2
Tinjauan Pustaka
2.1 Fuel Cell Sel bahan-bakar (Fuel Cell) mengkonversi energi kimia secara langsung ke dalam tenaga listrik dengan efisiensi tinggi dan menghasilkan emisi yang rendah sebagai polusi. Hal ini yang menjadikan sel bahan bakar sebagai alternatif sumber energi dan perkembangan ekonomi bahan bakar hidrogen. (Haile, 2003) Fuel cell menggunakan reaksi kimia, lebih baik daripada mesin pembakaran dalam memproduksi energi listrik. Istilah fuel cell sering dikhususkan untuk sistem hidrogenoksigen fuel cell. Prosesnya merupakan kebalikan dari elektrolisis. Pada elektrolisis, arus listrik digunakan untuk menguraikan air menjadi hidogen dan oksigen. Dengan membalik proses ini, hidrogen dan oksigen direaksikan dalam fuel cell untuk memproduksi air dan arus listrik. (Berita iptek, 2007) Konversi energi fuel cell biasanya lebih effisien dari pada jenis pengubah energi lainnya. Efiensi konversi energi dapat dicapai hingga 60-80%. Keuntungan lain fuel cell adalah mampu menyuplai energi listrik dalam waktu yang cukup lama. Tidak seperti baterai yang hanya mampu mengandung material bahan bakar yang terbatas, fuel cell dapat secara kontinu di isi bahan bakar (hidrogen) dan oksigen dari sumber luar. Fuel cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polutan dan dapat digunakan terus-menerus jika ada suplai hidogen yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.(Fuel cell.org, )
2.1.1
Sejarah dan perkembangan fuel cell
Kemajuan teknologi yang diiringi dengan kebutuhan masyarakat akan perlunya penghematan energi menyebabkan fuel cell menjadi idola dalam setiap penelitian. Perkembangannya pun begitu
pesat,
meskipun
teknologi
fuel
cell
ini
merupakan
teknologi
tua.
Dimulai pada pertengahan abad 18 tepatnya pada tahun 1839, Sir William Grove mendemonstrasikan pertama kali fuel cell yang menggunakan elektroda platinum serta larutan asam sulfat sebagai elektrolit. William White Jaques menggantikan asam posfor sebagai elektrolitnya. Pada 1960-an, akhirnya fuel cell ditemukan untuk keperluan NASA yang mengadopsi sel bahan-bakar yang bersifat alkali sebagai sumber tenaga dan persediaan selama penerbangan angkasa luar (Haile, 2003). Pada tahun 1959 seorang insinyur berkebangsaan Inggris bernama Francis Thomas Bacon telah berhasil mengembangkan fuel cell berkapasitas 5 kW. Fuel cell ciptaannya bekerja dengan sistem Alkaline Fuel Cell dengan elektroda logam porous (berpori) dan merupakan prototype pertama fuel cell ruang angkasa milik NASA. Penemuannya ini memungkinkan manusia pergi ke bulan pada tahun 1968. Penggunaan fuel cell juga mulai dikembangkan ke arah otomotif. Pada tahun 1970, K. Kordesch membuat fuel cell hidrogen untuk kendaraan hibrid dengan kapasitas empat orang yang beroperasi selama tiga tahun di lalu lintas kota. Sistem-sistem lain pun mulai dikembangkan, seperti sistem Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) pada tahun 1980-an dan Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) pada tahun 1990-an. Selain SOFC, pada tahun 1990-an juga berkembang sistem Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC). Sebenarnya sistem ini sudah ada sejak tahun 1960-an tetapi karena tidak banyak terlibat dalam proyek ruang angkasa maka sistem ini kalah bersaing dengan sistem alkali. Penelitian jenis membran dan katalis menunjukkan rapat energi yang dihasilkan besar dan tahan lama, tetapi kendala yang muncul adalah harga membran dan sistem pembuangan panas serta air yang mahal (Mia, 2007).
2.1.2
Prinsip kerja fuel cell
Satu unit fuel cell terdiri dari 2 elektroda dan elektrolit yang berperan sebagai membran. Seperti terlihat pada Gambar 2.1 pada anoda, H2 (g) dialirkan, sedangkan oksigen atau udara dialirkan ke bagian katoda, kemudian platina (Pt) yang terkandung pada anoda akan bekerja sebagai katalis, yang dapat memecah atom hidogen menjadi elektron dan proton. Kemudian, ion H+yang terbentuk akan melewati elektrolit, sedangkan elektron tetap tertinggal di anoda. Pada katoda, oksigen dialirkan, ion H+ yang melewati elektrolit akan berikatan dengan oksigen menghasilkan air dengan bantuan platina yang terkandung pada katoda sebagai katalis. Reaksi ini akan berlangsung jika ada elektron. Pada anoda, elektron tertinggal, sedangkan pada katoda membutuhkan elektron. Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah penghantar listrik, maka akan terjadi pengaliran elektron dari anoda ke katoda, sehingga terdapat arus listrik. Elektron yang mengalir ke katoda akan bereaksi dengan proton dan oksigen pada sisi katoda dan membentuk air.
Gambar 2.1 Sel tunggal suatu sistem fuel cell (Renewable energy policy project, 2002) Reaksi yang terjadi : Anoda
: H2 Æ 2H+ + 2e-
Katoda
: 1/2O2 + H+ + 2e- Æ H2O
Total reaksi : 2H2 + O2 → 2H2O
2.1.3
Tipe-tipe fuel cell
Perkembangan sel bahan bakar (fuel cell) memunculkan berbagai tipe fuel cell. Berdasarkan atas perbedaan elektrolit yang digunakan, fuel cell dapat dibagi menjadi 4 tipe. Keempat tipe tersebut, suhu dan skala energi yang dihasilkan pun berbeda. Keempat tipe tersebut dapat dikategorikan menjadi 2, berdasarkan perbedaan suhu kerja, yaitu yang bekerja pada suhu tinggi dan pada suhu rendah, diantaranya tipe pada suhu tinggi adalah MCFC (Molten Carbonate Fuel Cell) dan SOFC (Solid Oxide Fuel Cell). Kedua tipe ini berkerja pada suhu 500-10000 C. Sedangkan untuk tipe suhu rendah adalah PAFC (Phosphoric acid Fuel Cell) dan PEFC (Proton Exchange Membrane Fuel Cell). Pada kedua tipe ini, berkerja pada suhu dibawah 2000C. Penjelasan lebih lanjut dapat terlihat di bawah ini : 1. MCFC (Molten Carbonate Fuel Cell)). Fuel cell ini sangat sesuai digunakan untuk pembangkit tenaga listrik berskala besar. Suhu operasinya sekitar 600oC, lebih rendah daripada SOFC. Elektrolit yang digunakan adalah
7
garam karbonat (Li2CO3, K2CO3, dll) dalam bentuk larutan. Pada suhu tinggi, kecepatan reaksi bisa berlangsung cepat, sehingga tidak diperlukan katalis (Pt). Namun pada suhu tinggi pula, diperlukan bahan yang mempunyai durability bagus dan tahan akan korosi.
Gambar
2.2
Skema Kerja dari Molten Carbonat Fuel Cell (Renewable Energy Technologies,2002)
Reaksi yang dapat terjadi : Anoda
: H2 + CO32- → H2O + CO2 + 2eCO + CO32- → 2 CO2 + 2e-
Katoda
: O2 → 2 CO2 + 4e- → 2 CO32-
2. SOFC (Solid Oxide Fuel Cell), Suhu Operasi 10000C, dengan keramik padat (misal, ZrO2) sebagai elektrolitnya. Keunggulan pada tipe ini adalah waktu untuk mengaktifkannya cukup cepat dan bisa diterapkan dalam skala kecil. Fuel cell ini sangat sesuai digunakan untuk pembangkit tenaga listrik berskala besar, sehingga dapat menyediakan listrik untuk pabrik maupun sebuah kota. Suhu operasinya yang sangat tinggi (sekitar 1000oC) memang menjadi masalah tersendiri, tetapi uap dari fuel cell ini dapat digunakan untuk menggerakkan turbin dan membangkitkan listrik secara efisien. Namun karena harga elektroda platina yang cukup mahal, maka kedua tipe fuel cell ini mulai ditinggalkan.
8
Gambar 2.3 Skema Kerja SOFC (Renewable Energy Technologies,2002) Reaksi yang terjadi : Anoda :
H2 + O2- → H2O + 2eCO + O2- → CO2 + 2e-
Katoda :
O2 + 4e- → 2O2-
Total Reaksi : O2 + H2 + CO → H2O + CO2 3. PAFC (Phopshoric Acid Fuel Cell ), Fuel cell ini sangat potensial digunakan untuk pembangkit tenaga listrik berskala kecil .Suhu operasinya 2000C, dan menggunakan asam fosfat (H3PO4) sebagai elektrolitnya. Ditemukan pada tahun 1967, dan sejak tahun 1980-an , di Jepang dan Amerika mulai dipergunakan pada hotel, rumah sakit, dan lain-lain. Menggunakan reforming untuk mendapatkan bahan bakar hidrogen dan menghasilkan produk samping CO2(g). Sistem operasinya sama dengan PEM .
9
Gambar 2.4 Skema Kerja dari PAFC(Renewable Energy Technologies,2002) Reaksi yang dapat terjadi : Anoda : H2 →
2H+ + 2e-
Katoda :
O2 + 4H+ + 4e- → 2H2O
Reaksi total :
2H2 + O2 →2H2O
4. PEFC (Proton Exchange Fuel cell ) atau sering disebut juga sebagai PEM (Proton Exchange Membran ) Fuel cell jenis ini menggunakan membran padat sebagai elektrolit untuk menghantarkan proton. Karena menggunakan lapisan tipis membran polimer, ukuran secara kesulurahan sangatlah kecil ..PEMFC paling sering digunakan karena lebih efisien dan suhu operasinya rendah, yaitu sekitar 80°C (176°F). Rendahnya suhu operasi ini menyebabkan rendahnya waktu pemanasan (warm-up time). Selain itu, pada fuel cell ini tidak dipakai fluida yang bersifat korosif seperti pada jenis fuel cell lainnya. Dewasa ini, penggunaan fuel cell tipe ini sudah cukup luas digunakan, mulai dari mobil hingga telepon seluler.
10
Gambar 2.5 Skema Kerja dari PEMFC(Renewable Energy Technologies,2002) Reaksi yang dapat terjadi : Anoda :
CH3OH + H2O → CO2 + 6H+ + 6e-
Katoda :
6H+ + 3/2 O2 + 6e- → 3H2O
Reaksi total :
CH3OH + H2O + 3/2 O2 → CO2 + 3H2O
5. AFC (Alkaline Fuel Cell) . Fuel cell ini adalah jenis yang tertua. AFC digunakan pada pesawat luar angkasa Amerika Serikat sejak 1960-an.
AFC sangat mudah terkontaminasi, sehingga memerlukan gas
hidrogen dan oksigen murni. Fuel cell jenis ini harganya sangat mahal, sehingga tidak cocok untuk dikomersialkan .Kekurangannya terletak pada reaksinya yang lambat karena suhu operasi yang rendah.
Gambar 2.6 Skema Kerja dari PAFC(Renewable Energy Technologies,2002)
11
Reaksi yang dapat terjadi : Anoda : H2 + 2OH- → 2 H2O + 2eKatoda :
½O2 + H2O + e- v→ 2OH-
Reaksi :H2 + ½O2 → H2O Beberapa karakterisasi umum dari tipe-tipe fuel cell diatas dapat terlihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Aplikasi fuel cell dalam sistem H2/O2.
2.1.4
Kelebihan fuel cell
1. Tidak Mengeluarkan Emisi Berbahaya (Zero Emission). Sebuah sistem fuel cell hanya akan mengeluarkan uap air apabila memakai hidrogen murni. Tetapi ketika memakai hidrogen hasil dari reforming hidrokarbon/fosil (misal: batu bara, gas alam, dll) maka harus dilakukan uji emisi untuk menentukan apakah sistem tersebut masih dapat dikategorikan zero emission. Menurut standar yang dikeluarkan United Technologies Corporation (UTC) pada tahun 2002, maka sebuah sistem fuel cell dapat dikategorikan zero emission ketika mengeluarkan emisi pencemar udara yang sangat rendah, dengan kriteria sebagai berikut: NOx =< 1 ppm, SO2 =< 1 ppm, CO2 =< 2 ppm.
Tabel 2.2. Emisi Pencemar Udara dari Jenis-Jenis Fuel Cell (Bluestein, 2002)
Catatan: PEM (Polimer Electrolyte Membrane), PAFC ((Posporic Acid Fuel Cell), SOFC (Solid Oxide Fuel Cell), MCFC (Molten Carbonate Fuel Cell), 1 lb (pon) = 0,45 kg).
12
Selain itu, sistem ini juga tidak mengeluarkan suara (tidak berisik), kecuali suara dari beberapa peralatan pendukung seperti pompa, kipas, kompresor, dll. 2. Efisiensi Tinggi (High efficiency) Oleh sebab fuel cell tidak menggunakan proses pembakaran dalam konversi energi, maka efisiensinya tidak dibatasi oleh batas maksimum temperatur operasional (tidak dibatasi oleh efisiensi siklus Carnot). Hasilnya, efisiensi konversi energi pada fuel cell melalui reaksi elektrokimia lebih tinggi dibandingkan efisiensi konversi energi pada mesin kalor (konvensional) yang melalui reaksi pembakaran.( Anna, 2004)
Gambar 2.7 Perbandingan efisiensi fuel cell dengan msin knvensional. 3. Reduksi Transformasi Energi Ketika fuel cell digunakan untuk menghasilkan energi listrik maka fuel cell hanya membutuhkan sedikit transformasi energi, yaitu dari energi kimia menjadi energi listrik. Bandingkan dengan mesin kalor yang harus mengubah energi kimia menjadi energi panas kemudian menjadi energi mekanik yang akan memutar generator untuk menghasilkan energi listrik. Fuel cell yang diaplikasikan untuk menggerakkan motor listrik memiliki jumlah transformasi energi yang sama dengan mesin kalor, tetapi transformasi energi pada fuel cell memiliki efisiensi yang lebih tinggi.( Matthew et.al, 2001; David Keenan et.al., 2004).
13
Fuel cell :
Baterai :
Mesin kalor :
Gambar 2.8
Tansformasi energi untuk pengeluaran energi mekanik.
2.2 Direct Metanol Fuel Cell (DMFC) Direct Methanol Fuel Cell atau sering dikenal sebagai Proton Exchange Membrane Fuel Cell karena menggunakan prinsip kerja yang sama .DMFC menggunakan larutan metanol sebagai sumber hidrogen. DMFC bekerja dengan membuat potensial termodinamika yang dihasilkan dari reaksi kimia antara metanol dan air . DMFC menghasilkan energi listrik selama proses berlangsung, tanpa adanya pembakaran dan tanpa harus mengubah cadangan bahan bakar menjadi hidrogen atau melepaskan gas hidrogen melewati PEM. Keuntungan dari DMFC ini bila dibandingkan dengan baterai adalah alatnya sederhana, dapat dilakukan pengisian ulang bahan bakarnya tanpa harus mencharge ulang. Jadi perannya adalah menghasilkan energi listrik selama bahan bakarnya masih ada.
14
Gambar 2.9 Skema sel Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) Proton exchange membrane fuel cell mengubah energi kimia yang di bebaskan selama reaksi elektrokimia dari hidrogen dan oksigen menjadi energi listrik, kebalikan dari pembakaran langsung hidrogen dan oksigen untuk menghasilkan energi panas. Uap hidrogen dihantarkan ke sisi anoda dari MEA. Pada sisi ini terjadi pemisahan secara katalitik menghasilkan proton dan elektron . Setengah reaksi hasil oksidasi terlihat pada rekasi berikut ini :
Eo = 0V Proton yang terbentuk kemudian menembus ke dalam polimer membran pada bagian sisi katoda. Elektron yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui sirkuit luar dari MEA dan menghasilkan energi. Disamping itu, uap oksigen di hantarkan ke sisi katoda dari MEA, pada sisi katoda, molekul oksigen ditangkap dengan proton yang terserap oleh membran, lalu elektron berjalan di sirkuit luar untuk membentuk molekul air. (Silvab et.al ,.2005) Setengah reaksi yang terjadi adalah :
Eo = 1.229V
15
2.3 Kitin 2.3.1
Sumber kitin
Kitin berasal dari bahasa Yunani chiton yang berarti baju atau jubah. Seperti selulosa pada tumbuhan, kitin berperan sebagai bahan penguat dinding sel hewan dan tumbuhan tingkat rendah yang makanannya kaya akan protein. Kitin adalah salah satu polisakarida di dalam unit dasar suatu gula amino. Polisakarida ini adalah suatu structural unsure yang memberikan kekuatan mekanik organisme. Kitin banyak terdapat pada dinding jamur dan ragi, lapisan kutikula dan exoskeleton hewan invertebrata seperti udang, kepiting dan serangga. (Mathur, 1990) Bahan-bahan yang terdapat dalam cangkang ini adalah kitin (15 40%), protein (20 - 40%) dan kalsium karbonat (20 – 50%) (Johnson,
1982). Kitin
komersial biasa diproduksi dari kulit kepiting dan udang yang merupakan limbah industri makanan laut. Kulit-kulit ini terdiri dari tiga komponen besar yaitu protein, mineral dan kitin. Meskipun kitin terdapat dalam berbagai hewan dan tumbuhan (Jamur, Ganggang, Protozoa, Cnidaria, Aschelminthes, Endoprocta, Bryozoa, Phoronida, Brachiopoda, Echiurida, Annelida, Mollusca, Onychophora, Arthropoda, Chaetognatha, Pogonophora, dan Tunicata), cangkang hewan Arthropoda adalah sumber utama kitin (14 Pigmen dan garam logam lainnya juga terkandung dalam cangkang tetapi jumlahnya sedikit. (Austin et al., 1981; Allan et al., 1979) .Tabel 2.3 menampilkan jumlah kitin dan kalsium karbonat yang terdapat dalam hewan dan tumbuhan. Tabel 2.3 Sumber kitin Sumber
Kitin (%) CaCO (%)
Kulit Kepiting
15 – 30
40 – 50
Kulit Udang
30 – 40
20 – 30
Kulit Krill
20 – 30
20 – 25
3
“Tulang” Cumi-cumi 20 – 40
*
Kulit Kerang
3–6
85 – 90
Kulit Serangga
5 – 25
*
Dinding Sel Jamur
10 – 25
*
Di alam kitin ditemukan dalam kondisi terikat silang dengan komponen struktural lainnya. Serat-serat kitin digabung dengan gula, protein, glikoprotein, dan proteoglikans untuk
16
membentuk fungal septa dan dinding sel selaput antropoda dan matriks selaput perut, khususnya pada udang dan serangga
(Kozloff, 1990). Pada binatang, kitin bergabung
dengan protein , dimana dinding sel bergabung dengan glukan, mannans dan polisakarida. Di dinding sel jamur, terikat secara kovalen dengan glukan, secara langsung ataupun melalui ikatan peptida (Roberts, 1992). Di serangga dan vertebrata lainnya, kitin selalu bergabung dengan protein spesifik, baik secara kovalen maupun non-kovalen untuk membangun struktur. Perbedaannya juga terletak pada variasi derajat interaksi dengan molekul fenolik maupun lipid. Material organik yang terdapat di dalam dinding mengandung kitin dan protein lainnya. (Gambar 2.10) Di dalam kutikula, rantai kitin terdapat pada bagian dalam, dan berbentuk rantai kristalin yang panjang. Protein globular tersusun secara helix dan mengelilingi kristal kitin. (a), Unit kitin-protein di urutkan dalam bentuk serat dengan perbedaan diameter dimana kristal kitin terlihat seperti balok , terselubungi oleh protein (b). Serat protein-kitin tersusun secara horizontal dan paralel dalam bentuk lembaran-lembaran yang berotasi (c) lapisan ini tersusun dengan ketebalan yang bervariasi (Giraud, 1998).
Gambar 2.10 Level Hierarki pada matrik chitin-protein pada kutikula crustacean. (a) kristal kitin yang dikelilingi oleh protein (b)serat-serat (c) skema serat yang tersusun secara horizontal dan parallel. ( Aslak, 2007) Kitin dapat diperoleh secara biosintesis melalui polimerisasi dari monomernya Nglukosamin dengan bantuan katalis asam dan enzim kitin synthase, yang termasuk golongan glycosyltransferases. Polimerisasi ini melibatkan UDP–N-asetilglukosamin sebagai substrat dan divalent cations sebagai co-faktor (Merzendorfer, 2006).
17
2.3.2
Struktur dan sifat kimia
Kitin,poli-β(1→4)-N-asetil-D-glukosamin), terlihat pada Gambar 2.11 .
Gambar 2.11 Struktur Kitin Kitin merupakan polimer alam terbanyak kedua setelah selulosa (Brugnerottoa, 2001; Agboh, 1996). Berdasarkan strukturnya terdapat kemiripan antara selulosa, kitin serta kitosan. (Gambar 2.12)
Gambar 2.12 Perbedaan kitin, sellulosa, dan kitosan, terletak pada karbon nomor 2. Seperti terlihat pada gambar di atas, perbedaannya hanya terletak pada atom karbon nomor 2 (C-2). Pada selulosa terdapat gugus hidroksi (-OH), kitosan terdapat gugus amina (NH2), sedangkan pada kitin terdapat gugus asetamida (-NHCOCH3 ). (Gooday, 1990) Di alam kitin memiliki struktur yang kristalin dan ditemukan berada dalam 3 bentuk polimerik allomorf, yaitu dalam bentuk α, β dan γ-kitin (Rinaudo, 2006 ; Rudall, 1973) Ketiga struktur berbeda dalam hal penataan rantai pada daerah kristalin dan hal ini dapat terlihat dengan menggunakan spektroskopi inframerah, spektroskopi NMR dengan difraksi sinar X.(Gambar 2.13).
18
Gambar 2.13 Struktur kristal α-kitin pada berbagai bidang kisi kristal (Rinaudo, 2006)
Gambar 2.14 Struktur anhidrat β-kitin (Rinaudo, 2006) Sedangkan dalam penggambaran bentuk lain :
Gambar 2.15 Pengaturan rantai polimer pada ketiga struktur kitin .( Aslak, 2007)
19
Ketiga variasi struktur tersebut berbeda dalam hal derajat hidrasinya, ukuran unit sel, dan jumlah rantai kitin untuk setiap unit sel . α-chitin sangat kristalin, tersusun secara antiparalel, (Carlsstrom, 1957). β-chitin rantainya tersusun secara paralel, sedangkan pada γ-chitin, dua dari 3 rantainya adalah paralel dengan rantai ketiga pada arah yang berlawanan. Distribusi ketiga struktur di alam tidak bergantung kepada taksonomi, tetapi pada karakteristiknya. αchitin sangat banyak ditemukan di alam . (Rudall, 1973) dan β, γ-chitin terlihat lebih keras, lentur, bermotif, dan memiliki fungsi psikologis, selain fungsi struktural. (Muzzarelli, 1977) Interaksi kitin dengan air , seperti terlihat pada Gambar 2.16
Gambar 2.16 Ikatan hidrogen secara intramolekul pada struktur kitin Jika kitin diproses selanjutnya menggunakan larutan basa pekat dengan suhu tinggi maka akan dihasilkan produk baru yaitu kitosan, poli-(1→4)-2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa. Proses ini disebut juga dengan proses deasetilasi. Kitosan alami juga terdapat pada beberapa spesies jamur tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Kitosan komersial lebih banyak diproduksi dari proses deasetilasi kitin. Secara kimiawi, kitin merupakan polimer yang dapat dicerna oleh mamalia, sedangkan kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer dari D-glukosamin. Perbedaan antara keduannya berdasarkan kandungan nitrogennya. Bila nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin, dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.
Gambar 2.17
Struktur 2-amino-2-deoksi-D-glukosa (glukosamin) dan struktur 2asetamido-2- deoksi-D-glukosa (N-asetilglukosamin)
20
Kitin terdiri dari sebuah rantai panjang dari N-asetilglukosamin dan berisi campuran murni 6,9 % nitrogen, sedangkan kitosan merupakan polimer dari glukosamin. Proses polimerisasi melibatkan reaksi hidrolisis dengan katalis asam, depolimerisasi ikatan glikosidik, dan deasetilasi ikatan N-asetil untuk menghasilkan kitosan (Novikov et al., 1997). Sedangkan Nasetilglukosamin, minor produk, yang diperoleh dari asetilasi glukosamin menggunakan anhidrida asetat (He et al., 2001), dan hidrolisis kitin secara enzimatik (Fernandez,2004).
2.4 Kitosan 2.4.1
Struktur dan sifat kimia
Kitosan adalah suatu polisakarida yang bermuatan positif ,mengandung rantai lurus Dglukosamin dan residu N-asetil-D-Glukosamin yang diikat dengan ikatan β-(1→4) glikosidik (Aslak, 2007). Kitosan merupakan senyawa turunan dari kitin, yang banyak terdapat pada rangka luar dari insektisida, krustakea dan jamur. Kitosan diperoleh dengan cara mendeasetilasi kitin dengan menambahkan suatu senyawa alkalin. Kitosan merupakan bahan dasar suatu polielektrolit yang mengandung gugus aktif amino dan gugus hidroksi, serta membran kitosan banyak digunakan sebagai bahan molekul transpor aktif suatu anion didalam larutan. (Aslak, 2007). Penelitian tentang kitosan sudah banyak dilakukan, hal ini terlihat dengan banyaknya manfaat yang dapat diambil dari sintesis kitosan diantaranya sebagai dietary supplements, pengolahan air, penyajian makanan, bidang pertanian, kosmetik, kertas, dan aplikasi medis (Sandford, 2002). Kitosan memiliki sifat mudah terdegradasi, biocompatible, tidak beracun dan memiliki aktivitas anti bakteri, serta mudah diperoleh (Kumar, .2000). Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan adanya gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat. Adanya gugus tersebut nmenyebabkan kitosan mempunyai reaktivitas kimia yang tinggi dan penyumbang sifat polielektrolit kation. Sehingga dapat berperan sebagai amino pengganti (amino exchange) (Carroad, 1987). Selain itu, sifat biologi yang dimiliki kitosan antara lain (i) bersifat biocompartible, artinya sebagai polimer alam sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable). (ii) dapat berikatan dengan sel mamalia dan milkroba secara agresif, (iii) mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan tulang, (iv) bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolestreol (v). Berdasarkan sifat diatas, maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spon, larutan, gel, pasta, membran, dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya. Struktur kitosan dapat terlihat pada Gambar 2.18
21
Gambar 2.18 Struktur unit kitosan : (kanan) D-glukosamin , (kiri) Unit N-acetil –Dglukosamin
Gambar 2.19 Struktur polimer kitosan Kitosan memiliki struktur yang linier, sepasang polisakarida yang mengandung ikatan Nasetilglukosamin (unit-A) dan ikatan glukosamin (unit- D). Secara industri, kitosan diperoleh dengan mendeasetilasi kitin dengan alkali . (Hirano, 1996). Kitosan yang diperoleh secara homogen dari deasetilasi kitin menghasilkan variasi distribusi unit A- dan unit D (Vårum et al., 1991a., 1991b). Secara komersial, kitosan memiliki berat molekul yang besar dengan FA= 0-0.2, kelarutannya terbatas, hanya pada pH dibawah nilai pKa 6,5 , karena pengaruh unit D (Anthonsen, 1995) . Dimana polisakarida (unit D) akan menjadi muatan positif yang tinggi. Meskipun demikian , jika berat molekul yang diperoleh berkisar nilai FA = 0.4-0.6, akan sangat larut di dalam larutan dengan pH netral (Sannan et.al., 1976). Struktur kitosan dalam bentuk padatan adalah polimer semikristalin. Kristal tunggal diperoleh dengan deasetilasi penuh dari kitin dengan berat molekul yang rendah. (Cartier, 1990). Kitosan merupakan polimer kationik dengan adanya gugus amina yang dapat terprotonasi dalam air. Sehingga bermuatan
positif yang memberikan kemampuan dapat mengikat
muatan negatif yang berada di sekelilingnya seperti lemak, kolesterol, ion logam, protein, dan makromolekul (Li et al., 1992).
22
Gambar 2.20 Interaksi hidrogen intramolekuler pada kitosan
2.4.2
Aplikasi kitosan
Kitosan mempunyai gugus aktif amina bebas dan hidroksil. Dengan adanya gugus-gugus ini maka kitosan dapat dimodifikasi menjadi berbagai produk. Modifikasi yang dapat dilakukan adalah alkilasi, sililasi, tosilasi, pembentukan garam kuartener, sulfatasi, fosforilasi, dan tiolasi (Kurita, 2006 ; Wan, 2006). Kitosan juga dapat dimodifikasi dengan cara di-blend dengan polimer lain seperti poli (vinil alkohol) (Smitha, 2005) dan poli (asam akrilat) (Smitha, 2004). Modifikasi lainnya adalah dengan menambahkan crosslinker seperti glutardialdehid dan epiklorohidrin sehingga terbentuk ikatan silang antara rantai polimer kitosan (Wan Y et.al, 2003 ; Wan Y et.al, 2005). Berikut ini beberapa aplikasi kitosan beserta turunannya . Tabel 2.4 Aplikasi Kitosan beserta turunannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13
Bidang Agrikultur Fotografi Kosmetik Kulit Buatan Opthalmology Pengolahan Limbah Kertas Baterai Padat Drug Delivery Pengolahan air dan limbah Makanan Biofarmasi
Keterangan Stimulus pertumbuhan tanaman, nutrisi tanaman, Pembentukan film Sebagai pelarut, sering digunakan dalam krim dan lotion. Sebagai kulit buatan untuk menutupi luka bakar Bahan lensa kontak Sebagai koagulan dan chelating agent Zat aditif pada kertas Sebagai konduktor proton Drug delivery dalam bentuk tablet dan gel Mengurangi bau busuk Mengikat lipid(mengurangi kolesterol) Imunologis, hemostatik, dan antikoagulan
23
2.5 Tetraetilortosilikat (TEOS) TEOS berwujud cair pada temperatur ruang dengan nama lengkap tetraethylorthosilikat. TEOS memiliki sifat nonpyrophoric, noncorrosive .TEOS dapat mengalami proses sol-gel karena mengandung elemen logam alkoksida yang sangat bermanfaat dalam pembentukan membran film. TEOS ekivalen dengan tetra-ethoksi-silan:
Gambar 2.21 Struktur TEOS TEOS dapat mengalami reaksi hidrolisis langsung dalam kondisi asam . membentuk gugus silanol (Si – OH). Dan juga dapat membentuk jembatan Si –O- Si melalui reaksi kondensasi
2.6 Membran 2.6.1
Pengertian dan klasifikasi
Membran merupakan lapisan tipis semipermeabel yang berada di antara dua fasa yaitu fasa umpan dan fasa permeat. Fasa umpan atau konsentrat mengandung komponen yang tertahan sedangkan fasa permeat mengandung komponen yang lolos melalui membran. Pemisahan dicapai karena membran mempunyai kemampuan untuk melewatkan suatu komponen, yang ukurannya lebih kecil dari pori membran pada fasa umpan lebih baik daripada komponen lain yang ukurannya lebih besar dari pori membran. Ini mungkin terjadi melalui mekanisme yang bervariasi. Kinerja atau efisiensi membran ditentukan oleh dua parameter yaitu selektifitas dan laju alir (fluks) melalui membran (Mulder, 1996).
24
Gambar 2.22 Skema umum membran (Mulder, 1996) Transpor massa dari satu fasa ke fasa yang lain dapat disebabkan oleh beberapa gaya dorong, antara lain perbedaan tekanan, konsentrasi dan potensial listrik. Berdasarkan muatannya, membran dapat dibedakan menjadi dua yaitu membran tidak bermuatan yang sering juga disebut sebagai membran netral dan membran bermuatan yang disebut juga polielektrolit. Adanya gugus terikat bermuatan (fixed charges group) menyebabkan interaksi yang kuat di dalam polimer antara ion berlawanan (counter ion) dengan gugus tetap bermuatan. Dalam air atau pelarut polar lainnya dapat menyebabkan polielektrolit terionisasi. Berdasarkan jenis muatan gugus terikatnya, polielektrolit ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu polielektrolit penukar anion dan kation. Polielektrolit penukar anion mempunyai gugus terikat dengan muatan positif sedangkan polielektrolit penukar kation mempunyai gugus tetap bermuatan negatif. Contoh struktur kedua jenis polielektrolit ini dapat dilihat pada Gambar 2.23
Gambar 2.23 Polielektrolit penukar kation dan anion. Pada polielektrolit penukar anion, gugus terikatnya bermuatan positif sehingga ion berlawanannya bermuatan negatif. Hal yang sebaliknya terjadi pada polielektrolit penukar kation (Mulder, 1996) Aplikasi polielektrolit antara lain banyak digunakan dalam proses pemisahan seperti elektrodialisis, elektrolisis membran, reverse osmosis, nanofiltrasi, mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dialisis difusi dan dialisis Donnan. Selain itu juga perkembangan terkini adalah penggunaan polielektrolit sebagai elektrolit dalam fuel cell.
25
2.6.2
Teknik pembuatan membran
Semua jenis material sintetik yang berbeda dapat digunakan untuk pembuatan membran. Materialnya bisa berupa anorganik seperti logam, keramik, gelas atau organik mencakup semua polimer. Tujuannya adalah untuk memodifikasi material melalui teknik yang cocok untuk memperoleh struktur membran dengan morfologi yang cocok untuk pemisahan yang spesifik. Tidak setiap masalah pemisahan bisa diselesaikan dengan semua jenis material. Sejumlah teknik tersedia untuk pembuatan membran sintetik. Teknik pembuatan yang paling penting diantaranya (Mulder, 1996): 1. Sintering Bahan membran yang dipakai adalah bubuk yang memiliki ukuran partikel tertentu. Bubuk tersebut ditekan dan dipanaskan pada suhu yang tinggi, sehingga antarmuka partikel yang berdekatan akan menghilang dan timbul pori-pori. Metode ini digunakan untuk menghasilkan membran mikrofiltrasi organik dan anorganik yang berpori, dengan ukuran pori antara 0,1-10 μm. 2. Stretching Pada metode ini film yang terbuat dari polimer semikristalin ditarik searah dengan arah ekstrusi, sehingga bagian kristalin dari polimer terletak sejajar dengan arah ekstrusi. Porositas membran yang dihasilkan dengan metode ini lebih banyak dibandingkan dengan metode sintering. Pori yang terbentuk berukuran antara 0,1-3 μm. 3. Track-etching Metode ini juga dikenal sebagai metode litografi. Film dari polimer ditembak dengan partikel radiasi berenergi tinggi pada arah tegak lurus terhadap film. Partikel radiasi akan membentuk lintasan pada matriks film. Pada saat film dimasukkan ke dalam bak asam atau basa, maka film polimer akan terbentuk sepanjang lintasan. Pori yang dihasilkan berukuran seragam (simetri) dan distribusi pori sempit (porositas menurun). Ukuran pori yang diperoleh berkisar antara 0,02-10 μm. 4. Template leaching Teknik ini dilakukan dengan melepas salah satu komponen film, sehingga dihasilkan membran berpori. Sebagai contoh, leburan homogen dari tiga komponen sistem (Na2O-B2O3SiO2) didinginkan dan sistem akan memisah menjadi dua fasa. Fasa pertama adalah fasa yang tidak larut dan mengandung SiO2, sedangkan fasa kedua adalah fasa yang larut. Fasa kedua ini dilepas dengan penambahan asam atau basa. Ukuran pori yang dihasilkan bervariasi dengan ukuran minimium sekitar 5 nm.
26
5. Coating Polimer membran yang rapat akan menghasilkan nilai fluks yang rendah. Untuk meningkatkan laju fluks, maka ketebalan membran harus diperkecil dengan membentuk membran komposit. Membran komposit terdiri atas dua material. Material yang sangat selektif diletakkan di bagian atas membran. Selektivitas membran akan ditentukan oleh lapisan atas ini. Sedangkan pada lapisan bawahnya dilapisi dengan material berpori besar. Coating dapat dilakukan dengan cara dip coating, polimerisasi plasma, polimerisasi antar muka, dan polimerisasi in-situ. 6. Inversi fasa Inversi fasa adalah proses transformasi polimer dari fasa cair ke fasa padat dengan kondisi terkendali. Proses pengendapan diinisiasi oleh keadaan transisi dari satu cairan menjadi dua cairan yang saling campur (liquid-liquid demixing). Selama pencampuran, salah satu fasa cair yang mangandung polimer berkonsentrasi tinggi akan memadat dan membentuk matriks sehingga morfologi membran dapat diatur. Teknik inversi fasa pertama kali diperkenalkan oleh Sidney Loeb dan Srinivasa Sourirajan. Teknik ini kemudian disebut teknik Loeb-Sourirajan. Teknik ini menghasilkan membran asimetrik dengan ukuran pori yang bervariasi. Pembentukan membran pada teknik ini melalui beberapa tahap. Pertama, pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan larutan cetak, penguapan pelarut secara parsial pada lapisan atas, dan terakhir pengendapan polimer dalam bak koagulan yang berisi non pelarut.
Polimer yang digunakan harus
memiliki kelarutan yang rendah dalam non pelarut. Kelarutan polimer dalam non pelarut berpengaruh terhadap pori yang terbentuk. Semakin tinggi kelarutan polimer dalam non pelarut, semakin besar pori yang terbentuk. Pori yang terbentuk juga dipengaruhi oleh konsentrasi polimer dalam larutan cetak. Semakin tinggi konsentrasi polimer, pori yang terbentuk semakin rapat (Mulder, 1996). Konsep inversi fasa mencakup rentang beberapa teknik yang berbeda, seperti penguapan pelarut, pengendapan dengan pengendalian penguapan, pengendapan termal, pengendapan fasa uap, dan pengendapan dengan pencelupan. Teknik inversi fasa yang paling umum dilakukan adalah pengendapan dengan pencelupan (immersion precipitation).
27
2.6.3
Membran sebagai elektrolit
Prinsip pada DMFC sama dengan prinsip pada PEMFC, yaitu elektrolit yang digunakan adalah membran polimer . Dalam PEMFC polimer tidak hanya berfungsi sebagai konduktor proton (elektrolit) saja tetapi juga berfungsi sebagai penyekat antara anoda dan katoda. Membran yang dapat digunakan harus bersifat tidak menghantarkan elektron, bahan bakar, gas dan lain-lain, kecuali elektrolit seperti proton. Polimer perfluorosulfonat merupakan polimer yang paling sering digunakan sebagai elektrolit fuel cell. Polimer perfluorosulfonat ®
yang diproduksi oleh Du Pont adalah Nafion (Gambar 2.24). Polimer ini mempunyai ®
backbone seperti Teflon dengan rantai samping gugus sulfonat. Struktur mikro polimer ini terdiri dari daerah hidrofilik dan hidrofobik yang terpisah jarak dalam skala nano.
Gambar 2.24 Struktur Nafion Rantai utamanya bersifat sangat hidrofob sedangkan gugus sampingnya bersifat hidrofil. Suatu polimer dengan massa molekul relatif rata-rata dan jarak antara gugus hidrofil yang kecil akan menghasilkan konduktivitas yang tinggi (Haile, 2005). Secara umum, konduktivitas proton akan meningkat jika hidrasi polimer naik. Pada kondisi operasional, -1
-
-1
H O:SO ~ 15:1 akan menghasilkan konduktivitas ~ 10 S cm . Di satu sisi derajat sulfonasi 2
3
yang tinggi akan menghasilkan derajat penyerapan air dan konduktivitas yang tinggi. Tetapi di sisi lain, jika derajat sulfonasi terlalu tinggi maka polimer akan larut dalam air. Hal ini menyebabkan fungsi polimer sebagai penghalang antara anoda dan katoda akan hilang. ®
2
Masalah yang muncul dari penggunaan Nafion adalah harganya yang mahal (~$700/m ), o
crossover metanolnya tinggi dan di atas suhu 90 C konduktivitasnya menurun. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, material-material baru mulai dikembangkan. Salah satunya dengan metode pengikatsilangan (cross-link).
28
2.6.4
Transfor membran
Membran merupakan suatu penghalang selektif diantara 2 fasa homogen. Molekul atau partikel dapat ditransporkan melalui membran dari fasa satu ke fasa lain karena adanya gaya yang bekerja pada molekul atau partikel.
Frata−rata =
ΔX l
(2.1)
Dengan Frata-rata adalah gaya dorong yang bekerja pada membran. Ketika gaya dorong ini dijaga tetap, akan terjadi suatu aliran melalui membran setelah keadaan mantap tercapai. Disini hubungan proporsional antara fluks (J) dan gaya dorong (F) mengikuti persamaan: Fluks (J) = Faktor proporsional (A) x Gaya Dororng (F)
(2.2)
Faktor proporsional A menunjukkan seberapa cepat komponen ditransporkan melalui membran. Jika komponen i ditransferkan dari fasa umpan ke fasa permeat, ada tiga tahap yang terjadi secara umum; transpor dari fasa umpan ke membran, kemudian difusi melalui membran diikuti oleh transfer dari membran ke fasa permeat. Fluks komponen i dengan baik sekali diungkapkan dalam bentuk koefisien transfer massa total (Mulder, 1996): Ji = kov,i
dengan
1 1 1 1 = + + kov,i ki,umpan ki,membran ki, fasaPeneri ma
(2.3)
(2.4)
Dua beda potensial yang penting pada proses membran adalah perbedaan potensial kimia (Δμ) dan perbedaan potensial listrik (ΔF). Adapun transpor pada membran bisa terjadi melalui dua mekanisme yaitu transpor pasif dan aktif. Pada transpor pasif, molekul-molekul berpindah dari potensial tinggi ke potensial rendah (Gambar 2..25).Gaya dorong yang bekerja pada transpor pasif adalah beda potensial .
Gambar 2.25 Proses transpor pasif dalam membran
29
Selama proses transpor malalui membran, gejala fouling mungkin saja terjadi. Fouling akan menyebabkan fluks menurun. Gejala ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu pembentukan gel dan polarisasi konsentrasi. Gel terbentuk dari spesi-spesi yang tertahan oleh membran mengendap pada permukaan membran, sedangkan polarisasi konsentrasi terjadi akibat membesarnya konsentrasi larutan umpan di sekitar permukaan membran (Gambar 2.26). Untuk mengatasi gejala fouling maka larutan umpan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet. Koloid atau partikel
Larutan ruah
Fouling di permukaan Fouling di dalam membran
Gambar 2.26 Gejala fouling
2.6.5
Mekanisme transfor proton pada nafion ®
Mekanisme transpor proton pada membran Nafion dikenal dengan nama mekanisme Grothus. Pada mekanisme ini, proton bergerak dari satu tempat ke tempat lain melalui “terowongan” yang dibentuk oleh molekul air yang saling berhubungan melalui ikatan ®
hidrogen (Campo, 2004 ; Babu, 2004). Jumlah air yang terserap pada membran Nafion sangat mempengaruhi transpor proton.
Pada keadaan hidrasi tinggi, yaitu saat jumlah molekul air lebih dari 13 per gugus asam sulfonat, konduksi proton akan meningkat. Dalam keadaan ini membran terhidrasi mempunyai fasa air yang karakternya mirip dengan air ruah (bulk). Gambar 2.27 menunjukkan beberapa spesi yang terlibat pada proses difusi proton berlebih (excess proton) dalam air ruah. Spesi-spesi yang terlibat dalam proses difusi ini antara lain ion Zundel +
+
(H O ) dan ion Eigen (H O ). Panjang ikatan hidrogen dalam ion Zundel adalah 2,5Å, nilai 5
2
9
4
ini lebih pendek dari nilai panjang ikatan hidrogen rata-rata di air ruah (≈ 2,8Å). Pada ion Eigen, panjang ikatan hidrogennya ≈ 2,6Å. Spesi ion Eigen kurang disukai pada air ruah, hal ini dimungkinkan karena adanya ion Zundel yang mempunyai ikatan hidrogen yang lebih
30
pendek. Meskipun demikian, spesi yang paling banyak terdapat dalam air ruah adalah ion -13
Zundel dan Eigen dengan waktu transformasi di antara keduanya sekitar 10
detik
(Paddison, 2003). Perubahan pola ikatan hidrogen (ion Zundel menjadi Eigen dan sebaliknya) ditandai dengan pembentukan dan pemutusan ikatan hidrogen. Hal yang menarik adalah posisi proton yang selalu berada di pusat bagian yang bergerak (daerah yang berwarna biru pada Gambar 2.27) sekaligus juga pusat simetri dari kedua pola ikatan hidrogen tersebut.
Gambar 2.27 Transpor proton dalam air. Transpor proton ini dikenal dengan difusi struktur, yang ditandai dengan adanya perubahan pola ikatan hidrogen dari ion Zundel +
+
(H O ) menjadi ion Eigen (H O ) dan sebaliknya (Kreuer , 2004). 5
2
9
4
®
Konduksi proton pada membran Nafion hanya dapat terjadi jika ada disosiasi proton dari gugus asam. Jika proton sudah terdisosiasi, proton akan berdifusi dalam “kurungan” air yang terbentuk dalam matriks polimer. Berdasarkan pemodelan molekul yang dilakukan oleh Paddison et.al., diketahui bahwa tidak ada disosiasi yang terjadi ketika jumlah molekul air dalam tiap gugus sulfonat kurang dari tiga (Paddison,2003). Konformasi pasangan CF SO 3
-
3
dan ion hidronium dengan dua molekul air (Gambar 2.28).
31
Gambar 2.28 Konformasi pasangan CFSO dan ion hidronium dengan dua molekul air. Proton dari CF SO H terdisosiasi ketika ada molekul air dan membentuk ion hidronium. 3
3
Bola kecil berwarna abu terang menunjukkan atom hidrogen, sedangkan bola besar berwarna abu gelap menunjukkan atom oksigen (Paddison, 2003).
Gambar 2.29 Konformasi pasangan CFSO dan ion hidronium dengan lima molekul air. Jarak antara ion hidronium dan anion semakin menjauh sehingga energinya menjadi minimum. Bola kecil berwarna abu terang menunjukkan atom hidrogen, sedangkan bola besar berwarna abu gelap menunjukkan atom oksigen (Paddison, 2003). Jika molekul air -
bertambah menjadi enam, pemisahan proton dan anion (gugus SO ) akan sempurna. Hal ini 3
menyebabkan kontak pasangan ion ini menjadi minimum (Gambar 2..29). Pada kondisi ini, jika ada dua gugus sulfonat yang berdekatan, maka proton dari kedua gugus sulfonat akan terdisosiasi. Satu proton akan membentuk ion hidronium yang berada di antara anion sulfonat, sedangkan satu proton lagi akan membentuk ion Zundel. Proton ini merupakan proton yang terdelokalisasi diantara dua molekul air (Gambar 2.30 ) (Paddison, 2003).
32
Gambar 2.30
Konformasi dua gugus sulfonat dengan enam molekul air.
Kedua proton dari gugus sulfonat terdisosiasi membentuk ion hidronium yang berada diantara dua gugus sulfonat dan ion Zundel. Proton yang membentuk ion Zundel merupakan proton yang terdelokalisasi diantara dua molekul air. Bola sedang berwarna oranye menunjukkan atom oksigen, sedangkan bola kecil berwarna biru menunjukkan atom hidrogen (Paddison, 2003) .
2.7 Sol-Gel Proses sol-gel melibatkan senyawa anorganik dalam pembentukan suspensi koloid (sol) dan pengubahan dari sol menjadi fasa cair (gel). Bahan yang diperlukan untuk sintesis koloid ini mengandung elemen logam atau metaloid yang dikelilingi oleh ligan yang reaktif. Logam alkoksida bersifat hidrofilik (reaktif terhadap air). Bahan yang diperlukan dalam sintesis koloid ini adalah suatu senyawa yang mengandung elemen logam atau metaloid yang dikelilingi oleh suatu ligan reaktif. Logam alkoksida sangat reaktif terhadap air. Bahan yang sering digunakan adalah tetrametokxisilan (TMOS), dan tetraetokxisilan (TEOS). Proses sol gel melibatkan reaksi hidrolisis logam alkoksida menghasilkan logam hidroksida. Logam alkoksida merupakan senyawa yang dapat digunakan untuk menggabungkan gugus polimer yang bisa bereaksi dengan gugus hidroksil. Hasil hidrolisis kemudian mengalami reaski polikondensasi gugus hidroksil membentuk jaringan logam oksida. Proses pembentukan fasa anorganik secara sol gel meliputi 3 macam reaksi, yaitu reaksi hidrolisis dan 2 reaksi konsdensasi (Chan et.al, 2001; Laundry et al, 1992)
33
Gambar 2.31 Reaksi umum proses pemebntukan fasa
Hidrolisis .Reaksi hidrolisis terjadi akibat penambahan air sehingga menghasilkan gugus silanal dan etanol dengan menggantikan gugus alkoksida menjadi gugus hidroksi . Faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis ini adalah adanya katalis asam, pH serta perbandingan jumlah air/TEOS. Mekanisme yang terjadi dengan adanya katalis asam adalah :
Gambar 2.32 Mekanisme hidrolisis Kondensasi. Reaksi kondensasi melalui kondensasi air maupun kondensasi dengan alkohol. Gugus silanal dapat bereaksi dengan dirinya sendiri melalui kondensasi air. Dan juga gugus silanal yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis dapat bereaksi dengan gugus silan melalui reaksi kondensasi alkohol. Proses hidrolisis ini dipengaruhi oleh nilai pH, dengan mekanisme yang mungkin terjadi adalah reaksi substitusi nukleofilik 2 (SN2).
Gambar 2.33 Mekanisme kondensasi
34
Reaksi hidrolisis dan reaksi kondensasi terjadi secara bersamaan yang menunjukkan reaksi berjalan secara reversible. Kecepatan reaksi relatif bergantung kepada pH, pelarut, perbandingan air dan alkoksida. Konsentrasi polimer, katalis serta temperatur reaksi. Faktor tersebut sangat penting pada pembuatan gel. Proses sol gel menyertakan ikatan silang anorganik pada matriks polimer organik. Hal ini bisa terjadi karena adanya reaksi ortosilikat yang reaktif terhadap polimer organik. (Laundry et.al., 1992) Adanya karbonil pada rantai polimer organik, membantu memperlambat pemutusan fasa selama proses vitrifikasi. Sedangkan pemisahan fasa pada polimerisasi komponen anorganik secara in situ pada matriks organik terjadi apabila tidak ada interaksi yang spesifik antara kedua komponen. Kopolimer hasil reaksi tidak larut dalam air, karena gugus etoksisilil mudah mengalami kondensasi dengan uap udara.
2.8 Karakterisasi 2.8.1
FTIR (Fourier Transmitan Infra Red)
Daerah radiasi spektroskopi inframerah atau infrared spectroscopy (IR) berkisar pada bilangan gelombang 12800-10 cm-1 , atau pada panjang gelombnag 0,78-1000 μm. Umumnya daerah radiasi terbagi menjadi radiasi IR dekat (12800-4000 cm-1, atau 3,8-1,2 x 10
14
Hz, 0,78-2,5 μm.), daerah IR tengah (4000-200 cm-1, 0,012 -6 x 104 Hz, 2,5-50 μm.),
dan daerah IR jauh (200-10 cm -1, 60-3 x 1011 Hz, 50-1000 μm.). Daerah yang paling banyak digunakan adalah daerah 4000-690 cm-1, (12-2 x 1013 Hz, 2,5-1,5 μm.). Daerah ini biasanya disebut sebagai daerah IR tengah. Penggunaannya biasanya sebagai penentu struktur, dan juga sebagai
analisis kuantitatif . Dalam penentuan struktur, spektrum
infrramerah dapat dihasilkan ketika molekul mengalami perubahan dalam arah momen dipol ,yang diakibatkan terjadinya vibrasi .Umumnya vibrasi diklasifikasikan menjadi vibrasi ulur dan vibrasi tekuk. Vibrasi ulur menyangkut konstanta vibrasi antara dua atom sepanjang sumbu ikatan, sedangkan vibrasi tekuk karena berubahnya sudut antara dua ikatan sehingga menghasilkan tuntunan tipe yaitu : scissoring , rocking, wagging, dan twisting . Setiap ikatan mempunyai frekuensi vibrasi yang khas sehingga absorpsi inframerah dapat digunakan sebagai identifikasi gugus-gugus yang ada dalam suatu senyawa (analisa kualitatif). Selain mengidentifikasi gugus-gugus intramolekul, spektrum inframerah ini dapat digunakan untuk menganalisa interaksi antar molekul. Spektrum inframerah juga dapat digunakan sebagai analisa semi kuantitatif dengan menggunakan metode baseline untuk menentukan derajat deasetilasi dari kitosan . Pada metode ini transmitan pelarut dianggap
35
konstan atau berubah secara linier. Penentuan baseline diperoleh dengan menghubungkan kedua bahu puncak serapan (Gambar 2.34) (Skoog, 1999).
Gambar 2.34 Analisa semi kuantitatif dalam spektrometri infra merah dengan metode baseline Nilai absorbansi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: A= log (T /T) o
(2.5)
Dengan: T = % transmitan pada garis dasar o
T = % transmitan pada puncak minimum Perhitungan N-deasetilasi diadopsi dari penelitian Baxter adalah sebagai berikut:
⎡⎛ A ⎞ 1 ⎤ % N-deasetilasi={100 - ⎢⎜ 1658 ⎟ x ⎥ } x 100% ⎣⎝ A 3448 ⎠ 1,33 ⎦
2.8.2
(2.6)
Berat molekul rata-rata (Mv )
Ada beberapa metode yang dapat dipakai dalam penentuan massa molekul relatif rata-rata, yaitu analisa gugus ujung, sifat koligatif, penyebaran sinar, ultrasentrifuga, viskometri dan Gel Permeation Chromatography (GPC) (Billmeyer, 1984). Metode yang mudah digunakan dalam penentuan massa molekul relatif rata-rata polimer adalah metode viskometri. (Kasaai, 2000). Dengan menggunakan metode ini maka data viskositas dari berbagai konsentrasi larutan polimer akan diolah menjadi Mv (massa molekul relatif rata-rata viskositas).
36
Beberapa konsep viskositas yang digunakan dalam metode ini adalah viskositas relatif (perbandingan viskositas), viskositas spesifik, viskositas tereduksi (bilangan viskositas), dan viskositas intrinsik (limiting viscosity number). Viskositas relatif merupakan perbandingan viskositas larutan (η) terhadap viskositas pelarut (η ). Viskositas spesifik adalah kenaikan o
relatif viskositas larutan terhadap pelarut, sedangkan viskositas tereduksi adalah viskositas spesifik dibagi dengan konsentrasi larutan polimer. Nilai viskositas tereduksi pada pengenceran tak hingga disebut juga dengan viskositas intrinsik. Konsep-konsep ini dapat dituliskan secara matematika, seperti pada persamaan [2.7] hingga [2.10].
ηr =
η η0
η sp =
(2.7)
η − η0 η0
η red =
η sp
(2.9)
C
[η ] = lim
(2.8)
η η0
(2.10)
Hubungan antara viskositas intrinsik dengan massa molekul relatif rata-rata dapat dilihat pada persamaan [2.11]. Persamaan ini disebut dengan persamaan Mark-Houwink dengan K dan a sebagai tetapan untuk pasangan polimer dan pelarut tertentu.
[η ] = KM Va 2.8.3
(2.11)
Permeabilitas membran terhadap metanol
Permeabilitas metanol dimodelkan dengan mengekspresikan hukum dasar dari Fick’s pada sel difusi (Cussler, 1997). Fluks yang melewati membran dinyatakan dengan nilai transfor yang melewati membran tipis. Nilai fluks dinyatakan dengan :
.
j1 =
DH ( C10 − C1L ) L
(2.12)
Dibawah ini skema alat sel difusi yang digunakan .
37
Keterangan : A = 50% vol.sel metanol B = sel aqua dm C dan D = penyekat E = Membran
Gambar 2.35 Skema alat sel difusi Kompatemen A di isi dengan 25 ml larutan metanol 50 %, dan kompartemen B di isi dengan aqua dm 25 mL. Membran ditempatkan ditengah-tengan (dijepit) diantara dua kompartemen, dilakukan pengadukan dengan kecepatan yang stabil. Fluks J1 menyatakan perbedaan konsentrasi diantara membran.
Gambar 2.36 Skema pendekatan dalam proses difusi Dimana D=koefisien difusi, H =koefisien partisi, L=ketebalan membran, C10 = konsentrasi fluida pada permukaan membran umpan, dan C1L= konsentrasi fluida pada permukaan membran permeat. H dapat juga didefinisikan sebagai kelarutan antara membran dan larutan perbatasan.
C1i = HC1i
(2.13)
Dimana Cli menunjukkan nilai konsentrasi dari fluida pada membran serta menyatakan nilai konsentrasi dari fluida yang berada di perbatasan sisi membran. Pada Gambar 2.36 mengasumsikan bahwa antara larutan umpan dan larutan permeat bercampur dengan baik sehingga C10,bulk = C10 and C1L = C1L,bulk. Penulisan kembali persamaan diatas untuk menghitung permeabilitas metanol dari kompartemen A ke kompartemen B dengan rumus:
38
⎡ DH ⎤ j1 = ⎢ ( C A − CB ) ⎣ L ⎥⎦
(2.14)
Dimana CA adalah konsentrasi metanol pada kompartemen A dan CB adalah konsentrasi metanol pada kompartemen B. Pada sel difusi ini, konsentrasi CA dan CB berubah seiring dengan perubahan waktu . Jumlah perubahan ini dapat ditentukan dengan melihat perubahan konsentrasi metanol pada kedua kompartemen. Pada kompartemen A :
VA =
dC A ⎡ DH ⎤ = − Aj1 = − A ⎢ ( C A − CB ) (2.15) dt ⎣ L ⎥⎦
Pada kompartemen B :
VB =
dCB = + Aj1 dt
⎡ DH ⎤ = A⎢ ( C A − CB ) ⎣ L ⎥⎦
(2.16)
Dimana VA dan VB adalah volume dari kedua larutan yang berada di perbatasan . A adalah luas membran yang bersentuhan dengan larutan pada kompartemen A maupun kompartemen B. Kemiringan dari kB menyatakan nilai konsentrasi metanol pada kompartemen B , sehingga persamaan nya menjadi :
kB =
ln
dCB A ⎡ DH ⎤ = ( C A − CB ) dt VB ⎢⎣ L ⎥⎦
(2.17)
CB Axp = xt C 0 VB
(2.18)
P = pxl . J=
(2.19)
PxΔC , atau J = pxCo l
α=
JH+ J methanol
.
(2.20)
(2.21)
39
Keterangan : P = permeabilitas ( cm2/sekon ) J = Fluks p = koefisien permeabilitas α = koefisien selektivitas
2.8.4
Konduktivitas proton
Pengukuran nilai konduktivitas proton secara konvensional dihitung dengan spektroskopi impedansi. Impedance Spectroscopy (IS) merupakan metode yang relatif baru dan baik dalam mengkarakterisasi sifat listrik suatu material dan antarmukanya dengan elektroda. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui dinamika bound, muatan yang bergerak di daerah bulk bahkan daerah antarmuka dari suatu padatan atau cairan. Padatan atau cairan ini dapat berupa bahan ionik, semikonduktor, campuran elektronik-ionik bahkan insulator (dielektrik) (Macdonald, 2005). Secara umum, spektroskopi ini mengamati respon yang diberikan suatu material ketika diberikan rangsangan berupa arus atau tegangan listrik melalui elektroda. Respon listrik suatu material akan bergantung kepada jenis muatan yang terdapat dalam material, mikrostruktur material dan elektroda yang digunakan (tekstur dan sifat).
®
Gambar 2.37 Kurva IS membran BAM . Frekuensi yang diberikan 100 kHz hingga 1 ®
GHz. Membran BAM yang digunakan mempunyai massa molekul relatif -1
yang berbeda-beda antara lain 407, 436, 455, 509, 542, 735 g mol (Beatie, 2001).
40
Kurva yang dihasilkan biasanya berupa aluran impedansi imaginer (-Z’’) terhadap impedansi riil (Z’). Secara umum, kurva yang terbentuk mempunyai dua bagian yaitu daerah setengah lingkaran dan linier. Daerah setengah lingkaran ini menunjukkan sifat material yang diukur dan tahanan antarmuka material-elektroda, sedangkan daerah linier menunjukkan tahanan elektroda. Daerah linier ini sering juga disebut dengan daerah Warburg. Gambar 2.37 ®
menunjukkan contoh kurva IS untuk membran BAM . Kurva tersebut analog dengan sirkuit listrik (Gambar 2.38). Dengan mengetahui R (tahanan membran), maka konduktivitas dapat m
ditentukan dengan persamaan [2.22], yaitu :
σ=
l RA
(2.22)
dengan : -1
σ = konduktivitas (S cm ) l = panjang lintasan atau tebal membran (cm) R = tahanan membran (ohm) 2
A = luas penampang (cm )
Gambar 2.38
Sirkuit listrik yang analog dengan kurva IS. R dan C adalah tahanan dan m
m
kapasitan membran, R adalah tahanan antarmuka, C kapasitan lapisan c
dl
rangkap dan Z impedansi Faraday (kombinasi tahanan transfer muatan dan d
impedansi Warburg) (Beatie, 2001). 2.8.5
Scanning Electron Microscopy (SEM )
SEM merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk karakterisasi membran. SEM memberikan metode yang sederhana dan sangat cocok untuk karakterisasi dan investigasi struktur pori dari membran. SEM dapat menggambarkan struktur membran meliptui: permukaan atas, penampang lintang, dan permukaan bawah. Gambaran ilistrasi dari prinsip SEM (Gambar 2.39)
41
Filamen Celah Elektron primer Celah kondensor Celah kondensor Elektron sekunder Detektor
Celah kondensor
Sampel Tempat sampel
Gambar 2.39 Skema proses SEM Berkas elektron dengan energi kinetik 1-25 KV ditembakkan ke sampel membran. Elektron dengan energi tinggi ini disebut elektron primer. Kemudian sampel memantulkan berkas elektron dengan energi yang lebih rendah, disebut elektron sekunder. Elektron yang antulkan, kemudian dilepaskan dari atom pada permukaan dan menentukan gambaran dari struktur permukaan yang diteliti. Ketika membran atau polimer ditempatkan dalam berkas elektron, sampel dapat terbakar atau hancur tergantung pada tipe polimer dan tegangan yang digunakan. Ini dapat dihindari dengan melapisi sampel dengan lapisan penghantar, seringkali berupa lapisan emas tipis. Teknik preparasi sangat penting karena menentukan hasil akhir yang diperoleh. Sampel yang basah harus dikeringkan terlebih dahulu, dengan menggunakan unit cryo dan cairan yang memiliki tegangan permukaan lebih rendah daripada air di dalam sampel. Syarat cairan yang digunakan adalah tidak melarutkan sampel polimer (non pelarut). Teknik SEM biasanya dilakukan pada temperatur yang rendah, dengan menghubungkan unit cryo dan mikroskop. Sampel basah dibekukan dengan menggunakan nitrogen cair kemudian dimasukkan ke dalam unit cryo (Mulder, 1996).
42