2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Spons 2.1.1. Morfologi Spons Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau massif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri atas segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tongggak, atau tumbuh – tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk – bentuk yang dimiliki spons dapat beragam. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju yaitu, cawan, atau seperti kubah. Ukuran spons Petrosia sp. juga beragam, mulai jenis berukuran sebesar jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Jenis – jenis spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto & Juwana 2001). Spons tumbuh melekat pada terumbu karang dan dasar laut. Binatang lunak dengan variasi warna, bentuk, dan ukuran ini tidak dapat berpindah seperti halnya ikan dan binatang laut lainnya. Untuk mempertahankan diri dari predator, spons memiliki senjata perisai berupa senyawa kimia membentuk metabolit sekunder, yang ditakuti dan dihindari predator karena beracun. Sesuai dengan fungsinya untuk melindungi diri dari predator, senyawa ini bersifat toksik dan berkhasiat juga sebagai antikanker (cytotoxic) dan antibiotik (McConnaughey, 1970 in Munifah et al., 2008). Bentuk serta warna spons Petrosia sp. dapat dilihat pada Gambar 1.
3
4
Gambar 1. Spons Petrosia sp. (www.flickr.com)
2.1.2. Klasifikasi Spons Menurut Lindgren (1897), klasifikasi spons laut Petrosia nigricans adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Porifera Kelas : Demospongia Ordo : Haplosclerida Sub Ordo : Petrosina Famili : Petrosiidae Genus : Petrosia sp. Spesies : Petrosia nigricans Genus Petrosia sp. memiliki tujuh spesies dengan karakteristik tubuh yang massif, tebal, kokoh, dan berbentuk pipa. Warna yang dimiliki pun beraneka ragam yaitu kuning hingga cokelat (Petrosia alfiani), merah kecoklatan hingga hitam (Petrosia hoeksemai), cokelat keemasan (Petrosia lignosa), cokelat kehitaman (Petrosia nigricans), cokelat keabuan hingga cokelat gelap (Petrosia
5
plana), kuning kehijauan hingga menjadi cokelat (Petrosia carcicata), dan cokelat tua hingga hitam (Petrosia strongylata). Spons Petrosia ini biasanya terdapat di perairan dangkal hingga perairan sampai kedalamannya 45 meter. Spons ini juga dapat hidup pada habitat berkarang baik karang hidup maupun mati, habitat rubble (pecahan karang), dan habitat berpasir (De Voogd, 2005).
2.1.3. Makanan dan Cara Makan Spons Saluran yang terdapat pada spons bertindak seperti halnya sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi yang merupakan pelengkap untuk menarik makanan ke dalam tubuh dan untuk mengangkut zat buangan keluar dari tubuh. Karena hal inilah maka spons termasuk pada hewan pemakan dengan cara menyaring (filter feeder). Ia memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti bakteri dan mikroalga yang masuk melalui pori-pori (Proksch et al., 2002 in Munifah et al., 2008). Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari spons diakibatkan oleh cambuk koanosit yang bergerak terus menerus. Koanosit juga mencernakan partikel makanan, baik disebelah maupun di dalam sel leher. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang keluar dari dalam sel leher. Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain kemudian diedarkan dalam batas-batas tertentu oleh sel-sel amuba yang berkeliaran di dalam lapisan tengah spons. Zat buangan dari tubuh spons mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi dirinya. (Romimohtarto & Juwana 2001).
6
2.1.4. Reproduksi Spons Reproduksi spons dapat secara seksual maupun aseksual. Pada reproduksi seksual umumnya spons berkelamin ganda (hermaprodit), tetapi sel telur dan sel sperma diproduksi pada waktu yang berbeda. BERQUIST (1978) in Amir dan Budiyanto (1996) melaporkan, dalam reproduksi spons pejantan akan melepaskan spermanya melalui oskula, kemudian mengalir dan masuk ke dalam saluran masuk (ostia). Kemudian sperma tersebut ditangkap oleh Chaonocyt dan bertemu dengan telur dalam mesohil. Sedangkan pada reproduksi aseksual umumnya dengan fragmentasi. Potongan – potongan dari spons yang patah dapat hidup dengan cadangan makanan yang ada di tubuhnya, kemudian beregenerasi membentuk tunas baru untuk menjadi spons.
2.2. Senyawa Bioaktif Spons Spons menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses – proses metabolisme esensial bagi organisme. Produksi metabolit ini hampir serupa pada semua organisme, melibatkan proses anabolisme dan katabolisme, contohnya lintasan pembentukan glukosa. Metabolit sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi spesies atau strategi adaptasi terhadap lingkungan (Torssell, 1983). Bahan metabolit primer maupun sekunder yang dihasilkan oleh spons merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar baik lingkungan biotik maupun abiotik. Spons memiliki mikroorganisme simbion
7
yang masuk ke dalam pori- porinya karena mikroorganisme menyediakan sumber makanan atau produk metabolit tertentu yang bermanfaat untuk spons (Guyot, 2000; Faulkner, 2000 in Munifah et al., 2008). Proses metabolisme hewan spons dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain suhu, kekeruhan, kekuatan arus, cahaya, salinitas, serta faktor kimiawi lainnya. Sehingga jenis spons yang sama tetapi masing – masing hidup pada kondisi lingkungan yang berbeda, dapat memiliki keaktifan metabolit sekunder yang berbeda pula (Amir dan Budiyanto, 1996).
2.3. Radikal Bebas Radikal bebas merupakan suatu atom, molekul, atau senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif. Tipe radikal bebas turunan oksigen reaktif sangat signifikan dalam tubuh. Oksigen reaktif ini mencakup superoksida (O`2), hidroksil (`OH), peroksil (ROO`), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (O2), oksida nitrit (NO`), peroksinitrit (ONOO`) dan asam hipoklorit (HOCl). Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Dampak dari kerja radikal bebas akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Bila dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak
8
berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007). Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan elektron, menggunakan mediator enzimatik atau nonenzimatik. Produksi radikal bebas dalam sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi terhadap rangsangan. Secara rutin adalah superoksida yang dihasilkan melalui aktivasi fagosit dan reaksi katalisa 6 seperti ribonukleotida reduktase. Pembentukan melalui rangsangan adalah kebocoran superoksida, hidrogen peroksida dan kelompok oksigen reaktif lainnya pada saat bertemunya bakteri dengan fagosit teraktivasi. Sumber utama radikal bebas pada keadaan normal adalah kebocoran elektron yang terjadi dari rantai transport elektron, misalnya yang ada dalam mitokondria dan retikulum endoplasma serta molekul oksigen yang menghasilkan superoksida. Radikal bebas yang berada dalam tubuh manusia berasal dari dua sumber, endogen dan eksogen. Sumber endogen antara lain autoksidasi, oksidasi enzimatik, dan respiratory burst. Sumber eksogen terdapat pada obat-obatan, radiasi, dan asap rokok (Arief, 2005).
2.4. Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat oksigen reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat mencegah penyakit-penyakit yang berhubungan dengan radikal bebas yaitu karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk
9
menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektrolit yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas. Antioksidan digolongkan menjadi dua jenis yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Terdapat lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuankomersial (Buck, 1991 in Trilaksani, 2003). Antioksidan alami dapat berasal dari bahan pangan bahan, yaitu rempah - rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin, produkproduk reduksi, dan asam-asam organik lain (Pratt,1992 in Trilaksani, 2003).