1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia di anugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar berupa sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat Indonesia menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Pembangunan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Pendayagunaan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat harus disertai dengan upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat baik generasi
2
sekarang maupun generasi mendatang, yang sering disebut sebagai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 1 Meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan makin meningkat pula dampak terhadap lingkungan hidup, baik dampak positif maupun negatif. Keadaan ini mendorong diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup sehingga dampak negatif terhadap lingkungan dapat ditekan sekecil mungkin. Pada dasarnya semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampak yang penting terhadap lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik termasuk sosial budaya guna dijadikan pertimbangan layak tidaknya pembangunan tersebut dilaksanakan. 2 Potensi Sumber Daya Alam di Indonesia yang sangat melimpah merupakan modal dasar pembangunan nasional dalam hal pengembangan wisata alam dan devisa Negara dari sektor nonmigas yang harus dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan baik. Agar potensi sumber daya alam tersebut dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan secara berkelanjutan bagi rakyat melalui pola pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan yang mengacu pada upaya-upaya konservasi sebagai landasan dari proses tercapainya keseimbangan antara perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan dari sumber daya alam yang terbentang luas di Indonesia.
1
RM. Gatot Soemartono, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm.69 2 Soejono, Hukum Lingkungan dan Peranannya Dalam Pembangunan, Ctk.Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, 1996,hlm 30
3
Dalam memanfaatkan sumber daya alam, sering kali pihak-pihak yang berperan dalam hal ini tidak memperhatikan keseimbangan alam, sehingga lingkungan hidup menjadi rusak. Ini terjadi pada daerah yang seharusnya menjadi kawasan konservasi malah dijadikan lahan untuk mencari keuntungan semata tanpa memperdulikan keseimbangan lingkungan. Upaya konservasi dari pemerintah unuk pengelolaan lingkungan hidup diantaranya yaitu melalui konsep, akan tetapi konsep pengelolaan sangat sentralistik dan sering mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang sebenarnya telah hidup di kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi kegenerasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan ekonomi rakyat. 3 Salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat nilai ekonomi tinggi dan salah satu potensi wisata menarik yaitu hutan. Indonesia memiliki hutan seluas lebih kurang 144 juta hektar (ha),hanya 118 juta ha, yang masih berupa hutan. Hutan seluas itu diperinci dalam hutan produksi seluas 49,3 juta ha. 4 Penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun. Ini menjadikan Indonesia salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. 5 Total dari luas hutan konservasi ini termasuk dalam peringkat terkecil dan
3
Kekerasan di hutan; Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, available at http://www.walhi .or.id/kampanye/hutan/konservasi/kekeras_hut_konserv-210103 4 Herman Haeruman, 1992 , dikutip dari salim, h.s.Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Ctk.pertama, Mei 2003. edisi revisi, sinar grafika, Jakarta, 2003, hlm 1 5 Kekerasan di hutan : Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Indonesia, available at http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/kekeras_hut_konserv_210103
4
merupakan sebuah bukti bahwa dalam upaya perlindungan terhadap hutan masih rendah. Dari penjelasan diatas maka sudah sepatutnya permasalahan lingkungan khususnya hutan di masukkan kedalam agenda penting pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk segera menyikapinya secara bijak dan bersama-sama. Di tingkat daerah, pengelolaan kawasan konservasi menjadi bagian yang tidak penting dan tidak diperhatikan, karena saat ini dipandang bahwa kawasan konservasi merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Namun untuk kawasan hutan lindung dan hutan wisata yang merupakan wewenang Pemerintah Daerah, walau demikian mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan dan pola pengelolaan yang digunakan juga tidak berbeda dengan pengelolaan kawasan konservasi, dimana di dalam kawasan hutan, tidak dibenarkan rakyat memanfaatkan sumber daya alam di dalam kawasan konservasi. Salah satu hutan konservasi yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah adalah kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang berada di kabupaten Sleman, DIY. Gunung Merapi (2968 mdpl) secara administratif berada di empat kabupaten dari dua propinsi; Kabupaten Sleman di Propinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Propinsi Jawa Tengah. Gunung Merapi merupakan salah satu gunung yang masih aktif di Indonesia yang memiliki sejuta daya tarik sekaligus mempunyai sumber daya alam (SDA) yang tak ternilai harganya dan ini sangat “menggoda” pemerintah maupun pihak investor untuk menjadikannya asset. Salah satu potensi yang menjadi asset adalah pasir alam yang berasal dari aktifitas erupsi merapi. Aktifitas masyarakat dalam memanfaatkan pasir alam adalah dengan cara penambangan. Selain itu, kawasan
5
Merapi merupakan daerah tangkapan air dan sumber air serta suplai oksigen pada daerah bawahannya untuk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Begitu penting fungsi kawasan Merapi, sehingga diperlukan sebuah sistem pengelolaan yang mampu menjamin fungsinya baik menyediakan kebutuhan air, udara, keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, termasuk masyarakat sekitar yang sering terlupakan, tertutup oleh kepentingan konservasi dengan pendekatan ekofasisme. Runtuhnya kubah lava Geger Bovo pada 14 juni 2006 menyebabkan awan panas di sungai gendol, sisi selatan-tenggara Gunung Merapi.Peristiwa itu juga menghasilkan tumpukan 6 juta meter kubik pasir, batu dan abu. Khusus abu disebut secara khusus sebagai endapan awan panas. Sejak itu pula kawah Gunung Merapi terbuka kearah sungai gendol. Erupsi-erupsi kawah selanjutnya selain mendatangkan ancaman awan panas, juga menambah jumlah tumpukan material di S.Gendol. Musim hujan, abu endapan awan panas akan menjadi lahar yang berpotensi mengancam asset-asset dan kehidupan masyarakat di alur S.Gendol dan S.Opak. Jumlah material letusan di gendol sejak juni 2006 sekitar 10 juta meter kubik. 6 Dari sisi ekonomis, penduduk di sekitar kali tersebut mengelola bekas lahar berupa pasir dan batu sebagai bahan tambang galian C. Oleh masyarakat setempat, bahan tersebut dikeruk, diangkut, dan dijual sebagai bahan bangunan.
Data
dari
pemerintah
dari
Pemerintah
Kabupaten
Sleman
menunjukkan, suplai bahan tambang galian C dari Merapi setiap tahunnya, ratarata berupa pasir sebanyak 1,13 juta meter kubik dan campuran pasir batu(sirtu) 341.850 meter kubik.Tahun 2000 dan ½ juta meter kubik akibat Erupsi tahun 6
Lahar Gunung Merapi: Jangan panik bertindak sesuai ancaman, available http://www.merapi.or.id/artikel/lahar-gunung merapi-jangan-panik-bertindak-14092008
at
6
2008. Tambang galian C menyumbang sekitar Rp 90 Milyar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sleman.Tambang galian C merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang menghidupi warga terutama masyarakat yang bermukim di daerah aliran sungai. Dalam pelaksanaannya tidak ada aktifitas pertambangan yang tidak merusak, termasuk penambangan pasir yang tergolong sebagai bahan galian C. Kerusakan akibat penambangan pasir meliputi perubahan kondisi alam, hilangnya kesuburan tanah dan perubahan tata air. Pasca penambangan, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang memilki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah gersang. Sadar dengan potensi sumber daya alam Gunung Merapi sangat melimpah serta dampak bagi lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari eksploitasi alam secara berlebihan, maka pemerintah kabupaten sleman mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk menggatasi hal ini. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan Perda Kabupaten Sleman No.16 Tahun 1996 mengenai Usaha Pertambangan bahan galian C. Perda ini bertujuan untuk memanfaatkan bahan galian golongan C untuk kemakmuran rakyat yang berdasarkan pada asas kemanfaatan dan kelestarian lingkungan. Pemerintah Kabupaten Sleman juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan (policy). Akan tetapi kebijakan yang
7
dikeluarkan cenderung mengarah kepada ekploitasi yang berorientasi pada kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan kearifan masyarakat lokal, dan diperparah lagi dengan tidak terlibatnya masyarakat sekitar dalam mengelolala sumber daya alam. Bahkan, terjadi benturan kepentingan dengan masyarakat setempat yang selama ini telah terimajinalisasikan, semakin terjepit, semakin terpotong hak-haknya sebagai warga negara.7 Kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan kawasan sendiri masih bersifat sektoral dan saling tumpang tindih. Sektoral karena ada pada sebuah kawasan yang akan dilihat dari dominasinya. Seperti Merapi hanya dipahami sebagai hutan. Padahal hutan pada kawasan merapi hanya salah satu komponen dalam sebuah ekosistem. Sedangkan tumpang tindihnya kebijakan dapat dilihat dari kebijakan yang ada yang seharusnya menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan dalam pengelolaan kawasan seperti penataan ruang, kehutanan, pertambangan, agrarian, otonomi daerah. Persoalan lain yang muncul pada umumnya negara berkembang termasuk Indonesia didalamnya pola pembangunanya menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga apapun kebijakan yang ada, kepentingan ekonomi yang akan menjadi prioritas. Akibatnya, kearifan lokal yang dahulu melekat pada sistem kehidupan masyarakat dan alam banyak pudar bahkan hilang. Di lain sisi potensi masyarakat sekitar kawasan Merapi yang begitu besar dalam hal pengelolaan kawasan, baik dari sisi konservasi maupun pemanfaatannya. Bagaimanapun peran serta masyarakat lokal akan lebih dominan dalam menentukan kawasan dibanding stake 7
Merapi-Merbabu: Dibuat untuk kepentingan siapa?.terdapat ,http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/berbasis rakyat-290103
dalam
8
holder lain. Pola-pola pengelolaan yang saat ini berkembang di masyarakat dan menjadi kebijakan lokal diantaranya pengelolaan pasir rakyat, sedangkan yang berbentuk kawasan dapat dilihat dari penetapan hutan larangan. Kearifan ini sebetulnya merupakan sebuah aturan main dalam pengelolaan kawasan yang lebih luas. Adanya Peraturan Desa pelarangan penambangan pasir di 5 desa karena pada kawasan tersebut merupakan sumber air dan rentan terhadap kerusakan lingkungan merupakan bukti tentang kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi kawasan Merapi lebih adil dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan hak dan kewajiban yang dijamin oleh Undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 5 undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), sebagai berikut: (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan yang baik dan sehat (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup
Peran serta tersebut dapat dilakukan pada setiap tahap mulai dari tahap perencanaa, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Oleh karena itulah apakah peran serta masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Merapi dalam mengelola lingkungan hidup khususnya penambangan pasir nantinya akan memiliki batasan yang lebih spesifik dari pemerintah agar tujuan demi kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercapai. Maka masyarakat dengan dunia usaha dan kepentingan lainnya yang cukup tinggi memerlukan perangkat aturan-aturan dengan melibatkan masyarakat dalam proses maupun
9
kebijakan itu dikeluarkan. Sehingga dapat mewujudkan budaya konservasi dan mengikis budaya eksploitasi
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan atas latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat ditarik beberapa permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana peran serta masyarakat dalam pengelolaan SDA khususnya pasir alam yang ada di TNGM ? 2. Apakah pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut sudah sesuai dengan pasal 5 ayat (3) UUPLH? C.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui peran serta masyarakat dalam pengelolaan SDA khususnya penambangan pasir yang ada di TNGM.
2.
Untuk mengetahui kesesuaian antara peran serta masyarakat tersebut sudah sesuai dengan pasal 5 ayat (3) UUPLH
D.
Tinjauan Pustaka Bangsa Indonesia dianugrahi sumber daya alam yang berlimpah sebagai
modal
dasar
penggunaannya,
untuk maka
pembangunan. diberikanlah
Untuk
mencapai
kepada
negara
mengelolanya demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
sebuah
efektifitas
kewenangan
untuk
10
Dasar hukum kewenangan dan kewajiban negara mengelola lingkungan hidup tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UUD yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Yang kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satunya ialah dalam pasal 8 ayat (2) UUPLH, yang menyatakan kewenangan pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup berupa: 1.Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup; 2.Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika. 3.Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika. 4.Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 1 poin (1) UUPLH memberikan defenisi lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan pengertian lingkungan hidup terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah, air, udara, rumah, sampah, mobil, angin dan lainnya. Keseluruhannya disebut sebagai materi. Sedangkan satuannya disebut komponen.
2.
Daya, disebut juga dengan energi.
3.
Keadaan, disebut juga kondisi atau situasi.
4.
Perilaku atau tabiat.
5.
Ruang, yaitu wadah berbagai komponen berada.
11
6.
Proses interaksi, disebut juga saling mempengaruhi atau dengan istilah jaringan kehidupan. 8
Lingkungan hidup merupakan bagian penting yang mutlak harus ada dalam kehidupan manusia. Melalui lingkungan hidup, manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat primer, sekunder ataupun tersier. Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan hidup. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah rencana pengelolaan lingkungan hidup yang komprehensif dan berlanjut, agar manusia dapat terus memanfaatkan lingkungan hidup melalui pembangunan demi kesejahteraannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tanpa pembangunan akan membawa masyarakat pada kesengsaraan, tetapi pada sisi lain pembangunan juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Di dalam Al Qur’an dijelaskan, bahwa keseluruhan yang ada di bumi ini diperuntukkan oleh Allah SWT untuk keperluan seluruh umat manusia, bahkan Allah SWT memerintahkan agar manusia sebagai khalifah di muka bumi dapat memanfaatkannya secara maksimal (QS.2:30 dan Q.S.38:26). Tetapi perintah itu bukan berarti manusia dapat mengelola sumber daya alam atas dasar selera pribadi. Karena perbuatan itu tidak sejalan dengan salah satu tugas khalifah, yaitu sebagai pemakmur bumi dan rahmat bagi seluruh sekalian alam (Q.S.11:61 dan Q.S.21:107). Dan apabila kita merenungkannya maka kita akan menyadari bahwa pelarangan untuk melakukan berbagai kerusakan di muka bumi adalah semata 8
Eko Yudhi Prasetyo, Pengelolaan Lingkungan Hidup Ditinjau Dari Aspek Hukum, Karya Tulis Unisi Member’s, MAPALA UNISI, Yogyakarta, 2005, hlm.8 – 9
12
berpulang untuk kepentingan umat manusia itu sendiri, karena akibat dari kerusakan itu manusia sendiri yang akan merasakannya (Q.S.28:77 dan Q.S.30:41). Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, masalah lingkungan banyak timbul dikarenakan kurangnya atau tidak meratanya pembangunan. Kesejahteraan masyarakat dipercaya sebagai fondasi dasar dalam menjaga kelestarian lingkungan. Untuk mensinergiskan antara pembangunan dan kelestarian maka pembangunan haruslah dilakukan dalam koridor berwawasan lingkungan sehingga menjadi berkelanjutan untuk jangka panjang.9 Pada Pasal 1 poin 3 UUPLH memberikan defenisi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Ciri-ciri dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ialah sebagai berikut: 1.
Mampu melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.
Mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara lestari.
9
Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hlm.7 – 15
13
3.
Menggunakan prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan untuk mendukung perikehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang. 10
Konsep pembangunan berkelanjutan dipercaya sebagai sebuah solusi dalam pelaksanaan pembangunan yang tidak merusak. Dimana di satu sisi kebutuhan masyarakat saat ini dapat terpenuhi dan di sisi lain kebutuhan masyarakat generasi mendatang dapat tetap terjaga. Namun dalam prakteknya, pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan sering menemui hambatan. Adapun faktor-faktor yang memicu terjadinya hambatan dalam pelaksanaan pembangunan, ialah: 1.
Perkembangan penduduk dan masyarakat Ciri-ciri masalah kependudukan di Indonesia ialah jumlah penduduk makin bertambah, tidak meratanya persebaran penduduk, sebagian besar penduduk berusia muda dan besarnya jumlah penduduk yang bermata pencaharian dari sektor pertanian.
2.
Perkembangan sumber daya alam dan lingkungan Jumlah ketersediaan sumber daya alam di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah permintaan akan sumber daya alam. Masalah yang timbul adalah bahwa kemiskinan dan keterbelakangan penghayatan lingkungan hidup mendesak keperluan untuk mengelola sumber daya alam secara tepat dan efektif sehingga kurang mengindahkan faktor ketahanan lingkungan hidup.
3.
10
Perkembangan teknologi dan kebudayaan
RM. Gatot Soemartono, Op.Cit. hlm.201
14
Dalam
dunia
internasional,
khususnya
negara
maju,
banyak
mengembangkan teknologi dengan metode yang padat modal beserta tenaga kerja yang berkualitas, sehingga banyak menghasilkan teknologi tepat guna. Hal sebaliknya yang terjadi di Indonesia, dimana kekurangan modal dan sumber daya manusia yang juga kurang berkualitas. Sehingga kurang menghasilkan teknologi yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup Indonesia. 4.
Perkembangan ruang lingkup internasional Laju pembangunan Indonesia sangat dipengaruhi oleh hubungan dunia internasional termasuk di bidang perdagangan, teknologi, investasi, bantuan luar negeri dan angkutan. Namun dengan pola pembangunan yang berlaku selama ini, dimana dominasi pasar sangat berpengaruh mengakibatkan pembangunan yang dilakukan hanya menghasilkan kemajuan yang disertai dengan kerusakan lingkungan, karena teknologi produksi dan pola konsumsi tumbuh berkembang dengan tidak memperhitungkan pengaruhnya kepada lingkungan. 11
Menurut Diana Conyers, ada tiga alasan utama mengapa peran serta masyarakat mempunyai sifat penting, yaitu: 1.
Peran serta masyarakat merupakan instrumen guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan akan gagal.
11
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001,Edisi ketujuh, Ctk. Keenam belas, hlm.49 – 51
15
2.
Masyarakat
akan
lebih
mempercayai
proyek
atau
program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya. 3.
Peran serta masyarakat menjadi suatu hal yang urgen karena berkembangnya persepsi bahwa hak berperan serta merupakan perwujudan dari hak demokrasi. 12
Peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Gunung Merapi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan karena masyarakat lokal khususnya yang akan berperan secara langsung menyelamatkan lingkungan bila terjadi bencana yang berasal dari alam itu sendiri maupun yang dibuat oleh manusia, karena secara langsung maupun tidak langsung dampak dari bencana tersebut akan dirasakan oleh masyarakat lokal. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan budaya yang ada di masyarakat seperti hal tersebut diatas misalnya tidak akan segera tampak bagi orang dari luar masyarakat yang bersangkutan. 13 Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan hak yang dijamin oleh Undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 5 Undangundang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yaitu: (1) (2) (3) 12
Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan yang baik dan sehat Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup
Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, dikutip dari Suparjan dan Hempri Suyatno, Pengembangan Masyarakat: Dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan, Ctk. Pertama, Aditya Media, Yogyakarta, 2003, hlm.53 13 Hari Purwanto,”Aspek Sosial-Budaya dan Masalah lingkungan di Desa”, dalam kebudayaaan Dan Lingkungan, cetakan pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, November 2000, hlm 215.
16
Perusakan dan gangguan terhadap alam sangat bergantung pada kehidupan dan kondisi ekonomi penduduk yang tinggal di zona penyangga tersebut nantinya. Semakin besar aktifitas ekonomi penduduk tersebut bergantung pada pemanfaatan dari sumber-sumber daya alam, semakin besar pemanfaatan sumber daya alam secara tidak terkendali maka semakin besar terjadinya perusakan terhadap lingkungan. 14 Dalam realitas kehidupan banyak masyarakat masih mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok yang hanya mencari keuntungan dari sektor ekonomi semata tanpa memperhatikan faktor lingkungan sehingga hal tersebut yang nantinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan terus meningkat. Akan tetapi istilah bumi putra, ibu pertiwi, dan anak negeri menjadi sumber dan dasar timbulnya prinsip rakyat, bahwa orang akan hidup aman dan sejahtera apabila tetap setia menjaga dan memelihara bumi kelahirannya.15 Bila di tinjau secara yuridis melalui hukum adat yang ada dalam menyikapi permasalahan, sebenarnya dapat dicarikan jalan keluarnya melalui pihak ketiga sebagai mediator yang diharapkan dapat memberikan penyelesaian dengan proses win-win solution, dimana metode ini bukanlah hal yang baru karena sebenarnya telah menjadi kebiaasan adat dalam menyelesaikan permasalahan dan metode seperti ini telah diangkat ke tingkat nasional dengan sistem-sistem yang telah disesuaikan dengan perkembangan Zaman. 14
15
Franz Von benda-beckman,” Manajemen Pelestarian tanah dan hutan”,dalam Franz von Benda beckmann, keebet von Benda-beckmen, juliette konig(editor), Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, cetakan pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, September 2001, hlm 184. M.Syamsudin, ”Mengenal Alam pikiran Tradisional Tentang Hubungan Manusia Dengan Alam”, dalam Hukum dan Bencana Alam di Indonesia, cetaka pertama, FH UII dan JICA, Yogyakarta, Juli 2000, hlm 36.
17
Pada dasarnya semua usaha pemanfaatan sumber daya alam haruslah dilandasi dengan rasa bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Agar dampak-dampak yang terjadi dapat di hindarkan. Dalam pemanfataan sumber daya alam khususnya penambangan pasir yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi haruslah mengacu kepada aturan-aturan yang dikeluarkan baik itu dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah daerah Kabupaten sleman yang berkompetensi dalam hal ini sudah mengeluarkan sebuah peraturan daerah yang diharapkan nantinya akan meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari penambangan bahan galian C khusunya pasir Gunung Merapi. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tertanggal 4 Februari 2008 patut membuat masyarakat terjekut. PP itu melegalkan pertambangan di kawasan hutan lindung. Padahal, Pasal 38 Ayat (4) UU kehutanan menyebutkan, ”Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” Sejak dulu kegiatan pertambangan memang telah dilakukan di wilayah hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan lindung dan konservasi. Ketika reformasi lahir, masyarakat mengharapkan adanya perlindungan yang lebih kokoh atas nasib hutan dan nasib masyarakat secara keseluruhan. Amanat reformasi di sektor kehutanan kemudian diformalkan dalam UU kehutanan. Inti dari UU ini adalah penegasan keberpihakan terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat lokal di atas kepentingan ekonomi segelintir orang. Isu ini hampir tak tersentuh pada UU kehutanan sebelumnya. Empat tahun
18
lalu kritik mengalir deras saat pemeritah mengesahkan Perpu No 1/2004 tentang perubahan atas UU kehutanan. Perpu itu mengijinkan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung bagi perusahaan yang memperoleh izin sebelum berlakunya Undang-undang Kehutanan. Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi areal pertambangan menimbulkan setidaknya dua bahaya. 1. Fungsi hutan lindung sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan penyedia keragaman hayati akan musnah. Padahal, berbagai fungsi tersebut begitu vital dan unik sehingga eksistensinya tidak tergantikan. 2. Hingga sekarang hampir tidak ada bukti yang menunjukkan suatu perusahaan pertambangan mampu merehabilitasikan lingkungan yang rusak akibat kegiatan pertambangan yang dilakukan. Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan biasanya berbentuk lubang tambang, air asam tambang, dan limbah tailing. Ketiganya sama-sama mengancam kelestarian ekosistem. Keuntungan ekonomis pun sebenarnya tidak dapat dijadikan pembenaran aktivitas tambang di hutan lindung. Berbagai penelitian membuktikan pendapatan pemerintah dari aktivitas tersebut hanya setengah hingga seperlima dari nilai kerusakan akibat kehilangan kegunaan ekonomis hutan lindung. Bahkan, bisa seperlima belasnya jika nilai ekonomis hutan lindung dihitung dalam keadaan utuh. Agar hak-hak masyarakat tidak terabaikan untuk berperan serta dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi khususnya pengelolaan Sumber
19
Daya Alam yang ada di kawasan Gunung Merapi, maka perlu adanya perdampingan bagi masyarakat dalam rangka pemberdayaan dengan hasil yang diharapkan yaitu pengetahuan yang menyeluruh tentang dampak pembangunan Taman Nasional Gunung Merapi terhadap kehidupan masyarakat yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam mengambil keputusan, khususnya dalam memperhitungkan dampak atau akibat yang muncul serta memperbaiki kebijaksanaan yang kurang sesuai dengan konservasi gunung Merapi. Untuk menindak lanjuti hal ini maka di butuhkan program berkelanjutan dalam hal pengawasan. Bentuk kebijaksanaan yang perlu di tempuh yaitu dengan adanya kesepakatan rasional antara lain: 1.
Pelestariaan Merapi harus dijalankan oleh semua elemen secara terpadu dan setara.
2.
Pelestarian lingkungan jangan sampai merugikan masyarakat lokal sebagai pemilik Merapi
3.
Pengelolaan merapi memperhatikan kearifan lokal yang ada di masyarakat baik budaya serta pemanfaatan sumber daya alam
4.
Menghilangkan anggapan yang menempatkan masyarakat sebagai obyek yang penurut, diam, suka merusak, sulit diatur, dan tidak mengerti
5.
Memahami sikap masyarakat dalam memutuskan baik menolak ataupun menerima. 16
Pilihan pelestarian alam dengan mengelola sumber daya alam yang ada di kawasan Gunung Merapi melalui bentuk Taman Nasional oleh sebagian pihak dianggap mampu menjawab dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul akibat kurangnya kontrol terhadap upaya kelestariaan lingkungan. Namun pihak
16
Sigit Gendon Widdiyanto,”Peran Masyarakat dan Gunung Merapi”, artikel pada Kedaulatan rakyat, 26 September 2002, hlm 1.
20
yang lain berpendapat, masih banyak hal yang dianggap belum biasa di akomodasikan oleh sebuah sistem Taman Nasional. 17 Karena sistem pengelolaan yang masih dalam proses pembuatan sehingga faktor manajemen dalam bencana, pengorganisiran alam pengelolaan serta pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. E.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan ialah penelitian Hukum normatif, yang
menggunakan metode sebagai berikut: 1.
Objek Penelitian a.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan SDA khususnya pasir alam
dengan cara penambangan di Taman Nasional Gunung
Merapi b.
Kesesuaian antara peran serta masyarakat yang dilakukan terhadap Pasal 5 ayat (3) UUPLH.
2.
Subjek Penelitian a.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi
b.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam
c.
Kepala Bidang Pertambangan Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA)
17
d.
Kepala Kecamatan Cangkringan
e
Kepala Kecamatan Pakem
f.
Pimpinan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yoogyakarta
E.T Paripurno, ”Mendialogkan Kembali Merapi Kita”. artikel pada Kedaulatan Rakyat, 25 September 2002, hlm.1.
21
3.
Sumber data a.
Sumber data primer diperoleh dari penelitian lapangan (field research)
b.
Sumber data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library research).
4.
Teknik pengumpulan data a.
Data Primer, di peroleh dengan melakukan wawancara terhadap subjek penelitian.
b.
Data Sekunder, diperoleh dengan melakukan Studi Kepustakaan dan Studi Dokumentasi.
5.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah Metode
Pendekatan Yuridis-normatif. 6.
Analisis data Metode Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah Metode
Deskriptif Kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif. Deskriptif ialah prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan jalan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek peneliti berdasarkan fakta-fakta yang ada. Kualitatif ialah menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu mempelajari secara utuh dari apa yang dinyatakan oleh responden dan dokumen-dokumen.
22
G.
Sistematika Skripsi
1.
Bab tentang Pendahuluan. Pada bab ini menyajikan secara berurut mulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan metode penelitian yang dipakai. Bab ini lebih diarahkan sebagai pengantar ke bab-bab berikutnya, khususnya mengenai metode penelitian yang dipakai, sehingga penyajian informasi tentang objek penelitian lebih bersifat umum.
2.
Bab tentang tinjauan umum tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bab ini menyajikan gambaran umum mengenai konsep teoritik, fungsi, tujuan, bentuk dan dasar-dasar hukum yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
3.
Bab tentang pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penambangan pasir di TNGM. Bab
ini
menyajikan
pendiskripsian
dari
penambangan,
hak-hak,
pelaksanaan peran serta masyarakat dilapangan, permasalahan yang terjadi, penyelesaiannya dan penegakan hukumnya. Dengan penjabaran data yang ada maka sesuai dengan judul dan rumusan yang ada maka bab setelah ini akan memberikan kesimpulan dan saran. 4.
Bab Penutup.
23
Bab ini menyajikan kesimpulan dan saran, yaitu mengenai uraian kesimpulan dari masalah yang diteliti dan memberikan rekomendasi untuk menyikapi permasalahan yang belum terselesaikan.