2. Tinjauan Pustaka 2.1. Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) adalah salah satu tipe fuel cell yang sedang dikembangkan. PEMFC ini bekerja mengubah energi kimia menjadi energi listrik selama reaksi elektrokimia antara bahan bakar hidrogen dan oksigen.
Gambar 2.1 Diagram Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) Pada sistem PEMFC aliran gas hidrogen diantarkan ke sisi anoda dari membran. Pada sisi anoda terjadi reaksi yang menghasilkan proton dan elektron. Reaksi oksidasi setengah sel adalah sebagai berikut: H2 ↔ 2 H+ + 2e-
E0 = 0 V
Proton yang terbentuk dapat dilewatkan melalui membran penukar proton (Polymer Electrolyte Membrane, PEM) ke sisi katoda sedangkan elektron akan dibawa melalui sirkuit eksternal ke sisi katoda. Akibatnya akan muncul arus yang dapat digunakan sebagai energi listrik. Oksigen dialirkan ke sisi katoda, dan pada katoda molekul oksigen bereaksi dengan proton yang dilewatkan oleh PEM dan elektron yang datang kemudian membentuk molekul air. Reaksi reduksi setengah sel dari proses ini adalah sebagai berikut: 4H+ + 4e- + O2 ↔ 2 H2O
E0 = 1,229 V
3
Salah satu yang berperan penting dalam sistem fuel cell adalah membran penukar proton (PEM). Membran tersebut harus dapat melewatkan proton, oleh karena itu karakteristik ideal untuk membran yang digunakan dalam PEMFC adalah membran harus memiliki konduktivitas ion yang tinggi. Selain dapat melewatkan proton, membran juga tidak boleh melewatkan elektron karena dapat menyebabkan short sircuit pada sistem fuel cell. Karakteristik ideal membran yang lainnya adalah membran harus memiliki kestabilan termal yang tinggi, kekuatan mekanik yang memadai, dan yang terakhir membran harus tahan dalam lingkungan tereduksi serta dalam lingkungan teroksidasi(6). PEMFC ini merupakan kandidat utama sebagai suatu sel bahan bakar untuk kendaraan. PEMFC sebagai sel bahan bakar telah dikembangkan di beberapa negara dan sudah dicoba pada beberapa kendaraan. Contoh GM 1966 Electrovan yang merupakan industri otomotif pertama yang membuat suatu kendaraan dengan menggunakan sistem fuel cell dan hidrogen sebagai bahan bakarnya. Electrovan yang beratnya dua kali lipat dari van biasanya dapat bepergian dengan kecepatan 70 mil selama satu jam(6).
2.2. Polistiren Polistiren merupakan sebuah polimer yang dibuat dari monomer stiren, sebuah cairan hidrokarbon yang secara komersial dibuat dari petroleum melalui industri kimia. Polistiren memiliki banyak aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Karena memiliki nilai ekonomis, polistiren banyak digunakan untuk membuat model plastik untuk perlengkapan, peralatan makan, tempat CD, dan masih banyak lagi. Salah satu aplikasi dari polistiren yang berkembang saat ini adalah sebagai membran penukar proton pada sistem fuel cell dengan cara memodifikasi polistiren.
2.2.1.
Polimerisasi Polistiren
Polistiren dapat dibuat dengan reaksi polimerisasi adisi. Reaksi polimerisasi adisi ini didasarkan pada pemutusan ikatan rangkap(2). Polimerisasi adisi merupakan reaksi rantai yang terdiri dari tahap inisiasi, tahap propagasi, dan tahap terminasi(1). Salah satu polimerisasi adisi adalah polimerisasi radikal. Radikal bebas yang dibentuk merupakan dekomposisi suatu material yang tidak stabil yang disebut inisiator. Inisiator yang digunakan pada proses polimerisasi polistiren adalah benzoil peroksida. Radikal bebas yang terbentuk dapat menyerang ikatan rangkap pada stiren sehingga akan membentuk stiren yang teraktivasi dalam bentuk radikal dan terjadi pemutusan ikatan rangkap. Tahapan dari reaksi adisi ini adalah sebagai berikut :
4
1. Inisiasi : pada tahap ini akan terbentuk suatu pusat aktif. Inisiator mengalami dekomposisi dan menjadi sumber radikal, kemudian radikal tersebut bereaksi dengan monomer sebagai awal pertumbuhan rantai. Reaksi dapat dilihat pada Gambar 2.2 O O
O
O
O
C.
2
2
+
CO2
O.
radikal benzoiloksi
radikal fenil
H2C CH C.
+ CH2
CH
+
H2 C
CH
pusat aktif
Gambar 2.2 Tahap inisiasi polimerisasi radikal 2. Propagasi : pada tahap ini pusat aktif bereaksi dengan monomer secara adisi kontinu. Adisi kontinu dari monomer sebagai awal pertumbuhan rantai. Akan terbentuk spesi pusat aktif yang dihasilkan dari monomer stiren.
Gambar 2.3 Tahap propagasi polimerisasi radikal 3. Terminasi : tahap ini merupakan tahap terakhir. Pada tahap ini pusat aktif dinonaktifkan. Dua rantai polimer yang bertumbukan dan mempunyai radikal pada tiap rantainya menglami reaksi kombinasi. RMm* + RMn* Æ RMm+RMn
5
Polimerisasi stiren menjadi rantai panjang dapat terjadi karena terbenuk ikatan antar stiren. Reaksi polimerisasi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Polimerisasi polistiren Susunan rantai dari polistiren berhubungan dengan taktisitas polimer. Taktisitas polimer dibagi menjadi tiga yaitu isotaktik, sindiotaktik, dan ataktik(1).
Gambar 2.5 Taktisitas rantai polimer Taktisitas akan berhubungan dengan kristalinitas polimer. Polimer isotaktik dan sindiotaktik memiliki kristalinitas yang tinggi dibandingkan dengan polimr ataktik. Polimer ataktik cenderung bersifat amorf. Pada polistiren R nya adalah gugus fenil. Berdasarkan kedudukan fenil, terdapat 3 jenis polistiren yaitu(12): 1. Polistiren isotaktik adalah polistiren yang semua gugus fenilnya berada pada satu sisi yang sama. 2. Polistiren sindiotaktik adalah polistiren yang gugus fenilnya berada pada sisi yang berlawanan secara bergantian. 3. Polistiren ataktik adalah polistiren yang semua gugus fenilnya tidak memiliki keteraturan.
6
Gambar 2.6 Taktisitas pada polistiren Polimerisasi radikal tidak dapat diatur sehingga kemungkinan struktur yang mungkin untuk polistiren adalah ataktik. Polistiren sindiotaktik dan isotaktik lebih sulit untuk diproduksi.
2.2.2.
Sifat dan Karakteristik Polistiren
Polistiren merupakan molekul yang kaku dan sukar rusak sehingga ketahanan mekaniknya relatif tinggi. Polistiren merupakan polimer termoplastik, maka polistiren dapat didaur ulang, akan tetapi pemakaian maksimumnya harus lebih rendah dari temperatur lelehnya. Polistiren memiliki struktur yang amorf, artinya susunan rantainya tidak beraturan. Polistiren memiliki nilai temperatur transisi gelas (Tg) = 1050C(2), nilai Tg menunjukkan mobilitas rantai dari polistiren. Jika nilai Tg rendah, maka mobilitas rantai tinggi begitu juga sebaliknya, sehingga untuk polimer yang memiliki nilai Tg tinggi mobilitas rantai polimer akan rendah. Polistiren memiliki nilai Tg yang tinggi, sehingga mobilitas rantainya rendah. Polistiren memiliki kestabilan kimia yang baik dan cukup tahan terhadap alkali, asam halida, agen pengoksidasi, dan agen pereduksi(1).
2.3. Polistiren Tersulfonasi Polistiren dapat diaplikasikan sebagai membran penukar proton karena memiliki kestabilan kimia yang baik dan cukup tahan dalam keadaan teroksidasi dan juga dalam keadaan tereduksi(1), tetapi polistiren masih memiliki karakteristik yang kurang ideal untuk dijadikan
7
membran penukar proton karena polistiren masih memiliki konduktivitas yang rendah. Salah satu karakteristik dari membran penukar proton adalah harus memiliki konduktivitas proton yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan modifikasi terhadap polistiren yaitu dengan memasukkan suatu gugus yang dapat
meningkatkan konduktivitas proton. Salah satu
modifikasi terhadap polistiren adalah dengan menambahkan gugus sulfonat pada struktur rantai polistiren sehingga terbentuk suatu polistiren tersulfonasi.
2.3.1.
Karakteristik Polistiren Tersulfonasi
Polistiren tersulfonasi (PSS) merupakan polimer yang berupa padatan berwarna putih. Adanya gugus sulfonat pada PSS menyebabkan PSS bersifat higroskopis karena gugus tersebut bersifat hidrofil. Gugus sulfonat ini juga mempengaruhi nilai konduktivitas dari PSS. Jika dibandingkan dengan PS, PSS memiliki konduktivitas yang lebih tinggi sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai membran penukar proton(7). PSS memiliki sifat fisik yang berbeda dengan polistiren, diantaranya adalah ketahanan termal dari PSS lebih baik jika dibandingkan dengan PS. Dari analisis termal dengan menggunakan metode differential scanning calorimetry (DSC), menunjukkan bahwa temperatur transisi gelas(Tg) PSS lebih tinggi jika dibandingkan Tg dari PS yang disebabkan oleh adanya interaksi yang kuat dari polimer dengan adanya gugus sulfonat(7).
2.3.2.
Reaksi Sulfonasi Polistiren Tersulfonasi
Reaksi sulfonasi adalah suatu reaksi substitusi atom H dengan gugus ~SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya. Senyawa seperti H2SO4 dan SO3 biasanya digunakan sebagai agen sulfonasi pada beberapa polimer termasuk pada polistiren. Pada penelitian ini polistren akan disulfonasi dengan menggunakan asetil sulfat yang dibuat dengan mereaksikan asam sulfat dengan anhidrida asetat dalam pelarut diklorometana(7) . Gugus sulfonat dari asetil sulfat akan mensubstitusi gugus H pada posisi para. Reaksi sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 2.7.
8
O
O
( H 3C
C
)2 O
+
H 2S O
C H 3C O O H
4
+
H
3C
C
OSO
3
H
(A)
( HC
O
CH 2 )
+
H 3C
C
O
SO 3 H
HC
CH 2
HC
CH 2
+
CH 3COOH
SO 3 H
(B) Gambar 2.7 Reaksi sulfonasi pada polistiren tersulfonasi (A) pembentukkan asetil sulfat, (B) Reaksi sulfonasi polistiren Dari Gambar 2.7 benzena akan mengalami reaksi substitusi nukleofilik kedua dan terjadi pada posisi para karena gugus alkil pada polistiren merupakan suatu gugus pengarah orto dan para. Molekul polistiren merupakan molekul yang meruah sehingga sulit untuk dapat mensubstitusi atom H pada posisi orto. Oleh karena itu substitusi atom H akan terjadi pada posisi para. Hal ini dibuktikan dengan karakterisasi analisis gugus fungsi yang teramati pada puncak spektrum IR yakni adanya puncak serapan pada bilangan gelombang 803 cm-1 yang menunjukkan terjadinya substitusi 1,4 pada polistiren.
2.4. Lignin Lignin adalah senyawa alam yang sangat kompleks, tersusun dari fenilpropana yang berikatan silang satu terhadap yang lainnya. Kompleksitas ini menyebabkan lignin tidak mudah didegradasi di alam. Struktur lignin dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Struktur lignin
9
Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa lignin terdiri dari beberapa senyawa, dan senyawa ini merupakan senyawa kompleks dan bersifat amorf. Karena sangat kompleks, sulit sekali untuk mendeskripsikan lignin yang berada di alam. Lignin dapat tersusun dari beberapa jenis monomer seperti yang ditunjukkan Gambar 2.9(15).
Gambar 2.9 Jenis monomer dari lignin Lignin memiliki gugus OH pada struktur molekulnya, disamping itu lignin memiliki gugus SO3H yang berasal dari proses pembuatan bubur kertas. Adanya gugus ini dapat digunakan sebagai membran penukar proton karena dapat meningkatkan konduktivitas proton membran. Pada pabrik kertas, lignin dibuang sebagai limbah karena dapat membuat kertas menjadi warna kekuningan. Lignin dapat diisolasi dari limbah pabrik kertas dan juga dari proses pulping. Terdapat beberapa macam metode isolasi dari lignin diantaranya adalah dengan menggunakan enzim dan bahan kimia. Metode isolasi lignin telah banyak dilakukan diantaranya berdasarkan hidrolisis selektif dan pelarutan karbohidrat dari limbah pabrik dengan menggunakan enzim selulosa(8). Dalam metode tersebut lignin diendapakan oleh enzim tersebut. Metode lainnya adalah hidrolisis asam lignin dari limbah pabrik kertas. Pada metode ini adanya asam membuat lignin mengendap, karena lignin tidak larut dalam asam. Hal ini dapat terjadi karena adanya pemutusan ikatan kovalen dari lignin akibat hidrolisis lignin dari karbohidrat(8).
2.5. Poliblend Poliblend adalah mencampurkan satu polimer dengan polimer lainya yang sifatnya berbeda. Poliblend ini tidak akan membentuk ikatan kovalen antar molekul yang dicampurkan. Sifat poliblend yang terbentuk akan berada diantara sifat polimer murni yang digunakan dalam
10
pembentukan poliblend. Sifat-sifat baru akan muncul jika molekul penyusun poliblend tersebut dapat berinteraksi antara polimer yang satu dengan polimer lainnya. Terdapat dua jenis poliblend yaitu(12) : 1. Poliblend homogen (miscible). Pada poliblend homogen, polimer yang dicampurkan saling bercampur pada fasa amorf. Sifat poliblend homogen sebanding dengan komposisi polimer penyusunnya. 2. Poliblend heterogen (immiscible polymer blend). Pada poliblend heterogen polimer sama sekali tidak saling campur pada fasa amorf. Film yang terbentuk mengandung dua fasa dari komponen masing-masing. Derajat dispersitas dari masing-masing komponen penyusun tergantung dari metode penyiapan poliblend. Penyiapan poliblend dapat dilakukan dengan metode pelarutan dan metode pelelehan. Metode pelarutan dilakukan dengan melarutkan dua polimer atau lebih hingga dalam suatu pelarut hingga homogen. Larutan polimer tersebut diuapkan pada suhu ruang sehingga akan terbentuk poliblend. Metode pelelehan dilakukan dengan cara mencampurkan dua polimer atau lebih kemudian dipanaskan diatas temperatur transisi gelas sehingga kedua polimer saling bercampur dan akan terbentuk poliblend(12).
2.6. Karakterisasi Karakterisasi polimer bertujuan untuk mengetahui struktur dan sifat dari polimer/poliblend yang telah disintesis. Karakterisasi yang digunakan pada penelitian ini adalah FT-IR, konduktivitas proton, kapasitas penukar ion, derajat penggembungan, sifat mekanik, dan sifat termal.
2.6.1.
Analisis Gugus Fungsi
Analisis gugus fungsi bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. Pengukuran ini didasarkan pada vibrasi gugus fungsi tersebut akibat adanya radiasi infra merah (IR). Radiasi IR merupakan bagian spektrum elektromagnetik antara daerah cahaya tampak dan gelombang mikro. Range IR berada pada 400-4000 cm-1. Setiap ikatan kimia memiliki frekuensi vibrasi masing-masing sehingga akan muncul suatu puncak spesifik pada spektrum IR. Vibrasi molekul ada bermacam-macam. Secara umum ada dua tipe vibrasi molekul yaitu stretching dan bending. Strecthing adalah pergerakan molekul disepanjang sumbu aksis, pergerakan ini seperti jarak interatom yang memanjang dan memendek(5). Vibrasi ini dibagi menjadi dua yaitu vibrasi simetrik dan asimetrik. Bending
11
adalah tipe vibrasi dimana pergerakan molekul yang menyebabkan adanya sudut ikatan antara atom dan pergerakannya. Vibrasi bending juga dibagi menjadi tiga macam yaitu rocking, wagging dan twisting. Dari sekian banyak jenis vibrasi, yang dapat muncul dalam spektrum IR adalah vibrasi yang menyebabkan adanya perubahan momen dipol. Alat yang digunakan untuk analisisi gugus fungsi salah satunya adalah Fourier Transform Infrared Spectrometer (FTIR). Terdapat dua macam metode penyiapan sampel terutama untuk padatan yaitu metode Nujol mull dan metode penyiapan pellet KBr. Metode Nujol mull ini adalah metode penyiapan sampel padatan dengan membuat suatu film tipis dan transparan. Metode penyiapan pellet KBr lebih sering digunakan daripada metode Nujol mull. Pada metode ini sampel yang telah ditambahkan KBr digerus kemudian ditekan hingga terbentuk suatu pelet(5). Spektroskopi IR dapat digunakan sebagai analisis kualiatif untuk mengetahui struktur suatu senyawa. Selain itu, spektroskopi IR juga dapat digunakan sebagai analisis kuantitaif yaitu dengan melihat besarnya intensitas serapan yang menunjukkan kekuatan interaksi antara sinar infra merah dengan vibrasi molekul tersebut.
2.6.2.
Penentuan Berat Molekul
Penentuan massa molekul bertujuan untuk mengetahui massa molekul polimer yang telah disintesis. Ada bermacam-macam teknik penentuan massa molekul yaitu analisa gugus ujung, sifat koligatif, ultrasentrifuga, Gel Permeation Chromatography (GPC), dan viskometri(2) . Metode penentuan massa molekul yang akan dibahas adalah metode viskometri menggunakan viskometer Ostwald. Dalam metode viskometri, polimer dilarutkan kemudian ditentukan nilai viskositasnya. Nilai viskositas akan berhubungan dengan ukuran molekul atau besarnya ruang dalam molekul polimer. Ukuran molekul secara empiris akan berkaitan dengan massa molekul polimer. Viskositas larutan polimer biasanya diukur dengan membandingkan waktu alir pelarut muni dan larutan polimer pada saat larutan mengalir dalam viskometer. Data viskositas merupakan fungsi dari konsentrasi polimer yang dilarutkan hingga mendapatkan konsentrasi larutan polimer yang sangat encer. Perhitungan massa molekul polimer adalah sebagai berikut(2) : ηr atau viskositas relatif yaitu perbandingan viskositas larutan dengan viskositas pelarut.
ηr =
t t 0 …(1) 12
ηsp atau viskositas spesifik yaitu kenaikan relatif viskositas larutan terhadap pelarut.
η sp = η r − 1
…(2)
ηred atau viskositas tereduksi (g/100mL)
η red =
η sp C …(3)
Dibuat aluran η red terhadap C kemudian didapatkan suatu persamaan garis:
η red = [η ] + k ' [η ]2 C …(4) Dari persamaan garis tersebut didapatkan nilai η dan dengan persamaan Mark-Houwink akan didapatkan suatu massa molekul polimer [η] = K.Mva ; K dan a tetapan Mark-Houwink …(5)
2.6.3.
Analisis Uji Mekanik
Tujuan dari analisis uji mekanik adalah untuk mengetahui kekuatan mekanik membran. Pengukuran sifat mekanik biasanya dilakukan dengan memberikan gaya pada membran sampai mengalami perpanjangan dan akhirnya terjadi pemutusan. Salah satu parameter yang penting dalam uji mekanik adalah nilai stress atau kekuatan tarik, strain atau perpanjangan membran saat terjadinya pemutusan, dan modulus Young(10). Kurva pengukuran mekanik dapat dilihat pada Gambar 2.10:
Gambar 2.10 Kurva stress terhadap strain
13
Stress atau kekuatan tarik adalah gaya yang diberikan pada membran hingga terjadi pemutusan. Stress (σ) dapat dihitung dengan Persamaan 6(10):
σ= Dengan
F A … (6)
σ = kekuatan tarik (Kgf/mm2) F = Gaya saat terjadinya pemutusan (Kgf) A = luas penampang (mm2)
Regangan atau perpanjangan membran sampai terjadinya pemutusan (elongation at break) menunjukkan perpanjangan membran ketika diberi suatu gaya sampai mengalami pemutusan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung regangan, ε adalah(10) :
ε=
Dengan
(l − l0 ) ×100% l0 …(7)
ε = regangan dalam % l = panjang akhir (mm) l0 = panjang awal (mm)
Dari nilai stress dan strain dapat dihitung modulus Young atau sifat elastis membran. Modulus Young dapat digunakan sebagai parameter kekakuan membran. Semakin besar nilai modulus Young berarti membran semakin kaku. Nilai modulus Young diperoleh dari rumus berikut :
E= Dengan
σ ε …(8)
E = modulus Young (Kgf/mm2) ε = % regangan σ = kekuatan tarik (Kgf/mm2)
2.6.4.
Analisis Termal
Analisis termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat fisik dan sifat kimia dari suatu material sebagai fungsi dari temperatur. Analisis termal
yang paling utama adalah
thermogravimeric analysis (TGA) yang mengukur perubahan berat dari sampel sebagai fungsi dari temperatur atau waktu. Differential thermal analysis (DTA) mengukur perbedaan
14
temperatur (ΔT) antara sampel dan reference sebagai fungsi dari temperatur(13). Pengukuran DTA dan TGA dapat dilakukan dalam satu peralatan yang sama. Analisis termal TGA dapat mendeteksi efek perubahan berat dari sampel sebagai fungsi dari waktu dan juga dapat mendeteksi temperatur dekomposisi sampel. Analisis termal DTA digunakan untuk mengetahui sifat dari membran seperti transisi polimorfik, titik leleh, transisi gelas, dan lain-lain. Pengukuran menggunakan DTA dan TGA dalam satu alat dapat secara langsung mengetahui perubahan berat dari sampel setiap waktu dan juga dapat mengamati gejala endotermik dan eksotermik dari suatu polimer(13).
2.6.5.
Uji Swelling
Sifat dan karakteristik membran yang penting untuk aplikasi PEMFC adalah harus dapat melewatkan proton. Agar membran dapat melewatkan proton, membran harus dalam keadaan terhidrasi. Akan tetapi banyaknya air dalam membran juga tidak boleh berlebihan karena dapat menyebabkan terjadinya suatu cross over gas atau metanol. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis untuk mengukur kemampuan membran untuk menyerap air. Analisis yang digunakan adalah uji swelling. Pada uji ini membran akan direndam dalam aqua dm selama satu hari, kemudian berat membran basah dan membran kering ditimbang. Besarnya swelling yang didapatkan dapat dihitung dari persamaan 9 : % swelling = (( Wbasah – Wkering)/ Wkering) x 100% …(9) Wbasah adalah massa membran saat basah (gram), Wkering adalah massa membran saat membran kering(9).
2.6.6.
Kapasitas Penukar Ion (IEC)
Kapasitas penukar ion (IEC) mengindikasikan seberapa banyak gugus pada polimer yang mampu untuk menukarkan ion dan mampu untuk mentransferkan proton. Hal ini secara tidak langsung berhubungan dengan besarnya nilai konduktivitas proton dari membran. Semakin banyak gugus yang mampu menukarkan ion maka nilai IEC akan semakin baik. Nilai IEC didapatkan dari persamaan 10 : IEC (mmol/gram) = ((nHCl,i – nHCl,f) x )/ Wmembran ...(10) IEC dalam satuan meq/gram, nHCl,i adalah mmol HCl tanpa membran (standar), nHCl,f adalah mmol HCl dengan membran, Wmembran adalah massa membran dalam gram.
15
2.6.7.
Konduktivitas Proton
Konduktivitas proton ini adalah kemampuan membran untuk melewatkan proton. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada uji swelling bahwa untuk menghantarkan proton membran harus dalam keadaan terhidrasi. Dengan adanya molekul air, proton dapat bergerak dari gugus satu ke gugus lainnya karena adanya transfer proton melewati molekul air yang berada disekitar gugus hidrofil. Pengukuran konduktivitas sangat bergantung pada alat yang digunakan. Nilai konduktivitas dapa ditentukan dengan Persamaan 11. σ (S/cm) = l / (A x R) ...(11) l adalah ketebalan dari membran (cm), A adalah luas permukaan membran ( cm2) dan 1/R adalah nilai hantaran yang didapat (S).
16