STUDI LITERATURE Pemapar: Philip Suprastowo dan Herlinawati Tanggal: 14 Mei 2012 Tempat: Bogor A. Pengertian Gender Berdasarkan laporan akhir kegiatan yang dilakukan oleh Meneg Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan Pusat Kegiatan Wanita Lembaga Pengembangan model Universitas Negeri Jakarta 2000, gender didefinisikan sebagai konstruksi sosial atau masyarakat yang membedakan (a) status, (b) peran, dan (c) nilai antara laki-laki dan perempuan. Pembagian ini didasarkan menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat (Kegiatan dan Pengkajian Bahan Ajar yang Berperspektif Gender, 2000). Lebih lanjut, laporan menggarisbawahi tiga aspek permasalahan gender yang sering muncul, khususnya pada masyarakat konservatif, yaitu: status, peran, dan nilai. Dalam kaitannya dengan status, isu gender muncul karena seringkali “perempuan dianggap lebih pantas mengatur rumah tangga dan mengasuh anak; sedangkan laki-laki dianggap lebih pantas untuk mencari nafkah dan menjadi pemimpin masyarakat (kepala sekolah, kepala desa dll). Terkait dengan aspek peran, isu yang sering muncul dalam masyarakat bahwa “perempuan dianggap lebih pantas melakukan pekerjaan seperti menjahit, memasak; sedangkan laki-laki dianggap lebih pantas melakukan pekerjaan seperti teknik perbengkelan, menggergaji, membangun rumah dan lain-lain. Selain itu, perempuan juga sering diposisikan pada peran bukan pengambil kebijakan-kebijakan penting baik dalam rumah tangga maupun kemasyarakatan; sedangkan laki-laki diposisikan pada peran pengambil kebiajakan strategis baik dalam keluarga maupun kemasyarakatan.” Selanjutnya terkait dengan aspek nilai, isu yang sering muncul antara lain bahwa “perempuan dianggap tidak pantas menjadi supir, pilot, pemain bola; laki-laki dianggap tidak pantas belanja, mengurus konsumsi, merawat bayi.” Kegiatan juga menyoroti bahwa gender memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain karena norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat berbeda-beda. Beberapa diantaranya “secara umum perempuan di hampir semua masyarakat manapun melakukan pekerjaan rumah tangga. Tetapi di
1
masyarakat perkotaan perempuan dan laki-laki mulai berbagi tugas rumah tangga karena perempuan juga bekerja mencari nafkah. Disamping itu, perempuan secara umum dianggap tidak pantas untuk melakukan pekerjaan keras seperti menjadi tukang batu, tetapi di Bali perempuan biasa menjadi tukang batu. Contoh lain ditemukan pada masyarakat petani, dimana pada kebanyakan masyarakat petani, bersawah adalah tugas utama laki-laki, dan perempuan hanya membantu, tetapi di sejumlah masyarakat khususnya suku Dani di Irian, bersawah atau berkebun adalah tugas utama perempuan karena laki-laki memiliki tugas utama untuk berburu. Kegiatan yang sama juga menggarisbawahi adanya kenyataan yang menarik, dimana isu gender dapat berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan serta nilai-nilai masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut terkait erat dengan aspek-aspek baik status, peran, dan nilai. Terkait dengan aspek status, dulu perempuan dianggap tidak pantas berstatus pejabat, menjadi Bupati, Camat, Kepala pemerintahan, tetapi sekarang telah ada perempuan yang menjadi Bupati. Laki-laki dulu dianggap tidak pantas bekerja sebagai juru masak, perias atau sipimpin oleh perempuan, tetapi sekarang karena perkembangan di berbagai bidang di antaranya pendidikan, sudah ada laki-laki berstatus ahli masak, ahli rias. Terkait dengan peran, dalam dunia perfilman, perempuan kebanyakan berperan sebagai artis, tetapi sekarang sudah ada yang menjadi sutradara. Selain itu, peran sekretaris pada umumnya dipegang oleh perempuan, tetapi karena pasar kerja sudah lebih banyak, dan pendidikan khusus untuk itu sudah ada, laki-laki yang menjadi sekretaris sudah banyak. Selanjutnya dalam aspek nilai, dulu perempuan dianggap tidak perlu melanjutkan sekolah tinggi, tetapi sekarang semakin bertambah perempuan yang melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dulu laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga tetapi sekarang sudah mulai banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama , bahkan lebih besar penghasilan dari suami. Kegiatan tersebut juga mengkritisi berbagai kelemahan saat ini. Kegiatan menyatakan bahwa gender sudah berkembang menjadi sebuah struktur, sistem yang ditopang oleh negara, dilegitimasi oleh agama, dikukuhkan oleh budaya dan dipraktikkan baik oleh mayoritas lakilaki maupun perempuan. Dijelaskan bahwa meskipun tidak ada kebijakan yang secara eksplisit menghambat partisipasi perempuan dalam pendidikan, misalnya, tetapi pada kenyataannya ada beberapa materi bahan ajar yang gambar dan ilustrasinya bias gender, misalnya gambar ‘ibu memasak dan ayah membaca koran’. Hal ini dapat berdampak
2
terhadap pola ibu atau perempuan hanya pantas di dapur, sumur dan tempat tidur yang merupakan bagian dari sektor domestik yang menyangkut urusan rumah tangga dan bukan sektor publik yang berhubungan dengan masyarakat secara luas. Kelemahan interpretasi agama yang umum dipegang oleh ulama adalah bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dengan mendasarkan pada Surat An-Nisa’:34. Seringkali ungkapan ini dipegang mentah-mentah (secara literal), tanpa melihat penjelasannya yaitu bahwa laki-laki menjadi pemimpin jika mereka memiliki kelebihan. Interpretasi baru ayat ini bahkan menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kelebihan bisa menjadi pemimpin termasuk perempuan. Interprestasi dangkal tersebut, dalam budaya masyarakat, karena perempuan dianggap lebih pantas beraktivitas di wilayah domestik (yang hanya menyangkut urusan rumah tangga saja), maka mereka tidak perlu sekolah tinggi. Pada akhirnya, kegiatan mempertanyan kaitan gender dengan penciptaan oleh yang Maka kuasa, yang dikemas dalam sebuah pertanyaan, yaitu: apakah gender itu kodrat? Disebutkan bahwa kodrat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Sang Pencipta sehingga manusia tidak bisa merubah atau menolaknya. Kodrat bersifat universal; tetap sepanjang hayat pada setiap waktu dan tempat. Sedangkan gender adalah kebiasaan yang dianggap oleh masyarakat, yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, dan dari satu waktu ke waktu lain. Konstruksi gender tertentu bisa diterima pada saat ini, tetapi bisa ditolak suatu saat nanti dan sebaliknya. Dengan kata lain, peran gender mengalami perubahan dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu waktu ke waktu lain. Dengan demikian disimpulkan bahwa gender bukanlah kodrat. Tetapi yang menjadi masalah adalah karena perbedaan gender ini telah tersosialisasikan melalui proses yang panjang, diperkuat secara sosial, kultural maupun keagamaan, maka sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan – seolah-olah bersifat biologis dan tidak bisa diubah lagi. Akibatnya perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. B. Permasalahan Gender Dalam mengeksplorasi keberadaan kesenjangan gender di tempat kerja, beberapa hasil pengembangan model mengindikasikan bahwa perempuan berada dalam posisi yang tidak diuntungkan. Beberapa contoh diantaranya, bahwa perempuan harus bekerja lebih berat dibandingkan laki-lakib di Inggris dan Amerika Serikat (Gorman et al., 2007), dan keluargakeluarga yang dikepalai oleh orangtua (baca: ibu) tunggal hidup lebih miskin di negara-
3
negara Eropa dan Amerika Serikat (Misra et. al., 2007). Dalam kegiatan yang lain yang diadakan di Israel terhadap masyarakat Palestina di negara tersebut, meneliti tentang penerapan konsep hamulas— yaitu pemilihan seorang calon setingkat camat pada masyarakat Palestina di Israel, ditemukan bahwa meskipun hamulas dirancang untuk memilih pimpinan dari kalangan perempuan, dalam prakteknya selalu ada upaya peminggiran calon dari kalangan perempuan tersebut (Herzog & Yahia-Younis, 2007). Namun demikian, pada sisi yang lain, hasil pengembangan model juga menunjukkan bahwa penghapusan
diskriminasi
gender
dapat
membantu
para
perempuan
memperoleh
peningakatan dalam kehidupannya. Dalam sebuah pengembangan model tentang komposisi gender pada kalangan perempuan yang meraih doktor oleh England et al., (2007) menggarisbahawi teori devaluasi yang merujuk bahwa kalangan laki-laki menghindari lapangan-lapangan pekerjaan yang bersifat feminism karena ingin menghindari stigma pekerjaan-perempuan atau sebuah ketakutan akan feminisasi yang identik dengan bergajirendah. Perspektif devaluasi dalam kegiatan gender berpandangan bahwa devaluasi-budaya terhadap perempuan mengarah pada stigmasi segala hal terkait perempuan, termasuk gaya berpakaian, nama, kegiatan senggang, lapangan kegiatan, dan pekerjaan (England 2007 at. al.).
Berbagai perspektif ini mungkin dapat menjelaskan komposisi gender dalam
kependidikan, yang masih jarang dieksplorasi kesempatan yang lebih baik. Di Swedia, misalnya, pemerintah mempromosikan kesamaan gender, dimana perusahaan-perusahaan father-friendly memberikan prioritas pada perempuan untuk bekerja pada pelayanan umum (Haas & Hwang, 2007). Di Indonesia, negara yang sering dikutip sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim tertinggi di dunia, pengembangan model dan pengembangan model berbasis gender menjadi sangat menarik karena perempuan dalam Islam sering dikaitkan dengan predikat sebagai ketidakadilan dalam berbagai kesempatan dibandingkan laki-laki. Pengembangan model dan pengembangan model sebaiknya tidak hanya dilakukan sebatas pada level pendidikan di bangku sekolah dan kuliah melainkan juga ketika mereka telah bekerja. Pengembangan model dan pengembangan model pada tataran tersebut penting karena di lapangan kerjalah praktek berkesetaraan gender menghadapi tantangan.
4
5
Perlunya Sekolah Berwawasan Gender. Sekolah merupakan tempat yang strategis dalam upaya memperkenalkan pendidikan yang berwawasan gender. Hal ini karena lembaga pendidikan merupakan salah satu tempat yang paling potensial untuk menanamkan dasar-dasar nilai, peraturan, dan keyakinan yang akan menjadi referensi bagi kehidupan anak didik di kelak kemudian hari. Selain itu sekolah merupakan agen perubahan (agent of change). Sekolah juga diyakini merupakan pembuka jalan yang memungkinan setiap anak didik termasuk perempuan dapat berkiprah dalam dunia yang lebih luas, bisa mengikuti perubahan yang terus menerus berlangsung, dan memiliki posisi serta peran intelektual dan sosial, yang akan berdampak pada peningkatan ekonomi baik mikro maupun makro.. Menurut John Dewey yang juga didukung oleh RA Kartini, sebagaimana dikutip dari Budi Rajab (Jurnal Perempuan, edisi 23) pendidikan berfungsi sebagai alat transformasi sosial. Sifat transformasi ini dimungkinkan karena melalui pengajaran di sekolah yang terorganisir orang bisa mengenal kemampuan dan kekuatan dirinya sendiri, didorong untuk mempertanyakan berbagai asumsi, bersikap kritis, serta terus mencari kebenaran. Pendidikan juga dimaksudkan sebagai wadah untuk mengembangkan potensi yang ada pada manusia seluas-luasnya dan diharapkan dapat tumbuh menjadi manusia bebas dan mampu berpikir kritis, dan dapat memberi penilaian sendiri atas berbagai situasi yang dihadapi, merefleksikannya dan kemudian menjadikannya landasan untuk mengintegrasikan diri sebagai mahluk yang mengada di dunia dan bahkan ikut membentuk realitas itu sendiri. Perempuan semestinya tidak terpinggirkan dari fenomena tersebut agar dapat mengarahkan potensi dirinya bagi pembangunan bangsa, termasuk pembangunan ekonomi. Karena pentingnya institusi pendidikan dan mengingat berbagai masalah pendidikan yang berhubungan dengan gender, sebagaimana dijelaskan di atas, kalau pihak-pihak yang terkait dengan sekolah sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang wawasan gender, maka permasalahan gender dalam dunia pendidikan tidak akan terjawab. Akibatnya anak-anak perempuan yang selama ini lebih berada pada pihak yang dipinggirkan dan dirugikan akan semakin mengalami keterpurukan, yang pada akhirnya juga akan merugikan pembangunan bangsa dan negara. Oleh karenanya, pengelola sekolah, baik kepala sekolah, guru, dan staf lainnya maupun pendukung terkait seperti orangtua dan komite sekolah diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang pendidikan yang berwawasan gender. Dengan pengetahuan ini diharapkan mereka mampu menerapkannya dalam pengelolaan sekolah sehari-hari, serta
6
secara lambat laun mampu mengubah peranan tradisi yang menempatkan perempuan pada posisi lemah menjadi posisi yang penting baik dalam keluarga maupun masyarakat. 1.
Pengetahuan Dasar a. Bahwa perempuan perlu diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan setinggitingginya, memasuki bidang kegiatan yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu sosial, agar potensi dirinya berkembang secara optimal. b. Bahwa jenis kelamin merupakan ciri biologis antara laki-laki dan perempuan dan tidak terkait dengan tingkat kecerdasan, peranan dan kedudukan, serta tanggungjawab dalam kehidupan. c. Bahwa antara laki-laki dan perempuan perlu diberi peran, fungsi, dan tanggungjawab dan kedudukan yang sama sesuai dengan kodrat dan potensi yang dimiliki. d. Bahwa orangtua perlu memberikan perlakuan, pendidikan dan bimbingan yang sama kepada anak-laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya. e. Bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peran, kewajiban dan tanggungjawab dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. f. Bahwa tidak perlu terjadi penilaian atau pandangan-pandangan yang menurunkan harkat perempuan atau laki-laki. g. Bahwa terdapat banyak mitos (sekitar laki-laki dan perempuan) yang berkembang dalam masyarakat, yang sering kali merugikan semua pihak.
3. Perlunya Intervensi a. Pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. b. Pemahaman bahwa ciri-ciri biologis antara laki-laki dan perempuan untuk membedakan jenis kelamin semata, bukan untuk membedakan hak, peran, status dan kedudukan dalam kehidupan. c. Pemahaman bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam keluarga dan masyarakat. d. Pemahaman bahwa orangtua dan guru yang baik adalah orangtua dan guru yang tidak membeda-bedakan kesempatan pendidikan, perlakuan dan bimbingan kepada anak atau peserta didik laki-laki dan perempuan.
7
e. Pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peluang, kesempatan, partisipasi, manfaat dan pengambilan keputusan yang sama dalam lingkup keluarga, masyarakat dan bangsa. f. Pemahaman bahwa sifat-sifat yang melekat baik pada perempuan maupun laki-laki yang bersifat stereotype sebagai akibat budaya dan/atau mitos yang tidak selamanya benar. 4. Pengertian Peristilahan Umum a. Gender
adalah
pandangan
masyarakat
tentang
perbedaan
peran,
fungsi,
tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Konstruksi sosial adalah kebiasaan yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat. b. Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah suatu kondisi yang sejajar dan seimbang secara harmonis dalam hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. c. Bias Gender adalah suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan pembangunan. d. Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah suatu kondisi yang sejajar dan seimbang secara harmonis dalam hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. e. Androgini adalah suatu pola pendidikan dan pengasuhan anak yang tidak berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. f. Stereotype gender adalah citra baku yang melekat pada peran, fungsi dan tanggungjawab yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. g. Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan, program dan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. h. Jenis kelamin adalah perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan terutama pada bagian-bagian reproduksi.
8
i. Mitos adalah pandangan tertentu yang melekat kuat pada suatu masyarakat, berasal dari sumber yang kurang jelas, dan seringkali mengakibatkan pola perilaku yang tidak tepat. j. Penyetaraan gender adalah upaya untuk menyelaraskan peran, status, dan nilai lakilaki dan perempuan sehingga tidak ada yang dirugikan. k. MPEI adalah program peningkatan ekonomi kawasan tertinggal yang dipelopori pemerintah guna pemberdayaan ekonomi masyarakat termasuk kalangan perempaun. 1. Peran Perempuan dalam Perekonomian Pada era kehidupan modern saat ini, dimana biaya hidup tinggi sebagai akibat tuntutan pola hidup yang konsumtif pada semua tingkatan sosial dimasyarakat, semakin banyak perempuan tidak bisa lagi hanya memainkan peranan tradisional mereka di rumah. Konsekuensi dari kondisi tersebut, tidak sedikit perempuan masuk pada sector kerja dengan tujuan memperoleh tambahan pendapatan keluarga. Salah satu contoh, peristiwa ekonomi dan financial krisis yang terjadi pada akhir 1990, kenaikan harga kebutuhan dasar rumah tangga yang mencapai 77.6% pada tahun 2001, banyak perempuan yang biasanya mengelola rumah tangga terpaksa harus bekerja (Hubeis, 2010). Pada kondisi tersebut, kesempatan lapangan perekonomian yang tersedia terbatas pada sektor informal, termasuk pertanian dan perkebunan. Perkebunan cukup besar peranannya dalam perekonomian nasional dan dalam penyerapan tenaga kerja. Gambaran positif itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan sering tidak harmonis, pembagian kerja dan pengupahan di perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Lebih dari separuh penduduk
Indonesia
adalah perempuan,
namun
kondisi
ketertinggalan
perempuan
menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Hastuti, Endang. L. 2003. Hambatan Sosial Budaya dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian
dan
Pengembangan
Sosial
Ekonomi
Pertanian.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(8)%20soca-endang-hambatan%20sosbud(1).pdf (10 Maret 2009, 21.00). Hastuti, 2003). Kebijakan pembangunan di Indonesia yang menjamin hak dasar pekerja dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam prakteknya mengalami hambatan. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama yang menentukan kondisi kerja
9
karyawan di perkebunan. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.
Dalam melakukan kegiatan Produktif di desa penelitian terdapat perbedaan-perbedaan jenis kegiatan laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh pandangan masyarakt mengenai peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Peran pemenuhan kebutuhan keluarga terbagi antara laki-laki dan perempuan akan tetapi tanggung jawab domestik tidak terbagi dan hanya menjadi beban perempuan. Pandangan masyarakat ikut mempengaruhi dan menetapkan klasifikasi jenis pekerjaan bagi perempuan dan laki-laki sehingga mengakibatkan kemiskinan perempuan semakin meningkat. Penggunaan teknologi juga ikut mempengaruhi tingkat pendapatan perempuan karena perempuan kehilangan akses pekerjaan yang diambil alih oleh teknologi. Sistem keamanan di masyarakat belum terbangun untuk mendukung perlindungan perempuan yang bekerja di ranah publik. Akses perempuan tehadap peningkatan SDM dan akses terhadap informasi yang lemah membuat posisi perempuan tidak seimbang dengan lakilaki di ranah publik. Interpretasi agama yang tidak sensitif pada perempuan juga ikut memposisikan perempuan untuk terus bekerja di wilayah domestik. Jenis-jenis kegiatan reproduktif dominan di desa penelitian adalah, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring dan baju, mengantar anak ke sekolah, posyandu dan puskesmas, mengurus keperluan suami dan anak-anak, mendidik anak. Kegiatan di bidang reproduktif merupakan kegiatan yang paling banyak dibebankan kepada perempuan. Selain harus melakukan kerja produktif, dalam waktu bersamaan perempuan juga harus menyelesaikan tugas-tugas reproduktifnya. Beban ganda yang dijalani perempuan dalam kehidupannya menyebabkan perempuan sangat sedikit terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam pembangunan desa. Dalam bidang politik dan sosial kemasyarakatan, jenis-jenis kegiatan yang dominan dilakukan oleh masyarakat dalam bidang politik adalah pertemuan dan rapat-rapat desa untuk mengambil keputusan, baik yang berkaitan denga pembangunan desa maupun keputusan di bidang kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya (Khairil Arifin Cs, 2007).
10
11