau badan hukum asing dengan ABK Indonesia.
(3)
ABK Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan berbendera asing sebagaimana diumaksud dalam ayat (2) wajib diikutsertakan dalam program asuransi tenaga kerja. Pasal 37
(1)
Kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan atau beli-angsur dapat menggunakan ABK asing dengan ketentuan : a. Tahun pertama maksimal 50% dari jumlah keseluruhan ABK; b. Tahun kedua maksimal 40% dari jumlah keseluruhan ABK; c. Tahun ketiga maksimal 30% dari jumlah keseluruhan AB d. Tahun keempat maksimal 20% dari jumlah keseluruhan ABK;K; e. Tahun kelima maksimal 10% dari jumlah keseluruhan ABK; f. Tahun keenam dan seterusnya, seluruhnya ABK.
(2)
Penggunaan ABK asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Direktur Jenderal dan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII PUGUTAN PERIKANAN Pasal 38 (1)
Kapal perikanan yang dioperasikan untuk menagkap ikan di ZEEI wajib membayar pungutan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2)
Tatacara pembayaran pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan. BAB IX PELAPORAN Pasal 39
(1)
Perusahaan perikanan yang menggunakan kapal perikanan dengan cara usaha patungan atau beli-angsur wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha termasuk laporan pembayaran angsuran dan pembayaran pajak disertai dengan bukti-bukti pendukung kepada Direktur Jenderal setiap 6 (enam) bulan sekali.
(2)
Dalam hal laporan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat ketidakwajaran, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat meminta bantuan akuntan publik untuk melakukan audit terhadap perusahaan dimaksud.
(3)
Biaya pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibebankan kepada perusahaan yang bersangkutan Pasal 40
(1)
Orang atau badan hukum asing yang menggunakan kapal perikanan berbendera asing dengan cara lisensi di ZEEI wajib menyampaikan laporan kegiatan penangkapan kepada Direktur Jenderal setiap 6 (enam) bulan sekali terhitung sejak tanggal SIPI diterbitkan.
(2)
Tatacara pelaporan dan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (1) Pasal ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal. BAB X PENGAWASAN DAN PENATAAN Pasal 41
Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan terhadap kapal perikanan yang beroperasi di ZEEI. Pasal 42 (1)
Nakhoda kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib :
a. Melapor kepada pengawas atau petugas yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Pelabuhan Lapor yang ditetapkan dalam SPI atau SIPI, pada saat akan berangkat dan setelah melakukan penangkapan ikan; b. Melaporkan secara periodik kegiatan penangkapan selama berada di daerah penangkapan melalui fasilitas VMS kepada Pusat Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan; c. Menerima pengawas yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal PSDKP atau petugas lainnya yang ditunjuk pejabat lain sesuai denag kewenangannya untuk melakukan pemerikasaan kapal; d. Menerima untuk mengikutsertakan pengawas yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal PSDKP selama melakukan kegiatan penangkapan ikan; e. Mengambil Lembar Laik Tangkap Operesional (LLTO) dan Log Book Perikanan pada saat kapal akan berangkat meningggalkan Pelabuhan Lapor menuju daerah penangkapan; f. Mengisi dan menandatangani Log Book Perikanan serta menyerahkan kepada petugas pengawasan pada saat merapat di Pelabuhan Lapor. (2)
Biaya pengawas yang ikut serta di atas kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir d dibebankan kepada perusahaan yang bersangkutan.
(3)
Menteri dapat membentuk Tim Terpadu Pengendalian dan Pengawasan terahdap penggunaan kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI Pasal 43
(1)
Perwakilan yang ditunjuk oleh orang atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), wajib menerima Petugas Pengawasan atau petugas lainnya serta memberikan informasi yang diperlukan.
(2)
Petugas Pengawasan atau petugas lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya wajib dilengkapi dengan Surat Perintah Tugas (SPT) dari Direktur Jenderal PSDKP atau Pejabat lain sesuai dengan kewenangannya. Pasal 44
(1)
Pengawas perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal PSDKP dapat menangguhkan keberangkatan kapal perikanan apabila : a. Nakhoda kapal belum menyerahkan kembali log book perikanan yang diambil pada keberangkatan sebelumnya; b. Nakhoda kapal belum mengambil Log Book perikanan dan atau LLTO; c. Dokumen kapal perikanan untuk menangkap ikan tidak lengkap; d. Terdapat perbedaan alat penangkap ikan di atas kapal dengan yang tercantum dalam SPI atau SIPI; e. Tidak memasang atau tidak menggunakan tanda pengenal kapal dan atau trnasmitter; f. Tidak melapor kepada pengawas pada saat kedatangan kapal perikanan; g. Ditemukan adanya dugaan tindak pidana kejahatan.
(2)
Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali apabila hal-hal yang menjadi alasan penangguhan telah diselesaikan.
Pasal 45 Apabila ditemukan adanya dugaan tindak pidana perikanan, pengawas perikanan yang berkualifikasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat menindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. BAB XI SANKSI Pasal 46 (1)
Direktur Jenderal berwenang memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik IUP,APIA,SPI atau SIPI.
(2)
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. Peringatan tertulis; b. Penangguhan atau penolakan pembaruan izin; c. Pencabutan IUP, APIA, SPI atau SIPI. Pasal 47
(1)
Peringatan tertulis diberikan terhadap pelanggaran meliputi : a. Tidak dapat menunjukkan Lembar Laik Tangkap Operasional; b. Log Book perikanan tidak ditandatangani oleh nakhoda atau fishing master; c. Tidak menguisi log book perikanan dengan data yang sebenarnya; d. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha; e. Tidak memasang tanda pengenal kapal dan/ atau transmitter sebagaimana dimasud dalam Pasal 32 dan Pasal 33; atau f. Pelanggaran lainnya yang oleh pengawas atau oleh pemberi izin patut diberi peringatan tertulis.
(2)
Penangguhan pembaruan SPI atau SIPI dilakukan jika : a. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) 2 (dua) kali berturut-turut ; b. Tidak mengisi log book perikanan sesuai dengan yang sebenarnya meskipun telah dikenakan sanksi peringatan tertulis ; c. Tidak mengisi atau tidak menyerahkan Log Book perikanan selama 3 (tiga) kali baik secara berturut-turut mapun tidak; atau d. Beroperasi ke laut tidak dilengkapi dengan Lembar Baik Tangkap Operasional (LLTO).
(3)
Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau kembali apabila : a. telah menyampaikan laporan, mengisi dan menyampaikan Log Book Perikanan secara benar sebagaimana dimasud dalam ayat (2) butir a,b dan c; dan b. membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi kejadian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka permohonan perpanjangan SPI atau SIPI dapat ditolak. Pasal 48
(1)
SPI atau SIPI dapat dicabut oleh pemberi izin dalam hal perusahaan perikanan, orang atau badan hukum asing pemilik SPI atau SIPI tersebut : a. Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SPI atau SIPI; b. Menggunakan kapal perikanan di luar kegiatan penangkapan ikan; c. Tidak lagi menggunakan kapal perikanan yang dilengkapi dengan SPI atau SIPI tersebut; d. Telah mendapat peringatan/teguran tertulis tiga kali, masing-masing dalam waktu satu bulan; atau e. Dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2)
IUP atau APIA dapat dicabut oleh pemberi izin dalam hal perusahaan perikanan, orang atau badan hukum asing pemilik IUP atau APIA tersebut : a. Melakukan perluasan usaha tanpa persetujuan tertulis pemberi izin; b. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 kali berturut-turut atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar; c. Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP atau APIA; d. Memidahtangankan IUP atau APIA tanpa persetujuan tertulis pemberi IUP atau APIA; e. Tidak melakukan kegiatan usaha selama satu tahun terus menerus sejak penerbitan IUP atau APIA; f. Dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 49
(1)
SPI atau SIPI diberikan atas nama pemoho n untuk masing-masing kapal perikanan yang digunakan.
(2)
SPI atau SIPI dilarang untuk dipindahtangankan tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
(3)
Kapal perikanan yang telah memperoleh SPI atau SIPI dilarang : a. Melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, aliran listrik, bahan atau alat lain yang berbahaya atau melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam SPI atau SIPI; b. Membawa penumpang atau muata yang tidak disebutkan dalam SPI atau SIPI, pada waktu memasuki, selama berada atau pada waktu akan meninggalkan ZEEI, atau dalam pelayaran mejnuju dan dari pelabuhan tempat melapor.
Pasal 50 (1) Pemerintah negara asing asal orang atau badan hukum asing bertanggungjawab atas penataan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Keputusan ini berdasarkan Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Republik Indonesia. (2) Penataan terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk penegakan hukum dan melakukan penyidikan terhadap kapal-kapal yang diduga sebagai pelaku pelanggaran. Pasal 51 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka semua ketentuan yang mengatur tentang penggunaan kapal perikanan di ZEEI tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini. BAB XIII PENUTUP Pasal 52 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Oktober 2001 MENTERI PERIKANAN
KELAUTAN
Ttd ROKHMIN DAHURI
DAN