1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Setiap siswa mempunyai kecepatan belajar yang berbeda-beda yang dapat diketahui dari kinerja siswa pada saat diberi tugas atau latihan setelah guru selesai menjelaskan pelajaran. Pada umumnya guru menemukan adanya kesenjangan antara pencapaian tujuan pembelajaran dengan kemampuan yang dicapai oleh siswa. Hal tersebut dipengaruhi oleh kegiatan belajar siswa yang merupakan kunci pokok dalam proses belajar dan pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagaimana Ahmadi (2004:125) menyatakan bahwa dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa. Untuk mengetahui berhasil tidaknya proses belajar yang dialami oleh siswa, terlebih jika dilihat dari hasil belajarnya maka salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah pemilihan strategi pembelajaran dan metode yang tepat, karena banyak model dan metode pengajaran yang digunakan oleh banyak guru. Sebagaimana Djamarah (2002:85) menyatakan bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru dalam setiap kali pertemuan kelas bukanlah asal pakai, tetapi setelah
melalui
seleksi
yang
berkesesuaian
pembelajaran. 1
dengan
perumusan
tujuan
2
Dari sekian banyak model pengajaran yang diketahui, diantaranya adalah pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional. Dari kedua model pengajaran tersebut tentunya ada perbedaan teknis dan strategi pengajarannya. Walaupun pada dasarnya semua strategi pembelajaran itu tergantung pada orang yang belajar itu sendiri, namun guru juga dapat mengarahkan dan memotivasi murid untuk belajar. Seperti yang dikatakan Ahmadi (2004: 127) bahwa, meskipun tidak seseorang pun mengajar seorang, namun seorang itu dapat belajar. Guru atau orang lain dapat mengarahkan belajar, dapat mendorong seseorang untuk belajar. Hal ini tentunya berkaitan dengan input yang akan diberikan seorang guru agar dapat terjadi proses belajar dalam diri siswa .Input yang diberikan guru akan sangat menentukan dalam pencapaian output yang dikehendaki. Sebagaimana dikatakan oleh Purwanto (1995:107) bahwa dalam keseluruhan sistem maka instrumental input inilah yang menentukan bagaimana proses output yang dikehendaki, karena instrumental input inilah yang menentukan bagaimana proses belajar itu akan terjadi di dalam diri si pelajar. Untuk dapat menghasilkan prestasi belajar yang baik, maka dalam proses belajar mengajar perlu dipilih dan dilakukan suatu pengajaran yang baik dan benar sebagaimana yang diharapkan, yaitu membuat siswa ikut serta dalam proses belajar. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
3
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingan dari pada hasil. Dilihat dari sisi konteks, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dalam kelas kontekstual tugas guru membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Tugas-tugas sekolah sering lemah dalam konteks (tidak otentik), sehingga tidak bermakna bagi kebanyakan siswa karena siswa tidak dapat menghubungkan tugas-tugas dengan yang telah mereka ketahui. Guru dapat membantu siswa untuk belajar memecahkan masalah dengan memberi tugas-tugas yang memiliki konteks kehidupan nyata dan kaya dengan kandungan akademik serta keterampilan yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata. Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, siswa harus mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi kemungkinan pemecahan, memilih suatu pemecahan, melaksanakan pemecahan atas masalah dan menganalisis serta melaporkan penemuan-penemuan mereka. Dengan begitu siswa akan belajar menerapkan keterampilan akademik seperti pengumpulan informasi , menghitung, menulis dan berbicara di dalam konteks kehidupan nyata.
4
Namun demikian pengajaran yang selama ini dilakukan oleh
guru
cenderung menggunakan metode konvensional juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Melainkan disesuaikan penggunaannya sehingga dapat tepat sarana dengan kebutuhan yang akan dicapai. Penggunaan metode konvensional sebenarnya mengandung keuntungankeuntungan tertentu yang dapat diambil, dengan kata lain tidak semuanya penuh dengan kelemahan. Salah satunya adalah praktis dan mudah dilaksanakan, sehingga metode ini selalu menjadi alternatif yang digunakan oleh guru dalam pengajaran. Berkenaan dengan keuntungan-keuntungan dari model pembelajaran di atas penulis tertarik melakukan penelitian untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual pada mata pelajaran IPS , dengan judul penelitian yaitu: “Perbedaan Hasil Belajar Siswa Yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual dan Konvensional dalam mata pelajaran IPS di Kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A 2012/2013”.
B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi bahwa
masalah-masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan adalah rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan ini pada akhirnya terlihat dalam rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa. Dari kenyataan tersebut akan muncul berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang rendahnya hasil belajar IPS siswa antara lain sebagai berikut :
5
1.
Apakah strategi pembelajaran dan penyampaian bahan ajar IPS kurang menarik perhatian siswa?.
2.
Apakah teknik pembelajaran IPS yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik siswa?.
3.
Bagaimana hubungan strategi pengorganisasian isi pembelajaran dan karakteristik siswa dengan hasil belajar IPS siswa?.
4.
Bagaimana pengaruh tingkat pendidikan atau sumber daya guru IPS terhadap perolehan hasil belajar IPS?.
5.
Apakah ada pengaruh signifikan antara strategi pembelajaran dengan hasil pembelajaran IPS siswa?.
6.
Apakah ada pengaruh perbedaan antara pendekatan pembelajaran dengan hasil belajar IPS siswa?.
C. Batasan Masalah Mengingat banyaknya permasalahan yang muncul dan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada: 1.
Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional dalam pelajaran IPS pokok bahasan kegiatan ekonomi di Kelas IV SD Negeri 125540 Pematansiantar T.A 2012/2013.
2.
Hasil belajar siswa yang mengunakan pembelajaran Kontekstual dengan pembelajaran Konvensional dalam pelajaran IPS di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A 2012/2013.
6
D. Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran Kontekstual dalam pelajaran IPS pokok bahasan kegiatan ekonomi di Kelas IV SD Negeri 125540 Pemtangsiantar T.A 2012/2013?. 2. Bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran Konvensional dalam pelajaran IPS pokok bahasan kegiatan ekonomi di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A. 2012/2013?. 3. Bagaimana perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran Kontekstual dan pembelajaran konvensional dalam pelajaran IPS pokok bahasan kegiatan ekonomi di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A 2012/2013?.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual dalam pelajaran IPS di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A 2012/2013. 2. Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional dalam pelajaran IPS di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A 2012/2013.
7
3. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional dalam pelajara IPS di kelas IV SD Negeri 125540 Pemtangsiantar T.A 2012/2013. 4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh strategi pembelajaran kontekstual dan konvensional terhadap hasil belajar IPS siswa
F.
Manfaat Penelitian
1. Bahan masukan bagi guru dalam usaha meningkatkan prestasi belajar IPS. 2. Sebagai bahan masukan bagi guru-guru khususnya guru bidang studi IPS dalam perbaikan pembelajaran IPS di sekolah. 3. Untuk memberikan informasi tentang perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional dalam pelajaran IPS.
8
BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teoretis 1. Hakekat Belajar Belajar merupakan aktifitas yang paling utama dalam keseluruhan proses pendidikan. Keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses belajar dapat berlangsung secara efektif. Disamping itu pemahaman guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi cara guru itu mengajar. Winkel (1996) menjelaskan bahwa belajar adalah suatu aktifitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Menurut Gagne (1970) belajar adalah suatu proses yang kompleks dan hasil belajar merupakan kemampuan yang disebabkan oleh stimulus yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh siswa. Setelah orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat diperlihatkan. Purwanto (2004: 85) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku, dimana perubahan tingkah laku itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk. 8
9
Slameto (2005: 97) belajar adalah perubahan prilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan non hasil perkembangan, pengaruh obat, atau kecelakan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain. Menurut Ausebel (1963) belajar dapat di klasifikasikan ke dalam dua dimensi, yaitu berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan, dan mengenai cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif adalah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan telah diingat oleh siswa. Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik bentuk final, maupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. Pada tingkat kedua siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan belajar dalam penelitian ini adalah suatu proses aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang relative tetap yang disebabkan oleh pengalamannya. Pembelajaran mencapai puncaknya pada hasil belajar atau unjuk kerja siswa, hasil belajar merupakan hasil proses belajar. Gagne dan Briggs (1979) menjelaskan bahwa hasil belajar dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu
10
1) Ketrampilan intelektual, 2) Strategi kognitif, 3) Informasi verbal, 4) Kemampuan motorik dan 5) sikap. Sedangkan Romizowski (1981) berpendapat bahwa hasil belajar diperoleh dalam bentuk pengetahuan dan ketrampilan. Pengetahuan dikelompokkan pada empat kategori yaitu: 1) fakta, 2) konsep, 3) prosedur, dan 4) prinsip. Fakta merupakan pengetahuan tentang objek nyata. Ia merupakan assosiasi dari kenyataan-kenyataan dan informasi verbal dari suatu objek, peristiwa atau manusia. Konsep merupakan pengetahuan tentang seperangkat objek konkrit atau defenisi. Prosedur merupakan pengetahuan tentang tindakan demi tindakan yang bersifat linier dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan prinsip adalah merupakan pernyataan mengenai hubungan dua konsep atau lebih, hubungan itu bersifat kausalitas, korelasi atau aksiomatis. Keterampilan di kelompokkan kedalam empat kategori yaitu 1) keterampilan kognitif, 2) acting, 3) reacting, dan 4) interaksi. Keterampilan kognitif berkaitan dengan keterampilan seseorang dengan menggunakan pikiran dalam
menghadapi
sesuatu,
seperti
dalam
mengambil
keputusan
atau
memecahkan masalah. Keterampilan berakting berkaitan dengan keterampilan pisik seperti berolah raga, teknik dan lain-lain. Keterampilan berakting adalah keterampilan bereaksi terhadap sesuatu situasi atau dalam artian nilai-nilai emosi dan perasaan. Keterampilan reacting sering disebut sikap. Keterampilan interaktif adalah keterampilan seseorang berhubungan dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan seperti komunikasi, persuasif dan pendidikan.
11
2. Belajar IPS a. Pengertian Pelajaran IPS IPS yang diajarkan di SD kelas tinggi terdiri dari dua bahan kajian pokok yaitu pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial mencakup ilmu sosial, ilmu bumi, ekonomi dan pemerintahan. Bahan kajian sejarah meliputi perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lampau hingga kini (Depdikbud, 1997) b. Fungsi pengajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) Pengajaran pengetahuan sosial di SD berfungsi mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk melihat kenyataan sosial yang dihadapi siswa dalam
kehidupan
sehari-hari.
menumbuhkan rasa kebangsaan
Sedangkan
sejarah
berfungsi
untuk
dan bangga terhadap perkembangan
masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini (Depdikbud, 1997). c. Ruang lingkup bahan pelajaran IPS Ruang lingkup pengajaran pengetahuan sosial di SD meliputi keluarga, masyarakat setempat, uang, pajak, tabungan, ekonomi setempat, wilayah propinsi, wilayah kepulauan, wilayah pemerintah daerah, negara republik Indonesia. Mengenal kawasan dunia lingkungan sekitar dan lingkungan sejarah. d. Konsep Dasar Pembelajaran IPS di SD Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, selain
12
mengembangkan pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa yang merupakan proses belajar-mengajar dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu (B. Suryosubroto, 1997:148). Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2). Terkait dengan tujuan mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru dituntut untuk memiliki pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian tujuan tersebut. 3. Hasil Belajar IPS Hasil belajar siswa merupakan perolehan prestasi yang dicapai secara maksimal. Belajar merupakan proses atau kegiatan yang dijalani secara sadar untuk mendapatkan perubahan, baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan ataupun sikap. Hasil belajar merupakan prestasi yang dicapai siswa berkat adanya usaha sadar untuk mendapatkan perubahan, baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap. Prestasi tersebut selanjutnya merupakan kesanggupan untuk membuat sesuatu dengan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang telah mereka miliki. Dengan demikian, semakin banyak perolehan prestasi yang dimilikinya, semakin tinggi pula tingkat kesanggupan untuk berbuat pada masa berikutnya. Hasil belajar IPS merupakan gambaran dari tingkat kesanggupan kognitif, yang oleh Romizowski (1981) diperoleh dalam bentuk pengetahuan dan
13
keterampilan. Dalam bentuk pengetahuan meliputi fakta, konsep, prosedur dan prinsip. Konsep, prosedur dan prinsip merupakan bidang kajian IPS. Konsep, prosedur dan prinsip IPS akan berarti atau bermakna bagi siswa dihubungkan dengan fakta yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan bentuk keterampilan yang menggambarkan tingkat kemampuan kognitif adalah keterampilan kognitif, yaitu keterampilan siswa menggunakan pikiran, guna menghadapi sesuatu seperti pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Dalam hal ini Gagne dan Briggs (1979) menyebutnya dengan istilah keterampilan intelektual dan strategi kognitif. Bloom dkk (1977) menggambarkan sebuah taksonomi ranah kognitif dalam dua kelompok utama yaitu hapalan sederhana mengenai informasi dan kegiatan intelektual. Jenjang yang paling rendah sebagai pengetahuan, sementara kemampuan berpikir yang lebih tinggi diklasifikasikan ke dalam lima jenjang berpikir. Sasaran oleh pakar sosial untuk mencapai target hasil belajar adalah pencapaian taksonomi ranah kognitif.
4. Kelemahan Belajar IPS Kelemahan kadar pembelajaran IPS selama ini terletak pada, antara lain : a. Teacher centered, cenderung naratif/ekspositori, dan kurang mengoptimalkan sumber pembelajaran (baik by design maupun by utilization). b. Pemanfaatan media massa sebagai sumber pembelajaran, diyakini dapat meningkatkan kadar pembelajaran IPS. c. Media massa adalah sesuatu yang sangat berpengaruh di dalam pembelajaran IPS.
14
Kemudian, berdasarkan kajian empirik, ternyata : para siswa-di tingkat persekolahan yang memanfaatkan media massa sebagai sumber pembelajarannya cenderung lebih baik hasil belajar IPS-nya daripada yang tidak memanfaatkannya. 5. Alternatif Pembelajaran IPS Metode- metode yang biasanya digunakan dalam pembelajaran IPS adalah: 1. Contextual Teaching and Learning (CTL) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang
15
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudahdilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Wina Sanjaya, (2005:110), sebagai berikut: 1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. 2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya. 3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. 4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa. 5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
16
2. Cooperative Learning Cooperative learning adalah strategi pembelajaran yang cukup berhasil pada kelompok-kelompok kecil, di mana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa dari berbagai tingkat kemampuan, melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua Siswa berusaha sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan melengkapinya.
Semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan sehingga semua anggota kelompok dapat:
1. Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya. (Kesuksesan Anda bermanfaat bagi saya dan keberhasilan saya bermanfaat untuk Anda.) 2. Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang sama. (Tenggelam atau mengapung kita bersama). 3. Tahu bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain dalam satu kelompok. (Kami tidak dapat melakukannya tanpa Anda.) 4. Merasa bangga dan merayakan bersama ketika salah satu anggota kelompok mendapatkan keberhasilan (Kami semua merasa sukses atas kesuksesan anda.
17
Keunggulan Cooperative Learning Penelitian
telah
menunjukkan
bahwa
model
cooperative
learning:
• meningkatkan aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya. • meningkatkan daya ingatan siswa • meningkatkan kepuasan siswa dengan pengalaman belajar • membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara lisan • mengembangkan keterampilan social siswa • meningkatkan rasa percaya diri siswa • membantu meningkatkan hubungan positif antar siswa. 3. Metode Simulasi Metode simulasi adalah bentuk metode praktek yang sifatnya untuk mengembangkan ketermpilan peserta belajar (keterampilan mental maupun fisik/teknis). Metode ini memindahkan suatu situasi yang nyata ke dalam kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan untuk melakukan praktek di dalam situasi yang sesungguhnya. Misalnya: sebelum melakukan praktek penerbangan, seorang siswa sekolah penerbangan melakukan simulasi penerbangan terlebih dahulu (belum benar-benar terbang). Situasi yang dihadapi dalam simulasi ini harus dibuat seperti benar-benar merupakan keadaan yang sebenarnya (replikasi kenyataan).Contoh lainnya, dalam sebuah pelatihan fasilitasi, seorang peserta melakukan simulasi suatu metode belajar seakan-akan tengah melakukannya bersama kelompok dampingannya. Pendamping lainnya berperan sebagai kelompok dampingan yang benar-benar
18
akan ditemui dalam keseharian peserta (ibu tani, bapak tani, pengurus kelompok, dsb.). Dalam contoh yang kedua, metode ini memang mirip dengan bermain peran. Tetapi dalam simulasi, peserta lebih banyak berperan sebagai dirinya sendiri saat melakukan suatu kegiatan/tugas yang benar-benar akan dilakukannya. 4. Metode Karyawisata Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan. Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut : a. Karyawisata menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak. Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut : a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak. b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang. c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan utama, sedangkan unsur studinya terabaikan. d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan. e. Biayanya cukup mahal. f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh.
19
6.
Pembelajaran Kontekstual dan Konvensional Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk
karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku. Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain: a.
b.
Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh. Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.
20
c.
d.
e.
Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa. Belajar pada hakikatnya adalah menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning)
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Depdiknas Dirjen Dikti (2003: 1) yang menyatakan bahwa: Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belaar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kesiswa. Sejalan dengan teori Nurhadi (2004:103) Pembelajaran Kontekstual adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong sisiwa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar”.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pembelajaran kontekstual bertolak dari masalah-masalah nyata sesuai dengan pengalaman siswa, siswa aktif dan guru berperan sebagai fasilitator, siswa bebas mengeluarkan idenya, siswa bebas
mengkomunikasikan
ide-idenya
dan
membimbing
mereka
untuk
21
mengambil keputusan dari hasil negoisasi ide mana yang benar, efisien dan mudah dipahami mereka. Agar pengajaran bermakna bagi siswa, pembelajaran seyogianya dimulai dari masalah dunia nyata (kontekstual), kemudian siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri sesuai dengan skema yang dimiliki dalam pikiran artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Setelah siswa menemukan ide atau konsep dari masalah siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual sebagai aplikasi. Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks yang lain. Pada hakekatnya pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran efektif yaitu: a. Konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan pengetahuan yang dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide.
22
Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”memperoleh” bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belaar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru. Pengetahuan tumbung dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diui dengan pengalaman baru. b. Menemukan (Inquiry) Inquri (menemukan) merupakan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang menuntut pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan. c. Bertanya Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari ”bertanya”. Bertanya merupakan strategi utama pembelaaran kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran
dipandang
sebagai
kegiatan
guru
untuk
mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry yaitu mengali informasi, menginformasikan apa yang yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
23
d.
Masyarakat belajar Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dari orang lain. Dalam pendekatan kontekstual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar, siswa dibagi dalam kelompok-kelompok heterogen. Yang pandai mengajar yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu. Seseorang yang terlibat dalam kelompok masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
f. Permodelan. Permodelan disini maksudnya dalam sebuah pemeblaajran keterampilan atau pengetahuan, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau cara mengerjakan sesuatu. e. Refleksi Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang telah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktifitas atau pengetahuan yang baru diterima misalnya setelah belajar menyelesaikan tentang pembelajaran dengan benar. Siswa baru menyadari bahwa selama ini salah dalam menentukan sikap belajar.
24
f. Penilaian yang sebenarnya Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa, kemajuan belajar dinilai dari proses bukan hanya hasil. Berdasarkan kompenen pendekatan kontekstual di atas dapat dirancang pola urutan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual sebagai berikut:
KEGIATAN PENDAHULUAN a. Bina Suasana b. Apersepsi
a. b. c. d. e. f. g.
KEGIATAN INTI Menjelaskan konsep melalui contoh-contoh benda yang ada di sekitar peserta didik (mengkonstruk) Mencari hu bungan-hubungan antara unsur-unsur (menemukan) Memberi kesempatan bertanya kepada peserta didik (bertanya) Membentuk kelompok-kelompok diskusi (masyarakat belajar) Menggunakan benda-benda di sekitar sebagai model Menyimpulkan hasil pembelajaran (refleksi) Melakukan penilaian autentik
KEGIATAN PENUTUP a. Memberi tugas mandiri (PR) b. Memberi nasihat dan motivasi Gambar 2.1. Sintaks Pola Urutan Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual
25
Menurut Rosyidah (2005:2) beberapa tekhnik penilaian pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut: 1. Portofolio: merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portofolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif 2. tugas kelompok: berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tuuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. 3. demonstrasi: siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukan siswa. 4. laporan tertulis: dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat. Ada lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Wina Sanjaya (2005:110), sebagai berikut: 1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. 2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya. 3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. 4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
26
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
b. Pembelajaran Konvensional Dalam penyajian materi pelajaran biasanya seseorang guru selalu berusaha membuat anak didik dapat mamahami dan mengerti setiap materi yang diberikan. Akan tetapi keaktifan
guru dalam memberikan pengajaran dan inovasi guru
terhadap pemilihan metode yang digunakan juga akan dapat menunjukkan tingkat proses belajar mengajar dan keberhasilan hasil belajar yang dicapai. Proses belajar mengajar yang selama ini berlangsung di setiap kelas guru lebih dominan menggunakan metode yang biasa, dimana dominasi guru sebagai pemberi pelajaran lebih banyak sehingga menciptakan situasi dan kondisi komunikasi yang searah. Metode inilah yang lebih dikenal dengan metode konvensional. Menurut Djamarah (2002:110) bahwa: ” Metode konvensional adalah penyajian pelajaran yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa”. Pada metode konvensional ini siswa belajar dengan lebih banyak mendengarkan penjelasan guru di depan kelas dan melaksanakan tugas jika guru memberikan latihan soal-soal kepada siswa. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa dominasi guru dalam proses belajar mengaar sangat besar dan secara otomatis peran guru akan mempengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh siswa. Dan untuk pengajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional ini Suryosubroto (2002:169) memberikan gambaran sebagai berikut:
27
a. Terlebih dahulu harus diketahui dengan elas dan dirumuskan sekhususkhususnya mengenai tujuan pembicaraan atau hal yang hendak dipelajari oleh murid-murid. b. Bahan rumusan kemudian disusun sedemikian hingga: 1. dapat mengerti dengan jelas, artinya setiap pengertian dapat menghubungkan antara guru dengan murid-murid pendengarnya. 2. menarik perhatian murid-murid 3. memperhatikan para murid-murid bahwa dalam pelajaran yang mereka peroleh berguna bagi penghidupan mereka. c. Menanam pengertian yang jelas dimulai dengan suatu suatu iktisar tentang pokok-pokok yang akan diuraikan. Kemudian menyusun bagian utama penguraian dan penjelasan pokok-pokok tersebut. Pada kahirnya disimpulkan kembali pokok-pokok penting yang telah dibicarakan itu.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa kegiatan belajar mengajar lebih banyak ditentukan guru sehingga apabila guru salah mengajarkan atau kurang pandai mengajarkan maka sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Dan hal ini dapat dilihat dari kenyataan di lapangan yang selama ini berlangsung. Dari uraian di atas dapat dirancang pola urutan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konvensional sebagai berikut: Langkah I
II
III
IV V
Indikator Kegiatan Menyampaikan tujuan Guru menyampaikan materi dan tujuan dan memotivasi siswa pembelajaran serta mengkomunikasikan kompetensi dasar (KD) yang akan dicapai serta memotivasi siswa Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi dan siswa mengikuti serta mencatat bila perlu penjelasan guru Penjelasan /Uraian materi Guru memberikan penjelasan/uraian materi, siswa mengerjakan soal/latihan yang diberikan Membimbing siswa `Guru membantu siswa jika ada soal-soal mengerjakan soal yang sulit. Mengoreksi hasil pekerjaan siswa Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan Gambar 2.2. Sintaks Pembelajaran Konvensional
28
7.
Perbedaan
Pembelajaran
Kontekstual
dengan
pembelajaran
konvensional Dalam kedua jenis pembelajaran ini, perhatian dipusatkan pada untuk menunjukkan pembelajaran kontekstual dengan pembelaaran konvensional yang ada di antara variabel-variabel pembelajaran tersebut. Pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional mempunyai tujuan yang sama yaitu agar pengetahuan yang disampaikan kepada siswa dapat dipahami oleh siswa. Tetapi kedua pembelajaran itu berbeda di dalam penerapannnya karena pada pembelajaran kontekstual yang lebih berperan aktif adalah siswa sedangkan pembelajaran konvensional yang berperan aktif adalah guru. Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain: 1. CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif. 2. Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran. 3. Dalam CTL pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak. 4. Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan. 5. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka. 6. Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu
29
disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru. 7. Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain. 8. Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. 9. Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas. 10. Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes. Secara terperinci perbedaan pembelajaran kontekstual dengan pembelaaran konvensinal dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.3 Perbedaan pembelajaran konvensional dan kontekstual Konvensional Kontekstual Menyandarkan pada hapalan
Menyandarkan pada memori spasial
Siswa adalah penerima informasi Siswa
secara
aktif
terlibat
proses
secara pasif
pembelajaran
Siswa belajar secara individual
Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi
Pembelajaran sangat
abstrak dan Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan
teoritis
nyata dan atau masalah yang disimulasikan
Hasil belajar diukur hanya dengan tes
Hasil belajar diukur dengan berbagai cara
30
8. Kebaikan Pembelajaran Kontekstual dan Konvensional 1. Keunggulan model pembelajaran CTL a. Menjadikan adanya kerja sama antar peserta didik. b. Menjadikan peserta didik saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang ada. c. Menjadikan suasana kelas lebih menyenangkan dan tidak membosankan. d. Menjadikan peserta didik menjadi lebih aktif di dalam kelas. e. Menjadikan siswa lebih kritis dalam menyelesaikan masalah yang ada. 2. Kelemahan model pembelajarn CTL. a. Jika model pemebelajaran CTL tidak dipadukan dengan model pembelajaran lain maka akan sulit membentuk masyarakat belajar yang baik. b. Masih sulitnya peserta didik mengkonstruksi persoalan yang diberikan oleh guru yang berhubungan dengan materi yang akan diberikan. c. Jika guru kurang kreatif maka model pemebelajarann CTL ini akan sulit dilakukan oleh guru sehingga rasa ingin tahu peserta didik kurang. d. Masih kurangnya peserta didik untuk melakukan berbagi pengalaman dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. e. Masih sulitnya membuat suasana kelas menjadi menyenangkan karena pembelajaran masih dibatasi oleh dinding dan lorong. f. Masih kurangnya hasil karya peserta didik yang dihasilkan.
31
3. Keuntungan Pembelajaran Konvensional Walaupun metode ini kelihatannya sangat kurang menguntungkan bagi siswa tetapi bila ditinjau lebih jauh ternyata metode ini juga masih memiliki keuntungan yang di antaranya adalah: 1. Bahan pelajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih sistematis dengan penjelasan yang monoton 2. guru dapat memberikan tekanan pada hal-hal tertentu 3. dapat menutupi kekurangan karena ketidak tersediaan buku pelajaran atau alat bantu sehingga tidak menghambat dilaksanakannya pelajaran dan penjelasan. Metode konvensional sebagai salah satu metode mengajar yang sering dipergunakan oleh guru dalam penyampaian materi pelajaran kepada siswa juga mempunyai keuntungan dan kelemahan. Berikut sotopo (2005:153) berpendapat: ”Keuntungan metode konvensinal: a. dalam waktu singkat dapat menjangkau jumlah siswa yang banyak (efisien). b. Guru dapat menguasai kelas. c. Pengorganisasian kelas sederhana d. Konsep yang yang disampaikan kepada siswa sama. e. Mengurangi ” ambigious” (banyak arti; padahal istilahnya sama)”. Surakhmad (1979:78) menyatakan: ” keuntungan metode konvensinal adalah guru dapat menguasai seluruh arah kelas dan organisasi kelas adalah sederhana”.
32
4. Kelemahan Pembelajaran Konvensional Selain keuntungan yang telah diraikan di atas metode konvensinal juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Menurut Hudoyo (1988:127) ada beberapa kelemahan dari pengajaran konvensinal yaitu: 1. Penerimaan dan ingatan kepada konsep atau informasi bukan maksud utama daripada belajar 2. siswa-siswa menjadi pasif karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menemukan sendiri. 3. kepadatan konsep-konsep yang diberikan boleh jadi para siswa tidak mampu menguasai bahan-bahan tersebut. 4. pelajaran membosankan bagi siswa.
B. Kerangka Pemikiran Dalam kedudukannya sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang sudah relatif lama berkembang di lingkungan akademis, secara teoritis idealnya IPS memiliki potensi strategis dalam membahas dan mempelajari masalah-masalah sosial politik yang berkembang di masyarakat. Karenanya pengajaran IPS perlu semakin tanggap dan sensitif terhadap perkembangan di masyarakat dan selalu siap dengan pemikiran kritis dan alternatif untuk menjawab tantangan yang ada. Melihat masa depan masyarakat kita, IPS semakin dituntut untuk tanggap terhadap isu globalisasi yang di dalamnya mencakup demokrasi, kerukunan hidup bermasyarakat dan masyarakat yang demokratis. Dengan penerapan strategi CTL diharapkan siswa benar-benar terlibat dalam kegiatan belajar. Mengajar dengan menggunakan strategi CTL memberikan kesempatan yang lebih besar kepada siswa untuk terlibat secara aktif, yaitu
33
memberikan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk memperoleh kesadaran dan mengembangkan konsep dirinya dengan lebih baik dan juga mengembangkan kemampuan individu. Pada strategi CTL siswa memecahkan masalah tidak hanya mengandalkan faktor internal tetapi juga didukung oleh faktor eksternal seperti bimbingan dari pengajar (guru). Ini berarti siswa diarahkan belajar untuk menggunakan kemampuan internalnya dari pengajar untuk dapat menemukan jawaban atau memecahkan masalah. Tetapi strategi ini juga disediakan dengan pengajaran konvensional. Guru tidak lagi semata-mata bagi siswa, akan tetapi perlu keberanian dan kemauan untuk mengubah persepsi dirinya menjadi fasilitator yang siap membantu siswa agar mereka dapat belajar. Pembelajaran dengan metode konvensional merupakan pengajaran yang sebagian besar dilakukan melalui penyajian informasi, bukan pemrosesan informasi yang mengacu kepada pembentukan kepribadian siswa. Pada pembelajaran ini guru hanya menjelaskan (ceramah) dan memberikan contoh dan cara penyelesaiannya. Dalam hal ini siswa tidak dilatih mengembangkan pola dan kaidah-kaidah untuk menentukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya. Siswa hanya diajarkan dengan memberi penjelasan tentang materi, contoh
soal
sebagai
latihan bagi
siswa dan siswa
mencoba
menyelesaikannya sesuai penjelasan tentang materi, contoh soal sebagai latihan bagi siswa dan siswa mencoba menyelesaikannya sesuai penjelasan yang telah dijelaskan oleh guru. Dengan pemikiran siswa tidak terlatih menggunakan proses mentalnya, tetapi siswa hanya dilatih menyelesaikan soal dengan pola-pola atau kaidah yang telah dijelaskan guru.
34
Berdasarkan uraian di atas sesuai dengan salah satu prinsip psikologi, tentang semakin aktif siswa dalam kegiatan maka makin besar baginya mengalami proses belajar. Strategi CTL ini bertolak dari asumsi bahwa dalam memperoleh ilmu maka seorang yang belajar harus melakukan kegiatan berpikir. Semakin besar kegiatan berpikir tersebut semakin efektif pengajaran mencapai tujuan. Pada strategi mengajar ini, pengajaran benar-benar menjadi pusat pada siswa. Sementara pada metode konvensional siswa sangat tergantung kepada pengajar (guru). Guru merupakan segala-galanya dalam kelas, siswa kurang terlibat terhadap informasi secara mental, mengasimilasi serta mengakomodasi segala sesuatu yang dia jumpai di lingkungannya. Di sini akan terjadi pengajaran yang berupa hafalan atau ingatan yang segera musnah menjadi terlupakan dan tidak bermakna. Karena pengajaran merupakan berpusat pada guru. Jadi jelas keterlibatan mental dan emosional siswa berbeda antara penerapan kedua metode tersebut. Dengan mempertimbangkan hal di atas dapat diduga bahwa hasil belajar IPS
siswa yang diajarkan menggunakan strategi
pembelajaran CTL lebih baik daripada siswa yang diajarkan menggunakan strategi pembelajaran konvensional.
35
C. Hipotesis Berdasarkan kerangka teoritis dan kerangka pemikiran, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional dalam pelajaran IPS pokok bahasan kegiatan ekonomi di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar T.A 2012/2013.
36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 125540 Pematangsiantar, yang akan dilaksanakan di kelas IV (Empat) Tahun Pelajaran 2012/2013 terhitung mulai bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013. Pelaksanaan perlakuan (treatment) dalam bentuk kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan kalender pendidikan, sedangkan perlakuan diberikan sesuai dengan keadaan di lapangan dengan 6 (enam) kali pertemuan. B. Populasi dan Sampel Penelitian Sudjana (1992: 6) memberi pengertian populasi dan sampel sebagai berikut: ” Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil perhitungan atau pengukuran secara kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas, yang ingin dipelajari dari sifatsifatnya.....adapun sebahagian yang diambil dari populasi disebut sampel”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV (Empat) SD Negeri 125540 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2012/2013. Adapun jumlah populasi 120 orang yang tediri dari 3 kelas. Tekni pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling, selanjutnya melalui pengundian maka kelas IV 1 sebagai kelompok eksperimen yang diberi perlakuan dengan strategi
37
kontekstual (kelas eksperimen) dan kelas IV 2 sebagai kelas yang diberi perlakuan dengan strategi pembelajaran konvensional (kelas kontrol)
C. Metode dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, kedua kelompok siswa yang subyek penelitian diberi pengajaran dengan pembelajaran yang berbeda oleh peneliti. Arief Furchan (1983:50) menyatakan: ” Penelitian eksperimental adalah suatu
penyelidikan
ilmiah
yang
menurut
peneliti
memanipulasi
dan
mengendalikan suatu atau lebih variabel bebas serta mengamati variabel terikat untuk melihat perbedaan yang sesuai dengan manipulasi variabel-variabel bebas tersebut”. Agar kegiatan pembelajaran efektif maka sebelum pembelajaran
dilakukan,
terlebih
Pembelajaran (RPP).Pembelajaran
dahulu
disusun
Rencana
kegiatan
Pelaksanaan
kontekstual dilakukan sebanyak 6 kali
pertemuan dengan waktu masing-masing 2 x 35 menit dan pembelajaran konvensional sebanyak 6 kali pertemuan dengan masing-masing waktu 2 x 35 menit. Jenis eksperimen yang digunakan adalah pretes – postes two group design Tabel 3.1 Rancangan eksperimen Kelompok
Pretes
Perlakuan
Postes
Eksperimen
T1
X
T2
Kontrol
T1
Y
T2
Keterangan: T1
:
Pretes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
T2
:
Postes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
X
:
Perlakuan, yaitu penerapan pendekatan kontekstual pada pokok
38
bahasan IPS Y
:
Perlakuan, yaitu penerapan pembelajaran konvensional
pada
pokok bahasan IPS T1
D.
:
T2 (butir soal T1 sama dengan T2)
Operasional Variabel Penelitian Variabel penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil belajar siswa. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa untuk masing-masing pembelajaran.
E. Instrumen Penelitian 1. Hasil Belajar Wayan Nurkancana (1986: 25) menyatakan ”tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan”. Tes digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan penalaran IPS peserta didik pada materi pokok kegiatan ekonomi dari peserta didik yang menjadi sampel penelitian ini.
39
Instrumen yang digunakan peneliti untuk memperoleh data adalah tes. Tes yang digunakan adalah tes tulisan berbentuk objektif tes berupa pilihan berganda sebanyak 30 butir soal (lihat kisi-kisi tes di tabel 3.2) . Masing-masing soal mempunyai empat alternatif jawaban. Untuk soal yang dihawab dengan benar diberi skor 1 dan untuk jawaban yang salah diberi skor 0 sehingga skor maksimum adalah 30. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan soal 60 menit. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian untuk menyusun test: 1.
Soal (test) disusun berdasarkan kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006
2.
Penyusunan test dilakukan berdasarkan kisi-kisi test sehingga mencakup seluruh pokok bahasan yang baku seperti soal-soal ujian dalam kompetensi
3.
Penyusunan soal dilakukan dengan mengkonsultasikan dengan guru-guru yang berpengalaman.
4.
Soal disesuaikan dengan bentuk yang baku seperti soal-soal dalam uji kompetensi.
Adapun kisi-kisi tes hasil belajar dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3.2. Kisi-Kisi Tes Hasil Belajar IPS Aspek dan Nomor Butir
Materi Pokok dan Sub No
JLH Materi Pokok
1.
C1
Kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumber
1, 2,3
daya alam 2.
Koperasi dan
10, 11
C2
C3
4,
6, 25,
5,7,8
28,
12,13
29
26,
16,22
C4
C5
C6
-
-
-
13
-
-
-
8
40
kesejahteraan rakyat 3.
27,9
Teknologi produksi,
, 23
14,15 17,18,
komunikasi dan
19,
21,24
-
-
-
9
20 transportasi
30
Keterangan : C1 = Ranah Kognitif Pengetahuan. C2 = Ranah Kognitif Pemahaman. C3 = Ranah Kognitif Penerapan. Sebelum dilakukan penelitian untuk pengumpulan data terlebih dahulu instrumen penelitian diujicobakan untuk melihat layak tidaknya tes tersebut sebagai alat pengumpulan data. Uji coba ini dilakukan di SD Negeri 125540 Pematangsiantar. Pelaksanaan uji coba ini dikonsultasikan dengan guru IPS yang mengajar IPS di sekolah tersebut. Kelayakan tes tersebut dilihat dari:
a. Validitas Item Menurut Wayan Nurkancana (1986: 127) menyatakan ”suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat”. Validitas item (butir soal) dihitung untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara jawaban suatu butir soal dengan skor total yang telah ditetapkan. Secara umum, suatu butir soal dikatakan valid apabila memiliki dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada suatu item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain, sebuah item tes memiliki validitas tinggi jika skor pada item itu mempunyai kesejajaran dengan skor total (Arikunto, 1999). Kesejajaran ini dapat diartikan
41
sebagai korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas item ini digunakan rumus korelasi product moment (Arikunto, 1999) sebagai berikut.
N xyx y rxy =
2 N x
2
2 xN y
2
y
dengan x : skor butir soal y
: skor total
rxy : koefisien korelasi antara skor butir dengan skor total N : banyaknya siswa yang mengikuti tes. Nilai rxy diinterpretasikan sebagai berikut. 0,80
rxy
1,00
: validitas butir tes sangat tinggi
0,60
rxy
0,80
: validitas butir tes tinggi
0,40
rxy
0,60
: validitas butir tes cukup
0,20
rxy
0,40
: validitas butir tes rendah
rxy 0,00 0,20 : validitas butir tes sangat rendah. Dalam penelitian ini, butir tes dikatakan valid jika mempunyai validitas minimal cukup, sedangkan untuk butir-butir tes yang memiliki validitas rendah dan sangat rendah akan direvisi. b.
Reliabilitas Menurut Wayan Nurkancana (1986:131) “ suatu tes dapat dikatakan tes
yang reliable apabila tes tersebut menunjukkan hasil-hasil yang mantap”. Reliabilitas instrumen tes dihitung untuk mengetahui konsistensi hasil tes. Untuk menghitung reliabilitas perangkat tes ini digunakan rumus yang sesuai dengan bentuk tes uraian (essay), yaitu rumus alpha (Arikunto, 1999) sebagai berikut:
r11 =
n 1 n1
2 b 2 1
42
dengan
r11
: koefisien reliabilitas perangkat tes
n
: banyaknya item tes 2
: jumlah varians skor setiap butir tes
b 2
: varians total
1
Interpretasi koefisien validitas butir soal dan reliabilitas perangkat tes ini menggunakan klasifikasi seperti dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.3 Interprestasi Koefisien Validitas Butir Soal dan Reliabilitas Besarnya koefisien r
Kategori
0,800
r
1,000
Sangat Tinggi
0,600
r
0,800
Tinggi
0,400
r
0,600
Cukup
0,200
r
0,400
Rendah
0,000
r
0,200
Sangat Rendah
Sumber: Arikunto (1999). Dalam penelitian ini, butir tes dikatakan reliabel jika mempunyai reliabilitas minimal cukup. c. Tingkat Kesukaran Tes Menurut Wayan Nurkancana “ suatu tes tidak boleh terlalu mudah dan juga tidak boleh terlalu sukar. Sebuah item yang terlalu mudah sehingga dapat dijawab dengan benar oleh semua anak bukanlah merupakan item yang baik dan sebaliknya. Jadi item yang baik adalah item yang mempunyai derajat kesukaran tertentu”. Sebagaimana diketahui bahwa jawaban-jawaban siswa terhadap butir-butir soal tes bentuk essay secara teoritis tidak ada yang salah mutlak. Derajat kebenaran jawaban-jawaban tersebut akan berperingkat-peringkat sesuai dengan
43
mutu masing-masing skor itu akan berentang dari skor terendah sampai skor tertinggi. Rumus tingkat kesukaran yang digunakan adalah ( Arikunto, 1993 : 208) P
B Js
Keterangan P
= Tingkat kesukaran
B
= Banyaknya siswa yang menjawab benar
Js
= Jumlah seluruh siswa peserta tes.
Dengan kriteria: TK = 0,00
soal terlalu sukar
0,00 < TK≤ 0,30
soal sukar
0,30 < TK≤ 0,70
soal sedang
0,70 < TK < 1
soal mudah
TK = 1,00
soal terlalu mudah
d. Daya Pembeda Tes menurut Wayan Nurkancana “Daya pembeda tes adalah kemampuan suatu tes untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah)”. Untuk mengetahui daya pembeda butir soal tes uraian digunakan uji t. Yang diuji adalah signifikansi perbandingan
44
skor rata-rata kelompok atas dengan skor rata-rata kelompok bawah. Rumus yang digunakan yaitu (Arikunto, 2002:213)
B B DA B P A P B J A J B Keterangan: J
= Jumlah peserta tes
JA
= Banyaknya peserta kelompok atas
JB
= Banyaknya peserta kelompok bawah
BA benar
= Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan
BB benar
= Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan
PA
= Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB
= Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Dengan kriteria untuk daya pembeda: 0,00-0,20
= item jelek
0,20-0,40
= item cukup
0,40-0,70
= item baik
0,70-1,00
= item baik sekali
E . Teknik Analisa Data Data diperoleh dari skor hasil belajar siswa yang menggunakan metode Kontekstual dengan yang menggunakan metode konvensional dalam pelajaran IPS di kelas IV SD Negeri 125540 Pematangsiantar.
mata
45
Langkah-langkah yang digunakan dalam menganalisa data. 1. Menentukan Rataan dari Masing-masing Sampel Data yang telah diperoleh ditabulasikan dalam tabel sebaran frekuensi, lalu dihitung ratannya dengan rumus (Simbolon, 2003:20) k
x i1
fiXi N
x
= mean (rata-rata)
fi
= frekuensi kelas-i
Xi
= Nilai tengah kelas –i
N
= Jumlah siswa
2.
Menghitung Standard Deviasi dari Masing-masing Sampel Standard Deviasi ditentukan dengan menggunakan rumus: k
2
k
N fiX I S
i1
fiX i i1
N (N1 )
Dengan rumus yang digunakan menghitung varians adalah; k
N fiX 2
S
2
k 2 i
i1
fiX i i1
N (N1 )
S 2 = varians N = banyak data
X i = nilai tengah kelompok
(Simbolon, 2004: 28)
46
f i = frekuensi kelompok
S = standar deviasi 3.
Menguji Normalitas Sampel Dalam uji selisih rataan diketahui apakah ada sampel berasal dari populasi
yang menyebar normal atau tidak. Dalam penelitian ini untuk mengetahui normalitas dari sampel digunakan uji Liliefors (Sudjana, 1992: 466). Prosedur pengujian nya sebagai berikut: 1. Menyusun skor siswa mulai yang terendah sampai yang tertinggi. 2. Pengamatan
X1,X2,....., Xndijadikan angka baku Z1, Z2 , Z3 dengan
rumus: Z1
X1 X S
Dimana: X = rata-rata sampel S = Simpangan baku sampel 3.
(Z Z i) P i)dengan menggunakan tabel Menghitung peluang F ( Z
distribusi normalitas baku. 4. Selanjutnya menghitung proporsi S ( Z i ) dengan rumus: S ( Z i)
Banyaknya z , z , z 1 2 3 N
5. Menghitung selisih F(Zi) S(Zi)kemudian ditentukan n harga mutlaknya yang terbesar yang dinyatakan dengan Lo .
47
6. Untuk kenormalan data, maka dibandingkan antara Lo dan nilai L kritis pada uji Liliefors dengan taraf nyata ( ) 0,05. Dengan kriteria penilaian: a. Jika Lo < L maka data berdistribusi normal. b. Jika Lo > L maka data tidak berdistribusi normal. 4. Menguji Homogenitas Varians Sampel Untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi yang bervarians sama (homogen) atau tidak digunakan uji homogenitas (uji kesamaan dua varians), dengan hipotesis: 2 - Ho : sx
sy2 (varians populasi kelompok pembelajaran dengan menggunakan
Kontekstual dengan pembelajaran yang menggunakan Konvensional tidak terdapat perbedaan yang signifikan atau sama). 2 - Ho : sx
sy2 (varians populasi kelompok pembelajaran yang menggunakan
kontekstual dengan pembelajaran yang menggunakan konvensional terdapat perbedaan yang signifikan atau berbeda). Dilakukan uji dua pihak taraf signifikansinya 5%. Hipotesis di atas diuji dengan statistik: F
var ians terbesar (Simbolon,2004: 111) var ians terkecil
Kriteria pengujian hipotesis:
diterima jika F F F o 1 1 1 , V , V , V , V - H 2 2 21 21 diterima jika F F atau F F a 1 1 1 , V , V , V , V - H 1 2 1 2 2 2
48
5. Uji Selisih Dua Rataan Untuk menguji hipotesis penelitian ini digunakan uji selisih dua rataan yaitu: x1 x2
thit S
1 N 1
1 N 2
2 2 ( N ) S N ) S 1 1 1 ( 2 1 2 S = varians gabungan = N 1 N 2 2 2
(Simbolon, 2004: 106)
t t atau t t hit 1 hit 1 1 ; N N 2 1 ; N N 2 . 212
212
Adapun hipotesis ini adalah; Ho :
1
2
( rataan kedua sampel tidak terdapat perbedaan yang signifikan)
Ha :
1
2
( rataan kedua sampel terdapat perbedaan yang signifikan)
Kriteria pengujian hipotesis: H ditolak jika t t dalam hal lainnya H o hit tab o diterima.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data 1. Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual Hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual diperoleh skor tertinggi 25 dan terendah 9, dengan skor rata-rata 18,85. Jumlah siswa yang memperoleh kategori penilaian “sangat tinggi” adalah 16 orang siswa dari 40 orang siswa yang mengikuti tes; untuk kategori penilaian “tinggi” adalah 15 orang siswa; kategori penilaian “cukup” adalah 7 orang siswa; kategori penilaian “rendah” adalah 2 orang siswa dan tidak ada siswa yang memperoleh kategori penilaian “sangat rendah”. Dengan menggunakan teknik Sturges diperoleh rentang 16, banyak kelas interval 6, dan panjang kelas 3. Daftar distribusi frekuensi mengenai hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual dapat dilihat pada table berikut ini:
50
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual No.
Kelas Interval
Fi
Xi
xi^2
Fixi
fixi^2
1
9 – 11
3
10
100
30
300
2
12 – 14
6
13
169
78
1014
3
15 – 17
5
16
256
80
1280
4
18 – 20
10
19
361
190
3610
5
21 – 23
8
22
484
176
3872
6
24 – 26
8
25
625
200
5000
40
105
1995
754
15076
Jumlah Rata-Rata
18.850
Median
19.300
Modus
19.643
Simpangan Baku (S)
4.704
Varians (S^2)
22.131
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh 14 orang siswa (35%) berada di bawah skor rata-rata dan 16 orang siswa (40%) berada di atas skor rata-rata hasil belajar IPS siswa. Distribusi nilai IPS siswa di atas dapat digambarkan histogram sebagai data diagram statistik seperti berikut:
Gambar 4.1 Histogram Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual
51
2. Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Konvensional Hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional diperoleh skor tertinggi 21 dan terendah 7, dengan skor rata-rata 13,025. Jumlah siswa yang memperoleh kategori penilaian “sangat tinggi” adalah 1 orang siswa dari 40 orang siswa yang mengikuti tes; untuk kategori penilaian “tinggi” adalah 11 orang siswa; kategori penilaian “cukup” adalah 15 orang siswa; kategori penilaian “rendah” adalah 13 orang siswa dan tidak ada siswa yang memperoleh kategori penilaian “sangat rendah”. Dengan menggunakan teknik Sturges diperoleh rentang 14, banyak kelas interval 5, dan panjang kelas 3. Daftar distribusi frekuensi mengenai hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional dapat dilihat pada table berikut ini: Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Konvensional No.
Kelas Interval
fi
xi
xi^2
fixi
fixi^2
1
7-9
9
8
64
72
576
2
10 - 12
13
11
121
143
1573
3
13 - 15
6
14
196
84
1176
4
16 - 18
6
17
289
102
1734
5
19 - 21
6
20
400
120
2400
40
70
1070
521
7459
Jumlah Rata-Rata
13.025
Median
12.038
Modus
10.591
Simpangan Baku (S)
4.154
Varians (S^2)
17.256
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh 22 orang siswa (55%) berada di bawah skor rata-rata dan 12 orang siswa (30%) berada di atas skor rata-rata hasil
52
belajar IPS siswa. Distribusi nilai IPS siswa di atas dapat digambarkan histogram sebagai data diagram statistik seperti berikut:
Gambar 4.2 Histogram Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Konvensional B. Uji Persyaratan Analisis Berdasarkan hipotesis diuji, perlu dilakukan persyaratan analisis data. Persyaratan data yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis adalah data yang berdistribusi
normal
dan
homogen
agar
hasil
penelitian
dapat
dipertanggungjawabkan jika sampel diambil secara acak. Uji persyaratan analisis data dilakukan dengan metode Liliefors untuk uji normalitas dan uji Barlett untuk menguji hipotesis.
1. Uji Normalitas Pengujian normalitas digunakan untuk mengetahui sampel yang digunakan apakah berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan pada kedua kelompok sampel. Rangkuman hasil uji normalitas untuk kedua sampel ditunjukkan pada table berikut ini:
53
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Normalitas Data (Uji Liliefors) No. 1
2
Kelompok Sampel Hasil belajar IPS siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual Hasil belajar IPS siswa yang Menggunakan Pembelajaran Konvensional
N
Lohitung
Lotabel
Ket
40
0,0951
0,140
Normal
40
0 ,1373
0,140
Normal
Berdasarkan tabel di atas, hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual diperolah harga Lohitung sebesar 0,0951. Harga Lotabel pada taraf signifikan 5% dengan N = 40 sebesar 0,140. Dengan membandingkan harga Lohitung dan Lotabel ternyata harga Lohitung < Lotabel (0,0951 < 0,140). Demikian pula dengan hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional dapat disimpulkan bahwa nilai Lotabel > Lohitung. Kedua sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal. 2. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas bertujuan untuk mengetahui varians populasi bersifat homogen atau tidak. Perhitungan pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji F. Bila Fhitung < Ftabel, maka varians populasi bersifat homogen. Hasil perhitungan homogenitas (Uji F) untuk kedua data dapat dilihat dari tabel dibawah ini:
54
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Homogenitas (Uji F) untuk Kedua Data No.
Sampel
Varians
1
Pembelajaran Kontekstual
22,131
2
Pembelajaran Konvensional
Fhitung
Ftabel
Keterangan
1,283
1,71
Homogen
17,256
Pada tabel di atas terlihat bahwa pengujian homogenitas kedua data dengan menggunakan uji F diperoleh Fhitung < Ftabel. Hal ini berarti bahwa hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual dan konvesional adalah data homogen. 3. Pengujian Hipotesis Dalam penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah kelompok siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual akan memperoleh hasil belajar IPS lebih tinggi daripada kelompok siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Untuk menguji hipotesis penelitian di atas digunakan analisis varians. Berikut adalah desain penelitian Anava: Tabel 4.5 Tabulasi Jumlah Desain Penelitian Anava Metode Pembelajaran Kontekstual Konvensional ∑f1x1 = 754 ∑f2x2 = 521 ∑f1x1^2 = 15076 ∑f2x2^2 = 7459 X1rata-rata = 18.85 X2rata-rata = 13.025 Varian Varian 17.256 (S1^2) 22.131 (S2^2) = Simp. Baku Simp. Baku 4.704 4.154 (S1) (S2) = n1 = 40 n2 = 40 Jk total Jk antar kelompok
Total ∑fx ∑fx^2 Xrata-rata
= 1275 = 22535 31.875
Varian (S^2) = 39.387 Simp. Baku 8.858 (S) = n = 80 2214.688 678.612
55
Jk dalam kelompok Mk antar kelompok MK dalam kelompok Fh = MK antar : MK dalam F table Thitung t-tabel
1536.075 678.612 19.693 34.459 3.970 5.870 2.640
Berdasarkan perhitungan data, dapat diketahui bahwa hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual memiliki skor rata-rata ( X ) = 18,85, sedangkan hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional memiliki nilai rata-rata ( X ) = 13,025. Hasil analisis varians kedua metode pembelajaran menunjukkan harga Fhitung = 34,459 > Ftabel = 3,970; sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual memperoleh hasil belajar IPS lebih tinggi daripada kelompok
siswa
yang
diajarkan
dengan
menggunakan
pembelajaran
konvensional. Selanjutnya untuk mengetahui apakah kedua metode pembelajaran di atas memiliki perbedaan hasil belajar yang signifikan, dilakukan pengujian hipotesis menggunakan t-test. Hasilperhitungan di atas diperoleh t-hitung 5,870 > t-tabel (2,67). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional yang sangat signifikan.
56
4. Pembahasan dan Diskusi Hasil Penelitian Secara umum, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: -
Hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual
-
Hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional
-
Perbedaan hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dan konvensional
a. Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual Hasil belajar IPS siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual memilki skor rata-rata sebesar 18,85, dengan kategori penilaian “tinggi”. Terdapat 35% atau 14 dari 40 orang siswa yang mengikuti tes berada di bawah skor ratarata dan 40% atau 16 dari 40 orang siswa yang mengikuti tes berada di atas skor rata-rata. Jumlah siswa yang memiliki kategori penilaian rendah dan sangat rendah hanya 2 orang siswa. Adapun penyebab kedua orang siswa tersebut
adalah sulitnya peserta
didik menghapal materi “ekonomi” sehingga siswa tidak dapat menjawab soal dengan benar. Dalam hal ini siswa belum dapat mengaplikasikan materi tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari. Banyaknya istilah-istilah pada materi ekonomi menyebabkan peserta didik sulit mengingatnya. Pada kelompok pembelajaran kontekstual, siswa diajar untuk mengaitkan materi dengan situasi dunia nyata. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan
57
sehingga siswa aktif dalam proses pembelajaran. Siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan hingga menarik kesimpulan sehingga siswa dapat menemukan sendiri konsep-konsep bahan pembelajaran. Siswa juga dapat lebih termotivasi untuk saling bertanya dari individu kesatu individu yang lain yang terjadi saat proses diskusi. Adanya kerjasama antar siswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan adalah salah satu langkah-langkah pembelajaran kontekstual. Bila ditinjau dari segi persentase, jumlah siswa yang memiliki skor di atas skor rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan jumlah siswa yang memiliki skor di bawah skor rata-rata. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Johnson (2002), yang menyatakan bahwa pendekatan kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong peserta didik melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pembuktian hasil penelitian ini juga didukung oleh teori Nurhadi bahwa pembelajaran Kontekstual adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar.
58
b. Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Konvensional Hasil belajar IPS siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional memilki skor rata-rata sebesar 13,025 dengan kategori penilaian “cukup”. Terdapat 55% atau 22 dari 40 orang siswa yang mengikuti tes berada di bawah skor rata-rata dan 30% atau 12 dari 40 orang siswa yang mengikuti tes berada di atas skor rata-rata. Jumlah siswa yang memiliki kategori penilaian rendah dan sangat rendah hanya 13 orang siswa. Pada kelompok pembelajaran konvensional siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran. Siswa hanya mnerima materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Siswa tidak berkesempatan menemukan sendiri konsepkonsep bahan pembelajaran. Siswa akan mengemukakan pendapat atau jawaban hanya pada saat guru memberikan pertanyaan kepada siswa. Kesempatan bertukar pikiran dengan siswa lain sangat terbatas, hanya dengan teman sebangku atau teman yang duduk berdekatan dengannya. Oleh karena itu informasi yang diterima siswa kurang. Kelompok pembelajaran konvensional siswa lebih banyak menghapal apa yang diberikan oleh guru, seperti yang dialami ketigabelas orang siswa yang memiliki nilai rendah dan sangat rendah. Sulitnya peserta didik menghapal materi “ekonomi” sehingga siswa tidak dapat menjawab soal dengan benar. Dalam hal ini siswa belum dapat mengaplikasikan materi tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari. Banyaknya istilah-istilah pada materi ekonomi menyebabkan peserta didik sulit mengingatnya.
59
c. Perbedaan Hasil Belajar IPS Siswa yang Menggunakan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional Hasil belajar IPS siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi
daripada
membuktikan
pembelajaran
secara
konvensional.
signifikan
bahwa
Hasil
terdapat
penelitian pengaruh
ini
telah
pendekatan
pembelajaran terhadap hasil belajar IPS siswa SD Negeri 125540 Pematang Siantar. Hasil belajar ini terlihat dari rata-rata perolehan skor dan hasil pengujian hipotesis dan uji lanjutnya. Rata-rata hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari skor ratarata pembelajaran kontekstual yaitu 18,85; dan skor rata-rata pembelajaran konvensional yaitu 13,025. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Vandaliza, M. (2009) yang menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan kontekstual memberikan pengaruh lebih tinggi dibanding dengan pendekatan konvensional. Selajan pula teori yang dikemukakan Johnson (2002), yang menyatakan bahwa pendekatan kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong peserta didik melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dari analisis terhadap hasil belajar IPS siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual terlihat masih terdapat 35% atau 14 orang siswa dari 40 orang siswa berada di bawah skor rata-rata. Adapun penyebabnya adalah sulitnya
60
peserta didik menghapal materi “ekonomi” sehingga mereka tidak dapat menjawab soal dengan benar. Dalam hal ini siswa tidak dapat mengaplikasikan materi tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sedangkan hasil analisis terhadap tes hasil belajar IPS siswa yang diajar dengan metode konvensioanal terdapat 55% atau 22 orang dari 40 orang siswa berada di bawah skor rata-rata. Kesulitan siswa disini hampir sama dengan kesulitan siswa yang diajarkan dengan pendekatan kontekstual yaitu menghapal materi ekonomi, terutama dalam hal istilah-istilah ekonomi yang masih sulit dipahami siswa. Ada lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Wina Sanjaya (2005:110), sebagai berikut: 1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. 2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya. 3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan
61
yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. 4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa. 5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi. Dengan menerapkan kelima karakteristik pembelajaran kontekstual di atas, adalah suatu hal yang wajar bahwa pembelajaran kontekstual memiliki hasil belajar yang lebih baik dari pembelajaran konvensional.
5. Keterbatasan Penelitian Pada prinsipnya peneliti melakukan penelitian secermat mungkin. Namun demikian penelitian ini tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan karena hal-hal yang tidak dapat dikontrol dan dihindari yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Berbagai kelemahan yang dirasakan selama melakukan penelitian antara lain: 1. Penelitian ini hanya terbatas pada perlakuan metode pembelajaran yaitu metode pembelajaran kontekstual dan metode pembelajaran konvensional. Banyak faktor yang mungkin saja berpengaruh terhadap hasil belajar IPS siswa, seperti minat belajar, sikap terhadap guru, motivasi yang diberikan guru, lingkungan
62
sekolah dan sebagainya. Dengan demikian kondisi-kondisi itu bisa saja ikut mempengaruhi hasil belajar IPS siswa. 2. Pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengajar IPS sangatlah terbatas, khususnya dalam hal strategi dan metode pembelajaran. 3. Penelitian yang dilakukan sangat terbatas waktunya, sehingga tidak memungkinkan hasil belajar yang diperoleh maksimal. Jadi perlu replikasi penelitian lanjutan untuk hal yang serupa. 4. Pengaruh kegiatan lain yang dialami siswa pada saat proses belajar mengajar berlangsung seperti: sakit, stress, atau pengaruh pelajaran lain.
63
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Dari uraian hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1.
Hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual memiliki skor rata-rata 18,85 (tinggi). Terdapat 14 orang siswa (35%) berada di bawah skor rata-rata dan 16 orang siswa (40%) berada di atas skor rata-rata hasil belajar IPS siswa.
2.
Hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional memiliki skor rata-rata 13.025 (cukup). Terdapat 22 orang siswa (55%) berada di bawah skor rata-rata dan 12 orang siswa (30%) berada di atas skor rata-rata hasil belajar IPS siswa.
3.
Hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual memiliki skor rata-rata lebih tinggi daripada hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual sangat signifikan bila dibandingkan dengan hasil belajar IPS siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.
64
B. SARAN Berdasarkan simpulan di atas, dapat disarankan bahwa: 1. Guru a. Dapat mempergunakan strategi pembelajaran kontekstual secara baik. b. Dapat mempergunakan strategi pembelajaran konvensional secara baik. 2. Siswa a. Dapat terlibat dalam pembelajaran kontekstual secara baik b. Dapat terlibat dalam pembelajaran konvensional secara baik 3. Peneliti lain Peneliti lain dapat menerapkan pembelajaran kontekstual dengan lebih baik agar diperoleh hasil belajar yang baik dalam pembelajaran IPS.
65
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi Abu, Supriono Widodo. (2003), Psikologi Belajar, PT.Rineka Cipta. Jakarta Ausubel (1963). The Physycology of Meaningful Verbal Learning. New York Grune and Station Arikunto, Suharsimi (2002), Dasar- Dasar Evakuasi Pendidikan, Bumi Aksara. Jakarta Ahmadi, A dan Supriono, W. (1991). Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta Ary, Jacobs and Rezavieh. (1982). Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Penerjemah Furchan, A. Usaha Nasional. Surabaya. Bloom, B.S (1982). All Our Children Learning. McGrew Hill Book. New York Dick and Carey. L. (1996). The Systematic Design of Instruction. Fifth edition. Addision-Wesley Educational Publisher Inc . Depdiknas Dirjen Dikti (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Dasar dan Menengah), Lanjutan Pertama. (2003). Djamarah, Syaiful Bahri, Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta. Jakarta Gagne. (1970).The Conditioning of Leranin Holt Rinehart and Wiston. New York Gagne, Robert.M and Briggs, Leslie. (1979). Principles of Instructional Design. Holt Rinehart & Winston. New York. Nasution, S. (2003). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Bina Aksara. Jakarta Purwanto Ngalim. (1995). Psikologi Pendidikan Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung. Romizowski. (1981). Instructional design System, Decision Making In Course Planning And Curriculum Design. London. Kogan Rosyidah. (2005). Pengembangan KBK Kontekstual.
Melalui
Strategi
Pembelajaran
Sanjaya,Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta. Kencana
66
Suriasumantri, Yuyun. (2005). Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer.Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Simbolon, H. (2002). Statistik Dasar. FKIP UHN.Pematangsiantar. Slameto, (2003). Belajar dan Faktor Yang Mempengaruhin. Rineka Cipta. Jakarta. Sudjana, (2002). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru Algesindo. Bandung -------------- (1992). Metode Statistika Edisi Ke-lima. Tarsito. Bandung Suryosubroto, (2002). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Rineka Cipta. Jakarta Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pengajaran. Gramedia. Jakarta Vandaliza,M. (2009). Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Kimia Dharmawangsa Medan. Tesis. PPS Unimed