7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Berdasarkan letak geografis perairan Utara Aceh merupakan bagian dari Kota Banda yang berada pada provinsi Pemerintah Aceh. Perairan Kota Banda Aceh dipengaruhi oleh persimpangan dan gerakan arus dari Samudera Hindia yang berada di sebelah Barat, Selat Malaka yang berada di sebelah Utara dan Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berada di sebelah Utara. Provinsi Pemerintah Aceh sendiri terletak antara 2o-6o Lintang Utara dan 95o-98o Lintang Selatan dengan ketinggian rata - rata 125 meter di atas permukaan laut (DKP Aceh 2010). Kota Banda Aceh memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang terletak di jalan Sisingamangaraja Ujung, Komplek TPI No. 16 Desa Lampulo. PPP Lampulo terletak di pinggir Kota Banda Aceh, tepatnya berdiri membentang sekitar 258 meter memanjang di sisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh pada koordinat 5°34’45” Lintang Utara dan 95°19’30” Bujur Timur (UPTD PPP Lampulo 2010). Secara keseluruhan perairan Utara Aceh terletak di antara Sabang, Pulo Nasi, dan Pulo Beras. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka. Arah pergerakan angin di perairan Utara Aceh dipengaruhi oleh 2 siklus angin muson, yaitu muson Timur pada bulan Juni–Agustus dan muson Barat bulan Desember–Februari. Pada perairan Utara Aceh terjadi 2 siklus pancaroba, yaitu pancaroba awal tahun pada bulan April-Mei dan pancaroba akhir tahun bulan Oktober–Desember. Suhu permukaan laut (SPL) di perairan Utara Aceh berkisar antara 28,00oC-30,00oC. Sebaran suhu hampir merata di seluruh perairan Aceh, hanya pada daerah-daerah yang memiliki muara sungai yang besar sebaran suhunya bervariasi (BRR NAD-Nias, 2007). 2.2 Penginderaan Jauh 2.2.1 Sistem penginderaan jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena dengan jalan menganalisis data yang
8
diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer
1990).
Kemudian,
Susanto (1992)
menambahkan bahwa informasi dari penginderaan jauh berbentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari, lalu dipantulkan oleh permukaan bumi. Spektrum gelombang elektromagnetik yang digunakan dalam penginderaan jauh disajikan pada Tabel 1. Menurut Susanto (1992) ada empat komponen penting dalam sistem penginderaan jauh, yaitu (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, dan (4) sensor. Secara skematik sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Susanto 1992
Gambar 2 Sistem penginderaan jauh.
Tabel 1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh No 1 2 3 4 5 6
Gelombang Elektromagnetik Photografhic ultraviolet Visible Near infrared Middle infrared Far infrared Microwave
Sumber: Butler et al (1988)
Panjang Gelombang 0,3 – 0,4 µm 0,4 – 0,7 µm 0,7 – 3,0 µm 3,0 – 8,0 µm 8,0 – 1000 µm 1,0 mm – 100 cm
9
Menurut Butler et al. (1988) sensor adalah alat untuk mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek, lalu mengubahnya menjadi nilai nyata yang dapat direkam dan diproses. Susanto (1992), membedakan sensor berdasarkan proses perekamannya, yaitu sensor fotografik dan sensor elektronik. Proses perekaman sensor fotografik adalah secara kimiawi, yaitu radiasi elektromagnetik yang diterima sensor direkam secara langsung pada lapangan emulsi film yang bila diproses, akan menghasilkan foto dan hasilnya biasanya disebut foto udara. Proses perekaman sensor elektromagnetik menggunakan sinyal elektrik yang direkam dengan pita magnetic atau detector lainnya. Hasil akhir dari sensor ini disebut citra.
2.2.2 Satelit Aqua MODIS Aqua yang dalam bahasa latin berarti air, adalah suatu satelit ilmu pengetahuan tentang bumi dan MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing Sistem (EOS) Terra Satellite, yang merupakan rangkaian dari program antariksa Amerika Serikat. Program ini dilaksanakan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini adalah rangkaian program jangka panjang dengan tujuan untuk mengamati, meneliti dan menganalisis lahan, lautan, atmosfir bumi, dan interaksi di antara faktor-faktor ini. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. 15 Lalu, pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya lebih ke lautan. Satelit Terra melintasi bumi dari utara ke selatan pada pukul 10.30 pagi (melintas garis ekuator), sedangkan satelit Aqua melintasi bumi dari arah selatan ke arah utara dan melintasi ekuator pada pukul 01.30 siang. Instrumen Modis memiliki lebar sapuan sebesar 2330 km dan dapat meliput seluruh permukaan bumi dalam waktu satu sampai dua hari (Maccherone 2005). Graham (2005) mengatakan bahwa satelit Aqua MODIS juga mempunyai kemampuan mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut, dan juga es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Selain itu satelit Aqua MODIS juga dapat digunakan untuk mengukur
10
variabel seperti aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton, bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air. Satelit MODIS membawa sensor multispektral yang terdiri dari 36 kanal/band spektral. Kanal 1-19 dan 26 berada pada kisaran gelombang visible dan inframerah dekat dan kanal-kanal selebihnya berada pada kisaran gelombang termal dengan panjang gelombang tengah dari 0,412 µm sampai dengan 14,423 µm (Lillesand dan Kiefer 1990). Adapun satelit Aqua Modis dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Box JE 2006
Gambar 3 Satelit Aqua MODIS. Rustadi (2011) menjelaskan bahwa MODIS mengorbit bumi bersifat polar (arah utara-selatan) yang ketinggiannya mencapai 705 km. MODIS akan melewati garis khatulistiwa pada jam 10.30 waktu lokal. Lebar areal cakupan lahan (swatch width) yang terliput pada permukaan bumi pada setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (interval panjang gelombang) mulai dari 0,405 µm sampai 14,385 µm dengan kecepatan 11 megabytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Resolusi spasial yang terdapat pada satelit MODIS meliputi dua kanal pada resolusi spasial 250 m (kanal 1-2), 5 kanal pada 500 m (kanal 3-7) dan sisanya 29 kanal pada 1000 m (kanal 8-36). Karakteristik sensor dan spesifikasi dari satelit MODIS dapat dilihat pada (Tabel 2 dan Tabel 3).
11
Tabel 2 Karakteristik sensor satelit MODIS Kegunaan Pokok
Band
Land/Cloud/Aerosols Boundaries Land/Cloud/Aerosols Properties
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Ocean Color/ Phytoplankton/ Biogeochemistry
Atmospheric Water Vapor Surface/Cloud Temperature
Atmospheric Temperature Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude
Sumber: Maccherone 2005
Bandwidth (µm) 620 – 670 841 – 876 459 – 479 545 – 565 1230 – 1250 1628 – 1652 2105 – 2155 405 – 420 438 – 448 483 – 493 526 – 536 546 – 556 662 – 672 673 – 683 743 – 753 862 – 877 890 – 920 931 – 941 915 – 965 3.660 – 3.840 3.929 – 3.989 3.929 – 3.989 4.020 – 4.080 4.433 – 4.498 4.482 – 4.549 1.360 – 1.390 6.535 – 6.895 7.175 – 7.475 8.400 – 8.700 9.580 – 9.880 10.780 – 11.280 11.770 – 12.270 13.185 – 13.485 13.485 – 13.785 13.785 – 14.085 14.085 – 14.385
Resolution Spasial 250 m
500 m
1000 m
12
Tabel 3 Spesifikasi teknis dari satelit MODIS Spesifikasi Ketinggian Lama Rekaman Lebar Sapuan Teleskop Ukuran Berat Daya Data Kuantitas Resolusi Spasial
Waktu
Keterangan 705km 20,3rpm, sepanjang jalur 2330km dengan 10km (sepanjang jalur pada nadir 17,78cm (diameternya) 1,0m x 1,6m x 1,0m 228,7kg 162,5watt 10,6Mbps (peak per hari); 6,1Mbps (per orbit) 12 bits 250m (kanal 1-2) 500m (kanal 3-7) 1000m (kanal 8-36) 6 tahun
Sumber: Maccherone 2005
2.2.3 Pemanfaatan satelit Aqua MODIS dalam penentuan DPI Data satelit MODIS mampu memberikan informasi tentang fenomena di permukaan laut, seperti konsentrasi klorofil-a dalam permukaan air laut. Algoritma penentuan klorofil-a dilaksanakan sesuai dengan rasio radiansi atau reflektansi yang diukur dalam spektral kanal biru dan hijau data MODIS yang diperoleh dari beberapa radiansi untuk reflektansi, di antaranya, dengan panjang gelombang/spektral band (kanal 8 hingga 14, pada panjang gelombang 412 hingga 618 µm) (Suwargana et al. 2002). Sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Pada sistem penginderaan jauh warna air laut terjadi transper radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, yang sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, melekul udara, dan aerosol. Kemudian, sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment), dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan
13
dari dasar perairan juga berpengaruh pada pantulan permukaan perairan (Hendiarti 2005). Suwargana et al (2002) menjelaskan bahwa SPL dan konsentrasi klorofil-a perairan merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Lebih lanjut, Hasyim dan Salma dalam Hariyadi (2009) menjelaskan bahwa pengamatan kondisi lingkungan perikanan merupakan pengamatan kondisi oseanografi. Pengamatan yang dilakukan umumnya membutuhkan berbagai informasi, seperti suhu perairan, arah dan kecepatan arus, serta beberapa parameter lainnya (salinitas, kandungan oksigen terlarut, tingkat transparansi). Informasi lain yang sangat dibutuhkan adalah produktivitas perairan dan ketersediaan makanan. Penelitian mengenai klorofil-a dan SPL telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan menggunakan data satelit. Menurut Prasasti et al. (2003), untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a dari satelit MODIS harus diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 cukup tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, konsentrasi klorofilnya tinggi. Namun, SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, kondisi arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan. Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut, daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan SPL dari pengukuran satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3 μm – 14 μm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut sampai kedalaman 0,1 mm (Hasyim dan Salma 1999 dalam Hariyadi 2009). Suwargana et al. (2002) menjelaskan kelebihan dari pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh adalah tingginya frekuensi pengatan (empat lintasan sehari) dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan
14
dengan cara lainnya. Observasi melalui satelit ini juga sangat berguna dalam pengamatan fenomena oseanografi, terutama berkaitan dengan fenomena penaikan massa air dan thermal front yang merupakan indikator dari daerah potensi ikan yang tinggi. Oleh karenanya, diharapkan dengan tersedianya informasi ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisien proses penangkapan ikan di laut. Berdasarkan kemampuan seperti ini, penginderaan jarak jauh dapat memberikan gambaran sederhana tentang terjadinya suatu dinamika perubahan suatu objek, juga dapat memberikan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan perairan (daerah penangkapan ikan), dan sebagainya. Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen
yang
benar.
Kedua
adalah
kemampuan
pengguna
dalam
menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah.
2.3 Aspek Biologi dan Tingkah Laku Ikan Layang (Decapterus spp.) Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Divisi : Carangi Family : Carangidae Genus : Decapterus Spesies :
D. russelli D. macrosoma D. curroides D. maruadsi
15
Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Gambar 4 dan 5). Decapterus russelli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et al. 1987). Di Aceh ikan layang sering disebut dengan nama ikan reugak. Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp.) (Widodo 1988).
Sumber: www.fishbase.org
Gambar 4 Ikan layang biasa (Decapterus russelli).
Sumber: www.fishbase.org
Gambar 5 Ikan layang deles (Decapterus macrosoma).
Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompoknya dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Nurhakim et al. (1987), ciri-ciri umum ikan layang adalah: (1) Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng; (2) Memiliki sisik yang sangat halus; (3) Mempunyai dua buah finlet (sirip tambahan) yang terletak pada belakang sirip punggung dan sirip dubur; (4) Mempunyai totol hitam pada tepian penutup insang;
16
(5) Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara 20-25 cm, tetapi dapat juga mencapai 30 cm. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Lussinap et al. (1970) ikan layang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap (stenohaline organism) dan menyukai perairan yang jernih; (2) Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam; (3) Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung seperti rumpon, aktivitas akan berkurang saat membentuk gerombolan; (4) Adakalanya sifat bergerombol bergabung dengan jenis lain seperti bawal (Stromateus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Caranx spp.) dan tembang (Sardinella spp.); (5) Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan; (6) Hidup membentuk gerombolan besar (schooling), pada jarak sekitar 20-30 mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan berkedalaman kurang dari 100 m. Definisi gerombolan ikan adalah sekelompok ikan yang biasanya sejenis dan mempunyai ukuran relatif sama yang aktif bergerak bersama dan memiliki bentuk gerombolan tertentu. Bentuk gerombolan ini akan sering berubah terutama apabila terdapat rangsangan atau stimuli dari luar (Lintin et al. 1994). Alasan yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan adalah karena adanya konsentrasi makanan, menghindari predator, dan mencari habitat atau lingkungan yang sesuai (Merta 2003). Penelitian yang membahas tentang gerombolan ikan baik yang berkaitan dengan bentuk, ukuran, pergerakan atau pola dari gerombolan tersebut sudah banyak dilakukan dewasa ini. Pengamatan terhadap gerombolan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain: (1) mengamati secara langsung di dalam laut dengan melakukan penyelaman dan pemotretan, (2) mengamati melalui foto udara dengan menggunakan pesawat dan (3) pengamatan dengan
17
metode akustik, baik melalui sonar maupun echosounder (Widodo dan Burhanuddin 2003). Jenis ikan yang sering melakukan ruaya atau bermigrasi dalam bentuk gerombolan di dalam siklus hidupnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan (Lavestu dan Hayes 1982). Besarnya ukuran gerombolan ternyata berpengaruh terhadap densitas, biomassa dan kecepatan renang ikan . Gerombolan ikan yang volumenya besar umumnya memiliki biomassa yang lebih tinggi (Vasconcellos 2003). Semakin besar ukuran gerombolan ikan maka semakin lambat pergerakan gerombolan ikan tersebut (Hendiarti et al. 2005). Laevastu dan Hayes (1970) meyatakan ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17oC. Suhu distribusi ikan layang berkisar antara 12-25oC, sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 oC. Asikin (1971) mengatakan ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahunnya dengan puncak pemijahan pada bulan Maret-April (musim peralihan Barat-Timur) dan Agustus-September (musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat). Penyebaran ikan layang secara vertikal dapat dipengaruhi oleh persediaan makanan. Putlitbangkan (1994) diacu dalam Simbolon (2011) mengemukakan bahwa makanan ikan layang terdiri dari copepoda, crustacean, dan organisme lain. Sedangkan Nontji (1993) mengatakan bahwa makanan utama ikan layang adalah zooplankton, meskipun terkadang memakan ikan kecil seperti teri.
2.4 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan Layang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Gunarso (1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan ikan, baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan, maupun keberadaannya. 2.4.1 Suhu permukaan laut (SPL) Suhu merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi penyebaran sumber daya hayati laut (ikan). Setiap jenis spesies ikan mempunyai suhu optimum dan mempunyai keterbatasan toleransi terhadap perubahan suhu
18
yang ada (Laevestu dan Hela 1970). Selanjutnya, dikatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (±0,02oC) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan. Lavestu dan Hayes (1981) juga mengatakan bahwa ikan-ikan pelagis tertentu akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Sverdrup et al. (1961) menyatakan bahwa pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut berakibat dalam hal laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya aktivitas metabolisme dan siklus reproduksi. Menurut Laevastu (1993), pengaruh suhu terhadap ikan dapat mempengaruhi proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Suhu air laut di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Menurut Laevastu dan Hela (1970) perubahan SPL, selain disebabkan oleh jumlah cahaya yang diterima dari matahari, juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut. Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan (aktivitas, mobilitas), gerakan (ruaya, penyebaran), kelimpahan (penggerombolan, maturasi, fekunditas), dan pemijahan (masa inkubasi, penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan (Gastellu dan Mardio 1983). Suhu perairan sangat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan sumberdaya hayati laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi (Amri 2002). Menurut Nontji (1993), data suhu perairan dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam wilayah perairan tersebut, melainkan dapat juga digunakan untuk mempelajari kehidupan hewan dan tumbuhan yang menempatinya. Suhu dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Tinggi rendahnya SPL pada suatu perairan, terutama, dipengaruhi oleh radiasi matahari. Perubahan intensitas cahaya
19
akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut, baik secara horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan (Laevestu dan Hela 1970). Harsanugraha dan Parwati (1996) menyatakan ada dua cara untuk menentukan
SPL,
yaitu
pertama
metode
perkiraan
(estimasi)
dengan
memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh dan kedua metode pengukuran langsung (konvensional) dengan menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut. Data SPL yang diperoleh dengan metode konvensional disebut data in-situ, sedangkan yang diperoleh dengan metode metode perkiraan (estimasi) disebut pendekatan SPL eks-situ. Dari pola distribusi SPL dengan menggunakan satelit tersebut dapat dilihat fenomena-fenomena yang terjadi di perairan tersebut, seperti upwelling, front, dan pola arus permukaan. Perairan yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Perairan yang subur biasanya merupakan daerah penangkapan ikan karena ikan cenderung bermigrasi ke perairan yang subur. Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi SPL adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian, SPL biasanya mengikuti pola musiman. Lavestu dan Hela (1970) juga mengatakan bahwa untuk meramalkan berhasil atau tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan (1) suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, (2) pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isothermal permukaan, dan (3) perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan. Menurut Gunarso (1985) fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan
faktor
penting
dalam
upaya
merangsang
dan
menentukan
pengkonsentrasian gerombolan ikan. Oleh karena itu, suhu memegang peranan dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi. Ikan mempunyai kisaran
20
suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan (Amri 2002).
2.4.2 Klorofil-a Klorofil-a adalah salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Distribusi spasial dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat berhubungan dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Terdapat beberapa parameter
fisika-kimia yang
dapat
mengontrol dan
mempengaruhi sebaran klorofil-a. Parameter itu adalah intensitas cahaya, salinitas, suhu dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut akibat adanya perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung ataupun tidak langsung (Sverdrup et al. 1961). Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Hal ini terjadi karena tingginya suplai nutrien pada perairan pantai yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai. Namun demikian, terdapat beberapa tempat di perairan laut terbuka yang masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi meskipun jauh dari daratan. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan naik dan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling (Amri 2002). Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil yang mampu melaksanakan reaksi fotosintesis, yaitu air dan karbon dioksida dengan adanya sinar matahari dan garam hara yang dapat menghasilkan senyawa, seperti karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik, fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji 1993). Oleh karena itu, kandungan klorofil-a dalam perairan merupakan salah satu indikator tinggi atau rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan (Yamaji
21
1966). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Menurut Nybakken (1992), plankton memiliki peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Pada ekosistem laut, tipe jejaring makanan yang umum terjadi membentuk limas pakan (food pyramid). Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ketingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien. Nontji (2005) memperkirakan bahwa tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat diatasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai energi panas (Gambar 6). Pada tipe rantai makanan lautan, produsen pertama dimulai dari tumbuhan hijau atau fitoplankton, yang selanjutnya akan dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada konsumen tertinggi (Gambar 7).
K3 K2 K1 H PP Atas : Limas pakan (food pyramid). PP = Produsen primer berupa fitoplankton. H = Herbivora berupa zooplankton. K1 = Karnivora pertama berupa ikan-ikan kecil. H2 = Karnivora kedua berupa ikan-ikan yang lebih besar. K3 = Karnivora ketiga berupa ikan besar. Sumber: Nontji 2005
Gambar 6 Piramida makanan pada ekosistem laut.
Fitoplankton
Zooplankton
Karnivora I
Karnivora II
Sumber: Nybakken 1992
Gambar 7 Rantai makanan di lautan.
Karnivora III
22
Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, dan laju tenggelam fitoplankton (Gabric dan Parslow 1989). Selanjutnya, laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a yang tertinggi dijumpai pada muson tenggara. Pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan, terutama di perairan Indonesia Timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil (Amri 2002). Asikin (1971) mengatakan bahwa migrasi ikan layang secara langsung dipengaruhi oleh migrasi missal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton, keberadaan ikan sangat melimpah. Suwargana et al. (2002) menjelaskan bahwa kajian mengenai hubungan antara sebaran klorofil-a dan ikan pelagis dengan beberapa parameter oseanografi (fisika, kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran klorofil-a pada musim tertentu. Selain itu, kajian ini juga penting untuk mengetahui karakteristik massa air di daerah itu. Informasi itu dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan pengelolaan sumber daya perairan, khususnya, bagi industri penangkapan dan juga dapat digunakan untuk memudahkan dalam menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu.
2.5 Alat Tangkap Purse Seine Secara umum kapal-kapal yang mendaratkan hasil tangkapan ikan layang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo adalah dari jenis armada purse seine. Purse seine adalah jenis alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang bersifat pelagic schoaling species, yang ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan (shoal) serta berada di dekat permukaan air
23
(Ayodhyoa 1981). Layang bersifat suka hidup bergerombol. Cara hidup yang demikian ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap purse seine. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah alat tangkap purse seine. Menurut Ayodhyoa (1981) prinsip penangkapan ikan dengan purse seine adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, lalu jaring bagian bawah dikerutkan sehingga ikan-ikan terkumpul pada bagian kantong. Dengan kata lain, diperkecilnya ruang gerak ikan sehingga akhirnya ikan tertangkap. Jadi, mata jaring hanyalah sebagai penghadang ikan dan bukan sebagai penjerat. Pukat cincin (purse seine) di Aceh memiliki panjang antara 600-1350 m, dan lebarnya rata-rata 60-85 m. Badan purse seine terdiri dari lima bagian, setiap bagian memiliki ukuran mata (mesh size) yang berbeda. Panjang dari setiap bagian purse seine adalah 50 m (Gambar 8). Srampad (selvage) yang dipasang pada bagian atas, samping kiri/kanan dan bawah dari badan purse seine yang bertujuan untuk memperkuat purse seine pada waktu dioperasikan (terutama pada saat hauling). Selvage ini terbuat dari bahan polyethylene ukuran mata 2 inci, di bagian atas 10 mata, samping kiri/kanan 20 mata dan bawah 15 mata. Bentuk tali kang (tali ring) adalah kaki tunggal yang berfungsi untuk mengantungkan cincin pada tali ris bawah. Tali ris ini terbuat dari bahan polyethylene dengan diameter 15 mm dan panjangnya 100 cm. Tali kolor (purse line) digunakan untuk mengerutkan purse seine bagian bawah pada waktu hauling setelah purse seine selesai dilingkarkan. Dengan terkumpulnya ring, maka purse seine bagian bawah akan terkumpul menjadi satu dan purse seine berbentuk seperti mangkuk. Panjang tali kolor ini 1,5 kali lebih panjang daripada purse seine, umumnya tali tersebut terbuat dari bahan polyethylene dan kuralon berwarna putih dengan diameter 35 mm (Gambar 8). Pelampung yang digunakan terbuat dari polyvinil chlorida berwarna putih atau coklat dengan diameter 12 cm, panjangnya ± 20 cm, berbentuk lonjong yang dipasang pada tali ris atas dengan jarak antar pelampung 35-40 cm. Pemberat yang digunakan terbuat dari timah dan cincin yang digantung dengan tali kang yang berfungsi sebagai tempat lewatnya tali kolor (purse line) sewaktu hauling agar purse seine bagian bawah terkumpul. Cincin ini terbuat dari besi putih atau
24
besi kuningan dengan diameter cincin 11,5 cm dan beratnya 450 gram/cincin, jarak antar cincin sangat bervariasi yaitu 10,11,13 dan 15 meter (Gambar 8).
Gambar 8 Konstruksi alat tangkap purse seine Aceh.
2.6 Hubungan Sumber Daya Ikan Layang dengan Faktor Oseanografi Pada dasarnya pola dan siklus kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan dan fluktuasinya. Interaksi antara berbagai faktor lingkungan tersebut dan ikan senantiasa mengalami perubahan. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut meliputi faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan (Gunarso 1985). Pada banyak habitat, spesies berinteraksi dengan lingkungan di beberapa area. Keberadaan mereka tergantung pada kondisi lingkungan. Faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, antara lain, batas suhu pada struktur panas dan kesuburan perairan. Kondisi suhu merupakan faktor terbaik untuk memilih lokasi dibandingkan kondisi oseanografi lainnya. Selanjutnya, pada banyak spesies dideterminasi melalui struktur panas pada lapisan kedalaman untuk menentukan taktik dan metode penangkapan (Laevastu dan Hayes 1982). Lebih lanjut, Laevastu dan Hayes (1982) menjelaskan bahwa pada dasarnya hubungan yang erat antara faktor lingkungan dan distribusi ikan dapat menjadikan setiap ikan dan ukuran akan berbeda pola penangkapannya. Perbedaan ini juga memperlihatkan bahwa daerah penangkapan ikan akan
25
terbentuk pada wilayah-wilayah perairan yang kondisi lingkungannya sesuai dengan sumber daya ikan, termasuk ketersediaan makanan. Selain itu, juga ditunjang dengan kondisi lingkungan perairan yang mendukung habitat yang sesuai dengan spesies ikan tersebut.
2.7 Hasil Penelitian Terkait Penelitian yang telah dilakukan mengenai daerah penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dalam menentukan parameter oseanografi (SPL dan klorofil-a) menjadi bahan masukan untuk penelitian yang sedang dilakukan. Andrius (2007) meneliti mengenai model spasial informasi daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di antara perairan Selat Makasar dan Laut Jawa. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi ikan layang pada bulan Juli terdapat di antara Pulau Lumu-Lumu dan Lari-Larian hingga ke Utara Pulau Bawean. Pola migrasinya dimulai dari Pulau Lumu-Lumu dan Lari-Larian hingga ke Utara Perairan Pulau Bawean dengan informasi oseanografinya 27-30oC untuk SPL, 0,01-1,5 mg/L untuk klorofil-a, 1-2 knot untuk kecepatan arus dan 33-34 ‰ untuk salinitas. Pada bulan Agustus ditunjukkan bahwa distribusi ikan layang terdapat pada Timur Pulau Sambergalang hingga mendekati Perairan Lepas Pantai Selatan Kalimantan. Pola migrasinya dimulai dari Pulau Bawean hingga ke Utara Pulau Madura dengan informasi oseanografinya 27-28oC untuk SPL, 0,5-2 mg/L untuk klorofil-a, 1,5-2 knot untuk kecepatan arus dan 33,75-34,5 ‰ untuk salinitas. Muklis (2008) juga melakukan penelitian tentang pemetaan daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan parameter SPL dan klorofil-a dengan menggunakan satelit Aqua MODIS. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) ikan Cakalang dan Tongkol. Almuthahar (2005) melakukan penelitian dengan judul analisis SPL dan klorofil-a dari data satelit dan hubungannya terhadap hasil tangkapan ikan kembung (Rastrelliger spp.) di perairan Natuna-Laut Cina Selatan. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa validasi spasial antara daerah potensial
26
penangkapan ikan hasil pengolahan data satelit terhadap daerah penangkapan ikan yang dipilih nelayan memperlihatkan kecocokan daerah hingga ±40%. Akan tetapi, musim penangkapan ikan kembung adalah pada musim peralihan I. Pada penelitian ini juga diperlihatkan adanya hubungan yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan kembung terhadap kondisi oseanografi. Amri
(2002)
melakukan
penelitian
mengenai
hubungan
kondisi
oseanografi (SPL, klorofil-a dan arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Hasil penelitain tersebut memperlihatkan hubungan yang erat antara kondisi oseanografi dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil. Dengan kondisi SPL optimum dan kanungan klorofil-a tinggi berarti kesuburan perairan tinggi, hasil tangkapan ikan pelagis kecil juga tinggi. Pada hasil penelitian ini juga diperoleh perbedaan SPL antara hasil pengukuran satelit dan hasil pengukuran insitu pada beberapa tempat, dan juga ada kesamaan di tempat yang lain. Silvia (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daerah DPI Cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a di perairan Mentawai, Sumatera Barat. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa suhu permukaan laut dan klorofil-a tidak ada pengaruhnya terhadap hasil tangkapan cakalang, akan tetapi suhu permukaan laut dan klorofil-a berpengaruh terhadap ukuran panjang ikan cakalang. Sinaga (2009) melakukan penelitian mengenai analisis hasil tangkapan pukat ikan kaitannya dengan kandungan klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Tapanuli Tengah. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyebaran ikan di perairan Tapanuli Tengah bervariasi secara temporal dan spasial. hasil penelitian ini juga mengatakan bahwa SPL dan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap penyebaran ikan.