3
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO2) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL
Pendahuluan
Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO2) merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi misalnya sel surya (Qin et al.2013), sensor kimia (Li et al.2013), sel fotoelektrokimia (Koyzyukin et al. 2013), fotokatalis (Macak et al. 2007), dan perangkat elektronik (Bach et al. 2002). Hal itu dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya. Aplikasi dari semikoduktor TiO2 berupa nanopartikel (Kathiravan dan Renganathan 2009, Meen et al. 2009), nanokristal (Wenbing Li et al. 2011), nanorods (Song et al. 2005), nanofiber (Onozuka et al. 2006), nanotubes (Cui et al. 2012) dan nanowires ( Kumar et al. 2010 ) sebagai elektroda pada DSSC mampu menghasilkan efisiensi yang baik. TiO2 memiliki tiga fase kristal yaitu rutil, anatase, dan brookit. Namun yang paling banyak digunakan dalam proses fotoelektrokimia adalah rutil dan anatase, keduanya memiliki struktur kristal tetragonal, dengan parameter kisi a = 4,593 Ǻ dan c = 2,959Ǻ untuk rutil dengan energi gap sebesar 3,0 serta anatase memiliki parameter kisi a = 3,785 Ǻ dan c = 9,513 Ǻ, energi gap sebesar 3,2 eV. Aplikasi dari nanopartikel TiO2 sebagai elektroda pada DSSC dengan ukuran partikel 8-10 nm dengan fase anatase (suhu 600 0C) menunjukkan performa yang sangat bagus. Salah satu metode pembuatan nano TiO 2 yang halus dan berpori dalam bentuk film tipis (ketebalan 4 𝜇m) yaitu melalui metode sol gel spin-coating (Meen et al. 2009). Fase anatase lebih efektif digunakan dalam aplikasi fotokatalisis dan sel surya karena band gap yang lebih lebar jika dibandingkan dengan fase rutil (Mills dan Hunte 1997) . Ahmadi (2011) melakukan riset tentang beberapa parameter yang mempengaruhi pembentukan nanopartikel TiO2, yaitu pH larutan, suhu kalsinasi, waktu aging, suhu aging, serta perbandingan konsentrasi pereaksi. Parameter tersebut berkaitan erat dengan sifat material seperti ukuran partikel dan jenis fase yang terbentuk. Pada penelitian ini, pembentukan nanopartikel TiO2 dilakukan dengan metode sol gel dengan perlakuan variasi suhu kalsinasi dan menggunakan TiCl4 sebagai prkursor melalui tahap hidrolisis. Pereaksi logam klorida seperti TiCl4 cenderung banyak digunakan dalam metode sol gel karena mampu menghasilkan produk akhir berupa oksida logam TiO2. Proses pembentukan oksida logam tersebut dapat terjadi melalui tiga tahap yaitu: hidrolisis, polimerisasi dan pertumbuhan partikel.
4 Bahan dan Metode
Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan semikonduktor TiO2 adalah titanium klorida (TiCl4), asam sulfat (H2SO4), amonia (NH3), akuabides, kertas saring (whatman 0,45 µm), perak nitrat (AgNO3) 0,1 M.
Metode Pembuatan bubuk TiO2 dilakukan menggunakan metode sol-gel melalui tahap hidrolisis TiCl4 dengan menggunakan H 2SO4 (Wenbing et al. 2011). Pencampuran diawali dengan bahan TiCl4 (1 ml) sebagai prekursor ditambahkan H2SO4 (2 ml). Kedua bahan dicampur dalam wadah berisi es sambil diaduk dengan stirrer magnetic (350 rpm) selama 30 menit. Selanjutnya dipanaskan pada suhu sekitar 600C selama 1 jam sampai membentuk larutan bening sambil tetap diaduk. Larutan didiamkan pada temperatur ruang, kemudian larutan ditetesi dengan amonia sampai membentuk gel berwarna putih dengan pH 7 sambil tetap diaduk sampai 12 jam sampai homogen. Larutan disaring dengan kertas saring whatman (0,45 μm) sampai bebas klorida. Cairan bening yang keluar dari kertas saring ditetesi dengan larutan AgNO3 0,1 M (sebagai indikator bebas klorida). Jika tidak berwarna keruh (putih) menandakan bebas klorida. Endapan putih pada kertas saring dikeringkan pada suhu ruang sampai kering. Selanjutnya digerus sampai halus dan dipanaskan pada tanur (furnace) selama 2,5 jam dengan suhu berbeda (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC). Pelapisan TiO2 dilakukan dengan metode casting. Kaca TCO (tebal: 2 mm) dibersihkan dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian dikeringkan. Sebanyak 0,2 gram bubuk TiO2 ditetesi dengan 1 ml asam asetat 3% sambil digerus pada mortar sampai homogen membentuk koloid. Kaca TCO dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip Scotch dengan menyisakan bagian tengah berukuran 1 cm x 1cm. Bagian yang terbuka ditetesi dengan koloid TiO2 dan diratakan menggunakan batang gelas bersih sampai menutupi semua bagian yang terbuka, dibiarkan beberapa menit sampai agak mengering. Lapisan Scoth pada masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara perlahan, kemudian dikeringkan pada suhu ≥ 4000C selama dua jam. Film tipis yang terbentuk dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis (ocean optic spectrophotometer) untuk menentukan sifat optik yaitu nilai absorbansi. Pengukuran kristalintas menggunakan x-ray diffraction (XRD-GBC EMMA) dan scanning electron microscope (SEM) untuk melihat bentuk morfologi serta ukuran partikel TiO2. Diagram alir proses pembuatan TiO2 disajikan pada Gambar 2.
5
Sampel
Alat spektroskopi
Sumber cahaya Kabel Fiber Optic
Komputer
Gambar 1 Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis Penentuan karakteristik sifat optik film TiO2 menggunakan alat spektroskopi OceanOpticTM 4000 untuk rentang frekuensi UV-Vis. Film TiO2 berbentuk transparan sehingga dapat terukur dengan baik. Performa alat karakterisasi sifat optik dapat dilihat pada gambar 1. Pengukuran absorbansi tersebut dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer UV-Vis ke komputer yang telah diinstal software SpectraSuite (Ocean Optics). Selanjutnya, holder kuvet dihubungkan langsung dengan spektrofotometer dan sumber cahaya. Proses pengukuran ini diawali dengan membuka program SpectraSuite. Holder sampel berisi kaca TCO sebagai blanko, kemudian lampu sebagai sumber cahaya dinyalakan. Kurva blanko diatur dengan menyesuaikan fiber optic terhadap cahaya lampu. Setelah itu lampu dimatikan tanpa membuat fiber optic bergeser, kemudian kuvet blanko diganti dengan film TiO2. Lampu dinyalakan kembali dan dapat dilihat kurva absorbansi yang terbentuk pada komputer . Data yang diperoleh dari karakterisasi ini berupa data nilai aborbansi pada masingmasing panjang gelombang (ultraviolet). Pengukuran dilakukan pada setiap sampel dengan suhu kalsinasi yang berbeda. Karakterisasi XRD dilakukan pada TiO2 dalam bentuk bubuk (powder) pada sudut 2θ : 20o sampai 80o. Alat ini menggunakan sinar-X dengan panjang gelombang 0,154059 nm sebagai sumber radiasi. Sampel pada holder diradiasi langsung yang terintegrasi dengan tabung XRD. Alat tersebut terhubung langsung dengan komputer yang dilengkapi dengan software GBC-EMMA. Dari hasil XRD dapat diperoleh intensitas, sistem kristal, ukuran kristal, parameter kisi, jarak antar bidang kristal, jenis fase kristal berdasarkan database (JCPDS) TiO 2. Karakterisasi SEM dilakukan untuk melihat bentuk permukaan film TiO 2 dengan pembesaran seragam pada semua sampel (40.000 kali). Selain ukuran partikel, ketebalan masing-masing film juga dapat diperoleh dari hasil SEM. Nilai ketebalan film tersebut digunakan dalam menentukan energi gap berdasarkan data spektroskopi optik yang diperoleh.
6
TiCl4 + H2SO4 (10%)
Pengadukan (stirring 350 rpm; suhu= 0oC; waktu=30 menit)
Pembentukan larutan sol (stirring 350 rpm; suhu=60oC; waktu=1 jam
Penambahan amonia/NH3H2O (stirring 350 rpm; suhu ruang)
Pembentukan gel (warna putih, pH 7)
Pencucian (aquabidest)
Penyaringan (Whatman 45μm)
Pengujian bebas klorida (AgNO3 0,1 M)
Pengeringan dengan inkubator (suhu= 27oC; waktu=12 jam)
Kalsinasi (suhu=400oC-1000oC;laju=5oC/menit; waktu=2 jam)
Nanokristal TiO2 (bubuk)
Pelapisan film tipis (kaca TCO)
Karakterisasi XRD
Karakterisasi (UV-Vis, SEM)
Gambar 2 Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel
7 Hasil dan Pembahasan
Pola XRD TiO2
R (202) A (215)
A (220)
R (301) R (112) A (116)
R (002) R (310) A (204)
A (105) A (211)
R (211) R (220)
R (101) R (200) R (111) R (210) A (200)
A (101)
Intensitas (a.u.)
D
A (103) A (004) A (112)
R (110)
Pola XRD pada Gambar 3 menunjukkan fase TiO2 yang muncul pada pemanasan dari suhu 400oC-800oC hanya anatase, semua puncak muncul dengan jelas. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000 oC, terjadi transformasi fase dari anatase menjadi rutil. Puncak anatase tertinggi pada sudut 2𝜃= 25,33o yang bersesuain dengan bidang difraksi (101) (JCPDS 21-1272) dan rutil dengan intensitas tertinggi pada sudut 2𝜃= 27,46o yang bersesuain dengan bidang difraksi (110) (JCPDS 21-1276). Pada setiap kenaikan suhu, hanya terdapat satu jenis fase yang muncul disebut fase tunggal (single phase), karena tidak terdapat puncak difraksi lain (pengotor).
C B A
20
40
60
80
2 (derajat)
Ganbar 3 Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk setiap kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600oC, (C) 800oC dan (D) 1000oC Ukuran kristal dihitung dengan persamaan Debye–Scherrer: 0,9 𝜆 𝜎= (1) 𝛽 𝑐𝑜𝑠 𝜃 σ adalah ukuran kristal, λ adalah panjang gelombang sumber sinar-X ( Cu Kα adalah 0,154059 nm). Nilai β yang digunakan adalah setengah nilai puncak difraksi (dalam radian), nilai puncak maksimum disebut FWHM (full width at half maximum ) dan θ adalah sudut difraksi Bragg.
8 Ukuran kristal (Tabel 1) pada suhu 800oC lebih besar dibanding dengan ukuran kristal pada suhu 400oC. Ukuran kristal bertambah besar karena proses sintering yaitu peningkatan suhu akibat adanya energi tambahan pada material tersebut berupa energi panas. Energi panas menyebabkan material-material tersebut memiliki energi lebih untuk memperbesar ukuran kristal (penumbuhan kristal) melalui proses difusi antar partikel-partikel TiO2. Suhu kalsinasi yang semakin meningkat akan merubah ikatan interatomik di dalam partikel dan merusak ikatan –OH, sehingga ukuran semakin bertambah besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian tentang pengaruh suhu kalsinasi terhadap ukuran kristal TiO2 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO 2 akibat pengaruh suhu kalsinasi Suhu kalsinasi ( oC) Ukuran kristal (𝐴) Suhu kalsinasi ( oC) Ukuran kristal (𝐴) Suhu kalsinasi ( oC) Ukuran kristal (nm)
Penelitian sekarang
400
600
800
1000
13,75
20,79
25,25
48,88
350
400
450
500
525
15,6
16,1
16,3
17,9
20
400
500
600
700
13,96
17,60
20,68
26,44
Gonzales dan Santiago (2007) Ahmadi et al. 2011
Morfologi TiO2 Bentuk permukaan film TiO2 pada suhu kalsinasi berbeda yaitu 400oC, 600 C dan 800oC memiliki ketebalan yang berbeda berturut-turut adalah 780,16 nm, 328,57 nm, dan 588,27 nm. Bentuk morfologi permukaan dari film TiO 2 dengan pembesaran 40.000 kali dapat diamati pada Gambar 3. Hasil SEM menunjukkan permukaan dari film tipis TiO2 pada suhu yang berbeda dari 400oC, 600oC, 800oC dan 1000oC. Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa ukuran butir partikel TiO2 semakin bertambah besar dengan meningkatnya suhu kalsinasi yaitu 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan 80,40 nm. Pada suhu 400oC belum terlihat batas antar butir dengan jelas karena permukaan yang hampir seragam dan rapat sehingga permukaan film terlihat rata, sedangkan pada suhu 1000oC terlihat batas antar butir secara jelas sehingga membentuk pori. o
9
(a)
(b)
(c)
(d)
(e) Ganbar 4 Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase anatase) 400oC (b), 600oC (c), 800oC (d), dan fase rutil 1000oC (e)
Sifat Optik dan Energi Band Gap TiO2 Film TiO2 yang ditumbuhkan di atas substrat kaca dikarakterisasi sifat optik untuk mengetahui spektrum serapan, dilanjutkan dengan penentuan energi celah pita optik. Spektrum serapan TiO2 anatase dikalsinasi pada suhu yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 5. Daerah absorpsi pada kisaran ultraviolet (UV) bergeser pada setiap kenaikan suhu. Perbedaan nilai tersebut menunjukkan adanya serapan optik pada panjang gelombang UV. Tepi pita serapan bergeser ke
10 wilayah panjang gelombang lebih panjang atau frekuensi lebih kecil. Ketika TiO2 menyerap energi foton yang lebih besar atau sama dengan energi gap yang dimiliki, maka elektron akan tereksitasi dari pita valensi menuju pita konduksi, kemampuan absorpsi menjadi meningkat untuk panjang gelombang yang sesuai dengan energi celah. Energi celah dapat ditentukan berdasarkan koefisien absorpsi dalam persamaan Tauc (1972) yaitu: 𝑛 𝛼ℎ𝑣 = 𝐴 ℎ𝑣 − 𝐸𝑔 (2) dimana A adalah konstanta optik, α adalah koefisien absorpsi, hv adalah energi foton, Eg adalah energi celah, dan n adalah nilai transisi yang bergantung pada jenis transisi (transisi langsung n=1/2 dan transisi tidak langsung n=2). Jika dalam proses transisi, momen elektron kekal (konservatif) maka terjadi transisi langsung, namun jika sebaliknya dalam proses transisi tidak konservatif maka harus disertai dengan energi fonon disebut sebagai transisi tidak langsung (Islam et al. 2012). 2,5
Absorbansi (a.u)
2,0
400o C 600o C 800o C
1,5
1,0
0,5
0,0 300
400
500
600
700
800
900
Panjang gelombang (nm)
Gambar 5 Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masingmasing 400oC, 600oC dan 800oC Jenis transisi film TiO2 dapat ditentukan berdasarkan nilai koefisien absorpsi. Jika nilai koefisien lebih besar dari 104 termasuk transisi tidak langsung, sebaliknya jika koefisien absorpsi kurang dari 104 merupakan transisi langsung (Tauc 1972). Pada penelitian ini, hasil perhitungan koefisien absorpsi rata-rata dari masing-masing suhu kalsinasi 400 oC, 600oC, 800oC berturut-turut adalah 8,160x102, 1,754x103, dan 4,015x102 lebih kecil dari 104 sehingga termasuk transisi langsung. Koefisien absorpsi dapat ditentukan menggunakan persamaan, 2,303 𝐴 𝛼= (3) 𝑑 A adalah absorbansi, α adalah koefisiens absorpsi, dan d adalah ketebalan film TiO2.
11
4e+8
4000 C 6000 C 8000 C
2e+8
2
-1
(hv) (cm . eV)
2
3e+8
1e+8
0 1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
hv (eV)
Gambar 6 Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masingmasing 400oC, 600oC dan 800oC 3.8
hv (eV)
3.7 3.6 3.5 3.4 3.3 300
400
500
600
700
800
900
Suhu (oC)
Gambar 7 Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO 2 pada suhu kalsinasi yang berbeda Energi celah (Gambar 6) ditentukan berdasarkan perpotongan kurva bagian linear dengan sumbu energi (hv). Nilai energi celah pada kalsinasi 400 oC, 600oC, 800oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan 3,35 eV. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perubahan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan
4,5