KEBERADAAN PASAL 171 C KOMPILASI HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 368 K/AG/1995 TANGGAL 16 JULI 1998 Oleh: Baginda Siregar, SH.1
Abstract Islamic inheritance law has a "demarcation" very strict for those who are not the same religion (Islam) and do not inherit each other. Moreover, the behavior of "apostasy" is an act of treason to Muslim families, hurting and embarrassing for parents, family and relatives. So if there are children or heirs apostate then based on Islamic law of inheritance of his severed relationship. It is a norm adopted and is believed by Muslims. But based on the jurisprudence of the Supreme Court lapsed remain synchronized their rights through was borrowed. Jurisprudence on was borrowed for non-Muslims is a violation of articles 2 and 49 LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 3 YEAR 2006 CONCERNING THE AMENDMENT OF LAW NUMBER 7 IN 1989 ON THE TRIAL OF RELIGION. Ignoring Article 171 c, that hindered religious difference in terms of inheritanceheir. Adding to the norm of article 209 KIH, that the heir to the non-Muslims "rehabilitated" and get a share based on the position was borrowed. Keywords: Existence of Article 171 C, Compiling Islamic Law, Supreme Court Decision Number: 368 K/AG/1995
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Peradilan Agama diundangkan melalui UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Peradilan Agama kemudian diubah dengan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA.
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. (Pasal 2). Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. (Pasal 49 ayat 1). Dalam pasal 49 ini, kewenangan Peradilan Agama bertambah pada bidang zakat dan ekonomi syariah dimana sebelumnya Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara 1
Baginda Siregar, adalah Advokat di Jakarta, dan Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta.
129
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut (ayat 3). Hukum materiil yang dipergunakan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara adalah Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I, Tentang Hukum Perkawinan, Buku II, Tentang Hukum Kewarisan, Buku III, Tentang Hukum Perwakafan. Kompilasi Hukum Islam yang telah dijadikan sebagai hukum positif dalam praktek di Pengadilan Agama bukanlah berbentuk undang-undang tetapi lahir dari sebuah Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, dan dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991.2 Menurut para pakar hukum, Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia memiliki konsistensi dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi dan dijadikan sebagai rujukan bagi para penegak hukum.3 Putusan Pengadilan Agama sampai pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung telah menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum dalam memeriksa dan memutus perkara. Tetapi sejak adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 yang antara lain dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa anak kandung non-muslim bukan ahli waris, namun berhak mendapatkan bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah dari pewaris muslim. Bahkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris. Majelis Hakim Pengadilan Agama mulai cenderung mempergunakan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 sebagai yurisprudensi dalam penetapan kewarisan bagi pewaris yang beragama diluar Islam. Seperti dalam Penetapan Nomor 0086/Pdt.P/2016/PA.JS yang menetapkan 2 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 35. 3 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung: Penerbit, Mandar Maju, 1995, hlm. 10.
130
dua orang cucu pewaris yang tidak beragama Islam sebagai pewaris dengan wasiat wajibah. Meskipun para Pemohon dalam permohonannya telah menyatakan bahwa pewaris (cucu) yang tidak beragama Islam terhalang menjadi ahli waris berdasarkan ketentuan Pasal 171 huruf c. Berdasarkan putusan-putusan tersebut Pengadilan Agama (Mahkamah Agung) telah keluar dari norma yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu sangat menarik untuk dikaji dalam perspektif hukum. B. PERMASALAHAN 1. Bagaimana Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam hukum positif Indonesia ? 2. Bagaimana kedudukan waris bagi yang tidak beragama Islam dalam Kompilasi Hukum Islam ? 3. Apa akibat atau dampak putusan Mahkamah Agung atau Pengadilan Agama yang menetapkan ahli waris yang tidak beragama Islam sebagai ahli waris ? C. TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui kedudukan KHI dalam hukum positif Indonesi. 2. Untuk mengetahui kedudukan waris dan wasiat wajibah bagi non muslim. 3. Untuk mengetahui dampak putusan penetapan wasiat wajibah bagi non muslim. D. KERANGKA KONSEPTUAL Peraturan-peraturan hukum yang ada di suatu Negara terkait dengan sendisendi dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum dalam masyarakat merupakan suatu system hukum. Menurut Fuler dalam bukunya yang berjudul “The Morality of Law (1971)” bahwa kumpulan peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat baru dapat dikatakan sebagai suatu system hukum jika peraturan-peraturan hukum tersebut memenuhi 8 (delapan) asas yang dinamakannya “Principles of legality “ yaitu : 1. Suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar keputusan ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3. Peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. 5. Suatu system tidak boleh mengandung peraturan –peraturan yang bertentangan dengan satu sama lain. 131
6. 7. 8.
Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah – ubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.(4)
E. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian hukum normatif. Menurut Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder belaka.(5) II. PEMBAHASAN A. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia. Istilah Kompilasi belum diterima secara meluas dalam bahasa Indonesia, begitu pula dalam buku-buku hukum yang berbahasa Indonesia kita belum menemukan uraian apa itu kompilasi, bagaimana kedudukannya, dasar keabsahannya dan lain sebagainya. Dalam kajian hukum kita hanya mengenal istilah “Kodifikasi Hukum” yaitu pembukuan satu jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam satu buku hukum. Dalam praktik kodifikasi hukum yang demikian diterjemahkan dengan istilah Kitab Undang-undang (Wetboek) yang dibedakan dengan Undang-undang (Wet). Baik Kitab Undang-undang maupun istilah Undang-undang saja pembentukannya ditetapkan secara resmi melalui suatu prosedur yang bersifat khusus. Istilah “Wet” atau “Wetboek” yaitu dari bahasa Belanda yang kita terjemahkan dengan Kitab Undang-undang atau Undang-undang selalu mengacu pada bentuk formal. Sebagaimana halnya dengan kodifikasi yang istilahnya diambil dari perkataan bahasa Latin, maka istilah Kompilasipun diambil dari bahasa yang sama. Istilah Kompilasi diambil dari kata “Compilare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya : mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan diman-mana, istilah ini dikembangkang menjadi “Compilation” dalam bahasa Inggrisnya dan “Compilatie” dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan kedalam bahasa Indonesia menjadi “Kompilasi” yang berarti mengupulkan secara bersama-sama peraturan-peraturan yang berserakan untuk dijadikan satu kumpulan hukum. 4 H. Muchsin, Ikhtisar Hukum Indonesia, Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 23 5 Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali, 1985, hal. 15. Metode ini juga digunakan Mohammad Taufik Makarao dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Wacana 2005, hlm. 10.
132
Berdasarkan keterangan tersebut diatas dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa “Kompilasi” itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang di ambil dari berbagai penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu. Jadi Kompilasi Hukum Islam adalah “Kegiatan mengumpulkan secara bersama-sama baik bahan tertulis maupun dari berbagai penulis yang berbeda tentang sumber Hukum Islam untuk dijadikan satu kumpulan hukum Islam yang berlaku secara formal (hukum positif)”.(6) Menurut A. Hamid S Attamimi, Kompilasi Hukum Islam bukan peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan undang-undang, bukan Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Presiden, dan seterusnya. Tetapi KHI adalah hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam.(7) Lawrence M.Friedman, mengemukakan, Hukum dalam pengertian sebagai struktur dan peraturan hanyalah satu dari tiga fenomena, yang semuanya sepadan dan amat nyata. Pertama, ada kekuatan-kekuatan social dan legal yang dengan cara tertentu mendesak masuk dan membentuk hukum. Kemudian muncul hukum itu sendiri, struktur-struktur dan peraturan-peraturan. Ketiga ada dampak dari hukum tersebut terhadap prilaku di dunia luarnya.(8) Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 berisi norma dengan adresat yang individual (ditujukan kepada Menteri Agama dan dengan perbuatan bersifat konkrit. Menindaklanjuti Inpres tersebut Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tanggal 22 Juni 1991. Oleh sebab itu menurut hemat penulis KHI sebagai hukum positif yang diberlakukan dalam praktek di Pengadilan Agama, kalau dilihat dari hirarki perundang-undangan adalah setingkat Keputusan Menteri sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-undang No. 12 tahun 2011. Berikut ini adalah jenis, hirarki dan muatan peraturan perundang–undangan yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2011, tentang PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN yang diatur dalam Pasal 7 : (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; 6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta 1995, hlm. 9-10. 7 A.Hamid Attamimi, “Kedudukan KHI dalam Sistem Nasional (Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan di Indonesia)” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Gema Insani, 1996, hlm.153. 8 Lihat Lawrence M.Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial : Bandung, Nusa Media, hlm.2
133
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pada Pasal 8 disebutkan : (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Bahwa terkait dengan kedudukan KHI dalam perundang-undangan, meskipun KHI yang diatur dalam bentuk Inpres kepada Menteri Agama yang selanjutnya mengeluarkan Keputusan Menteri Agama tidak tercantum dalam hierarki peraturan perundangan-undangan, Inpres-KHI termasuk lingkup makna organik Pasal 4 ayat (1) UUD 1 945 dan merambat pada konvensi produk tradisi konstitusional dalam rangkaian penyelenggaraan negara. B. Kedudukan waris bagi yang tidak beragama Islam Berdasarkan ketentuan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan : a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing. b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragam Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 134
Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 172, Ahli Waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas, atau pengakuan, atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Bahwa berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, beragama Islam adalah persyaratan wajib menjadi ahli waris. Hubungan hukum antara dengan yang selain beragama Islam telah juga diperkuat dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama. setelah: Menimbang : 1. bahwa bahwa belakangan ini sering terjadi kewarisan beda agama; 2. bahwa sering dimunculkan pendapat-pendapat yang membolehkan kewarisan beda agama; 3. bahwa oleh karena itu MUI memandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang kewarisan beda agama. Mengingat : 1. Firman Allah: “Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. alNisa [4] : 11). Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Nisa [4]: 141). 2. Hadis Rasul Allah SAW Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang Kafir, dan orang Kafir tidak (boleh) mewarisi orang Muslim” (hadis muttafaq alaih). Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata: Rasul Allah s.a.w. bersabda: “tidak ada saling mewarisi antara dua pemeluk agama (yang berbeda) (hadis riwayat Ahmad, imam empat dan Turmudzi). 135
Memperhatikan : 1. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 2. PP. no 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU no 1/1974 tentang Perkawinan. 3. Instruksi Presiden no 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 4. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa MEMUTUSKAN, Menetapkan: FATWA TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA 1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orangorang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim); 2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. C. Dampak Yurisprudensi Penetapan Non Muslim sebagai Ahli Waris. 1. Amar Putusan Yurisprudensi ini bermula dari Perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat No.377/ Pdt.G/1993/PA. JP. Para Penggugat BS bin HS telah mengeluarkan salah satu anak perempuan almarhum yang pindah agama (murtad) dari daftar ahli waris berinisial SW bin HS. Pengadilan Agama Jakarta Pusat memutus sesuai dengan ketentuan Pasal 171 huruf c, bahwa SW bin HS tidak menjadi ahli karena berbeda agama dengan sipewaris (murtad). Pada tingkat banding dengan Perkara No. 14/Pdt.G/1994/PTA.JK. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Amar Putusan menyebutkan : “Menyatakan SW binti HS berhak mendapat bagian dari harta peninggalan almarhum HS, berdasarkan wasiat wajibah sebesar ¾ dari bagian seorang perempuan ahli waris almarhum HS”. Kemudian pada tingkat Kasasi Perkara Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998, Mahkamah Agung memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan amar, “menyatakan SW binti HS berhak mendapat bagian dari harta peninggalan almarhum HS, berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian seorang perempuan ahli waris almarhum HS”. Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menjadikan putusan tersebut sebagai yurisprudensi dalam menetapkan “ahli waris” yang berbeda agama. Pada kasus Penetapan Nomor 0086/Pdt.P/2016/PA.JS Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan, “menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-22 dan P-23, dua orang anak laki MMS bin M dari perkawinan pertama dengan IS binti R yang bernama (1) GN bin MMS dan (2) GWI bin MMS, keduanya telah pindah keyakinan 136
(Kristen), maka Majelis Hakim berpendapat kedua anak tersebut menjadi ahli waris pengganti dari MMS bin M melalui wasiat wajibah, sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 368/K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998”. Masalahnya adalah dari mana lahirnya penafsiran wasiat wajibah oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan atau Mahkamah Agung yang menjadikan orang yang murtad atau yang tidak beragama Islam sebagai ahli waris. 2. Penafsiran Hukum Wasiat Wajibah Menurut Apeldorn ajaran hukum ialah apa yang biasa disebut sebagai ilmu pengetahuan dogmatis atau sistematis. Pencatatan sistematis dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada masyarakat tertentu dan waktu tertentu. Kaidah-kaidah menjelma dalam perkataan-perkataan, undang-undang yang dapat dilihat sebagai kenyataan dan dapat diuraikan serta ditafsirkan secara ilmiah.(9) Menafsirkan adalah menetapkan arti undang-undang. Yurisprudensi mengajarkan, bahwa hakim memgikuti pelbagai cara dalam mencari arti undang-undang. Penafsiran dapat berupa penafsiran menurut tata bahasa, menurut historis, menurut maksud pembuat undang-undang dan teleologis.(10) Menurut Yudha Bhakti, penafsirkan dimaksudkan agar dapat mencapai kehendak dari pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan social, untuk itu hakim menggunakan beberapa cara penafsiran, yaitu(11) 1. Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan atau biasa disebut penafsiran gramatikal. 2. Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis. 3. Menafsirkan undang-undang menurut system yang ada dalam hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik. 4. Menafsirkan undang-undang menurut penafsiran sosiologis atau teleologis. 5. Menafsirkan undang-undang menurut penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi. 6. Penafsiran Interdisipliner 7. Penafsiran multidisipliner. 9 LJ.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit, Pradnya Paramita, cet. Ke 23 tahun 1986. hlm. 409 10 Ibid, hlm. 401-404. 11 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit, Alumni Bandung, tahun 2000, hlm.9-12).
137
Wasiat wajibah dalam perspektif sejarah hukum islam diterapkan di berbagai negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat. Dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris pengganti telah ditetapkan statusnya sebagai ahli waris tidak berdasarkan wasiat wajibah. Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka.(12) Mesir adalah Negara yang pertama mengundangkan tentang wasiat wajibah dalam Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946. Sejak 01 Agustus 1946, orang Mesir yang tidak membuat wasiat sebelum meninggalnya, maka kepada keturunannya dari anak pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu daripada pewaris diberikan wasiat wajib tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.(13) Dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah diatur pada pasal 209, wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat. Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.(14) Tetapi dalam penetapan wasiat wajibah bagi non muslim hakim telah keluar dari yuridis formil yang ada, dengan menggunakan fungsi rechtsvinding sesuai kewenangan yang diberikan dalam pasal 5 dan pasal 28 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa putusan wasiat wajibah ini termasuk dalam kategori penemuan hukum yang berangkat dari asas bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak mengatur atau kurang jelas, 12 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 281 – 289. 13 Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, PT. Bina Aksara). hlm. 97 - 99 14 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet pertama, 1987, hlm. 462.
138
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( UU No.14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 ayat 1). Menurut hemat penulis ada pertanyaan yang mendasar untuk menilai atau mengukur putusan tentang wasiat wajibah bagi non muslim ini. Pertama, adalah apakah hukum tidak mengatur atau kurang jelas. Kedua, persepsi mengenai kepastian hukum, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat sebagaimana disebut dalam pasal 28 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Friedman, para ahli hukum meyakini bahwa idealnya hukum bersifat pasti, bisa diprediksi dan bebas dari hal yang subyektif, dengan kata lain amat terprogram. Segala sesuatu yang lain dari itu akan dipandang tidak adil.(15) Secara yuridis formil menurut hemat penulis ada beberapa prinsip yang dilanggar oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung dalam penetapan/putusan ini. Pelanggaran Pertama, melanggar ketentuan pasal 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA yang berbunyi : Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. (Sebelum perubahan redaksi yang terdapat pada UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 berbunyi: Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. ). Ketentuan Pasal 2 ini mengandung asas yaitu asas personalita keislaman. Beberapa penegasan dalam asas ini : 1. Pihak – pihak yang bersengketa harus pemeluk agama Islam. 2. Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, sodaqoh, 3. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hukum islam.(16) Demikian pula dengan Pasal 49 yang berbunyi: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. (Sebelum perubahan dengan redaksi (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat 15 Friedman, Ibid, hlm. 14. 16 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. UU No.7 Tahun 1989, Jakarta : Sinar Grafika, edisi kedua, cet kelima, 2009, hlm. 57.
139
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah).
Pelanggaran kedua, Mahkamah Agung mengabaikan ketentuan pasal 171 huruf c, bahwa beda agama terhalang dalam hal waris-mewaris. Oleh karena itu tak dapat ditafsirkan melaui wasiat wajibah yang kedudukannya setara dengan ahli waris yang sah menurut hukum ( istilah penulis menjadi seperti Perpu terhadap UU). Wasiat wajibah ini menurut Fatchur Rahman, jelas memiliki tautan yang sangat erat dengan hukum kewarisan Islam yang apabila dilaksanakan akan menimbulkan banyak persoalan yang memerlukan solusi penyelesaian dengan sebaik-baiknya agar prinsip keadilan dan kemanusiaan dapat ditegakkan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum kewarisan itu sendiri.(17) Pelanggaran Ketiga, Pengadilan atau Mahkamah Agung menambah norma pasal 209 KIH, pewaris non muslim “direhabilitasi” kedudukannya dan mendapat bagian berdasarkan wasiat wajibah. Padahal ketentuan wajibah hanya mengatur anak angkat dan orangtua angkat. Sewaktu diadakan pengumpulan bahan – bahan KHI, tidak ada satu ulama pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris. Dengan mengacu kepada peristiwa pengembalian status Zaid bin Haritsah anak angkat nabi Muhammad SAW. Sehingga KHI tidak mengadaptasinya menjadi kewarisan hukum Islam tetapi menganut norma pemeliharaan dan pendidikan sebagaimana isi Pasal 171 huruf h. Namun karena ada pertimbangan asas maslahat maka diakomodir dalam pasal 209 dengan memberi hak wasiat wajibah. (18) Menurut hemat penulis, jika terhadap anak angkat para ulama sangat reaktif “menolak” untuk dimasukkan dalam hukum kewarisan tentu dengan yang berbeda agama (murtad), yang dianggap sebagai musuh keluarga, musuh agama, anak durhaka dan sebagainya tentu akan lebih keras penentangannya. Pelanggaran keempat, Melegalisasi pemurtadan. Hukum Islam adalah merupakan “the living law” sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia. Oleh sebab itu murtad adalah perbuatan tercela dalam batin dan kepercayaan mayoritas umat Islam. Yahya Harahap mengemukakan, keberadaan tata hukum Islam dan kekuasaan lingkungan Peradilan Agama dapat diletakkan secara proporsional, dan pengkajiannya harus dilakukan dengan pendekatan kemajemukan dan sejarah nasional. Pendekatan analisanya tidak boleh menggunakan sudut pandang occidental (berhaluan barat). Tata nilai Barat dan Adat berhadapan (berbeda)
17 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Prenada Media Group, cet. Kedua 2006. hlm. 167. 18 Yahya Harahap, Ibid, hlm. 48.
140
dengan tata nilai Islam dalam bidang hukum sosial kekeluargaan. Faktor –faktor itu disebabkan antara lain : 1. Penerimaan masyarakat Islam atas nilai hukum social (perkawinan, warisan dan wakaf) langsung pada saat keislaman seseorang muslim dia terima, sebab peristiwa yang berkenaan dengan aturan tata nilai social kekeluargaan tersebut dialami dan dijalani setiap muslim dalam perjalanan hidup. 2. Hukum sosial kekeluargaan hampir secara mutlak menyentuh dan dialami setiap pribadi muslim. 3. Telah terjadi transformasi kesadaran masyarakat Islam yang cenderung mengangkat nilai – nilai hukum Islam sebagai salah satu aspek symbol akidah – iman. Pelaksanaan dan penerapan tata nilai hukum kekeluargaan Islam tidak tidak terlepas dengan ruh akidah dan ibadah, tidak hanya simbol religi, tetapi merupakan keterikatan ketaatan terhadap perintah Allah. Bukan saja pada patokan halal dan haram, larangan dan perintah, tetapi sampai pada patokan murtad, munafiq dan musyrik.(19) Meskipun masalah pilihan agama adalah merupakan hak pribadi setiap orang, tetapi bukan berarti tanpa konsekwensi hukum. Menurut syariat Islam murtad atau pindah agama akan mengakibatkan putusnya hubungan saling mewarisi. Tetapi berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut murtad dipulihkan hak kewarisannya melalui wasiat wajibah. III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hukum kewarisan Islam memiliki “demarkasi” yang sangat tegas bagi yang tidak seagama (Islam) dengan tidak saling mewarisi. Apalagi prilaku “murtad” adalah perbuatan penghianatan bagi keluarga muslim, menyakiti, dan memalukan bagi orangtua, keluarga serta kerabat. Sehingga jika ada anak atau ahli waris yang murtad maka berdasarkan syariat Islam hubungan kewarisannya terputus. Ini adalah merupakan norma yang dianut dan diyakini oleh umat Islam. Tetapi berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut murtad tetap disetarakan hakhaknya melalui wasiat wajibah. 2. Yurisprudensi tentang wasiat wajibah bagi non muslim merupakan pelanggaran terhadap pasal 2 dan 49 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA. Mengabaikan pasal 171 huruf c, bahwa beda agama terhalang 19 Yahya Harahap, Ibid, hlm. 1-5.
141
dalam hal waris-mewaris. Menambah norma pasal 209 KIH, bahwa pewaris non muslim “direhabilitasi” kedudukannya dan mendapat bagian berdasarkan wasiat wajibah. B. Saran-Saran 1. Sudah saatnya pembentuk Undang – undang menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai Kodifikasi Hukum Islam dalam bentuk Undangundang. 2. Mahkamah Agung harus kembali ke norma hukum positif KHI dan menjadikan putusan wasiat wajibah terhadap non muslim sebagai yurisprudensi yang tidak mengikat. 3. Menempatkan wasiat wajibah sesuai aturan syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdul Gani Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1992. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta 1995. Ahmad, Amrullah, dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Gema Insani, 1996. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit, Alumni Bandung, tahun 2000, hal.9-12). Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, PT. Raja Grafindo Persada. Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Bandung, Nusa Media. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. UU No.7 Tahun 1989, Jakarta : Sinar Grafika, edisi kedua, cet kelima, 2009. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Prenada Media Group, cet. Kedua 2006. Manan, Bagir, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju Bandung, 1995. Makarao, Mohammad Taufik, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Wacana 2005. 142
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002. Marzuki, Wismar ‘ain dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: UI-press, 2005. Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1990 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet pertama, 1987. Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1954. Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta :Prenada Media, 2006. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010 Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, PT. Bina Aksara. van Apeldoorn, LJ, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit, Pradnya Paramita, cet. Ke 23 tahun 1986. Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974. Putusan Mahkamah Agung : Perkara Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998. 143
Putusan Pengadilan Agama 0086/Pdt.P/2016/PA.JS.
Jakarta
Selatan
:
Penetapan
Nomor
Kompilasi Hukum Islam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama.
144