LAPORAN AKHIR PENELITIAN TENTANG ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA
Disusun oleh Tim Kerja Di bawah Pimpinan
CHAIRIJAH, S.H., M.H., Ph.D.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM NASIONAL
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
TAHUN 2005
KATA PENGANTAR Penelitian masalah pemanfaatan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif mengandung banyak fenomena yang sangat kompleks, termasuk masalah hukum. Hal ini disebabkan permasalahan pemanfaatan perikanan memiliki ciri-ciri tertentu, terutama yang menyangkut masalah karateristik biologis ikan yang senantiasa terpengaruh oleh kondisi alam sekitarnya. Sedangkan keadaan alam Indonesia terdapat pada garis ekuator yang sangat mempengaruhi musim penangkapan ikan, dan juga terhadap pertumbuhan biota laut dan habitat ikan diperairan Indonesia. Oleh karena itu sektor perikanan ini memberikan konstribusi penting pada perekonomian nasional berupa devisa, penyediaan protein bagi masyarakat, dan penyerapan lapangan kerja. Namun demikian sebagian pelaku perikanan khususnya Nelayan masih dalam kondisi memprihatinkan. Salah satu penelitian yang telah dilaksanakan adalah penelitian tentang “Aspek Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam rangka Peningkatan Pendapatan Nelayan Indonesia”. Dari hasil penelitian tersebut dapat diungkapkan tentang sejauhmana pengaturan Internasional dan Nasional dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dan sejauhmana Nelayan Indonesia telah memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusifnya dalam peningkatan pendapatan serta kendala-kendala apa yang dihadapi Nelayan Indonesia dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif. Namun Tim berpendapat bahwa penelitian ini merupakan penelitian penjajakan terhadap aspek hukum yang terkandung dalam pemanfaatan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif, mengingat masalah ini masih memerlukan penelaahan inter dan multi disipliner lebih lanjut. Maka sudah tentu masih dirasakan banyak kekurangan data yang memerlukan penelaahan yang lebih mendalam lagi, terutama yang menyangkut peningkatan pendapatan Nelayan dalam memanfaatan Zona Ekonomi Eksklusifnya. Dalam kesempatan ini, Tim mengucapkan terima kasih kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia khususnya Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional atas kepercayaan yang diberikan dan kepada Prof. Dr. Etty R. Agus, S.H., serta kepada seluruh Anggota Tim atas kerjasama yang baik. Semoga Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu materi dalam pengembangan hukum nasional pada umumnya.
Jakarta, Desember 2005 Ketua,
Chairijah, S.H., M.H., Ph.D.
DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
BAB II
Latar Belakang Penelitian......................................................... Perumusan Masalah Penelitian................................................. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian............................... Metode/ Teknik Penelitian........................................................ Kerangka Konsepsional............................................................. Keanggotaan Tim.......................................................................
BAB IV
1 4 5 6 8 10
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF A. Aspek Hukum (Yurisdiksi) Negara Pantai di Bidang Perikanan Menurut Konvensi Hukum Laut PBB1982.............. B. International Plan Action to Prevent, Deter and Eliminate Ellegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA IUU) di ZEE Indonesia............................................................................. C. Ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang Sumber Daya Hayati dan Partisipasi Pihak Asing dalam Pemanfaatan Sumber Perikanan Zona Ekonomi Eksklusif serta Pengaturan Nasional Indonesia......................................................................
BAB III
i ii
11
26
39
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZEE DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA A. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Laut Indonesia.................................................................................. B. Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan di ZEEI...................... C. Kebijakan untuk Nelayan........................................................... D. Kebijakan di ZEEI Selama ini.................................................... E. Kebijakan Pengendalian Pengeloaan Perikanan Indonesia........
49 54 56 60 82
PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................. B. Saran...........................................................................................
88 90
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian Penelitian ini diawali dengan mempertanyakan, Siapa itu Nelayan? Karena Nelayan
sering
didefinisikan
sebagai
orang
yang
melakukan
kegiatan
penangkapan ikan di laut. Sedangkan dalam bahasa Sosiologi, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau labor devison.1 Dengan dapatnya memahami pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa Nelayan dalam kehidupannya selalu memanfaatkan laut dalam arti perairan Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kata “manfaat” ini dapat terlihat bahwa tanah air beserta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dalam hal ini Nelayan. Selama ini terkesan bahwa kekayaan alam yang besar itu belum termanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Hal ini terlihat bahwa laut beserta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan sumber daya yang tidak ternilai harganya yang perlu dimanfaatkan dan sekaligus dilestarikan. Tidak kurang dari
1
Arief Satria, 2002.”Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta.
240 juta ton ikan, yang separuh atau 120 juta ton diantaranya dapat diambil setiap tahun tanpa harus mengancam kelestariannya.2 Luas wilayah perairan Indonesia merupakan potensi alam yang besar untuk dimanfaatkan bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional diarahkan pada pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut nasional serta pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional termasuk Zona Ekonomi Eksklusifnya secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung sumber daya kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Dengan telah disahkannya rezim hukum Zona Ekonomi Ekslusif dalam lingkup Hukum Laut Internasional maka sumber daya perikanan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi bertambah besar jumlahnya dan berperan sangat potensial untuk menunjang peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, khususnya nelayan Indonesia. Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penghasil ikan terbesar dunia sebenarnya masih memiliki peluang lebih besar untuk mengembangkan usaha perikanannya karena potensi lestari yang dimiliki Indonesia mencapai 6,6 juta ton sedangkan yang dieksploitasi baru pencapai 2,6 juta ton sehingga terdapat tidak kurang dari 4 juta ton lagi yang belum dimanfaatkan. Pada hal di sisi lain Indonesia sangat membutuhkan ikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta ekspor guna mendapatkan devisa negara.3 Sebagai contoh adalah sumber
2
3
Editor Dr. Ir. Feliarta, DEA, “Strategi Pembangunan Perikanan dan Kelautan Nasional dalam Meningkatkan Devisa Negara, UNRI Press, hal 25-26. Sinar Harapan. “Kawasan Pulau Natuna “Quo Vadis”, Dr-Ing. Imam Prayogo, MBA, Jakarta 14 April 2005.
daya perikanan laut di Kepulauan Natuta. Wilayah ini memiliki hasil mencapai 1 juta ton/tahun. Total pemanfaatan hanya 36% dan hanya 4,3% dari 36% tersebut yang dimanfaatkan oleh Kabupaten Natuna. Diketahui juga bahwa Indonesia merupakan negara maritime yang memiliki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia seluas kurang lebih 2.692.762 km2. Dengan luasnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tersebut, Indonesia sebagai negara pantai seharusnya mampu mengelola dan memanfaatkannya sekaligus dapat mencegah berbagai persoalan yang timbul di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pemerintah Indonesia memiliki hak berdaulat (eksklusif) untuk memperoleh manfaat ekonomi melalui kegiatankegiatan pengelolaan, pengawasan dan pelestarian seluruh sumber daya baik hayati maupun non hayati, sedangkan negara-negara lain yang ingin memanfaatkan sumber daya ekonomi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia haruslah mendapat ijin dari pemerintah Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sebagai bagian dari wilayah kedaulatan yurisdiksi nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dalam rangka Implementasi UNCLOS 1982, memiliki sumber daya alam baik hayati dan non hayati yang sangat besar untuk pembangunan nasional dan kesejahteraan bangsa, namun disisi lain potensi ZEEI yang sedemikian besar dapat menimbulkan akibat yang negatif berupa eksplorasi dan eksploitasi secara illegal yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan laut di Zona Ekonomi Eksklusif dan juga dapat merugikan potensi ekonomi negara.
Luasnya bentangan ZEEI serta terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki baik oleh TNI AL maupun aparat penegak hukum lainnya menyebabkan Implementasi penegakan hukum di laut belum dapat dilakasanakan secara optimal yang mampu melindungi seluruh wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini disebabkan sistem penegakan hukum di laut masih lemah, terutama dilihat dari aspek legalnya maupun kemampuannya yang tidak seimbang antara luas laut dan kekuatan yang ada, sehingga para pelanggar
leluasa dalam melakukan
kegiatannya. Indikasi keterbatasan tersebut dapat dilihat dari maraknya penangkapan ikan secara illegal oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) maupun kapalkapal ikan Indonesia (KII).
Perumusan Masalah Penelitian Dari latar belakang dimuka perlu dirumuskan aspek-aspek hukum apa yang berkaitan dengan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan Indonesia, antara lain: 1.
Sejauhmanakah yurisdiksi negara pantai memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusifnya
2.
Sejauhmanakah Nelayan Indonesia telah memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dalam menambah pendapatannya.
3.
Kendala-kendala apa yang dihadapi Nelayan Indonesia dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dan apa kebijakan yang diambil Pemerintah terhadap masalah ini..
Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Maksud Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui atau mengkaji hak dan kewajiban negara pantai terhadap pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif. Terutama penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui manfaat apa yang dapat dinikmati oleh Nelayan.
2.
Tujuan Penelitian Penelitian ini diadakan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data yang akurat mengena pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif khususnya perairan Indonesia dalam rangka peningkatan pendapatan Nelayan.
3.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua macam kegunaan yakni kegunaan sosial dan kegunaan ilmiah. Dengan kegunaan sosial diharapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan bahan masukan yang dapat digunakan untuk menunjang pembangunan hukum nasional khususnya hukum laut internasional yang merupakan tugas BPHN. Dengan kegunaan ilmiah diharapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada dunia ilmu pengetahuan tentang aspek hukum dalam pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan Indonesa.
Metode/Teknik Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskripsi analitis melalui pengumpulan dan analisa data, baik terhadap data kualitatif maupun kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni melalui penelusuran dokumentasi dan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. Wawancara dilakukan dengan maksud untuk melihat persepsi dari para pelaksana di bidang kegiatan perikanan tentang sejauhmana manfaat yang diperoleh nelayan dalam kegiatan mereka. Adapun tahap-tahap kerjanya adalah sebagai berikut: Data yang terkumpul dilakukan editing4 kemudian disederhanakan dan diperoleh suatu permasalahan. Tahap berikutnya adalah analisis data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah dengan cara data yang terkumpul direduksi dengan membuat abstaksi untuk memperoleh suatu penyederhanaan yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan satuansatuan permasalahan. Satuan permasalahan yang sudah disederhanakan ini kemudian dianalisis secara yuridis-normatif, dan selanjutnya dilakukan deskripsi secara normatif. Dengan demikian data empirik dinormatifkan sesuai dengan norma-norma yang telah ada perumusannya. Langkah selanjutnya merumuskan Laporan Akhir Tim tentang Aspek Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Peningkatan Pendapatan Nelayan Indonesia, yakni :
4
Rony Hanitijo, S.H: “Metodologi Penelitian Hukum”, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan Kedua, 1985, hal. 80. Menyatakan, bahwa editing adalah memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan.
merumusakan hasil kegiatan langkah pertama sebagai Laporan Akhir Penelitian tentang Aspek Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Peningkatan Pendapatan Nelayan Indonesia. menyerahkan hasil Laporan Akhir tentang Aspek Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Peningkatan Pendapatan Nelayan Indonesia
kepada
Kepala
Badan
Pembinaan
Hukum
Nasonal
Departemen Hukum dan Hak Asas Manusia RI.
Kerangka Konsepsional Dalam penelitian ini perlu adanya kesamaan persepsi dan konsepsi tentang berbagai hal yang erat kaitannya dengan materi penelitian, seperti:
Aspek-aspek Hukum Yang dimaksud dengan aspek-aspek hukum adalah hukum yang terdapat dalam kegiatan pemanfaatan perikanan, baik mengenai aspek hukum yang terdapat dalam praktek negara-negara sebagai bahan pembanding, maupun, dan yang terutama mengenai aplikasi hukum internasional ke dalam hukum nasional. 2. Pemanfaatan ZEE Menurut Pasal 62 ayat (1) KHL 1982 bahwa negara-negara diwajibkan untuk melakukan pemanfaatan secara optimal dari sumber perikanan ZEE. Sedangkan menurut PP No. 15 Tahun 1984 Pasal 2: sumber daya alam hayati di ZEEI dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha perikanan Indonesia, dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam hayatinya di ZEEI, orang/badan hukum Indonesia yang
bergerak di bidang usaha perikanan Indonesia dapat mengadakan kerjasama dengan orang atau badan hukum asing dalam bentuk usaha patungan atau bentuk kerja sama lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
Nelayan Nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Nelayan yang penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti motor tempel atau kapal motor. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah mulai berorientasi pasar. Sementara tenaga kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak tergantung pada anggota keluarga saja. Nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Begitu juga dengan teknologi, kelompok ini sudah menggunakan teknologi modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan ikan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai ABK dengan organisasi kerja yang lebih kompleks
3.
Zona Ekonomi Eksklusif
Yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif dalam penelitian ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, LN 198344, yaitu jalur luar di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan luas 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Keanggotaan Tim Konsultan
:
Prof. Dr. Etty R. Agus, SH., MH
Ketua
:
Chairijah, SH.,MH.,Ph.D
Sekretaris/Anggota
:
Muhar Junef, SH.,MH
Anggota
: 1.
Akhmad Solihin, SPi.
2.
Raida L. Tobing, SH
3.
Lukina, SH
4.
Eni Dwi Astuti, SH
Assiten
:
Ruslan Anwar
Pengetik
: 1.
Wiwik
2.
M. Taruli Simorangkir.
BAB II ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif sudah diatur baik secara intenasional maupun secara nasional. Oleh karena itu penelitian ini perlu menjelaskan kembali karena perkembangan hukum, khususnya di bidang kelautan.
A.
Aspek Hukum
(Yurisdiksi) Negara Pantai di Bidang Perikanan Menurut
Konvensi Hukum Laut PBB 1982
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Konvensi tersebut telah berlaku pada tanggal 16 November 1994 yakni setahun setelah sipenuhinya jumlah ratifikasi sebanyak 60 negara oleh Guyana pada tanggal 16 November 1993, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 308 yang menyatakan bahwa Konvensi akan berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi yang ke-60. Oleh karena itu bagi negara kepulauan dan negara pantai seperti Indonesia, peristiwa tersebut merupakan langkah yang patut dibanggakan. Dengan berlakuknya yurisdiksi Konvensi Hukum Laut 1982 berarti status kepulauan Indonesia dengan yurisdiksi terhadap eksploitasi kekayaan alam hayati dan non hayati, sudah tidak diragukan lagi secara internasional.
Adapun Hak dan Kewajiban Indonesia sebagai Negara Pantai adalah sebagai berikut:
(a)
Hak Negara Pantai untuk membuat pengaturan. Untuk melihat sejauh mana hak Indonesia, terutama dalam memanfaatkan
sumber daya ikan yang terkandung dalam laut kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, pertama-tama dapat dilihat dari Pasal 3 KHL 1982 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain meliputi wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial. Maka pada prinsipnya adalah wewenang penuh negara pantai untuk mengatur pemanfaatan perikanan di wilayah perairan nasional Indonesia yaitu di laut pedalaman, laut kepulauan, dan laut teritorial. Walaupun kapal asing diberi hak untuk melakukan lintas damai tetapi pada saat ia melakukan lintas itu, tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Hal ini ditegaskan oleh KHL 1982 Pasal 19 ayat (2) (i) yang menyatakan bahwa lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan setiap kegiatan perikanan. Selanjutnya negara pantai diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lintas damai melalui laut teritorial yang meliputi : a. keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim; b. perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainnya; c. perlindungan kabel dan pipa laut;
d. konservasi kekayaan hayati laut; e. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai; f. pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya; g. penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi; h. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai. Pengaturan-peraturan yang dibuat oleh negara pantai tersebut tidak berlaku bagi desain, konstruksi, pengawakan, atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standar internasional yang diterima secara umum (Pasal 21 ayat 2). Dan peraturanperaturan tersebut harus bersifat transparan dan mudah diketahui oleh negara yang melakukan pelayaran lintas damai tersebut. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai, harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan semua peraturan internasional yang bertalaian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. (b)
Hak perikanan tradisional bagi negara tetangga. Tanpa mengurangi status perikanan kepulauan, negara pantai (Indonesia)
harus tetap menghormati pernjajian yang ada dengan negara lain, dan harus mengakui hak perikanan tradisional serta kegiatan lain yang sah dari negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan
demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antar mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negeranya.
(c)
Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif. Menurut Pasal 56 KHL 1982 negara pantai (Indonesia) dalam Zona
Ekonomi Eksklusifnya mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin. Yurisdiksi di ZEE terbatas pada hak untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam yang dikandungnya, dengan tetap mengakui adanya status lain dari perairan tersebut sebagai laut bebas, untuk kegiatan-kegiatan yang bukan termasuk ke dalam pemafaatan kekayaan alam. Dengan perkataan lain, yurisdiksi yang diberikan oleh Konvensi terbatas terhadap hak-hak ekonomi dan negara pantai atas kekayaan alamnya. Sedangkan di bidang pelayaran dan pemasangan kabel dan pipa di bawah laut, tetap merupakan laut bebas. Selain yurisdiksi terhadap kekayaan alam yang terkandung di ZEE, kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan eksistensi dari kekayaan tersebut, Konvensi mengakui adanya yurisdiksi yang berkaitan. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 56 ayat (1) butir (b) bahwa yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam
ketentuan yang relevan dengan Konvensi ini berkenaan dengan : (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ditambah dengan hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi. Namun dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam ZEE, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban konvensi. Mengenai hak-hak negara lain di ZEE ditegaskan dalam Pasal 58 yang menyatakan bahwa semua negara, baik negara yang pantai atau negara tak berpantai dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakan kabel dan pipa bawah laut, dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut. (d)
Kewajiban negara pantai untuk melakukan konservasi sumber kekayaan alam hayati. Sebagaimana dikatakan di atas, bawah sesungguhnya yurisdiksi negara
pantai yang berlaku di ZEE sifatnya terbatas, dan kebebasan-kebebasan yang berlaku di laut bebas masih melekat dalam hal-hal tertentu. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan kekayaan alam di ZEE jangan sampai merusak kelangsungan hidup sumber daya hayati di perairan tersebut. Mengingat bahwa sumber daya hayati seperti ikan sebenarnya tidak dapat dibatasi oleh suatu batas tertentu, dan mempunyai sifat berpindah-pindah, sehingga kepentingan eksploitasi sumber itu
oleh suatu negara tidak terlepas juga kepentingan negara lain, terutama negaranegara yang berdekatan baik berhadapan maupun yang berdampingan. Oleh karena itu, konvensi mewajibkan hal-hal sebagai berikut (pasal 61 KHL 1982): (1) negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam ZEE. (2) Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik dan tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, negara pantai dan organisasi internasional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini. (3) Tindakan
demikian
juga
bertujuan
untuk
memelihara
atau
memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional, maupun global.
(4) dalam
mengambil
tindakan
demikian,
negara
pantai
harus
memperhatikan akibat-akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung demikian di atas tingkat reproduksinya dapat sangat terancam. (5) keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan diperuntukan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik subregional, regional, maupun global dimana perlu dan dengan peran serta semua negara yang berkepentingan, termasuk negara yang warga negaranya diperbolehkan menangkap ikan di ZEE.
(e)
Kewajiban negara pantai untuk memanfaatkan secara optimal wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya. Negara pantai diharuskan untuk memanfaatkan secara optimal wilayah
ZEE-nya, dan harus menetapkan kemampuannya. Apabila ternyata negara pantai tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan, maka ia harus, melalui perjanjian atau peraturan lainnya, memberikan kesempatan pada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan sesuai dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan
Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang bertalian dengan negara berkembang yang disebut di dalamnya. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain itu, negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk antara lain mengenai pentinya sumber kekayaan hayati yang penting bagi perekonomian negara pantai yang bersangkutan dan kepentingan nasional yang lain (Pasal 62 ayat 3). Warga negara lain yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI harus mematuhi tindakan konservasi dan ketentuan serta persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan negara pantai. Peraturan perundang-undangan itu meliputi: (1) pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkapan ikan dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan; (2) pentepan jenis ikan yang ditangkap, dan menentukan kuota-kuota penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis iakan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh warga negara suatu negara selama jangka waktu tertentu; (3) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penagkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan; (4) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis yang boleh ditangkap; (5) rincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;
(6) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara pantai, dilakukan program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan; (7) penempatan peninjauan atau trainee di atas kapal tersebut oleh negara pantai; (8) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai; (9) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerja sama lainnya; (10)persyaratan untuk latihan personil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan; (11)prosedur penegakan. Apabila di ZEE atau di luar tetapi berdekatan dari dua negara atau lebih, terdapat persediaan ikan jenis yang sama atau termasuk dalam jenis yang sama, maka negara-negara ini harus secara langsung melalui organisasi sub-regional atau regional, berusaha mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang diperlukan
untuk
mengkoordinasikan
dan
menjamin
konservasi
dan
pengembangan persediaan jenis ikan yang demikian (Pasal 63 KHL 1982).
(f)
Hak-hak negara tak berpantai dan negara yang secara geografis tak beruntung. Dalam KHL 1982 diakui adanya hak dari negara-negara yang tidak
berpantai dan negara yang sekalipun mempunyai pantai tetapi secara geografis
tidak beruntung untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam hayati di ZEEI. Negara tak berpantai (Pasal 69) dan negara yang secara geografis tak beruntung (Pasal 70) mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalam eksplotasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati ZEE negara-negara pantai dalam sub-regional atau regional yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dengan negara yang berkepentingan. KHL 1982 memberikan pengertian negara yang secara geografis tak beruntung sebagai negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya membuat tergantung pada eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara lain di sub-regional atau regional untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi penduduknya atau bagian dari penduduk itu, dan negara-negara yang tidak dapat menuntut ZEE bagi dirinya sendiri (Pasal 70 ayat 2 KHL 1982). Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh negaranegara yang berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub regional, atau regional dengan memperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut: (1)
kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan;
(2)
sejauh mana negara tak berpantai lainnya dan negara yang secara geografis tak beruntung berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara pantai tersebut dan kebutuhan yang
timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya; (3)
kebutuhan gizi penduduk masing-masing negara. Apabila kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati suatu
titik yang memungkinkan negara itu untuk menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari ZEE-nya, maka negara pantai dan negara lain yang berkepentingan harus bekerja sama dalam menetapkan pengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional, atau regional untuk memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang tak berpantai di sub-regional atau regional yang sama dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati di ZEE negara-negera pantai di dalam sub-regional atau regional sebagaimana layaknya dengan memperhatikan kepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Bahkan negara maju tak berpantai pun berhak untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati dalam ZEE. Hak yang diberikan berdasarkan Pasal 69 dan 70 untuk mengeksploitasi sumber kekayaan alam hayati tidak boleh dialihkan, baik secara langsung atau tidak langsung kepada negara ketiga atau warga negaranya, dengan cara sewa atau perizinan, dengan mengadakan usaha patungan atau dengan cara lain apapun yang mempunyai akibat pengalihan demikian, kecuali disetujui secara lain oleh negara yang bersangkutan. Ketentuan tersebut tidak memperoleh bantuan teknis atau keuangan dari negara ketiga atau organisasi internasional untuk
memudahkan pelaksanaan hak-hak itu sesuai dengan ketentuan Pasal 69 dan 70, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak mempunyai akibat pengalihan hak (Pasal 72 ayat 3).
(g)
Penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif. Mengenai penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif diatur dalam Pasal 73 KHL 1982 yang menentukan hal-hal sebagai berikut: (1) negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pemanfaatan sumber kekayaan hayati ZEE, dapat mengambil tindakan termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap, dan melakukan proses peradilan, sebagaiman
diperlukan
untuk
menjamin
ditaatinya
peraturan
perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan konvensi; (2) kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya; (3) hukuman dari negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencakup pengurangan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya; (4) dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing, negara pantai harus segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran
yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan. Masalah penegakan hukum di laut sama artinya dengan menegakan kedaulatan di laut. Hal ini disebabkan karena kedaulatan di laut tidak lahir bersamaan dengan berdaulatnya negara yang bersangkutan, melainkan berdasarkan kesepakatan negara – negara yang berdaulat baik sebagai negara pantai (coastal state) maupun negara kepulauan (archipelagic state) dalam rangka melindungi kepentingan pertahanan, keamanan, mencegah penyelundupan, eksploitasi, eksplorasi, pengelolaan sumber kekayaan alam hayati dan lain-lain. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa penegakan hukum di laut sebagai salah satu kegiatan untuk melaksanakan atau memberlakukan suatu ketentuan hukum. Pengertian umum penegakan hukum di laut dapat diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau aparat penegak hukumnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional agar supaya peraturan hukum yang berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun internasional dapat diindahkan atau ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subjek hukum sehingga dapat tercipta tertib hukum di laut. Dalam pengertian yustisial, penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim. Hal-hal tersebut bertujuan untuk menjamin ketertiban dan
kepastian hukum. Berdasarkan pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut adalah kegiatan yang meliputi pengawasan, penghentian kapal termasuk menaiki kapal yang akan diperiksa, penyelidikan dan pemeriksaan kapal, penyidikan serta penyelesaian lanjut di darat. Penanganan penegakan hukum tersebut dilaksanakan oleh kapal perang, kapal negara dan aparat penegak hukum yang berwenang yang ditetapkan dalam undang-undang nasional maupun ketentuan hukum internasional.
B.
International Plan Action to Prevent, Deter and Eliminate Ellegal, Unreported and
Unregulated Fishing (IPOA IUU) di ZEE Indonesia
Sejalan dengan perkembangan perikanan global, pencaturan dunia tentang kewenangan negara akan laut termasuk pemanfaatan sumber daya alamnya dibahas bersama-sama oleh masyarakat di dunia secara intensif dalam forum yang dikenal sebagai UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) sejak tahun 1958. Proses negosiasi di UNCLOS cukup lama dan konvensi tersebut baru diadopsi pada tahun 1982. UNCLOS merumuskan beberapa paradigma baru tentang kelautan termasuk persetujuan perjuangan indonesia yang mendapat dukungan penuh dari beberapa negara kepulauan lainnya (Filipina dan Fiji) akan konsep wawasan nusantara (arcippelagic principle), sehingga laut antar pulau
menjadi bagian dari perairan teritorial. Demikan halnya konsep ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil yang diprakarsai oleh beberapa negara di Amerika Latin juga akhirnya disepakati dalam UNCLOS. Akhirnya UNCLOS secara resmi menjadi peraturan internasional yang mengikat setelah tercapai jumlah ratifikasi sebesar 60 negara pada tahun 1994. Dengan diproklamirkannya konsep ZEE, semakin bertambah luas daerah penangkapan negara-negara pantai, namun tanggung jawab pemanfaatan perikananya terletak pada negara yang bersangkutan. Dengan demikian daerah laut yang tidak bertuan (high seas atau daerah di luar ZEE) relatif menjadi semakin sedikit. Diharapkan pemanfaatan perikanan di ZEE akan menjadi lebih baik dengan adanya tanggung jawab negara yang mendelekrasikannya. Sejalan dengan itu banyak negara-negara berkembang yang daerah penangkapannya bertambah luas dan kegiatan perikanannya-pun menjadi bertambah sehingga terjadi peningkatan penangkapan dan akhirnya peningkatan produksi. Namun untuk beberapa daerah tertentu, peningkatan hasil tangkapan ini mendorong eksplotasi yang berlebihan sehingga selanjutnya peningkatan produksi tidak terjadi tetap sebaliknya justru terjadi penurunan. Hal ini tercermin dari menurunnya produksi perikanan dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Kemajuan pembangunan ekonomi di dunia telah disikapi dengan keprihatinan akan dampak pembangunan itu sendiri. Pada akhir tahun 1980-an badan internasional PBB menugaskan World Commisson on Environmental and Development
untuk
merumuskan
arah
pembangunan
yang
berwawasan
lingkungan dimana perumusan tertuang dalam buku “Our Common Future”5. Perkembangan selanjutnya dalam percaturan global dengan semakin banyaknya tuntutan akan implementasi pembangunan yang berkelanjutan telah mendorong terselenggraannya Konferensi Bumi 1992 di Rio (Brasil) yang menghasilkan agenda kegiatan dalam abad ke-21. Agenda tersebut terkenal dengan sebutan Agenda 21 dan khusus untuk pembangunan yang menyangkut daerah pantai dan kelautan disajikan dalam Chapter 17. Hampir bertepatan waktunya, Konferensi Perikanan internasional yang diselengarakan di Cancoon (Mexico) sebulan sebelum penangkapan yang berlebihan. Sebagian besar rekomendasi dari Konferensi tersebut menjadi bahan masukan dalam penyusunan Chapter 17. Kedua Konferensi ini yang kemudian telah mendorong FAO lebih jauh untuk memfasilitasi dialog dan sekaligus menyusun petunjuk tentang bagaimana membangun perikanan yang berkelanjutan agar generasi akan datang juga ikut memanfaatkannya. Akhirnya pada tahun 1995 buku Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) disepakati oleh masyarakat perikanan dunia dan sekarang menjadi buku petunjuk yang sangat berguna bagi negara dalam menyusun kebijakan ke arah perikanan yang berkelanjutan.6
Rencana Aksi Internasional (International Plan of Action)
5
6
WCED (1987): Our Common Future. Wold Environment and Development. Oxford University Press, 400p. FAO (1995): Code of Conduct for Responsible Fisheries. Roma, FAO, 1995 : 41p.
Meningkatnya perdagangan global produk perikanan pada dasawarsa terakhir ini ditengarai sebagai paling cepat di antara produk-produk pertanian.7 Tidak ayal lagi pembahasan perikanan di forum global semakin meningkat. Tidak hanya pembahasan dalam bidang perdagangan yang biasa difasilitas dalam forum WTO
(World
Trade
Organization)
dan
forum
CITES(Convention
on
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), tetapi juga pembahasan teknis perikanan yang dilakukan dalam forum FAO. Dalam beberapa dasawarsa terakhir dengan masalah pengelolaan perikanan. Pembahasan yang intensif di forum internasional tentang perikanan cucut telah mendorong dirumuskannya IPOA (International Plan of Action) perikanan cucut yang merupakan bahan dasar tersusunnya National Plan of Action (NPOA) bagi negara-negara anggota yang terlibat dalam penangkapan ikan cucut. Pembahasan lain menyangkut hasil tangkap samping (bycatch) dalam perikanan “longline” yang berupa burung-burung laut yang kebetulan ikut tertangkap karena ikut memakan umpan dalam pancing telah mendorong terbentuknya IPOA tentang perikanan longline. IPOA lainnya yang dirumuskan dalam sidang-sidang FAO akhir-akhir ini adalah IPOA tentang “fishing capacity” dan IPOA tentang “IUU fising” (illegal, unreporrted and unregulated fishing). IPOA fishing capacity dimaksudkan
agar
negara-negara
anggota
FAO
peduli
akan
dampak
pembangunan yang tidak terkontrol dan berakibat meningkatnya kapasitas penangkapan ikan dan kemudian menindaklanjuti dengan perumusan NPOA. Mengingat sulitnya upaya pengawasan di laut di beberapa kawasan dunia, 7
Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Meijer and M. Ahmed (2003): Fish to 2020. Supply and Demand in Changing Global Markets. IFPRI Washington D.C. and World Fish Center Penang Malaysia: 226p.
semakin meningkat pula upaya nakal yang termasuk dalam IUU yang dilakukan oleh para nelayan baik nelayan nasional maupun nelayan asing. Kegiatan IUU ini akan merupakan tantangan besar bagi upaya pengelolaan perikanan, oleh karenanya IUU merupakan kegiatan yang sangat ditentang oleh masyarakat perikanan. Indonesia pada saat ini sedang dalam proses menyusun NPOA untuk menjabarkan kegiatan yang dirumuskan dalam keempat IPOA. Upaya pengelolaan perikanan di negara-negara maju khususnya negaranegara dimana industri perikanan merupakan partner yang baik dengan pemerintah, mereka berhasil bekerja bersama-sama untuk menjamin pengelolaan yang bertanggung jawab. Tentu saja keberhasilan negara-negara maju dalam hal ini bukan merupakan upaya yang singkat namun melalui proses yang panjang. Dua negara yang patut menjadi contoh dalam pengelolaan perikanan pada saat ini adalah Australia dan Norwegia. Faktor yang sangat membantu keberhasilan pengelolaan adalah kesadaran para nelayan yang dibareng dengan kerjasama yang baik, jumlah nelayan yang relatif sedikit dan birokrasi pemerintah yang relatif tidak terlalu berbelit-belit. Bahkan di Australia, pengelolaan perikanan udang di Teluk Carpentara menjadi contoh yang sangat baik dimana biaya riset dan pengelolaannya dibebankan kepada perikanan itu sendiri. Di beberapa negara maju indikator pengelolaan bahkan sudah mulai dipraktekan dalam bentuk sertifikasi yang disponsori oleh organisasi non-pemerintah yang akhirnya merupakan upaya pemberian ecolabel. Trend sertifikasi ini sudah mulai meningkat di beberapa negara bahkan karena desakan para konsumen pencinta lingkungan, upaya ecolabel juga dikenakan terhadap produk-produk impor untuk
menjamin bahwa produk tersebut berasal dari daerah penangkapan yang dikelola dengan baik.
Kegiatan IPOA IUU IPOA ini memuat secara komprehensif upaya-upaya pencegahan reflagging adalah International Plan of Action to Prevent, Deter and Elminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA IUU). IPOA ini seperti halnya induknya, CCRF, bersifat sukarela, namun demikan negara-negara anggota Food and Agriculture Organization (FAO) dihimbau untuk mengikuti IPOA ini dan melaksanakan ketentuannya yang dituangkan dalam National Plan of Action (NPOA). Dalam POA ini diatur mengenai penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur dengan definisi sebagai berikut:
a.
Penangkapan Ikan Ilegal Pada butir 3.1.IPOA IUU memberikan definisi “penangkapan ikan ilegal (illegal fishing)” sebagai aktifitas-aktifitas yang: (1) Dilakukan oleh setiap kapal, baik asing maupun kapal nasional dari negara mana saja (jadi berlaku juga untuk kapal-kapal dari negaranegara yang bukan angggota FAO) yang : a. Melakukan kegiatan dalam wilayah perairan yurisdiksi suatu negara. b. Kegiatan tersebut dilakukan tanpa ijin negara yang bersangkutan. c. Bertentangan dengan hukum dan peraturan setempat.
(2) Dilakukan oleh kapal-kapal yang berlayar mempergunakan bendera negara anggota dari organisasi regional konservasi dan pengelolaan penangkapan ikan yang terkait, yang: a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan organisasi dimana negara tersebut terikat, atau b. Bertentangan dengan hukum internasional. Tidak ada batasan wilayah dalam hal ini jadi dengan demikan diasumsikan dimanapun kapal yang berbendera anggota organisasi regional konservasi dan pengelolaan penangkapan ikan yang terikat melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional (contohnya ketentuan konservasi UNCLOS 1982) maka dapat diambil tindakan. (3) Bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional termasuk juga kewajiban negara-negara anggota organisasi pengelola perikanan regional terhadap organisasi tersebut.8
b. Penangkapan Ikan yang Tidak Dilaporkan 8
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai perikanan tidak diberikan definisi secara khusus mengenai apa yang dimaksud dengan penangkapan ikan ilegal. Akan tetapi jelas dalam ketentuannya baik di Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan telah diganti oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 yang telah digantikan oleh Undang-undang No. 54 Tahun 2002 mengatur adanya kewajiban untuk meminta ijin penangkapan ikan (IUP, SPI dan SIPI) dengan katagori tertentu (d atas 5 GT), sementara untuk penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil yang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menggunakan kapal tidak bermotor, motor luar atau berukuran kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT, tidak perlu ada perijinan. Ketentuan terbaru dari perijinan ini adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/MEN Tahun 2003 tentang Perijinan Usaha Penangkapan Ikan. Dengan demikian penangkapan ikan tanpa ijin bagi yang diharuskan untuk memilikinya berarti penangkapan ikan ilegal.
Definisi IPOA IUU dalam butir 3.2. tentang penangkapan ikan yang tidak dilaporkan9 adalah penangkapan ikan yang: (1) Tidak dilaporkan atau salah dilaporkan kepada otoritas nasional yang terkait. Acuan yang dipakai adalah hukum dan peraturan nasional, jadi pengertian tidak dilaporkan atau salah dilaporkan tergantung dari penafsiran hukum masing-masing hukum nasional dari tiap negara. (2) Tidak dilaporkan atau salah dilaporkan pada organisasi regional konservasi dan pengelolaan penangkapan ikan yang terkait. Acuan yang dipakai adalah ketentuan organisasi tersebut. Batasannya adalah dalam area dimana organisas tersebut mempunyai kompentensi.
c. Penangkapan Ikan yang Tidak Diatur Butir 3.3. dari IPOA IUU mendefinisikan penangkapan ikan yang tidak diatur adalah kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang : (1)
Dilakukan di area organisasi pengelola perikanan regional oleh :
a.
Kapal tanpa nasionalitas.
b.
Kapal yang berbendera negara bukan anggota dari organisasi atau
c.
Entitas-entitas penangkapan ikan yang lain (seperti Taiwan, Hongkong)
yang
bertentang
dengan
ketentuan
mengenai
konservasi dan pengelolaan dari organisasi tersebut dimana ketentuan tersebut dapat diterapkan.
9
Hukum nasional Indonesia telah mengatur mengenai kewajiban pelaporan berkala (6 bulan/3 bulan sekali), dan bahkan tindakan tidak menyampaikan laporan atau memberikan laporan yang tidak benar dapat menjadi dasar untuk pencabutan ijin usaha penangkapan ikannya. Akan tetapi perlu dilihat lebih lanjut mengenai tingkat kepatuhan para pengusaha perikanan atas kewajiban tersebut.
Ketentuan ini meletakkan kewajiban pada negara yang bukan anggata dari perjanjian ini untuk tuntuk pada ketentuan yang dibuat oleh organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait. (2)
Dilakukan bertentangan dengan tanggung jawab negara mengenai konservasi sumber daya laut berdasarkan hukum internasional, jika ternyata tidak ada ketentuan konservasi atau pengelolaan yang dapat diterapkan.
Jadi definisi mengenai penangkapan ikan yang tidak diatur didasarkan pada pengertian pelanggaran ketentuan dalam organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait terlebih dahulu, setelah itu, jika tidak terdapat ketentuannya, baru mengacu pada hukum internasional yang mengatur tanggung jawab negara dalam konservasi sumber daya ikan.10
Ketentuan Hukum Internasonal yang harus dipatuhi dalam rangka implementasi IPOA IUU a.
Penerapan Hukum Internasional (1) Menerapkan secara penuh norma-norma hukum internasional, termasuk dan khusunya UNCLOS 1982, dalam pencapaian tujuan instrumen ini. (2) Negara-negara
diharapkan
memprioritaskan
untuk
meratifikasi,
menerima atau mengaksesi UNCLOS 1982, UNIA 1995, dan 1993 FAO 10
Ketentuan ini meminta hukum suatu negara untuk mengatur penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal ikan wilayah yursdiksinya (di area di bawah kewenangan organisasi pengelolaan perikanan regional, misalnya di Samudera Hindia, dan di wilayah yang tidak tunduk pada ketentuan pengelolaan dan konservasi – yang berarti bukan di wilayah nasional, karena di wilayah nasional ada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang berlaku yaitu ketentuan nasional), agar tidak bertentangan dengan tanggung jawab negara dalam ketentuan hukum internasional untuk melakukan konservasi sumber daya hayati laut – misalnya ketentuan yang ada di UNCLOS.
Compliance Agreement. Bagi negara yang tidak meratifikasi, menerima, dan mengaksesi perjanjan internasional di atas tidak boleh melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum internasional tersebut. (3) Kewajiban negara-negara yang telah meratifikasi, menerima, dan mengaksesi instrumen perikanan internasional adalah menjalankan instrumen tersebut secara penuh dan efektif. (4) IPOA tidak mempengaruh hak dan kewajiban negara-negara anggota (parties) dalam hukum internasional, UNIA 1995 dan 1993 FAO Compliance Agreement. (5) Negara-negara
harus
melaksanakan
Code
Of
Conduct
dalam
hubungannya dengan IPOA secara penuh dan efektif. (6) Negara-negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut bebas yang tidak diatur oleh aturan dari organisasi konservasi dan pengelolaan penangkapan ikan regional yang terkait, harus menerapkan ketentuan konservasi pada Bagian VI UNCLOS 1982. b. Kontrol Negara atas Warga Negaranya (1) Kewajiban negara-negara untuk mengatur ketentuan atau bekerjasama untuk menjamin bahwa warga negara dalam wilayah yurisdiksinya tidak terlibat atau mendukung IUU Fishing (2) Melakukan kerjasama untuk mengidentifikasi siapa yang menjadi operator atau pemilik dari kapal yang terlibat IUU Fishing
(3) Kewajiban negara untuk mencegah warganegaranya untuk mendaftarkan kapalnya di negara yang tidak memenuhi tanggung jawab sebagai negara bendera.
c. Pendaftaran Kapal Ikan (1) Kewajiban negara-negara untuk memastikan bahwa kapal yang berlayar dengan benderanya tidak terlibat atau mendukung IUU Fishing. (2) Kewajiban
negara
bendera
kapal
sebelum
meregistrasi
kapal
penangkapan ikan menjamin bahwa ia dapat melaksanakan tanggung jawabnya untuk memastikan kapal yang akan diregistrasi tidak terlibat IUU Fishing. (3) Negara bendera kapal harus menghindari memberikan ijin bagi kapal dengan riwayat yang tidak jelas, kecuali : a. kepemilikan kapal telah berpindah, dan pemilik baru dapat menunjukkan bukti yang cukup bahwa pemilik atau operator sebelumnya tidak mempunya hak, kepentingan finansial dan manfaat, atau kontrol terhadap kapal; atau b. negara bendera kapal telah memutuskan bahwa kapal tidak akan terlibat IUU Fishing, setelah mempertimbangkan fakta-fakta yang relevan. (4) Kewajiban setiap negara, negara bendera kapal, dan negara lain yang menerima perjanjian sewa menyewa kapal untuk mengambil langkahlangkah untuk memastikan kapal yang disewa tidak terlibat IUU
Fishing. Langkah-langkah yang diambil tersebut dibatasi oleh yurisdiksi masing-masing negara. Indonesa merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dimana dua pertiga dari total wilayahnya merupakan wlayah laut, dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dan panjang garis pantai 81.000 km. Di dalam laut yang luas itu terkandung potensi lestari sumber daya ikan (MSY) jutaan ton, belum lagi potensi sumber daya alam yang lain, khususnya yang bersifat non hayati seperti sumber daya mineral, yang terkandung di dasar laut nusantara.
Sewaktu kapal-kapal ikan masih
menggunakan layar dan alat-alat perikanan yang sederhana, nelayan pada umumnya berpendapat bahwa ikan tidak akan habis karena merupakan sumber daya yang mampu berkembang biak sehingga mampu mengimbangi tekanan penangkapan. Namun dengan kemajuan zaman dimana kapal-kapal ikan semakin modern dan dilengkapi alat-alat penangkapan yang canggih yang dapat mendeteksi keberadaan dari pergerakan ikan, kemampuan penangkapan ikan menjadi sangat efisien. Terlebih lagi kalau jumlah kapal ikan makin meningkat, sumber daya ikan semakin meningkat pula. Hal ini yang mendorong perlunya upaya pengelolaan perikanan yang benar sebagaimana digariskan dalam CCRF. Pada saat ini negara-negara di dunia dalam pembangunan perikanannya berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah digariskan oleh CCRF. Namun demikian, pengelolaan perikanan memerlukan perencanaan yang matang serta kerjasama yang erat antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, para nelayan atau industri perikanan yang merupakan pelaku atau
pengguna. Tanpa terjalinya kerjasama yang baik, pengelolaan perikanan akan sulit dilakukan. Terlebih lagi penangkapan ikan di laut, dimana medan kegiatan di darat, sehingga biaya pengawasan relatif lebih mahal. Tanpa kerjasama yang baik dari para pengguna atau “stakeholder”, biasanya akan berakhir dengan peningkatan kegiatan penangkapan yang berakibat overexploitations terhadap sumber daya ikan (overfishing) dan dengan sendirinya tidak menjamin kepentingan generasi yang akan datang.
C.
Ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Partisipasi Pihak Asing dalam Pemanfaatan Sumber Perikanan Zona Ekonomi Ekslusif serta Pengaturan Nasional Indonesia.
Part V dari KHL 1982 mengatur tentang Zona Ekonomi Eksklusif yang terdiri dari 21 pasal. Sebanyak 15 pasal dari Part V mengatur masalah perikanan di ZEE. Berdasarkan hak berdaulat negara pantai, ditentukan oleh Part V KHL 1982 bahwa negara pantai: a. Menetukan JTB dan menjamin bahwa kelangsungan hidup dari sumber daya alam hayati terpelihara dan tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan (overfishing). b. Menentukan kapasitas tangkapan domestiknya pada ZEE. c. Mengusahakan pemanfaatan secara optimum dari sumber daya alam hayati dari ZEE.
d. Dalam kaitan dengan hal yang disebutkan dalam butir a, b, dan c diatas, apabila negara pantai tidak memiliki kemampuan tangkap untuk seluruh JTB, negara pantai tersebut akan mengizinkan negara-negara lain untuk melakukan penangkapan ikan. Pasal 62 KHL 1982 menentukan, apabila negara pantai tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan seluruh tangkapan dari JTB pada ZEE, negara pantai akan mengizinkan pihak asing untuk melakukan penangkapan atas surplus ikan tersebut. Hal ini diatur melalui perjanjian atau suatu pengaturan (arrangement) menurut metode yang ditetapkan oleh perundang-undangan negara pantai. Dengan demikian negara pantailah yang menentukan
mungkin
atau
tidaknya
partisipasi
pihak
asing
dalam
penangkapan ikan pada ZEE. Akses atas surplus perikanan bagi pihak asing pegaturannya sangat ditentukan oleh kebijaksanaan negara pantai yang dapat mempertimbangkan pentingnya sumber daya alam hayati bersangkutan bagi kepentingan ekonomi nasional negara pantai. Mengenai akses atas surplus yang diatur oleh Pasal 62 KHL 1982, hal ini harus dikaitkan dengan Pasal 69 dan Pasal 70 KHL 1982 tentang hak negara daratan dan NGL di dalam kawasan regional yang sama untuk dapat berpartisipasi memanfaatkan surplus dari sumber perikanan tersebut. Pasal
62
KHL 1982
juga menentukan
agar negara pantai
memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil dislokasi ekonomi pada negaranegara yang mempunyai kebiasaan menangkap ikan pada ZEE secara
tradisional atau telah melakukan upaya-upaya riset dan pengenalan dari stok perikanan dari zona tersebut. Dalam mengizinkan pihak asing melakukan penangkapan ikan pada ZEE, pihak asing harus menaati upaya-upaya pemeliharaan lingkungan kelautan dari perundang-undangan negara pantai. Perundang-undang tersebut meliputi cara-cara pemberian lisensi, pembayaran fees, renumerasi dalam bentuk lain serta pengaturan dapat dilakukan dalam kompensasi yang layak serta kemungkinan pemberian peralatan dan alih teknologi bagi industri perikanan negara pantai. Termasuk pula pengaturan tentang penetapan spesies ikan yang dapat ditangkap serta kuota tangkap dan musim penangkapan yang diizinkan. Disamping itu penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap serta informasi yang harus disediakan oleh kapal perikanan, ketentuan dari negara pantai pada kapal-kapal perikanan untuk keperluan trainng. Negara pantai dapat pula mengatur perihal pembongkaran ke darat dari seluruh atau sebagian tangkapan ikan pada pelabuhan negara pantai serta persyaratan tentang usaha patungan atau pengaturan bentuk kerja sama lainnya, training dan alih teknologi perikanan dan prosedur penegakan hukum. Suatu tinjauan lebih jauh atas pengaturan sistem perikanan di ZEE ini menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara kemandirian dari negara pantai dalam sumber perikanan dengan karateristik yuridis dari ZEE.. Adapun pengaturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusifnya adalah sebagai berkut:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesa yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.(Pasal 2) Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.(Pasal 3 (1)) Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titiktitik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah dicapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tersebut.(Pasal 3(2)) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan: a. Hak
berdaulat
untuk
melakukan
eksplorasi
dan
eksploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-
kegatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin; b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan: 1. pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya; 2. penelitian ilmiah mengenai kelautan; 3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku (Hot Persuit). Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat,
hak-hal
lain,
yurisdiksi
dan
kewajiban-kewajiban
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku. Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.(Pasal 4 ayat (1,2,3)) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), barangsiapa melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis seperti pembangkit tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, harus berdasarkan izin
dari Pemerintah Republik Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional dengan Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.(Pasal 5(1,2,3)) Barangsiapa membuat dan atau menggunakan pulau-pulau buatan atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut.(Pasal 6) Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang dtetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.(Pasal 7) Barangsiapa melakukan kegiatan-kegiatan d Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mengendalikan dan menanggulangi pencemaran lingkungan laut, wajib melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi. Pembuangan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hanya dapat dilakukan setelah memperoleh keizinan dari Pemerintah Republik Indonesia.(Pasal 8)
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di ZEEI Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa sumber daya alam hayati di ZEEI dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha perikanan ndonesia. Untuk itu, Pemerintah akan mengupayakan tersedianya berbagai kemudahan untuk meningkatkan kemampuan Indonesa (Pasal 2 ayat 1) Pemberian izin pemanfaatan surflus kepada orang atau badan hukum asing di ZEEI dapat diberikan setelah diadakan persetujuan antar Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara asng tersebut, dan hanya diberikan apabila kebangsaan kapal perikanan yang digunakan sama dengan kebangsaan orang atau badan hukum asing tersebut.(Pasal 9)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perikanan Dalam konsideran menimbang huruf a dikatakan bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional, mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang potensial, merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanahkan pada Bangsa Indonesia yang memiliki Falsafah Hidup Pancasila dan UUD 1945, untuk dimanfaatkan sebesar-besaranya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pada huruf b-nya dikatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemeraataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudi daya ikan, dan/atau pihak-phak yang terkait dengan kegiatan perikanan, serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Pasal 3 berbunyi :Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan: a. meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil; b.
Meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
c.
Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
d.
Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;
e.
Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
f.
Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
g.
Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;
h.
Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumber daya ikan, secara optimal; dan
i.
Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.
Wilayah pengelolaan perikanan RI untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : a. perairan Indonesia; b.
ZEEI; dan
c.
Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah RI
Pengelolaan perikanan RI, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterma secara umum.(Pasal 5 ayat (1)(2)). Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional; atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.(Pasal 29 ayat (1)(2)). Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahulu dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan kewajiban pemerintah negera bendera kapal untuk bertanggung
jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut. Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.(Pasal 30 ayat (1)(2)(3)). Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI.(pasal 31 ayat (1)(2)). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI dan SIKPI diatur degan Peraturan Menteri.(Pasal 32) Setiap kapal penangkap ikan berbedera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. Setiap kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memilik izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkap ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEE dilarang membawa alat penangkap ikan lainnya. Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang dizinkan di wlayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.(Pasal 38 (1)(2)(3)). Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudiddayaan ikan kecil.(Pasal 48) Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan.(Pasal 49) Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil melalui: a. penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional degan cara yang mudah, bunga pinjaman yang rendah dan sesuai dengan keampuan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil; b. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan kecil
serta
pembudidayaan
ikan
kecil
untuk
meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran ikan; dan c. penumbuhkembangkan
kelompok
nelayan
kecil,
kelompok
pembudidayaan ikan kecil, dan koperasi perikanan. Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh masyarakat.(Pasal 60) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pembudidayaan ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan pilihan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) wajib menaati ketentuan konservasi dan ketentuan lain yang ditetapkan Menteri. Nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil harus ikut serta menjaga kelestarian lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil perikanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil.(Pasal 61) Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya akan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.(Pasal 62). Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi dayaan ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan.(Pasal 63). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.(Pasal 64).
BAB III ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA
A.
Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Laut Indonesia
Secara runutan perkembangannya, pendugaan potensi sumberdaya ikan untuk sebagian wilayah perairan Indonesia telah dirintis sejak tahun 1970-an, sedangkan dugaan potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia secara keseluruhan diterbitkan pertama kali oleh Direktorat Bina Sumber Hayati, Direktorat Jenderal Perikanan dan Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada tahun 1983, sebesar 6,6 juta ton/tahun. Pada Forum Perikanan I di Sukabumi yang berlangsung pada tanggal 19-20 Juli 1990, Naamin dan Hardjamulia melaporkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 7,7 juta ton/tahun. Secara resmi, Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun 1991 menerbitkan “Buku Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia” yang mencantumkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 5,7 juta ton/tahun11. Selanjutnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, FAO dan DANIDA menyelenggarakan lokakarya pada tahun 1995 dengan agenda
11
Kusumastanto, Tridoyo. 2004. “Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia”, Jakarta.
utamanya melakukan penghitungan kembali potensi sumberdaya ikan berdasarkan data mutakhir yang tersedia. Lokakarya ini menghasilkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 3,67 juta ton/tahun (Venema, 1996 dikutip dalam Kusumastanto, et.al 2004). Pada tahun 1996, Direktorat Jenderal Perikanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI dan Fakultas Perikanan IPB melakukan evaluasi “Buku Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 1996. Evaluasi ini menghasilkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6,35 juta ton/tahun. Perkembangan berikutnya, tahun 1998 Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut menerbitkan “Buku Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia” yang memuat hasil kajian dari masing-masing peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Pengembangan dan Penelitian Oseanologi LIPI, Direktorat Jenderal Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. Beberapa perbaikan dan perhitungan telah dilakukan dan hasil kajiannya ditulis ulang dalam bentuk satu kesatuan informasi. Pada tahun yang sama Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut menerbitkan pula buku yang berjudul “Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia”. Pada buku itu dilaporkan besarnya dugaan potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia adalah 6,26 juta ton per tahun.12
12
Ibid.
Secara lebih rinci, potensi, pemanfaatan dan peluang pengembangan dari masing-masing kelompok sumberdaya menurut Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) disajikan pada Tabel A. Menurut kesepakatan Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya Ikan (FKPPS), Direktorat Jenderal Perikanan, Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia, sejak tahun 1997 menggunakan pembagian wilayah pengelolaan perikanan menjadi 9 (sembilan), dan kesepakatan tersebut dikuatkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 10/Men/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Adapun sembilan WPP tersebut, yaitu: (1) Selat Malaka, (2) Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa dan Selat Sunda, (4) Laut Flores dan Selat Makasar, (5) Laut Banda, (6) Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia. Mengenai batas dari masing-masing wilayah pengelolaan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel B dan Gambar A. Berdasarkan Tabel A tersebut, Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 (Perairan Selat Malaka) tergolong wilayah yang tidak berpeluang untuk dikembangkan lagi. WPP 3 (Perairan Laut Jawa dan Selat Sunda), WPP 4 (Perairan Laut Flores dan Selat Makasar) dan WPP 5 (Perairan Laut Banda) tergolong ke dalam wilayah yang memiliki peluang pengembangan antara 1 %20% (rendah). WPP 9 (Perairan Samudera Hindia) tergolong wilayah yang memiliki wilayah pengembangan 21%-40% (sedang), WPP 2 (Perairan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) dan WPP 6 (Perairan Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Laut Seram), WPP 7 (Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik) dan
WPP 8 (Perairan Laut Arafura) tergolong wilayah yang peluang pengembangannya lebih dari 40% (tinggi).
Tabel A. Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumber Daya Ikan Laut Pada Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan. No
1
2
3
Kelompok Sumberdaya
Wilayah Pengelolaan Perikanan 2
3
4
5
6
7
8
9
Potensi (103 ton/tahun)
2320
54.82
55.00
99.17
104.12
106.51
236.21
50.86
297.75
1027.64
Pemanfaatan (%)
214.55
64.44
195.80
131.28
88.96
63.15
28.64
42.60
51.20
70.52
Peluang Pengembangan (%)
-
25.56
-
-
1.04
26.85
61.36
47.60
38.80
19.48
Potensi (103 ton/tahun)
119.60
506.00
214.20
468.27
132.00
379.44
392.50
468.66
429.03
3109.70
Pemanfaatan (%)
97.75
19.26
178.67
55.77
55.24
14.90
9.03
3.41
54.45
40.93
Peluang Pengembangan (%)
-
70.74
-
34.23
34.76
75.10
80.97
86.59
35.55
49.07
Potensi (103 ton/tahun)
82.40
655.65
431.20
87.20
9.32
83.84
54.86
246.75
135.13
1786.35
Pemanfaatan (%)
118.06
12.58
40.18
116.80
237.35
14.61
39.50
8.33
65.99
34.74
77.42
49.82
-
-
75.39
50.50
81.67
24.01
55.26
Ikan Pelagis Besar
Pelagis Kecil
Demersal
Peluang Pengembangan (%) 4
Ikan Karang Konsumsi Potensi (103 ton/tahun)
0.30
21.57
9.50
15.38
2.48
9.55
3.50
0.77
12.88
75.93
Pemanfaatan (%)
5080.5 8
67.25
111.60
308.80
557.72
121.79
106.56
297.86
213.22
193.33
22.75
-
Potensi (103 ton/tahun)
11.40
11.20
10.80
4.80
-
0.90
2.50
21.70
10.70
74.00
Pemanfaatan (%)
346.64
116.17
225.48
437.39
-
6.72
214.57
24.71
62.21
165.69
83.28
-
65.29
27.79
Peluang Pengembangan (%) 5
Udang Peneid
Peluang Pengembangan (%) 6
Lobster Potensi (103 ton/tahun)
0.40
0.40
0.50
0.70
0.40
0.30
0.40
0.10
1.60
4.80
Pemanfaatan (%)
114.88
0.56
14.70
87.79
4.25
12.33
163.19
616.75
45.02
66.82
89.44
75.30
0.21
85.75
77.67
-
-
44.98
23.18
Peluang Pengembangan (%) 7
Perairan Indonesia
1
Cumi-Cumi Potensi (103 ton/tahun)
1.86
2.70
5.04
3.88
0.05
7.13
0.45
3.39
3.75
28.25
Pemanfaatan (%)
157.90
179.05
203.54
161.69
9268.00
14.99
110.50
6.95
143.99
127.
Peluang Pengembangan (%)
-
-
-
-
-
75.01
-
83.05
Potensi (103 ton/tahun)
239.16
1252.34
726.24
679.40
248.37
587.67
690.42
792.23
890.84
6106.67
Pemanfaatan (%)
134.69
19.77
97.62
83.69
85.93
25.33
19.56
8.42
57.86
47.93
70.23
1.38
6.31
4.07
64.67
70.44
81.58
32.14
42.07
93
Seluruh SDIL Indonesia
Peluang Pengembangan (%)
Catatan - = Peluang Pengembangan tidak dihitung karena lebih besar atau sama dengan 90%. Keterangan:
1. Perairan Selat Malaka 2. Perairan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan 3. Perairan Laut Jawa dan Selat Sunda 4. Perairan Laut Flores dan Selat Makasar 5. Perairan Laut Banda 6. Perairan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram 7. Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 8. Perairan Laut Arafura 9. Perairan Samudera Hindia
Tabel B.
No.
Batas-batas Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia Berdasarkan Pembagian Menurut Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya (FKPPS), Direktorat Jenderal Perikanan.
Wilayah Pengelolaan Batas Wilayah Perikanan 1. Perairan Selat Malaka Utara: Garis batas ZEEI; Timur: Garis batas ZEEI; Selatan: Garis lintang 1o LU; Barat: Pantai timur Sumatera. 2. Perairan Laut Natuna Utara: Garis batas ZEEI; Timur: Garis batas ZEEI dan pantai barat Kalimantan; dan Cina Selatan: Garis yang menghubungkan posisi 04o LS dan 106o BT dengan 03o LS dan 111o BT; Selatan Barat: Garis batas ZEEI dan pantai timur Sumatera. selatan Wilayah 3. Perairan Laut Jawa Utara: Berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan posisi garis batas Pengelolaan Perikanan 2 (Laut Cina Selatan), yaitu: Garis yang menghubungkan posisi dan Selat Sunda 04o LS dan 106o BT dengan 03o LS dan 111o BT; Timur: Garis bujur 125o 30‘ BT, Garis lintang 1o 15‘ LU dan pantai timur Kalimantan sampai Sulawesi; garis lintang 3o 30‘ LS dari Sulawesi sampai dengan garis bujur 116o 55‘ BT; Selatan: Pantai utara Jawa; Barat: Pantai timur Sumatera. Utara: Garis yang menghubungkan batas paling utara Kalimantan Timur dengan 4. Perairan Laut batas Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah; Flores dan Selat Timur: Pantai barat dan selatan Sulawesi serta garis bujur 125o 30’ BT dari lintang 03o 10’ LS Makasar sampai lintang 08o 30’ LS; Selatan: Garis dari titik posisi 08o 10’ LS-115o 20’ BT ke titik posisi 08o 15’ LS -116o 15’ BT; Garis dari titik posisi 08o 15’ LS -116o 40’ BT ke titik posisi 08o 17’ LS-117o 10’ BT; Barat: Pantai timur Kalimantan dan batas timur Wilayah Pengelolaan Perikanan 3 (Laut Jawa), yaitu: Garis bujur 125o 30‘ BT, Garis lintang 1o 15‘ LU dan pantai timur Kalimantan sampai Sulawesi; garis lintang 3o 30‘ LS dari Sulawesi sampai dengan garis bujur 116o 55‘ BT.
No.
Wilayah Pengelolaan Perikanan 5. Perairan Laut Banda
6. Perairan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram 7. Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
8. Perairan Laut Arafura
9. Perairan Samudera Hindia
Batas Wilayah Utara: Garis lintang 03o 10‘ LS; Timur: Garis bujur 132o 30‘ BT; Selatan: Garis lintang 08o 30‘ LS dari garis bujur 125o 30‘ BT sampai dengan Pulau Selaru; Garis yang menghubungkan posisi 08o 30 ‘ LS # 130 o 50‘ BT dengan posisi 07o 50‘ LS # 132o 30‘ BT; Barat: Garis bujur 125o 30‘ BT. Utara: Perbatasan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; Timur: Pantai barat Irian Jaya; Selatan: Garis lintang 3o 10‘ LS dari Sulawesi Tenggara sampai dengan Irian Jaya; Barat: Pantai timur Sulawesi. Utara: Garis batas ZEEI; Timur: Garis batas ZEEI; Selatan: Garis lintang 1o 15‘ LU, pantai utara Sulawesi Utara, garis yang menghubungkan Bitung, Morotai dan Pulau Gag, pantai utara Irian Jaya; Barat: Batas utara Wilayah Pengelolaan Perikanan 4 (Selat Makasar dan Laut Flores), yaitu: Garis yang menghubungkan batas paling utara Kalimantan Timur dengan batas Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah Utara: Pantai barat Irian Jaya; Timur: Garis batas ZEEI; Selatan: Garis batas ZEEI; Barat: Batas timur Wilayah Pengelolaan Perikanan 5 (Laut Banda) dan batas timur Wilayah Pengelolaan Perikanan 9 (Samudera Hindia) atau garis bujur 132o 30’ BT Utara: Pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan batas selatan Wilayah Pengelolaan Perikanan 5 (Laut Banda), yaitu: Garis lintang 08o 30‘ LS dari garis bujur 125o 30‘ BT sampai dengan Pulau Selaru; Garis yang menghubungkan posisi 08o 30‘ LS # 130o 50‘ BT dengan posisi 07o 50‘ LS # 132o 30‘ BT Timur: Batas barat Wilayah Pengelolaan Perikanan 8 (Laut Arafura) atau Garis bujur 132o 30’ BT Selatan: Garis batas ZEEI Barat: Garis batas ZEEI
Gambar A. Batas-Batas Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia Berdasarkan Pembagian Menurut Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumber Daya (FKPPS), Direktorat Jenderal Perikanan
B.
Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan di ZEEI
Mengenai pengaturan penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) atau yang juga dikenal dengan singkatan JTB, diamanatkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Disebutkan pada Pasal 61 ayat (1) UNCLOS 1982, “Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya”. Sudah dapat dipastikan, bahwa keluarnya pasal ini untuk menghindari gejala tangkap lebih (overfsihing). Masih dalam konteks internasional, ketentuan mengenai penetapan JTB agar menciptakan tingkat pengelolaan lestari tertuang dalam Pasal 7 ayat (7.1.8) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995, “Negara-negara harus mengambil langkah untuk mencegah atau menghapus penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan harus menjamin bahwa tingkat upaya penangkapan adalah sepadan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari sebagai suatu cara menjamin keefektifan langkah konservasi dan pengelolaan”. Selain itu, bila terjadi penangkapan ikan yang melebihi kapasitas harus ditetapkan mekanisme untuk mengurangi kapasitas ke tingkat yang sepadan dengan pemanfaatan lestari sumberdaya perikanan sedemikian rupa, sehingga menjamin bahwa para nelayan beroperasi dalam kondisi ekonomi yang mendorong perikanan bertanggung
jawab. Mekanisme seperti itu harus termasuk pemantauan kapasitas armada penangkapan (Pasal 7 ayat 7.6.3 CCRF 1995). Sementara itu, dalam konteks perundang-undangan nasional, ketentuan internasional mengenai kewajiban setiap negara untuk menentukan JTB diadopsi pada awalnya dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yaitu pada Pasal 5 ayat (3). Disebutkan bahwa, “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan eksploitasi suatu sumberdaya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau pemerintah negara asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya”. Selanjutnya, ketentuan JTB pada UU No. 5 Tahun 1983 tersebut diatur juga dalam aturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “Menteri Pertanian menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan menurut jenis atau kelompok jenis sumber daya alam hayati di sebagian atau seluruh Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”. Dan, pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa “Penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan kepada data hasil penelitian, survai, evaluasi dan/atau hasil kegiatan penangkapan ikan”. Keseriusan Pemerintah Indonesia mengenai kewajiban menentukan JTB dituangkan juga dalam Pasal 4 butir (3) Undang-undang No. 9 Tahun 1985
tentang Perikanan. Dan, tertuang juga dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c Undangundang Perikanan No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang merevisi UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Sementara itu, dalam Pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa “Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c setelah mempertimbangkan
rekomendasi
dari
Komisi
Nasional
yang
mengkaji
sumberdaya ikan’. Adapun Komisi Nasional sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3) dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan para ahli dibidangnya yang berasal dari lembaga terkait (Pasal 7 ayat (4)). Mengenai besaran potensi dan JTB di ZEEI berdasarkan kelompok spesies diatur
oleh
Surat
473a/Kpts/IK.250/6/1985
Keputusan
(SK)
tentang
Penetapan
Menteri
Pertanian
Jumlah
Tangkapan
Nomor yang
Diperbolehkan di ZEEI. Kelompok spesies tersebut yaitu jenis ikan pelagis, ikan tuna, ikan cakalang, dan ikan demersal. Secara lebih jelasnya mengenai kelompok spesies, potensi dan JTB dapat dilihat pada Tabel C.
Tabel C. Potensi dan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan di ZEEI No. 1. 2. 3. 4.
Kelompok Spesies Jenis Ikan Pelagis Jenis Ikan Tuna Jenis Ikan Cakalang Jenis Ikan Demersal
Potensi (ton/tahun) 1.285.900 83.435 93.760 647.500
JTB (ton/tahun) 1.115.731 75.915 88.884 582.731
Untuk memanfaatkan JTB pada masing-masing kelompok spesies ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tersebut, maka jumlah unit penangkapan ikan
yang diizinkan harus berdasarkan produktivitas masing-masing unit penangkapan ikan dengan mempertimbangkan JTB masing-masing kelompok spesies. Hal ini tentu saja bertujuan menghindari terjadinya overfishing untuk semua spesies ikan umumnya,
dan
spesies
tertentu
khususnya.
Selain
itu,
ketentuan
ini
mengamanatkan bahwa untuk JTB sewaktu-waktu disesuaikan dengan data hasil, penelitian, survey, evaluasi dan atau hasil kegiatan penangkapan ikan. Dengan demikian, kehadiran Komisi Nasional diharapkan dapat mengkaji kembali besaran JTB yang ditentukan pada tahun 1985.
C.
Kebijakan untuk Nelayan
Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Hal ini sesuai dengan pengertian tentang nelayan pada UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 butir 10). Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Dengan kata lain, ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan pun semakin beragam statusnya. Dalam bahasa sosiologi, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau labour division13.
13
Satria, Arief. 2002. “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, Cidesindo. Jakarta.
Selanjutnya, Ditjen Perikanan14 mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan, yaitu: 1.
Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
2.
Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
3.
Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Klasifikasi nelayan di atas semakin kurang memadai seiring dengan perkembangan karakteristik usaha perikanan. Ada pemilik kapal yang saat ini tidak melaut, bahkan belum pernah melaut sama sekali. Dalam bahasa nelayan, mereka sering disebut juragan darat. Klasifikasi nelayan sekarang ini semakin rumit, karena posisi anak buah kapal (ABK) semakin hierarkis, seperti juru mudi, juru lampu, juru arus, juru selam, juru mesin, juru campoan, awak kapal biasa15. Jadi, keragaman status nelayan di atas terjadi seiring berkembangnya usaha perikanan.
14 15
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000, “Buku Statistik Perikanan Indonesia.” Jakarta. Masyhuri. 1999. “Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi”: Telaahan Sebuah Pendekatan. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan - LIPI.
Sementara itu, berdasarkan tingkatan usaha perikanan, Pollnac16 membedakan nelayan ke dalam dua kelompok, yaitu nelayan besar (large-scale fishermen) dan nelayan kecil (small-scale fishermen). Pembedaan ini berdasarkan respon untuk mengantisipasi tingginya resiko dan ketidakpastian. Namun, Satria17 mengganggap bahwa pengelompokan Pollnac ini kurang memadai untuk Indonesia sebagai negara berkembang, sehingga dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi, (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Pertama, peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Istilah subsisten ini dikarenakan alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) dan bukan diinvestasikan kembali
untuk
pengembangan
skala
usaha.
Umumnya,
mereka
masih
menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau kapal tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant-fisher menjadi post- peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti motor tempel atau kapal motor. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah mulai berorientasi pasar. Sementara tenaga
16
17
Pollnac, Richard B. 1998. “Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pembangunan Perikanan Berskala Kecil”, dalam Cernea Michael, “Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi dalam Pembangunan Pedesaan”. UI-Press. Jakarta. Satria, Ibid.
kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak tergantung pada anggota keluarga saja. Ketiga, commercial fisher, adalah nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Begitu juga dengan teknologi, kelompok ini sudah menggunakan teknologi modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Keempat, industrial fisher, yang pengertiannya dapat mengacu pada Pollnac (1998). Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan ikan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai ABK dengan organisasi kerja yang lebih kompleks. Adapun ciri nelayan industri menurut Pollnac18 , yaitu: a. Diorganisasikan dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan perikanan agroindustri di negara-negara maju. b. Secara relatif lebih padat modal. c. Memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu. d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
Tabel D. Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha Jenis 18
Pollnac, Ibid.
Orientasi Ekonomi dan
Tingkat Teknologi
Hubungan Produksi
Usaha Tradisional
Usaha PostTraditional Usaha Komersial
Usaha Industri
Pasar Subsisten; rumah tangga
Rendah
Subsisten; surplus; Rendah rumah tangga; pasar domestik Surplus; pasar Menengah domestik; ekspor
Surplus; ekspor
Tinggi
Tidak hierarkis, status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Tidak hierarkis, status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Hierarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang heterogen Hierarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang heterogen
Dengan berdasar pada pengklasifikasian nelayan menurut Satria (2002) di atas, khususnya pada teknologi, maka nelayan Indonesia sebagian besar tersebar berada pada usaha tradisional (peasant-fisher) dan usaha post-traditional, dan sedikit di usaha komersial (Lihat Tabel E). Artinya, nelayan Indonesia hanya mampu melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar pesisir yang banyak menimbulkan konflik dan overfishing. Sedangkan kekayaan sumberdaya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia banyak dinikmati kapal asing, baik yang resmi (legal) maupun illegal yang umumnya menggunakan alat tangkap modern dan armada yang sangat besar. Ketidakmampuan melakukan penangkapan di ZEEI diperparah dengan berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan nelayan. permasalahan tersebut baik timbul dari sisi sumberdaya perikanan sendiri yang bersifat fugitive dan cenderung ke arah open access, maupun kendala yang ditimbulkan oleh pengembangan skala ekonomi yang ditandai dengan lemahnya kapital dibidang perikanan dan sedikitnya investasi dibidang tersebut. Kombinasi
kedua kendala tersebut menyebabkan pelaku perikanan, khususnya mereka yang berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong masyarakat miskin. Misalnya, hasil perhitungan COREMAP di 10 propinsi menunjukan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 1996/1997 masih berkisar antara Rp 82.000 sampai Rp 200.000 per bulan. Tentu saja, jumlah tersebut masih jauh di bawah upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 380.000 pada tahun yang sama19 .
Tabel E. Jenis Kapal dan Jumlah No. 1
Jenis Kapal Perahu Tanpa Motor
Jumlah (Unit) 230.360
2 3
Perahu Motor Tempel Kapal Motor (KM) KM < 5 GT KM 5-10 GT KM 10-20 GT KM 20-30 GT KM 30-50 GT KM 50-100 GT KM 100-200 GT KM > 200 GT Jumlah
125.580 118.600 72.060 23.610 6.880 3.780 2.300 5.510 3.590 870 593.140
Sumber: www.dkp.go.id
Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan sangat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Kusnadi20
membagi faktor yang menyebabkan
kemiskinan nelayan ke dalam dua kelompok, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan kondisi internal sumberdaya 19
20
Fauzi, Akhmad. 2002. “Kredit Perikanan di Indonesia: Suatu Tinjauan Krisis”. Bahan Press Release Media Indonesia. Kusnadi. 2004. “Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaharuan”. Bantul.
manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Faktor-faktor internal mencakup masalah antara lain: (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan ikan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan (6) gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Faktor-faktor eksternal mencakup masalah antara lain: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan; (5) penegakkan hukum yang lemah terhadap perusakan lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca-tangkap; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor nonperikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.
Kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan Indonesia merupakan sebuah ironis. Betapa tidak, mereka miskin di tengah kekayaan potensi sumberdaya perikanan yang melimpah disekitarnya. Namun demikian, kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di negara-negara maju. Fauzi (2003) mengungkapkan bahwa permasalahan nelayan dan kemiskinan memang bukan merupakan monopoli permasalahan negara-negara berkembang semata. Disebutkan, di negara maju sekalipun permasalahan kemiskinan nelayan akan timbul manakala terjadi mismanagement terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian, memang kuncinya di sini adalah pada aspek pengelolaan sumberdaya dan pemahaman terhadap permasalahan kemiskinan nelayan itu sendiri. Lebih lanjut Akhmad Fauzi21 mengungkapkan, bahwa berbeda dengan sektor primer lainnya, sumberdaya ikan memiliki karakteristik unik yang harus dipahami benar sehingga tidak menghasilkan pemahaman mengenai kemiskinan yang keliru (misleading) yang pada akhirnya melahirkan strategi pengentasan kemiskinan yang keliru pula. Adapun beberapa karakteristik untuk sumberdaya ikan tersebut diantaranya, yaitu : Pertama, kondisi kepemilikan yang bersifat common property dibarengi dengan rejim yang akses terbuka dalam eksploitasinya, menyebabkan timbulnya masalah eksternalitas. Eksternalitas adalah akibat yang harus ditanggung oleh aktifitas yang ditimbulkan pihak lain. Bentuk eksternalitas misalnya perebutan daerah tangkap atau sering dikenal dengan istilah space interception externality
21
Fauzi, Akhmad. 2003. “ Paradok Kemiskinan Nelayan”. Working Paper Jurusan SEI, FPIK-IPB. Bogor.
dimana masing-masing nelayan ingin mendahului yang lainnya untuk mencapai fishing ground.
Eksternalitas juga bisa terjadi karena gear externality atau
eksternaitas alat dimana penggunaan satu alat bisa menimbulkan kerugian atau kerusakan pada alat lain. Contoh eksternalitas dalam bentuk ini adalah penggunaan alat tangkap yang destruktif seperti trawl dan pengunaan dinamit. Kombinasi dari berbagai eksternalitas ini menimbulkan biaya yang cukup tinggi dalam bentuk menurunnya kapasitas sumberdaya perikanan yang pada gilirannya akan menurunkan rente ekonomi yang dihasilkan. Kedua, masyarakat nelayan, terutama nelayan marjinal menghadapi apa yang disebut sebagai highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan sukses). Highliner adalah nelayan atau kelompok nelayan yang memiliki kelebihan skill dan modal yang cenderung memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari nelayan umumnya. Dengan melihat kelompok mereka ini, sering timbul ilusi pada nelayan kebanyakan bahwa suatu saat merekapun akan menjadi kaya seperti highliner tadi. Ilusi ini pulalah yang menyebabkan terjadinya sticky labor force dimana ekses tenaga kerja di sektor perikanan sulit dikurangi. Pada akhirnya sulit bagi mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan (poverty trap). Ketiga, usaha perikanan mengalami apa yang disebut sebagai cycle asymmetry atau siklus yang non simetrik. Copes22 seorang perintis teori ekonomi perikanan mengemukakan karakteristik sifat ini dari sifat kapital perikanan yang irreversible (sulit ditarik kembali). Usaha perikanan mengalamai fluktuasi yang diakibatkan oleh faktor alam. 22
Copes. P. 1986. “Prawn Fisheries Management in South Australia with Specific Reference to Problems in Gulf St. Vincent and Investigator Strait”. Technical Report. Departemen of Fisheries. Adelide.
Keempat, Copes juga mengemukakan bahwa kemiskinan yang persisten disebabkan pula sulitnya penyesuain terhadap produktivitas (adjustment to productivity gains) dimana pergerakan surplus tenaga kerja di sektor perikanan sangat bersifat dapat balik (reversible). Dengan sifat rejim open acces, nelayan bisa kembali ke komunitasnya dimana ia memperoleh free access atas sumberdaya perikanan. Kelima, sektor perikanan seperti halnya sektor primer lainnya sering mengalami masalah finansial. Seperti kurangnya modal serta sulitnya akses ke lembaga keuangan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah di negara berkembang sering memberikan bantuan berupa kredit ringan atau subsidi untuk meningkatkan investasi berupa kapal dan alat. Namun ternyata, kebijakan ini sering menjadi tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Fenomena yang disebut sebagai perverse assistance telah terbukti terjadi di beberapa negara maju sekalipun. Sebagai contoh, pada tahun 1981 pemerintah Selandia Baru menyadari bahwa susbsidi yang mereka berikan ke sektor perikanan justru menyebabkan industri perikanan yang overcapitalized dan telah menyebabkan economic overfishing dimana armada yang makin banyak justru menghasilkkan produksi perikanan yang makin sedikit. Permasalahan ini terjadi juga di Indonesia, dimana program motorisasi atau yang dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution) misalnya, justru menimbulkan dampak overcorwded bagi nelayan khususnya di pantai utara Jawa dan nasib mereka tidak lebih baik dari sebelumnya.
Dengan melihat kompleks permasalahan yang menyebabkan kemiskinan nelayan, nampaknya pemerintah akan sulit mendapatkan obat mujarab untuk menuntaskan kemiskinan nelayan tersebut. Namun paling tidak ada beberapa strategi kunci yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi kemiskinan nelayan baik secara kualitas maupun kuantitas, diantara yaitu 23: Pertama, spek ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat krusial, karena disinilah bermuara persoalan kemiskinan. Assessment terhadap sumberdaya perikanan nampaknya perlu dipikirkan kembali. Dengan berdasar pada maximum sustainable yield (MSY), klaim potensi perikanan sebesar 6.2 juta ton per tahun menimbulkan dua konsekensi. Satu, dengan potensi sebesar itu dan produksi yang kurang lebih masih 4 juta ton saat ini, bisa menimbulkan interpretasi peningkatan produksi. Kenyataannya jika dihitung dengan kegiatan illegal fishing dan unreported fishing (penangkapan yang tidak dilaporkan), maka angka 6.2 juta tersebut sudah pasti akan terlewati. Dua, sebagaimana dikemukakan oleh bioekonom terkemuka Collin Clark, MSY sama sekali mengabaikan aspek ekonomi. Dengan demikian, look at the resource first and its economic consequences haruslah menjadi kata kunci pertama dalam program pengentasan kemiskinan nelayan. Kedua, economic overfishing (tangkap lebih secara ekonomi) merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan kita dan timbulnya kemiskinan di wilayah pesisir, di samping biological overfishing (tangkap lebih secara biologi). Dengan demikian, strategi yang menyangkut ke arah tersebut dipikirkan secara matang. Salah satunya adalah dilakukannya Adaptive Rationalization yang 23
Fauzi, Ahkmad. 2003, Ibid
merupakan hybrid dari instrument ekonomi yang berdasar pasar (market mechanisme) dengan penguatan kelembagaan lokal. Karena dalam perikanan yang terkendali sekalipun, rent dissipation (hilangnya rente ekonomi) dapat terjadi jika rasionalisai perikanan hanya dilakukan berdasarkan mekanisme pasar belaka seperti kuota dan limited entry. Ketiga, sebagaimana diuraikan pada sintesis kemiskinan, kalau ditarik resultan dari persoalan siklus non simetris dan sulitnya penyesuaian terhadap productivity gain maka strategi investasi yang tepat akan dapat membantu mengurangi kemiskinan di sektor perikanan. Namun harus dipahami benar, strategi investasi di perikanan, khususnya perikanan pesisir sangat unik karena terkait dengan karakteristik sumberdaya perikanan yang unik pula. Keempat, karena anatomi kemiskinan nelayan terkait dengan perverse assistance seperti halnya subsidi, maka strategi subsidi yang tepat akan mengurangi tekanan kemiskinan. Fauzi (2002) secara detail telah mengupas masalah strategi subsidi ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiskinan dapat dikurangi jika strategi subsidi dilakukan dengan pengelolaan input yang terkendali (perfectly constrained effort management) dan good subsidy dapat dilakukan pada perikanan yang sudah overcapacity sehingga rente ekonomi bisa dibangkitkan kembali yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan nelayan dalam jangka panjang. Pemberian kredit adalah salah kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan, grant, dsb) maupun pelayanan umum (pembangunan infrastuktur). Dalam kaitannya dengan sektor perikanan,
subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama menjadi bahan perdebatan mengingat implikasinya terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri. Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara komrehensif oleh Milazzo (1998) dalam Fauzi (2002) menunjukkan bahwa secara global subsidi yang diberikan kepada perikanan baik dalam bentuk skim kredit mapun grant mencapai antara US$ 14 hingga 20 milyar yang setara dengan 17% sampai 25% dari total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan subsidi sebesar itu telah menyebab terjadinya overcapacity dibidang perikanan. Arnason (1999) dalam Fauzi (2002) lebih jauh mengatakan bahwa subsidi yang diberikan pada perikanan yang nota bene merupakan sumberdaya yang bersifat common property justru akan hanya menimbulkan economic waste. Dengan demikian, kebijakan subsidi baik dalam bentuk grant maupun kredit harus disikapi secara cermat dan hati-hati. Fauzi (2002) mengingatkan, keberpihakan pemerintah dalam kredit perikanan hendaknya tidak dilihat dari besarnya kredit yang diberikan maupun program kredit yang diluncurkan, namun harus dilihat secara menyeluruh, misalnya dalam pola subsidi yang lain seperti subsidi harga yang dampak distortifnya secara ekonomi relatif lebih kecil. Mengingat, dalam jangka pendek, kebijakan kredit di bidang perikanan dapat meningkatkan
produktivitas.
Namun
demikian,
dalam
jangka
panjang,
meningkatnya angka produksi tersebut dihadapkan (vis a vis) pada penurunan hasil tangkapan yang berujung pada overfishing. Hal ini dikarenakan, sifat sumberdaya perikanan yang sangat khas. Fenomena ini dapat kita lihat di pantai
utara Jawa, dimana produktifitas nelayan mengalami penurunan dengan berkurangnya sumberdaya ikan serta daerah fishing ground yang semakin jauh.
D.
Kebijakan di ZEEI Selama Ini
Hingga saat ini, sekitar 6.000 kapal asing masih melakukan aktivitas penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Tentu saja, keberadaan kapal asing tersebut mendapat pengakuan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1985 disebutkan bahwa: “Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan, bahwa “Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku”. Dengan demikian, secara terang-terangan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 9 Tahun 1985, Pemerintah Indonesia membuka kran kapal asing untuk terlibat dalam mengeksploitasi sumberadaya ikan Indonesia yang ada di ZEEI.
Pengakuan terhadap keberadaan kapal asing di ZEEI oleh UU No. 9 Tahun 1985 dilanjutkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang merupakan revisi UU No. 9 Tahun 1985. Pada Pasal 29 ayat (1) disebutkan
“Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 29 ayat (2), disebutkan bahwa “Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia
berdasarkan
persetujuan
internasional
atau
ketentuan
hukum
internasional yang berlaku”.
Selain itu, pengakuan terhadap keberadaan kapal asing dalam melakukan penangkapan ikan di ZEEI juga diakui oleh UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada Pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan eksploitasi suatu sumberdaya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya”.
Sebagai turunan atau peraturan pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1983, maka keterlibatan kapal asing di ZEEI diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pada Pasal 2 ayat (3) PP No. 15 Tahun 1984 disebutkan bahwa, “Dalam rangka meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, orang atau badan hukum Indonesia yang bergerak dibidang usaha perikanan Indonesia dapat mengadakan kerja sama dengan orang atau badan hukum asing dalam bentuk usaha patungan atau bentuk kerja sama lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dengan berdasar pada ketentuan-ketentuan di atas yang mengakui keberadaan kapal asing di ZEEI, maka kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, yang waktu itu dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, diantaranya yaitu: (1) pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan nasional; (2) skema sewa (charter); (3) sewa-beli (leasing); dan (4) skema kemitraan (joint venture). Keempat skim tersebut disederhanakan menjadi tiga, yaitu sewa-beli, joint venture dan lisensi. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah ini mendapatkan berbagai kritikan dari beberapa pakar ekonomi dan pakar perikanan.
Menurut mereka, kebijakan pemerintah yang dulu diberikan oleh Menteri Pertanian yang kemudian dilanjutkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dalam membolehkan kapal asing menangkap ikan di ZEEI harus dikaji kembali secara komprehensif karena mengandung beberapa kelemahan, khususnya kelemahan data statistik perikanan yang digunakan sebagai dasar dan terbatasnya sistem pengawasan (Kusumastanto, 2003). Kusumastanto lebih jauh menjelaskan, bahwa bila ditinjau dari perspektif rente ekonomi, kebijakan ini hanya memberikan keuntungan pada pengusaha asing dan nasional yang akan memanfaatkan apabila rente yang dibayarkan kepada negara tidak sepadan. Di dalam ekonomi sumberdaya perikanan, rente sumberdaya perikanan (fishery resource rent)
diartikan sebagai nilai manfaat bersih dari pemanfaatan sumberdaya perikanan setelah seluruh komponen biaya diperhitungkan. Lebih dari itu, tanpa diimbangi oleh pengawasan yang ketat, kebijakan ini dikhawatirkan menimbulkan gejala tangkap lebih (overfishing) dan terjadi konflik antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing.
Sementara itu, apabila menggunakan kebijakan publik dalam membahas kebijakan mengenai pengelolaan di ZEEI selama ini, maka masalah yang akan timbul diantaranya menurut Kusumastanto24 yaitu:
1.
Kebijakan Lisensi
Pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan nasional yang hanya menjadi agen bagi pengusaha asing untuk menangkap ikan di ZEEI merupakan sesuatu yang beresiko terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di ZEEI. Dalam mekanisme kebijakan seperti ini, tidak ada instrumen, pendukung yang mengefektifkan kebijakan pada tataran implementatif, baik berupa insentif maupun disinsentif. Oleh karena itu, mekanisme kebijakan pemberian lisensi akan sangat dengan mudah disalahgunakan atau diselewengkan oleh para pemburu rente, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan overfishing sebagaimana kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang menghancurkan sumberdaya hutan.
24
Kusumastanto, Tridoyo. 2003. “Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah”. Garamedia, Jakarta.
2.
Kebijakan Charter dan Leasing
Kebijakan skema sewa (charter) dan sewa-beli (leasing) yang memberikan kesempatan kepada perusahaan perikanan nasional untuk menyewa kapal asing. Perbedaan skema charter dan leasing adalah bahwa kapal yang disewa-belikan pada akhirnya akan dimiliki oleh perusahaan perikanan nasional. Masalahnya adalah, jangan sampai kebijakan ini dengan skema ini hanya menduplikasi model masa lalu yang implikasinya menghancurkan sumberdaya perikanan nasional dan merugiakan nelayan lokal. Secara faktual, pengusaha perikanan domestic yangmenggunakan fasilitas semacam ini di masa lalu hanya menjadi “mafia” yang dibecking oleh institusi kekuasaan. Selain itu, persoalan kedua skema ini adalah lemahnya mekanisme perlindungan dan pengawasan serta sanksi yang dikenakan kepada pengguna kapal asing di ZEEI, sehingga lagi-lagi tidak ada jaminan bagi terciptanya kelestarian sumberdaya ikan di ZEEI.
3.
Kebijakan Joint Ventura
Skema kemitraan (Joint Ventura) yang dilakukan oleh pengusaha perikanan nasional dan pengusaha pemilik kapal ikan asing. Dalam skema
kebijakan ini, pengusaha domestic yang bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing harus memenuhi syarat bahwa ia mempunyai kapal penangkap ikan. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka pengusaha perikanan domestic akan mendapatkan izin untuk bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing. Resiko selama ini adalah orang atau badan hukum domsetik yang akan bermitara dengan pihak asing bisa saja tidak memiliki kapal, tetapi menggunakan kapal ikan pengusaha perikanan lain, sehingga mendapatkan izin penggunaan kapal ikan berbendera asing. Dengan demikian, pengusaha perikanan nasional hanya menjadi broker pengusaha kapal ikan asing.
Dengan meminjam istilah neo-marxis, apabila ketiga kebijakan di atas tidak disertai dengan dukungan instrumen kelembagaan kuat, model kebijakan ini hanya melegitimasi “gejala kompradorisasi”25 . Oleh karena itu, agar pemanfaatan sumberdaya perikanan di ZEEI menciptakan kelestarian, maka diperlukan kebijakan yang tepat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menertibkan kapal asing tersebut, menurut Akhmad Fauzi26 : Pertama adalah melakukan decommissioning yaitu mencoba memisahkan dengan jelas mana kapal bendera Indonesia dan mana kapal berbendera asing dengan cara phasing out. Dalam langkah ini, hanya ada dua jenis armada yang beroperasi yakni asing atau domestik. Saat ini kapal-kapal 25 26
Kusumastanto. 2003 Ibid. Fauzi. Akhmad. 2005. “Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sentesisi dan Gagasan”. Gramedia. Jakarta.
yang berada diantara keduanya (status yang tidak jelas) seperti kapal asing tapi berbendera Indonesia atau kapal Indonesia tapi awak asing harus mulai dipertegas statusnya melalui decommissioning.
Kedua menentukan besaran Total Allowable Level of Foreign Fishing (TALFF), yakni surplus sumberdaya di wilayah ZEEI yang dihitung berdasarkan selisih
kelebihan
Optimum
Sustainable
Yield
(OSY)
dengan
kapasitas
penangkapan dalam negeri (domestik).
Ketiga menentukan estimasi permulaan (initial estimate) untuk access fee berdasarkan alat tangkap, jenis ikan, tonase kapal, dan daerah penangkapan. Estimasi ini akan terus disesuaikan secara berkala dengan masuknya data yang lebih akurat mengenai dinamika SDA perikanan dan pemanfaatannya.
Keempat membangun sistem monitoring, control, dan enforcement yang dapat menggambarkan dinamika keberadaan dan pemanfaaatan sumberdaya perikanan baik secara nasional maupun regional.
Kelima mengadakan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negaranegara yang berminat dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia. Kerjasama ini bertujuan saling menguntungkan dan bersama-sama melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal.
Sementara itu, mengenai keberadaan kapal asing di ZEEI, Menteri Fredi Numberi mengeluarkan kebijakan yang membebaskan kapal asing dari ZEEI pada akhir tahun 2007, yaitu untuk kapal Filipina, pemerintah bahkan sudah
menghentikan izinnya mulai 5 Desember 2005 yang lalu. Sementara untuk kapal Thailand akan dihentikan izinnya tahun 2006, dan Cina pada 2007. Namun demikian, terbebasnya perairan ZEEI pada tahun 2007 bukan berarti pemerintah mengusir semua kapal asing, karena pemerintah masih memberi kesempatan kepada mereka untuk berlayar dan mencari ikan di perairan Indonesia. Syaratnya, pemilik kapal-kapal asing itu harus membangun industri perikanan di Indonesia, bekerja sama dengan pengusaha Indonesia. Selain itu, awak kapalnya harus berasal dari Indonesia. Mengenai kebijakan ini, kembali harus kita cermati secara komprehensif, apakah armada tangkap nasional sudah siap mengisi kekosongan armada tangkap asing? Lantas apa yang harus disiapkan saat ini guna menghadapi kekosongan armada tangkap asing tersebut?
E.
Kebijakan Pengendalian Pengelolaan Perikanan Indonesia
Seperti telah dipahami bersama, satu-satunya mekanisme yang tersedia untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan pada suatu tingkat yang diinginkan, setidaknya dalam perikanan tangkap di alam bebas, adalah mengendalikan mortalitas penangkapan dengan cara mengatur banyaknya ikan yang ditangkap, kapan ikan ditangkap serta ukuran dan umur saat ikan ditangkap. Dalam mengatur mortalitas penangkapan ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan, dan masing-masing mempunyai implikasi dan efisiensi yang berbeda untuk pengaturan mortalitas penangkapan, dampak terhadap para nelayan,
kelayakan dari pemantauan, pengendalian dan pengawasan, dan segi lainnya dari pengelolaan perikanan. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatur tangkapan total, yang artinya mengatur mortalitas penangkapan yang dibebankan terhadap suatu stok, yaitu27 : Pertama, langkah teknis, berupa pembatas atau kendali untuk mengatur keluaran yang dapat dicapai dari sejumlah upaya tertentu, umpamanya pembatasan alat tangkap, penutupan penangkapan pada musim dan kawasan tertentu. Dalam bentuk peraturan tersebut di atas, langkah ini umumnya berupaya mempengaruhi efisiensi dari alat penangkapan ikan. Tujuan pembatasan alat tangkap tersebut, diantara yaitu: 1.
Menghindarkan peningkatan kapasitas penangkapan akibat peningkatan efisiensi alat tangkap yang bersangkutan;
2.
Menghindari suatu dampak yang tak dikehendaki yang berkaitan dengan ukuran ikan, spesies bukan komersial atau habitat kritis;
3.
Menghindari pemasukan suatu teknologi baru yang kiranya dapat memodifikasi secara bermakna distribusi hak pengusahaan yang ada, teristimewa jika hal ini melibatkan para peserta baru.
Pembatasan alat tangkap mempunyai peran yang penting dalam mengupayakan pemanfaatan optimal suatu stok atau suatu sumberdaya. Akan
27
Kusumastanto, Tridoyo. 2004. “Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia”. Jakarta.
tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa pembatasan alat tangkap saja tidak dapat digunakan untuk menjamin konservasi. Sebagai tambahan, peningkatan efisiensi suatu armada sering menaikkan biaya penangkapan relatif pada armada lain dan karena itu mungkin menjurus kepada tekanan untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih tinggi untuk mempertahankan tingkat pendapatan. Sementara itu, pembatasan kawasan dan waktu dapat digunakan untuk melindungi suatu komponen dari suatu stok atau komunitas. Pembatasan kawasan dapat memainkan peran yang diperlukan dalam penangkapan yang lestari, khususnya bagi spesies teritorial atau spesies yang hidupnya relatif menetap. Kawasan laut yang dilindungi dapat pula berperan penting dalam mencadangkan habitat kritis atau tahap-tahap hidup yang peka dari suatu spesies. Namun demikian, otoritas pengelolaan perikanan harus memantau upaya yang tersedia, dan pemindahan upaya tangkap dari kawasan tertutup atau musim tertutup ke daerah dan musim terbuka yang tidak melampaui tingkat lestari sumberdaya di daerah terbuka tersebut. Sebagai tambahan dari perannya dalam melestarikan sumberdaya, pembatasan kawasan dan waktu dapat digunakan untuk mengurangi atau menghapus sengketa antara komponen yang berbeda dari sistem perikanan (armada artisanal, industri, dan asing) atau antara mereka dan para pengguna lainnya. Dengan memilah-milah para nelayan atau kelompok lain yang berkepentingan ke dalam penempatan waktu dan ruang yang tepat sesuai dengan sifat penggunaan atau praktek penangkapan mereka, pertemuan antara mereka dapat dikurangi, dengan demikian juga mengurangi besarnya kemungkinan
sengketa. Akan tetapi, pemilahan semacam itu menjurus pada alokasi yang harus dipatuhi,
dan
sengketa
bisa
timbul
jika
alokasi
semacam
itu
tidak
mempertimbangkan pemerataan dan keadilan. Kedua, pengendalian masukan (input control), yang secara langsung mengatur jumlah upaya yang dapat dimasukkan ke dalam suatu perikanan. Pada umumnya,
pengendalian
masukan
lebih
mudah
dipantau
dibandingkan
pengendalian keluaran. Pengendalian masukan (upaya), meliputi pembatasan jumlah unit penangkapan melalui izin yang diterbitkan, pembatasan jumlah unit waktu melakukan penangkapan (kuota upaya individu), dan pembatasan ukuran kapal dan/atau alat tangkap. Permasalahan terbesar dalam penggunaaan pengendalian masukan saja untuk mengatur perikanan terkait dengan permasalahan untuk menetapkan berapa besar upaya sesungguhnya yang diwakili oleh masing-masing unit penangkapan. Bahkan armada yang berciri tersendiri di dalam suatu perikanan dicirikan oleh variasi yang besar dalam ukuran kapal (jika kapal-kapal dilibatkan), sifat dari alat tangkap dan bantuan teknis dan teknologi yang digunakan, mutu perawatan kapal dan alat tangkap, keterampilan dan strategi nahkoda dan faktor lainnya. Perbedaan ini menyebabkan sangat sukar melakukan pengkajian upaya efektif dalam suatu perikanan. Secara teoritis, jika data cukup tersedia, maka memungkinkan menetapkan efisiensi relatif dari tiap kapal dan armada dengan cara membandingkan hasil tangkapan historis per satuan upaya dalam suatu basis data armada.
Dalam
prakteknya, peningkatan efisiensi, menyebabkan kalibrasi tersebut sukar
dilakukan. Hal ini menekankan pentingnya bagi otoritas pengelolaan menyangkut pengumpulan data yang tepat guna tentang hasil tangkapan dan upaya. Jika permasalahan penetapan jumlah upaya yang tepat pada suatu sumberdaya dan perubahan upaya efektif dapat diatasi, maka terdapat beberapa keuntungan dari pendekatan pengendalian upaya dibandingkan dengan cara pengendalian keluaran (tangkapan). Pengendalian upaya mungkin pula diperlukan untuk menghindari permasalahan kapasitas yang berlebih, walaupun telah terdapat pengendalian keluaran. Ketiga, pengendalian keluaran (output control), secara langsung mengatur tangkapan yang dapat diambil dari suatu perikanan dan dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghindari permasalahan yang berkaitan dengan penetapan dan pemberdayaan langkah teknis dan pengaturan upaya tangkap, dengan membatasi langsung faktor yang merupakan perhatian utama, yaitu tangkapan total. Bagaimanapun juga, pengendalian tangkapan juga mempunyai masalah, sebagian besar berkaitan dengan pemantauan dan pengawasan. Pengendalian keluaran (tangkapan) adalah suatu langkah pengelolaan populer bagi perikanan, khususnya untuk perikanan skala besar. Pengendalian keluaran, secara teoritis, memungkinkan perkiraan dan pelaksanaan tangkapan optimal yang akan diambil dari suatu stok dengan suatu strategi permanen yang ditentukan. Adanya informasi yang baik mengenai hasil tangkapan yang sebenarnya dapat mendukung pencapaian tujuan yang diinginkan. Pengendalian tangkapan
biasanya
meliputi
penetapan
suatu
jumlah
tangkapan
yang
diperbolehkan, yang kemudian dilakukan pembagian ke dalam kuota individu menurut armada, perusahaan penangkapan, atau nelayan. Dalam banyak kejadian, perikanan diatur oleh suatu kombinasi yang terdiri atas lebih dari satu langkah pengendalian di atas. Suatu patokan pertimbangan, apapun kombinasi langkah pengelolaan yang digunakan, merupakan keputusan yang membuka atau membatasi akses ke sumberdaya tersebut. Upaya dan kapasitas armada yang berlebihan harus dihindarkan dalam suatu perikanan, karena fakta menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan yang berlebihan
dibandingkan
dengan
yang
diperlukan
dalam
mengakibatkan terjadinya tangkap lebih di WPP tersebut.
suatu
WPP,
Dengan demikian
pembatasan terhadap upaya total yang mempunyai akses ke suatu WPP harus dilakukan.
BAB IV PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tim dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tim menganggap bahwa penelitian ini merupakan studi penjajakan awal terhadap beberapa aspek hukum pemanfaatan zona ekonomi eksklusif dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan Indonesia. Ternyata masalah hukum di bidang perikanan ini sangat komplek. Selama ini pengertian nelayan dianggap sebagian adalah orang yang melakukan pekerjaan sehari-hari di laut yakni di pesisir pantai untuk penghidupannya. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pengertian nelayan mempunyai makna yang bermacam-macam seperti telah diuraikan pada halaman 62, misalnya nelayan penuh, nelayan sambilan, nelayan besar, nelayan kecil, nelayan tradisional,
dan nelayan yang berorientasi pada
keuntungan (commecial fisher) serta nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan ikan maupun jumlah armadanya (industrial fisher). Dalam hal pemanfaatan perikanan khususnya di zona ekonomi eksklusif, hasil penelitian menunjukkan bahwa zona ekonomi eksklusif indonesia belum
begitu dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia. Karena ada banyak faktor yang menyebabkan nelayan
belum memanfaatkan zona ekonomi eksklusif .
Misalnya Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan kondisi internal sumberdaya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Faktor-faktor internal mencakup masalah antara lain: (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan ikan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan (6) gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Faktor eksternal adalah faktorfaktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Faktor-faktor eksternal mencakup masalah antara lain: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan; (5) penegakkan hukum yang lemah terhadap perusakan lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca-tangkap; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non-perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi
musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia. 2. Dalam rangka mengantisipasi pelaksanaan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai pemanfaatan zona ekonomi eksklusif diantaranya UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI; PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI; UU No. 41 Tahun 2004 tentang Perikanan. 3. Setiap negara pantai memiliki hak dan kewajiban di dalam kapasitas legal untuk memanfaatkan potensi perikananya di dalam wilayah hukum nasionalnya. Bagaimanapun juga besar wilayahnya, bisa begitu luas dan jauh, sehingga banyak kapal-kapal asing yang leluasa melakukan kegiatan IUU Fishing (penangkapan ikan tidak legal) tanpa bisa terdektesi oleh pihak yang berwenang dari negara pemilik wilayah itu. Untuk mengatasi hal-hal seperti itu, pemerintah negara memperbaiki dengan melengkapi alat-alat penunjang yang memadai seperti kapal, helikopter, pesawat terbang, satelit dan lain-lain.
B.
SARAN 1. Dalam hal pemanfaatan ZEEI yaitu menentukan jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari Komisi Nasional perlu pengkajian kembali besar JTB yang ditetapkan.
2. Kebijakan pemerintah yang dulu diberikan oleh Menteri Pertanian yang kemudian dilanjutkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dalam membolehkan kapal asing menangkap ikan di ZEEI perlu dikaji kembali, karena beberapa kelemahan terutama dari data statistik yang digunakan dan terbatasnya sistem pengawasan. 3. Dalam mengantisipasi perkembangan penangkapa ikan di zona ekonomi eksklusif indonesia, Pemerintah perlu mengantisipasi pelaksanaan IUU Fishing.
DAFTAR PUSTAKA Copes, P. 1986. Prawn Fisheries Management in South Australia with Specific Reference to Problems in Gulf St. Vincent and Investigator Strait. Technical Report. Departement of Fisheries. Adelide. Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Meijer and M. Ahmed (2003): Fish to 2020. Suppley and Demand in Changing Global Markets. IFPRI Washington D.C. and World fish Center Penang Malaysia. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Buku Statistik Perikanan Indonesia. Jakarta. Feliarta, (Editor) 1998. Strategi Pembangunan Perikanan da Kelautan Nasional dalam Meningkatkan Devisa Negara, UNSRI Press. Hanitijo, Rony. Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan Kedua, 1985. FAO. 1995. Code of Conduct for responsible Fisheries. Roma FAO. Fauzi, Akhmad. 2002. Kredit Perikanan di Indonesia: Suatu Tinjauan Kritis. Bahan Press Release Media Indonesia. Fauzi, Akhmad. 2003. Paradok Kemiskinan Nelayan. Working Paper Jurusan SEI, FPIKIPB. Bogor. Fauzi, Akhmad. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesisi dan Gagasan. Gramedia, Jakarta. Kusnadi (ed). 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan. Bantul. Kusumastanto, Tridoyo. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia, Jakarta. Kusumastanto, Tridoyo et al. 2004. Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia. Jakarta. Masyhuri (ed). 1999. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaahan Sebuah Pendekatan. Puslitbang Ekonomi dan PembangunanLIPI. Pollnac, Richard B. 1998. Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pembangunan Perikanan Berskala Kecil, dalam Cernea Michael, Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi dalam Pembangunan Pedesaan. UI Press. Jakarta. Satria, Arif. 2004. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta.
Suara Pembaruan. 2005. “Izin Kapal Ikan Asing Akan Dihentikan”. 13 Desember 2005 Sinar Harapan. Kawasan Pulau Natuna “Qua Vadis” Dr-Ing. Imam Prayogo, MBA, Jakarta 14 April 2005.
WCED. 1987. Our Common Future. World Environment and Developmen. Oxford University Press. www.dkp.go.id
Peraturan Perundang-undangan Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473a/Kpts/IK.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di ZEEI Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 10/Men/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982) Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.