BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pajak menurut undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang banyak digunakan untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan, diantaranya untuk membayar gaji pegawai negeri, pembangunan sarana dan prasarana umum seperti jalan raya, jembatan, terminal, fasilitas di bidang kesehatan, dan dana untuk keamanan nasional. Artinya, negara membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai hal itu semua. Jika kita melihat dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015, terdapat dua pos penerimaan sebagai sumber dana pemerintah. Penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri yang bisa juga disebut sebagai bantuan. Jika selalu mengandalkan penerimaan dari luar negeri yaitu dalam bentuk pinjaman, maka negara harus mengembalikan pinjaman pokok beserta bunganya yang terkadang melebihi pinjaman pokoknya. Oleh karena itu, negara lebih mengandalkan penerimaan dalam negeri karena jika mengandalkan penerimaan dari sektor migas saja tidak akan mencukupi. Hal ini disebabkan harganya yang senantiasa berfluktuasi setiap saat. Akhirnya, pajak menjadi prioritas pemerintah untuk menjadi sumber penerimaan utama negara.
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pajak layak untuk menjadi tulang punggung negara yang potensial. Dari pajak, pemerintah dapat menyediakan sarana dan prasana ekonomi seperti: jalan, jembatan, pelabuhan, air listrik, fasilitas kesehatan, pendidikan, keamanan, dan berbagai kepentingan umum lainnya yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Dilihat dari RAPBN tahun 2015, pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor pajak akan terealiasasi sebesar 1.294,26 triliun rupiah dengan rincian sebagai berikut: Tabel 1.1 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2015 (dalam miliar rupiah) No.
Jenis Pajak
Jumlah yang diharapkan
1.
PPh Non Migas
Rp. 629.835,35
2.
PPN dan PPnBM
Rp.
576.469,17
3.
PBB
Rp.
26.689,88
4.
Pajak Lainnya
Rp.
11.729,49
5.
PPh Migas
Rp.
49.534,79
Jumlah
Rp. 1.294.258,67
Sumber: Dashboard Penerimaan Pajak, Direktorat Jenderal Pajak
Dilihat dari struktur penerimaan sektor pajak di atas bahwa penerimaan dari PPN dan PPnBM merupakan pajak yang diharapkan dapat menjadi sumber pemasukan kedua setelah pajak penghasilan. Hal ini dikarenakan jika mengandalkan pemasukan dari pajak pengasilan belum akan mencukupi untuk target penerimaan pajak sekitar 1.294,26 triliun rupiah tersebut. Selain itu,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
pemasukan dari PPN dan PPnBM juga potensial karena semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak guna memenuhi target realisasi penerimaan RAPBN tahun 2015. Terkait dengan hal ini, Direktorat Jendral Pajak merupakan salah satu institusi pemerintah yang secara struktural berada dibawah Departemen Keuangan yang menjalankan tugas administrasi perpajakan. Dengan visi menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan salah satu misinya, yaitu misi fiskal, untuk menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan undang-undang perpajakan dengan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi. Visi dan misi DJP tersebut akan sulit diwujudkan jika hanya mengandalkan sistem administrasi yang lama, untuk itulah DJP harus melakukan reformasi. Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak salah satunya dengan melakukan reformasi terhadap Peraturan Perundangundangan Perpajakan, serta terhadap sistem administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak tahun 1983 dengan perubahan official assessment system menjadi self assessment system, sedangkan dalam program reformasi perpajakan tahun 2008 terdapat konsep modernisasi administrasi perpajakan. Seiring dengan upaya peningkatan penerimaan pajak melalui reformasi perpajakan, maka dibutuhkan kegiatan sosialisasi perpajakan yang diatur dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Surat
Edaran
Direktur
Jendral
Pajak
Nomor
SE–22/PJ./2007
tentang
penyeragaman sosialisasi perpajakan bagi masyarakat. Menurut Putri dan Pratomo (2014) sosialisasi perpajakan dapat menjembatani antara pemerintah (yang memungut) dan masyarakat (yang dipungut) untuk berbagi informasi baik berupa informasi mengenai peraturan pajak terbaru maupun informasi lainnya dengan harapan melalui sosialisasi perpajakan timbulnya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dan tumbuhnya rasa percaya kepada pemerintah untuk mengelola apa yang sudah mereka lapor dan setorkan. Pajak penjualan barang mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas (a) penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, (b) impor barang kena pajak yang tergolong mewah (Casavera, 2009:186). Kemudian menurut Casavera (2009:186) bahwa penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas import barang kena pajak yang tergolong mewah, disamping dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Pengenaan pajak penjualan atas barang mewah atas import barang kena pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara atau hanya sekali saja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
Lebih lanjut Anastasia (2004:220) menjelaskan bahwa tarif pajak penjualan atas barang mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif yaitu tarif rendah sebesar 10% dan tarif tertinggi 75% bahkan sampai 200%, hal ini sesuai dengan UU PPN & PPnBM No. 42 tahun 2009. Perbedaan tersebut didasarkan kelompok tarif pada pengelompokan barang kena pajak yang tergolong mewah yang atas penyerahannya dikenakan juga pajak penjualan atas barang mewah oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah didalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Saat ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menyiapkan revisi terkait objek pemungutan pajak penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong sangat mewah. Hal itu terlihat dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-24/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah, yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015, yang berbunyi sebagai berikut: Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah diubah sebagai berikut: 1.
Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. (2) Barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
b. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya; c. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi); d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m2 (seratus lima puluh meter persegi); e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc; dan/atau f. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.
Dalam payung hukum PPnBM saat ini – PMK No. 90/PMK.03/2015 terdapat patokan harga hunian mewah untuk pengenaan pajak 20%. Dalam aturan tersebut disebutkan batasan hunian mewah hanya harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp. 2
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau sebatas luas bangunan, 400 m untuk
rumah dan town house dari jenis non strata title dan 150 m2 untuk apartemen, kondominium, town house dan jenis strata title. Sejak awal tahun wacana revisi beleid tentang PPnBM dan PPh Pasal 22 memang sudah mengemuka. Baru-baru ini, pemerintah baru mengeksekusi aturan PPh Pasal 22, salah satunya dengan menurunkan batas (threshold) threshold) hunian sangat threshold mewah dari Rp. 10 Milyar menjadi Rp. 5 Milyar. Besaran ini memang meleset dari rencana awal penurunan threshold dari Rp. 10 Milyar menjadi Rp. 2 Milyar. Wacana revisi itu dilakukan demi memenuhi target penerimanaan kas negara pada 2015. Tahun ini, negara menargetkan pendapatan sebesar Rp 1.300 triliun dari sektor perpajakan (www.bisnis.com). Pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan beberapa kali. Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Dan perubahan yang terbaru adalah Perdirjen Pajak No. PER-24/PJ/2015 perubahan atas Perdirjen Pajak No. PER-19/PJ/2015 tentang tata cara pemungutan pajak penghasilan pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Dimana perubahan PER24/PJ/2015 j.o PER-19/PJ/2015 bunyinya sebagai berikut: Ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah diubah, sehingga menjadi sebagai berikut: Pasal 2 Harga jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) untuk: a. barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c dan huruf d, adalah harga dasar, yaitu harga tunai atau cash keras tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah; b. barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf f, adalah harga barang tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Dalam pasal 2, beleid yang ditetapkan pada 12 Juni 2015 disebutkan harga jual lebih dari Rp. 5 Milyar untuk rumah beserta tanahnya serta apartemen, kondominium, dan sejenisnya yang tergolong sangat mewah merupakan harga dasar yakni harga tunai atau cash keras termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Williamson (1986) dalam Mas’oed (1994) menyatakan bahwa reformasi perpajakan
meliputi perluasan
basis
perpajakan,
perbaikan administrasi
perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
Anggito Abimanyu (2003) menyebutkan bahwa reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar di segala aspek perpajakan yang memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Aviliani (2003) berpendapat bahwa tujuan reformasi perpajakan adalah untuk menegakkan kemandirian ekonomi dalam membiayai pembangunan nasional. Secara bertahap, pajak diharapkan bisa mengurangi ketergantungan utang luar negeri. Dalam hal ini, reformasi perpajakan akan menjadikan sistem yang berlaku menjadi lebih sederhana, yang mencakup penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak dan pembayaran pajak. Perubahan reformasi pajak 2008 yaitu dengan mengenakan tarif berbeda pada wajib pajak perorangan dan wajib pajak badan. Diharapkan dengan tarif pajak yang baru, maka wajib pajak badan dapat lebih diuntungkan sehingga penerimaan dari wajib pajak badan lebih meningkat. Maka sudah selayaknya bila perpajakan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Undang-undang yang memberatkan dunia usaha, berdampak membuat banyaknya usaha tidak dapat memperoleh laba secara maksimal dan konsekuensinya akan mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Hal ini sejalan dengan literatur di bidang akuntansi manajemen yang menjelaskan bahwa pajak dapat mempengaruhi capital budgeting melalui tax effect dalam penentuan aliran kas, pajak juga merupakan salah satu faktor utama dalam perencanaan sistem kompensasi manajemen (Blocher, Chen, dan Lin 1999).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Reformasi
perpajakan
diduga
membawa
implikasi
terhadap
kinerja
perusahaan, implikasi tersebut bisa bersifat positif maupun bersifat negatif (Mariwan dan Arifin, 2005). Jika reformasi perpajakan tersebut membawa dampak yang positif tentunya akan mampu meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, sementara jika reformasi perpajakan tersebut membawa dampak yang negatif sebaliknya akan menurunkan kinerja keuangan perusahaan. Di sisi yang lain, pemerintah mengharapkan bahwa dengan adanya reformasi perpajakan tersebut kinerja perpajakan akan semakin baik, sehingga dengan semakin membaiknya kinerja perpajakan akan membawa dampak yang positif terhadap penerimaan pemerintah dari sektor perpajakan (Mariwan dan Arifin, 2005). Dalam hubungan dengan uraian obyek dan tarif PPnBM yang sebagaimana telah diuraikan diatas maka yang menjadi titik pokok dalam penelitian mengenai PPnBM adalah rumah beserta tanahnya, apartemen, kondominium dan sejenisnya yang memiliki harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp. 5 Milyar. Alasannya karena properti melihat dari penyerahan barang kena pajak untuk jenis properti yang setiap tahun mengalami peningkatan maka hal ini tentunya akan memiliki kontribusi yang besar dalam pemungutan pajak penjualan barang mewah. Namun permasalahan yang dihadapi saat ini yang menunjukkan bahwa pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang dipungut saat ini belum sesuai target. Hal ini didasari karena masih kurangnya persepsi wajib pajak dengan tata cara dalam pemungutan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) ditinjau dari Perdirjen Pajak No. PER-24/PJ/2015 yang ditetapkan pada tanggal 12 Juni 2015.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
Penelitian ini akan meneliti pengaruh sosialisasi peraturan pajak dan persepsi WPOP atas pengenaan PPnBM pada sektor properti terhadap reformasi pajak tahun 2015 tentang PPN dan PPnBM. Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Putri dan Pratomo (Universitas Telkom, 2014), Lya Martha Sari (UNS, 2012) dan Erlita Dwi Kartika Sari (UNDIP, 2010). Penelitian Putri dan Pratomo (Universitas Telkom, 2014) dan peneliti sama-sama meniliti pengaruh sosialisasi pajak. Dalam penelitian Putri dan Pratomo (2014) melihat sosialisasi pajak mempunyai pengaruh pada kepatuhan wajib pajak, sedangkan dalam penelitian ini peneliti melihat bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas PPnBM pada sektor properti dengan sosialisasi pajak atas reformasi pajak 2015 tentang PPN dan PPnBM. Lya Martha Sari (UNS, 2010) dan peneliti sama-sama melihat perubahan tarif pajak, dalam penelitian Lya Marthasari (UNS, 2010) melihat perubahan tarif pajak yang proposional naik, sedangkan dalam penelitian ini melihat perubahan tarif pajak atas penurunan batas treshold properti. Alasan dipilihnya sektor properti adalah perusahaan properti sedang mengalami perlambatan yang disebabkan kebijakan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), peraturan penggunaan mata uang rupiah untuk semua transaksi serta dibukanya kesempatan orang asing untuk memiliki properti di Indonesia. Properti mempunyai daya untuk menggerakkan ekonomi suatu bangsa. Demikian halnya saat nilai tukar mata uang Rupiah yang terus merosot terhadap dollar AS, sektor properti menjadi yang paling memegang peran vital. Menurut Chairman Lippo Group, Mochtar Riady (kompas.com) sektor properti di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Indonesia mendorong pergerakan 150 industri. Ekonomi negara bergantung pada properti karena menyangkut begitu banyak industri. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Analisis dalam penulisan ini bersifat kualitatif untuk mengeksplorasi konsekuensi permasalahan yang muncul atas kondisi yang diterangkan dalam topik. Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka hal tersebut mendorong penulis untuk membuat karya tulis dengan mengkaji dan menguraikan lebih dalam mengenai penulisan dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengaruh Sosialisasi Peraturan Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) atas pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada sektor properti terhadap Reformasi Pajak tahun 2015 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)”. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan atau korelasi sosialisasi peraturan pajak dengan persepsi wajib pajak orang pribadi atas pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada sektor properti terhadap reformasi pajak tahun 2015 tentang PPN dan PPnBM? 2. Apakah terdapat pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi (WPOP) atas pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sektor properti terhadap reformasi pajak tahun 2015 tentang PPN dan PPnBM?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui hubungan atau korelasi sosialisasi peraturan pajak dengan persepsi wajib pajak orang pribadi atas pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada sektor properti terhadap reformasi pajak tahun 2015 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 2. Untuk mengetahui pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada sektor properti terhadap reformasi pajak tahun 2015 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada beberapa pihak, antara lain bagi: 1. Kontribusi akademik a. Dapat digunakan sebagai bahan referensi khususnya untuk pengkajian topik yang berkaitan dengan masalah yang di bahas dalam penelitian. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan teori, terutama yang berkaitan dengan reformasi pajak PPN dan PPnBM. 2. Kontribusi kebijakan a. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pentingnya menilai perumusan aturan teknis undang-undang yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
didasarkan pada kondisi dan pertimbangan objektif sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, keadilan dan fairness dalam memberikan kepastian hukum. b. Menjadi masukan bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam memahami dampak dikeluarkannya Perdirjen Pajak No. PER-24/PJ/2015 perubahan atas Perdirjen Pajak No. PER-19/PJ/2015 tentang tata cara pemungutan pajak penghasilan pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong mewah. c. Sebagai bahan pertimbangan Direktorat Jenderal Pajak dalam membuat kebijakan terkait reformasi PPN dan PPnBM. 3. Kontribusi praktis a. Bagi wajib pajak orang pribadi sektor properti (konsumen) memberikan stimulus sebagai pengontrol atas perilaku-perilaku developer. Selain itu, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kewajiban dan hak-hak yang harus diperoleh. b. Memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait yang memerlukan hasil penelitian ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/