Notulen FGD I (Diskusi Kelompok Terpumpun) Tempat: Ruang Sidang Gedung E Lt.4 Kemendikbud Hari/Tanggal: Kamis, 11/08/16 Pukul: 09.00 sd. selesai
Peserta: Hilmar Farid, Nur Fauzi, Sri Guritno, Yando Zakarya, Ferry, Hanibal Hamidi, Harioso, Roy, Nuryanto, Abdul Latif, Abdul Azis, Heryadi, ........., ..........., ..........., ............, ............ (maaf jika ada nama terlewatkan)
▪ Yando (Aman): Ada tiga masalah tentang Desa Adat ini, yang pertama adalah bagaimana konsistensi Undang-undang Desa PP No. 43 berperan?, sebagai contoh di lapangan ada tiga Gubernur yang saya tanya, “di Provinsi ini mengapa tidak memiliki Perda Provinsi tentang UU Desa ?”, Jawaban normatif para Gubernur itu adalah “belum adanya Perda Provinsi soal budaya hukum kita”. Padahal Undang-undang Desa tidak mengamanatkan Perda Provinsi tentang Desa adat. Undang-undang Desa langsung menjelaskan bahwa Desa Adat ditentukan/diatur melalui Perda Provinsi. Jadi apa yang membuat tiga Gubernur itu tidak membuatnya, ternyata banyak alasan dan permasalahannya. Tetapi salah satunya kalau kita mau jujur adalah pengakuan masalah desa adat ini terkait dengan pengakuan terhadap hak-haknya yang melekat pada Masyarakat Hukum Adat tadi. Yang paling krusial dan itu menjadi latar belakang sebenarnya mengapa nomenklatur Desa Adat itu muncul dalam Undang-undang ini adalah menyelesaikan subjek hukum terhadap hak tanah dan hak lainnya. Disini persoalannya apabila Desa Adat didirikan maka terjadilah subjek hukum terhadap tanah adat tersebut. Hilanglah deskresi eksekutif terhadap hutanhutan dan lain sebagainya, (ini dikarenakan kepentingan ekonomi dan politik). Maka sampai saat ini sangat bisa dimaklumi bahwa ketidak munculanya Perda-perda Provinsi itu. Persoalan lain penetapan Desa Adat dalam tafsir satu tahun, sebetulnya tafsir tersebut tidak ada. Perdebatkan pada saat itu adalah penetapan Desa Adat adalah hak konstitusional yang akan berakhir apabila sudah dipergunakan. Sebagai contoh masyarakat Nagari, karena akibat kebijakan (politik uang) selama 35 tahun terakhir ini masyarakat Nagari berantakan, apabila undang-undang atau tafsir dari Kemendagri itu mengatakan satu tahun itu sama saja tidak mau mengakui hak Nagari itu, artinya hak konstitusi untuk ditetapkan itu terbuka sejauh Nagari itu belum ditetapkan. Hal semacam ini menjadi butuh waktu untuk konsolidasi kembali karena dampak dari kebijakan itu menimbulkan pertengkaran akibat politik keuangan desa. Oleh sebab itu mungkin kita harus pikirkan tentang adanya PP tentang Desa Adat ini walaupun tidak diamanatkan oleh undang-undang. Apabila kita mundur sedikit kepada kajian hukum PP tersebut dapat menjadi prestisiusnya presiden apabila menganggap ada persoalan-persoalan krusial yang tidak jalan karena sepertinya dengan hanya menyerahkan kepada Gubernur untuk menyusun peraturan Desa Adat dan juga Kemendagri tentang Permen Penataan Desa
sepertinya itu belum berjalan. Alasan kedua mengapa Desa Adat tidak jadi, mengapa desa di bali hampir perang dan mengapa di nagari hampir tiga tahun terus-menerus diskusi tentang desa adat itu dan sebagainya. Ini karena politik keuangan Desa kita itu masih selalu jumlah desa. Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani harus mengerti ini. Apabila yang namanya dana desa itu 10% dari APBN atau transfer ke daerah itu masih dihitung berdasarkan jumlah desa di provinsi itu maka pembelahan desa akan terjadi terus dan konsolidasi masyarakat desa adat akan terpecah-pecah terus terjadi contohnya satu nagari menjadi tujuh desa tadi itu tidak akan pernah terjadi. Ini yang menjadi perdebatan di Sumatera Barat saat ini, karana asumsinya apabila satu jorong ini kembali menjadi satu nagari tadi kami hanya mendapatkan satu milyar itu artinya dana yang tersalurkan menjadi lebih kecil. Pahahal apabila kita mau jujur kembali lagi ke pasal 72 tentang keuangan desa itu tidak ada nomenklatur tentang jumlah desa itu, jumlahnya ada 10% dari transfer daerah. Kalau dulu jumlah desa di Sumatera Barat ada 900 kemudian karena konsolidasi menjadi 300 atau 400 desa itu sama saja karena uang yang ditransfer ke Sumatera Barat akan tetap. Contohnya apabila ditransfer 15 triliyun desa itu mendapat 1,5 triliyun, jika desa itu ada 100 atau 400 tetap tidak akan terserap. Tetapi karena PP tentang keuangan daerah dan Permenkeu tentang dana desa itu tetap menghitung jumlah desa sebagai variabel untuk menentukan akhirnya orang desa akan tetap bertahan dengan jumlah desanya, konsolidasi tidak terjadi dan sebagainya. Jadi ini masalah besar yang dihadapi yang basisnya ingin membangun kelembagaan desa adat itu tidak akan pernah terjadi, tidak akan terwujud. Itu persoalan-persoalan yang dihadapi. Menurut saya itu desa adat ini merupakan nomenklatur yang strategis untuk Indonesia dalam menyelesaikan konflik tanah dan konflik macam-macam tadi. Tapi ancaman yang kita hadapi sekarang ini sudah termasuk tahun ketiga, itu “idle”, tidak punya pengaruh apa-apa terhadap masyarakat adat di tingkat lapangan. Dalam konteks itu saya menyampaikan bahwa tadi satu sudah diperlukan –kalau kita lihat dari implementasi 2 tahun terakhir, perlu PP tentang desa adat itu. Karena penyerahan terhadap perda tingkat Provinsi saja dengan berbagai alasannya tadi itu tidak terjadi. Alasan formal yang disampaikan para gubernur adalah tidak mungkin ada peraturan perundangundangan dimana dari UU terjun bebas ke Perda, itu nggak masuk akal bagi para gubernur. Padahal kalau memang itu diamanatkan oleh Undang-undang bisa saja, tapi budaya politik kita tidak begitu. Peraturan Menteri tentang penataan desa menurut saya juga sangat mendesak. Nah yang ketiga soal kebijakan keuangan, kalau kebijakan keuangan desa masih seperti permenkeu sekarang atau PP No. 60 tentang Keuangan, saya rasa niat baik atau penataan kembali kelembagaan-kelembagaan adat itu tidak akan terjadi. Nah bagaimana tata laksana yang dikatakan pak Nur Fauzi tadi, menurut saya langsung saja kita bicara langsung penetapan, apakah penetapan seperti yang dimaksud dalam pasal 9 itu atau penetapan sebagai akhir proses pembentukan desa. Kalau 2 kabupaten tadi bisa diupayakan dengan penyelesaian kerumitan tata hukum tadi, pak Nur Fauzi sudah punya 100- 150 desa adat, setorannya lebih 100, kalau tadi 50 menjadi 150, ada kelebihannya. Jadi sangat mudah, menurut saya ini justru menjadi tantangan, tata laksana tadi, jelas ada 2 perda, bisa nggak diselesaikan oleh
kantornya pak Roy (Kemendagri). Pak Roy bilang, nggak ada perdanya, karena desa adat harus diatur oleh perda Provinsi. Bisa nggak kantor pak Roy mengatakan kepada perda Riau, bikin dong tentang desa adat, kalau nggak “idle” terus, itu sudah sah pak, sudah ketuk palu. Mungkin orang akan mengatakan DPRD atau masyarakat luar kabupaten itu bertindak di luar hukum, tapi faktanya mereka sudah mengerjakan PR-nya. PR yang diatasnya yang belum ada, yaitu provinsi dan pusat. Kalau itu bisa ditetapkan menurut saya tentu kembali masuk ke ada penguatan, ini yang menyebabkan pak Hanibal belum bisa kerja. Karena tidak bisa masuk begitu aja kalau tidak ada penetapan 50 desa adat itu. Terakhir soal pendidikan, saya rasa bisa diawali dengan masalah, banyaknya aliran-aliran kepercayaan yang berkaitan dengan akses ke pendidikan, penghayat Samin, penghayat Merapu. Bahwa penghayat-penghayat tradisional ini bisa menjadi penghalang masuknya pendidikan formal. Terbatas oleh gereja, misalnya seperti yang terjadi di Sibuan, nah kalau begitu apa yang paling kongkrit? Menurut saya yang paling kongkrit –AMAN punya data kongkritnya– bagaimana kementerian kebudayaan dapat menjembatani persoalan-persoalan ini. Memang tidak ada kebijakan di tingkat nasional yang membatasi, tetapi di daerah-daerah diskriminasi sering terjadi, di tingkat kabupaten diskriminasi terjadi, ini mungkin yang perlu dipikirkan, bagaimana tindakan-tindakan birokrasi yang secara fakta di tingkat lapangan melakukan diskriminasi walaupun di tingkat nasional diskriminasi itu tidak ada. Jadi ada semacam tindakan-tindakan menyimpang di lapangan, dan saya pikir kita dapat menemukan 11-20 kabupaten dimana persoalan-persoalan itu terjadi. Untuk lebih konkritnya mari kita bicara kendala-kendala yang dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu itu. Ada PNPM Peduli yang mengatakan seperti itu. ▪ Hilmar Farid (Dirjen Kemendikbud): Diskriminasi dalam pendidikan beragama penganut penghayat, contoh kasus anak SMK di Semarang bernama Zulfa, anak ini penghayat, tetapi tidak semua penghayat ini terbuka. Dalam prosesnya dia mengaku beragama seperti yang diakui negara. Tetapi rupanya dalam perjalanannya ketika ujian anak itu berkelakuan baik, mengikuti pelajaran dengan baik, teori baik. Tetapi ketika mengikuti praktek ternyata menurut dia bertentangan dengan keyakinannya. Sehingga memutuskan untuk tidak ikut praktek. Implikasinya secara administrasi dia tidak lulus pelajaran, tidak lulus pelajaran berarti tidak naik kelas. Tentunya ini berkaitan dengan haknya, tetapi intinya belum ada titik temu walaupun sudah diperdebatkan di Pemerintah Daerah dan Pusat. sistem birokrasi kita itu belum solid dalam menangani persoalanpersoalan seperti ini. ▪ Fauzi (KSP): FGD ini fokus berangkat dari kebutuhan lapangan, sudah ada satu pasokan dari lapangan yang harus direspon. Kasus ini memang penting untuk dijadikan cara mendiagnosa sistem itu responsif atau tidak. Prninsipnya bentuk tatalaksana itu dengan mencobanya dan mengurus problemnya, contoh pada kasus di Riau, Bali dan Sumatra Barat.
▪ Yando (Aman): Kasus Sumatra Barat dan Bali memanas karena salah tafsir dan dibiarkan politik keuangan. Kalau secara keuangan dijamin oleh Departeman Keuangan tidak akan kekurangan tentunya tidak akan terjadi. Di Bali diakuinya desa adat bukan berarti desa adat tidak butuh desa dinas untuk menyelenggarakan kedinasan. Isu di Bali kalau desa dinas yang diakui maka desa adat dilikuidasi. Kalau desa adat yang dimodifikasi maka desa dinas yang dilikuidasi, maka terjadi pengapuran. Isu liar itu sejauh yang saya tanggapi tidak terformulasi atau terfasilitasi. ▪ Jack (Asosiasi Antropologi): Kalau kita ingin berangkat dari apa yang ada sekarang, memerlukan perluasan tafsiran kita terhadap keharusan hukum di daerah. Kalau kita mulai dari apa yang ada sekarang, coba kita mengidentifikasi produk hukum daerah yang telah ada sekarang, misalnya di Halmahera Utara ada keputusan Bupati tentang Huana, barangkali itu yang dimaksud dengan desa adat. Harus ada panduan yang clear dari Kemendagri menyangkut pelaksanaan Undang-Undang Desa itu. Karena selama ini yang dibicarakan dalam sosialisasi Undang –undang desa itu adalah hanya mengenai anggaran dan pemilihan Kepala Desa, sedangkan bentuk desa tidak pernah disinggung. Sehingga pemerintah daerah itu tidak tahu soal desa. Dan jumlah desa berubah- rubah sesuai dengan konsolidasi desa dan masyarakat hukum. Desa hanya harus memilih satu, desa atau desa adat. Perlu melihat kepada semangat undang- undang dasar Desa ketimbang yang lain, misalnya soal batas waktu. Jangan ada batas waktu dalam pembentukan desa adat.
▪ Sri Guritno (Kemendikbud): Untuk penunjukan desa adat perlu pemikiran untuk masyarakat adat, kalau untuk masyarakat penghayat yang menganut kepercayaan Permen tinggal menunggu proses pengundangan Kumham. Jadi layanan untuk peserta didik masyarakat penghayat sudah ada solusinya. Kehadiran pemerintah belum optimal dirasakan oleh masyarakat karena terlalu banyak aturan tetapi implementasinya masih amburadul, itu harus diakui oleh aparat pemerintah. Kita hanya bekerja sendiri-sendiri bukan kerja sama tetapi sama-sama kerja. Kesempatan yang baik untuk satu fokus satu lokus, satu objek yang bisa dirasakan oleh masyarakat dan mungkin sangat menghemat.
▪ Fauzi (KSP): Upaya untuk penetapan desa adat, cara menghasilkan desa adat harus ada ahlinya. Harus ada sekelompok orang yang melaksanakannya memakai contoh. Contohnya yang diurus, seperti yang sudah punya Perda, contohnya Bali dan Sumatra Barat yang problemnya sudah memanas. Team ini harus punya navigasi perkembangan dari waktu ke waktu dan tahu cara mengurusnya. Penyelesaian tatalaksananya berhadapan dengan keperluankeperluan kongkrit ini. Cara menyelesaikannya harus ada arus menangani
dan membentuk kerjasamanya. Pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal, regulasi dan kelembagaan. Konten bahan substansi dari kearifan lokal harus terus menerus, tidak bisa sekali jadi diambil rumus. Kita ajarkan pendidikan yang sama, sehingga ada perubahan dari waktu ke waktu, ada variasi nilai-nilai dari masyarakat adat.
▪ Hanibal (Direktur PSD Kemendesa): Undang-undang Desa menyatakan Desa atau desa adat atau yang disebut dengan nama lainnya adalah sama. Kedaulatan ada 2 pokok, bagaimana berdaulat dalam menentukan apapun mimpi dan mengolah aset dan seterusnya dalam ruang musyawarah desa yang ada. Juga peraturan di dalam Permendagri. Kami sudah mendraft bagaimana pelaksanaan Permendagri tadi. Ada peraturan Kemendesa untuk mengisi peraturan Permendagri 114. Sehingga terkait dengan pendidikan juga menjadi tanggung jawab kami juga, seperti regulasi, contoh Paud Desa yang mewujudkannya bersama Kemendikbud dibawah koordinasi World Bank. Undang-undang desa sungguh unik, sulit kita belajar dari kasus implementasi undang undang desa, dari desa-desa yang ada. Jadi memang baru, artinya ruang sangat terbuka untuk pelaksanaan Perpres no.12 tadi. Presiden memerintahkan harus dipastikan konsistensi terhadap bukan hanya legal drafting tetapi juga semangat. Sikap dari Kemendesa melaksanakan tupoksinya atas mandat dan amanah undang-undang desa tersebut yang mengalami berbagai hambatan seperti saat ini. Kemendesa bukan melaksanakan nomenklatur dengan memfasilitasi yang sudah jadi,justru Kemendesa yang dipantau KSP adalah fasilitasi pembentukan desa adat,artinya tanggung jawab untuk berkomunikasi dengan semua pihak termasuk dengan Aman dan lain-lain. Contoh desa adat di Siak ada delapan desa adat,Perda sudah ada namun faktanya tidak di Perdakan, tetapi Gubernurnya mengantarkan surat ke Kemendagri. Dalam pelaksanaan Undang-undang desa ini tidaklah mudah berhadapan dengan semua pihak termasuk Kementerian Lembaga. Batas wilayah dimaknai apabila berbicara masalah kedaulatan. Problemnya desa adat kadang lebar sekali. Pemerintah boleh mengambil keputusan untuk yang dimaksud secara bertahap dan mungkin nanti ada pilihan-pilihan yang cerdas yang tidak akan menimbulkan problem baru atas sebagian kewenangan yang diambil pemerintah. Contoh di Bali desa-desa hampir sebagian besar menjadi Pakraman, desa dinasnya lebih sedikit, tetapi masyarakat adatnya sepakat tidak ada saling meniadakan. Tetapi ada fakta lain kepala daerah serta-merta menjadi bagian dari adat, Bupati dan Gubernur. Tentunya peluang untuk hal ini diluar pemegang daerah adat menjadi serta-merta peluangnya menjadi menipis. Apabila semua desanya menjadi desa adat artinya ada sebagian kelompok yang mungkin akibat itu mempunyai resiko peluang masa politiknya, itupun menjadi problem. Tetapi secara umum tugas-tugas kami di tahun 2015 telah kami siap untuk berkomunikasi dengan semua pihak adat tadi bersama-sama atau terpisah berkomunikasi kepada siapapun dengan fakta-fakta yang dimiliki beserta seluruh administrasinya telah kami siapkan, tinggal ruang terbukanya saja, karena kemarin tertutup. Sebab ada komunikasi yang oleh KSP sendiri tidak bisa difasilitasi.
▪ Roy (Kemendagri): Fokus kita itu disamping ingin membuat tatalaksana pembentukan, penetapan dan pemberdayaan desa adat, kita pegang peluang itu lalu kita mencari cara supaya ada satu unit yang sanggup kerja mengurus conto-contoh pembentukan, penetapan, pemberdayaan desa-desa adat yang mau ditunjukan keberhasilannya. ▪ Nuryanto: Mengenai dana desa, formulasi yang ada saat ini membesarnya kuantitas, kedepan saatnya mengingat pemanfaatan secara umum. Seluruh aktifitas, seluruh sektor sudah seharusnya bersifat blok ke desanya, berdasarkan jumlah penduduk bukan berdasarkan jumlah desa. Apabila jumlah penduduk yang menjadi acuan, jumlah desanya berapapun tetap segitu. Ini sebaiknya digagas menjadi one village one product, orientasi ke produknya bukan ke jumlah uangnya. Jadi bagaimana menciptakan produk untuk pemerintah agar mendapatkan satu insentif. Selama ini selalu berorientasi kepada uangnya. Di Jambi ada program samisake ( satu milyar satu kecamatan ). Jawa Barat ada program satu desa satu milyar. Ini juga harus disosialisasikan ke daerah, agar jangan selalu mengejar uang. Sepemahaman saya mengenai undang-undang no 6, desa adat dan desa administrasi statusnya sama. Desa adat itu masih memperhatikan adanya adat istiadat yang dijadikan dasar untuk berkomunikasi antar warganya untuk membuat perturan desa-desanya dan berbagai macam peraturannya. Tetapi fungsi desa itu tetap sama untuk menjalankan pemerintahannya. Peristiwa di Sumatra Barat terjadi hal-hal dimana mereka harus memisahkan diri dari Nagari, jadi seperti politik devide et impera, akibat praktekpraktek masa lalu yang dirangsang dengan uang. Akhirnya destroying alur sistem. ▪ Roy (Kemendagri): Di Tual Maluku itu kepala desa adatnya sebelum undangundang No.22 ditetapkan masih undang-undang No.59, sebutannya desa tetapi pemberlakuannya adat . Jadi mereka tidak hanya sekedar mengganti nama Negari, Gampong prakteknya apabila ada Kepala Desa Adat duduk, Bupati itu secara struktur ada dibawah kepala desa adat. Apabila datang ke desa adat menemui kepala desa adat, Bupati itu duduknya dilantai dan itu berarti hak-hak mereka yang tidak ada di dalam desa adat lenyap. Jadi apabila dari pemerintah datang untuk mensosialisasikan program-program tidak akan jalan kecuali disosialisasikan oleh orang adat sesama orang Ambon. Program desa adat merupakan program yang terbaik yang kita berikan kepada masyarakat terutama masyarakat adat, ketika memperjuangkan hak-hak mereka. Contoh: Hak atas tanah,air dan hutan. ▪ Latif (Kemendikbud): Kami akan memberikan semacam pemikiran, untuk kontribusi kearah sana. Apabila kita berbicara tentang desa adat itu sangat unik dan biasanya yang dipakai indikator adalah Bali. Di Bali itu desa ada
dua, yaitu Pakraman dan desa dinas, sebetulnya sama saja. Kalau berbicara Pakraman yang mengurus ada wewenang dia, tetapi administrasipun nanti diurus oleh desa dinas disana tidak masalah. Tetapi bila ada bantuan di Balipun terjadi friksi artinya ada perselisihan yang disebabkan oleh itu. Dan itu diakui oleh tokoh-tokoh disana. Tapi mengapa di Bali dapat berjalan dengan baik, karena di Bali ada semacam aturan yang sampai sekarang dipegang teguh oleh masyarakat Bali. Sehingga itu tidak jadi masalah dijadikan acuan oleh banjar-banjar disana. Di sana ada yang namanya Tri Hita Karana yang bisa menyatukan, yaitu falsafah hidup tangguh, hubungan dengan sesama dengan alam dan Tuhan. Untuk memformulasikan ini supaya yang di Bali itu dapat diimplementasikan secara nasional. ▪ Kartono (Kemendikbud) Undang-undang No. 6 th 2014 memang menimbulkan persoalan karena terbentur dengan persoalan penetapan, pembentukan, pemberdayaan desa adat, khususnya yang ada di Tual Maluku ada konsep yang namanya Ohoy. Di Maluku sudah ada konsep desa adat Ratupati, Ayaw, Bapak Raja dan ada pembagian pekerjaan untuk pelestari lingkungan namanya Kewang, Kewang darat, Kewang laut. Ada pembagian komunikasi namanya Maliho, ada Badan Permusyawaratan Desa namanya Saniri, Saniri negri, Saniri besar. Itu sebenarnya cukup untuk menjawab yang dipersoalkan di undang-undang no. 6 th 2014, tidak ada alasan untuk tidak menetapkan itu karena asal- usul dan wilayah. Ada politik ekonomi untuk mempertahankan negri dan ada yang berkaitan dengan pemenuhanpemenuhan kebutuhan dasar. Info FGD ini jelas sasarannya berkaitan dengan mencari solusi untuk penetapan, pembentukan dan pemberdayaan. Implikasi dari itu adalah pentingnya pendidikan masyarakat adat untuk sadar tentang hak sipil mulai dari administrasi kependudukan sampai pada usaha untuk pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan. Tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa hingga persoalan administratif. Apakah lintas kecamatan, kabupaten, propinsi, negara ini tidak mendapatkan pelayanan, sehingga perlu adanya spesifikasi. Kalau lintas kecamatan itu pasti kabupaten, lintas kabupaten itu provinsi. Apabila ada penduduk yang tinggal diluar negeri harus ada kerja sama internasional. Contoh yang tinggal di Papua dan Autralia, ini penting untuk mengklasifikasi bagaimana kita menyasar warga negara untuk dilayani hak-hak dasarnya. Jadi jangan persoalan administrasi dijadikan kendala untuk tidak memberikan kontribusi untuk pemenuhan hakhak dasarnya karena riset dari Direktorat kami adalah berfariasi orang menyebut desa adat, ada kampong di dalam desa dan ada desa didalam kampung dan ada kawasan perbatasan yang mempunyai karateristik yang besar. Ada desa adat didalam desa dinas dan ada desa dinas didalam desa adat. Ada pula yang berkaitan dengan lintas kabupaten dan provinsi sehingga ekonomi ini cukup mendapat perhatian. Dan Direktorat sudah memberikan spesifikasi apabila lintas kabupaten bagaimana, siapa yang bertanggung jawab kepada siapa, pelaporannya bagaimana, monitoringnya bagaimana, jadi jelas diatur oleh Permendikbud No.77 tahun 2013. Bagaimana tradisinya itu sudah diatur pada Permendikbud No.10 tahun 2014. Khusus untuk layanan kepemilikan penghayat sudah ditanda tangani Anis Baswedan sebelum lengser. Dan sekarang sedang dimintakan kepada
Kementerian Hukum dan Ham untuk mendapatkan register di berita negara. Negara harus sadar bahwa inisiatif masyarakat sudah melakukan pemenuhan kebutuhan berdasarkan hak-hak azasi. ▪ Fauzi (KSP): Forum ini akan dilakukan secara reguler dan merupakan forum yang paling tinggi diantara kita semua sebagai tempat mendiskusikan pembentukan, penetapan, pemberdayaan desa adat. Tiga lembaga ini yaitu Kemendesa, Kemendagri dan Kemendikbud sebagai intinya, yang lain akan ikut dalam putaran berikutnya disertai dengan ahli-ahlinya. Ahli-ahli dari Antropologi, Aman dan dari Birokrasi. Apa yang dibahas kita kendalikan dari waktu kewaktu termasuk membahas Permendagri itu, karena yang akan kita buat adalah satu rujukan yang bersama supaya kita pegang sama-sama jalannya. Selain yang sifatnya forum, tetap ada kelompok kecil, diantara kita mengabdikan diri membentuk satu dokumen yang namanya tatalaksana pembentukan, penetapan, pemberdayaan desa adat. Grup kecil ini menghasilkan dokumen, tetapi grup kecil ini juga didalam menhasilkan dokumen itu dia juga belajar dari kasus-kasus yang diurusnya. Jadi dokumennya sudah terbukti kemanjurannya didalam menghadapi kasuskasus itu. Tetapi ada banyak kasus yang tidak bisa dijawab oleh formula ini, tetapi itu nanti ketika sudah tumbuh. Tetapi kita sudah punya pegangan bahwa itu manjur dapat digunakan untuk kasus-kasus itu, kemudian dipegang menjadi pegangan bersama dalam menjalankan dari waktu ke waktu di tiap kelembagaan. Tim kecil ini harus melaporkan di dalam forum, seperti apa hasilnya. KSP akan memantau dan mengendalikan itu, apa yang masing-masing lakukan dan apa yang tim kecil lakukan dan juga forum itu laksanakan. Agenda bulan September: - FGD akan bertempat di Kemendesa, khusus untuk Permendagri penataan desa draftnya disajikan oleh Pak Ferry dengan fokus pada desa adat. - Bagaimana cara penanganan wilayah yang sudah memiliki Perda. - Pak Roy sebagai pemrakarsa. - Tim kecil yang dibentuk terdiri dari: 1. Bpk. Yando ( Himpunan Karsa ) 2. Bpk. Hanibal ( Kemendesa ) 3. Bpk. Ferry ( Kemendagri ) 4. Ibu Sri Guritno ( Kemendikbud ) 5. Dari Antropologi
Terimakasih.
Rancangan Tata Laksana Percepatan Proses Pengakuan/Penetapan Desa Adat Disusun dan usulkan oleh: “Tim Kecil untuk Percepatan Proses Pengakuan/Penetapan Desa Adat”
1. Konteks sosial dan politik kehadiran nomenklatur Desa adat dalam sistem tata negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Desa, selanjutnya disebut UU Desa, memperkenalkan nomenklatur baru yang disebut desa adat. Setidaknya ada dua alasan penting yang melatarbelakangi kehadirannya. Pertama, pemberlakuan UU 5/1979 telah menimbulkan kerusakan-kerusakan sosial dan ekologis yang serius; dan kedua, meruyaknya konflik klaim atas nama hak adat dan klaim Negara atas sumberdaya alam (Zakaria, 2000 & 2004). Dalam pada itu, sejak awal Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia telah mengakui hak-hak masyarakat (hukum) adat, sebagaimana yang tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum amandemen), dan dipertegas dalam Pasal 18B ayat 2 (setelah amandemen pada tahun 2000) (Zakaria, 2012). Namun, alih-alih menterjemahkannya ke dalam perarturan perundang-undangan yang lebih operasional, yang terjadi pada masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/ atau pelanggaran terhadapnya. Politik hukum pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu mulai berubah ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan beberapa putusannya sejak tahun 2003 lalu. Sejak saat itu Mahkamah Konstitusi telah merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang harus dipenuhi. Kriteria dan kondisionalitas ini adalah dua topik diskusi yang berkepanjangan, yang turut membuat amanat konstitusi itu tidak kunjung diimplementasikan di tingkat lapangan. Semangat perubahan yang dibawa oleh beberapa putusan Mahkamah Konstitusi inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tentang desa adat dalam UU Desa. 2. Dinamika implementasi tentang Desa Adat Meski begitu, sepertinya momentum perubahan yang terbuka itu tidak – atau belum -- termanfaatkan secara optimal. Padahal penerapan pelaksanaan nomenklatur desa adat memerlukan persiapan sedemikian rupa agar distorsi dari penerapan politik desentralisasi – dan juga otonomi pada tingkat komunitas -- yang telah dimulai sejak reformasi bergulir tidak terulang dan/atau justru semakin parah dari yang pernah ada sebelum ini. Sejauh data yang tersedia, respons Pemerintah Daerah, baik pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat ini dapatlah dikatakan rendah. Hingga waktu belakangan ini hanya ada 2 (dua) inisiatif yang berarti di tingkat Propinsi. Masing-masing adalah di Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bali.
Hal yang di luar pengaturan normal yang ada dalam UU Desa justru terjadi di Propinsi Riau. Tanpa merasa harus memiliki ‘Peraturan Daerah Propinsi tentang Pengaturan Desa Adat’, baru-baru ini terbetik berita tentang ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Siak, keduanya di Propinsi Riau, tentang Penetapan Desa dan Desa Adat berdasarkan UU Desa yang baru. Namun, sejauh informasi yang diperoleh, penetapan ini belum disahkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Setidaknya ada 3 (tiga) sebagai penghalang diimplementasikannya nomenklatur desa dat ke dalam kebijakan Pusat ataupun Daerah. Masing-masing adalah (1) persoalan-persoalan yang menyangkut ada-tidaknya kebijakan turunan dan konsistensi kebijakan turunan yang dibutuhkan; (2) persoalan yang terkait dengan political will baik Pusat maupun Pemerintah di tingkat Daerah; dan (3) persoalanpersoalan yang terkait dengan ada-tidaknya kapasitas Pemerintah, terutama di tingkat Daerah dan komunitas yang bersangkutan. Masalah pokok pertama, misalnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Rachman, Pelokilla, dan Saptarini (2014) dan Simarmata (2014), ada banyak norma pengaturan terkait desa adat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang perlu mendapatkan penjelasan dan pengaturan lebih lanjut. Oleh sebab itu pulalah kedua dokumen ini merekomendasikan perlunya disusun sebuah Peraturan Pemerintah yang khusus tentang Desa Adat meski hal ini tidak disebutkan dalam Undang-Undang Desa. Peraturan Pemerintah khusus tentang Desa Adat ini diperlukan tidak saja untuk memperjelas hal-hal yang belum jelas, namun terkait pula dengan dengan ‘kultur birokrasi’ di Indonesia yang tidak terbiasa bekerja dengan diskresi langsung tanpa pedoman kebijakan yang berjenjang. Penghalang yang kedua ditandai oleh hadirnya tafsir sepihak dari Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri, yang beranggapan masa transisi untuk menetapkan keberadaan desa adat itu telah berakhir pada tanggal 15 Januari 2015 lalu. Tafsir ini berpangkal pada Pasal 116: 3 yang memang dapat ditasir masa transisi itu hanya berlaku selama 1 tahun pasca-penetapan undang-undang. Tafsir itu telah memakan korban. Di Bali, karena kurangnya waktu untuk bermusyawarah untuk menarapkan amanat Pasal 6 dan Penjelasannya, telah menimbulkan ketegangan antara pihak yang pro pada keadaan hari ini dengan pihak yang ingin menjadikan desa adat sebagai desa yang diregistrasikan di Pusat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Penjelasan Pasal 6. Di beberapa kabupaten di Riau proses legislasi untuk penetapan desa adat yang sidah sampai pada tahan paripurna akhirnya dihentikan karena tengat penetapan desa adat yang diasumsikan adalah Tanggal 15 Januari 2015 itu telah terlewati. Dalam berita di media massa diketahui bahwa alasanya adalah Pemerintah Kabupaten yang bersangkutan tidak mau terlibat dalam masalah-masalah yang muncul akibat dari waktu yang kadaluarsa ini. ari perspektif substansi lainnya dan juga secara administratif, pertanyaan pokoknya adalah, sebagaimana telah disinggung di atas, bisakah hak konstitusional digugurkan oleh persyaratan adminisratif? Apalagi jika syarat adminstratif itu tidak/belum disediakan oleh Pemerintah itu sendiri? Dengan kata lain, tafsir sepihak itu juga dapat dikatakan tidak benar karena Pemerintah sendiri lalai dalam
melengkapi persyaratan administratif yang memungkinkan masyarakat (hukum) adat menggunakan hak konstitusional untuk menjadi desa adat, sebagaimana yang diatur pada Pasal 28 dan Pasal 32 PP 43/2014. Sementara penghalang yang ketiga terlihat dari pengalaman adanya peluang pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat setempat melalui kebijakan daerah, seperti kebijakan tentang penetapan hutan adat; kebijakan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat; dan juga kebijakan tentang ‘pemerintahan desa’ yang ramah tradisi lokal yang sejatinya telah dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada masa lalu yang tidak optimal. Sebagaimana dilaporkan Arizona (2015), disamping agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terjebak pada kerumitan keragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen hukum, agenda pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu juga terkendala oleh kondisi lapangan yang fragmented. Ada kalanya kebijakan lama telah melahirkan kekuatan-kekuatan politik baru, sehingga kenyamanannya bisa saja akan terganggu jika ada kebijakan baru itu. Info tentang perubahan kebijakan yang optimal belum sampai secara utuh sehingga masing-masing kelompok terjebak dengan asumsiasumsinya sendiri-sendiri. 3.
Langkah Strategis ke Depan
Mewujudkan nomenklatur desa adat di berbagai wilayah yang relavan sejatinya adalah upaya untuk merawat kemungkinan terus berlangsungnya negara-bangsa Indonesia ini. Oleh sebab itu, Pemerintah, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri; Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Direktoral Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, harus memiliki strategi tertentu untuk menyiasatinya, agar peluang yang sejatinya diupayakan dalam memenuhi mandat konstitusi itu dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak/masyarakat adat, dan tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok etnik tertentu saja. Hal ini tentu bukan bermaksud mengatakan bahwa peluang untuk menjadi desa adat ini relevan bagi seluruh komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia. Kita menyadari banyak komunitas yang tidak lagi memerlukan dan/atau mampu mendirikan desa adatnya. Toh masih ada jalur lain yang dapat ditempuh oleh komunitas-komunitas masyarakat adat itu untuk mendapatkan pengakuan negara atas hak-haknya, seperti melalui jalur pengakuan atas hak-hak adat atas tanah ataupun melalui penetapan keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri. Langkah-langkah yang demikian itu sesuai pula dengan janji Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang tertuang ke dalam naskah Nawacita. Pada bagian yang terkait dengan masalah masyarakat adat dinyatakan bahwa salah satu program kerja ke depan adalah “Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berjalan di seantero negeri, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat DITETAPKAN menjadi DESA ADAT”. Janji kampanye ini kemudian
diturunkan menjadi agenda penetapan 50 desa adat sebagai salah satu program prioritas Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam konteks yang demikian, atas dorongan dan koordinasi bersama dengan Kantor Staf Presiden, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, telah menyelenggarakan serangkaian focus group discussion (FGD) lintas Kementerian dan Lembaga, yang juga dihadiri oleh sejumlah utusan dari berbagai organisasi profesi, keilmuan, dan masyarakat. Pada kesempatan FGD yang terakhir, yang juga diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, yang diselenggrakan pada Tanggal 11 Agustus 2016 lalu, telah dihasilkan beberapa kesimpulan pokok berikut: 1. Dalam rangka mempercepat dan memperjelas proses penetapan desa adat yang saat ini tengah berproses di sejumlah propinsi dan kabupaten, rapat meminta agar proses penetapan “Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Penataan Desa” yang sedang berproses di Kementerian alam Negeri dapat dipercepat penetapannya. Diharapkan Peraturan Menteri dimaksud sudah dapat ditetapkan dalam waktu tidak lebih dari dua bulan ke depan. Proses pematangan draf kebijakan dimaksudpun diharapan dapat melibatkan berbagai K/L dan masyarakat. 2. Dalam waktu yang tidak lebih dari satu bulan ke depan, bagian “Peraturan Menteri Dalam Negari tentang Penataan Desa” yang khusus mengatur soal penataan desa adat sudah dapat didiskusikan bersama pihak terkait lainnya. Disepakati pula oleh rapat bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan pada pertemuan yang akan dilaksanakan di Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyaraat Desa, Kemendes & PDTT. 3. Dalam rangka melengkapi kebutuhan kebijakan terkait dengan pengaturan yang lebih operasional, rapat juga telah memutuskan untuk mempelajari kendala dan mencari solusi yang diperlukan, agar inisiatif-inisiatif penyusunan peraturan daerah tentang pengaturan desa adat (Propinsi Bali dan Propinsi Sumatera Barat) dan kasus penetapan desa adat (Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Siak di Propinsi Riau, serta Kabupaten Jayapura, Propinsi Papua). 4. Dalam rangka memfasilitasi dan mengkonsolidasi hasil proses-proses yang dibutuhkan maka rapat memutuskan perlu dibentuk sebuah ‘Tim Kerja’, yang beranggotakan 6 (enam) orang, yang mewakili para-pihak (utama) yang terlibat. Sdr, R. Yando Zakaria (KARSA, Yogyakarta) ditunjuk forum sebagai koordinatornya. 5. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya mempercepat penetapan desa adat ini akan dimonitor langsung oleh KSP . 4. Agenda Kerja Tim Kecil (September – Oktober 2016)
1. Konsultasi Koord. Tim dengan Direktur Direktorat Penataan Desa, Ditjen BPD, Kemendagri. 2. Konsolidasi Tim Kecil à Pematangan Rencana Kerja 3. Konsinyasi pembahasan Rancangan Permendagri ttg Penataan Desa
4. Kunjungan lapangan 1 5. Kunjungan lapangan 2 6. Kunjungan lapangan 3 7. Kunjungan lapangan 4 8. Konsinyasi Penulisan laporan dan usulan kebijakan 9. FGD lintas K/L 10. Konsinyasi Penyusunan RPP Desa Adat *** Daftar Pustaka Andiko, dan Nurul Firmansyah. 2014. Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk Pengakuan Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa. Arizona, Yance, 2015. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015. Benda-Beckmann, Franz von, and Keebet von Benda-Beckmann, 2013. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University Press. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012. Putusan Perkara No. 35/PUU – X/ 2012 tentang Uji Materi Undang-Undang No. 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana dapat dilihat pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php? page=web.Putusan&id=1&kat=1 Rachman, Noer Fauzi, et.al., 2014. Pokok-Pokok Pikiran untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat. Yogyakarta: Forum Pengembangan dan Pembaruan Desa. Safitri, Myrna A. dan Luluk Uliyah, 2014. Adat dan Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Epsitema Institute Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Hak-hak Masyarakat (ELSAM). ………. 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) & LAPERA Pustaka Utama. ……….. 2012, “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan tema “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10 Oktober 2012. 1
Resume Notulen
Rapat di Kantor Staf Presiden Rumah Desa Sehat dan Desa Adat 25 Agustus 2016 Peserta : Pak Febry, Pak Ari, Pak Yoko dan Ibu Monita Pembukaan oleh Pak Hanibal : • Akan membahas 2 (dua) isu : Rumah Desa Sehat, representasi sebuah kegagalan dari proses goodwill politik yang coba dijabarkan secara teknokrasi. Representasi atas penggantian kepala Bappenas, saya ingin memastikan KSP penggantian menteri yang sangat terkait terhadap teknokrasi atas reformasi perencanaan penganngaran oleh Ibu Sri Mulyani. Ada jabatan politik teknokrasi yang akan terjadi. • Di desa adat, terdapat representasi keangkuhan teknokrasi dalam kelompok (Kemendagri) dimana birokrasinya pada isu uu desa, koordinasi efektif sudah kami lakukan dengan Pak Nata. • RDS terdapat di visi misi Jokowi JK, sebuah pelayanan ditingkat desa dengan 5 aktifitas utama : pendidikan lingkungan sehat, obat murah, dokter komunitas/2500 penduduk, pelaksanaan pemeliharaan lingkungan. Visi misi tersebut akan menjadi prioritas nasional, dengan kesiapan anggaran “on top”. Rumah Sehat diubah menjadi RDS dengan aktifitasnya jauh dari yang dimaksud oleh dokumen visi misi Jokowi JK. Dalam dokumen, 50.000 desa sehat seharusnya memback-up BPJS namun faktanya di desa saat ini kualitas dan keterjangkauan desa sehat ini masih jauh. • Universal coverage BPJS 2019 menurut kami, membutuhkan fasilitasi yang sangat kuat ditingkat desa. Faktanya sampai saat ini progress pembangunan dari Kemenkes dengan komitmen universal coverage BPJS sangat terjadi ketimpangan. Adanya transformasi total aset (jamsostek dll) yang harus masuk menjadi aset BPJS atas perintah undang-undang. Perubahan aset tersebut menuntut audit terbuka dari jamsostek yang uangnya tersebar di semua konglomerasi. ASKES mem-bridenganing 2 tahun, tidak ada penjelasan untuk membridenganing, semua aset seharusnya pindah melalui proses audit namun faktanya itu tidak terjadi. Faktanya BPJS berjalan dengan terseok-seok namun aset tadi yang diperintahkan melalui UU 24, tidak ada. Ada ratusan trilyun masih di ASKES dan Jamsostek. • Ada dewan jaminan sosial nasional dalam BPJS (sebagai institusi non profit) : tokoh jabatan kemenkes, civil society yang merepresentaiskan kampus, pelaku kesehatan (farmasi). Jika ingin secara universal coverage, harus ada keterwakilan (sehingga menyebabkan harus adanya revisi) • Jabaran konsepsional kami lebih ke aktifitasnya, sementara .. bisa di tracking, keseluruhan kerja kemenkes beserta turunannya, pemda dan SKPD kesehatan dimana desa tidak menjadikan ruang kerjanya, tidak pernah desa dijadikan sebagai lembaga Kemendes, begitu masuk desa ia adalah lembaga masyarakat desa. Kemendagri dalam kelembagaan dan pemerintahan, Kemendes dalam operasionalisasinya. • Problemnya, dalam surat Bappenas sudah dibagi tanggungjawab Kemenkes sesuai otoritasnya pada seluruh teknis tenaga kesehatannya. • 50.000 RDS tetapkan dijalankan sesuai dengan visi misi Jokowi JK.
•
•
Hasil rapat terkait RDS di Kemenko PMK ialah Kemendesa dan Kemenkes menyiapkan desain konsepsional terhadap pelaksanaan kewenangan sesuai surat menteri Bappenas. Namun faktanya hanya Kemendesa yang mengirimkan. Ada situasi 2019 yang perlu dintisipasi, isu kesehatan manusia secara langsung, keinginan presiden jelas, proses telah dimulai secara teknokrasi dengan menteri Bappenas, apalagi?
Bapak Febry •
Kita tarik saja ke KSP, persipan rapat kita ambil alih, kita dorong Kemenkes masukkan input cepat, pak Hanibal kasih input ke kita, sudah tidak ada waktu lagi. Ada 4 pihak yang akan kita undang, Kemendes, Kemenkes, Bappenas dan PMK.
•
Rumah Sehat akan berbeda dengan Rumah Desa Sehat.
•
Kita pastikan masing-masing kerja dari 4 lembaga ini, pastikan tupoksinya. Estimasi maksimal minggu kedua September
Pak Hanibal Diskusi diawal sebelum diambil alih oleh Bu Nina, Januari – Maret di Kemenko PMK bersama staff khusus PMK sampai kerja rumah sehat,sampai pada detail : salah satu petugas ditingkat desa sebagai utusan khusus Presiden Jokowi, semua sudah matang.
Bapak Febry •
Kami berharap Pak Hanibal membantu kita, kasih anatomi perjalanan selama ini, sehingga kita tanyakan mengapa Kemenkes tidak memenuhi tugasnya. Juga kita akan undang Bappenas kerangka besarnya seperti apa. Kita undang PMK sebagai koordinator, apa yang terjadi didalam kementerian teknis yang dipimpinnya, agar dapat menghasilkam keputusan rapat yang baik.
•
Kita hari ini dapat kerangka penyelesaian, substansi akan kita dapat dari Pak Hanibal untuk mengisi kerangka tersebut.
Pak Hanibal •
Akan saya lengkapi, semua ada surat menyurat Kemenkes tentang Rumah Sehat yang ditekuk menjadi rumah sehat yang terkait kesehatan dan Kemen PU Pera.
•
Pertimbangan soal waktu, jika 50.000 dan tidak berkurang, butuh kerja lainnya. Terkait isu kesehatan, dokter komunitas yang dimaksud, itu representasi yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi di Jakarta, itu yang kkami antisipasi dengan cara berkoordinasi dengan Asosiasi Dokter Praktek Mandiri, yang mana untuk 2500 penduduk dalam 1 desa maka koneksi dengan BPJS bisa dijalankan yaitu kapitasi, persoalan dokter akan dapat dipenuhi tanpa Kemenkes harus menyediakan, hanya melalui kerjasama ini.
Bapak Febry •
Baik, maka dalam rapat nanti BPJS akan kita undang juga, setelah kerangka kita dengan kementerian lembaga telah berhasil baik.
Pak Yoko Terkait dengan anggaran, saya konfirmasi bahwa ini belum ada anggarannya samasekali.
Pak Hanibal Saya coba sliding atas pemenuhan prioritas nasional dari definisi yang sama-sama diputuskan adalah, pengembangan dari lembaga yang sudah ada yaitu poskesdes, maka di tempat kami ada Generasi Sehat Cerdas yang kami coba rubah penggunaan dana bantuan langsung masyarakat-nya dari berupa PMT, yang keliru soal stunting, karena jika mencegah seharusnya di ibu hamil, ini malah pada balita. Itu saya tarik, kemudian saya adakan dukungan bagi bidan di poskesdes sasaran yang hari ini ada. 800 poskesdes yang akan menjadi Rumah Desa Sehat sekaligus pembentukan kelompok masyarakatnya.
Bapak Febry Target ini diberikan ke Bappenas sehingga bisa pastikan ke Kemendes bahwa jika dana itu tidak memungkinkan, secepatnya Bappenas membuat revisi atas itu.
Pak Hanibal •
Ada klarifikasi informasi, Ibu Hindun dari Bappenas, Desa, dan Ibu Hayu yang sudah nonjob, baru mengetahui tentang Rumah Desa Sehat, sehingga terjadi koordinasi yang tidak efektif di biro perencanaan kami.
•
Terkait masyarakat hukum adat, targetnya 50 fasilitasi yang kita lakukan, tapi indikatornya harus penetapan oleh Kemendagri, koding maupun pengaturan, itu yang macet. Fasilitasi sampai lewat Kemendikbud oleh Pak Fauzi, rapat di Kemendikbud dengan peserta yang hadir eselon 1, 2 dan 3 dari Kemendagri. Eselon 1 yaitu staff ahli kerjasama kelembagaan, eselon 2 yang terkait langsung dibawah Pak Nata, ada sosiolog dari UI, teman-teman KSP dan Kemendesa. Dibawah isu adat dalam konteks seni dan budaya, tidak akan mampu mengakomodasi adat yang dimaksud prioritas nasional-nya Pak Jokowi.
•
Setelah saya jelaskan, disepakati tanggal 30 kita akan rapat tindak lanjut di Kemendesa. Sehingga, terjadi progress atas hambatan dengan diputuskan rapat di Kemnendikbud, yaitu draft peraturan Mendagri terkait desa adat yang akan diterbitkan, didiskusikan dahulu di forum itu. Hambatan mendasar adalah banyaknya perda yang telah ditetapkan sebagai suatu entitas komunitas hukum adat menjadi desa adat, kemudian dinaikkan ke provinsi, namun provinsi menolak karena berbagai pertimbangan. Bali misalnya, kepala daerah disemua level yang otomatis menjadi pemangku adat, bila diputuskan menjadi desa adat, maka bagi pejabat politik yang tidak punya basis adat, jauh harapan untuk dapat meneruskan kekuasaannya (menutup ruang yang non pemegang adat untuk jadi pemimpin politik di daerah). Di Sumatera Barat, hambatannya adalah satuan dana desa adalah per desa, sementara disana desa
yang diubah menjadi nagari itu adalah kumpulan desa-desa, sehingga jumlah yang ditransfer menjadi tidak berkorelasi. Sehingga telah kita diskusikan, bagaimana Peraturan Menteri Keuangan saat ini terkait dana desa tidak terganggu dengan dana desa berdasarkan nomenklaturnya, namun berdasarkan 10% dari dana APBN. Itu akan dibahas besok. •
Bagaimana musyawarah desa dapat dijalankan dengan demokrasi, perlu menjadi pemikiran karena akan mengantisipasi persoalan-persoalan mendasar terkait hal ini. Karena jika penetapan desa adat, berarti kedaulatan desa berdasarkan uu desa sangat kuat, berarti pula hutan adat dapat teratasi. Desa dengan batas ruang lingkupnya, hutan adat yang menjadi problem-pun tidak begitu besar dengan hutan adat representasi atas satuan hukum adat yang bisa melintasi antar desa/ kabupaten kota. Masyarakat hukum adat lebih bersandar pada undang-undang lainnya yang menempatkan atas hukum adat.
Bapak Febry •
KSP akan hadir pada tanggal 30, kita akan mencatat perkembangan dan substansi yang ada. Kita akan tetap meminta input dari Bapak, akan kita kaji dan dudukkan dari undang-undang, kewenangan kita seperti apa dan bagaimana kita menyukseskan program presiden.
•
Hasil hari ini, kita akan fokus pada 50.000 Rumah Desa Sehat, mengenai masyarakat hukum adat kita menunggu hasil dari pertemuan tanggal 30 besok.
Pak Hanibal Problem mendasar demokrasi kita hari ini adalah mengenai instrument yang digunakan dalam konteks integrasi antara politik teknokrasi. Rezim perencanaan telah di-launch oleh Ibu Sri Mulyani pada tahun 2009 awal, dengan nomennklaur program, nomenklatur kegiatan, nomenklatur jabatan, resources dan targetting dikunci dalam 5 tahun agar memenuhi yang dijanjikan oleh Presiden, itu mengalami hambatan dengan politik teknokrasi yang dimainkan dengan menggeliatnya birokrasi yang kemarin diawal reformasi kita mmberi ruang bernegosiasi, artinya mulai memainkan politik teknokrasi yang dimulai pada masa Pak SBY dengan UKP4-nya yang hopeless. Saya harap tidak terjadi saat ini, yang terjadi di UKP4. Keberanian teknokrat birokrasi perlu di-eksplore lebih jauh.
Bapak Febry •
Kita butuh substansi, sehingga kebijakan yang akan diambil kita ukur benar-benr untuk kepentingan pemerintahan ini, hukum menjadi sandaran kita.
•
Catatan bapak akan kita evaluasi lagi.
•
Kesimpulan : terimakasih atas catatan bapak terkait 2 isu ini, tanggal 30 kami akann hadir dan kita akan terus monitoring, kita akan mempersiapkan pra-rakas, dengan mengundang secara terpisah Kemenkes, Bappenas, BPJS, Kemenko PMK.
Pak Hanibal Sudah ada diskusi di Deputi 4 tentang isu desa yang seharusnya direpresentasikan gelaran ditingkat desa, Presiden hadir ditengahnya. Diharapkan ada beberapa momentum oleh Menteri Desa saat ini sampai Desember yaitu terkait Rumah Desa Sehat, Desa Adat, Reformasi Agraria terkait desa.
Bapak Febry •
Program tersebut akan kita dorong, pada akhirnya semua pogram yang telah dicanangkan pastikan berjalan.
•
Kami harap Bapak tetap membantu kami agar dapat mengurai permasalahan yang ada ini.
Press Release FGD PERCEPATAN PROSES PENGAKUAN DAN PENETAPAN DESA ADAT Jakarta, 07 September 2016 Pada hari Rabu, 7 September 2016 Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi melalui Direktorat Pelayanan Dasar menggelar FGD Percepatan Proses Pengakuan dan Penetapan Desa Adat sebagai bentuk fasilitasi proses bagi peningkatan status Masyarakat Hukum Adat menjadi Desa Adat. Direktur Pelayanan Sosial Dasar, dr. Hanibal Hamidi, M.Kes menyampaikan bahwa pihaknya akan terus berupaya dalam meningkatkan status Masyarakat Hukum Adat menjadi Desa Adat sebagai bentuk pemenuhan hak konstitusional dan implementasi UU Desa serta bagian dari kerja dalam memenuhi janji Presiden yang tertuang dalam Nawacita. selaku tuan rumah penyelenggara FGD dirinya menambahkan, upaya percepatan penetapan Desa Adat ini merupakan program proirotas nasional yang harus diposisikan sebagai kerja bersama Lintas Kementerian seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta lembaga lainnya termasuk kerja bersama di tingkat pemerintah daerah, untuk itu diundang pula perwakilan dari pemerintah provinsi Riau, Sumatera Barat berikut perwakilan Masyarakat Hukum Adatnya. Pelaksanaan FGD yang diinisiasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Direktorat Pelayanan Sosial Dasar dilaksanakan di gedung utama Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, merupakan kegiatan pararel yang dipantau langsung oleh Kantor Staf Presiden (KSP) untuk menyusun langkah prioritas bagi percepatan proses penetapan Desa Adat. Proses fasilitasi ini merupakan langkah strategis yang sebelumnya pernah dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2016 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Fery dari Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan agar tidak ada istilah Desa Adat menutur Kemendagri, Desa Adat Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau yang lainnya, oleh karenanya harus ada kesepahaman bersama untuk Desa Adat ini, semangat ini harus didorong untuk meningkatkan rasa kebangsaan, tetapi proses penetapan desa adat ini harus sesuai dengan konstitusi yang berlaku, Masyarakat Hukum Adat harus menyiapkan persyaratan berdasarkan Undang-undang Desa. Antropolog, Yando Zakaria mengutarakan adanya batasan waktu 1 tahun terhitung dari Undang-undang Desa diberlakukan dalam penetapan Desa Adat itu terkesan kejam, bagaimana mungkin Masyarakat Hukum Adat dapat memenuhi kriterta penetapannya hanya dalam jangka waktu 1 tahun, Yando menambahkan jika saat ini kondisi tatanan Masyarakat Hukum Adat dalam kondisi tercerai berai, Masyarakat Hukum Adat membutuhkan
konsolidasi dalam proses ini dan itu tidak cukup dapam 1 tahun, terdapat fakta bahwa saat ini terdapat ragam tafsir terhadap UU Desa kaitannya dengan penetapan Desa Adat Hadir pula perwakilan dari Majlis Madya Desa Pakraman kabupaten Karang Asem yang memberikan apresiasi atas inisiatif ini, sebagai langkah maju dari proses penetapan yang selama ini jalan ditempat dan selalu berkutat dalam perdebatan panjang dalam menafsirkan Undang-undang. I Ketut Alit Suardana selaku perwakilan Majlis Madya Desa Pakraman kabupaten Karang Asem menunggu perkembangan selanjutnya dari proses fasilitasi ini dan berharap aka nada model yang baik dalam proses penetpan desa adat setelah Undang-undang Desa diberlakukan. Sementara pihak KSP menyampaikan harusnya dalam kontek penetapan Desa Adat ini sudah tidak ada lagi perdebatan yang tidak perlu, KSP melihat aspek mendasar dari pengakuan terhadap masyarakat hukum adat itu sendiri seharusnya terbebas dari masingmasing tafsir yang menghambat proses penetapan desa adat. Peserta FGD bersepakat untuk mengagendakan pertemuan lanjutan yang bersifat rutin dibawah kendali Kantor Staf Presiden (KSP) yang secara tekhnis akan bantu Tim Kecil yang telah dibentuk pada FGD 1 di Kemendikbud, Tim kecil beranggotakan 6 orang mewakili dari Lembaga Kementerian dan lembaga profesi yang dikoordinatori Yando Zakaria ini telah menyusun draft tata kelola percepatan proses pengakuan dan penetapan Desa Adat *