Foto 20. Gerbang Paduraksa di bagian Jaba Tengah Pura Beji – Sangsit Foto 21. Gerbang Bentar menuju area Jaba Tengah Pura Beji
Foto 22. Padmasana Pura Beji – Sangsit yang terletak di bagian paling dalam atau Jeroan yang merupakan areal paling suci
2. Pura Ponjok Batu : S: 08° 05ˈ 39,3" dan E: 115° 16ˈ 20,6"
Koordinat Elevasi
: 54,5 m dari muka laut
Objek
: Pura
Bahan
: Bata
Masa/periodesasi
: Sejarah
Tanda alami
: Laut, dipinggir jalan raya Singaraja - Tejakula
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Pengelola
: BP3
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Ibadah dan wisata Lokasi
: Dusun Alas Sari, Desa Pacung, Kec. Tejakula, Kab. Buleleng 64
Diskripsi situs
: Pura Ponjok Batu merupakan Pura Sad Kahyangan
atau pura utama Pulau Bali. Di lokasi pura ini pernah ditemukan sarkofagus pada tahun 1922 di sebelah selatan pura, tahun 2010 ditemukan sarkofagus lagi tetapi rusak (pacah berkeping-keping) karena terkena bouldoser pada saat pembuatan halaman parkir di sebelah barat pura. Di bagian Jeroan (utamaning mandala) terdapat arca Siwa berdiri yang diletakkan di pelinggih. Pura Ponjok Batu ini terletak lebih kurang 24 km di sebelah timur Kota Singaraja, termasuk wilayah Kecamatan Tejakula, Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng. Secara horisontal, pura ini terbagi atas beberapa halaman, yaitu: Halaman I, merupakan halaman depan yang berbatasan langsung dengan jalan raya jurusan antara Singaraja (Kab. Buleleng) dengan Amlapura (Kab. Karang Asem). Dari halaman I untuk ke halaman II harus melalui anak tangga sebanyak 26. Halaman II. Pada halaman ini tidak ada bangunan kecuali sebuah pelinggih yang ada di sebelah kiri jalan. Dari halaman II ini untuk ke halaman III ada 11 anak tangga yang harus dilalui. Setelah melewati anak tangga tersebut sebelum sampai ke halaman III terdapat gapura. Gapura ini bentuknya candi bentar atau gapura gapit. Halaman III. Merupakan halaman dalam. Pada halaman ini terdapat beberapa bangunan, yaitu: 1.
Kolam yang ada di tengah-tengah halaman, yang di atasnya ada bangunan terbuka di keempat sisinya.
2.
Di pojok kanan ada bangunan bertingkat.
3.
Di pojok kiri ada bangunan Kulkul tempat kentongan.
4.
Di sebelah kiri ada dua (2)bangunan: satu bangunan sebagai empat gamelan dan bangunan lainnya berupa bale-bale dengan batur setinggi 1 meter.
Halaman IV merupakan halaman utama. Untuk sampai ke halaman ini terdapat 3 gapura, yaitu gapura tengah dan samping. Gapura tengah dengan 12 anak tangga, sedang gapura samping masing-masing dengan 10 anak tangga. Ketiga gapura tersebut berbentuk paduraksa.
65
Pada halaman inti ini segala bentuk upacara dilakukan. Setelah melewati gapura sampailah pada sebuah altar. Di depan altar terdapat 2 bangunan terbuka yang dibuat dari bahan batu cor. Bangunan ini agak tinggi dengan 6 anak tangga. Di bagian paling belakang terdapat 5 bangunan, yang masingmasing diperuntukkan bagi: a). Ida Sang Hyang Widi, b). Dahyang Nirari, c). Siwa, d). Ganesa dan Nandi, dan e). Baruna (dewa Laut). Nara sumber
: Nama
: Kadek Pasek (36 tahun)
Alamat
: Dusun Alas Sari, Desa PacKec. Tejakula, Kab. Buleleng
Jabatan
: Pemandu wisata
Foto 23. Pura Ponjok Batu, Desa Pacung, Kecamatan Tejakula
Legenda / Asal-muasal Berdirinya Pura Berdasarkan informasi pengurus Pura (Bpk Kadek Pasek) serta dari berbagai referensi diketahui, legenda atau asal muasal berdirinya Pura Ponjok Batu ini erat hubungannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Dalam Dwijendra Tattwa antara lain
dikisahkan
bahwa,
pada
zaman
pemerintahan
Dalem
Gelgel
Sri
Waturenggong, sekitar tahun 1411 Saka atau 1489 Masehi, di Bali datanglah 66
Danghyang Nirartha yang kemudian dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Setelah beberapa lama beliau tinggal di Gelgel, maka pada suatu hari, Danghyang Nirartha ingin meninjau daerah Bali di sebelah Utara Gunung (Den Bukit) yaitu Buleleng, yang seterusnya berniat akan melanjutkan perjalanan terus menyeberang ke Sasak (Lombok). Sesudah berjalan beberapa hari lamanya, sampailah Danghyang Nirartha pada suatu tempat di pantai utara Pulau Bali yang letaknya di sebelah barat laut Gunung Agung. Tempat itu berupa sebuah tanjung yang berupa bebatuan dimana pada celah-celah batu tumbuh pepohonan berupa semak. Pada sebuah tempat yang agak tinggi, Danghyang Nirartha berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar untuk menikmati pemandangan laut Jawa yang terhampar luas di depannya. Tidak dikisahkan entah sudah berapa lama Danghyang Nirartha berada di tempat itu, pada suatu hari tidak jauh dari tempat beliau duduk arah sebelah Timur terdampar sebuah perahu. Timbul keinginan beliau untuk mengetahui apa gerangan yang menyebabkan perahu tersebut terdampar, lalu tempat perahu itu terdampar didekatinya. Setelah diperiksa ternyata perahu itu mendapat kerusakan yaitu tiang layarnya patah dan layarnya robek-robek, sedang tali temalinya terputus. Anak buah dan nahkoda perahu tersebut terlempar ke pantai dalam keadaan mabuk laut dengan kondisi fisiknya sangat lemah dan tergeletak di atas pasir seakan-akan tidak berjiwa lagi. Danghyang Nirartha menyaksikan kondisi mereka yang sangat mengerikan dan menyedihkan itu menjadi iba hati, lalu segera memberikan pertolongan. Dengan kekuatan bathinnya, anak buah dan nahkoda perahu itu oleh Danghyang Nirartha diberikan babayon (tenaga) secara gaib, sehingga anak buah dan nahkoda perahu tersebut menjadi siuman dan sadarkan diri, dan tiada lama mereka sudah dapat duduk di atas pasir. Menyadari dirinya ditolong, lalu mereka menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Danghyang Nirartha, karena mereka yakin bahwa tanpa pertolongan beliau ini mereka pasti menemui ajalnya. Kemudian Danghyang Nirartha bertanya kepada anak buah dan nahkoda perahu tersebut demikian,”Darimana saudara sekalian ini?”, dan segera dijawab oleh nahkoda perahu itu,:”Ya Paduka Pandita, kami ini bertujuh (7 orang adalah berasal dari Sasak (Lombok), dan di dalam pelayaran ini kami mendapat bahaya yaitu sekitar kurang lebih 1 bulan perahu 67
kami terombang-ambing oleh ombak dan gelombang laut serta kami sampai kehabisan bekal.” Seterusnya nahkoda perahu itu melanjutkan ceriteranya: “Entah sudah berapa lama kami tidak makan dan minum ditambah lagi mabuk laut, sehingga kami tidak sadarkan diri. Dalam siatuasi dan kondisi yang demikian, kami sudah tidak ada harapan hidup, dan nasib kami serahkan atas kehendak Yang Maha Kuasa, yang akhirnya kami terdampar dan terlempar di pantai ini. Kami menghaturkan banyak terima kasih yang keluar dari hati nurani kami yang paling dalam atas belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita, yang berkenan menghidupkan kami kembali. Kami yakin tanpa belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita kami tidak akan mungkin hidup seperti sekarang,” demikian jawaban dan ceritera nahkoda perahu tersebut. Oleh karena ketujuh orang itu tampaknya
sudah
agak
pulih
kesehatannya,
lalu
Danghyang
Nirartha
memberitahu kepada mereka itu untuk membersihkan diri masing-masing dan minum air pada sebuah mata air yang baru saja timbul. Kemudian mereka disarankan mencari buah-buahan di dalam semak-semak untuk dimakan, dan setelah itu mereka lakukan, kemudian mereka beristirahat dan bermalam bersama Danghyang Nirartha disana. Di sana Danghyang Nirartha menyarankan, andaikata mereka akan kembali berlayar ke Sasak (lombok) sebaiknya esok harinya saja dan Danghyang Nirartha akan ikut ke Sasak (Lombok). Semua saran dan nasehat Danghyang Nirartha itu diturut dan ditaati oleh anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, dan pada malam harinya mereka bermalam di sana. Tidak dikisahkan bagaimana gembira hatinya anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, besoknya pagi-pagi mereka sudah bangun dalam keadaan fisik yang segar bugar sebagaimana keadaan sebelumnya. Menurut mereka hal ini terjadi tidak lain adalah berkat kekuatan bathin dan ketinggian ilmu gaibnya Danghyang Nirartha. Hari itu keadaan laut tenang karena tidak ada gelombang besar seperti hari kemarinnya, serta menurut hemat Danghyang Nirartha saat itu adalah waktu yang baik untuk berlayar ke Sasak (Lombok). Mereka lalu bersamasama dengan mempergunakan perahu itu berlayar menuju ke Sasak (Lombok) dalam keadaan selamat dan sampai ke tempat tujuan, walaupun perahu itu tanpa layar. Sesudah tanjung Batu itu ditinggalkan oleh Danghyang Nirartha terjadilah keajaiban yang membuat orang-orang di sekitarnya terheran-heran, karena setiap malam hari di bekas tempat Danghyang Nirartha berhenti dan duduk itu batu68
batunya menyala. Orang-orang itu ingin melihat dan membuktikan apa gerangan yang telah terjadi di atas batu-batu tersebut, sehingga setiap hari Tanjung Batu itu ramai dikunjungi orang. Mereka itu bukan saja ingin mengetahui mengenai keajaiban yang terjadi di sana, melainkan ingin mendapatkan keselamatan, lalu mereka melakukan persembahyangan di sana. Akhirnya di sana dibangun sebuah Pura atau kahyangan dengan bangunan sucinya berbentuk sebuah “Sanggar Agung” dan Pura atau Kahyangan itu diberi nama “Pura Ponjok Batu” sesuai dengan tempat itu yang merupakan tanjung batu. Kata “tanjung” sama dengan “ponjol” dalam bahasa Bali, sehingga kata “ponjok batu” berati “tanjung batu”, dan sekarang pura atau Kahyangan itu menjadi tempat persembahyangan umum, untuk memohon keselamatan. Tidak mustahil bahwa sampai sekarang sudah terjadi perubahan-perubahan dari aslinya pura atau kahyangan tersebut, baik mengenai arealnya maupun mengenai palinggih (banguna sucinya). Tentu saja perubahan-perubahan itu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan penyungsungnya, namun yang jelas dilihat dari segi status dan fungsi dari Pura Ponjok Batu ini masih tetap sebagaimana semula. Dari uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Pura Ponjok Batu ini tidak dapat dipisahkan dengan kisah perjalanannya Danghyang Nirartha. Arsitektur lingkungan pura juga mencerminkan gaya khas yaitu seluruh bangunan terbuat dari susunan batu-batu alam yang terdapat di sekitar lokasi.
Foto 24. Perahu yang ditumpangi Danghyang Nirartha
3. Pura Puseh Sembiran Koordinat
: 08° 07’ 24,98” S dan 115° 17’ 12,8” E
Ketinggian (dpal)
: 374,5 meter dari permukaan laut
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Abad/tahun
: --69
Deskripsi objek
: Secara horisontal, pura ini terbagi atas 2
halaman: a.
Halaman I, merupakan halaman depan. Untuk masuk ke halaman depan terdapat 2 gapura besar dan kecil. Kedua gapura tersebut berbentuk candi bentar atau gapura gapit. Gapura utama bentuknya lebih besar dan dilengkapi dengan 8 anak tangga. Sedangkan gapura kecil dilengkapi dengan 6 anak tangga. Pada halaman ini terdapat 11 bangunan dan 1 altar.
b.
Halaman II, merupakan halaman belakang. Untuk masuk ke halaman belakang ini terdapat 2 pintu atau gapura berbentuk paduraksa. Untuk melewati kedua gapura harus melalui 4 anak tangga, demikian pula sebaliknya jika akan keluar. Pada halaman ini terdapat beberapa bangunan, yaitu:
Bangunan inti, berdenah bujur sangkar, beratap tumpang 7 yang ditutup dengan ijuk. Bangunan ini berdiri di atas batur yang tinggi dengan anak tangga berjumlah 13. Merupakan bangunan tertutup Di sebelah selatan bangunan inti terdapat 3 bangunan dari kayu. Ketiganya berdenah bujur sangkar dengan ukuran 2,5 x 2,5 m. Di depan bangunan inti terdapat 3 bangunan terbuka yang dibuat dari, berdenah bujur sangkar dengan ukuran 2,5 x 2,5 m. Di sebelah utara bangunan inti terdapat tembok pemisah yang memisahkan halaman utara dengan halaman selatan. Pada halaman utara terdapat 3 bangunan terbuka yang terbuat dari kayu dan berdenah bujur sangkar dengan ukuran 2,5 x 2,5 m. Tanda alami
: disebelah selatan merupakan semak belukar
Lahan
: Pekarangan
Pemilik objek
: masyarakat adat
Pengelola
: masyarakat
Kondisi
: Cukup terawat
Pemanfaatan sekarang
: Sebagai tempat upacara agama
Lokasi
: Desa Pakraman Sembiran, Kec. Tejakula, Kab. Buleleng
Nara sumber/informan
: 70
1. Nama
: Nengah Sukiana48 tahun
Alamat
: Desa Pakraman Sembiran, Kec. Tejakula, Kab. Buleleng
Jabatan 2. Nama
: Kepala adat Desa Pakraman Sembiran : Nengah Ardana45 tahun
Alamat
: Desa Pakraman Sembiran, Kec. Tejakula, Kab. Buleleng
Jabatan
: Wakil kepala adat Desa Pakraman Sembiran
Foto 25. Pura Puseh Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula
71
4. Pura Puseh Bale Agung Julah Koordinat
: 08° 06’ 53,7” S dan 115° 17’ 58,1” E
Ketinggian (dpal)
: 87,5 meter dari permukaan laut
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Pemanfaatan sekarang Lokasi adimistrasi Deskripsi objek
: Sebagai tempat upacara keagamaan : Desa Julah, Kec. Tejakula :
Bangunan Pura yang bercorak tradisonal, ciri khasnya pada bagian gapura paduraksa di halaman jeroan dan jaba tengah. Bangunan pelinggih dan meru sudah diganti baru pada tahun 2011. Di salah satu rumah penduduk bernama Bapak Nengah Mudana masih terdapat bangunan rumah tradisional berbahan batubata mentah (popol) dan penggunaan lesung batu (4 bh) yang masih digunakan hingga sekarang.
Foto 26 . Pura Puseh Bale Agung, Desa Julah Kecamatan Tejakula
5. Pura Segara Julah Koordinat
: 08° 06’ 20,8” S dan 115° 18’ 02,7” E
Ketinggian (dpal)
: 27 meter dari permukaan laut
72
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Abad/tahun
:
Deskripsi objek
:
Pura Segara Julah kemungkinan merupakan lokasi pelabuhan kuno desa julah seperti yang disebutkan dalam beberapa prasasti Bali Kuno, tetapi tidak ditemukan indikasi yang kuat untuk mendukung pendapat tersebut. Di sebelah timurnya terdapat usaha kerang mutiara yang baru dimulai tahun 2010. Wilayah pantainya terjadi abrasi sehingga banyak tanah yang longsor dan pohon kelapa yang tumbang Foto
:
Foto 27. Pura Segara Desa Julah, Kecamatan Tejakula
6. Pure Pande Tamblingan Koordinat
: 08° 16’ 16,6” S dan 115° 05’ 16,6” E
Ketinggian (dpal)
: 1255 meter dari permukaan laut
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Lokasi
: Desa Munduk, Kecamatan Banjar
Deskripsi objek
: Harus menyebrang dengan perahu jika akan
ke pura Pande tamblingan. Pura ini dibangun pada tahun 2007 oleh para penyungsung .
Terdapat temuan beberapa palung baru (penyaeban) yang
sudah tidak difungsikan. Yang diletakkan di jaba pura. Kondisi air semakin meningkat sehingga beberapa bagian pura terutama jaba, dan jero tengah airnya masuk ke lokasi tersebut.
73
Foto 28. Pura Pande Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar
7. Pure Dalem Tamblingan Koordinat
: 08° 15’,3” S dan 115° 08’ 10,1” E
Ketinggian (dpal)
: 1262 meter dari permukaan laut
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Lokasi
: Desa Munduk, Kecamatan Banjar
Deskripsi objek
: Terdapat meru tumpang 13 dan beberapa batu
alam yang disucikan. Terdapat 4 buah palung batu
74
Foto 29 . Pura Dalem Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar
8. Pura Pulaki Situs
: Pura Pulaki
Lokasi Administrasi
: Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak.
Koordinat
: 08° 08’ 40,8” S ; 114°40’51,0” E
Elevasi
:
Objek
: Pura
Bahan
: batu, kayu
Masa/periodesasi
: Klasik Hindu Bali (living monument)
Abad
: awal abad 15 – 16 Masehi
Diskripsi Objek
:
Pura Pulaki terletak di Desa Banyu Poh Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja, atau satu jam perjalanan dari kota. Pura ini terletak di sisi kiri jalan raya jurusan SingarajaGilimanuk, dan selalu disinggahi
umat Hindu Bali yang melintasi jalan
tersebut untuk bersembahyang atau berdo’a. Lokasi pura berada di kaki bukit persis di depan pantai Pulaki. Lokasi Pura Pulaki memang cukup bedekatan dengan Pura Melanting yakni di pantai utara Pulau Bali. Pura atau Khayangan ini di samping sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), pura ini juga sebagai tempat memuliakan dan memuja arwah suci dari Sri Patni Kaniten- salah seorang istri dari Danghyang Nirartha yang diberi gelar "Bhatari Dalem Ketut". Pembangunan Pura Pulaki ini ada kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha seperti halnya Pura Melanting. 75
Pura Pulaki yang disebut juga sebagai pura pethirtan karena memiliki sumber air suci di bagian atas pura, termasuk salah satu Pura Kahyangan Jagat yang berukuran besar di Kabupaten Buleleng khususnya, juga termasuk salah satu Pura Hindu terbesar di Bali. Arsitektur didominasi oleh warna hitam dan batu putih, seolah-olah beberapa bagian dari Pura tersebut adalah bukit-bukit yang diukir. Seperti halnya pola tata ruang pura di wilayah Bali Utara umumnya, yang dikatakan masih memiliki pengaruh pola tata ruang bangunan candi Jawa Timur masa Majapahit (seperti misalnya pada Candi Panataran), yaitu memiliki pembagian tiga ruang halaman, demikian pula halaman pada Pura Pulaki, yang dibagi dalam tiga tata ruang, yaitu: ruang Jaba, (bagian terluar), Jaba tengah, dan Jeroan (bagian dalam dan tersakral tempat diletakkannya pelinggih). Pura Pulaki dipercaya sebagai pura sentral di wilayah Bali utara dalam menjalankan satu prosesi ritual upacara, sembahyang atau berdo’a. Pura ini adalah sebagai pura tempat berkumpulnya seluruh umat Hindu Bali untuk bermusyawarah, sebelum mereka berangkat untuk bersembahyang atau berdo’a menuju pura lainnya yang sesuai maksud-tujuannya. Misalnya, mereka yang hendak berdo’a berkaitan dengan usaha, maka mereka akan bersembahyang di Pura Melanting, atau berdo’a dalam kaitannya dengan pengadilan maka mereka akan menuju Pura Kerta Kawat. Akan tetapi, sebelum mereka berangkat sembahyang ke pura-pura tersebut, diwajibkan mengunjungi dulu Pura Pulaki sebagai pura sentral untuk berkumpul dan bermusyawarah. Selain itu, ada pula prosesi ritual lainnya yang berkaitan dengan pengobatan atau berdo’a untuk sehat atau kesehatan. Setelah dari Pura Pulaki, maka umat ini akan menuju Pura Pemuteran yang memiliki Puser ing Jagat. Hal ini menggambarkan bahwa pura-pura Kahyangan Jagat di Bali Utara tampaknya memiliki hubungan satu dengan lainnya dalamhal proses upacara atau sembahyang. Halaman jaba luar terletak di area yang terbawah. Sebelum masuk ke halaman tersebut pada sisi kiri pintu masuk terdapat tempat untuk berdo’a, mendapatkan percikan air suci dan penempelan wija (butiran beras) di
76
kening pengunjung, sedangkan pada sisi kanannya terdapat patung monyet berwarna putih.
Foto 30. Pintu masuk ke halaman Pura Pulaki dan Pantai Pulaki yang berhadapan langsung dengan Pura Pulaki
Foto 31. Bangunan Bale kul-kul pada halaman jaba luar Pura Pulaki dimana terlihat banyak monyet yang berkeliaran dengan bebasnya.
Halaman jaba luar ini dikelilingi oleh tembok pagar setinggi sekitar 75 cm, dengan gerbang lebar yang tidak memiliki pintu,menghadap langsung ke jalan raya dan Pantai Pulaki. Pada sisi kiri dan kanan halaman jaba luar terdapat bangunan yang dibuat dari batu padas putih (sand-stone). Bangunan di sisi kiri adalah merupakan bangunan tempat kul-kul, sedangkan bangunan sisi kanan dibiarkan kosong, yang disiapkan sebagai tempat peralatan penting dalam upacara. 77
Pada halaman jaba luar ini banyak sekali monyet-monyet berkeliaran, bermain, makan sambil menggendong anak-anaknya. Di bagian paling kanan dari bangunan kul-kul terdapat papan penunjuk yang bertuliskan adanya pelinggih yang merupakan Pelinggih Dewa Gamang. Halaman selanjutnya adalah jaba tengah yang untuk menuju ke lokasi ini harus melalui tangga dengan jumlah sembilan anak tangga. Pintu masuk menuju jaba tengah diberi gapura berbentuk candi bentar yang dibuat dari batu vulkanik berwarna abu-abu, dengan bagian ujung pipi tangga diberi hiasan sepasang binatang yang menyerupa singa berbadan macan dengan posisi duduk, mengangkat sebelah kakinya, dan mulut terbuka untuk memperlihatkan taringnya. Saat ini patung hewan sebelah kiri dicat warna emas, sedangkan yang kanan dibiarkan hitam keabuan sebagaimana warna batu alami.
Tepat di bagian depan gapura pada halaman jaba tengah, terdapat bangunan bale dengan dinding terbuka, dan bercungkup, berdiri di atas alas setinggi sekitar 1meter dan memiliki 4 anak tangga tangga pada sisi depan dan belakangnya. Seperi halnya pada gapura Kahyangan Jagat atau pura besar lainnya, adanya bangunan ini merupakan “bangunan bale pegat” atau penghalang untuk agar tidak dapat masuk langsung menuju pintu gerbang halaman jeroan pada pura. Konsep seperti ini tampaknya meripakan salah satu
pengaruh dari kompleks percandian masa Hindu-Buddha di Pulau
Jawa. Bangunan bale pegat di Pulaki memiliki dua bagian yang dipisahkan bagian tengahnya sebagai jalan setelah menaiki dan menuruni tangga yang ada. Dua bagian dengan bale-balenya disanggah masing-masing oleh
empat
tiang kayu, sehingga pada bangunan tersebut terlihat adanya 8 tiang kayu penyangga yang saat ini dicat berwarna merah. Pada halaman jaba tengah, selain bangunan bale yang lokasinya seolah-olah menghalangi jalan masuk ke halaman tersebut, terdapat dua bale di kanan-kiri halaman yang menurut keterangan berfungsi sebagai tempat diletakkannya peralatan upacara, alatalat musik atau gamelan upacara, serta tempat menunggu para peserta upacara. Area tersuci yaitu jeroan terdapat di halaman ketiga, yaitu halaman paling belakang. Untuk masuk ke halaman jeroan tersebut harus melalui gapura
78
berbentuk paduraksa yang memiliki tiga pintu, satu pintu berukuran paling besar di bagian tengah, dan diapit oleh pintu berukuran lebih kecil di kanankiri pintu pertama. Ketiga pintu tersebut masing-masing memiliki tangga yang berbeda. Pintu pertama yang merupakan pintu utama hanya dibuka pada saat upacara-upacara besar berlangsung. Pipi tangga pintu utama dihiasi oleh sepasang naga dengan badan naga sebagai pipi tangga, dan sebagian badan dan kepala naga bermahkota terdapat di ujung pipi tangganya. Kepala dan badan naga tersebut sebagian dicat dengan warna merah. Adapun pipi tangga dari dua pintu di kanan-kiri pintu utama tidak dihias, hanya saja pada ujung pipi tangga dihias dengan sepasang arca berkepala kera sebagai penjaga pintu, yang seluruh arca dicat warna merah. Memasuki area jeroan Pura Pulaki terlihat adanya du bangunan bale yang terdapat di kanan – kiri halaman, berukuran sekitar 5 x 5 meter. Bangunan bale pada sisi kanan sebagian berbentuk ruang tertutup dengan sebuah pintu di bagian depan, dan didepannya setengahnya merupakan teras terbuka. Pada dinding-dinding bangunan ini terdapat pahatan yang menggambarkan Dang Hyang Nirartha ketika baru keluar dari mulut naga dan bertemu dengan dua pengikutnya, dan pada dinding teras terdapat pahatan cerita Ramayana dengan pahatan anoman bermahkota. Di teras bangunan ini terdapat kotak bertuliskan: Genah Dana Punia, sebagai kotak amal bagi peziarah yang sembahyang di pura tersebut.Bangunan di bagian kiri berukuran lebih kecil dan hany berupa bale terbuka. Di bagian tengah halaman, terdapat bangunan altar yang umumnya berfungsi sebagai tempat diletakkannya sesajian banten atau daksina linggih. Bagia atas meja sesajian ini semuanya ditutupi oleh kawat, berpintu dan dikunci, yang hanya sewaktu-waktu dibuka jika akan dimasukkan banten yang dibawa oleh peziarah.
79
Foto 32. Gapura paduraksa dengan tiga pintu masuk menuju halaman jeroan Pura Pulaki, dimana pipi tangga pintu utama dihiasi oleh sepasang naga berwarna merah
Foto 33. Relief yang dipahat pada dindingbangunan bale di bagian halaman jeroan pura yang menggambarkan Dang Hyang Nirartha baru keluar dari mulut naga.
Seperti pada halaman-halaman lainnya di Pura Pulaki ini, pada halaman jeroanpun banyak terlihat monyet-monyet berkeliaran dengan bebasnya. Inilah yang menyebabkan habir semua bangunan yang tempat diletakkannya sesaji, diberi kawat untuk menghindar diambil atau diganggu oleh sekawanan monyet tersebut. Meja sesaji di halaman jeroan pura yang ditutup kawat untuk menghindari kawanan monyet mengganggu dan mengambilnya. Agak ke belakang sedikit, di sebelah kiri meja sesaji terdapat satu bangunan tertutup, yang penuh dengan hiasan berwarna merah, kuning, dan hijau. Tampak sepintas betapa kentalnya pengaruh Cina dalam seni hias maupun warna hiasannya. Seperti halnya pada bagian meja sesaji, bangunan inipun ditutup rapat oleh kawat agar sesaji yang berada di dalamnya tidak diganggu kawanan monyet. 80
Demikian pula satu bangunan berukuran lebih kecil terdapat di sisi kanan meja sesaji, dengan kondisi yang juga tertutup kawat.
Foto 34. Bangunan di halaman jeroan Pura Pulaki yang tertutup rapat kawat untuk menghindari sesajen yang berada di dalamnyaagar tidak diganggu oleh kawanan monyet.
Di belakang bangunan tersebut yang tertutup dengan tempat meja sesaji, ini terdapat tangga menuju ke altar dimana pelinggih-pelinggih dari Pura Pulaki berada. Area di atas itu disebut dengan Utama ning Mandala yang sama sekali tidak boleh dinaiki oleh para pengunjung maupun para peziarah, mengingat tempat ini merupakan tempat yang disucikan. Di tempat inilah ditempatkan pelinggih utama pura guna persembahan kepada Hyang Widhi Wasa, serta pelinggih yang berupa sthana Sri Patni Kaninten, istri dari Dang Hyang Nirartha yang dipercaya moksa disini. Ada sejenis upacara tertentu untuk bisa ke pelinggih utama itu, akan tetapi karena sangat disucikan maka pelinggih-pelinggih tersebut harus bebas dari "injakan kaki", ini semata-mata untuk menjaga kesucian pura. Jro Mangku pura pun kurang tahu sejarah persisnya mengapa tidak boleh naik keatas. Akan teapi kalau ada upacara besar seperti upacara atau pujawali "ngeteg linggih" di pura, baru diperbolehkan naik ke pelinggih utama itu. Di bagian kiri ujung pipi tangga menuju area pelinggih, terdapat pahatan yang menggambarkan Dang Hyang Nirartha sedang berbicara dengan dua ekor monyet. Relief tersebut menceritakan pertama kali Mpu itu tiba di hutan 81
di kawasan Pulaki ini yang disambut ramah oleh para monyet liar yang hidup di hutan-hutan tersebut. Dan di depan pahatan tersebut, terdapat sebongkah besar batuan alamiah jenis konglomerat, yang menunjukkan bahwa Pura Pulaki ini dibangun pada kaki bukit yang dikelilingi bebatuan pembentuk bukit.
Foto 35. Relief pada bagian ujung pipi tangga menuju area pelinggih utama, yang menggambarkan Dang Hyang Nirartha dengan dua ekor monyet . Tampak di depan relief, monyet-monyet berkeliaran, dan dinding batu alam jenis konglomerat sebagai batuan pembentuk bukit, dan di bagian belakang relef terlihat pelinggih-pelinggih utara dari Pura Pulaki.
Di
bagian kanan belakang halaman jeroan, di dekat bale yang memiliki
pahatan Dang Hyang Nirartha yang baru keluar dari mulut naga, terdapat tangga naik menuju ke bagian atas bukit. Di bagian atas tersebut terdapat altar dan sumber air untuk mengambil air suci (thirta yatra).
Di lokasi
tersebut yang juga sering digunakan sebagai tempat meditasi (pegaluhan), terdapat tiga buah pelinggih yang diperuntukkan untuk tiga dewa, yaitu: 1. Pelinggih untuk Dewa Ayu Masmaipong (dipuja sebagai dewa penari) 2. Pelinggih untuk Dewa Isih Luwih 3. Pelinggih untuk Dewa Ayu Masmaketel (dipuja sebagai dewa yang ahli dalam membuat ramuan thirta)
82
Latar Sejarah Pura Pulaki Mengenai pura yang umum di Bali Utara, memang sukar untukmemisahkan antara
data
sejarah
maupun
legenda
mengenai
keberadaan
dan
pendiriannya. Hal tersebut dikarenakan data yang digunakan sebagian besar berupa naskah lontara yang memang umumnya juga menceritakan bukan hanya sejarah tetapi juga mengenai legenda-legenda. Demikian pula halnya dengan latar sejarah mengenai Pura Pulaki ini. Menurut sejarahwan I Ktut Gobyah, keberadaan Pura Pulaki
dapat
diketahui melalui beberapa cerita babad yang terdapat dalam beberapa lontar Bali, antara lain: Lontar Babad Bali Radjiya, Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh, dan Sejarah Pura Gede Pulaki. Semua sumber tertulis itu menceritakan keberadaan Pura Pulaki berhubungan dengan kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Majapahit ke Bali. Dalam Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh diceritakan Dang Hyang Nirartha datang dari Jawa Timur ke Bali. Sesampai di Bali beliau menjumpai seekor naga besar yang mulutnya menganga lebar. Beliau masuk ke dalam mulut naga tersebut. Di dalam tubuh naga itu, Mpu Dang Hyang Nirartha menemui sebuah taman indah dengan bunga tunjung berwarna putih, hitam dan merah. Bunga padma hitam dan merah disumpangkan di kedua telinganya. Sedangkan yang putih dipegang dengan kedua tangannya di depan dada. Setelah itu Mpu Danghyang Nirartha keluar kembali melalui mulut naga itu. Setelah di luar semua putra-putri beliau tidak mengenalinya. Kemudian istri dan anak-anak beliau lari terpencar. Istri Danghyang Nirartha berusaha mengumpulkan putra-putranya itu. Tetapi hanya satu yang tidak bisa ditemukan bernama Ida Ayu Swabhawa. Tetapi menjadi Dewa Pasar yang disebut Dewa Melanting dan bebas dari tua dan mati. Dalam sejarah Pura Gede Pulaki diceritakan bahwa Danghyang Nirartha ke Bali untuk melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji tidak beberapa lama akan kembali setelah selesai acara di Klungkung. Tetapi nyatanya Danghyang Nirartha dalam waktu yang cukup lama tidak datang. Putri beliau Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Desa-desa di 83
sekitarnya dengan 8.000 penduduk dikutuk menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan pengiringnya tinggal di bawah pohonpohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam bahasa Bali). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih disebut Pura Melanting. Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa berdagang maupun berbelanja tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewa Melanting dan anak buahnya. Kalau di pasar mengikuti dharma maka Dewa Melanting itulah yang akan melindunginya. Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirartha. Karena itu, Pura Melanting juga Pura Pulaki dipercaya sebagian umat Hindu Bali sebagai predana-purusa, yaitu sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi. Lain halnya I Ktut Gobyah yang mencari latar sejarah Pura Pulaki melalui babad yang tertulis pada lontara-lontara bali, Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara bernama I Gusti Ketut Simba mengkaji latar sejarah Pura Pulaki melalui adanya konsep pemujaan dan sistem kepercayaan pada pura tersebut yang menurutnya telah ada sejak jaman prasejarah atau budaya megalitik di Bali, dan umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan sthana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang . Oleh karena itu, Ketut Simba memperkirakan jika Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini" Bukti arkeologi yang memperkuat pendapatnya adalah, di sekitar Pura Pulaki dan Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain yang tampaknya sebagai sarana atau benda perlengkapan upacara pada masa itu. Dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka latar belakang 84
pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak. Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Ketersediaan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia, menjadikan kawasan Pulaki berkembang dan ramai dikunjungi, terutama perahu-perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Sehingga kemungkinan lannya adalah berlaku perdagangan dengan sistem barter antar hasil bumi. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Hal tersebut didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki yang masih dimanfaatkan penduduk selain dibuat gula nira, daunnya dipakai sebagai bahan berbagai anyaman wadah upacara. Ketut Simba menduga bahwa Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya. Lebih lanjut Ketut Simba menyatakan bahwa Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi, seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' yang ditulis oleh Ketut Ginarsa. Tulisan lain yang menyebutkan mengenai Pulaki , terdapat dalam naskah ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa yang
menceritakan
bagaimana Dang Hyang Nirartha membujuk istrinya, berbunyi:
"Baiklah
dindaku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus, dan daerah ini kemudian bernama Pulaki" 85
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan oleh pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki. Suatu daerah yang awalnya adalah hutan belantara, dihuni dengan mendirikan bangunan, kemudian ditinggalkan tidak tak dihuni lama, sudah pasti akan kembali menjadi hutan belantara. Demikianlah yang terjadi pada Pura Pulaki pada masa lalu tersebut. Kendati begitu, menurut Ketut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia berdo’a atau ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada lokasi sekarang ini.Karenanya, besar kemungkinan Pura Pulaki yang terdahulu sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalamannya. Pada tahun 1920 kawasan Pulaki mulai dibukakembali, ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar 86
tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci yang dulunya pernah ada di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dilakukan setelah tahun 1950.
Legenda Pura Pulaki Di dalam naskah Dwijendra Tattwa mengenai asal mula berdirinya pura atau khyangan pulaki disebutkan: Pada waktu itu istri Danghyang Nirartha Sri Patni Kaniten yang berasal dari Blambangan bergelar Mpu Istri Ktut dalam keadaan payah menyembah Danghyang Nirartha dan berkata, "Mpu Danghyang, dinda tidak kuasa lagi melanjutkan perjalanan dan rasanya ajal hamba sudah tiba, karena itu ijinkanlah dinda sampai disini saja mengiringi Mpu Danghyang. Dengan hormat serta kerenahan hati yang tulus iklas dinda mohon agar diberikan ajaran ilmu gaib sebagaimana yang sudah diberikan kepada anakda Ni Ayu Swabhawa, agar adinda dapat terlepas dari segala dosa dan kembali menjadi Dewa," demikian permohonan Mpu Isteri Ktut. Danghyang Nirartha lalu menjawab, "baiklah kalau demikian, dinda diam disini saja bersama-sama dengan puteri kita Ni Ayu Swabhawa, ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting, dan adinda boleh menjadi "Bhatari Dalem Ktut" yang akan menjadi junjungan dan disembah orang-orang desa ini. Desa bersama orang-orang yang ada disini akan kanda "Pralina" (hanguskan), sehingga tidak dapat lagi dilihat oleh manusia biasa dan semua orang-orangnya menjadi orang halus
(wong gamang) namanya
orang "Sumedang", sedang daerah desa ini kemudian bernama "Mpu Laki", demikian kata Danghyang Nirartha. Setelah itu gaiblah Mpu Isteri Ktut dan tidak dapat dilihat manusia lagi, dan kemudian
Danghyang
Nirartha
bersama
putra-putrinya
meneruskan
perjalanannya dengan tujuan Gelgel untuk bertemu dengan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang bertahta
dan memerintah di Bali.
Dalam
perjalanannya ini Danghyang Nirartha pertama tiba di Desa Gadingwani, dan oleh orang desa Gadingwani Danghyang Nirartha dimohon agar berkenan untuk sementara waktu tinggal di desa Gadingwani untuk mohon pengobatan, berhubung desa Gadingwani sedang diserang wabah penyakit sehingga banyak rang-orang desa menderita sakit, dan malahan tidak sedikit 87
sudah menemui ajal sebagai korban penyakit yang sedang berkecamuk itu..dan seterusnya. Begitulah di tempat moksa (gaibnya) Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut itu kemudian dibangun sebuah bangunan suci (Pura atau Khayangan) yang diberi nama Pura Pulaki sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa. Selain itu disini dimuliakan yaitu Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut. TANDA ALAMI
: Perbukitan
LAHAN
: ---
PEMILIK LAHAN
: ---
PEMILIK OBJEK
: Penyungsung /Pengempon Desa Banyu Poh
PENGELOLA
:Penyungsung/ Pengempon Desa Banyu Poh
KONDISI
: Cukup terawat
PEMANFAATAN SEKARANG
: Sebagai tempat sembahyang, berdoa,
dan tempat wisata.
KETERANGAN TAMBAHAN
: Pura Pulaki merupakan pura yang
bersifat umum, dalam arti siapa dan dari manapun umat Hindu dapat melakuka sembahyang atau upacara di pura ini. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang pujawalinya jatuh pada Purnama Sasih Kapat. Penyungsung pura atau pengemponnya terdiri atas desa-desa yang ada di Grokgak dan Seririt. Dari kedua Kecamatan ini ada 42 Desa adat atau Subak sebagai pengempon utamanya. Sejarah Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang dimiliki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung, suatu daerah yang penuh dengan pusat spiritual dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut. Pusat Pura Melanting di Bali adalah di Pura Pulaki. Lebih tepat disebut di kompleks Pura Pulaki. Karena Pura Pulaki sebagai pusatnya dengan enam 88
Pura Pesanakannya yaitu Pura Melanting, Pura Pegaluhan, Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Taman dan Pura Pemuteran. Semua pura tersebut berhubungan dengan Pura Pulaki dan berada di sekitar pura tersebut. Di kompleks pura ini banyak ditemukan sejumlah kera,
baik yang jinak
maupun yang masih liar. Diperkirakan jumlahnya ribuan. Monyet-monyet berkeliaran di dalam dan di luar Pura, mengambil sesaji yang dibawa oleh pengunjung. Jadi sebaiknyapengunjung yang dating agar menjaga barang berharga dan lebih baik untuk tidak mengenakan sesuatu yang dapat menarik perhatian kawanan monyet. Ketika anda mengunjungi Pura ini, pemandangan umum yang terlihat adalah orang-orang memegang tongkat untuk mengusir monyet pergi. Pada bagian halaman utama atau jeroan dari Pura Pulaki, juga tidak lebih tenang karena monyet-monyet yang bergelantungan di dahan pepohonan menunggu saat yang tepat untuk mencuri buah-buahan pada sesaji. Tampaknya para pengunjung telah terbiasa dengan kegaduhan yang dibuat oleh monyet-monyet dan mereka tetap berdoa dengan penuh konsentrasi. Haturan berupa Banten Pejati sebaiknya sudah dipersiapkan, namun tutup kebennya jangan dibuka agar tidak mengundang kawanan monyet yang banyak berkeliaran di sana. Semua haturan kecuali Canang dan Kewangen sebagai sarana sembahyang dimasukkan ke dalam tempat yang telah dikurung dengan kawat sehingga terhindar dari jamahan monyet-monyet di sana. Tidak perlu terganggu dengan
kehadiran
sembahyang,
monyet-monyet
itu
karena
selama
ngaturang
para Pemangku Penyade akan menjaga dari gangguan
monyet-monyet itu. Anak-anak jangan diijinkan untuk membawa makanan di tangan
mereka
karena
akan
menjadi
jarahan
dari
sang
monyet.
bebaskanlah tangan mereka dari makanan-makanan kecil yang dibawa. Demikian juga setelah selesai melakukan persembahyangan jangan membagi-bagikan prasadam atau surudan dari Banten Pejati karena semua monyet akan datang menyerbunya, terkecuali jika ingin memang ingin memberikan semua prasadam itu untuk kawanan monyet. Menurut cerita salah seorang Jro Mangku di Pura Pulaki, monyet-monyet yang banyak terdapat di Pura Pulaki tersebut asalnya adalah dariorang89
orang yang dipastu atau dikutuk oleh Sang Bathara Guru , karena selama hidupnya orang-orang tersebut selalu berbuat jahat.
Cerita
dimulai
dari
datangnya sekelompok orang yang terdiri dari orang lokal (Bali), orang Cina, dan orang dari luar lainnya sejumlah 108 orang yang datang menuju ke gua yang ada di bagian belakang pura, untuk mengganggu dan berbuat jahat. Hal tersebut membuat marah Sang Bathara, sehingga orang-orang tersebut dipastu atau dikutuk dan langsung menghilang (gamang). Oleh karena itu, selanjutnya gua tempat mereka hilang tersebut disebut dengan Gua Gamang Dwa Gede Gamang. NARA SUMBER / INFORMAN 1. Nama
: ---
: Gusti Putu (Laki-laki)
Umur
: 24 tahun
Alamat
: Desa Banyu Poh,. Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng
Jabatan
: Petugas keuangan pura
2. Nama
: Jero Mangku Wayan Sara (Laki-laki)
Umur
: 67 tahun
Alamat
: Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng
Jabatan
: Pemangku Ngayah
3. Nama
: Jero Mangku Nyoman Suarta (Laki-laki)
Umur
: 45 tahun
Alamat
: Desa Seririt, Kec. Seririt, Kab. Buleleng
Jabatan
: Pemangku Ngayah
4. Nama
: Mangku Jro Sutri (Perempuan)
Umur
: 55 tahun
Alamat
: Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng
Jabatan
: Pemangku Ngayah
Foto:
90
Foto 36. Pura Pulaki, Desa Pulaki, Kecamatan Gerokgak
9. Situs pura Pabean Pulaki Situs
: Pura Pabean Pulaki
Lokasi Administrasi
: Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak.
Koordinat
: 08° 08’ 40,8” S ; 114°40’51,0” E
Elevasi
: 20 m dari muka laut
Objek
: Pura
Bahan
: batu
Masa/periodesasi
: Klasik Hindu Bali (living monument)
Abad
: awal 20-an Masehi
Diskripsi Objek
:
Pura Pabean Pulaki adalah bagian dari Pura Pulaki yang terletak persis di utaranya, seberang jalan raya dari Pura Pulaki, berjarak hanya sekitar 30 meter Pura Pabean Pulaki berada tepat di bibir pantai Pulaki, sehingga sering juga disebut dengan Pura Segara Pulaki. Penataan pelinggih di pura ini
cukup unik, baik dari pola penempatan,
bentuk, serta makna yang dikandungnya. Lokasi pura ini berada di atas bukit
91
kecil, berseberangan dengan pura Pulaki. Memasukinya diawali dari jalan setapak yang melingkar mengelilingi bukit t, masing-masing sebagai area sirkulasi untuk arah masuk dan arah keluar, sehingga jalan dari pura tersebut mendekati bentuk lingkaran. Desain arsitektur pura ini lebih mirip dengan ornamen Cina dan juga di desain oleh arsitek terkenal dari Bali bernama: Ida Bagus Tugur.
Foto 37. Pelinggih yang terdapat di Pura Pabean Pulaki sebagai tempat bersthana Suhbandar dan Dewi Kwan Im, serta batu yang dibentuk menyerupai arca manusia di bagian ujung yang menjorok ke laut dari Pura Pabean Pulaki
Pada altar tempat pelinggih berada, di belakang Pengaruman Agung, berderet beberapa pelinggih, paling tengah adalah Padmasana yang merupakan bangunan paling tinggi dimensi/ukurannya di antara keseluruhan bangunan dalam pura ini. Pada puncak dari Padmasana terdapat aksara ongkara (Ang - Ung - Mang). Sedangkan pada bagian depan atas Padmasana menempel relief acintya yang dibuat dari bahan emas. Beberapa palinggih yang berada di sebelah kanan Padmasana adalah Anglurah Manca, Lingga Ida Batara Mpu Kuturan, dan Lingga Ida Batara Baruna. Sedangkan yang berdiri di sisi kiri Padmasana adalah palinggih Ida Ratu Syahbandar dan Dewi Ayu Manik Mas Subandar (dua palinggih, sebagai sthana dua bersaudara -- raka-rai), palinggih Dewi Kwan Im (Dewi Pengasih), dan Anglurah polos. Pada palinggih Dewi Kwan Im ini sebagian besar diadopsi ornamen dan ragam hias gaya Cina. Seperti adanya motif naga pada bubungan, patra-patra Cina, pepalihan berbentuk uang kepeng, lampion, dll. Pada satu sisi kiri di dalam area
92
pura juga terdapat sebuah bangunan kecil berbentuk dasar segi delapan, sebagai tungku/tempat pembakaran kertas-kertas Cina. TANDA ALAMI
: pantai
LAHAN
: ---
PEMILIK LAHAN
: Masyarakat Banyu Poh
PEMILIK OBJEK
: Pengempon desa Banyu Poh
PENGELOLA
: Pengempon desa Banyu Poh
KONDISI
: Cukup terawat
PEMANFAATAN SEKARANG : Sebagai tempat sembahyang, berdoa, dan tempat wisata. Keterangan Tambahan
: dari lokasi ini juga sangat bagus untuk pemotretaan sunset karena memiliki pemandangan dengan latar belakang sebuah tanjung yang menjorok ke laut.
93
Foto 38. Pura Pabean/Pura Beji Pulaki dan lingkungannya, Desa Pulaki, Kecamatan Gerokgak
10. Pura Dalem Segara Madhu : 08° 06’ 21,6” S dan 115°09’38,7” E
Koordinat Ketinggian (dpal)
: 162,5 meter dpl
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Deskripsi objek
: Secara keruangan, pura ini terbagi atas
3 halaman: -
Halaman I, merupakan halaman depan yaitu halaman yang berbatasan langsung dengan jalan desa.
-
Halaman II, merupakan halaman tengah. Pada halaman ini terdapat dua bangunan, yaitu di sebelah kanan dan sebelah kiri. Bangunan sebelah kiri dilengkapi dengan tempat memasak. Sedangkan bangunan sebelah kanan kososng.
-
Halaman III, merupakan halaman inti dan paling sakral. Sebelah kanan ada dua bangunan, yaitu sebelah barat merupakan Balai Pegat dan bangunan sebelah timur. Sebelah kiri terdapat sebuah bangunan.
Tanda alami
: Dipinggir jalan raya Jagaraga
Lahan
: Pekarangan
Pemilik lahan
: Masyarakat desa
Pemilik objek
: Masyarakat desa
Pengelola
: Masyarakat desa
Kondisi
: Kurang terawat
Pemanfaatan sekarang
: Sebagai tempat sembahyang dan berdoa
Lokasi Administrasi
: Desa Pakraman Jagaraga, Kec. Sawan,
94
Kabupaten Buleleng Keterangan tambahan
:
Pura Jagaraga diperkirakan dibangun pada tahun 1181 Masehi oleh Raja Sri Aji Jayaraga. Pada tahun 1948-1949 sempat dibumihanguskan Belanda sehingga semua bangunan runtuh. Pada tahun 1865 M dibangun (renovasi) pertama bangunan pura seperti yang terlihat sekarang. Pura ini merupakan gabungan antara pura Prajapati dan Pura Dalem karena masih diperbolehkan (Siwa dan Durga masih satu keluarga) sehingga dibuat menyatu. Kondisi yang sekarang, Pura dibagi menjadi dua halaman, halaman pertama yaitu jaba tengah dengan gapura kurung di depannya. Halaman ini terdiri atas dua bangunan yaitu Bale Paruman dan Bale Gong. Halaman paling dalam yaitu Jeroan yang terdiri atas banguan Bale pegat, Bale Pelig, Gedong Dalem, Padmasana, Gedong Prajapati, Sapta petala dan Bale Piasan. Relief yang paling menonjol memperlihatkan bentuk rangda dan muka rangda di setiap sisi gapura dan bangunan di gedong. Relief ini menunjukkan bahwa pemujaan terhadap Dewi Durga (prajapati) lebiih ditonjolkan dibandingkan lainnya.
Foto 39. Pura Dalem sagara Madhu, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan
95
Pada bagian depan gapura depan terdapat juga arca men brayut dan pan brayut yang menyimbulkan kesuburan. Lebih menarik lagi relif pada dinding penyengker (pagar) depan yang memperlihatkan relief colonial dan tradisi yang sangat menyatu. Bentuk-bentuk reliefnya antara lain: relief mobil yang dinaiki oleh muka orang Belanda, relief wayang, relief memancing, relief bermain layangan, dll. Nara sumber/informan : Nama
: Ketut Suradnya
Umur
: 62 tahun
Alamat
: Dusun Kauhteben, Desa Jagaraga, Kec. Sawan, Kab. Buleleng
11. Pura Melanting Situs
: Pura Melanting
Lokasi Administrasi
: Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng
Koordinat
: E = 114º 40’ 52,8”
Elevasi
: 69 dpl
Objek
: Pura
Bahan
: Batu
Masa/periodesasi
: Klasik Hindu (living monument)
Abad
:?
Diskripsi Objek
:
S = 08º 09’ 35,3”
Pura Melanting adalah salah satu Pura yang dibangun untuk memperingati kunjungan istri seorang Pendeta Hindu dari Pulau Jawa, yaitu Danghyang Nirartha. Pura ini diyakini menjadi tempat di mana putri sulungnya, Ida Swabawa, berstana disini. Pura ini berada di kaki bukit Pemuteran, Bali Utara. Lokasi Pura agak ke dalam di sebelah kiri dari jalan raya Pemuteran yang merupakan jalan lintas Singaraja – Gilimanuk, melintasi hutan-hutan kecil dan rumah-rumah penduduk di sepanjang perjalanan. Jalan menuju pura dapat dilalui kendaraan roda dua, roda empat, bahkan bus-bus besar dengan halaman parkir yang cukup luas. Pura ini didatangi peziarah dari seluruh Bali, bahkan luar Pulau Bali untuk upacara atau sembahyang, dari 96
pagi hingga malam hari. Hal tersebut ditandai dengan adanya lampu-lampu mercury yang dipasang di tempat parkir sampai ke pintu gerbang pura. Di area parker hingga jalan menuju anak tangga pura, berjejer warung-warung kecil yang menjajakan perlengkapan upacara (banten) yang diperlukan guna bersembahyang di pura, serta warung-warung yang menyediakan minuman dan makanan ringan. Jalan di sepanjang menuju pintu gerbang cukup bagus dan asri dengan berbagai pohon besar dan tanaman bunga, antara lain bunga cempaka, kamboja Bali, bunga sepatu (hibiscus), dan sebaginya. Sayangnya, binatang anjing dengan salakannya yang cukup menakutkan, cukup mengganggu pengunjung yang memang phobia dengan binatang tersebut. Dari kejauhan tampak keagungan Pura Melanting yang berdiri di kaki bukit yang agak tinggi. Pura Melanting di Pulaki ini adalah pusat dari seluruh Pura Melanting yang ada di seluruh pelosok Bali. Dari seluruh pasar-pasar dan penyawangan yang ada menyatu di sini. Berdasarkan informasi, Pura Melanting ini dibangun dan didesain kembali seperti yang tampak sekarang ini oleh arsitek terkemuka Bali bernama Ida Bagus Tugur. Awalnya Pura Melanting tidaklah besar seperti sekarang ini, dan pernah terbakar pada saat musim kemarau panjang tahun 1995. Setelah itu dibangun kembali, yang kembali terkena musibah longsor pada tahun 2002. Bangunan Pura yang ada sekarang sebagian besar adalah hasil renovasi yang dilakukan setelah bencana longsor tahun 2002 tersebut. Pertama kali kita berjalan menuju ke Pura Melanting, yang terlihat adalah gerbang berbentuk candi bentar yang kokoh dengan didahului harus melalui 2 lalu 5 dan 11 anak tangga menuju gerbang tersebut. Bagian dalam dari lokasi dengan 18 anak tangga menuju gerbang candi bentar di Pura Melanting ini merupakan area Jaba atau Nista Mandala. Seperti halnya pola tata ruang pura di wilayah Bali Utara umumnya, yang dikatakan masih memiliki pengaruh pola tata ruang bangunan candi Jawa Timur masa Majapahit (seperti misalnya Candi Panataran), yaitu memiliki pembagian tiga ruang, demikian pula tata ruang Pura Melanting yang dibagi dalam tiga tata ruang, yaitu: ruang Jaba, (bagian terluar), Jaba tengah, dan Jeroan (bagian dalam dan tersakral tempat diletakkannya pelinggih). Ruang-ruang tersebut 97
dalam istilah Bali berdasarkan lontara disebut: Utama Mandala untuk area Jeroan, Madya Mandala untuk Jaba Tengah, dan Nista Mandala untuk area Jaba.
Foto 40 . Pintu gerbang berbentuk candi bentar di Pura Melanting
Setelah melalui gerbang candi bentar terdapat halaman yang merupakan bagian Jaba luar, kita akan berhadapan lagi dengan anak tangga yang menuju gerbang berbentuk Paduraksa. Tangga menuju gerbang berjumlah 34 buah, dengan dua patung naga besar sebagai pipi tangga menghiasi kanan-kiri anak tangga serta gerbang paduraksa, akan mengantar kita memasuki halaman ketika, yaitu area jeroan atau Mandala Utama. Yang menarik dari hiasan naga pipi tangga bagian jaba luar adalah, pada bagian badan kedua naga dihiasi oleh 18 padma (bunga teratai) kecil dan 3 padma besar, ditambah dengan barisan kelopak bunga teratai lainnya.
Foto 41. Hiasan naga sebagai pipi tangga yang pada bagian badannya dihiasi oleh deretan bunga teratai
98
Pada area jaba luar, sebelum menuju tangga dalam perjalanan ke gerbang paduraksa
untuk masuk ke halaman jaba tengah atau Madya Mandala,
terdapat sebuah tempat kecil berupa Pelinggih Pebejian yang ada sebelah kiri di ujung depan tangga naik. Di sini, para pengunjung yang akan sembahyang, berdoa terlebih dahulu dengan menempatkan banten/ sesaji dan mendapatkan percikan air suci untuk membersihkan pikiran sebelum mereka menuju ke bagian terseuci atau Jeroan (Utama Mandala). Percikan air suci dan pemasangan wija pada kening dan leher akan diterima oleh seluruh pengunjung, tidak terkecuali yang juga tidak untuk sembahyang yang akan memasuki pura utama dengan tujuan sama untuk membersihkan dan menjernihkan hati dan pikiran sebelum memasuki area sakral Pura Melanting.
Foto 42. Percikan air suci dan pemasangan wija di area Jero Tengah Pura Melanting bagi seluruh pengunjung pura oleh seorang pemangku wanita
Di bagian kanan sebelum naik ke tangga tersebut terdapat pula area dan bangunan yang disebut dengan Pelinggih Pasar Agung. Di tempat tersebut terdapat bongkahan-bongkahan batu besar yang dipercaya dan diberi nama oleh masyarakat sebagai Batu Perahu dan Batu Mobil. Di tempat ini terdapat batu besar yang bertuliskan dua bencana dan waktu yang pernah terjadi di Pura Melanting ini. Pengunjung yang hendak melakukan sembahyang atau berdo’a di Pura Melanting ini dapat melalui dua arah, pertama melalu Pelinggih Pasar Agung yang nantinya dapat tembus ke halaman jeroan dan melanjutkan ritual 99
upacaranya ke halaman jeroan, yang biasanya hanya dilakukan oleh beberapa orang yang membawa sesaji/banten; dan kedua untuk rombongan lainnya dalam upacara tersebut dapat melalui jalan utama dengan melalui tangga menuju gerbang berbentuk paduraksa.
Foto 43. Jalan menuju Pelinggih Pasar Agung di area Jaba Tengah dan Batu Peringatan yang bertuliskan dua bencana yang pernah terjadi di Pura Melanting
Setelah melalui gerbang paduraksa dengan 34 anak tangga, akan masuk ke halamn yang merupakan area jaba tengah atau Madya Mandala. Di bagian dalam setelah melewati gerbang, terdapat bangunan berbentuk bale bengong dengan tangga tepat di depan gerbang. Bangunan ini dihias dengan empat ekor macan di setiap sudutnya yang bermakna sebagai penjaga kahyangan. Pada leher keempat binatang tersebut diberi kalung kain berwarna biru-merah, dan putih yang masing-masing sebagai pelambang: Dewa Wisnu, Siwa, dan Brahma. Adapun Fungsi bangunan ini, seperti halnya candi kelir di kompleks percandian di Jawa, sebagai alingaling agar pandangan serta jalan tidak langsung menuju ke area jeroan. Adapun bangunan tempat diletakkannya Kul-kul (kentongan) terdapat di sisi kiri gerbang Paduraksa, dan bangunan serupa yang merupakan tempat diletakkannya beberapa alat upacara terdapat di sisi kanan gerbang. Pada kedua bangunan tersebut terdapat hiasan naga, air, awan, dan burung yang
100
dipahat berurutan dari bawah ke atas. Hiasan tersebut memiliki makna yang melambangkan dunia bawah, tengah, dan atas.
Foto 44. Bangunan di jaba tengah dan salah satu patung macam yang diberi kalung kain berwarna merah, putih, biru yang masing-masing sebagai pelambang: Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu.
Di bagian dalam dari bangunan “kelir”, terdapat halaman dengan tangga berbentuk setengah lingkaran menuju ke sebuah bangunan yang merupakan pintu gerbang paduraksa. Berbeda dengan pintu gerbang paduraksa sebelumnya, gerbang paduraksa ini memiliki tiga pintu, dimana pada pintu yang bagian tengah berukuran lebih besar dari pada kedua pintu yang berada di kanan-kirinya. Bangunan dengan 3 pintu ini disebuta Pamedal Agung yang berfungsi sebagai pintu untuk masuk dan keluar area jeroan atau Utama Mandala. Khusus untuk pintu yang di tengah, dengan pipi tangga berbentuk sepasang naga, hanya dibuka pada waktu upacaraupacara besar, seperti upacara Purnama Tilem atau Purnama Kapat ( biasanya pada Bulan September atau Oktober). Sedangkan upacaraupacara atau sembahyang-sembahyang biasa, dapat melalui pintu-pintu gerbang yang lebih kecil yang ada di kanan-kirinya. Pintu gerbang Pamedal Agung mempunyai hiasan berupa Wajra (paling atas), Cakra (di kanan – kiri bagian tengah atap), dan Genta berhias paying (di kanan – kiri pipi tangga). Ketiga benda tersebut merupakan atribut yang juga melambangkan Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu. Setelah melewati pintu Pamedal Gedong, terdapat halaman ke-tiga yang merupakan area paling suci yaitu bagian jeroan atau utama mandala dari Pura Melanting di Pulaki ini. Pada halaman ketiga ini terdapat bale-bale yang berfungsi
101
sebagai tempat meletakkan peralatan upacara, peralatan musik, atau untuk duduk menunggu, sebelum upacara dimulai.
Foto 45. Pintu gerbang bernama Pamedal Agung yang merupakan pintu utama menuju halaman jeroan atau Utama Mandala. Memiliki hiasan wajra (kemuncak gerbang), cakra (di kanan-kiri bagian tengah atap gerbang), dan sepasang cakra (di kanan – kiri pipi tangga) dihiasi oleh paying. Pintu ini hanya dibuka pada saat upacara-upacara besar, antara lain upacara Purnama Kapat atau Purnama Tilem (September atau Oktober)
Biasanya hal tersebut dilakukan pada saat upacara-upacara besar. Setelah melalui bale-bale yang terdapat di kanan-kiri halaman, pada bagian ujung halaman jeroan inilah terdapat 3 pelinggih tempat bersthananya para dewa dan yang disembah. Ketiga objek bangunan tersebut menghadap ke timur. Pelinggih utama yang terdapat di tengah dengan ukuran paling besar dan kemuncak paling tinggi, disebut Pelinggih Gedong, merupakan pelinggih dari sthana Ida Betara Ratu Mas Melanting. Pada bagian muka bangunan terdapat hiasan berbentuk lengkung kurawal dengan kedua ujung berbentuk kepala naga. Dilihat dari bentuk bangunan, warna, dan hiasan, menunjukkan perpaduan antara arsitektur lokal dengan arsitektur Cina. Arsitektur Cina salah satunya ditandai dengan pemakaian hiasan berbentuk mata uang kepeng yang dibuat dalam ukuran besar. Pada saat penelitian dilakukan, sedang dilakukan sembahyang oleh rombongan
pengunjung
yang
sebagian
merupakan
pedagang
dan
pengusaha dari Denpasar dan Gilimanuk, sehingga dapat direkam sebagian 102
jalannya prosesi upacara. Setelah mereka memasuki area jeroan yang sebagian melalui Pelinggih Pasar agung, dan sebagian besarnya melalui jalan utama, lalu sembahyang dilanjutkan dengan memasuki halaman jeroan menuju ke depan, ke pelinggih Gedong. Sebagian rombongan yang melalui Pelinggih Pasar Agung, keluar melalui pintu halaman yang berbentuk bentar kecil, dengan dipandu oleh pedanda, beberapa orang berjalan beriringan sambil memegang seuntai tali dibuat dari untaian benang yang diletakkan di bahu mereka. Sungguh menarik, untaian benang tersebut berwarna sama dengan beberapa hiasan kain, salah satunya yang ada di kalung macan, yaitu memiliki warna biru, merah, dan putih yang merupakan lambang dari Dewa Wisnu, Siwa, dan Brahma.
Kemudian
rombongan
tersebut
bersama
robongan
besar
lainnya
melanjutkan sembahyang dengan duduk menghadap ke Pelinggih Gedong tempat Ida Betara Ratu Mas Melanting bersthana. Para peziarah ini membawa pesajian/ banten atau Daksina Linggih yang terdiri dari: Pengulapan, Prayascita, dan Pejati untuk dipasopati yaitu meminta agar Btari Ratu Mas Melanting melinggih.
Selanjutnya hanya banten pejati
dimana Btari sudah melinggih, kemudian dibawa pulang yang kemudian diletakkan di altar kayu bernama plangkiran yang biasa diletakkan di ruang utama, di rumah, toko, kantor, dll.
103
Setelah selesai berdo’a, kembali beberapa orang dengan dipandu pedanda, membawa beberapa daksina linggih yang selanjutnya akan diletakkan di Plangkiran rumah, toko, kantor, dll. mereka., menuju tangga pelinggih utama
Foto 46. Banten/ Daksina Linggih: Pengulapan Prayascita Pejati
Foto 47. Proses sembahyang para peziarah Hindu Bali yang datang dari Denpasar dan Gilimanuk di halaman jeroan Pura Melanting
104
kemudian mengelilingi meja yang berisikan sesaji dengan menggunakan untaian benang berwarna merah, putih, dan biru lambang Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu yang disandang di bahu mereka dan selanjutnya menuju pintu keluar tanda sembahyang telah selesai.
Foto 48. Prosesi akhir sembahyang di Pura Melanting
Prosesi terakhir upacara yaitu menaiki tangga pelinggih Gedong untuk meminta berkah pada daksina linggih yang mereka bawa, serta dan mengelilingi meja sesajen dan berjalan dengan dipandu pendeta sambil membunyikan genta, menuju pintu keluar halaman dengan membawa untaian benang berwarna merah, putih, dan biru, menandakan sembahyang atau berdo’a telah selesai. Legenda Asal-usul Pura Melanting Kisah mengenai legenda Pura Melanting cukup menarik.Cerita atau kisah mistik ini masih dipercaya dan selalu menjadi pembicaraan, baik bagi para pemangku yang ada di pura, para guider atau yang menjadi informan, bahkan para peziarah atau mereka yang melakukan upacara di pura tersebut hingga saat ini. Dikisahkan adanya tokoh bernama Peranda Sakti Wawu Rauh atau dikenal juga dengan nama Peranda Suci Dahyang Nirarta yang berasal dari Blambangan, melakukan perjalanan yang cukup berat di bumi Bali untuk menuju ke wilayah timur. Beliau ditemani istrinya bernama Danghyang Biyang Ketut atau disebut juga dengan nama Danghyang Biyang Patni Keniten, beserta putra-putri beliau. Beratnya perjalanan itu, membuat Danghyang Biyang Patni Keniten kelelahan dan seakan tak kuat lagi mengangkat kakinya. Beliau dalam keadaan hamil tua, seluruh persendian 105
kakinya membengkak, terasa ngilu dan nyeri. Padahal perjalanan masih sangat jauh. Saat melihat keadaan istrinya yang sedemikian itu, hari Peranda Suci Nirarta yang bijak sempat bimbang. Ingin sekali ia menemani waktunya menemani belahan jiwanya yang kelelahan tersebut untuk berhenti di perjalanan, akan tetapi mengingat pentingnya perjalanannya untuk menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan istrinya sementara di tempat itu dengan ditemani salah satu putrinya, bernama Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Beliau berjanji, kelak sesampainya di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka. Selanjutnya dikisahkan, Sang istri Peranda yang ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar. Beliau membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahandanya. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan berguna. Sebagaimana ibunya, Dyah Ayu Swabawapun menjadi kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia. Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi para saudagar maupun pedagang dari tempat lain, sehingga jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya 106
menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh. Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi. Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian. Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi... Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar. 107
Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau. Tanda alami
: Perbukitan dan hutan
Lahan
: Pekarangan
Pemilik lahan
: Masyarakat desa
Pemilik objek
: Masyarakat desa
Pengelola
: Masyarakat desa
Kondisi Pemanfaatan sekarang
: Cukup terawat :
Sebagai tempat sembahyang atau upacara umat Hindu, khususnya para pedagang dan pengusaha. Pura ini pernah mengalami 2 kali musibah. Musibah pertama kebakaran yang terjadi pada tanggal 5 Oktober 1995. Musibah kedua berupa tanah longsor pada 23 Januari 2002. Pura ini berada di tebing bukit, sehingga objek ini terkena longsoran tanah dari tebing di atas pura. Kemudian pura ini dipugar menjadi keadaan seperti sekarang ini. Dalam salah satu upacara yang dilakukan oleh para pedagang, terdapat sesajian/ banten yang dibawa pulang dan yang ditinggal. Khusus banten yang ditinggal ada tiga (3) jenis, yaitu: PENGULAPAN, PRAYASCITA, dan DEJATI. Sedangkan yang dibawa pulang selanjutnya ditempatkan di Pelangkiran (media tempat meletakkan banten berbentuk altar kecil terbuat dari kayu yang umumnya diletakkan pada dinding/ tembok ruang depan dari rumah, ruang kantor, toko, dsb. Ketenangan tempat ini digunakan pula bagi umat Hindu Bali untuk bermeditasi. Beberapa orang datang pada waktu malam hari terutama untuk melakukan meditasi. Pemandangan yang dapat dilihat dari Pura memang menakjubkan, perbukitan hijau yang mengelilingi pura, dan dari bagian utama Pura dapat melihat Laut Jawa. Para Pemangku, yang mengurus Pura sangat ramah kepada pengunjung. Mereka memiliki bagian informasi di mana para pengunjung yang tidak membawa kain panjang/ sarung yang 108
disebut kamben sebagai pelengkap wajib masuk pura, dapat
menyewa
kamben dan mendapatkan beberapa informasi tentang Pura ini. NARA SUMBER / INFORMAN 1. Nama
:
: Kadek Sulendra
Umur
: 43 tahun
Alamat
: Dusun Melanting, Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng
Jabatan
2. Nama
: Petugas juru parkir
: Gde Adi Susanto
Umur
: 36 tahun
Alamat
: Dusun Melanting, Desa Banyu Poh, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng
Jabatan
: Petugas pemandu
109
Foto 49. Pura Melanting, Desa Banyu Poh, Kecamatan Gerokgak
12. Pure Meduwe Karang Koordinat
: E = 115º 10’ 33,6”
Ketinggian (dpal)
: 72,5 meter daripermukaan laut
Objek (bcb)
: Pura
Masa
: Klasik
Abad/tahun
: ---
Deskripsi objek
S = 08º 09’ 35,3”
: Secara keruangan pura ini terbagi atas
3 halaman, yaitu: -
Halaman I. Untuk sampai ke halaman ini ada 2 gapura. Keduanya berbentuk candi bentar dengan masing-masing 12 anak tangga. Pada halaman ini tidak ada bangunan dan merupakan halaman dengan hamparan rumput hijau.
-
Halaman II. Untuk sampai ke halaman ini 9 anak tangga. Pada halaman ini terdapat 1 bangunan yang berada di sebelah kiri (utara). Bangunan ini merupakan bale-bale yang terbuka pada keempat sisinya. Bangunan ini berdiri di atas batur setinggi 75 cm dengan 12 tiang kayu. Bangunan ini atapnya berbentuk limasan yang ditutup dengan seng.
-
Halaman III. Merupakan halaman inti / dalam. Untuk sampai ke halaman ini harus melalui sebuah gapura. Gapura ini berbentuk gapura gapit atau candi bentar dengan 11 anak tangga. Secara fungsinal pura ini terdiri atas tiga halaman yaitu jaba, jaba tengah
dan jeroan. Pura ini pada bagian luar penyengkernya (pagar) terdapat banyak arca pasukan kera yang menggambarkan cerita Ramayana. Pada bagian barat terdapat arca rahwana (dasamuka) yang terlihat paling besar dibandingkan yang lainnya. 110
Pura ini merupakan Cagar Budaya Nasional yang dibangun pada masa era Kolonial Belanda. Pengaruh Kolonial terlihat jelas pada pemahatan beberapa relief di halaman Jeroan yaitu relief seorang belanda naik sepeda. Demikian juga beberapa arca terlihat berciri orang-orang eropa Tanda alami
: Dipinggir jalan antara Singaraja - Pacung
Lahan
: Pedataran
Pemilik lahan
: Pemerintah daerah
Pemilik objek
: Pemerintah daerah
Pengelola
: BP3
Kondisi
: Cukup terawat
Pemanfaatan sekarang
: Sebagai tempat sembahyang, berdoa
dan wisata Lokasi administrasi
: Desa Kubutambahan,
111
Foto 50. Pure Meduwe Karang, Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan
13. Situs Candi Buddha Kalibukbuk Koordinat
: 08° 09’ 49.6” S dan 115° 01’ 54.3” E
Elevasi
: 12 m dari muka laut
Objek
: Pura
Bahan
: Bata
Masa/periodesasi
: Sejarah
Abad
:
Tanda alami
: jalan menuju Desa Kayu Putih Melaka dekat pantai Lovina
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang
: Ibadah dan wisata
Diskripsi situs
:
Situs Kalibukbuk terletak 12 meter dpl, terletak di Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, Bali Utara. Struktur candi berbentuk segi delapan (hexagonal) dengan 2 candi perwara dan arah hadap ke tenggara. Candi budha pada awalnya hanya ditemukan struktur pondasi bangunannya saja, tetapi tahun 2004 dibangun dengan bentuk candi Pada tahun 1991, di situs ini pernah ditemukan stupika dan materai dari tanah liat di area yang sekarang menjadi wilayah Hotel Angsoka berjarak 100 meter dari pantai; dan tahun 1994 di area tanah tegalan penduduk (milik AA Ngurah Sentanu) yang berjarak 900 meter dari pantai.
Temuan Stupika dan Materai Stupika dan materai tanah liat yang ditemukan di area Hotel Angsoka, ditemukan secara tidak sengaja oleh para pekerja bangunan yang sedang menggali untuk kolam renang. Karena ketidaktahuan mereka, stupika berbentuk bongkahan bulat tidak dibakar tersebut, mereka hancurkan. Setelah dilakukan 112
ekskavasi penyelamatan oleh Balai Arkeologi Denpasar, berhasil dikumpulkan sejumlah 90 stupika (utuh dan fragmen) di area Hotel Angsoka, dan 42 stupika di lahan tegalan. Stupika tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu: 1) dasar bundar, harmika segi empat, dengan satu stupika kecil di atasnya, berukuran tinggi 7,8 cm; 2) dasar bundar, harmika segi empat, berukuran tinggi 6 – 20 cm (jumlah terbanyak); 3) dasar harmika segi empat, berukuran tinggi 7,5 – 10 cm. Ukuran diameter stupika tersebut berkisar 5,5 – 15 cm. Dalam stupika umumnya ditemukan materai yang berisi mantra-mantra Buddha serta hiasan relief. Hal itu diketahui dari adanya stupika yang pecah yang di dalamnya berisi materai tersebut. Objek foto
:
Foto 51. Candi Buddha Kalibukbuk , Kecamatan Bulleng
Riwayat Penemuan Bangunan Candi Candi Kalibukbuk terletak di Kawasan Pantai Lovina, termasuk wilayah administrasi Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Di sebelah selatan situs terletak permukiman penduduk, di sebelah barat merupakan jalan menuju Desa Kayu Putih Melaka yang merupakan daerah pegunungan, sebelah timur adalah perkebunan (kelapa, kopi, coklat, cengkeh, dsb.), dan sebelah utara adalah kawasan Wisata Pantai Lovina yang berjarak sekita 900 meter dari situs (AA Gede Oka Astawa, 2006: 100-01). Candi Kalibukbuk pertama kali ditemukan pada tahun 1994 secara tidak sengaja oleh seorang penduduk yang sedang menggali sumur untuk air minum. 113
Salah satu dinding sumur longsor, dan dari tanah yang longsor tersebut ditemukan stupika dan materai tanah liat dimana pada materai tersebut bertuliskan mantra-mantra dari agama Buddha, serta temuan berupa struktur bata. Pada tahun 1994 hingga 1998, Balai Arkeologi Denpasar melakukan penelitian dan ekskavasi di situs ini dengan membuka sekitar 21 kotak. Hasil penggalian berhasil menampakkan struktur bangunan berupa bagian kaki candinya saja dengan denah segiempat bujursangkar berukuran 2,60 x 2, 60 meter, dibuat dari bata berukuran (p x l x t) 40 x 20 x 10 cm. Karena tidak utuh lagi, pada saat ditemukan ketebalan lapisan bata dari masing-masing bagian sisi kaki candi tidaklah sama. Lapisan yang paling tinggi terlihat pada sisi utara yang terdiri dari bagian dasar dengan pelipit rata, dan adanya sisi genta. Secara keseluruhan, sisa bangunan candi bata ini diperkirakan bangunan stupa dengan anda berbentuk genta. Pada bagian tengah kaki candi tersebut terdapat lubang berukuran 1,40 x 1,40 meter dan kedalaman sekitar 60 cm, diduga sebagai sumuran candi tempat dibenamkannya peripih yang berisikan relik-relik keagamaan atau mantra-mantra. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah stupika dan materai di dalam sumuran tersebut. Stupika yang ditemukan pada sumuran candi terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian dasar (prasada) berbentuk bundar, bagian badan (anda) berbentuk genta, dan bagian harmika berbentuk segi-empat yang berfungsi sebagai pelindung yasti (batu tegak/tongkat). Adapun yasti pada stupika ini makin ke atas ukurannya semakin kecil dan tidak berpayung (catra). Pada bagian dasar stupika terdapat materai yang ditempel dengan cara ditekan. Selain struktur bagian kaki, ditemukan pula stupika dan materai tanah liat tidak dibakar. Pada bagian timur laut dengan jarak dua meter dari temuan kaki candi pertama, ditemukan struktur bangunan kaki candi kedua yang memiliki denah persegi delapan (eksagonal) dengan masing-masing sisi berukuran sekitar 3 meter. Dilihat dari struktur yang ditemukan, candi kedua ini mempunyai ruangan dengan pintu masuk terletak di sisi tenggara dengan ditandai adanya sisi-sisi tangga. Beberapa bata penyusun candi kedua ini ditemukan ada yang memiliki hiasan berupa sulur-suluran (scroll), mahluk Ghana (mahluk kecil berbentuk muka raksasa) dengan posisi jongkok dan kedua tangan terangkat ke atas seolah-olah menyangga sesuatu di bagian atasnya. Di bagian sebelah timur dari candi kedua, 114
ditemukan lagi struktur bagian kaki candi dengan ukuran dan posisi yang sama seperti pada struktur bangunan kaki candi pertama. Dari ketiga temuan struktur bagian kaki candi berbahan bata tersebut, disimpulkan bahwa bangunan kaki candi pertama dan candi ketiga yang memiliki denah bujur sangkar sama sisi tersebut merupakan candi perwara yang mengapit bangunan yang memiliki struktur bangunan kaki candi berdenah persegi-delapan, yang merupakan candi pusat atau candi induknya. Candi tersusun sejajar dengan arah hadap ke tenggara. Berdasarkan adanya sisa dinding yang diperkirakan berbentuk stupa, serta banyaknya temuan strupika dan materai dengan mantramantra Buddha, dapat diketahui bahwa Candi Kalibukbuk ini adalah candi dari agama Buddha. Kondisi Candi Kalibukbuk Sekarang Candi Kalibukbuk yang terlihat saat ini adalah merupakan hasil rekonstruksi atau pemugaran yang dilakukan oleh Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala (BP3) Bali yang berkantor di Budugul?. Tampaknya hasil rekonstruksi ketiga bangunan candi tersebut terinspirasi dengan bangunan candi Buddha lainnya yang telah lebih dulu ada di Pulau Bali ini, terutama bangunan candi induknya, yaitu bangunan Candi Buddha Pegulingan yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
14. Situs Pura Segara, Pelabuhan Buleleng Kota Singaraja Koordinat
: 08° 06’ 14.2” S - 115° 05’ 16.6” E
Elevasi (dpl)
: 2m dpl
Objek (BCB)
: Pura
Masa
: Koloial
Abad/tahun
: Abad 19-20
Deskripsi objek
: memiliki gerbang paduraksa pada halaman Jaba dengan arsitektur gabungan kolonial, Cina, dan Hindu.
Tanda alami
: pantai
Pemilik lahan
: Pemda Buleleng
Pemilik objek
: Pemda Buleleng 115
Pengelolaan
: Masyarakat dan Pemda Buleleng
Kondisi
: sangat baik
Pemanfaatan sekarang
: Difungsikan sebagai pura dan Pendukung Objek Pariwisata Pelabuhan Buleleng
Lokasi
: Kajanan, Singaraja Buleleng
Foto 52. Pura Segara di Pelabuhan Buleleng
Keterangan tambahan
:
Bangunan ini terkait dengan aktivitas laut sehingga disebut pura segara terutama pedagang dan
nelayan. Pura Segara memiliki keterkaitan dengan
Pelabuhan Buleleng sebagai tempat dengan laut.
persembahyangan dan berhubungan
Arsitektur pura merupakan gabungan antara corak Hindu Bali,
Kolonial, dan Cina. Hindu terlihat pada pembagian ruang pada pura, pengaruh colonial terlihat pada gerbang paduraksa menuju madya mandala (jaba tengah), serta pengaruh cina terlihat pada gapura paduraksa dan bentuk meru di bagian utamaning mandala (jeroan).
15. Vihara Brahma Amara, : 08° 12ˈ 41,1" S dan 114° 58ˈ 27,0" E
Koordinat Elevasi
(dpl)
: 71 m dpl
Objek (BCB)
: vihara
Masa
: sekarang
Abad/tahun
: Abad 19-20
Deskripsi objek
:
116
Tanda alami
: dataran tinggi
Pemilik lahan
: kaum Buddhis
Pemilik objek
: kaum Buddhis
Pengelolaan
: kaum Buddhis
Kondisi
: sangat baik
Pemanfaatan sekarang
: Difungsikan sebagai asrama, ibadah dan
pariwisata Lokasi
: Ds Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar
Keterangan tambahan
:
Vihara ini yang pertama kali dibangun di Indonesia sekitar tahun 1958. Berjarak lebih kurang 18 km arah barat Singaraja. 2 km ke selatan dari jalan raya Singaraja-Seririt. Wihara ini terletak di kaki bukit menghadap ke laut. Brahmavihara-Arama lebih dikenal dengan nama Wihara Buddha Banjar merupakan vihara buddha yang terbesar di Bali . Objek foto
:
Foto 53. Kompleks Vihara Brahma Amara
117
Areanya cukup luas. Dari tempat ini dapat melihat pemandangan Laut Bali Utara yang membentang dari arah timur sampai ke barat karena letaknya di daerah perbukitan, hal ini menjadikan vihara buddha ini memiliki daya tarik yang kuat untuk wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Tugu yang mengesankan adalah lonceng kuil yang besar, sumbangan dari Thailand , fanel-fanel yang mencerminkan cerita budha, dan juga patung budha. Memberikan tempat ideal bagi mereka yang mencari tempat untuk meditasi.
16. Pura Munduk Duur Situs
: Pura Munduk Duur
Lokasi Administrasi
: Banjar Bale Agung, Desa Kayu Putih, Kec. Banjar
Koordinat
: 08° 15’ 43,4” S ; 115°02’03,7” E
Elevasi
:
Objek
: Pura
Bahan
: batu
Masa/periodesasi
: Prasejarah dan Klasik Hindu Bali (living monument)
Abad
:?
Diskripsi Objek
:
Pura Munduk Duur secara administratif berada dalam kawasan Banjar Bale Agung, Desa Kayu Putih, Kecamatan Banjar. Untuk mencapai pura dari Singaraja dapat dilakukan dengan kendaraan roda dua maupun roda empat, karena sarana jalan menuju pura Munduk Duur merupakan jalan beraspal. Hanya kendaraan roda empat berukuran kecil yang bisa melalui jalan raya tersebut.
Dari jalan raya menuju pura hanya bisa ditempuh dengan
kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Adanya nama Duur yang digunakan untuk pura ini terletak di atas dari permukaan jalan raya. Karena letaknya yang tinggi tersebutlah maka penduduk menyebut area tersebut dengan kata Duur (Bahasa Bali yang artinya tinggi) . Pura Munduk Duur tidak termasuk kategori pura yang memiliki ukuran besar. Akan tetapi keberadaan pura ini telah tercatat sebagai CB pada daftar inventaris Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bali, karena di halaman jaba tengah pura tersimpan sejumlah 5 sarkofagus (peti kubur)
118
peninggalan masa prasejarah (megalitik) di Bali Utara. Seperti umumnya pola pembagian halaman pada pura di wilayah Bali Utara, Pura Muduk Duur juga terdiri dari tiga halaman, yaitu: Jaba luar, Jaba Tengah, dan Jeroan (paling tinggi dan suci tempat diletakkannya pelinggih utama). Tampaknya halaman terluar atau halaman jaba luar dari Pura Munduk Duur adalah area terbawah dari tangga yang berjumlah 36 anak tangga yang ada pada saat pertama kita tiba di area pura tersebut.
Foto 54. Tangga pada halaman pertama (jaba luar) di Pura Munduk Duur, Desa Kayu Putih
Setelah menaiki anak-anak tangga, sampailah kita di halaman kedua area pura, yaitu halaman jero tengah. Untuk masuk ke halaman ini tidak terlihat adanya pintu gerbang berbentuk bentar atau paduraksa seperti umumnya pada pura lainnya di Bali. Pada bagian kanan halaman jero tengah terdapat bangunan terbuka yang diberi cungkup bergenteng dengan ukuran sekitar 3 x 5 meter, yang diberi pagar pembatas dengan hiasan cukup raya. Pada bangunan inilah diletakkan lima sarkofagus (peti batu kubur) yang ditemukan di sekitar area pura. Di bagian depan bangunan terdapat sisa-sisa pondasi yang kemungkinan dulunya pernah berdiri pula bangunan berupa bale-bale yang umum ditemukan pada halaman jaba tengah kompleks pura. halaman kedua atau jaba tengah dari Pura Muduk Duur dimana pada salah satu bangunan bercukup di sebelah kanannya tersebut disimpan lima sarkofagus. Halaman ketiga atau area jeroan dari Pura Munduk Duur terletak di bagian timur halaman. Terdapat gerbang yang terdiri dari tiga pintu masuk, dengan satu pintu utama di bagian tengah berbentuk paduraksa, dan dua di kanan –
119
kiri pintu utama tersebut dengan ukuran yang lebih kecil dan tidak beratap (berbentuk candi bentar).
Foto 55. Pura Munduk Duur, Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar
Foto 56. Pintu masuk menuju jeroan Pura Munduk Duur berbentuk paduraksa sebagai pintu utama dan dua pintu di kanan-kirinya berbentuk bentar
Pada halaman terdalam atau bagian jeroan terdapat tiga bangunan berupa bale-bale beratap seng yang terletak di kanan – kiri halaman. Salah satu bale tersebut berfungsi sebagai lumbung padi warga subak pada saat musim panen. Di bagian timur pada tempat yang ditinggikan terdapat dua pelinggih 120
utama berpintu di tengah, yang diapit dengan satu bangunan bale, 4 pelinggih dengan ukuran kecil, serta dua bangunan bale (kiri – kanan) yang terletak agak kemuka. secara keseluruhan, di area tempat pelinggih utama ini berada, terdapat 9 bangunan. Di bagian muka halaman yang ditinggikan tersebut, mengapit anak tangga, terdapat enam altar berbentuk empat persegi, berukuran sekitar 50 x 50 cm dan tinggi sekitar 65 cm. Di atas altar tersebut terdapat batu-batu alam yang pada bagian bawahnya dipahat seolah-olah membentuk padmasana. Dua dari altar tersebut terdapat patung seekor sapi/nandi dan gajah.
. Foto 57. Tujuh bangunan pada altar di timur Pura Muduk Duur, dua diantaranya merupakan pelinggih utama
Foto 58. Patung sapi dan gajah yang terdapat di depan dua pelinggih utama Pura Munduk Duur
121
Berdasarkan informasi, Pura Munduk Duur ini digunakan untuk pemujaan kepada Dewi Kesuburan yang memberikan hasil bumi berupa padi, buahbuahan, sayuran, dan tanaman lain. Upacara yang diadakan bagi pura ini adalah upacara pada hari raya Anggar Kasih dan Perang Bakat, yang dilakukan oleh masyarakat dari dua desa, yaitu: Desa Banyu Atis dan Desa Kayu Putih.
Foto 59. Salah satu pelinggih di Pura Munduk Duur yang merupakan sthana Dewi Kesuburan
Lahan
: Pekarangan yang dikelilingi kebun cengkeh dan rumah
Pemilik lahan
: Masyarakat desa
Pemilik objek
: Masyarakat desa
Pengelola
: Masyarakat desa
Kondisi
: Cukup terawat
Pemanfaatan sekarang
:
Sebagai tempat sembahyang atau upacara umat Hindu, khususnya para penduduk desa Banyu Atis dan Kayu Putih yang berdo’a untuk memohon kesuburan sawah dan tanah garapan lainnya. Lokasi administrasi
: Banjar Bale Agung, Desa Banyuatis, Kec. Banjar, Kab. Buleleng 122
Nara sumber/informan
: Nama
: Ni Luh Arini
Umur
: 40 tahun
Alamat
: Banjar Kaje, Desa
Banyuatis, Kec. Banjar, Kab. Buleleng
Foto 60 : Pura Munduk Duur, Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar
17. Nama Tempat/ situs Lokasi Administrasi
: Makam Jayaprana : Desa Pekraman Sumber Klampok, Kec. Gerokgak, Kabupaten Buleleng
Koordinat
: 08° 09’ 19,7” S , 115°31’57,2” E
Elevasi
:
Objek
: Bangunan untuk berdo’a bagi agama Hindu Bali
Bahan
: batu dan kayu
Masa/periodesasi
: masa kini
Abad
: 20-an Masehi (tahun 1949-an)
Diskripsi Objek
:
123
Tempat ini dikenal masyarakat sebagai makam dari tokoh bernama Jayaprana yang dipercaya meninggal karena dibunuh oleh raja dari Kalianget bernama Anak Agung Ngurah Kaleran, putra raja Klungkung bernama Gedong Artha. Beliau juga dipercaya masyarakat Bali (terutama sekitar Bali Utara) sebagai seorang yang mengalami kejadian tragis dengan cara mati dibunuh tersebut. Area yang dikenal sebagai Makam Jayaprana ini terletak di lokasi yang dikenal bernama Teluk Terima, berada di sisi kiri tepi jalan raya lintas Singaraja - Gilimanuk. Terletak sekitar 45 kilometer dari Pura Pulaki, yang berlokasi di Taman Nasional Bali Barat dan memerlukan waktu 4 jam kendaraan roda empat melalui Kabupaten Jembrana jika datang dari Kota Denpasar. Sedangkan masyarakat Pakraman Desa Sumberklampok sendiri menyebutnya dengan: Khayangan Jagat Jayaprana Teluk Terima. Kawasan ini merupakan sebuah area dengan beberapa bale, dan sebuah bangunan utama untuk sembahyang atau berdo’a bagi umat Hindu Bali. Untuk mencapai bangunan utama tersebut, harus melalui jalan paving dan semen, serta menaiki sejumlah anak tangga berukuran cukup lebar (sekitar 1,5 meter) dengan panjang sekitar 200 meter. Di kanan-kirinya masih berupa hutan dan masih banyak terlihat binatang monyet liar bermain-main di antar pepohonan hutan tersebut. Tampak pula beberapa bangunan dan yang juga sedang dibangun altar dan bale-bale berukuran kecil di bagian kanan- kiri jalan menuju bangunan utama tersebut. Asal-mula penemuan area tersebut adalah bermula dari ditemukannnya onggokan batu yang dianggap makam di dalam hutan oleh para pencari kayu pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1949 dilakukan plebonan atau ngaben secara simbolis oleh masyarakat Kalianget (sebelah timur dari Seririt) yang dipercaya sebagai makam Jayaprana yang memiliki hubungan karena berasal dari Desa Kalianget. Sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut mempercayai bahwa yang dimakamkan disitu adalah seorang pria bernama Jayaprana yang telah dimakamkan sekitar 500 tahun yang lalu.
124
Foto 61 . Pintu dan tangga masuk menuju kompleks Makam Jayaprana yang berada tepat di sisi kiri jalan raya Singaraja – Gilimanuk
Foto 62. Jalan menuju bangunan utama Makam Jayaprana yang di kanan-kirinya masih berupa hutan dengan monyet-monyet liar yang bermain di sekitarnya
Setelah melalui jalan sepanjang sekitar 200 meter dan melewati gerbang berbentuk candi bentar berwarna merah bata, kita akan sampai di halaman yang memiliki sejumlah bangunan bale-bale. Satu di antaranya adalah Bale kul-kul di sisi kiri, yaitu bangunan tempat diletakkannya kentongan besar. Pada area ini, sebagian besar bangunan sedang direnovasi dan beberapa dibangun baru. Terlihat banyak binatang monyet yang berlari kian-kemari membawa dan merebut sesajen yang dibawa peziarah atau yang dibuang ke tong sampah.
125
Foto 63. Monyet-monyet liar yang banyak berkeliaran di halaman dekat bangunan utama Makam Jayaprana
Gedung utama pada makam Japarana ini berupa bangunan empat persegi berbentuk ruang yang diberi atap dan tembok yang setengahnya berupa dinding kawat, dengan pintu masuk kayu sangat sempit yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Bangunan dibuat sedemikian rupa tampaknya untuk menghindari gangguan monyet-monyet liar yang banyak berkeliaran di tempat tersebut agar tidak menganggu sesaji yang berada di dalam ruang bangunan. Berdasarkan informasi dari Pemangku makam, bangunan ini pernah beberapa kali mengalami renovasi dan penambahan bangunan. Pada awalnya bangunannya hanya merupakan wantilan atau bale yang terbuka dengan tiang kayu yaitu pada sekitar tahun 1995/1996. Kemudian pada tahun 1997/1998 direnovasi dengan dilakukannya pemasangan lantai keramin. Selanjutnya pada tahun 2011 bangunan dirubah menjadi bentuk seperti sekarang ini. Biaya yang dipakai adalah hasil sumbangan dari masyarakat sekitar maupun para peziarah yang datang. Pada altar di bagian dalam ruang terdapat patung Jayaprana dan Layonsari yang dibuat dari kayu, diapit oleh sepasang patung lainnya yang dianggap sebagi pengikut kedua arca tersebut. Di altar tersebut dipenuhi pula dengan sejumlah besar pesajian yang dibawa para peziarah pada saat melakukan sembahyang atau berdo’a di bangunan tersebut. Para peziarah Hindu Bali
126
mempercayai bahwa Jayaprana setelah secara simbolik diplebon, berubah menjadi dewa bernama Dewa Betari Santi Waroh.
Foto 64. Patung Jayaprana dan Layonsari di atas altar ruang utama Makam Jayaprana, diapit oleh sepasang patung sebagai pengikutnya
Foto 65. Lingkungan dan Kompleks makam Jaya Perana, Desa Pakraman Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak
127
Foto 66. Suasana sembahyang atau berdo’a di dalam ruang utama Makam Jayaprana yang dipimpin oleh mangku di makam tersebut yang dibantu oleh istrinya .
Upacara-upacara atau pujawali (biasanya pada bulan Desember) yang diadakan secara berurutan dalam waktu sedikitnya dua hari, oleh para pemangku dan masyarakat Desa Pakraman Sumberklampok di Pura Khayangan Jayaprana Teluk Terima ini adalah: 1. Saniscara Ukir (upacara: ngagem dewasa, mengunjungi sejumlah pura dan mengambil air suci di mata air Kalianget, dan mecaru Eka Sata) 2. Rediten Kulantir (upacara: menggantikan busana/pakaian Ida Batara) 3. Soman kulantir (upacara: Nedunang Ida Batara Jagi Mekala liyas, Mesucian ke Taman Beji, Mendak ke Margi Agung) 4. Anggara Kasih Kulantir (upacara: piodalan katuran Ida Batara, Mecaru Manca Sapta, Pembaktian umat) 5. Anggara Tolu (Ngaturang Penerus, Topeng Sidakarya, Ngaturang Pengelemek, dan Ngaturan Penyineb)
Legenda Makam Jayaprana Dikisahkan bermula dari adanya seorang raja bernama Anak Agung Ngurah Kaleran, putra
Raja Klungkung bernama Gedong Artha. Beliau
diutus ayahandanya untuk menelusuri Bali dalam rangka mengamankan, karena pada saat itu daerah Bali sedang diganggu para perampok, terutama
128
di Desa Culik, Kecamatan Abang (Karang Asem) yang banyak didatangi perampok yang dikenal dengan sebutan Wong Bajo. Setelah berhasil mengusir perampok tersebut, beliau melanjutkan perjalanan ke arah barat laut sampai ke Toya Ketipat. Karena lelah, maka para pengikutnya beristirahat untuk makan dan minum. Tetapi persediaan air telah habis, maka mereka meminta kepada Anak Agung Ngurah Kaleran untuk mendapatkan air minum. Beliau lalu menancapkan kerisnya ke tanah dan keluar air yang kemudian disebut dengan Toya Ketipat yang artinya sumber mata air, berlokasi di dekat Kintamani. Perjalanan dilanjutkan sampai ke Alas Arum dan di sini Anak Agung Ngurah Kaleran membuka hutan bersama pengikutnya untuk membangun kerajaan baru yang diberi nama Kalianget. Lama setelah kerajaan di Kalianget itu berdiri, datang musibah yang melanda seluruh wilayah, yaitu berupa kemarau panjang yang menyebabkan banyak tanaman yang mati. Kemudian rakyat memohon kepada raja untuk mendapatkan air. Raja lalu berangkat ke Gunung Batukaru untuk bertapa agar diberi air, akan tetapi Batara tidak mengijinkan. Sang raja memaksa dengan cara menancapkan keris ke tanah dan keluarlah air dari tanah tersebut. Air yang keluar kemudian sampai ke Kalianget dan menjadi Sungai Medaum. Setelah itu terjadi lagi wabah yang menyebabkan banyak warganya yang meninggal. Sang Patih yang bernama Sawunggaling melapor ke raja dan raja melihat langsung desa tersebut. Dalam perjalanannya kembali ke istana, raja menemukan seorang anak kecil. Anak tersebut lalu dibawa ke keraton, diberi nama Jayaprana. Setelah dewasa Jayaprana diperintah raja untuk segera menikah. Pergilah Jayaprana ke pasar untuk mencari istri, bertemulah ia dengan seorang wanita cantik bernama Ni Layonsari. Melaporlah Jayaprana kepada ayahangkatnya Sang Raja yang kemudian menyiapkan acara Pewiwahan (perkawinan). Setelah Jayaprana menjemput calon istrinya (Ni Layon Sari) dan dibawa ke hadapan raja, maka jatuh cintalah Sang raja melihat kecantikan calon istri Jayaprana tersebut, dan berusaha merebutnya. Atas nasehat patinya yang bernama Sawunggaling, maka raja berbuat curang dengan cara mengutus Jayaprana untuk mengusir pasukan bajak laut yang katanya telah tiba di Bali barat laut. Setibanya di Teluk Terima Patih 129
Sawunggaling membunuh Jayaprana yang berdasarkan surat dari raja dikatakan tidak patuh lagi kepada raja.
Setelah meninggal Jayaprana
dimakamkan di Teluk Terima. Ketika sang raja meminta istri Jayaprana, Ni Layonsari untuk menikah dengannya, ia tetap setia pada suaminya dan lalu bunuh diri. Raja sangat marah dan memukul kentongan agar seluruh rakyat berdatangan menghadapnya. Setelah rakyat berdatangan mereka malah dibunuh, dan akhirnya terjadilah perang saudara. TANDA ALAMI
: Perbukitan
LAHAN
: Pekarangan
PEMILIK LAHAN
: Masyarakat Desa Pekraman Sumber Klampok
PEMILIK OBJEK
: Masyarakat Desa Pekraman Sumber Klampok
PENGELOLA
: Desa Pekraman Sumber Klampok
KONDISI
: Cukup terawat
PEMANFAATAN SEKARANG
: Sebagai tempat keperluan sembahyang atau upacara dan Obyek wisata religi
KETERANGAN TAMBAHAN
: Kepemilikan kompleks makam yang
berisikan bangunan pemujaan kepada Jayaprana ini adalah masyarakat adat (pakraman) Sumberklampok . Akan tetapi, sejak tahun 1980-an bernaung di bawah pengelolaan Taman Nasional Bali barat (TNBB). Pura ini termasuk pura kahyangan Jagad yang difungsikan sebagai tempat berdoa untuk memanjatkan rejeki dan keselamatan. Piodalan di pura ini dilakukan setiap wuku Anggar Kasih Kulansa. Untuk tahun 2012 ini akan jatuh sekitar bulan Juli Pemangku yang sekarang yaitu Juru Mangku Ketut Kasih (±70 th). A.3. Masa Islam - Kolonial Bali sekalipun mayoritas masyarakatnya beragama Hindu namun kerukunan dan kedamaian antar-umat beragama berjalan dengan baik. Mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda hidup secara berdampingan dan jarang sekali adanya percekcokan diantara mereka. Hal ini terbukti dengan terdapatnya mesjid-mesjid kuno yang terdapat di Kabupaten Buleleng da masih tetap dimanfaatka sebagai 130