Short List – 1. Pembangunan Kota (Kelembagaan)
1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo
Semarang
• Tipe kegiatan:
Peremajaan kota • Inisiatif dalam manajemen perkotaan: Penciptaan pola kemitraan yang mempertemukan pendekatan top-down dan bottom-up • Tempat dan skala kegiatan: Kelurahan Bandarharjo, Kotamadya Semarang. • Pelaku utama: Pemda, konsultan, masyarakat. Deskripsi kegiatan Banjir (rob) akibat air pasang yang dapat datang sewaktu-waktu membuat seluruh aspek kehidupan warga Bandarharjo menjadi sangat buruk. Hampir seluruh sumber daya (ekonomi, tenaga, pikiran) dicurahkan untuk mengatasi masalah rob tersebut. Akibatnya mereka relatif tidak memiliki pandangan mengenai bagaimana merencanakan hidup. Kondisi tersebut menjadi perhatian banyak pihak, terutama saat Bandarharjo menjadi wajah depan dari Kota Semarang dengan dibangunnya jalan lingkar. Oleh karena itu kemudian muncul inisiatif Pemda untuk memperbaiki citra kawasan tersebut. Penanganan Bandarharjo diarahkan tidak hanya semata-mata pendekatan pembangunan fisik melainkan juga memperhatikan aspek manusia dan Genangan air laut yang terus-menerus ekonomi, untuk itu perbaikan lingkungan di dihadapi, menghabiskan banyak energi Bandarharjo dilakukan dalam 3 tahap, yaitu : 1. Tahap pilot project (1992-1996), meliputi pembangunan aspek manusia, ekonomi (pembentukan kelompok-kelompok usaha) serta pengenalan konsep dan pembangunan rumah susun sebagai pilot project resettlement 2. Pengintegrasian ke dalam SSUDP (Semarang Surakarta Urban Development Project), tahun 1996-1998, dengan memulai pembangunan fisik ke-ciptakarya-an 3. Tahap berikutnya (1998-1999) proyek ini dintegrasikan dalam P3P (Proyek Peningkatan Prasarana Permukiman) Program Penataan Permukiman Kumuh dan Nelayan, yang meliputi kawasan yang lebih luas. Kemudian pada tahun 2000 direncanakan permasalahan rob akan dituntaskan dengan menggunakan bantuan dana maupun teknis dari JICA Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui proyek peremajaan ini adalah : Mewujudkan suatu proses yang berkelanjutan (sustainable) dan dapat direplikasi (replicable) • Menanggulangi proses pemiskinan melalui program fisik yang secara sistematis dan terintegrasi dapat mewadahi kegiatan sosial dan ekonomi •
6
Short List – 1. Pembangunan Kota (Kelembagaan)
•
•
Mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya peremajaan, seperti biaya ekonomi (pendanaan) dan biaya sosial (kerugian-kerugian yang harus ditanggung masyarakat) dengan mempertahankan dan memperkuat struktur sosial masyarakat setempat, melalui perubahan pola yang semula bertumpu pada pemberian oleh pemerintah menjadi pola yang bertumpu pada partisipasi masyarakat Memberikan landasan yang kuat pada peremajaan kawasan dengan mengintegrasikan perencanaan pada skala lingkungan (neighborhood-wide) ke dalam skala kota (citywide)
Formulasi Penganganan Dalam jangka panjang proyek ini berusaha menempatkan pembangunan masyarakat dalam suatu struktur pola pendekatan terhadap pelaksanaan kegiatan/penanganan, dengan melibatkan sektor swasta dan koperasi. Hal tersebut dicapai dengan memberdayakan masyarakat melalui partisipasi masyarakat dalam menggalang potensi pembangunan serta tindakan masyarakat. Strategi yang digunakan adalah proses peremajaan melalui pemberdayaan masyarakat, yang meletakkan kemitraan sebagai dasar seluruh langkah yang diambil. Secara umum strategi ini bertumpu pada visi : • Mengarahkan pembangunan pada tingkatan masyarakat • Mengintegrasikan perencanaan pada skala lingkungan dan skala kota • Menggalang partisipasi masyarakat dan mendokumentasikan kesepakatan masyarakat sebagai dasar penyusunan rencana pelaksanaan • Mengembangkan pola perumahan murah yang berkelanjutan • Mengupayakan kemitraan dengan berbagai stakeholders Pelaksanaan kegiatan Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa kemitraan adalah inti/dasar dari pendekatan yang digunakan dalam proyek ini. Aktor-aktor utama dalam kemitraan adalah masyarakat yang didampingi oleh konsultan dan LSM, serta pemerintah daerah. Karena peremajaan adalah hal yang baru bagi masyarakat setempat, maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan khusus untuk menghapus ketakutan serta sikap apriori maupun untuk memperoleh dukungan terhadap program-program yang ditawarkan. Melalui pendekatan ini diharapkan juga dapat ditangkap aspirasi masyarakat untuk merumuskan program baru maupun sebagai koreksi terhadap program yang ditawarkan. Kemitraan yang dibangun secara lebih luas melibatkan instansi pemerintah pusat (BPN, Cipta Karya), pemerintah daerah (Bappeda, dinas-dinas), LSM, konsultan, swasta (lembaga keuangan, yayasan, perusahaan), perguruan tinggi dan masyarakat setempat. Antara masyarakat dan pemda maupun instansi pemerintahan lainnya terdapat suatu forum dialog dengan pihak konsultan sebagai mediator. Masyarakat juga didampingi oleh konsultan dalam berhubungan dengan pihak swasta. Kemitraan dilakukan dalam setiap lingkup/tahap kegiatan, yaitu : • Identifikasi dan perumusan isu lokal melalui mekanisme pengenalan oleh masyarakat sendiri terhadap masalah ekonomi, sosial dan fisik lingkungan • Perumusan masalah mendasar dengan menempatkan penanganan pada skala kota dan skala lingkungan • Sosialisasi visi, misi serta penggalangan potensi masyarakat melalui kelompokkelompok pembangunan (KSM, CBO, koperasi) 7
Short List – 1. Pembangunan Kota (Kelembagaan)
• Pembentukan forum dialog antara Pemda dan masyarakat (melalui CBO) untuk menyepakati program-program aksi. Salah satu mekanismenya adalah : masyarakat mengajukan proposal, Pemda memberikan penilaian yang menyangkut kebijakan, perencanaan dan pembiayaan • Penggalangan masyarakat untuk mempersiapkan pembangunan/masa konstruksi dengan melibatkan aksi oleh masyarakat sendiri Dalam pelaksanaan proyek ini sedapat mungkin program dan desain yang dihasilkan melalui suatu proses bottom-up, untuk memenuhi aspirasi/keinginan dari bawah (pada skala lingkungan). Di lain pihak pendekatan top-down juga tidak ditinggalkan, karena melalui pendekatan ini struktur proyek dapat diintegrasikan dengan perencanaan pada skala kota. Pemda maupun instansi sektoral lainnya (melalui SSUDP/Semarang Surakarta Urban Development Program) telah memiliki konsep dan program penanganan Bandarharjo. Atas inisiatif Walikota yang turun langsung ke lapangan, sebagian dari konsep dan program tersebut (disesuaikan dengan kewenangan Pemda) ditawarkan kepada masyarakat untuk ditanggapi dan bahkan dikoreksi. Dilain pihak, warga setempat dengan didampingi oleh konsultan telah mencoba merumuskan konsepnya sendiri (dalam bentuk poposal atau yang lain). Pada pertemuan di lapangan tersebut proses dialog terjadi, sebagai permulaan pertemuan antara proses bottom-up dan top down. Berbekal pada kesepakatankesepakatan yang dihasilkan, Walikota membawanya ke forum yang lebih luas untuk kembali mempertemukan konsep skala lingkungan dan konsep skala kota, misalnya pada pertemuan antardinas teknis yang terkait. Pembiayaan Pemerintah Daerah Kodya Semarang (melalui Walikota) terlihat gigih dalam melakukan lobi ke berbagai institusi (pemerintahan pusat maupun lembaga donor) untuk mensosialisasikan program-program yang telah disepakati bersama dengan masyarakat. Hasil dari sosialisasi ini disamping memperoleh dukungan teknis maupun politis, juga dapat didapatkan bantuan pendanaan bagi kegiatan ini. Beberapa sumber dan jenis pembiayaan untuk kegiatan peremajaan kota di Bandarharjo adalah : Periode Pilot Project Bandarharjo 1992-1996 SSUDP Sektor Urban Renewal Bandarharjo 196-1998 P3P Bandarharjo dan kawasan lain Des 1998 – Maret 1999
Jumlah Sumber (Rupiah) 864 juta PU Cipta Karya (APBN), Pemda Jateng 10,11 milyar APBN, APBD II
37 milyar World Bank, Cipta Karya (APBN)
Jenis Loan (pinjaman)
Loan (pinjaman)
Loan (pinjaman)
8
Short List – 1. Pembangunan Kota (Kelembagaan)
Beberapa faktor cost recovery dapat dikenali dalam proyek ini, terutama melalui kegiatan-kegiatan ekonomi seperti usaha pengasapan ikan, pembuatan jok, maupun beberapa kegiatan income generating lainnya. Sampai saat ini dapat diketahui bahwa berbagai kegiatan ekonomi tersebut telah dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Pendanaan kegiatan ekonomi tersebut diperoleh dari kredit perbankan, setelah konsultan lebih dulu mengenalkan dunia perbankan kepada masyarakat. Produk-produk usaha masyarakat (dengan dibantu oleh konsultan) telah mampu menembus pasar, sehingga pengembalian kredit maupun keberlanjutan usaha masyarakat dapat terjamin. Sementara itu dari kegiatan fisik (termasuk rumah susun) sulit untuk mengharapkan adanya cost recovery. Pihak Pemda Rumah susun: alternatif sendiri telah memberikan komitmennya untuk sama sekali tidak penanganan permukiman membebankan pengembalian pinjaman (loan) kepada kumuh masyarakat. Bahkan untuk operasional dan pemeliharaan juga ditanggung oleh pemerintah. Setiap pendapatan dari faktor cost recovery lebih baik digunakan untuk mengembangkan usaha masyarakat. Untuk menghindari sikap apriori masyarakat terhadap keberadaan rumah susun, digunakan mekanisme sewa-bayar, dimana warga setempat dikenakan sewa untuk jangka waktu tertentu dan kemudian berhak atas kepemilikannya. Permasalahan yang dihadapi cukup banyak terutama yang menyangkut perilaku penduduk, baik secara kelompok maupun perorangan. Latar belakang kehidupan sebagian warganya yang ‘hitam’ menyulitkan bagi konsultan untuk memperkenalkan pada mereka tentang nilai-nilai yang nantinya menjadi dasar bagi berlangsungnya suatu kehidupan yang lebih baik. Manfaat dan keuntungan kegiatan serta faktor-faktor pelaksanaannya Proyek ini secara keseluruhan relatif mampu menampilkan wajah baru kelurahan Bandarharjo dari sisi fisik/lingkungan, sosial dan ekonomi. Hal ini berarti dalam skala lingkungan telah terjadi peningkatan standar kehidupan, sementara dalam skala kota Kelurahan Bandarharjo telah mampu memberikan citra positif sebagai wajah kota. Sebagai indikator peningkatan kondisi tersebut adalah : • Perbaikan kondisi permukiman, terlihat dari keberadaan rumah susun • Tumbuhnya beberapa kelompok usaha yang dapat meningkatkan pendapat keluarga • Terbangunnya sarana dan prasarana transportasi, kesehatan, pendidikan, drainase • Semakin maraknya kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan Faktor-faktor yang sangat berperan dalam pembentukan manfaat tersebut adalah keberadaan walikota dan konsultan. Walikota Semarang dengan menggunakan kapasitasnya mau dan mampu menarik stakeholder lainnya (khususnya permerintahan) untuk berperan serta dalam proyek ini. Disamping itu walikota juga melakukan lobi-lobi ke berbagai instansi pusat dan lembaga donor untuk mendapatkan dukungan teknis maupun dana. Sementara itu konsultan banyak terlibat dalam pendampingan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan, membuka akses ke pasar bagi produk-produk masyarakat serta mulai memperkenalkan pada perbankan sebagi sumber pendanaan usaha. Berhasilnya konsep
9
Short List – 1. Pembangunan Kota (Kelembagaan)
mempertemukan bottom-up dan top-down juga karena figur walikota yang bersedia turun sendiri ke masyarakat. Beberapa permasalahan dalam penyelesaian proyek ini adalah (1) belum tuntasnya penganggulangan rob atau banjir, yang ternyata membutuhkan dana yang besar dan secara teknis sulit untuk ditanggulangi. Rob ini dapat datang sewaktu-waktu tanpa dapat diperkirakan, sehingga dikhawatirkan akan menyurutkan semangat masyarakat dalam memperbaiki dan terus menjaga lingkungannya; (2) masalah kedua adalah datangnya krisis yang langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi usaha yang sedang dirintis, dimana harga bahan baku semakin tidak terjangkau dan permintaan pasar yang berkurang. Hal-hal yang dapat dipelajari Konsep pembangunan masyarakat sebagai pendekatan dalam peremajaan lingkungan ini mampu menciptakan apa yang disebut societal guidance dan societal learning, yaitu : 1. societal guidance, dengan membentuk masyarakat yang aktif melalui pelibatan partisipasi masyarakat pada seluruh tahapan proses (mulai identifikasi masalah, analisis, perencanaan dan desain). Sebagai contoh dari proses ini adalah dihasilkannya beberapa kesepakatan dalam operasi dan pemeliharaan, pelaksanaan penghijauan, petunjuk perbaikan rumah, dll 2. societal learning, dengan mempertemukan pendekatan bottom-up dan top-down yang pada dasarnya saling berlawanan. Dari yang dulunya sekedar mempelajari kemauan masyarakat, kemudian berkembang menjadi suatu pendekatan yang secara bersamasama melakukan penelaahan masalah, perumusan inovasi penanganan, menciptakan alternatif teknik pelaksanaan dan kemudian diwujudkan dalam tindakan. Intinya disini adalah pada kemitraan yang dilakukan terjadi proses saling belajar antar masyarakat dan pemerintah Kemungkinan-kemungkinan replikasi Meskipun pendekatan kemitraan yang digunakan (mempertemukan bottom-up dan top down) telah juga dilakukan di Mojosongo, Solo dan Citra Niaga Samarinda, namun terdapat kekhususan dari Bandarharjo, yaitu masalah rob yang belum dapat diatasi. Dengan kekhususan ini maka kasus Bandarharjo tetap menarik untuk direplikasi, terutama pada kawasan yang terus-menerus memiliki ancaman bencana alam. Replikasi proyek ini dapat dilakukan jika : • Terdapat pemerintah daerah yang mau belajar sesuai dengan apa yang dituntut dalam pendekatan yang mempertemukan bottom-up dan top-down. Akan lebih baik jika pendekatan ini dikuatkan secara hukum dan politis melalui suatu aturan • Terdapat konsultan pembangunan yang mempunyai kemampuan dalam mendampingi masyarakat, dan mengkomunikasikan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat kepada stakeholder lainnya Nara sumber: Ir. Andy Siswanto Direktur PT. Wiswakharman Jl. Semeru No.9 Semarang Telp. 024-442614
Referensi lain :
10
Short List – 1. Pembangunan Kota (Kelembagaan)
11