1
www.KamusKeuanganDaerah.com
MENYONGSONG PENERAPAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL (KOMPILASI POINTERS DARI RAPAT KERJA NASIONAL/RAKERNAS AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH TAHUN 2013 GEDUNG DHANAPALA, KEMENTERIAN KEUANGAN, JAKARTA – 12 SEPTEMBER 2013) Pada hari kamis, tanggal 12 September 2013 yang lalu, Kementerian Keuangan menggelar Rapat Kerja Nasional (rakernas) Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2013 yang diadakan di Gedung Dhanapala, Jakarta. Rapat kerja yang dihadiri hampir seluruh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II ini dibuka Wakil Presiden Boediono pada pukul 09.15 WIB. Rakernas yang melibatkan 790 peserta ini dilaksanakan dengan tiga sesi diskusi, dengan pembicara berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kemudian pada akhir acara, Wakil Presiden Boediono juga memberikan penghargaan kepada Kementerian/Lembaga (K/L) dan sejumlah provinsi yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.
Jumlah Laporan Keuangan yang Memperoleh Opini WTP Meningkat Dalam sesi pemaparan Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2013, Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengungkapkan, jumlah Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang memperoleh opini terbaik, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2012. Menteri Keuangan mengungkapkan pula, jumlah LKKL yang memperoleh opini WTP meningkat signifikan menjadi sebanyak 69 LKKL pada tahun 2012, dari hanya sebanyak 7 LKKL pada tahun 2006. “Sementara itu, jumlah LKKL yang memperoleh opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) juga semakin menurun, yaitu menjadi sebanyak 3 LKKL pada tahun 2012, dari semula sebanyak 36 LKKL pada tahun 2006,” ungkap Menteri Keuangan. Pada tingkat pemerintah daerah, perkembangan kualitas akuntansi dan pelaporan keuangan, menurut Menteri Keuangan, walaupun agak tersendat pada tahun 2006 sampai 2008, saat ini juga telah menunjukkan perbaikan signifikan. “Hal ini terlihat dari hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Pada tahun 2012 lalu, LKPD yang memperoleh opini WTP mencapai 116 LKPD,” paparnya. Angka tersebut meningkat signifikan jika dibandingkan dengan pada tahun 2009 lalu, dimana hanya sebanyak 21 LKPD yang memperoleh opini WTP dari BPK. Menteri Keuangan menjelaskan, prestasi tersebut dapat tercapai karena pemerintah terus melakukan perbaikan dalam bidang pengelolaan keuangan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kualitas laporan keuangan yang ditandai dengan semakin membaiknya opini audit yang diberikan oleh BPK. Kerja keras tersebut diawali dengan diterbitkannya paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. “Hal ini merupakan bentuk keseriusan eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki pengelolaan keuangan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah” jelas Menteri Keuangan. Mengenai laporan keuangan yang kredibel, Menteri Keuangan mengatakan sejak 2004 pemerintah telah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai bentuk Laporan Realisasi Anggaran Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
2
www.KamusKeuanganDaerah.com
Pendapatan Belanja Negara (APBN). “Sejak kurun 9 ahun LKPP dibentuk sampai 2012 terjadi peningkatan realisasi pendapatan negara dari Rp403 triliun menjadi Rp1,211 triliun atau meningkat 231%” ucap Chatib. Beberapa pointers materi dari para Narasumber Acara dibagi menjadi 3 sesi yang disajikan secara pleno. Pada sesi pertama, ada 4 (empat) narasumber yang berasal dari 1 (satu) orang Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2 (dua) orang Badan Pemeriksa Keuangan, dan 1 (satu) orang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua orang dari Badan Pemeriksa Keuangan berbagi tugas dimana seorang menjadi narasumber terkait laporan keuangan pemerintah pusat dan yang lain menjadi narasumber terkait laporan keuangan pemerintah daerah. Berikut adalah uraian pointers narasumber untuk sesi pertama : Narasumber : H. Muhammad Nur, SH, MH, Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Materi : Langkah-langkah menuju Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Untuk menuju opini WTP ada beberapa bidang yang perlu diperhatikan yaitu : 1. Sistem Pembukuan a. Penyusunan Laporan Keuangan sesuai SAP b. Penggunan sistem perbendaharaan tunggal Hasilnya : Laporan Keuangan yang sesuai SAP 2. Sistem Aplikasi Teknologi Komputer a. Menyempurnakan sistem aplikasi teknologi pengelolaan keuangan daerah b. Membangun jaringan online PPKD – SKPD c. Membentuk tim work admin di PPKD dengan user di SKPD Hasilnya : Penyelesaian laporan tepat waktu, tepat informasi 3. Inventarisasi Aset dan Hutang a. Inventarisasi, validasi dan rekonsiliasi aset antara Biro umum,Biro keungan dan seua SKPD b. Melakukan Penilaian aset yang masih bernilai nol c. Sertifikasi aset yang belum memiliki bukti kepemilikan Hasilnya : Dokumen data dasar aset; Semua aset telah memiliki nilai Rp; Semua aset telah memiliki bukti kepemilikan; Tidak ada perbedaan nilai aset pada daftar inventaris dgn neraca; Nilai aset yang valid terintegrasi ke dalam neraca. 4. Jadwal waktu penyusunan Laporan Keuangan dan Pemeriksaan serta Pertanggungjawaban Anggaran a. Evaluasi status penyelesaian Laporan Keuangan b. Penetapan batas akhir penyampaian Laporan Keuangan ke BPK Hasilnya : Laporan kemajuan penyelesaian laporan keuangan; Keputusan batas akhir penyampaian laporan. 5. Quality Assurance yang dilakukan oleh Pengawas Intern a. Review Laporan Keuangan Pemerintah Daerah oleh pengawas internal (Inspektorat) b. Presentasi Laporan Pertanggungjawaban Keuangan dihadapan semua SKPD c. Penyampaian Laporan Keuangan ke BPK Hasilnya : Laporan keuangan telah memenuhi kriteria dan standar layak WTP 6. Sumber Daya Manusia (SDM) a. Penetapan Status Bendahara sebagai Jabatan Fungsional b. Diklat pengetahuan dasar Ilmu Akuntansi Hasil : Semua staf dan pejabat telah memenuhi kompetensi sesuai dengan tupoksi Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
3
www.KamusKeuanganDaerah.com
Narasumber : Dr. Agung Firman Sampurna, Anggota V BPK RI Materi : Sinergi Auditor dan Auditee dalam Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Transparan dan Akuntabel
Pengelolaan
Keuangan
Perkembangan opini pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dapat disajikan sebagai berikut : Tahun
WTP 2008 13 2009 15 2010 34 2011 67 2012 * 113 * Posisi sampai dengan Semester I 2013 entitas
Provinsi/Kab./Kota WDP TW TMP Jumlah 323 31 118 485 330 48 111 504 341 26 121 522 349 8 100 524 267 4 31 415 dari jumlah Pemerintah Daerah (Prov/Kab/Kota) sebanyak 528
Grafik perkembangan opini pemeriksaan dapat disajikan sebagai berikut :
Beberapa catatan atas kualitas laporan keuangan pemerintah daerah yang ditemui adalah : 1. Peningkatan jumlah Pemerintah Daerah yang mendapatkan opini WTP, dan penurunan jumlah Pemerintah Daerah yang mendapatkan opini WDP & TMP. Hal ini mencerminkan perbaikan kualitas dalam pengelolaan dan penyajian laporan keuangan Pemerintah Daerah. 2. Masih banyak Pemerintah Daerah yang belum menyusun dan menyampaikan laporan keuangan ke BPK secara tepat waktu 3. Permasalahan yang masih sering terjadi terkait Sistem Pengendalian Intern a. Kelemahan dalam Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan b. Kelemahan dalam Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja c. Kelemahan dalam Struktur Pengendaliam Intern 4. Permasalahan yang masih sering terjadi terkait Kepatuhan. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan : Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
4
www.KamusKeuanganDaerah.com
a. Kerugian Daerah, Potensi Kerugian Daerah, dan Kekurangan Penerimaan Daerah b. Administrasi, Ketidakhematan, Ketidakefisienan, dan Ketidakefektifan Harapan BPK terhadap pelaporan keuangan pemerintah daerah adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan dan penyusunan laporan keuangan yang ditandai dengan jumlah Pemerintah Daerah yang mendapatkan WTP lebih banyak dari jumlah Pemerintah Daerah yg mendapatkan WDP 2. Pemerintah Daerah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan pelaksanaan action plan (rencana aksi) untuk menjabarkan rekomendasi BPK tersebut 3. Opini laporan keuangan hendaknya tidak menjadi tujuan akhir. Opini WTP adalah cerminan akuntabilitas, dan bila suatu entitas memiliki akuntabilitas yang memadai, mereka memiliki modal yang cukup untuk menghasil kinerja yang lebih baik. Narasumber : Dr. Agung Firman Sampurna, Anggota V BPK RI Materi : Sinergi Auditor dan Auditee dalam Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Transparan dan Akuntabel
Pengelolaan
Keuangan
Perkembangan opini pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dapat disajikan sebagai berikut : No
Tahun
Opini
1
2004
TMP
2
2005
TMP
3
2006
TMP
4
2007
TMP
5
2008
TMP
6
2009
WDP
7
2010
WDP
8
2011
WDP
9
2012
WDP
Pengecualian (qualification) pada LKPP Tahun 2012 meliputi: 1) Untung atau rugi selisih kurs dari seluruh transaksi yang menggunakan mata uang asing belum dilakukan sesuai Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan terkait yang berpengaruh pada realisasi penerimaan dan/atau belanja; 2) Kelemahan penganggaran dan penggunaan Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial, 3) Aset eks-BPPN sebesar Rp8,79 triliun belum ditelusuri keberadaannya dan aset properti eks kelolaan PT PPA sebesar Rp1,12 triliun belum diselesaikan penilaiannya 4) Saldo anggaran lebih (SAL) pada akhir tahun 2012 yang dilaporkan berbeda dengan keberadaan fisik SAL tersebut sebesar Rp8,15 miliar, penambahan fisik SAL sebesar Rp33,49 miliar tidak dapat Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
5
www.KamusKeuanganDaerah.com
dijelaskan, serta koreksi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp30,89 miliar tidak didukung dokumen sumber yang memadai Kelemahan penganggaran dan penggunaan Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial butir 2 diatas yaitu: a. Kelemahan pengendalian dan pelaksanaan revisi DIPA sehingga realisasi belanja melampaui DIPA sebesar Rp11,37 triliun untuk selain Belanja Pegawai; b. Belanja Barang dan Belanja Modal yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan berindikasi merugikan negara sebesar Rp546,01 miliar, termasuk yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp240,16 miliar dan c. Pembayaran Belanja Barang dan Belanja Modal di akhir tahun sebesar Rp1,31 triliun tidak sesuai realisasi fisik; d. Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp1,91 triliun masih mengendap di rekening pihak ketiga dan/atau rekening penampungan kementerian negara/lembaga dan tidak disetor ke kas negara; dan e. Penggunaan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp269,98 miliar tidak sesuai dengan sasaran.
BPK melaporkan 12 temuan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan lima temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan LKPP Tahun 2012. BPK merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menindaklanjuti delapan rekomendasi BPK dalam LHP LKPP Tahun 2011 dan 16 rekomendasi terkait temuan pemeriksaan LKPP Tahun 2012.
Perkembangan opini audit atas LKKL dan LKBUN dapat disajikan sebagai berikut : Opini
Tahun 200 8
200 9
201 0
201 1
201 2
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
34
44
52
66
68
Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
31
26
29
18
22
Tidak Memberikan Pendapat (TMP)
18
8
2
3
3
-
-
-
-
-
83
78
83
87
93
Tidak Wajar (TW)
Terdapat peningkatan kualitas laporan keuangan dari waktu ke waktu hal ini tercermin dari jumlah entitas yang mendapatkan opini WTP, namun demikian masih diperlukan kerja keras semua pihak agara semua entitas mendapatkan opini WTP. Ekspektasi Auditor terhadap Entitas dalam Meningkatkan Kualitas Laporan Keuangan adalah sebagai berikut : 1. Meminta komitmen penuh dari pimpinan entitas dalam melaksanakan rekomendasi BPK RI 2. Melibatkan semua pihak dalam organisasi untuk melaksanakan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan termasuk mengoptimalkan peran APIP. Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
6
www.KamusKeuanganDaerah.com
3. Peningkatan kompetensi personil yang terlibat Ekspektasi Auditor atas Implementasi akuntansi berbasis akrual pada tahun anggaran 2015 adalah sebagai berikut : 1. Penyiapan aturan pelaksanaan dan Kebijakan Akuntansi 2. Sosialisasi akuntansi berbasis akrual 3. Pengembangan sistem akuntansi 4. Pengembangan kapasitas SDM 5. Perlu dilakukan Piloting untuk meminimalisir risiko kegagalan 6. Apakah sudah dibuat roadmap implementasi akuntansi berbasis akrual secara detail? 7. Lakukan kajian dan evaluasi untuk setiap tahap implementasi. Narasumber : Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Materi : Sinergi Auditor dan Auditee dalam Pemerintah Daerah yang Transparan dan Akuntabel
Mewujudkan
Pengelolaan
Keuangan
Gambaran Umum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dijelaskan sebagai berikut : Dasar hukum pembiayaan pendidikan adalah sebagai berikut : 1. UUD 1945 : a. Pembukaan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa b. Psl 31 ayat (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan c. Psl 31 ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya d. Psl 31 ayat (4) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN 2. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas a. Psl 46 ayat (1) Pendanaan Pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat b. Psl 49 ayat (1), Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan 20% dari APBN c. Psl 49 ayat (3 dan 4), dana pendidikan dari pemerintah kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Beberapa informasi tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai berikut : Pagu dan Realisasi Anggaran 2008-2012
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
7
www.KamusKeuanganDaerah.com
Satuan Kerja lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No Tahun KP 1 2008 43 2 2009 47 3 2010 47 4 2011 49 5 2012 59 6 2013 63
KD 173 173 182 186 232 236
DK TP JUMLAH 133 50 399 132 50 402 99 50 378 99 50 384 105 5 401 99 19 417
KP = Kantor Pusat KD = Kantor Daerah DK = Dekonsentrasi TP = Tugas Perbantuan *Termasuk 33 Satker PTN PK BLU yang telah diaudit oleh KAP Neraca LK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Semester I Tahun 2013 (Ringkasan)
* Catatan : Penurunan disebabkan adanya penyusutan
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
8
www.KamusKeuanganDaerah.com
Rancangan Postur Anggaran Pendidikan 2013
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN TA 2014 Perkembangan opini pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat disajikan sebagai berikut : Tahun 2008 : Wajar Dengan Pengecualian 1. PNBP digunakan langsung; 2. Penggunaan Rekening yg belum mendapat pengesahan 3. Selisih Nilai Aset Tetap SAK & SIMAK-BMN; 4. Pelaksanaan Penertiban BMN; 5. Pengendalian Pengelolaan Persediaan; Tahun 2009 : Wajar Dengan Pengecualian 1. PNBP digunakan langsung; 2. SOP Piutang 3. Penggunaan Rekening yg belum mendapat pengesahan 4. Selisih Nilai Aset Tetap SAK & SIMAK-BMN; 5. Pelaksanaan Penertiban BMN; 6. Pengendalian Pengelolaan Persediaan; Tahun 2010-11 : Tidak Memberikan Pendapat 1. Pengintegrasian LK PKBLU, serta sistem belum memadai; 2. PNBP digunakan langsung; 3. SOP Piutang; 4. Pertanggungjawaban Bansos; Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
9
www.KamusKeuanganDaerah.com
5. 6. 7. 8.
Penggunaan Rekening yg belum mendapat pengesahan Selisih Nilai Aset Tetap SAK & SIMAK-BMN; Pengamanan dan Pengelolaan BMN; Pengendalian Pengelolaan Persediaan
Tahun 2012 : Wajar Dengan Pengecualian 1. Pengakuan dan penyajian Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP) pada BLU eks BHMN tidak didasarkan pada perhitungan yang handal. 2. PNBP yang dikelola diluar mekanisme APBN 3. Kelemahan dalam pengajuan belanja BLU. 4. Dokumen petanggungjawaban jasa konsultansi tidak dapat diyakini kewajarannya. 5. Belanja perjalanan dinas menggunakan bukti yang tidak sah dan pemahalan. 6. Belanja modal berupa konstruksi dalam pengerjaan per 31 Desember 2012 tidak dapat diyakini kewajarannya. 7. Kelemahan dalam belanja Bantuan sosial. 8. Dana titipan pihak ketiga yang belum dapat diidentifikasi sumber dan peruntukkannya. Tahun 2013 : Wajar Tanpa Pengecualian Tindak Lanjut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2012 adalah sebagai berikut : NO
TEMUAN BPK
1.
Pengakuan dan penyajian Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP) pada BLU eks BHMN tidak didasarkan pada perhitungan yang handal.
2.
PNBP yang dikelola diluar mekanisme APBN
3.
Kelemahan dalam pengakuan pendapatan dan belanja BLU.
4.
Dokumen petanggungjawaban belanja tidak dapat diyakini kewajarannya.
5.
Kelemahan dalam belanja Bantuan sosial.
6.
Dana titipan pihak ketiga yang belum dapat diidentifikasi sumber dan peruntukkannya
7.
Pengendalian dan penatausahaan aset tetap Kemdikbud belum memadai
TINDAK LANJUT 1. Kemdikbud tengah mengupayakan penyelesaian LHP BPK sesuai dengan Rekomendasi BPK RI; 2. Meningkatkan Sistem Pengendalian Intern dalam pengelolaan keuangan negara; 3. Kemdikbud telah menetapkan Pedoman/POS antara lain : a. POS Pengelolaan Hibah b. POS Pengelolaan Piutang c. POS Pengelolaan PNBP d. Pedoman Penyusunan LK BLU berdasarkan SAP; e. Pedoman SPIP; f. Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan 4. Meningkatkan kompetensi SDM pengelola keuangan melalui a. Pembinaan pengelolaan keuangan pada kantor/satker termasuk Pembinaan pengelolaan PNBP b. Pembinaan secara intensif kepada Satker BLU dengan melibatkan Direktorat PK BLU Kemkeu; c. Diklat Bendahara dan Pengadaan barang dan Jasa. d. Workshop Penyusunan Laporan Keuangan 5. Terkait dengan Belanja Bantuan Sosial, Kemdikbud telah melakukan koordinasi dengan UKP4 dan Kementerian Keuangan dalam penyelesaian permasalahan Belanja Bansos; 6. Terkait dengan Penataan aset Kemdikbud telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan BPKP dalam menyelesaikan permasalahan aset antara lain Aset belum diIP, Tanah belum bersertifikat, dalam sengketa, dll. Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
10
www.KamusKeuanganDaerah.com
Strategi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Peningkatan Kualitas Pertanggungjawab dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Membangun komitmen dari seluruh jajaran di lingkungan Kemdikbud mulai dari staf sampai dengan pimpinan; 2. Penerapan SPIP secara bertahap dan berkesinambungan sesuai PP No.60 Tahun 2008; 3. Pelaksanaan anggaran secara akuntabel dan bertanggungjawab serta didukung dengan standar dan sistem akuntansi yang berlaku; 4. Peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM pengelola keuangan 5. Audit reguler oleh Itjen yang fokus pada Laporan Keuangan; 6. Pendampingan penyusunan laporan keuangan baik di pusat maupun di daerah oleh Setjen, Itjen dan BPKP (jika diperlukan) 7. Riviu Laporan Keuangan oleh Inspektorat Jenderal 8. Melaksanakan dan memantau Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan
Diagram Strategi Kementerian Pendidikan dan Pertanggungjawab digambarkan sebagai berikut :
Kebudayaan
dalam
Peningkatan
Kualitas
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
11
www.KamusKeuanganDaerah.com
Arti Penting Audit Keuangan Negara adalah sebagai berikut : 1. Audit Keuangan Negara yang efektif dapat mendorong pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan dan pengembanan amanah UUD 45 secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 2. Audit Keuangan Negara yang efektif dapat menjaga konsistensi antara perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan negara. 3. Audit Keuangan Negara yang efektif dapat menekan atau mencegah terjadinya penyimpangan terhadap pengelolaan keuangan negara. 4. Audit Keuangan Negara yang efektif sangat membantu manajemen untuk mengendalikan pengelolaan keuangan dan kinerja seluruh satuan satuan kerja. Ekspektasi Terhadap Auditor adalah sebagai berikut : 1. Audit dilakukan berdasarkan tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan dan kinerja. 2. Audit dilakukan dengan memberikan nilai tambah berupa rekomendasi yang mendorong penyelesaian masalah. 3. Audit dilakukan dengan landasan atau standar pemeriksaan (Profesional, Independen, obyektif, kompeten). 4. Standar audit yang digunakan hendaknya standar yang sama yang digunakan oleh Auditee dan/atau auditor yang lain. 5. Audit yang dilakukan hendaknya memanfaatkan secara optimum hasil audit yang telah dilakukan oleh APIP Selanjutnya pada sesi kedua, ada 2 (dua) narasumber yang berasal dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI dan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Kedua pihak tersebut memaparkan materi tentang anggaran pemerintah. Narasumber : Direktur Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Materi : Membangun Sinergi Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Di Lingkungan Pemerintah Pusat. Prinsip Dasar Sistem Penganggaran Dalam APBN Mendukung Good Governance Dan Clean Government Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara adalah sebagai berikut : 1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. 2. Kekuasan dimaksud yaitu : a. Dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan Kekayan Negara yang dipisahkan; b. Dikuasakan kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran atau Pengguna Barang Kementerian Negara/ Lembaga yang dipimpinnya; c. Diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola Keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; 3. Kekuasaan atas pengelolaan Keuangan Negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. 4. Dalam rangka penyelenggaraan fungsi Pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara, setiap tahun disusun APBN dan APBD.
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
12
www.KamusKeuanganDaerah.com
5. Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, objektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Bentuk Sinergi Pengeloaan Keuangan Negara di Pusat dilakukan melalui : 1. Perencanaan APBN; 2. Pelaksanaan APBN; 3. Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBN. Pihak yang Terlibat 1. Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan, Bappenas, K/L) 2. DPR dan DPD; 3. Pemerintah Daerah; 4. BUMN; 5. BPK. Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara digambarkan sebagai berikut :
Reformasi di atas diikuti dengan berbagai perubahan proses bisnis (baik proses bisnis internal Pemerintah maupun proses bisnis antar lembaga negara) dan reorganisasi. Khusus reformasi dibidang penganggaran, banyak upaya tranformasi yang telah dilakukan dan kedepan akan semakin dilakukan penguatan untuk semakin meningkatkan efektivitas dan efisiensi anggaran.
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
13
www.KamusKeuanganDaerah.com
Berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut mendapat respon positif dari masyarakat dan berbagai lembaga internasional.
Issue Dalam Reformasi Penganggaran adalah sebagai berikut : Salah satu isu penting dalam transformasi sistem penganggaran yang perlu didiskusikan adalah terkait masih ditemukannya secara berluang-ulang dalam LHP BPK adanya penganggaran menurut jenis belanja (barang, modal, bantuan sosial) yang tidak sesuai dengan ketentuan klasifikasi jenis belanja. Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
14
www.KamusKeuanganDaerah.com
Isu Fungsi Ekonomi Vs Fungsi Akuntansi Sebagai instrumen kebijakan Pemerintah, APBN bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat termasuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumberdaya; meningkatkan efisiensi dan efektivitas perkonomian (fungsi alokasi), serta memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian (fungsi distribusi); Sebelum berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2003 pengalokasian anggaran sebagai pelaksanaan fungsi alokasi dan fungsi distribusi ditekankan pada sisi manfaat keekonomiannya dengan mengklasifikasikan sebagai belanja modal investasi pembangunan. Namun dengan diterapkannya pendekatan anggaran terpadu berbasis GFS yang menekankan fungsi jenis belanja sebagai alat akuntansi, cakupan dari belanja modal menjadi lebih sempit karena beberapa akun yang menurut sifat keekonomiannya sebelumnya termasuk sebagai belanja modal/investasi harus dikeluarkan karena sesuai kaidah akuntansi harus dibukukan sebagai belanja barang atau belanja bantuan sosial; Akibatnya postur belanja modal dalam APBN tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur besaran investasi pembangunan dalam mendukung pelaksanaan fungsi alokasi dan fungsi distribusi sehingga apabila postur belanja modal lebih rendah dari postur belanja barang menyebabkan bias dalam menterjemahkan arah kebijakan Pemerintah, seolah-olah komposisi APBN tidak mendukung program pembangunan yang menjadi prioritas Pemerintah. Perlu sinergitas dalam bentuk kesepahaman bahwa klasifikasi jenis belanja dalam dokumen perencanaan (RKA-KL/DIPA) adalah termasuk sebagai klasifikasi ekonomi yang mencerminkan fungsi alokasi dan fungsi distribusi dari APBN, sedangkan penggunaan klasifikasi jenis belanja dalam dokumen pelaksanaan (LKPP) mencerminkan pelaksanaan fungsi akuntansi. Terhadap beberapa transaksi yang menurut sifat keekonomiannya termasuk sebagai belanja modal namun pemanfaatannya tidak menambah aset Pemerintah sehingga menurut kaidah akuntansi tidak bisa dicatat sebagai belanja modal (menjadi belanja barang atau bantuan sosial), maka perubahan klasifikasi tersebut dicatat dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK). Alternatif Solusi Klasifikasi Jenis Belanja yang ada digunakan baik dalam rangka penyusunan dokumen perencanaan maupun dalam rangka pencatatan atas pelaksanaan anggaran; Klasifikasi jenis belanja dalam dokumen perencanaan dimaknai dari perspektif keekonomian, sedangkan dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan dimaknai dari perspektif akuntansi; Perubahan pengklasifikasian jenis belanja dari transaksi-transaksi tertentu (misal barang modal yg tidak menambah aset Pemerintah) untuk menyesuaikan dengan kaidah akuntansi cukup dilakukan pada tahap pelaksanaan, dengan memberikan keterangan seperlunya pada CALK atas alasan perubahan jenis belanja dimaksud; Revisi dokumen pelaksanaan yang selama ini menjadi prasyarat sebelum dilakukannya transaksi pembayaran, dapat ditiadakan dan diganti dengan mekanisme rekonsiliasi untuk pelaporan, kecuali untuk revisi dokumen anggaran karena adanya perubahan yang mendasar (seperti adanya APBNP atau revisi antar program yang mengubah outcome); Dengan demikian perbedaan pencantuman jenis belanja yang ada dalam dokumen perencanaan dengan yang dicantumkan dalam laporan keuangan dapat dijelaskan melalui adanya keterangan dalam CALK dan tidak semestinya diperlakukan sebagai temuan hasil pemeriksaan. Untuk itu perlu disusun pedoman sebagai landasan formal atas penggunaan klasifikasi jenis belanja dalam perspektif keekonomian untuk penyusunan dokumen perencanaan anggaran dan dalam perspektif akuntansi untuk pencatatan trasaksi atas pelaksanaan anggaran yang akan dituangkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
15
www.KamusKeuanganDaerah.com
Konversi Jenis Belanja Dari Format Lama ke Format Baru yang ada dapat digambarkan sebagai berikut :
Narasumber : Sekretaris Jenderal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Materi : Sinergi menuju Pelaksanaan Anggaran yang Tertib dan Akuntabel Latar Belakang paparan adalah sebagai berikut : 1. Reformasi Keuangan Negara ditandai dengan diberlakukannya Paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara, yang terdiri dari: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 2. Ketiga Undang-Undang tersebut semangatnya salah satunya adalah terciptanya check and balances antara fungsi-fungsi pengelola keuangan negara pada setiap siklus anggaran, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. 2. Dalam perencanaan: terciptanya check and balance antara Pemerintah dan DPR; dalam pelaksanaan anggaran terciptanya check and balance antara PA dan BUN; dan dalam pemeriksaan pertanggungjawaban APBN terciptanya pemeriksaan yang mandiri oleh BPK dan governance antara auditor dan auditee; 3. Check and balance dalam pelaksanaan anggaran, memerlukan sinergi antara Kementerian Keuangan dengan kementerian/Lembaga. Sesuai dengan tema yang diberikan oleh Panitia, dalam paparan ini dibahas mengenai sinergi dalam fungsi pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan anggaran meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan, pelaksanaan anggaran belanja, pembiayaan, dan sebagai hasil pelaksanaan anggaran adalah aset/barang milik negara yang harus dikelola dengan baik (manajemen aset). Pendelegasian Wewenang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 dapat digambarkan sebagai berikut : Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
16
www.KamusKeuanganDaerah.com
Penegasan Pejabat Pengelola Keuangan dapat dijelaskan dalam gambar berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
17
www.KamusKeuanganDaerah.com
Pemisahan kewenangan sesudah reformasi (Kondisi setelah berlaku UU No. 1 Tahun 2004) dapat digambarkan sebagai berikut :
Pelaksanaan Anggaran yang Tertib dan Akuntabel untuk Mencapai Tujuan APBN adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan anggaran ditujukan agar APBN yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga dapat mencapai tujuan Rencana Kerja Pemerintah (pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan). 2. Dalam rangka pelaksanaan anggaran yang mendukung tujuan APBN, dalam tata kelola pelaksanaan anggaran harus mempedomani ketentuan perundang-undangan, yaitu : UU Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan ketentuan pelaksanaannya, PP Nomor 6 Tahun 2006, PP Nomor 45 Tahun 2013, serta peraturan pelaksanaannya. 3. Peraturan perundangan tersebut, mengatur mengenai prinsip-prinsip pelaksanaan anggaran sehingga pelaksanaan anggaran dapat tertib dan akuntabel Azas Umum Pelaksanaan Anggaran diuraikan sebagai berikut: • • • • • • •
Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara. Masa berlaku anggaran pada APBN adalah untuk tahun anggaran bersangkutan Setiap penerimaan harus disetor ke kas negara dan dicatat dalam APBN. Setiap alokasi anggaran harus terinci secara jelas peruntukannya. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan program pemerintah pusat, dibiayai dengan APBN. Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau bunga.
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
18
www.KamusKeuanganDaerah.com
Penyusunan DIPA digambarkan sebagai berikut :
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan digambarkan sebagai berikut :
Pelaksanaan Anggaran Belanja digambarkan sebagai berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
19
www.KamusKeuanganDaerah.com
Kendala dan Permasalahan dalam Pelaksanaan Anggaran dijelaskan sebagai berikut : 1. Pendapatan dan hibah: pemungutan/pemotongan penerimaan pajak yang belum optimal, penyetoran dan penggunaan PNBP yang belum tertib, pencatatan hibah langsung yang belum tertib. 2. Belanja: Penyerapan anggaran yang tidak proporsional dan tidak optimal, belanja yang tidak tepat sasaran, pengendalian belanja bantuan sosial dan belanja akhir tahun anggaran. 3. Pembiayaan: penarikan pinjaman luar negeri yang tidak optimal, belum terukurnya kinerja belanja yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. 4. Pengelolaan aset/barang milik negara: aset tetap pemerintah yang masih belum seluruhnya dilakukan inventarisasi dan penilaian (IP), masih kurangnya optimalisasi/utilisasi aset pemerintah. Perlunya Sinergi Pengguna Anggaran dan BUN untuk Pelaksanaan Anggaran yang Tertib dan Akuntabel sebagai berikut : 1. Dalam penyelesaian permasalahan pelaksanaan anggaran, Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Anggaran dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, tidak dapat melaksanakan tugasnya secara terpisah dan sendiri-sendiri. Namun harus bersinergi untuk menjamin pelaksanaan anggaran tertib dan akuntabel. 2. Sinergi dalam pelaksanaan anggaran antara PA dan BUN harus dilakukan pada setiap aspek dalam siklus pelaksanaan anggaran, yaitu: pelaksanaan anggaran pendapatan, pelaksanaan anggaran belanja, pembiayaan, dan pengelolaan aset/barang milik negara; 3. Prasyarat utama dalam sinergi pelaksanaan anggaran, antara lain adalah: - Kejelasan tugas dan fungsi dalam pengelolaan keuangan - Sumber daya manusia pengelola keuangan yang kompeten dan profesional - Standarisasi sistem pengelolaan keuangan, baik dokumen, pejabat perbendaharaan, dan mekanisme/prosedur pelaksanaan anggaran Sinergi dalam Siklus Pelaksanaan Anggaran dijelaskan sebagai berikut : 1. Dalam pelaksanaan anggaran pendapatan : - perlunya sinergi antara PA/KPA dengan Ditjen Pajak untuk menjamin setoran pajak dipotong dan disetor ke kas negara, - Sinergi antara Bendahara Umum Daerah dengan Ditjen Pajak untuk menjamin pajak dari pelaksaan APBD dapat tertib masuk ke kas negara; - Sinergi Kementerian Keuangan dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menerapkan NIK sebagai NPWP dalam rangka ekstensifikasi pajak dan optimalisasi penerimaan negara. - Perlunya sinergi antara Kementerian/lembaga/Satker Pengelola PNBP dengan Kementerian Keuangan dalam rangka menjamin seluruh penerimaan PNBP dapat disetor ke kas negara secara cepat dan tertib, dan penggunaannya akuntabel sesuai dengan ketentuan. - Perlunya sinergi antara Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan penngelolaan dan pencatatan hibah yang tertib dan akuntabel sesuai dengan ketentuan 2. Dalam pelaksanaan anggaran belanja : - Perlunya sinergi antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian/Lembaga untuk penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran yang akurat dan tepat waktu. - Perlunya sinergi Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan mempercepat pembuatan komitmen/pengadaan barang dan jasa. - Perlunya sinergi bagi Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan percepatan penyelesaian tagihan, pembayaran dan pencairan dana; Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
20
www.KamusKeuanganDaerah.com
Perlunya sinergi antara Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk memahami pemisahan tugas dan fungsi dalam penggunaan anggaran dan bendahara umum negara. - Perlunya sinergi antara Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melaksanakan penggunaan anggaran secara profesional, tertib, taat azas dan akuntabel 3. Dalam pelaksanaan pembiayaan: - perlunya sinergi Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan perencanaan kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman/utang secara hati-hati; - Perlunya sinergi Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan penggunaan anggaran yang dibiayai dari pinjaman secara optimal dan akuntabel. 4. Dalam pengelolaan aset/barang milik negara - perlunya sinergi Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan pengelolaan dan penggunaan aset pemerintah secara optimal dan akuntabel; - Perlunya sinergi antara Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan inventarisasi dan penilaian aset secara tertib dan akurat. -
Sinergi dalam Memenuhi Prasayarat Utama Pelaksanaan Anggaran yang Tertib dan Akuntabel dijelaskan sebagai berikut : 1. Kejelasan tugas dan fungsi : memperjelas tugas, fungsi dan kewenangan para pejabat perbendaharaan (KPA, PPK, PP-SPM, Bendahara) melalui pengaturan dalam PP No. 4 Tahun 2013 dan PMK No. 190/PMK.05/2012; 2. Peningkatan profesionalitas dan kompetensi SDM Pengelola Keuangan: peningkatan kapasitas pengelola keuangan melalui PPAKP, diklat-diklat bendahara, standarisasi kompetensi pejabat perbendaharaan; 3. Standarisasi sistem pengelolaan keuangan, - Peraturan perundangan, kejelasan dasar hukum pelaksanaan UU No. 1 Tahun 2004 dengan penetapan PP Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN menggantikan Keppres Nomor 42 Tahun 2002, peningkatan tata kelola pelaksanaan anggaran melalui penetapan Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pembayaran atas beban APBN, pelaksanaan bantuan sosial, penatausahaan hibah, penilaian dan inventarisasi aset. - Sistem pengelolaan keuangan, pengembangan MPN G-2 untuk optimalisasi penerimaan negara dan pengembangan SPAN dan SAKTI untuk efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan Pemerintah. Harapan Sinergi Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga sebagai berikut : 1. Pada internal Kementerian Keuangan telah dilakukan sinergi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran, seperti: penggabungan proses bisnis penyelesaian RKA-KL dengan pengesahan DIPA. 2. Selanjutnya diharapkan sinergi Kementerian/Lemabaga, dalam : - Kejelasan tugas dan fungsi : menyusun ketentuan internal yang menegaskan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab para pejabat pengelola keuangan; - Peningkatan profesionalitas dan kompetensi SDM Pengelola Keuangan: mengoptimalkan SDM yang telah mengikuti diklat pengelola keuangan (tidak memutasikan pejabat yang baru mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan), - Standarisasi sistem pengelolaan keuangan: menyiapkan sistem dan infratruktur yang menunjang otomasi/modernisasi pengelolaan keuangan (khususnya aplikasi SAKTI, jaringan, hardware, untuk menyongsong implementasi SPAN) Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
21
www.KamusKeuanganDaerah.com
-
Peraturan perundangan, meningkatkan pemahaman dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan negara., meningkatkan komunikasi dengan Kementerian Keuangan (Eselon I, Kanwil, KPPN/KPNKL)
Selanjutnya pada sesi terakhir, ada 2 (dua) narasumber yang berasal dari Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI. Kedua pihak tersebut memaparkan materi tentang penerapan akuntansi akrual. Narasumber : Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Materi : Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah Dasar hukum penerapan akuntansi berbasis akrual pada pemerintah daerah adalah sebagai berikut : PP No 71 Tahun 2010 Pasal 4 ayat (1) : Pemerintah (Pemerintah Daerah) menerapkan SAP Berbasis Akrual Pasal 7 : ayat (1) : Penerapan SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual menjadi penerapan SAP Berbasis Akrual. ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Lampiran PP 71 Tahun 2010, mengamanatkan : Dalam hal entitas pelaporan belum dapat menerapkan PSAP berbasis akrual, entitas pelaporan dapat menerapkan PSAP berbasis kas menuju akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah TA 2010. Permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam penerapan akuntansi berbasis akrual adalah sebagai berikut : Keterbatasan SDM Akuntansi pada SKPD/PPKD SOTK SKPD/PPKD belum memadai untuk implementasi akuntansi akrual Lemahnya pemanfaatan aplikasi akuntansi berbasis teknologi informasi Terdapat Peraturan Perundang-undangan yang belum sinkron : Struktur penganggaran APBD (UU 32/2004 dan UU 33/2004) dengan struktur laporan keuangan (PP 71/2010) Belanja modal dan belanja tidak terduga dalam UU 17/2003 merupakan Jenis Belanja, sedangkan dalam PP 71/2010 merupakan Kelompok Belanja. perbedaan diatas, memerlukan konversi dalam pelaporan keuangan. Kondisi Penerapan Akuntansi Pada Pemerintah Daerah dijelaskan sebagai berikut : Capaian opini WTP atas LKPD masih rendah (data sementara: Opini LKPD 2012 WTP 16 Provinsi dan 112 Kabupaten/Kota) Belum seragamnya penggunaan aplikasi sistem informasi akuntansi (SIPKD, SIMDA, dll) hambatan untuk konsolidasi Laporan Keuangan Nasional/Government Financial Statistic (GFS) Keterlambatan penyelesaian LKPD TA 2012 dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Semester Pertama TA 2013 Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
22
www.KamusKeuanganDaerah.com
Strategi Penerapan Standar Akuntansi Berbasis Akrual Pada Pemda digambarkan sebagai berikut :
Kesiapan Pemda Dalam Rangka Implementasi SAP adalah sebagai berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
23
www.KamusKeuanganDaerah.com
Peran Kementerian Dalam Negeri dalam Pengelolaan Keuangan Daerah dijelaskan sebagai berikut : Melakukan Pembinaan meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Pemberian pedoman mencakup: penatausahaan, pertanggungjawaban keuangan daerah, pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaan pengelolaan keuangan daerah. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi mencakup: pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBD yang dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu, sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan dan pelatihan bagi aparatur pemda terkait
Peran Kementerian Dalam Negeri dalam Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual digambarkan sebagai berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
24
www.KamusKeuanganDaerah.com
Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait penerapan SAP berbasis akrual digambarkan sebagai berikut :
Narasumber : Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Materi : Optimalisasi Penggunaan Akuntansi Berbasis Akrual Dan Statistik Keuangan Pemerintah Dalam Pelaksanaan Kajian Fiskal Regional Dan Nasional Pengertian dan Manfaat Akuntansi Berbasis Akrual adalah sebagai berikut :
Basis akrual adalah suatu basis akuntansi di mana transaksi ekonomi atau peristiwa akuntansi diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas diterima atau dibayarkan Jadi: (i) pendapatan akan diakui/dicatat oleh pemerintah pada saat timbulnya hak dan tidak semata-mata pada saat kas masuk ke kas negara, sedangkan (ii) belanja diakui/dicatat oleh pemerintah pada saat timbulnya kewajiban atau tidak selalu pada saat kas keluar dari kas negara Contoh penerapan: – Pendapatan pajak akan diakui dan dicatat pada saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) – Belanja akan diakui dan dicatat pada saat diterimanya tagihan dari rekanan atas barang/jasa yang telah diterima secara sah oleh pemerintah
Manfaat dan Dasar Hukum Akuntansi Berbasis Akrual dijelaskan sebagai berikut : Manfaat Akuntansi berbasis akrual dapat menggambarkan posisi keuangan pemerintah dengan lebih lengkap, termasuk dalam menginformasikan potensi dan resiko fiskal seperti hak atas pendapatan yang masih akan diterima serta kewajiban yang masih dibayar Meskipun, tetap perlu diwaspadai ‘realisasi’ kas yang masuk/keluar Kas Negara yang kemungkinan tidak sama dengan pencatatan pendapatan / belanja yang telah dilakukan sebelumnya
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
25
www.KamusKeuanganDaerah.com
Dasar Hukum PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) mengamanatkan bahwa SAP Berbasis Akrual harus sudah diterapkan paling lambat pada tahun anggaran 2015 PP tersebut juga mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut penerapan SAP Berbasis Akrual pada Pemerintah Pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan pada pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota mengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan Tahapan Implementasi Akuntansi Akrual digambarkan sebagai berikut :
Langkah-langkah Persiapan di Kementerian Keuangan untuk implementasi akrual digambarkan sebagai berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
26
www.KamusKeuanganDaerah.com
Implikasi Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual digambarkan sebagai berikut :
Pengertian dan Dasar Hukum Pengembangan GFS dijelaskan sebagai berikut : GFS adalah data statistik keuangan pemerintah yang dikumpulkan dari aktivitas/akuntansi transaksitransaksi keuangan pemerintah, disajikan dalam format sejalan dengan standar statistik internasional, dengan tujuan untuk digunakan dalam analisis kebijakan fiskal dan ekonomi makro lainnya. Umumnya, GFS disusun berdasarkan referensi GFS Manual dari IMF tahun 2001, sehingga secara internasional mempunyai pengertian dan format yang sama untuk seluruh negara dan dapat diperbandingkan antar negara dengan lebih mudah Beberapa dasar hukum pengembangan GFS: – UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara – Laporan Hasil Reviu BPK – PP Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan – PMK 238/PMK.05/2011 Tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan Proses Penyusunan GFS digambarkan dalam skema berikut ini :
Penjelasan : • GFS dibangun dengan membuat data mapping dari data akuntansi/laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah (general govt) serta BUMN/BI/pemerintah lainnya (whole govt), sehingga terbentuk data statistik keaungan untuk kebutuhan analysis kebijakan fiskal dan ekonomi lainnya • Karena di-mapping dari data akuntansi, secara otomatis dalam GFS sudah terdapat informasi detail tentang alokasi dana per program, fungsi, kegiatan, output, belanja, lokasi, dll. yang sudah sejak lama digunakan untuk perumusan kebijakan fiskal ataupun kebutuhan lainnya. Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
27
www.KamusKeuanganDaerah.com
•
Dalam GFS, data keuangan juga sudah terbagi dalam kelompok stocks (neraca) dan flows (transaksi dan transaksi lainnya), dimana data stocks hanya dapat berubah apabila data flows-nya berubah. Informasi ini penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi neraca akhir pemerintah sebagai sebagai landasan pembuatan kebijakan ekonomi.
Penyusun dan Pengguna GFS dapat dijelaskan dalam bagan berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
28
www.KamusKeuanganDaerah.com
Kendala Penyusunan GFS dijelaskan sebagai berikut : Masih terdapat gap antara standar/sistem akuntansi pemerintah dengan requirement GFS, misalnya penggunaan nilai pasar dalam GFS dan nilai perolehan dalam akuntansi Laporan GFS belum terintegrasi dengan sistem akuntansi pemerintah Kualitas dan keterlambatan penyampaian data pemerintah daerah Perbedaan sistem akuntansi pemerintah pusat dan sistem akuntansi pemerintah daerah mengakibatkan kesulitan dalam konsolidasi data. Pentahapan Penerapan Statistik Keuangan Pemerintah dapat digambarkan sebagai berikut :
Langkah-langkah Peningkatan Kualitas Data Statistik Keuangan Pemerintah diuraikan sebagai berikut : Penyusunan perangkat peraturan untuk mendukung penerapan Statistik Keuangan Pemerintah dan Kajian Fiskal Regional Pengembangan aplikasi mapping Bagan Akun Standar (BAS) sistem akuntansi ke BAS Statistik Keuangan Pemerintah dan konsolidasi sektor publik, serta allignment dengan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) dan Komunikasi dan Manajemen Data Nasional (Komandan SIKD). Koordinasi lebih lanjut dengan pemangku kepentingan, yang antara lain meliputi: Ditjen Perimbangan Keuangan, pemerintah daerah, Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri Pengembangan kapasitas sumber daya manusia terkait konsep dan penerapan Statistik Keuangan Pemerintah baik pada Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah. Penyusunan Laporan Statistik Keuangan Pemerintah secara rutin dan berkala.
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
29
www.KamusKeuanganDaerah.com
Arah dan Peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan sebagai Pengelola Fiskal Regional adalah sebagai berikut: Berdasarkan PMK No 169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan memberikan dasar untuk peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah dalam bidang fiskal
Gambaran Umum Kajian Fiskal Regional (KFR) dapat digambarkan sebagai berikut :
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
30
www.KamusKeuanganDaerah.com
Kesimpulan Umum Hasil KFR Semester I dijelaskan sebagai berikut : 1. KFR semester I yang dihasilkan oleh seluruh Kanwil DJPB telah memetakan dan menganalisis kondisi fiskal daerah. Beberapa fenomena umum yang terjadi pada skala nasional tercermin pada kondisi fiskal di daerah, antara lain : Pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada beberapa tahun terakhir namun terjadi perlambatan pada semester I tahun 2013. Meningkatnya inflasi di seluruh daerah Melebarnya celah pada distribusi pendapatan yang ditunjukan dengan peningkatan gini rasio Membaiknya indikator demografis (IPM, kesejahteraan, pengangguran, dll) beberapa tahun terakhir Ruang fiskal yang terbatas pada APBD secara umum di daerah, serta tingginya ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat sejalan dengan rendahnya PAD Rendahnya alokasi belanja infrastruktur sebagai motor pertumbuhan dihadapkan kepada tingginya beban belanja pegawai pada APBD tanpa ada kebijakan pengendalian belanja (hard budget constraint) Rendahnya penyerapan belanja APBN dan APBD pada semester I tahun 2013 Perubahan/pergeseran alokasi APBN pada DK,TP,UB menjadi dana perimbangan 2. Disamping fenomena fiskal secara umum di atas, juga terdapat beberapa hal yang sifatnya khusus dan unik yang terungkap pada KFR beberapa Kanwil, yang menjadi indikasi adanya problem-problem fiskal di daerah dan dapat menjadi referensi untuk dikaji lebih lanjut. 3. Koordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya telah dilakukan, dan perlu terus ditingkatkan untuk perbaikan output KFR periode berikutnya. Kesimpulan penerapan akrual di pemerintah pusat : 1. Pemerintah Pusat telah menyusun pentahapan penerapan akuntansi berbasis akrual. 2. PUSAP merupakan acuan baik bagi pemerintah pusat maupun bagi pemerintah daerah dalam penyusunan sistem akuntansi berbasis akrual, dalam rangka konsolidasi fiskal dan statistik keuangan pemerintah 3. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan akuntansi berbasis akrual serta konsolidasi fiskal dan statistik keuangan pemerintah: Komitmen pimpinan, baik di Pemerintah Pusat maupun di Pemerintah Daerah untuk dapat menyusun sistem akuntansi pemerintahan yang sesuai dengan PUSAP. Pemberdayaan peran, koordinasi, dan sinergi yang terus menerus antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri dalam melakukan pembinaan pengelolaan keuangan, terutama akuntansi dan pelaporan di sektor publik, baik untuk pemerintah pusat maupun untuk pemerintah daerah. Kesamaan pandangan dari semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan keuangan ke depan mengenai pentingnya kerangka bagan akun standar yang sama, tidak hanya untuk mendukung akuntabilitas keuangan akan tetapi juga berguna untuk melakukan konsolidasi informasi keuangan. Pemanfaatan informasi yang akan dihasilkan tersebut secara optimal dalam proses pengambilan keputusan, sehingga keuangan negara/daerah dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. 4. Kanwil Ditjen Perbendaharaan telah menyusun Laporan Statistik Keuangan Pemerintah Tingkat Wilayah dan Kajian Fiskal Regional dalam rangka analisis kebijakan fiskal dan ekonomi makro. 5. Statistik Keuangan Pemerintah dapat menyediakan data yang dibutuhkan untuk analisis kebijakan fiskal dan makro ekonomi baik tingkat nasional maupun tingkat wilayah Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
31
www.KamusKeuanganDaerah.com
6. Kajian fiskal regional tersebut sangat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengevaluasi kebijakan fiskal dan pembangunan daerah dan kaitannya dengan kebijakan fiskal nasional 7. Dalam rangka perwujudan peran sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah dalam bidang fiskal, Kanwil Ditjen Perbendaharaan diarahkan untuk mampu berkontribusi optimal dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan di daerah Artikel disusun berdasarkan sumber data dari : www.perbendaharaan.go.id www.kppnternate.net
Menyongsong Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual