11. TINJAUAN PUSTAKA
Cestoda adalah cacing pipih, yang lebih dikenal dengan nama cacing pita. Cacing ini merupakan subfilum di dalam filum Platyhelminthes. Cestoda disebut cacing pita. karena ia mempunyai bentuk tubuh seperti pita, pipih ke arah dorsoventral , dan mempunyai banyak ruas (segmen). Menurut Soulsby (1982) Cestoda dibagi menjadi dua klas: Cotyloda dan Eucestoda. Klas Cotyloda diperkirakan terdiri dari enam ordo dan Mas Eucestoda (Cestoda yang sejati) terdiri dari 15 ordo. Cacing pita dewasa, hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan larvanya hidup di dalam jaringan vertebrata dan invertebrata (Brown, 1975). Cacing ini, tidak mempunyai saluran pencernaan, juga tidak mempunyai rongga tubuh, tetapi telah memiliki sistem saraf dan sistem pem buangan sisa metabolisme (BeIding, 1958; Brown, 1975; Soulsby, 1982: Urquhart et al., 1987). Segmen-segmen cacing pita ini, atau yang disebut juga dengan proglottid, bila sudah menjadi matang, mengandung alat kelamin jantan maupun betina. Dengan kata lain, setiap segmen dari cacing ini, mempunyai alat reproduksi yang sempurna (levine, 1978; Brown,
1975). Kenyataan ini hembuat beberapa peneliti beranggapan bahwa cacing pita bukanlah individu tunggal, melainkan merupakan koloni linier (Levine, 1978). Atas dasar kematangan dari alat reproduksi tersebut, maka dapat dijumpai tiga jenis segmen cacing Cestoda yaitu segmen imatur dengan organ jantan belum dapat dibedakan dari organ betina; segmen matur dengan organ jantan sudah dapat dibedakan dari organ betina; dan segmen gravid yang memiliki uterus yang berisi penuh oleh telur cacing (Belding, 1958; Cheng, 1986).
2.1.1. Morfologi
Cacing pita yang dewasa terdiri dari: (1) scolex yang dilengkapi dengan alat pemegang; (2) leher, yang bagian posteriornya merupakan tempat pertumbuhan; dm (3) strobila, rantai segmen-segmen atau proglottid-proglottid yang perkembangannya progresif (Belding, 1958; Faust dan Russel, 1964)). Ukuran cacing Cestoda sangat besar variasinya. Ada yang panjang tubuhnya hanya beberapa milimeter, tetapi ada juga yang panjang, mencapai beberapa meter (Soulsby, 1982).
Brown (1 975)
melaporkan variasi ini dari 3 milimeter sampai 4 meter, dan jumlah proglottid dari 3 sampai 4000. Scolex yang bulat atau memanjang mempunyai salah satu dari tiga macarn alat untuk melekatkan diri pada dinding usus inang: (1) lekuk penghisap yang memanjang atau bothria @ada Diphillobothrium latum), (2) batil isap seperti cangkir (pada Taenia saginata), dan (3) selain batil isap terdapat sebuah rostellum yang dilengkapi dengan kait-kait khitin (pada Tuenia solium) (Belding, 1958; Brown, 1975). Proglottid berlainan dalam ha1 jumlah, ukuran dm bentuk menurut spesies dan stadium pertumbuhannya. Tiap proglottid pada hakekatnya adalah satu individu yang berfungsi, satu anggota dari rantai koloni atau strobila. Menurut Levine (1978) setiap proglottid berisi &tu setel lengkap organ perkembangbiakan, jantan dan betina, yang merupakan satu unit. Proglottid ini tumbuh di bagian posterior leher dan berturut-turut menjadi lebih matang. Dengan demikian, segmen anterior yang belurn dapat dibedakan berangsur-angsur menjadi proglottid besar yang matang dengan alat kelamin yang sudah berbentuk sempurna, dan ini seterusnya menjadi proglottid gravid, yang terutama terdiri dari uterus yang melebar, penuh dengan telur (Brown, I
1975). Noble dan Noble (1982) menyebutkan bahwa ujung proglottid yang gravid itu, adalah tidak lebih dari kantung-kantung yang penuh berisi telur.
Proglottid
gravid akan teriepas dari strobila atau bila masih melekat akan mengalami disintegrasi. Proglottid yang pecah akan keluar bersama feses (Levine, 1978). Bentuk dan struktur dalam proglottid yang matang dan gravid berguna untuk membedakan ordo, famili atau spesies (Faust dan Russel, 1964: Brown, 1975). Badan yang berwarna putih diliputi oleh kutikulum atau tegumen yang homogen. elastis dan resisten secara kontinyu dari segmen satu ke segmen yang lain (Belding. 1958). Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa di dalam teg umen terdapat mi tokondria, membran, vakuola, benda-benda yang masuk di dalamnya, enzim-enzim yang dapat mengadakan hidrolisis dan oksidase (Brown, 1975). Sedangkan Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa tegumen Cestoda sebagian besar terdiri dari protein, berisi polisakarida tertentu, gli koprotein, mitokondria, vakuola dan membrana. Aktivitas sintesis protein yang berderajat tinggi terjadi di dalam sel-sel subtegumental, dan protein-protein ini diduga disekresikan ke dalam matriks tegumental (Noble dan Noble, 1982). Brown ( 1975) menyatakan bahwa saluran-saluran pori (lubang-lubang di tegumen) berjalan dari permukaan tegumen sampai ke dasarnya. Permukaannya tertutup dengan struktur yang menyerupai rambut yang halus (mikrotrich) atau villus keci I. Pada beberapa spesies bagian proksimai mikrotrich a&alah kosong dan bagian distalnya padat. Di bawah tegumen ada selapis otot sirkuler dan selapis otot longitudinal yang tipis. Dua lapis serabut transversal berjalan dari sisi satu ke sisi lain, meliputi bagian tengah dimana terdapat sebagaian besar alat-alat itu. Serabut-serabut dorsoventral juga berjalan dari permukaan satu ke permukaan lain. Parensim mengisi ruang-ruang antara organel dan lapisan otot (Belding, 1958, Brown, 1975 Soulsby, 1982). Sistem ekskresi atau osmoregulator sama dengan yang terdapat pada cacing daun (Noble dan Noble, 1982 ), dan terdiri dari "flamecells (fZame bulb)" yang
berhubungan dengan tubulus colectivus melintang dan longitudinal (Levine, 1978; Noble dan Noble, 1982; Soulsby, 1982). Menurut Brown (1 975) saluran ekskresi ini, biasanya memanjang dorsal dan ventral berjalan melalui pinggiran lateral dari segmen-segmen, mulai dari anastomosenya di dalam scolex sampai ke lubang keluarnya di bagian posterior proglottid terakhir. Saluran transversal menghubungkan banyak saluran yang memanjang ventral di bagian posterior dari tiap proglottid. Saluran utama menerima cabang-cabang yang dibentuk oleh saluran pengurnpul yang berasal dari "terminal flame cells" yang tersebar di parensim. Menurut Noble dan Noble (1982) cairan akan mengalir ke arah anterior di dalam saluran dorsal yang lebih kecil. dan kearah posterior di dalam saluran ventral yang lebih besar. Selanjutnya Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa fungsi sebenarnya saluran ekskretoris ini masih diragukan, tetapi rupa-rupanya jelas, bahwa selain peranan yang biasa yaitu mengeluarkan sisa-sisa rnetabolik tertentu dari tubuh, tubulus-tubulus tersebut juga membantu mengatur tekanan hidrostatik. Selain itu, tubulus juga mempunyai fungsi sekretoris. Di dalam scolex ada ganglion-ganglion kepala dengan banyak komisura dan berbagai ganglion anterior yang bersambungan dengan komisura untuk membentuk cincin rostellum ( ~ r o w 1975: t Soulsby, 1982). Saraf sensoris dan motoris yang perifer di bagian anterior cacing keluar dari ganglion-ganglion ini. Batang saraf utama yang lateral dan dua urat sayaf tambahan yang memanjang, berjalan pada setiap sisi dari ganglion kepala melalui seluruh rantai proglottid. Pada tiap proglottid urat saraf lateral ini dihubungkan oleh komisura transversal (Belding, 1958; Brown, 1975). Menurut Noble dan Noble (1982) kumpulan saraf dan neuron yang lebih padat terdapat pada pada organ-organ tetentu seperti batil isap dan vesicula ekskretoris. Nerosekresi terlibat dalam pengelupasan tegumen.
Menurut Levine (1978) organ yang paling menonjol pada Cestoda adalah organ reproduksi. Kebanyakan Cestoda bersifat hermafrodit. Tiap proglottid matang mengandung paling sedikit satu perangkat alat kelarnin jantan dan betina (Brown, 1975; Soulsby, 1982). Brown (1975) menyebutkan bahwa vas deferens pada yang jantan dan vagina pada yang betina mempunyai muara kelamin yang bersarnaan di permukaan ventral atau di sisi lateral proglottid. Muara kelamin ini mungkin terletak pada sisi yang sama pada tiap proglottid (pada Hymenolepis), tidak teratur bergantian kanan dan kiri (pada Taeniu), atau bilateral bila terdapat dua perangkat alat kelamin (pada Dipylidium). Alat kelamin jantan biasanya berkembang lebih awal dengan jumlah testes yang banyak (Soulsby, 1982). Alat ini terletak di bagian dorsal proglottid (Belding, 1958). Sal uran-saluran kecil , vasa efferensia, yang berasal dari 3 (Hymenolepis) sampai 500 (mniu, Diphyllohorrium) bersatu untuk membentuk vas deferens, yang berjalan berbelok-belok menuju ke cirrus, suatu alat terdiri dari otot yang menonjol, diselubungi oleh kantong cirrus yang berdinding tebal. Bagian bawah vas deferens sering melebar untuk membentuk vesicula seminalis. Cirrus membuka di sebelah anterior dari vagina ke dalam muara kelamin bersama berbentuk mangkok (Brown, 1975).
Y
Alat kelamin betina letaknya dekat permukaan ventral dari proglottid (Belding, 1958). Vaginanya, suatu saluran tipis lurus, membentang dari ootype sampai ke muara kelamin bersama, dan sering melebar untuk membentuk receptaculum seminalis (Brown, 1975; Levine, 1978). Ovarium yang biasanya berlobus dua, letaknya di bagian posterior proglottid. Telurnya dikeluarkan ke dalam oviduct yang bergabung dengan ductus spermaticus dari receptaculum seminalis untuk membentuk saluran
menjadi sekelompok massa yang berlobus satu atau dua atau tersebar difus seperti folikel-folikel tersendiri di seluruh proglottid. Sekelompok kelenjar cangkang telur yang uniseluler, kelenjar Mehlis, yang pada beberapa spesies tidak ada, mengelilingi dan bermuara ke dalam ootype. Uterusnya berjalan dari permukaan anterior ootype sebagai saluran sentral yang bentuknya bermacam-macam (Belding, 1958; Levine, 1978; Soulsby, 1982). Menurut Noble dan Noble (1982) cara pembuahan yang paling u m u m pada Cestoda adalah dengan fertilisasi sendiri, yaitu dengan cara membalikkan cirrus ke dalam vagina pada proglottid yang sama. Mereka juga menyebutkan adanya perkawinan silang antara proglottid yang berbeda dalam strobila yang sama. dan dapat pula antara proglottid yang berbeda dalam strobiia yang berbeda (Noble dan Noble, 1982). 2.1.2.
Fisiologi Cacing pita hidup di dalam rongga usus inang dengan scolexnya menempel
pada mukosa. Tempat hidup yang biasa adalah ileum, tetapi cacing ini dapat ada di dalam jejunum dan kadang-kadang di dalam colon. Cacing ini pernah dilaporkan di tempat-tempat lain seperti kantung empedu (Belding, 1958). Fisiologi dan biokimiawi Cestoda sama dengan Trematoda. Terdapat angka metabolik yang bertingkat-tingkat disepanjang strobila sehingga pengamatan yang dilakukan pada proglottida di suatu tempat di dalam tubuh akan berbeda dengan proglottida lain (Noble dan Noble, 1982). Menurut Brown (1975) cacing Cestoda mempunyai satu sistim metabolisme yang anaerob, sehingga bisa hidup di dalam saluran pencernaan yang relatif tidak mengandung oksigen. Pada sisi lain, E3eiding (1958) menyebutkan bahwa glimgen, yang mempunyai peranan yang penting di dalam metabolisme, ternyata dibentuk dari dekstrose.
Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa glukosa dan galaktosa
merupakan karbohidrat yang telah diketahui dimetabolisme oleh Cestoda, meskipun beberapa spesies, juga mengabsorbsi mono dan disakarida lain. Cacing pita dewasa memperoleh sebagian besar makanan dengan cara absorbsi bahan-bahan dari makanan inang yang setengah dicernakan, tetapi tqnpaknya sebagian dari makanannya juga diambil langsung dari jaringan inangnya (Brown, 1975). Disangka bahwa tegumen adalah alat utama untuk absorbsi pada Cestoda, dengan microtrichenya yang menambah besar daerah permukaan absorbsi. Di dalarn tegumen terdapat berbagai enzim yang mempunyai peranan pada metabolisme makanan.
Bagian proksimal microtrich mungkin berguna untuk penyerapan bahan
makanan, dengan cara difusi saja, atau pengangkutan secara aktif. Bagian distal microtrich mungkin berguna untuk melekatkan diri dengan membentuk anyaman dengan mikrovilli mukosa usus atau mungkin merupakan penggosok, sehingga mengeluarkan cairan jaringan un tuk diserap. Ternyata, kebanyakan dari zat protein diperoleh dari mukosa usus inang, sedangkan sebagian besar dari zat karbohidrat diabsorbsi dari isi usus. Dengan demikian, cacing pita sensitif terhadap berkurangnya sebagian dari jumlah zat karbohidrat di dalam makanan inang (Belding, 1958; Brown, 1975). Selanjutnya dinyatakan bahwa kelaparan pada inang dan kekurangan vitamin B kompleks di da~ammakanannya. akan mengurangi jumlah cacing pita, menghambat pertumbuhan dan mengurangi produksi telurnya. Sementara itu, larva Cestoda mengabsorbsi makanan dari jaringan inang di sekitarnya (Brown,1975). Alat kelaminnya mencapai perkembangan yang berlebihan supaya dapat mengatasi bahaya diwaktu penyelesaian daur hidupnya. Hermafroditisme dan autofertilisasi mengakibatkan kesuburan, walaupun pembuahan silang antara segmensegmen dari cacing sarna atau cacing lain dapat terjadi. Spermatozoa diarahkan ke dalam vagina oleh cirrus yang dapat keluar masuk (protrusif). Telur dibuahi di
dalam ootype, kemudian menerima sel kuning telur dari kelenjar vitellina dan mendapat cangkang, akhirnya disimpan di dalam uterus. Cacing pita dewasa seperti Taenia solium, Taenia saginata dan Diphyllobothrium latum dapat hidup selama 20 sampai 25 tahun. sedangkan beberapa spesies lain hidupnya pendek (Belding, 1958; Brown, 1975; Soulsby, 1982).
Daur hidup Cestoda yang biasa ditemukan pada manusia memerlukan satu atau lebih inang antara, kecuali Hymenolepis nana pada manusia yang hanya memerlukan satu inang untuk stadium larva dan dewasanya (Soulsby, 1982). Freeman (1973) mengemukakkan bahwa stadium-stadium perkembangan dalam daur hidup Cestoda terdiri atas: (a) ovum (yang diduga memerlukan pembuahan); (b) onkosfer (larva dengan enam kait yang sering disebut embrio hexacanth) yang akan mengalami metamorfosis; (c) metacestocla yang meliputi semua fase pertumbuhan antara onkosfer dan munculnya sexualitas pertama, yaitu ketika ia mempunyai (i) sebuah scolex dengan diferensiasi sempurna dan berukuran seperti pada cacing dewasa clan (ii) tubuh yang sudah menunjukkan proglotidasi atau tanda-tanda kematangan sexual yang pertama dan (iii) caling dewasa yang sexualnya sudah mengalami reproduksi di dalam usus. Daur hidup cacing pita memerlukan waktu beberapa minggu sampai
beberapa tahun (Freeman, 1973; Noble dan Noble, 1982; Soulsby, 1982). Menurut Brown (1975) di dalam inang antara, stadium larva Cestoda akan berkembang setelah telurnya termakan. Inang sejati akan mengandung cacing dewasa, bilamana makan daging yang mengandung larva di dalam kista. Kebanyakan Cestoda memilih spesies khusus untuk inang antara dan inang sejatinya, misalnya inang sejati untuk Taenia solium adalah manusia, dan inang antaranya adalah
babi. Tetapi telur Taeniu solium, bila kebetulan termakan oleh manusia, dapat tumbuh menjadi larva Cysricercur cellulosoe. Sementara itu, manusia merupakan inang antara untuk Echinococrus grunulosus, sedangkan anjing dan hewan sejenisnya merupakan inang sejatinya (Brown. 1975; Cheng. 1986). Freeman (1973) yang mengamati ontogeni Cestoda secara teliti, mengemukakan bahwa perkembangan Cestoda sebenarnya lebih tergantung pada tempat dan tingkat persediaan makanan, daripada inang itu sendiri. Menurut Brown (1975) apabila pada proglottid Cestoda terdapat lubang uterus, telur mempunyai overculum, zat kuning telur banyak, pertumbuhan embrio terjadi setelah keluar dari inang, dan embrio yang matang mempunyai cilia. Sedangkan bila tidak ada lubang uterus, telurnya yang berdinding tipis tidak mempunyai overculum, zat kuning telur sedikit, dan pertumbuhan embrio terjadi di dalam uterus. Telur semacam ini , bila meninggalkan proglottid, mengandung onkosfer atau embrio hexacanth yang mempunyai 6 buah kait dan diliputi oleh lapisan dalam, atau embriofor dan lapisan kulit telur tipis di bagian luar yang sering lenyap. Ruangan tengah di antara membran ini di isi oleh zat cair, kadang-kadang mengandung butir-butir kuning telur. Pada TAENIIDAE, embriofor yang tebal dan berv
warna agak tengguli, mempunyai garis-garis radier. Selanjutnya dinyatakan bahwa telur yang berdinding tebal sangat resisten terhadap panas dan kering, dan dapat hidup lama pada tanah atau tumbuh-tumbuhan yang dicemari dengan feses (Belding, 1958; Soulsby, 1975). Bila telur ini termakan oleh inang antara yang sesuai, karena rangsangan cairan pencemaan, onkosfer keluar dari embriofor yang pecah karena gerakannya sendiri. Dibantu oleh kait-kaitnya, larva akan menerobos ke dalam mukosa usus, masuk ke dalam sistem limfe dan saluran darah, dan
karena migrasi aktif atau
pasif, akan dapat masuk ke
jaringan tertentu untuk pertumbuhan larvanya. Daur hidupnya selesai dengan tertelannya larva oleh inang sejati. Larva yang dibebaskan oleh cairan pencernaan, menempelkan diri dengan scolexnya pada dinding usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa dengan mengadakan proliferasi proglottid (Faust dan Russel, 1964; Brown, 1975; Soulsby, 1982). Ada dua jenis utama larva cestoda: (1) padat, dan (2) gelembung atau vesikuler. Bentuk padat yang khas dilihat pada Diphyllobothrium latum. Larva yang berciiia, yaitu coracidium, menetas di dalam air, termakan oleh crustacea, inang antara pertama yang hidup di dalam air tawar. Di dalam rongga badan menjadi larva procercoid kecil, berbentuk kumparan padat, dengan invaginasi di kepala dan dengan bagian posterior yang bulat dan mengandung kait-kait embrio. Bila crustacea yang mengandung larva ini ini dimakan oleh inang antara kedua seperti ikan, procercoid dibebaskan di dalam usus ikan tersebut dan mencari jalan menuju ke otot, lalu tumbuh menjadi plerocercoid, suatu badan padat yang menyerupai cacing dan tidak mempunyai kait-kait (Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Noble dan Noble (1982) menambahkan bahwa dahulu, karena kesalahan identifikasi, metacestoda plerocercoid pernah dianggap sebagai cacing jenis lain yang disebut sparganum. Namun demikian sekaraig nama i tu masih tetap dipakai, dan infeksi plerocercoid
pada ikan atau hewan lain disebut sparganosis. Larva vesikuler yang khas, ditemukan pada cacing pita manusia. Setelah onkosfer bermigrasi ke jaringan-jaringan inang antara, sel-sel di bagian tengah mencair, membentuk badan bulat dengan lapisan perifer terdiri dari sel proliferasi yang mengelilingi bahan cair. Ada dua jenis larva vesikuler: sistiserkoid dan sistiserkus atau larva gelembung sejati. Sistiserkoid mempunyai bagian posterior yang padat dan gelembung yang pertumbuhannya tidak sempurna dan yang biasanya telah
mengalami reabsorbsi atau telah dilepaskan (contohnya pada Dyphilidium caninwn). Sistiserkus yang sederhana terbentuk oleh akibat pembesaran rongga tengah, invaginasi pada dinding proliferatif, dan pembentu kan scolex pada ujung bagian yang telah mengalami invaginasi (contohnya pada Taeniu solium). Bila membran germinativa membentuk kista sekunder atau gelembung perindukan, yang membentuk scolex banyak sekali, bentuk larva ini disebut echinococcus atau kista hidatid. Di dalam bentuk coenurus dan echinococcus, sebuah kista dengan pembiakan aseksual, dapat menghasilkan banyak keturunan yang masing-masing dapat menjadi cacing dewasa (Belding, 1958; Brown, 1975; Levine, 1978; Noble dan Noble, 1982; Soulsby, 1982). 2.1.4.
Patogenesitas
Kerugian yang ditimbulkan oleh cacing dewasa berlainan pada berbagai spesies. Ukuran dan jumlah cacing menentukan efek sistemik dan luasnya iritasi pada usus. Tempat perlekatan scolex merupakan jalan untuk invasi bakteri dan adanya strobila dapat menimbulkan obstruksi usus yang bersifat sementara. Bermacammacam gejala gastrointestinal dan gejala saraf yang tidak nyata dapat ditimbulkan. Berkurangnya gairah hidug dan anemi telah dihubungkan dengan infeksi cacing pita, tetapi biasanya gejala nyata tidak ada. Gejala-gejda dianggap bertalian dengan hasil metabolisme cacing yang toksik, iritasi mekanik, pengambilan makanan inang dan dengan absorbsi zat protein, vitamin, dan mungkin juga hormon-hormon dari mukosa usus. Sebaliknya, stadium larva pada manusia dapat menimbulkan keadaan yang gawat. Sistiserkus Taeniu solium di dalam otak, dapat menyebabkan gejala nyata. Ki sta hidatida (Echinococcus)meni mbul kan gejala tumor dan karena sukar di keluarkan seluruhnya, dapat menyebabkan kematian (Belding, 1958; Brown, 1 975).
2.1.5. Diagnosis
Walaupun Cestoda hidup di dalam usus, diagnosisnya tidak sama dengan Nematoda dan Trematoda usus. Pada Nematoda dan Trematoda, adanya cacing selalu dapat dideteksi dengan ditemukannya telur dalam feses penderita, sedangkan infeksi Cestoda, tidak selalu dapat didagnosa berdasarkan cara ini. Pada penderita Cestoda. khususnya taenia, jarang ditemukan adanya telur dalam feses, namun semua penderita hampir setiap hari mengeluarkan proglottid gravid yang keluar
secara aktif atau pasif bersama feses (Powlowski dan Schultz, 1972). Kosin (1990) melaporkan bahwa teknik diagnostik taeniasis dengan cara anamnesa justeru memberikan hasil yang baik. Dengan cara pemeriksaan ini diperoleh hasil 9.5 - 20% positif, sementara dengan cara pemeriksaan feses hanya 2% yang positif. Walaupun diagnosa infeksi taenia dapat ditegakkan dengan menemukan telur cacing pita, spesies cacing tidak dapat ditentukan, sebab telur Taenia solium dan Taeniu saginata tidak dapat dibedakan. Sejak cacing pita Taenia solium (Linnaeus, 1758) dan Taenia saginata (Goeze, 1782) ditemukan, diagnosis spesies kedua cacing pita manusia ini, didasarkan atas morfologi scolex dan proglottid gravid. Rostellum yang berkait-kait dari Taenia solium membedakannya dari Taenia saginaI ta. Sedangkan jumlah cabang lateral uterus yang terdapat pada proglottid gravid Taenia solium lebi h sedi ki t dibanding Taenia saginata (Noble dan Noble, 1982;
Soulsby, 1982; Botero, 1989). Diagnosa pasti sistiserkosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik dari bahan biopsi. Pemeriksaan Rontgen juga dapat digunakan, jika kista sistiserkus
sudah mengalami kalsifikasi (Kosin, 1990; Chotmongkol, 1993). Computerized tomographic scan (CT scan) dapat pula dipakai untuk diagnosis sistiserkosis pada
manusia (Kosin, 1990; Kaminsky, 1991; Chotmongkol, 1993). Jika pengambilan
foto baik, scolex dapat terlihat. Pathak dan Gaur ( 1985) melaporkan bahwa perubahan aktivitas enzim pada serum babi, juga dapat dipakai sebagai indikator adanya in feksi metacestoda Taenia solium.
Pemeriksaan serologi juga cukup menarik. terutama dalam hal mendukung 6
diagnosis klinis neuro-sistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah dicobakan untuk mendeteksi adanya kista tersebut adalah: indirect huemaglutination tesr (IHA) dan double dimsion agar; immunoelectrophoresis (IEP); enzymelinked imrnunosorbenc assay (ELISA) dan radioimmuno assay (RIA) (Morakote et
al., 1986: Liu, 1992; Liu et a[., 1992; Pathak dan Gaur, 1992). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (Knobloch dan Delgado, 1985; Morakote et al., 1986; 1992: Gottstein et al. , 1987; Choromanski er ul., 1990; Cho et ul., 1992; Diaz et ul., 1992; Yong et al., 1993). Teknik ini umumnya memberi hasil yang baik (Rhoad et al., 1985; Gottstein et al., 1987; Hayunga dan Summer, 1991; Hayunga et ul., 1991a; Cho et al., 1992; Voler, 1993). Bahkan dewasaini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari hasil pemeriksaan serologis (Coker-Vann et al., 1984; Zoli et ul.. 1987; Camacho et al., 1990; 1991; Sasha dan Pammentar, 1991; Chomel et (11.. 1993; Hughes et al. , 1993). Namun demikian, bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna. Sampai sekarang, yang menjadi kendala utama dalam uji serologis adalah adanya reaksi silang (Kong et al., 1989; Cheng dan KO, 1991). Sebagai ilustrasi dapat dilaporkan disini bahwa antara kista hydatida, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. masing-masing menunjukkan reaksi silang dengan anti-
antibodi kista. Tetapi, dengan cara pernumian antigen, diketahui bahwa suatu antigen, yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologis yang baik.
Penggunaan Ag ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang (Pammenter dan Rossou, 1987; Olivo et al., 1988; Laclette et ul., 1990; Cheng dan KO, 1992). Dari hasil penelitian Cheng dan KO (1991) disimpulkan bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Sementara itu Morakote et a!. (1992) yang membandingkan ekstrak kista, cairan kista dm ektrak cacing pita sebagai antigen untuk uji ELISA terhadap penderita neuro-sistiserkosis, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil yang paling baik (sensitifitas 81,25%). Uji serologis lain, yang merupakan modifikasi ELISA, yang juga digunakan untuk mendeteksi adanya cacing pita atau sistiserkusnya, terutama pada manusia adalah: uji hambatan ELISA dengan menggunakan monoklonal antibodi (Yong er al., 1993); Dot ELISA (Telez-Giron, 1987; Chormanski et al., 1990); 'Dipstick' immunoassay (Hayunga dan Summer I99 1; Hayunga at al., 1991a; 1991b); deteksi coproantigen dengan menggunakan polyclonal dan Dipstick dot ELISA (Allen et al., 1990; 1992; 1993; Deplazes, 1991). Menurut Liu et al. (1992) dengan mengguna-
kan monoklonal antibodi yang sangat spesifik, akan mampu menurunkan reaksi silang, sehingga positif palsu dapat dihindarkan. Sementara itu hasil yang memuaskan, dengan teknik Western blot, yaitu enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), juga dilaporkan oleh beberapa peneliti (Cho et al., 1987; Tsang er ul., 1989; Wilson el al., 1991; Xu dan Liu, 1992).
Pathak et al. (1994) telah mem-
bandingkan teknik EITB dengan ELISA. Dua puluh serum babi yang dikonfirmasikan positif sistiserkus, diperiksa dengan menggunakan kedua metode ini. Ternyata EITB memberi hasil 90% sensitif dan 100% spesifik, tanpa ada reaksi silang. Sedangkan dengan ELISA, 70% sensitif, 73% spesifik, dan disertai reaksi silang dengan Echinococcus granulosus (Pathak et al., 1994).
2.1.6. Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan Cestoda terutama ditujukan pada cacing pita manusia.
Pada
hakekatnya semua pengobatan pada Cestoda addah sama. Untuk mencapai penyembuhan yang sempuma, scolexnya harus dikeluarkan. Dewasa ini, obat-obatan yang banyak digunakan untuk infeksi cacing pita pada manusia dan untuk sistiserkusnya adalah praziquantel (Gallie dan Sewell, 1983; Camacho et al., 1991; Hayunga et al., 1991b; Lin dan Fan, 1991; Bartolomei et ul., 1992). Disamping praziquantel, albendazol juga cukup efektif (Cohen et al., 1992; Takayanagui dan Jardim, 1992; Chotmongkol , 1993). Takayanagui dan Jardim ( 1992) melakukan studi prospektif terhadap 59 penderita neuro-sistiserkosis di Sao Paulo, Brazil. Penderita tadi diobati dengan albendazole (20 mglkg berat badan selama 21 hari) dan praziquantel (50 mglkg berat badan selama 21 hari). Kedua obat ini ternyata menunjukkan hasil yang efektif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, yaitu penderita neurosistiserkosis yang hanya diberi pengobatan simptornatis. Kendatipun dernikian, hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa albendazole, secara nyata lebih efektif dibandingkan dengan praziquantel dalam h d menurunkan jumlah kista (Takayanagui P
dan Jardim, 1992).
Menurut Chotmongkol ( 1993) pengobatan cerebral neuro-
sistiserkosis dengan albendazole selama dua minggu, memberikan hasil yang sangat memuaskan. Sementara i t u ~ u ~ett aal. (1992) melaporkan bahwa secara eksperimental metyl benzimidazol carbamate, yai tu suatu antelmintik berspektrurn luas, cukup efektif dipakai membunuh Cysticercus fasciolaris pada tikus, dan mampu menghambat berkembangnya sistiserkoid Hymenolepis nana pada kumbang.
2.2. Taenia solium
Taeniasis ialah penyakit infeksi oleh cacing pita yang tergolong dalam genus taenia pada manusia. Infeksi oleh Taeniu solium yang disebut sebagai Taeniasis solium atau infeksi cacing pita daging babi. dikenal dalam dua bentuk. Bentuk pertama, yaitu infeksi oleh cacing pita dewasa, berparasit pada usus manusia; dan yang kedua adalah infeksi oleh bentuk larva Taeniu solium (Cysticercus cellulosae). Bentuk yang kedua, bisa berparasit pada babi atau pada manusia dan disebut sebagai sistiserkosis atau larva taeniasis. Cacing pita pada daging babi ini, telah diketahui sejak Hippocrates (Foster, 1965). meskipun pada waktu itu, belum dapat dibedakan dengan cacing pita pada daging sapi. Aristophane dan Aristoteles, telah melukiskan stadium larva atau Qsticercus cellulosae pada lidah babi hutan. Kuchenmeister pada tahun 1855 dan Leukart pada tahun 1856, adalah sarjana-sarjana yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut. dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi. adalah stadium larva cacing Taenia solium (Viljoen, 1937: Foster, 1965). Schantz (1 994) menyatakan bahwa taeniasis dan sistiserkosis yang disebabkan oleh Tuenia solium, merupakan suatu penyakit zoonosis yang Jdasik. Sementara, Herbert dan Oberg (1973) menyebutkan bahwa infeksi cacing ini, sebagai suatu obligurop cy~'1ozoonosis.Disebut demikian, karena untuk kelangsungan hidup parasit tersebut, ternyata mutlak memerlukan manusia sebagai inang . Telah lama diketahui. bahwa penyakit ini endemis di beberapa negara seperti Amerika Latin, Asia dan Afrika (Urquhart et al., 1987: Sewell dan Brocklesby, 1990; Schantz, 1994). Menurut Schantz (1994), di Amerika, kasus ini sekarang mulai berkembang. Zoonosis parasit ini, menjadi lebih menarik, tidak hanya karena dampak buruk yang ditimbulkannya pada manusia, tetapi juga akibat kerugian
ekonomi yang cukup serius, yang menimpa produksi ternak (Herbert dan Oberg, 1973). 2.2.1. Epidemiologi
Menurut Brown ( 1975) frekuensi infeksi Tueniu snlium pada manusia berbeda-beda dl dunia. Tueniu snlium adalah kosmopolit. akan tetapi tidak ditemukan di negara-negara Islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi, dan ditempat daging babi banyak disantap (Brown, 1975; Cheng, 1986: Urquhart et ul.. 1987). Brown (1975) juga menyatakan bahwa kebiasaan menghidangkan makanan dan adat-keagamaan yang berhubungan dengall daging babi, akan mempengaruhi ada tidaknya parasit ini. Menurut Noble dan Noble (1982) parasit ini biasa terdapat di Eropah, tetapi hanya sedikit di Amerika Serikat dan Inggris. Parasit tersebut paling banyak terdapat di Kenya, Etiopia dan Mexico. Manusia yang menjadi inang sejati cacing dewasa Taenia solium, juga bisa menjadi inang antara cacing ini (Lawson dan Gemmel, 1983; Cheng, 1986; Flisser, 1991). Menurut Brown ( 1975) kira-kira 25 % dari penderita sistiserkosis, menceritakan pernah menganduig cacing dewasa pada suatu waktu. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa sistiserkosis pada manusia, mungkin lebih sering terjadi daripada yang diperlihatkan oleh angka frekuensi yang dilaporkan. Penyakit ini berhubungan dengan lingkungan yang tidak sehat dan kebersihan perseorangan yang kurang (Brown, 1975). Menurut Vijayan et al. (1977) sistiserkosis pada manusia tetap menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. Di Amerika Latin sendiri, diperkirakan hampir setengah juta penduduk yang terinfeksi,
baik dalam bentuk neuro-sistiserkosis maupun ocular-sistiserkosis (Urquhart et al., 1987). Sementara itu, Flisser (1991) dan Schantz (1994) melaporkan bahwa kasus ini, sekarang mulai berkembang di negara-negara yang telah maju. Biasanya kejadian kasus tersebut di negara-negara maju, dihubungkan dengan imigran yang &tang dari negara-negara dimana infeksi ini endemis. Kasus ini dilaporkan terjadi di Mexico (Vijayan et al., 1977; Escobar, 1978; Camacho et al., 1990; 1991), India (Ahuja er ul., 1978; Kapoor, 1978), Chili (Torrealba et al.. 1984), Peru (Diaz et al., 1992)- Sao Paolo, Brasilia (Takayanagui dan Jardim. 1992). Kasus taeniasis - sistiserkosis ini. dilaporkan menjadi masalah kesehatan yang serius di Honduras (Kaminsky, 1991 ). Isidro-Lloren et ul. (1993) melaporkan telah menemukan kasus spinalsistiserkosis di Spanyol. Sementara itu, di negara-negara maju lainnya, kejadian ini juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Bills dan Simon (1992) melaporkan adanya penderita neuro-sistiserkosis di London. Bartolomei er al. (1992) dan Cohen et al. (1992) melaporkan kasus serupa terjadi di Prancis, dan Dalsgaard Hansen et al. (1992) melaporkan menemukan seorang wanita Denmark yang menderita neurosistiserkosis. Di Amerika, kasus ini dilaporkan terjadi di New York (tatovitzki et I
ul., 1978). Texas (Bandres et ul., 1992), California (Ginier dan Poirier, 1992). Los Angeles (Sorvillo et al., 1992) dan Massachusetts (Kruskal et al., 1993). Di Indonesia, kasus taeniasis - sistiserkosis ditemukan pada penduduk di daerah-daerah Bali, Irian Jaya, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan daerah-daerah transmigrasi asal Bali di kabupaten Larnpung Tengah (Kosin et al., 1972; Tumada dan Margono, 1973; Simanjuntak et al., 1977: Giri, 1978; Subianto et al., 1978: Tjahjadi et al., 1978; Koesharjono et al., 1987). Bali dikenal sebagai daerah endemis untuk taeniasis sejak bertahun-
b h u n . Simanjuntak ef al. (1 977) dan Rasidi et u1.(198 1 ) melaporkan prevalensi
taeniasis bervariasi antara 0,8 - 3,396 di seluruh Bali. Prevalensi taeniasis di desa Trunyan, Sukawati dan Padangsambian, Propinsi Bali dilaporkan oleh Simanjuntak et al. (1977) sebesar 2,2 %. Di Kecamatan Abiansemal, dari 6 desa yang di survei
oleh Widjana dan Kapti (1 983), didapatkan angka prevalensi rat.-rata 2.0%. Pada survei yang dilakukan oleh Subdit. Zoonosis di Kecamatan Sirnanindo, Kabupaten Tapanuli Utara, diantara 94 spesimen feses yang diperiksa, ditemukan 11,7% mengandung telur Taenia sp.. sedangkan di Enarotoli, Irian Jaya, diantara 170 spesimen feses yang diperiksa, diperoleh 9% mengandung telur lknia sp. (Tbmada dan Margono, 1973). Sementara itu, prevalensi sistiserkosis pada babi, yang di beberapa negara mencapai 25 % , adalah paling tinggi dimana sanitasi tidak ada dan dimana pembuangan tinja dilakukan menurut cara-cara yang salah (Brown, 1975). Menurut Stevenson et al. (1980) sistiserkus Taeniu solium ditemukan pada babi-babi peliharaan di
Kenya. Acha dan Szyfres (1980) melaporkan bahwa di Brasilia, dimana terhitung lebih dari 65% dari total populasi babi di Amerika Latin. 0.83% dari 12 juta babi ty
yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) selama periode tiga tahun, 1970 1972, ditemu kan teri nfeksi Cysticercus cellulosue. Angka yang mirip telah ditemukan pula di Mexico dan di beberapa negara Amerika Selatan, seperti Chili dan Columbia. Di Ameri ka Tengah, tingkat infeksinya bervariasi mulai dari 1,4 % (Panama). 2.6 % (Honduras) sampai 4.8 % (Guatemala) (Acha dan Szyfres, 1980). Dari hasil penelitian Zoli et al. (1987) diketahui bahwa daerah Menoua sebagai pusat
sistiserkus di Cameron Barat. dengan ditemukannya 19.9 % Cysticercus cellulosae pada pemeriksaan daging post-mortum dari sekitar 600 ekor babi. Sementara itu, di
India yaitu di beberapa distrik di Uttar Pradesh Barat dan Tengah, ditemukan kasus
Cysticercu.v cellulosue pada babi . Hasil peneli tian yang dilaporkan oleh Wma clan Ahluwalia ( 1989) ini, sesuai dengan peneli ti-peneliti sebelumnya, yang menyatakan bahwa insiden kasus ini pada babi di daerah tersebut mencapai 2,85
- 10.34%.
Sarti-G cr a/ ( 1992) melaporkan bahwa infeksi sistiserkus Taenia solium pada babi di wilayah Michoaacan State, Mexico cukup tinggi. Dari penelitiannya dengan hanya memeriksa lidah babi secara inspeksi visual, diperoleh adanya kasus sistiserkus sebanyak 6% dari 2 16 ekor babi yang diteliti. Sistiserkosis pada babi juga dilaporkan terjadi di Indonesia. Dari laporan survei sistiserkosis tahun 1979 / 1980, yang dilakukan di lima buah RPH contoh di Indonesia. ternyata dua RPH menyatakan pernah menemukan kasus sistiserkosis (Dirjen Peternakan, 1980a). Kelima RPH contoh yang diamati pada survei ini adalah RPH Jakarta Barat, RPH Jakarta Timur, RPH Bandung, RPH Semarang dan RPH Surabaya. Sedangkan dua RPH yang menyatakan pernah menemukan kasus sistiserkosis pada pemeriksaan kesehatan daging sehari-hari dan sampai survei tersebut dikerjakan, adalah RPH Jakarta Barat dan RPH Surabaya. Babi-babi yang dilaPP
porkan positif terinfeksi sistiserkus tersebut, terbanyak berasal dari Bali. Menurut Warudju ( 1988) kejadian sistiserkosis pada babi di tahun 1970-an, hampir merata ditemukan diseluruh kabupaten di Bali. Gunawan et al. (1984) melaporkan prevalensi sistiserkus Taenia solium pada babi di Bali adalah 0,06%. Sementara itu, dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dharmawan et al. (1992). diketahui bahwa kasus tersebut masih tetap ditemukan pada babi di Bali. n j u h ekor dari 5630 ekor babi yang diperiksa di RPH Denpasar, ditemukan terinfeksi berat oleh Cysticercus
2.2.2. Morfologi
Anggota genus Taenia merupakan acing-acing yang besar.
Cacing pita
daging babi dewasa hidup di dalam usus kecil manusia, panjangnya berkisar antara 2 sampai 7 meter, dan mempunyai scolex dengan sebuah rostellum yang membulat. Bangunan ini dilengkapi dengan kait-kait besar bergan tian dengan kai t- kait kecil , sehingga memtyri kesan seperti cincin ganda. Terdapat empat batil isap bulat dan menonjol (Noble dan Noble, 1982). Menurut Brown (1975) cacing dewasa Tucniu
soliwn mempunyai ukuran panjang 2 sampai 4 meter (kadang-kadang 8 meter), dan bila telah selesai tumbuh, mempunyai 800 sampai 1000 segmen. menyebutkan bahwa cacing dewasa ini, ~nempunyai ukuran 180
Cheng (1986)
-
300 cm, yang
terdiri dari 800 sampai 900 segmen. Scolexnya bulat kecil, dengan ukuran diameter kira-kira 1 mm, diperlengkapi dengan empat batil isap yang berbentuk mangkok dan rostellulii yang berbantal rendah dan mahkota dengan dua baris kait-kait, yang berjumlah 25 sampai 30 buah (Brown, 1975). Sementara Levine (1978) nienyebut-
kan bahwa jumlah kait dalam dua baris yang terdapat pada rostellum acing 7heniu soliwn adalah 22
- 32 buah.
Selanjutnya dinyatakan bahwa kait besar (dalam satu
baris) mempunyai panjang 140 - 180 mikron dan yang kecil (dalam baris yang lain) panjangnya 110 - 140 mikron. Proglottid lnatur bentuknya persegi tidak sempirrna dengan lubang kelamin yang unilateral atau alternatif tidak teratur pada segmensegmen berikutnya. Ovarium yang berlobus tiga terdiri dari dua lobus lateral dan satu lobus kecil (Belding, 1958; Brown, 1975). Sedangkan proglottid yang gravid, menurut Levine (1978) dan Soulsby (1982), dinyatakan mempunyai ukuran panjang 10 - 12 X 5
- 6 mm,
dan uterusnya mempunyai cabang pada masing-masing sisi.
Taenia soliurn dapat dibedakan dari Taeniu saginutu karena uterus gravidnya yang
mempunyai 7 sampai 12 cabang lateral yang tebal pada tiap sisi dari batang utama uterus (Brown, 1975; Botero, 1989). Menurut Soulsby (1982) sebuah proglottid gravid dari Tacnia soliwn, tidak bisa keluar secara spontan, melainkan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk rantai. Levine (1978) menyebutkan bahwa setiap satu proglottid gravid, mengandung sekitar 40.000 telur. Telur cacing Taenia soIiw77 ini,
-
berbentuk bulat dengan dinding yang tebal, mempunyai diameter antara 26 34 pm (Soulsby, 1982). Sedangkan Noble dan Noble (1982) melaporkan bahwa rata-rata diameter telur Tacnia solium adalah 38 pm. Brown (1979) menainbahkan bahwa telur yang matur ini, tidak dapat dibedakan dengan telur Tueniu .su,qinuru. Telur cacing ini inengandung e~nbriohexacanth dengan enam buah kait-kait yang dikelilingi oleh kulit telur yang tebal dan bergaris radier berbentuk bulat atau agak bulat dengan ukuran diameter 30 sampai 40 mikron (Brown, 1975; Soulsby, 1982). Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa telur cacing Taenia soliurn berisi embrio yang khas, dengan tiga pasang kait. Stadium larva dari cacing TUeniu soliunl adalah m i c e r c u s c~llulo.sue. Masyarakat di Bali ~nengenal sistiserkus ini dengan nama "beberasan", karena bentulcnya seperti biji beras. Ukuran sistiserkus ini bervariasi, sesuai dengan tingkat perkembangannya (Wilson, 1980). Sistiserkus matang, yang dikenal sebagai c)l.sticereus ccllulosae tersebut, merupakan kista bujur yang jernih, berukuran 10 X 5 mm, dengan scolex keruh yang menonjol ke dalam, diperlengkapi dengan empat batil isap dan kait-kait (Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Menurut Levine, (1978) dan Soulsby (1982) Cysrcercw cellulosue mencapai perkembangan penuh atau matang setelah berukuran 20 X 10 mm, dan menjadi infektif setelah berumur 9
- 10 minggu.
Selanjutnya Belding (1958) dan Brown (1975) menyatakan bahwa
kista yang berbentuk bujur ini, mempunyai ukuran diameter kin-kira 5 mm, tetapi di
dalam otak. kista mungkin akan tumbuh menjadi lebih besar dengan ukuran diameter sampai beberapa centimeter.
2.2.3. Fiiologi Caci ng pita daging babi. diberi nama soliwn, karena biasanya hanya ditemukan cacing tunggal pada satu inang (Levine, 1978). Tempat hidup cacing dewasa Taenia solium adalah pada bagian proksimal jejunum (Belding, 1958; Brown, 1975; Soulsby, 1982). Sedangkan sistiserkusnya, yang di kenal sebagai Cysticercus cellulo-
sue, ditemukan pada otot babi, anjing dan kadang-kadang manusia (Levine, 1978). Menurut Brown (1975); Levine (1978) dan Soulsby (1982), cacing pita yang memperoleh makanannya dari isi usus inang ini, mempunyai jangka waktu hidup yang lama. yaitu sarnpai 25 tahun. Proglottid-proglottid gravid pada ujung strobila yang bergerak-gerak, sewaktu-waktu dapat melepaskan diri dari strobila dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen (Brown, 1975). Herbert dan Oberg ( 1973) dan Soulsby ( 1982) menyatakan bahwa proglottid cacing Taenia solium, tidaklah seperti proglottid Taenia saginatu, yang dapat keluar dengan sendirinya secara spontan. Bila proglottid gravid cacing Taenia soliurn pecah, yang bisa r
terjadi sebel um atau setelah meni nggalkan inang , ia akan mengeluarkan kira-kira
30.000s a m p 50.000telur (Brown, 1975). Menurut Noble dan Noble (1982) stadium larva cacing Taenia solium, merupakan salah satu dari beberapa tipe cacing gelembung pada babi. Larva-larva itu juga pernah dilaporkan terdapat pada mamalia piaraan lainnya. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa jumlah sistiserkus yang menginfeksi i nang , kadang-kadang demikian ban yak. sehingga menempati lebih dari separoh volume sepotong daging. Daging babi yang penuh dengan parasit seperti inilah, kemudian dinarnakan measly
pork (Noble dan Noble, 1982). Cacing gelembung ini umumnya berada di dalam
jaringan ikat otot serat lintang. tetapi kadang-kadang terdapat di semua organ atau jaringan tubuh (Brown, 1975; Levine, 1978; Noble dan Noble, 1982). Sementara itu, sistiserkus pada manusia, berturut-turut dengan frekuensi semakin menurun dapat ditemukan pada otak besar, selaput otak, otot skelet, otak kecil, dan jantung (Noble dan Noble, 1982). Slais (1973) menyebutkan bahwa Cysticercus cellulosae memperoleh makanan dari inang, lewat tegumen dan mikrotrich yang ada pada gelembung kista tersebut. Sedangkan Noble dan Noble menambahkan bahwa cairan yang ada di dalam gelembung sistiserkosis, sebagian besar adalah terdiri dari plasma darah inang. Voge (1967) menyatakan bahwa sel-sel kutikula dan subkutikula dari sistiserkus, mengandung asam, alkalin fosfatase dan lemak. Sel-sel subkutikula juga dilaporkan mengandung glikogen dan esterase yang tidak spesifik (Voge, 1x7). 2.2.4. Daur hidup
Manusia adalah inang sejati tunggal, dan sayang sekali, manusia juga merupakan inang untuk kistanya. Babi adalah inang antara yang biasanya mengandung sistiserkus. sedangkan kambing, rusa, anjing dan kucing serta manusia dan kera, I
juga dilaporkan dapat terinfeksi oleh kista ini (Brown, 1975; Botero, 1979). Telur Taeniu solium yang dikeluarkan oleh inang sejati, bila dimakan bersama-sama
dengan makanan atau air oleh inang antara yang sesuai, akan berkembang lebih lanjut menjadi sistiserkus pada tubuh inang antara tersebut (Brown, 1975). Brown (1975) selanjutnya menyatakan bahwa embrio hexacanth akan keluar dari kulit telur, lalu menembus dinding usus inang antara, dan masuk ke pembuiuh limfe atau darah, untuk kernudian dibawa keseluruh tubuh. Menurut Noble dan Noble (1982) di dalam berbagai organ, terutama otot, larva tersebut akan meninggalkan pembuluh
darah dan berkembang menjadi sistiserkus atau cacing gelembung. Brown (1975) menyatakan bahwa otot-otot lidah. masseter, mukosa, diafragma dan jantung, adalah yang terutama dihinggapi kista ini, tetapi hati, ginjal, pant-paru; otak dan mata juga dapat dihinggapi. Dari hasil penelitian sistiserkosis yang dilaporkan oleh Slais tahun 1967, seperti dikutip Noble dan Noble (1982), diketahui bahwa lokasi kista tersebut, sesungguhnya berada di dalam kapiler-kapiler limfe otot. Manusia memperoleh cacing dewasa, setelah makan daging babi mentah atau setengah matang yang terinfeksi (Herbert dan Oberg, 1974; Sewell dan Brocklesby, 1990; Flisser, 1991; Schantz, 1994). Menurut Brown (1975) dan Noble clan Noble (1982), bila daging babi yang mengandung parasit tadi dimakan oleh manusia, kista tersebut akan dilarutkan oleh cairan pencernaan inang, dan scolex yang menonjol, keluar melekatkan diri pada mukosa jejunum (evaginasi). Kemudian dengan kaitkait dan batil isap yang dimilikinya, akan melekatkan diri pada dinding usus dan akhirnya tumbuh menjadi cacing dewasa, dalam waktu beberapa bulan. Menurut Cheng (1986) cacing ini akan berkembang menjadi dewasa sekitar dua sampai tiga bulan. Sementara itu, Flisser ( 1991) menyatakan bahwa kira-kira tiga bulan setelah mengkonsumsi kista. proilottid gravid akan mulai tampak pada feses penderita. Manusia dapat terinfeksi oleh sistiserkus, melalui dua jalan (Herbert dan Oberg, 1974; Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Mereka dapat terinfeksi secara langsung, rnelalui makanan atau minuman yang terkontaminasi (elur Taenia solium; dan dapat pula melalui autoinfeksi, yaitu yang langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari penderita Taeniasis solium, atau autoinfeksi internal karena muntahan telur dalam lambung, akibat adanya antiperistaltik (Herbert dan Oberg, 1974; Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982).
2.2.5.
Patogenesa dan Gejala Klinis Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak patognomonis.
beberapa kasus, gejala klinis taeniasis
-
Pada
sistiserkosis pada manusia mungkin tidak
tampak sampai beberapa tahun sesudah infeksi, bahkan kadang-kadang tidak tainpak sama sekali (Noble dan Noble, 1982). Cacing dewasa Taenia solium yang menginfeksi manusia, biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, mungkin berupa gangguan pencemaan yang ringan dan menahun, seperti nafsu makan tidak tetap, sakit kepala, sakit perut yang tidak nyata, diare dan konstipasi bergantian, dan gizi yang tidak baik (Faust dan Russel, 1964; Brown, 1975). Pada anak dan orang yang lemah, gejala-gejala ini mungkin lebih nyata dan dapat disertai kelelahan, kelemahan, anemi dan gangguan-gangguan saraf (Belding, 1958; Brown, 1975). Menurut Brown (1975) infeksi cacing ini, juga bisa menyebabkan peradangan mukosa usus setempat yang ringan, sebagai akibat iritasi mekanik oleh strobila dan perlekatan scolex. Darah tepi dapat menunjukkan eosinotilia (Keane, 1980; Sutisna, 1990). Gejala klinis yang lebih berat dapat timbul, apabila scolex cacing yang mempunyai kait-kait menerobos dinding usus dan menyebabkan perforasi dengan peritonitis sekunder, dan adanya infeksi kandung empedu. Akan tetapi ha1 tersebut, sangat jarang terjadi (Brown, 1975). Kerusakan-kerusakan yang berat, yang sering diderita dan timbulnya gejala klinis yang lebih berarti, disebabkan oleh infeksi sistiserkus (Belding, 1958; Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Sistiserkus yang seringkali multipel bahkan jumlahnya sampai beribu-ribu, dapat tumbuh di dalam jaringan atau organ tubuh manusia. Kista yang sedang tumbuh menimbulkan reaksi peradangan terhadap benda asing
yang mengakibatkan terbentuknya kapsul fibrosis (Brown, 1975).
Selanjutnya
Brown (1975) menyatakan bahwa manifestasi berat dari penyakit ini, terjadi pada sistiserkosis otak. Sistiserkus mungkin terdapat pada cortexcerebri, selaput otak, ventrikel, dan kadang-kadang di ddam substansi otak. Pada kasus ini akan terlihat edema dan tekanan otak, tetapi masih ada toleransi yang relatif, bila parasit masih hidup.
Pembentukan kapsul adalah akibat dari proliferasi neuroglia dan sel-sel
jaringan granulasi dengan perubahan vesikular. Neuroganglion dan sel saraf menunjukkan perubahan karena tekanan atau toksin, kemudian parasit ini mungkin akan diserap atau diganti oleh jaringan ikat yang dapat menyebabkan tnanifestasi epilepsi pada stadium lebih lanjut (Belding, 1958; Subianto et al., 1978; Soulsby, 1982; Sewell dan Brocklesby, 1990). Senientara itu, penderita ocular-sistiserkosis, yai tu infeksi sistiserkus pada mata, yang biasanya terdapat pada retina atau di dalalii humor vitreum, akan merasakan tidak enak pada mata, cairan vitreum menjadi keruh, kadang-kadang retina mungkin terlepas, parasit dikelilingi oleh eksudat peradangan, dan iris meradang (Brown, 1975; Kapoor, 1978). Lebih lanjut dinyatakan bahwa penderita akan mengalami rasa sakit di dalaln mata, tanipak kilatan cahaya, bentuk-bentuk Besar dalam lapangan pandangan, dan penglihatan liienjadi kabur dan menghilang. Kematian parasit, dapat mengakibatkan iridocyclitis (Brown,
1975). Sistiserkosis pada babi, tidak menunjukkan gejala yang nyata. Apabila infeksinya cukup berat, dapat mengakibatkan gangguan terutama pada organ yang mengandung parasit.
Pernah dilaporkan adanya hipersensitifitas dari moncong,
kelumpuhan lidah atau kekejangan (Soulsby, 1982; Sewell dan Brocklesby, 1990).
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis Taeniasis solium, dilakukan dengan menemukan telur dan proglottidnya. Proglottid atau telur cacing ini, sering ditemukan di dalam tinja atau daerah perianal (Belding, 1958; Faust dan Russel, 1964). Diagosis spesies dibuat dengan identifikasi proglottid, karena telurnya tidak dapat dibedakan dengan telur Tm~niu saginata (Botero, 1989). Menurut Faust dan Russel (1964); Brown (1975); Botero (1989); Kosin (1990), pemeriksaan telur Taenia pada hapusan perianal, lebih peka dari pemeriksaan direct faecal smear, karena harus diingat bahwa pengeluaran telur cacing pita tidak terjadi secara kontinyu, tetapi berkala.
Proglottid gravid Taeniu
solium, dapat dibedakan dengan proglottid Taeniu suginufa, karena jumlah pasangan cabang lateral uterus cacing yang disebut lebih awal, ternyata lebih sedikit, yaitu 7 sampai 12 (Pawlowski dan Schultz, 1972; Brown, 1975; Botero, 1989). Diagnosis sistiserkosis pada manusia, dapat dilakukan dengan cara biopsi, pada otot yang menunjukkan kelainan; secara radiologis dengan pemeriksaan Rontgen; dan dengan menggunakan Computerized tomographic scan (CT scan) (Kosin, 1990; Kaminsky, 1991 ; Ehotmongkol, 1993). Disamping itu, dewasa ini, uji serologis dilaporkan memberikan hasil yang akurat untuk mendeteksi kasus sistiserkosis pada manusia.
Beberapa metode serologi yang telah dicobakan tersebut, telah
diutarakan di depan , pada tinjauan kepustakaan Cestoda secara umum.
Dian tara
beberapa metode yang ada, ternyata ELISA merupakan uji yang paling banyak diminati (Morakote er al., 1986; 1992; Gottstein er ul., 1987; Choromanski et ul., 1990; Cho et al., 1992; Diaz et al., 1992).
Untuk mendiagnosa sistiserkosis pada babi, yang paling baik adalah menemukan parasitnya. Teknik yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan visual (Urquhart et ul., 1987). Di beberapa negara, pemeriksaan visual sistiserkus pada otot babi,
umumnya dilakukan dengan pengamatan (inspeksi) secara teliti terhadap karkas dan organ-organ dalamnya. Pada pemeriksaan ini, biasanya dilakukan insisi pada otot yang dianggap sebagai predileksi sistiserkus. seperti otot masseter, otot lidah, otot anta. tulang rusuk, otot jantung dan otot diafragma (Collins, 1981; Urquhart, 1987). Sayangnya teknik diagnostik ini hanya dapat dilakukan dengan baik pada kondisi post-mortum. Mlaupun Sarti-G et al. (1992) dapat pula mendiagnosa adanya sistiserkus hanya lewat inspeksi visual pada permukaan ventral lidah babi, di suatu peternaka11di daerah Angahuan. Michoacan State. Mexico. Seperti halnya pada manusia, pada babipun kini telah dikembangkan teknikteknik mutakhir untuk diagnostik sistiserkus, yaitu dengan pemeriksaan serologis. Menurut Brandt et al. (1992); Pathak dan Gaur ( 1992) uji serologis yang dapat dilakukan pada kondisi ante-mortum ini, dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasi l eksperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, ihoads er al. (1992) melaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi. Teknik diagnostik lainnya, yang dapat digunakan untuk diagnose sistiserkosis pada babi. telah diperkenalkan oleh Pathak dan Gaur (1985), yaitu dengan pemeriksaan aktivitas enzim. Enzim-enzim tersebut, diantaranya adalah alanine aminotransferase, ornithine carbamyItransferase. sorbitol dehydrogenase, lactate dehydrogenase, alkaline phosphatase. Menurut Pathak dan Gaur (1985) kenaikan aktivitas beberapa enzim tersebut, yang diduga sebagai akibat kerusakan jaringan dan
kemungkitlan adanya nekrosis sel yang terjadi pada saat migrasi metacestoda, dapat dipakai untuk memperkuat diagnosa sistiserkosis. 2.2.7. Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan bertujuan untuk mengeluarkan cacing beserta scolexnya. Menurut Brown ( 1975) obat yang terbaik untuk infeksi Taenia solium adalah Quinacrine hydrochloride. Untuk mencegah terjadinya muntah bagi penderita dan kemungkinan masuk kembalinya telur atau proglottid ke dalam lambung, yang mengakibatkan sistiserkosis. maka harus diberikan prochlorperazine (Compazine) sebagai antiemetik sebelum pemberian quinacrine. Niclosamide dan paramomycin juga efektif untuk pengobatan Taenia solium, tetapi perlu diingat kemungkinan lepasnya proglottid dan keluarnya telur di dalam usus, dapat beresiko terjadinya sistiserkosis karena autoinfeksi. Praziquantel dan Albendazole, adalah obat-obat untuk taeniasis dan sistiserkosis, yang dewasa ini sering dipakai (Gallie dan Sewell, 1983; Camacho et a/., 1991: Bartolomei et al., 1992; Cohen et 01.. 1992; Chotmongkol, 1993). Menurut Brown (1975), usaha-usaha pemberantasan terhadap infeksi &nia solium terdiri dari: (1) pengobatan orang yang mengandung parasit; (2) sanitasi; (3) pemeriksaan daging bab;: (4) memasak dan mengolah daging babi sebaik-baiknya. Pengobatan segera bagi orang-orang yang menderita infeksi ini, tidak hanya mengurangi sumber infeksi, tetapi juga akan menghilangkan bahaya autoinfeksi dengan sistiserkus. Di daerah endemi. feses manusia tidak boleh dibuang ke tempat-tempat yang dapat dimasuki babi.
Pemeriksaan kesehatan daging babi yang rutin, dapat
mengurangi frekuensi infeksi pada manusia, di negeri-negeri di mana babi dimakan mentah atau setengah matang. Memasak daging babi sebaik-baiknya, adalah merupakan cara pencegahan yang paling efektif (Brown. 1975). Sistiserkus dapat
dimatikan dengan pemanasan pada suhu 45 - 5WC, tetapi daging babi harus dimasak paling sedikit selama setengah jam untuk tiap pound, atau sampai berwarna kelabu. Sistiserkus juga bisa dimatikan pada suhu -2"C, tetapi memerlukan waktu yang lama, karena sistiserkus tetap tahan pada suhu 0°C sampai -2OC, selaka hampir 2 bulan. Pada suhu kamar, ia tahan hidup selama 26 hari. Mendinginkan pada suhu -10°C selama 4 hari atau lebih, adalah cara efektif tetapi mahal. Mengasinkan dengan garam tidak selalu berhasil baik (Belding, 1958; Brown, 1975). 2.3. Taenia saginata
Penyakit yang diakibatkan oleh adanya infeksi cacing Taenia saginata pada orang, dikenal dengan nama taeniasis atau infeksi cacing pita daging sapi (Belding, 1958; Brown, 1975). Keberadaan cacing pita ini pada manusia, telah diketahui sejak zaman dulu (Belding, 1958; Pawlowski dan Schultz, 1972). Parasit ini telah dikenal sebagai suatu spesies tersendiri oleh Goeze pada tahun 1782 (Viljoen, 1937; Faust dan Russel, 1964, Foster, 1965). Hubungan antara cacing dewasa dengan cacing gelembung, yaitu stadium larva yang terdapat pa* sapi, telah dibuktikan oleh Leuckart tahun 1861, yang berhasil menginfeksi proglottid gravid pada pedet (Pawlowski dan Schultz, 1972). Delapan tahun kemudian Oliver mengadakan percobaan sebaliknya, yaitu menginfeksi manusia dengan sistiserkus dari sapi. Larva berbentuk gelembung yang ditemukan pada sapi ini, di kenal dengan nama Cysticercus bovis (Viljoen, 1937; Belding, 1958). Kendatipun terminologi " Cysticereus bovis" sampai saat ini telah umum digunakan, Pawlowski dan Schultz (1972) menyarankan memakai istilah " Cysticercus Taenia saginata" untuk " Cysticercus bovis", dengan alasan tidaklah
logis untuk memberi nama yang berbeda pada larva parasit yang bentuk dewasanya sudah rnempunyai nama khusus. Kemudian Pawlowski dan Schultz (1972). juga menyarankan menggunakan istilah "sistiserkosis Tueniu saginata" untuk kejadian "
i nfeksi C\.vticercusbovis" .
2.3.1. Epidemiologi Parasit ini kosmopolit di negera-negera dengan penduduknya yang makan daging sapi. Manusia akan terinfeksi, bila rnengkonsurnsi daging sapi mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus. Sementara itu, temak akan terinfeksi sistiserkus karena makan rumput yang terkontarninasi oleh feses penderita taeniasis, rnelalui feses sebagai pupuk, atau air yang mengandung feses (Brown, 1975). Data epidemiologi tentang kejadian taeniasis pada rnanusia (7henia saginata), yang dipublikasikan selama ini, dinilai belum cukup memadai oleh Pawlowski dan Schultz ( 1972). Hal ini disebabkan belurn adanya standarisisasi prosedur pemeriksaan laboratorik diantara peneliti. Disamping itu, urnurnnya data yang dilaporkan hanya mewakili beberapa bagian saja dari suatu populasi yang seharusnya diperiksa, misalnya laporan prevalensi hanya pada anak-anak atau kelompok umur tertentu saja, atau hanya berupa laporan kasus dari pasien yang di rawat di rumah sakit. Kesemuanya itu. dinilai sangat kecil rnemberikan gambaran objektif terhadap prevalensi sesunguhnya. Sementara itu, data kejadian sistiserkosis Taenia saginata, kebanyakan dipetik dari laporan-laporan pemeriksaan kesehatan daging. Padahal diketahui, tidak seluruh negara telah melakukan pemeriksaan yang intensif terhadap kesehatan daging.
Tinjauan terhadap beberapa prevalensi taeniasis yang dilaporkan oleh beberapa pakar dalam kurun waktu 1950-an - 1970, rnenunjukkan bahwa kejadaian tersebut
tersebar di seluruh dunia. Kasus-kasus itu dilaporkan terjadi di negara-negara, baik di Eropah. Amerika, Australia, maupun Afrika dan Asia (data lengkap tersaji pada Pawlowski dan Schultz, 1972). Wabah sistiserkosis Taeniu saginuta pernah dilaporkan terjadi pada peternakan sapi di Ontario pada tahun 1986. Dua ratus tiga puluh tiga dari 271 ekor sapi jantan, secara pemeriksaan histologis dinyatakan positif terinfeksi sistiserkus (Bundza ut ul., 1988). Diantaranya masih ditemukan sistiserkus yang hidup (8,2 %). Sebelumnya Bundza et al (1986) juga melaporkan bahwa 41 dari 99 tumor neoplasma pada sapi yang diperoleh di Rumah Potong Hewan Kanada, diduga akibat Cysticereus bovis. Sementara itu Geerts et al(1980) melaporkan bahwa dari 100 jantung sapi yang diambil secara acak di Rumah Potong Hewan Antwerpen, Belgia, 25 diantaranya mengandung sebuah atau lebih kista pada myocardium dan sedikitnya 9 dari 32 kista yang diperiksa adalah sistiserkus, yang diindentifikasi sebagai sistiserkus Tueniu suginatu. Menurut Pugh dan Chambers (1989) sebanyak 2,16 % dari 102.087 karkas sapi yang diperiksa di Propinsi Matabeleland, Zimbabwe, selama
kurun waktu 11 bulan, terinfeksi Qsticercus bovis. Ilsoe et 01. (1990) melaporkan bahwa belakangan ini, telah terjadi infeksi sistiserkosis yang berat $ads ternak sapi yang dipelihara di 14 peternakan di Denmark. Penelitian yang dilakukan selama periode 2 tahun ini, memperlihatkan adanya
38 ekor sapi yang harus diapkir dari rumah potong hewan, karena dagingnya terinfeksi Cysticereus bovis. Kejadian sistiserkosis pada ternak ini, juga dilaporkan oleh Hughes et ul. (1993) yang melakukan pengamatan massal di Swaziland dengan cara seroepidemiologi. Prevalensi infeksinya cukup tinggi, yaitu 28 % (n =600).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di tiga tempat pemotongan hewan dan 18 "feedlots" di Whington, Hancock et al. (1989) melaporkan pola distribusi kejadian
sistiserkosis pada sapi. Dari pola pen yebaran pen yakit tersebut, terlihat bahwa makanan ternak yang terkontaminasi feses manusia merupakan sumber infeksi. Secara rinci dilaporkan bahwa limbah pabrik kentang yang digunakan sebagai makanan ternak diketahui tercemar telur Tueniu suginutu (Hancock et al., 1989). Kejadian yang sama, yaitu tercemarnya limbah kentang yang digunakan sebagai pakan ternak oleh telur Taeniu suginata, juga dilaporkan terjadi di Idaho oleh Yoder
et al. (1 994). Yoder et a1 (1994) menemukan wabah sistiserkosis pada sebuah peternakan sapi di Idaho, yang mencapai prevalusi puncak 11% di bulan Januari 1993. Dari sebanyak 5 164 sapi yang disembelih - pada saat wabah berlangsung - di peternakan tersebut (Oktober 1992 - Januari 1993), diketahui 457 (9%) terinfeksi sistiserkus. Total kerugian yang diakibatkannya mencapai $ 154.400. Beberapa spesies burung, telah diduga ikut berperan dalam penyebaran sistiserkosis di New South Wales, yaitu dengan diketahuinya rumput tempat penggembalan ternak terkontaminasi telur Tuenia suginutu (Collins dan Pope, 1990). Namun Collins dan Pope (1990) juga menyarankan agar penelitian lebih lanjut tentang peran burung dalam penyebaran penyakit ini dimasa mendatang masih perlu diperbanyak lagi.
2.3.2. Morfologi
Y
Cacing dewasa Tuenia saginata lebih panjang bila dibandingkan dengan Taeniu solium (Belding, 1958; Brown, 1975; Botero, 1989). Cacing ini mempunyai ukuran panjang empat sampai 10 meter dan kadang-kadang lebih panjang. Soulsby (1982) melaporkan panjang cacing ini sampai 25 meter. Ia mempunyai 1000 sampai 2000 proglottid (Faust dan Russel, 1964; Pawlowski dan Schultz, 1972). Morfologi proglottid yang abnormal sering dijumpai (Pawlowski dan Schultz, 1972). Menurut
Belding (1958) dan Brown (1975) scolex yang pyriform dengan diameter 1 sampai 2 mm, mempunyai 4 sucker atau batil isap yang setengah bulat dan menonjol, tetapi tidak mempun yai rostellum atau kait-kait yang berbentuk sempurna. Sucker tersebut berukuran 0.7 - 0.8 mm (Faust dan Russel, 1964). Proglottid matang lebarnya kirakira 12 mm dan agak lebih pendek, mempunyai lobang kelamin lateral yang letaknya berselang-seling kanan dan kiri secara tidak teratur dan berbeda dengan proglottid
Taenia solium karena mempunyai jumlah testis yang dua kali lebih banyak dan ovarium yang berlobus dua (Belding, 1958; Brown, 1975). Proglottid gravid dengan ukuran 16-20 X 5-7 mm, dapat dibedakan dari proglottid gravid Taenia sulium karena cabang lateral uterus yang jumlahnya lebih banyak (15 sampai 30 tiap sisi) (Viljoen, 1937).
Menurut Silverman (1954) proglottid gravid Taenia saginuta
mengandung 50% telur matur, 40% telur imatur, dan 10% telur infertil. Selanjutnya dikatakan bahwa telur yang lnatur hanya akan ditemukan pada proglottid 30
- 50
bagian terminal. Sementara itu semakin ke distal atau ke bagian proksimal proglottid gravid, akan dijumpai telur-telur yang imatur (Silverman, 1954).
Menurut
Soulsby (1982) proglottid gravid cacing ini mengandung 80.000 telur.
Brown
(1975) juga menyatakan bahwa uterus gravid yang tidak mempunyai lubang uterus, P
mengandung kira-kira 100.000 telur. Menurut Pawlowski dan Schultz (1972) masing-masing telur akan terdiri dari sebuah dinding luar, membran korionik, embriofor, membran dasar embriofor dan dua membran onkosfer. Botero (1989) menyatakan bahwa telur dari semua spesies
Taenia, berbentuk bulat berukuran 30 - 40 mikron. Beberapa penulis, seperti diku'tip oleh Pawlowski dan Schultz (1972) menyatakan bahwa ada perbedaan morfologi
antara embriofor Tuenia saginata dengan Taeniu sulium, yang disebut lebih dulu
bentuknya lebih lonjong sedangkan yang belakangan lebih bulat.
Tetapi Brown
(1975) menyarakan bahwa telur Taenia saginata yang berwarna coklat kekuningkuningan itu, tidak dapat dibedakan dengan telur Taenia soliwn. Peneliti lainnya, yaitu Maplestone d& Miretski seperti dikutip Pawlowski dan Schultz (1972). juga menyatakan bahwa embriofor TUenia saginafa dan Taenia solium tidak dapat dibeda-
kan, baik dalam bentuk maupun ukurannya.
Menurut Brown ( 1975) embriofor
Taenia saginata yang bergaris radier dan mempunyai ukuran 30-40 X 20-30 mikron mengelilingi embrio hexacanth.
Selanjutnya dinyatakan bahwa di dalam uterus,
telurnya dikelilingi oleh lapisan membran di sebelah luar dengan dua filamen halus pada kutubnya yang segera lenyap setelah meninggalkan proglottid (Brown, 1975). Perkembangan sistiserkus Tmnia saginfa telah dipelajari oleh McIntosh dan Miller (1960) pada 34 ekor sapi yang diinfeksi. Pertama kali sistiserkus tersebut terlihat dengan mata telanjang pada hari ke 11 dengan ukuran 0,13 X O,1 mm, yang dikelilingi oleh jaringan penghubung (connective tissue) 3 X 2 mm. Tiga minggu setelah infeksi ditemukan sebuah gelembung dengan scolex yang imatur, dan pada minggu ke 5 d m ke 6 scolex dengan suckernya telah berkembang penuh.
Leher
yang mengalami invaginlrsi tampak pada minggu ke 10 (McIntosh dan Miller, 1960).
Dari pengamatan histologis yang dilakukan oleh Silverman dan Hulland ( 1961) terlihat bahwa tingkat pertumbuhan dan perkembangan sistiserkus Taenia saginta bervariasi dan tergantung dari respon inang dan jaringan yang ditempati. Kemudian Pawlowski dan Schultz (1972) melaporkan bahwa sistiserkus ini a h bertahan selama 2 1 bulan pada hewan yang terinfeksi.
Habitat dari cacing Taenia saginata adalah pada bagian atas jejunum (Brown, 1975). Dengan pemeriksaan rontgen, terlihat bahwa lokasi cacing biasanya adalah jejunum bagian atas di bawah batas 40 sampai 50 cm dari sambungan duodenum dan jejunum (Belding, 1958; Pawlowski dan Schultz, 1972), dan Brown (1975) menambahkan kira-kira 6% dari cacing-cacing berada di bagian bawah jejunum. Cacing ini dapat hidup selama 20 tahun (Botero, 1989). Proglottidnya yang biasanya dilepaskan satu per satu dapat bergerak keluar dengan aktif melalui anus atau dapat dike-
luarkan dengan feses, dan bila baru keluar, sangat aktif dan mengambil berbagai bentuk (Belding, 1958; Brown, 1975). Soulsby (1982) menambahkan bahwa proglottid yang keluar ini, dapat bergerak sampai beberapa centimeter meninggalkan badan, menempel pada pakaian, tempat tidur atau bahkan sampai jatuh ke tanah. Menurut Pawlowski dan Schultz (1972) proglottid dikeluarkan secara tidak beraturan.
Hampir segera setelah dikeluarkan, proglottid memeras keluar cairan seperti
susu yang penuh dengan telur dari pinggiran anterior, dimana cabang-cabang uterus anterior telah pecah dengan terpisahnya proglottid dari strobila. Dengan demikian, pengeluaran sejumlah 100.000 telur dari proglottid itu tidak seluruhnya tergantung pada desintegrasi (Brow% 1975).
2.3.4. Daur hidup Daur hidup Taenia sagima melibatkan satu inang antara. Sedangkan manusia hanya bertindak sebagai inang sejati (Viljoen, 1937; Pawlowski dan Schultz, 1972; Soulsby, 1982; Botero, 1989). Ternak sapi merupakan inang antara yang paling penting, tetapi herbivora lainnya seperti kerbau, jerapah, unta sering terinfeksi (Belding, 1958; Faust dan Russel, 1964; Brown, 1975). Telurnya infektif pada
waktu dikeluarkan, dan bila dimakan oleh inang antara tersebut dari tanah atau rumput, akan berkembang menjadi kista. Manusia akan terinfeksi lewat cara yang sangat sederhana, yaitu bila memakan daging yang tidak dimasak atau dimasak setengah rnatang yang mengandung sistiserkus. Akan tetapi, yang komplek disini adalah faktor-faktor yang mendorong kenapa manusia memakan daging tersebut. Dalam konteks ini, Pawlowski dan Schultz (1972) mendiskusikan lebih lanjut faktor ekologi, ekonomi maupun etnologi yang meliputi kebiasaan-kebiasaan manusia, ting-
kah laku, agama dan kepercayaan. Menetasnya telur Taenia saginata pada inang antara, memerlukan pengolahan terlebih dahulu oleh cairan lambung, sebelum cairan usus dapat menimbulkan desintegrasi pada embriofor dan aktivitas pada embrio (Brown, 1975). Menurut Belding (1958) embrio hexacanth akan meninggalkan kulit telurnya, lalu menerobos dinding usus dalam waktu 10 sampai 40 menit, masuk ke dalam saluran limfe atau darah. dan dibawa ke jaringan ikat di dalam otot, dan tumbuh menjadi cacing gelembung matang yang disebut Cysricercus bovis. dalam waktu 12 sampai 15 minggu. Faust dan Russel (1964) menyatakan bahwa proses metamorfose menjadi cacing gelembung ini, memerlukan waktu 60 - 75 hari. dan seperti halnya pada cacing dewasanya. Cysticercu.s+bovisini menciri dengan scolex yang tidak dipersenjatai. Tempat-tempat yang terutama dihinggapi kista ini adalah otot masseter, paha belakang dan punuk sapi, tetapi sistiserkus mungkin juga ditemukan di dalam otot lain dan dalam organ viseral (Viljoen, 1937; Soulsby. 1982; Urquhart et al., 1987). Menurut Brown (1975) kista yang matang berwarna merah muda, berukuran kirakira 5 x 9 mm, mempunyai leher dan scolex yang menonjol ke dalam dan berwarna keruh dengan empat batil isap. Sementara itu Faust dan Russel (1964) menyatakan bahwa sistiserkus yang matur berbentuk ovoid berwarna putih susu, dengan luas 7,5
-
10 mm dan panjang 4 - 6 mm. Larva ini mengalami degenerasi dan kalsifikasi
(perkapuran) dalarn waktu kira-kira satu tahun (Belding, 1958), tetapi ada juga sistiserkus masih tahan hidup, 150 minggu pasca infeksi (Brown, 1975). Bila cysticercus yang hidup ditelan oleh manusia, scolexnya mengadakan evaginasi (penonjolan keluar) dan melekatkan diri pada mukosa jejunum, dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu 8 sampai 10 minggu (Belding, 1958; Brown, 1975). Menurut Faust dan Russel (1964) masa inkubasi ini dilaporkan sekitar 10
-
12 minggu.
Biasanya hanya ada satu cacing dewasa, tetapi pernah dilaporkan adanya 10 ekor (Belding, 1958), juga 28 ekor (Brown, 1975). Tentang multi infeksi ini, juga dilaporkan oleh Pawlowski dan Schultz (1972).
2.3.5. Patogenesa dan Gejala Klinis Sama seperti pada infeksi cacing yang lainnya, infeksi cacing Taenia saginuru pada manusia, juga akan mengakibatkan beberapa gejala yang mengganggu. Menurut Faust dan Russel (1964) tejadinya gangguan fungsi saluran pencernaan, merupakan salah satu gejala yang sering dikeluhkan. Situasi seperti ini , dikaitkan dengan panjangnya ukuran cacing tersebut. Menurut Belding (1958) cacing dewasa
Taenia saginutu biasanya hanya menyebabkan suatu iritasi ringan pada mukosa usus, akibat gerakan mekanis Idari strobila. Sebaliknya, Brown (1975) melaporkan bahwa cacing ini jarang menyebabkan gejala yang nyata. Orang yang menderita infeksi ini, terutama yang mengetahui bahwa ia mengandung cacing pita yang panjang, mungkin mengeluh tentang sakit di daerah epigastrium, rasa tidak enak yang tidak nyata diperut, gelisah, vertigo, nausea, diare, nafsu makan bertambah atau berkurang, dan biasanya tidak ada penurunan berat badan yang berarti (Belding, 1958; Brown, 1975). Adanya leukositosis dengan eosinofili yang sedang, merupakan gejala yang menciri pada beberapa penderita taeniasis (Faust dan Russel, 1964).
Sutisna (1990) yang melakukan wawancara terhadap 27 orang penderita Taenia saginata di Bali, mencatat keluhan-keluhan subjektif yang disampaikan oleh para penderita, seperti: mengeluarkan potongan cacinglproglottid, rasa mud, gatal di anus, sakit kepala, mules atau sakit perut, berat badan berkurang, rasa perih di ulu hati, rasa cemas, nafsu makan berkurang, mencret, nafsu makan bertambah dan sembelit. Gejala-gejala ini ternyata bersesuaian dengan pernyataan Pawlowski dan Schultz (1972), yang juga menyatakan bahwa keluhan utama penderita adalah mengeluarkan proglottid (98,3%). Keluarnya proglottid ini, ternyata merupakan gejala yang sangat khusus, sehingga hampir tidak pernah dilupakan oleh si penderita. Dari delapan penelitian, yang melibatkan 31 10 penderita Twniu suginutu, Pawlowski dan Schultz (1972) telah menyusun daftar gejala-gejala yang sering dikeluhkan.
Gejala-gejala itu, berturut-turut mulai dari yang sering muncul tampak
seperti n b e l 1 berikut: Tabel 1. Gejala yang dikeluhkan oleh penderita taeniasis (Tueniu suginutu) Gejala Y
Sakit perut Rasa mual Lemah Penurunan berat badan Nafsu makan bertambah Sakit kepala Sembelit Pening Mencret Rasa gatal di anus Gelisah
Persen
Dari laporan Pawlowski dan Schultz (1972). keluhan-keluhan yang diutarakan tersebut, temyata dapat dikelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Bila infeksi itu tejadi pada anak-anak, manifestasi klinis yang sering muncul adalah perubahan nafsu makan, sakit perut dan gangguan yang menyerupai kejang-kejang. Sementara itu, wanita temyata dilaporkan lebih sering mengeluhkan gejala-gejala tadi dibandingkan dengan laki-laki (Pawlowski dan Schultz, 1972). Menurut Belding (1958) dan Brown (1975) proglottid gravid yang menempati rongga appendix akan dapat menyebabkan lesi ringan pada mukosa dan menyebabkan appendicitis sekunder. Selanjutnya dinyatakan bahwa jarang sekali terjadi obstruksi usus yang akut yang disebabkan oleh satu kelompok strobila yang kusut, atau adanya cacing menembus ke dalam ductus Wirsungi yang dapat mengakibatkan nekrosis pada pancreas (Brown, 1975). Proglottid gravid yang aktif bermigrasi keluar dari anus, memberi perasaan pada penderita bahwa ia mengeluarkan feses yang tidak diinginkan, sehingga menyebabkan kebingungan yang tidak mengenakkan (Belding, 1958; Faust dan Russel, 1964).
Menemukan proglottid yang bergerak aktif di pakaian dalam, di tempat
tidur, atau di feses yang baru dikeluarkan, juga sangat mengganggu (Brown, 1975). r
2.3.6. Diagnosis Karena tidak adanya gambaran klinis yang menciri dari infeksi Tueniu suginutu, maka diagnosisnya hams dibuat berdasarkan temuan-temuan laboratorium. Pemeriksaan feses, usapan anus dengan swab, serologis, digunakan untuk menentukan adanya kasus taeniasis (Pawlowski dan Schultz, 1972; Urquhart er ul, 1986). Sedangkan untuk tujuan diagnosis spesies yang pasti, dibuat lewat temuan dan pemeriksaan scolex atau proglottidnya yang menunjukkan karakteristik spesies yang
menciri (Botero, 1982). Menurut Pawlowski dan Schultz (1972) anamnesa terhadap pasien yang mengeluarkan proglottid, juga merupakan bagian yang amat penting untuk menentukan adanya infeksi Taenia saginata. Menurut Faust dan Russel (1964) pada pemeriksaan feses penderita, kadangkadang tidak dijumpai adanya telur, kendatipun hampir dapat dipastikan tiap harinya ia mengeluarkan proglottid.
Hal ini juga disampaikan oleh Brown (1975) yang
menyatakan bahwa pemeriksaan usapan daerah perineal dengan swab, akan memberi-
kan temuan telur yang lebih banyak, dibandingkan pemeriksaan feses secara langsung, karena telur-telurnya mungkin tidak ada dalam feses. Diagnosis spesies dibuat dengan pemeriksaan proglottid. Morfologi proglottid matur dapat dilihat jelas dengan fiksasi dan menggunakan pewarnaan. Sedangkan pemeriksaan proglottid gravid dapat dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu menekan proglottid dengan cara menaruhnya diantara dua glas objek, lalu diamati pada cahaya yang terang (Pawlowski dan Schultz, 1972; Botero, 1989). Dengan bantuan injeksi tinta cina ke dalam lubang genital lateral, akan memperjelas percabangan uterus yang tampak (Botero, 1989).
Metode yang disebut belakangan
ini telah digunakan secara luas di beberapa negara selama bertahun-tahun (Pawlowski dan Schultc 1972). Pada pemeriksaan proglottid gravid ini, diagnosis spesies Taenia saginutu, dibuat dari adanya 15 sampai 30 cabang lateral uterus pada tiap sisi batang utama uterus (Viljoen, 1937; Belding, 1958; Brown, 1975). Sedangkan menurut Botero (1989) bila percabangan uterus itu lebih dari 12, menandakan spesies cacing itu adalah Taenia saginam, bila 10 atau kurang, adalah Taenia solium. Diagnosis pasti juga dapat ditegakkan lewat pemeriksaan mikroskopik scolex. Scolex Taenia saginata, menciri dengan adanya empat batil isap tanpa adanya kaitkait (Brown, 1975; Botero, 1989).
Metode diagnostik lain. seperti pemeriksaan dengan menggunakan enzym electrophoresis pada ekstrak parasit (Botero, 1989). chromutography (Hayunga dan Sumner, 1991) sudah pernah dicoba, namun uji ini dinyatakan sebagai metode yang tidak praktis (Botero, 1989). Sementara itu beberapa uji semlogis, dewasa ini mulai banyak dikembangkan, untuk mendeteksi adanya infeksi Taenia saginata atau sistiserkusnya (Geerts et ul., 198la: 1981b; Harrison ct al., 1989; Kamanga-Sollo dan Lindqvist. 1991). Geerts et ul. (1981b) telah membandingkan teknik immunoelectrophoresi.~(IEP), counterimmunoelectrophoresis (CIEP) dan enzyme linked immunosorbenr a\.\.vuy(ELISA) untuk mendiagnosa sistiserkosis Taenia saginata, dan ternyata IEP dan ELISA memberi hasil yang lebih spesifik, sedangkan CIEP relatif kwang spesifik. Pada kasus yang sporadis, dimana dicurigai adanya infeksi Taenia saginata, tapi penderita tidak mengeluarkan proglottid, pemeriksaan saluran pencernaan secara radiologi. akan dapat membantu (Pawlowski dan Schultz, 1972). Untuk dapat membedakan Taenia saginaa dan Taeniu solium, Harrison et al. (1990) juga menyarankan u n t u k menerapkan diagnostik dengan DNA probes, atau dengan teknik Pblymera~uChain Reaction (PCR) (Gottstein et al., 1991). Y
2.4.7. Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan pada hakekatnya sama untuk semua cacing pita pada manusia. Untuk mencapai penyembuhan sempurna, scolex cacing pita ini hams dikeluarkan. Oleh karena itu, untuk memeriksa hail pengobatan, pencarian teliti terhadap scolex di dalam feses harus dilakukan. Bila scolex tidak ditemukan, periu ditunggu 3 bulan untuk memastikan apakah penderita sudah tidak lagi mengeluarkan proglottid atau telur (Brown, 1975; Botero. 1989).
Menurut Belding (1958) dan Brown (1975) obat terbaik terhadap cacing ini adalah Quinacrine hidrochlorida (Atabrin).
Sedangkan menurut Pawlowski dan
Schultz (1972) obat-obatan yang digunakan untuk infeksi Taenia saginata, adalah Niclosamide, Dichlorphen, Espidium oleorsin dan Mepacrine chlorida.
Diantara
obat-obatan yang disebut tadi, pilihan yang banyak digunakan adalah Niclosamide (Yomesan) [N-(2 'chloro-4'-nitro-phen yl)-S-chloro-salicylamide] . Efikasi penggunaan Yomesan, berdasarkan 33 penelitian yang telah dipublikasikan, yang meliputi 766 kasus penderita Taenia saginata adalah 88,5 96 (Pawlowski dan Schultz, 1972).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Botero (1989). obat
ini ditoleransi baik dan tidak pernah dilaporkan adanya efek toksik. Efektivitas pengobatan ini adalah lebih dari 80%. Obat ini diberikan sebagai dosis tunggal yaitu
2 gram (satu kemasan berisi 4 tablet a' 500 mg) kepada setiap penderita. Tablet hams dikunyah terlebih dahulu, kemudian diteguk dengan sedikit air. Sebaiknya sebelum minum obat, penderita disarankan agar puasa atau makan makanan yang lembek (Pawlowski dan Schultz, 1972; Botero, 1989). Kendatipun Yomesan telah digunakan secara luas, nalnun pengetahuan tentang kerja obat ini masih terbatas. Obat ini diduga menghambat pengambilan oksigen dan glukosa. Dekomposisi dari glikogen akan meningkat, sebaliknya aktivitas laktodehidrogenase akan dihambat (Pawlowski dan Schultz, 1972).
Selanjutnya
dinyatakan bahwa kerja obat ini akan terkonsentrasi di bagian atas strobila. Dari pengamatan dengan menggunakan radioaktif yang berlabel oleh Gonnert (1968), seperti dikutip Pawloweski dan Schultz (1972). dibuktikan bahwa 25 - 30% senyawa yang diberikan secara oral akan diekskresikan lewat urine (sebagain besar dimetabolisme) dan sisanya dieksresikan lewat feses. Selanjutnya dinyatakan bahwa tidak ditemukan adanya akumulasi senyawa ini, baik pada organ tubuh atau diseluruh
bagian tubuh. Senyawa ini akan dieksresikan dalam waktu yang singkat dan jumlah yang banyak. Menurut Botero (1989), Pmziquantel yang dewasa ini cukup populer, merupakan antelmintik terbaik untuk Taenia saginata. Tingkat kesembuhannya hampir100% dengan sedikit atau tanpa efek samping. (oral) adalah 5
-
Dosis pemberian secara tunggal
10 mglkg. Paromycin, merupakan alternatif pilihan, bila Prazi-
quantel dan Niclosamide tidak tersedia.
Dengan dosis tunggal 75 mglkg (atau
maksimum 4 g pada pasien di atas 50kg) diketahui mempunyai tingkat kesembuhan 93% (Botero, 1989). Obat ini memiliki efek samping yang ringan, tilnbul pada 30 -
60% pasien, dengan keluhan mencret.
Praziquantel juga telah dicobakan secara
eksperimental untuk treatment sistiserkus Tucniu suginutu (Gallie dan Sewell, 1983; Hayunga et al, 1991b). Tindakan pencegahan pada prinsipnya terdiri atas: (1) menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati orang yang rnengandung parasit, dan mencegah kontaminasi tanah dengan feses manusia; (2) pemeriksaan yang teliti pada daging sapi terhadap adanya sistiserkus; (3) pendinginan daging sapi dan (4) memasak daging sapi sampai matang (Brown, 1975). Tingkat penyebaran penyakit ini di daerah endemis, dapat ditekan lewat jalur penbidikan, disertai kontrol melalui program-program kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat veteriner (Botero, 1989). Sistiserkus TUenia saginata dapat dirusak dengan pendinginan -10°C salnpai -20°C. selama 5 sampai 10 hari (Brown, 1975; Botero, 1989). atau dengan pemanas-
an di atas titik suhu kematian pada 57°C. Dapat pula dilakukan dengan mengasinkan di dalam larutan garam 25% selama 5 hari.
Kontrol yang paling praktis adalah
memasak daging sapi sebaik-baiknya, sampai warna merahnya hilang (Brown, 1975).
2.4. Taenia saginata taiwanensis
Tueniu saginata taiwanensis / Taenia suginuta Asia, atau belakangan juga dikenal dengan nama Tu~niaasiatica, pertama kali ditemukan di miwan, kemudian di beberapa negara lain di Asia. oleh seorang pioner P.C. Fan dan kerabat kerjanya dari Taiwan. Cacing pita ini. morfologinya sangat rnirip dengan Taenia sagianata yang klasik (Taenia saginatu Goeze 1782), namun memiliki perbedaan pada beberapa aspek. Tuenia di Asia Timur, yang pada mulanya diidentifikasi sebagai Taenia saginutu. ternyata deskripsi dan daur hidupnya, diketahui berbeda dengan bentuk Taeniu .suginuta yang klasik. Pada seminar regional yang ke 33, SEAMEOTROPMED (South East Asian Ministries of Educational Organization Regional Tropical Medicine and Public Health) dibuat kesepakatan (tentatif sampai tahun 1992) u n t u k menyebut cacing pita yang baru ini dengan nama Taenia saginata taiwunensi v (Eom dan Rim, 1992a; 1992b; 1993). Kemudian, setelah mempelajari morfologinya secara detail, Eorn dan Rim (1993) mengusulkan nama baru untuk cacing pita ini. yaitu Tmnia usiufica. Perbedaan esensial dari daur hidup cacing pita ini dengan Taenia saginata yang klas, k. terletak p h a hewan inang antaranya. dan juga lokasi berparasit dari metacestoda pada inang antara tersebut. Secara alami, inang antara Tlzenia saginata yang klasik, adalah sapi; sedangkan inang antara Taenia saginata taiwanensis adalah babi. Lokasi berparasit metacestoda Taenia saginata yang klasik terutama pada otototot sapi: sedangkan metacestoda Taenia suginatu taiwanensis akan menginfeksi terutama hati disamping organ-organ viseral lainnya (Fan et al., 1992f; Eorn et al., 1992: Eorn dan Rim, 1993).
2.4.1. Epidemiologi
Mengingat cacing ini merupakan temuan baru, maka studi-studi tentang penyebaran dan tingkat kejadiannya pada masyarakat. masih sangat kurang. Sejauh ini, dari hasil-hasil penelitian yang telah dikerjakan dan dipublikasikan, dilaporkan bahwa Tueniu saginata taiwanensis dan sistiserkusnya hanya ditemukan di beberapa negara di kawasan Asia saja. Hal ini, terkait erat dengan kebiasaan makan (eating
habbits) dari masyarakat Asia serta pola transmisi taeniais, seperti dilaporkan oleh Fan et a1 ( 1992d). Parasit ini tersebar di negara-negara seperti Wwan, Korea, Thailand, Indonesia. Filipina dan Myanmar (Fan et a l . . 1989a; 1989b; 1990a; 1990b; 1992a; 1992b; Fan. 1991: Min, 1990: Geerts et al, 1992: Ito, 1992). Oleh karenanya cacing pita ini juga diberi nama Taeniu saginafu Asia. Pemberian nama seperti ini, juga diperkuat dan didasarkan atas hasil penelitian yang dilaporkan Fan et a1 ( 1992e).
yang mencoba mengamati Taenia saginatu yang berasal dari luar Asia,
yaitu Taeniu .saginutu strain Polandia. Dilaporkan bahwa proglottid 'Ibenia saginata yang berasal dari penderita asai Polandia dikoleksi, kemudian diinfeksikan pada beberapa ekor babi dan sapi. Ternyata hasil eksperimen ini, menampakkan bahwa sistiserkusnya, berkembang dan tumbuh dengan baik pada otot sapi, disamping ditemukan pula pada hati babi. Morfologi sistiserkus yang ditemukan pada babi tersebut. berbeda dengan sistiserkus tipe Asia yang telah diutarakan di atas. Dari penelitian ini, akhirnya disimpulkan bahwa Taeniu saginata strain Polandia, merupakan Tuunia saginata yang klasik, dan babi dinyatakan dapat bertindak sebagai
Geerts (1992) menyatakan ada indikasi kuat bahwa cacing pita ini, juga ditemukan di Afrika.
Hal ini didasarkan dari hasil penelitian sebelumnya yang
dilaporkan oleh Fan et al. (1990~). Fan et al. (1990c) melaporkan bahwa Twniu
saginata asal Madagascar tidak tumbuh pada sapi yang diinfeksi, sedangkan dia berhasil menginfeksi babi dengan telur Taenia saginatu asal Madagascar dan Etiopia. Pada penelitian ini, sistiserkus yang berkembang hanya ditemukan pada hati babi. Sementara itu diketahui bahwa kista tersebut, sangat mirip dengan sistiserkus yang diperoleh dari eksperimen dengan menggunakan Taeniu yang berasal dari Asia (Fan
et al., 1990~). Masih diperlukan penelitian-penelitian lanjutan, untuk mengetahui kepastian tentang kemungkinan penyebaran cacing ini sampai ke Afrika. 2.4.2. Morfologi
Cacing pita dewasanya yang mirip dengan Taeniu saginata, terdapat pada usus manusia. Sedangkan sistiserkusnya ditemukan pada hati babi (Fan, 1988, Ito, 1992). Menurut Eom dan Rim (1993) ukuran panjang tubuh cacing pita Asia ini, setelah difiksasi adalah 341 cm, dengan lebar maksimum 9.5 mm. Selanjutnya dinyatakan bahwa caciw yang tubuhnya berwarna putih kekuning-kuningan ini, terdiri dari 712 segmen. Scolexnya berbentuk bundar dengan rostellurn, berukuran lebar 0,8 1 mm. Mempunyai empat sucker yang berdiameter 0,24
- 0,29 mm (Eom
dan Rim, 1993). Proglottidnya berbentuk empat persegi panjang, yang bersambung kebelakang membentuk strobila. Proglottid anterior lebih lebar dan pendek, sedangkan proglottid yang posterior panjang dan meruncing (Eom dan Rim, 1993). Eom dan Rim (1993) juga melaporkan bahwa proglottid yang lepas, memiliki tonjolan dibagian
posteriornya. Dari pemeriksaan spesimen (n = 32). proglottid yang lepas ini diketahui mempunyai ukuran panjang 12,4 mm (9.5 - 16,O mm) dan lebar 5,O mm (4.2
-
5,8 mm ). 1-ebih lanjut dilaporkan bahwa dalam keadaan basah, satu segmen memiliki berat 66.5 mg (n = 107). Organ reproduksi jantan cacing ini memiliki banyak testes, yaitu 868 - 904 (n = 3). dengan diameter berukuran 81,7 pm
(n = 25). Sedangkan organ reproduksi
betina memiliki ovarium bilobus. yang berukuran tidak sama. Jumlah percabangan lateral uterus cacing' ini, adalah 18,3 (16 - 21) (n = 18) dan dengan banyak ranting uterus (uterine twigs). Dari 18 yang diperiksa, diketahui jumlah ranting uterus tersebut alltara 57 - 99, dengan rata-rata 81,4 (Eom dan Rim, 1993). Tel ur Taenia suginuta ruirvanensis, berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat, dengan kulit yang tipis dan mudah pecah. Dari pemeriksaan 50 telur yang dilakukan oleh Eom dan Rim (1992b: 1993), dilaporkan bahwa telur dengan sebuah embrio hexacanth dalam embriofor itu. berukuran 35.7 pm (33.8 - 40,O) X 34,4 pm (33-5 3 7 3 pm). Bentuk larva yaitu sistiserkusnya, agak bulat sampai lonjong, merupakan ".
gelembung berwarna putlh susu dengan kepala yang mengalami invaginasi ke dalam gelembung. Ukuran metacestoda ini adalah 2.09 mm (2.07 - 2,14 mm) (Eom dan Rim, 1993). Permukaan gelembung bagian luar, menciri dengan adanya bentukbentuk kecil menyerupai kutil. berdiameter 2 1,5 - 36,7 pm (Eom dan Rim, 1993). Pada beberapa scolex sistiserkus tersebut, terdapat kait-kait yang mengalami rudimenter (Fan et ul, 1988; 1989a; 1990a; Eom dan Rim, 1993). Biasanya sulit untuk menghitung kait yang rudimenter ini.
Fan (1988) melaporkan jumlah kait itu
antara 1 1 - 16, sedangkan Eom dan Rim (1993) melaporkan jumlahnya antara 1 - 37.
Menurut Eom dan Rim (1992a) yang mengamati infeksi sistiserkus Eeniu saginata taiwanemis pada hati babi Korea, menemukan bahwa sistiserkus tersebut dikelilingi oleh warna kekuning-kuningan atau dapat berupa jaringan kapsul dengan
-
warna putih susu. Diameternya berkisar antara 1 16 mm. Lebih lanjut dilaporkan bahwa bila sistiserkus yang ditemukan itu masih hidup, jaringan kapsul kelihatan transparan dan berukuran 3,20 mm, dengan kisaran 3,l
- 3,3 (n
= 3, SD = 0,08).
Kapsul pada sistiserkus yang telah mengalami degenerasi berukuran 4,98 mm, dengan k i s m 2,O
-
9,5 mm (n = 24, SD = 2,03) dan sistiserkus yang telah
mengalami kalsifikasi, ukurannya 3,67 mm, dengan kisaran 1,O - 16,O mm (n = 387, SD = 2,55) (Eom dan Rim, 1992a). Perbedaan karakteristik morfologi antara Taenia saginata taiwanemis, Taenia saginata dan Taenia solium, tampak seperti pada Tabel 2.
Pada T d ~ 2l
tersebut, tampak bahwa ukuran beberapa bagian dari sistiserkus Taeniu saginuru raiwanensis berbeda dan lebih kecil, dibandingkan dengan sistiserkus Tueniu suginufa maupun sistiserkus Taenia soliurn. Sistiserkus yang ditemukan di Taiwan oleh Fan (1988) tersebut, ternyata sama dengan sistiserkus yang berasal dari Korea, strain Cheju (Fan er al., 1989;); Indonesia, strain Samosir (Fan et al., 1989b); Thailand, strain Chiangmai (Fan er al., 1990b); Filipina (Fan et al., 1992a); dan strain Burma (Fan el al., 1992b). Min (1990) serta Eom dan Rim (1992a) menyebutkan selnua spesies yang memiliki kesamaan tersebut sebagai spesies baru di Asia.
Tabel 2. Perbedaan karakteristik morfologi Tueniu suginuta tuiwanensis, Taenia tu,qinatcr daan Tueniu solium T. s. taiwanensis
Cacing Dewasa
T. saginata
T.solium
-
Panjang (m) Jumlah proglottid Scolex Rostellum Diameter (pm) Proglottid matur Ovarium Sphincter vagina Proglottid gravid Ukuran ( p x I ) (mm) Jumlah percahangan uterus Telur Bentuk Ukuran I pm)
4-12 Sampai 2000 Cukup menonjol 1586 ( 1430- 1760)
Tidak jelas 1 1 16 (935-1430)
Sangat menonjol 940 (894- 1100)
2 lobus Ada
2 lohus Ada
3 lobus Tidak Ada
Bulat hingga Oval 35.7 x 34.4
Bulat 30 x 20
Bulat 30 x 40
Bahi. sapi. kambing, hahi hutan, kera Hati 4 minggu 1 290 ( 450-2000) 1 160 (580- 1850) 1.1 : 1 640 (580- 1850)
Sapi. kerbau, domha. ilama Otot. organ dalam 10- 12 minggu 3410 ( 1650-5720) 2240 ( 1 160-3580) 1.5 : I 1720 (590-34 10)
Babi, kera. babi hutan Otot, organ dalam, otak 7-9 minggu 4430 (2040-8600) 26 10 ( 1650-3800) 1.7 : 1 2440 (1650-3520)
Cukup mewnjol Ada. kecil 2 13 (4-25) 9 (4.8-18.7) Banyak 2.3 (0.5-6.6) Seperti kutil 1218 (700-1800)
Tidak jelas Tidak ada 0 0 0 0 0 Seprti kutil 2657 ( 12 104736)
Sangat menonjol Ada, besar 2 13 (11-16) 140 (88- 176) 13 (1 1-16) 91 (35-1 16) Halus, licin 3933 (1540-6600)
Sistiserkus
Pericde perkembangan Panjang (pm 1 Lebar (pm) Ratio (PIL) r Protoscolex r prn) Scolex Rostellum Kait-kait hatil isap Jumlah haris kait Jumlah kait dalam Panjanp kait dalam (pm) Jumlah kait luar Panjanp kait luar (pm) Permukaan gelembung Diameter (pm)
Sumber : Noble dan Noble (1 982); Fan (1988): Eom dan Rim (1993)
Walaupun morfologi Tuvnia sa~inurutuiwunensis sangat mirip dan susah untuk dibedakan dengan Tueniu suginatu yang klasik, dengan memakai Cloned
Ribo.somu1 DNA Fragnzent.~,Zarlenga et ul. ( 1991) telah dapat membuktikan bahwa genotip dari kedua cacing pita itu berbeda. Dengan teknik DNA tersebut, diketahui bahwa Tuvriia saginata tuiwunensi.~tidak hanya ada di Taiwan, tetapi juga ditemukan di beberapa negara di Asia, seperti telah disebutkan di atas (Zarlenga, 1991; Zarlenga er ul.. 1991). 2.4.3.
Daur hidup Pola daur hidup cacing Taenia saginutu tuiwancneis relatif sama dengan
Taeniu suginuru dan Tueniu solium. Perbedaan pokoknya terletak pada inang antara dan lokasi parasitnya pada inang antara. Daur hidup cacing pita ini tidak langsung, yaitu membutuhkan satu inang antara. Sebegitu jauh belum pernah dilaporkan adanya penelitian secara intensif tentang daur hidup cacing ini. Dari beberapa hasil peneli tian eksperimental yang dikerjakan, baik pada ternak maupun pada manusia sukarelawan, yang dilakukan secara terpisah-pisah (Chao et al., 1988; Fan, 1988; Fan er ( 1 1 . . 1989a; 1989b; 1990a; 1990b; 1992a; 1992b). daur hidupnya dapat diI
rangkai kan sebagai berikut. Fan (1988) melakukan pengamatan pada babi-babi percobaan yang diinfeksi dengan tel ur i nfektif Taenia saginata taiwanensi.~. Pada hari ke 14 pasca inokulasi, ditemukan adanya sistiserkus muda berupa bintik-bintik kecil, yang tumbuh pada hati babi. Pada hari ke 21. ditemukan kista imatur, yang telah memiiiki rostellum dan sucker. Selanjutnya kait yang rudimenter dan adanya pergerakan aktif dari kista yang matang (matur) teramati pada hari ke 28. Sementara itu, hasil eksperimen lain yang dilakukan oleh Fan et ul. (1990a) ditemukan perkembangan kista tadi sebagai
berikut: sistiserkus yang matang pertama kali tampak pada hari ke 27 pasca infeksi pada babi Small-Ear-Miniature (SEM) dan pada hari ke 28 pada babi-babi Lan-
drace-Smull-Ear-Miniature (L-SEM). Tingkat keinatangan sistiserkus ini sampai pada hari ke 97 pada babi L-SEM, hari ke 79 pada babi SEM dan hari ke 71 pada babi Durocs- Hjrkshire-Landrace (DYL). Sistiserkus yang telah mengalami degenerasi / kalsifikasi, pertama kali ditemukan pada babi L-SEM, SEA4 dan DYL berturutturut pada hari ke 24, 27 dan 43 pasca inokulasi dengan menggunakan 30.000 butir telur Taeniu saginam taiwanensi.r. Sedangkan pada inokulasi dengan 100.000 butir telur, sistiserkus yang mengalami degenerasi / kalsifikasi sudah ditemukan pada hari ke 14 pasca inokulasi (Fan er al., 1990a). Seorang laki-laki sukarelawan asal Korea. yang diinfeksi sistiserkus Taenia saginutu ruiwanensis, melaporkan pertama kali mengeluarkan proglottid gravid secara spontan pada hari ke 76 pasca infeksi (Eom dan Rim, 1992b). Sebelumnya, Chao et ul. (1 988) dan Fan (1 988) melaporkan bahwa sukarelawan yang diinfeksi secara eksperimental dengan sistiserkus Taeniu saginata taiwanensis, mengeluarkan proglottid untuk pertama kalinya pada hari ke 122 pasca infeksi, yang diikuti dengan pengeluaran 43 proglottid. Tujuh belas hari kemudian, yaitu pada hari ke 139 dikeluarkan strobila yang panjang, yang terdiri dari 493 segmen yang berukuran 326 cm.
Pada hari ke 169, pasien diobati dengan Atabrin untuk mengeluarkan seluruh cacing dengan scolexnya (Chao er al., 1988; Fan, 1988). 2.4.4.
Patogenesa dan Gejala Klinis Dari laporan hasil penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Chao et al.
(1988) dan Fan (1988), yang menginfeksi manusia sukarelawan dengan sistiserkus Taeniu .suginata taiwanensis, dan dari laporan survei Fan et al. ( 1992~)diketahui
gejala-gejala klinis yang dikeluhkan oleh penderita adalah: adanya diare yang tampak pertama kali pada hari ke 22 pasca infeksi, sakit perut pada hari ke 32, rasa lapar tanpa nafsu makan pada hari ke 47 - 49, dan mual-mual pada hari ke 64. Proglottid pertama kali dikeluarkan pada hari ke 122. Chao et al. (1988) menambahkan bahwa telur cacing dan proglottid akan ditemukan terus sampai penderita diobati anthelmintik. Disamping itu tampak adanya korelasi antara jumlah eosinofil dengan symptomsymptom yang ditemukan . Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya metabolisme lemak yang abnormal selama periode simptomatik. Fan et af. (1992~)secara rinci melaporkan bahwa 76% dari 1661 penderita taeniasis yang berasal dari Thiwan, mengeluhkan satu atau lebih gejala-gejala klinis.
Dari pemeriksaan 1153 orang yang mengeluhkan gejala tadi, 10% diantaranya mengeluarkan segmen gravid di dalam fesesnya selama kurang dari 1 tahun, 24% selama 1 - 3 tahun, 17% selama 4 - 5 tahun, 23% selama 6
-
10 tahun, 16% selama
11 - 20 tahun, 7% selama 21 - 30 tahun dan 3% selama lebih dari 30 tahun. Selanjutnya dilaporkan bahwa ada 26 gejala klinis yang dikeluhkan oleh 1258 penderita yang terinfeksi TQenia saginata taiwcutensis. Gejala klinis yang terbanyak dikeluhan
adalah mengelurakan proglottid dalam fesesnya (95%), kemudian disusul gatal-gatal PP
pada anus (77%), mual (46%), sakit perut (45%), pening (42%), nafsu tnakan meningkat (30%), sakit kepala (26%), mencret (18%), lemah (17%), terasa lapar (16%), sembelit (1 1 %), penurunan berat badan (6%), rasa tidak enak di lambung
(5%), letih (4%), tidak bernafsu (4%), muntah (4 %), tidak ada selera makan saat lapar (1 %), pegel-pegel pada otot (1 %), rasa tidak en* pada perut ( < 1%), rasa nyeri di perut (< 1%), terasa ngantuk (< 1%), kejang-kejang ( < 1%), gelisah ( < I %), gatal-gatal di kulit ( < 1%), gangguan pernafasan (< 1%), dan sakit keting-
gian ( < 1%) (Fan a al., 1992~). Gejala-gejala tersebut ternyata hampir sama
dengan gejala-gejala umum yang ditunjukkan oleh orang yang menderita taeniasis atau sistiserkosis yang diakibatkan oleh Taenia saginata ataupun T w a solium / Cysticercus cellulosae, seperti dilaporkan oleh Noble dan Noble (1982); Keane (1984); dan Sutisna (1990). Sementara itu, seperti halnya pada infeksi Cysticercus cellulosae pitda babi, babi-babi yang terinfeksi oleh sistiserkus Taenia saginata taiwanensis, tidak menampakkan gejala-gejala Minis yang menciri. 2.4.5.
Diagnosis
Diagnosis terhadap adanya infeksi cacing T b a saginata taiwanensis dan sistiserkusnya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik yang telah umum dipakai mendeteksi Taenia saginata / Taenia solium. Perbedaan pokoknya terletak pada inang antara dan lokasi berparasit dari masing-masing sistiserkusnya. Qsticercur cellulosae, selain akan berparasit pada hati dan otak babi, terbanyak ia akan ditemukan pa& otot.
Sedangkan sistiserkus Taenia saginata taiwanensis hanya
ditemukan pada hati babi. Sementara itu sistiserkus Taenia saginata yang Masik,
secara alami hanya ditemukan berparasit pada sapi dan lokasi berparasitnya pada 's
otot. Untuk menemukan sistiserkus ini, dapat dilakukan dengan metode konvensional, yaitu secara pengamatan visual (Collins, 1981; Urquhart et al., 1987). Sayangnya teknik ini, hanya &pat dilakukan pada kondisi post-mortum. Sarti-G et a1 (1992) memang berftasil melakukan diagnostik Qsticercus cellulosae dengan metode ini secara ante-mortum, yaitu dengan mengamati bagian ventral lidah babibabi yang dipelihara di Angahuan, Michoacan State, Meksiko. Pemeriksaan visual
sistiserkus Tuenia saginatu ruiwunensis, tidak mungkin dikerjakan secara antemortum, seperti dikemukakkan Sarti-G et ul. ( 1992) tadi. Untuk bisa mengetahuinya secara visual, tetap harus dilakukan pemeriksaan secara post-mortum, karena lokasi berparasi t kista tersebut adalah pada organ dalam, terutama hati. Teknik diagnostik yang sekarang dikembangkan dan rasanya cocok untuk dipakai mendeteksi adanya kista Taeniu saginutu tuiwunensis secara ante-mortum adalah dengan pemeriksaan serologis. Menurut Brandt et al. (1992); Pathak dan Gaur (1992) uji serologis dapat memberikan arti praktis dan spesifik. Dari hasil eksperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan
Enzyme-Linked Imrnunosorbent Assay (ELISA), Rhoads et a1 (1989) dan Geerts et a1 (1992) melaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi. Walaupun demikian, teknik ini bukan berarti tidak memiliki kelemahan, karena menurut Pammentar dan Rossouw (1987) pada umumnya uji serologis wing menunjukkan variasi keakuratan yang lebar. Usaha-usaha untuk meningkatkan sensitivitas uji ini (ELISA) telah diupaya-
kan oleh beberapa pakar, namun spesifisitasnya masih tetap merupakan suatu problem. Menurut Pammenter dan Rossouw (1987) rendahnya spesifisitas uji serodiagI
nosis sering dianggap berasal dari penggunaan antigen yang kasar. Pemurnian antigen merupakan salah satu langkah untuk mengatasi problem tersebut. Seperti halnya diagnosis pada taeniasis intestinal yang lainnya, diagnosis pasti
terhadap spesies Taenia saginata taiwanensis adalah tergantung dari identifikasi parasitnya. Dengan cara identifikasi ini, akan diketahui sifat-sfat atau ciri khas yang biasanya ada pada proglottid, telur atau scolexnya. Menurut Eom dan Rim (1993) sedikitnya ada empat ciri khas yang menonjol yang dapat digunakan sebagai indikator morfologi dari Taenia asiatica I Taenia saginuru taiwanensis, terutama bila ia
dibandingkan dengan Taenia suginata yang klasik. Keempat ciri yang diusulkan tersebut adalah: (1) adanya rostellum pada scolex: (2) adanya tonjolan pada posterior proglottid gravid; (3) banyaknya jumlah ranting uterus (uterine twigs); dan (4) adanya bentukan seperti kutil pada permukaan gelembung sistiserkusnya. Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik lain, yang lebih akurat untuk dapat membedakan spesies Taenia suginara taiwanensis dengan spesies Taenia yang lainnya. Zarlenga (1991) dan Zarlenga et a1 (1991) melaporkan telah berhasil mendeteksi karakteristik Taenia saginata tuiwanensis dengan menggunakan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat sekuwen amplifikasinya menggunakan Reaksi Rantai Polimerase (Polymerase Chuin Reaction). Ternyata dari hasil pengamatan ini diketahui bahwa genotip dari Taenia saginata taiwanensis berbeda dengan Taenia saginata yang klasik. Dengan teknik ini, diketahui pula bahwa cacing pita "baru" ini dijumpai di beberapa negara di Asia (Zarlenga, 1991; Zarlenga et ul., 1991).
2.4.6. Pengobatan clan Pencegahan Tindakan pengobatan dan pencegahan terhadap penderita taeniasis (Taenia saginaa tuiwunensis) harnpir sama dengan pengobatan dan pencegahan pada pende-
rita Taeniu saginata yang klasik. Fan (1988) berhasil mengeluarkan cacing pita Taenia saginata taiwanensis beserta scolexnya dengan menggunakan Atabrin. Sementara i tu Chao et a1 (1988), yang melakukan penelitian eksperimental, yaitu menginfeksi sukarelawan dengan sistiserkus Taenia suginafa taiwanensis, melaporkan selain mengunakan Atabrin, mereka juga menggunakan Librax (7-chloro-2-
methylamino-5-phenyl-3H- 1.4-benzodiazepepine-4-oxide), untuk mengeluarkan
acing pitanya. Librax diberikan mulai hari ke 136 pasca infeksi selama 3 hari (15 mg / hari). sedangkan Atabrin dengan dosis 0,4 gram diberikan pada hari ke 169 pascainfeksi. Dengan Librax, berhasil dikeluarkan, satu strobila dalam feses dengan panjang 326 cm. tanpa adanya scolex. Sedangkan dengan Atabrin, dikeluarkan acing pita (terdiri dari 347 proglottid) bersama scolexnya. Yomesan / Niclosamide. antelmintika yang tiap tabletnya mengandung 0,s g
N-(2'-chloro-4'-nitro-phenyl)-5-chloro-salicylamide,juga efektif untuk penderita yang terinfeksi Taenia saginata taiwnensis. Eom dan Rim (1992b) berhasil mengeluarkan cacing pita ini dengan scolexnya. Cacing pita yang panjangnya 330 cm dengan 700 proglottid itu, keluar bersama feses setelah pemberian dosis tunggal2 gram Niclosamide secara oral. Penelitian tentang pengobatan sistiserkus Taenia saginata taiwanensis pada babi telah dilaporkan oleh Lin dan Fan (1991). Dari percobaan yang bertujuan untuk mengamati efek terapeutik Praziquantel terhadap sistiserkus pada babi yang disebabkan Taenia saginata taiwanensis, telah digunakan 16 ekor babi SEM yang diinfeksi dengan 10.000 - 30.000 butir telur. Dua belas ekor babi diobati PraziquanI
tel dengan dosis 100 mg I kg dalam satu hari pada tiga ekor babi, tiga ekor yang lainnya diberi dosis 100 mg I kg setiap hari selama tiga hari, dan enam ekor sisanya diberi 100 mg / kg setiap hari selama lima hari. Babi yang digunakan sebagai kontrol sebanyak empat ekor tidak diberikan pengobatan. Dari hail studi tersebut, diketahui pemberian Praziquantel cukup efektif. Hal itu dibuktikan dari tingkat kesembuhan pengobatan sebesar 33,3% pada babi yang diobati dalam satu hari, dan 100% pada babi yang diberi pengobatan tiga sampai lima hari. Dilaporkan pula dari studi tersebut, kecuali ada enam sistiserkus yang matur, seluruh sistiserkus yang
ditemukan mengalami degenerasi dan kalsifikasi. Hal itu menunjukkan bahwa Praziquantel dapat dipakai untuk penetrasi kista dan efektif membunuh sistiserkus (Lin dan Fan, 1991).