1. Bertemu Kamis, 06 Mei. Pukul 16:25 WIB. Langkah kaki Ariella terdengar nyaring di lorong sunyi ini. Ia tak peduli akan makhluk halus yang ingin mengganggunya disore hari ini. Ariella menatap langit yang sudah tidak bersahabat. Langkahnya berhenti diujung lorong sunyi ini. Mata bening gadis itu kembali menatap langit yang kian kelam. Ia menghela napas panjang sembari membenarkan posisi duduknya. Sekitarnya terasa sunyi. Sangat sepi. Tangannya terangkat menyentuh rumput basah disekitarnya. Dikepalanya berkelebat peristiwa yang menurutnya terjadi di masa kelam. Benar-benar kelam. Ariella bangkit dari duduknya. Kakinya telah siap membawa dirinya ke mobil pribadi yang menepi di trotoar jalan raya depan gedung sekolah ini. Tepat disaat ia mengangkat sling bag yang setia menemaninya dalam perjalanan nostalgia, terdengar langkah berderap sesuatu. Membuat ia membatalkan niatnya. Matanya menatap awas sekitar. Takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Ia berbalik, lantas melangkah mundur. Kakinya terus melangkah mundur sembari mengucapkan beberapa doa memohon perlindungan untuk dirinya. Bibirnya sedikit terbuka begitu ia telah menabrak sesuatu. Dengan takut, ia membalikkan tubuhnya. Tubuhnya membeku begitu melihat objek yang entah ia menabrak atau ditabrak. "Nata." Ucapnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. 🐾 Aryanata melangkahkan kakinya begitu ia sudah mengunci mobil pribadi yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Keningnya sedikit mengkerut begitu melihat sebuah mobil berjenis sama dengan mobil miliknya terparkir rapih dihadapan mobilnya. Aryanata mengangkat bahunya acuh kemudian kembali melangkahkan kakinya. "Mau ngapain mas? Sore-sore begini ke sekolah?" Tegur seorang satpam--dengan aksen Jawa-nya yang kental--yang sedang berjaga di pos gedung sekolah ini. Aryanata tersenyum sembari mendekati satpam tersebut, "Gak mau ngapa-ngapain sih mas. Kalau saya boleh tau, itu didepan mobil siapa ya?" Satpam tersebut mengarahkan pandangannya mengikuti ibu jari Aryanata yang sedang menunjuk kearah mobil tadi. "Ooh, itu mobil mbak-mbak cantik. Katanya sih dia mau nostalgia gitu," jawabnya sedikit bercanda. Sekelibat bayangan seorang gadis yang berasal dari masa lalunya melintasi benak Aryanata. Kalau saja gadis itu yang datang bersamanya kini, pasti mengenang masa-masa indah itu akan bertambah indah jadinya. "Baik, mas. Saya permisi ke dalam sebentar ya?" Pamit Aryanata yang disambut anggukan dari satpam yang sudah terlihat baya tersebut. "Nje, mas. Monggo."
Dengan tubuh yang mapan, Aryanata kembali melangkahkan kakinya untuk menelusuri gedung sekolah ini. Tujuan utamanya terletak dibagian belakang gedung ini. Suara sepatu pantopel miliknya terdengar nyaring begitu ia melintas disalah satu lorong yang akan membawanya ketempat tujuan utamanya. Langkahnya mulai melambat begitu melihat seorang gadis sedang berjalan mundur mendekatinya. Pikirannya bercabang begitu jarak antara dirinya dan gadis itu mulai sempit. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Apa ia harus menjauhkan tubuhnya dari gadis itu? Atau ia harus menepuk pundak gadis itu agar ia membalikkan tubuhnya? Atau ia harus berdeham kecil agar gadis itu berjalan dengan sewajarnya? Pikirannya semakin bercabang hingga menghabiskan waktu. Pikirannya mulai berhenti bertanya-tanya begitu tubuh gadis itu sudah menabrak dirinya. Dengan gerakan tubuh yang takut-takut, gadis itu membalikkan tubuhnya untuk menatap kearahnya. Membeku. Itulah yang ia dapati begitu gadis yang menabraknya tadi membalikkan tubuhnya. Gadis yang berasal dari masa lalunya. "Nata." Ucap gadis itu dengan suara yang hampir tidak terdengar. Aryanata hampir mati rasa mendengar ucapan yang hampir seperti bisikan itu. Matanya menatap dalam gadis yang ada di depannya. Apa ini kenyataan? Bukan mimpi semata? Apa benar? Ia hampir berhenti bernapas karena memikirkannya. Dan sekarang gadis yang membuat tidurnya tak nyaman bertahun-tahun terakhir ada di hadapannya. Dulu berbagai skenario berkelebatan dikepalanya, tentang bagaimana caranya ia akan bertemu gadisnya kembali. Matanya menatap dalam mata bening yang sangat ia rindukan. Ia bingung. Aryanata tak tahu apa yang harus ia lakukan. Karena semakin dipikir, akan semakin rumit jadinya. Ia membawa Ariella tenggelam dalam kepekatan matanya, berharap gadisnya itu bisa merasakan apa yang ia rasakan. "Ariella." Ucap Aryanata dengan suara maskulinnya yang khas. Ariella menundukkan kepalanya guna menahan dirinya untuk kembali terhanyut kedalam kepekatan mata Aryanata itu. Aryanata menatap gadisnya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu terlihat lebih kurus." Gadisnya benar-benar seperti manusia kekurangan gizi. Persis seperti dulu, namun saat ini benar-benar melebihi tubuhnya yang dulu. Ariella mendelik. "Sejak kapan kamu peduli dengan bentuk tubuh saya?" Aryanata terdiam mendengar beberapa kalimat yang cukup menohok keluar dari bibir ranum Ariella. Ia kembali terdiam untuk memikirkan apa yang harus ia lakukan lagi. Gadisnya kini sudah benar-benar berubah. Entah karena situasi yang ada, karena waktu, atau karena dirinya. "Kamu benar-benar berbeda. Ralat, kita benar-benar berbeda. Dulu, saya yang benar-benar apatis. Tapi sekarang predikat itu milikmu. Tapi tak apa, saya bersedia memberi setengah dari hidup saya asal masa lalu bisa diulang kembali." Aryanata mengakui bahwa ia tak pernah ingin kembali ke masa lalu. Ia rela menukar apapun miliknya bahkan kekuasaannya sekalipun asal ia bisa kembali bersama Ariella. Tapi, rasanya tidak mungkin.
Ariella tersenyum lemah. "Sedari dulu tidak pernah ada kita. Yang ada hanya saya dan kamu yang memang kebetulan bersama." Ia makin apatis. Tapi terlihat jelas ia bingung apa maksud Aryanata tadi. Ariella melirik swatch hijau yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul setengah lima lewat. Ia harus pulang. Ariella kembali memandang Aryanata yang sedang menunggunya angkat suara. "Saya harus pulang. Semoga kita bisa bertemu lagi dilain waktu." Aryanata menarik bibirnya hingga berbentuk sebuah garis begitu Ariella sudah melangkah menjauh darinya. Ia berjalan cepat lalu menarik tangan Ariella sehingga membuat Ariella mau tak mau kembali berhadapan dengannya. "Saya antar," ucap Aryanata. Ariella tersenyum lalu melepaskan genggaman tangan Aryanata yang masih berada dilengannya. "Terimakasih. Tapi saya bawa mobil sendiri. Saya benar-benar harus pulang." Sedetik kemudian Ariella berlalu. Aryanata masih terpaku ditempat. Matanya menatap punggung Ariella yang menjauh dan menghilang dari balik tembok. Ia berdecak kesal sembari mengacak-acak rambutnya kasar. Napasnya tersengal-sengal begitu tangannya sudah berkacak pada pinggangnya. Aryanata menatap sepatunya yang masih mengkilap, lalu ia menggumam sejenak. "Sekarang atau tidak sama sekali." Aryanata berlari menuju mobil miliknya. 🐾 Ariella menembus dimensi khayalan setibanya di dalam mobil. Dengan tergesa ia meminta supir pribadinya selama di Jakarta, cepat-cepat pergi dari tempat itu. Musnah sudah harapannya untuk mengingat masa lalu dengan tenang. Sebenarnya apa tujuan Aryanata datang kesana? Menertawakan kebodohan di masa lalunya? Jika itu benar terjadi, ia ingin mengubur Aryanata hidup-hidup. Walaupun tak menjamin ia akan punya hati untuk melakukan itu atau tidak. Matanya menerawang jauh ke masa lalu. Masa-masa yang kelam, setidaknya menurut dirinya sendiri. Masa dimana mereka pertama kali bertemu.
2. Pertama Kali Bertemu Wajah Ariella menjadi cerah pagi ini begitu ia bertemu dengan sahabat kecilnya. Dari kejauhan, ia berteriak. "Altairisa Afifa Genoveva!" Serunya sembari berlari menghampiri. Satu sekolah memang sudah terbiasa dengan kelakuan Ariella yang super berisik. Warga SMP Tunas Bangsa pasti tidak ada yang tidak mengenalnya. Pasalnya prestasi Ariella dibidang akademik maupun tidak, cukup menjulang nama sekolah. Tak heran banyak orang yang menyapanya jika ia sedang melintas di setiap sudut sekolah, sebanyak itu yang menyapa sebanyak itu pula yang membenci. Walaupun memang terkadang kelakuan hyper-actifnya agak menjengkelkan. Berbeda dengan sahabat kecilnya yang memang agak pendiam. Diamdiam menghanyutkan, maksudnya. Ariella dengan sombongnya mencoba merangkul Afifa yang tubuhnya tergolong tinggi, berbeda dengan Ariella yang tubuhnya tergolong mungil. "Eh, temen gue! Main ke kelas baru gue, yuk!" Kakinya terus berjinjit upaya menyamakan postur tinggi tubuh Afifa. Afifa mendelik. "Emang udah tau kelas lo dimana?" Ariella melepaskan rangkulannya lalu menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. "Eh, iya juga sih. Kelas gue dimana ya?" Ujar Ariella yang balik menanya. "Bego!" Ariella menunjukkan deretan gigi putih nan rapihnya. "Ya, maaf. Namanya juga manusia, pasti pernah khilaf," kepala Ariella mendongak menatap Afifa dengan tatapan mengintrogasi. "Emang lo sendiri udah tau kelas lo dimana?" "Udah tau lah! Emang lo?!" Telak Afifa. Ariella mencibir, begitu dengan bangganya Afifa menjawab. "Paling juga dikasih tau temen 'kan lewat BBM?" Tuduh Ariella. "Gak lah. Sori ya, gue gak mainan BBM. Bisa-bisa diomelin sama kanjeng ratu," bantah Afifa. "Lagian juga gue gak kaya lo, orang sibuk. Sampai batang hidung gak pernah sedetikpun gak keliatan sama tiap pasang mata!" Oceh Afifa yang disambut kekehan oleh Ariella. "Bawel aja, kaya ikan mujair!" Dengan angkuhnya Afifa menjawab. "Emang ikan mujair bisa ngomong?" Ariella terdiam sejenak. "Udah sih, namanya juga anak-anak. Bisa salah!" Kata Ariella tak mau kalah. "Ngelak aja terus sampai lo ketemu Prince Charming lo! Lagipula, gak ada anak kecil yang mukanya ngeselin kaya lo!" Afifa meledek. "Yaudah, ayo, ke papan mading. Kita liat nama lo ada di kelas mana." Lanjutnya sembari menarik paksa tangan Ariella.
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju mading yang terletak disamping ruang guru. Sepanjang perjalanan, banyak sekali yang menyapa Ariella hingga membuat Afifa berdecak kesal. Dengan percaya diri Ariella berkata. "Maklum, artis." Afifa hanya mendengus. Mereka berdua sudah berdiri dihadapan mading yang setia menempel pada salah satu tembok sekolah. Raut wajah Ariella mendadak memelas begitu melihat daftar nama murid yang sekelas dengannya. Afifa menyadari perubahan raut wajah Ariella. "Kenapa lo?" Tegurnya. Ariella menoleh dengan wajah yang memelas. "Masa gue sekelas sama si culun Kiki," katanya dengan suara yang seperti habis menangis. Dengan lancangnya Afifa tertawa ditengah keadaan seperti ini. "Kiki? Rifki Fernandez yang culun itu? Yang suka sama lo?" Ariella mengangguk lemah dengan wajah yang tambah ia tekuk. Afifa kembali terbahak sembari mengejar Ariella yang mulai menjauh darinya. Ariella terduduk diatas bangku sekolah yang berada tak jauh dari mading. Afifa ikut terduduk dengan posisi yang masih terbahak-bahak. "Gak usah deket-deket deh kalau lo cuman mau ketawain gue doang!" Omel Ariella. Afifa tersenyum sembari merangkul Ariella. "Jangan cemberut dong, nanti tambah jelek lho!" Kata Afifa yang malah membuat Ariella semakin mengerucuti bibirnya. Ariella terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba senyum usilnya kembali menghiasi wajah mungilnya, "Gue mau lakuin sesuatu buat dia!" Serunya. "Ri, gak bakal ngelakuin hal gila 'kan?" Tanya Afifa sedikit mengintrogasi. "Ck! Gak bakal lah. Pokoknya nanti lo juga tau sendiri," bantah Ariella. Afifa mendelik kemudian memutarkan bola matanya. "Eh, btw, cie-cie yang sekarang udah kelas akhir nih ye," lanjut Ariella sembari menjawil dagu Afifa. "Emangnya lo, temenan sama gue dari kecil tapi ternyata lo adik kelas gue." Kata Afifa memojokkan Ariella. "Yaelah, faktor gak cukup umur pas masuk SD doang." Ariella kembali memelas. 🐾 "Tapi sumpah Fif, sumpah, itu aktornya ganteng-ganteng banget!" Ariella menggebu-gebu. "Tetep, Ri, gantengan Ketos yang masa baktinya udah mau abis itu lho." Afifa berkata final. Ariella memutarkan bola matanya. "Iyadah, iya. Suka-suka lo," ucap Ariella yang disambut cengiran dari Afifa.
Ariella mengernyit begitu teman-teman kelasnya yang baru berlarian masuk ke dalam kelas dengan wajah yang sedikit panik. Tak lama, seorang guru yang sudah terlihat baya masuk ke dalam kelas 8-B alias kelas Ariella. Sontak Ariella dan Afida saling menatap satu sama lain. Afifa segera bangkit dan berlari hendak keluar dari dalam kelas Ariella. Namun langkah kakinya terhenti karena dihalang oleh guru tersebut. "Altairisa, kamu ngapain ada disini?" Tegur bu Azka sembari menarik tangan Afifa. Afifa menoleh dan menunjukkan deretan gigi putihnya. "Lagi--" "--abis apelin Kiki bu!" Teriak Ariella memotong perkataan Afifa. Sedetik kemudian, seluruh murid yang berada di dalam ruang kelas ini termasuk Kiki tertawa mendengarkan lelucon dari Ariella. Mata Afifa sudah membulat dan menatap Ariella dengan tajam. Namun Ariella membalasnya dengan juluran lidah. "Yaudah sana kamu kembali ke kelas. Udah kelas sembilan, bukannya betah di kelas malah keluyuran." Afifa melangkah keluar dengan sumpah serapah yang ia ucapkan dalam diam untuk Ariella. Untung saja Afifa sudah hafal betul sikap Ariella yang sangat menjengkelkan itu. Ariella masih tertawa hingga bu Azka meminta seluruh murid untuk diam sejenak karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. "Ibu emang gak ada jadwa ngajar di kelas kalian, tapi ibu membawa sebuah berita." Semua murid mulai berbisik. "Beritanya buruk atau bagus nih bu? Berita kalau besok libur ya? Asyik!" Celetuk salah satu murid yang berada dipojok kanan kelas. Seisi kelas kembali tertawa hingga bu Azka kewalahan menghadapi sikap beberapa murid yang sangat konyol. "Sshhh. Diam dulu semuanya," teriak bu Azka. "Hari ini, kita kedatangan murid baru. Aryanata, masuk," lanjut bu Azka. Sosok seorang laki-laki berperawakan tinggi masuk ke dalam kelasnya, "Perkenalkan diri kamu, nak." Ucap bu Azka melanjutkan perkataannya yang masih menggantung. Laki-laki yang terlihat tak peduli pada sekitar itu menatap lurus. "Halo. Nama saya Aryanata Daniel Permana. Tolong disingkat menjadi Arya." Ariella yang duduk dipojok kelas tersenyum sambil mengeja dalam hati. Aryanata. Aryanata Daniel. "Baik. Kalian bisa berkenalan sendiri nanti. Arya, silahkan kamu pilih tempat duduk yang kosong," laki-laki yang bernama Aryanata itu mengangguk kemudian berjalab melewati barisan tempat duduk Ariella dan berhenti tepat dimana Ariella terduduk sendirian. "Boleh duduk di sini?" Tanya Aryanata pada Ariella. Ariella mengangkat alisnya. "Boleh. Boleh kok, boleh." jawabnya sembari memiringkan posisi duduknya guna memberikan jalan untuk Aryanata duduk disampingnya. Tanpa bicara apapun, Aryanata duduk disamping Ariella.
"Baik kalau begitu, ibu permisi dulu. Selamat belajar anak-anak." Ucap bu Azka kemudian berlalu. Semua pasang mata masih menatap penasaran kearah laki-laki yang menjadi teman sebangku Ariella ini. "Ri, jangan digebet ya yang di sebelahnya. Inget, ada Kiki disini." Teriak salah sati teman kelasnya yang mmbuatnya mencibir. Ariella memutarkan bola matanya lalu sedikit melirik kearah Aryanata dan secepat kilat menarik pandangannya lagi. Beberapa menit terasa hening. Hening bukanlah bagian dari dirinya. Ariella menoleh kearah sekelilingnya. Ia menghembuskan napas berat disaat temanteman sekelasnya masing-masing sibuk dengan urusannya. "Ri, besok ada acara gak? Kalau gak ada mau ikut kita gak?" Suara perempuan cempreng yang berada ditengah sebuah lingkaran yang berisi perempuan-perempuan suka bergosip berhasil mengusir keheningan. "Mau kemana?" Tanya Ariella. "Mau ke mall gitu sih," jawab perempuan yang berbeda. Ariella memajukan bibirnya beberapa senti sembari menggumam, "Liat besok aja deh, gimana," kata Ariella belum menentukan keputusan. "Ri, novel yang kemarin lo rekomendasiin ke gue bener-bener t.o.p.b.g.t. Feelnya dapet banget!" Suara temannya yang lain yang membuatnya kembali menoleh kelain arah. "Bener 'kan apa yang gue bilang? Beehhh, gue yang modelnya macem gini aja sampai mewek bacanya," ujar Ariella tak kalah heboh. "Lebay, nyet." Sahut perempuan yang duduk disebelah barisannya sembari menoyor pelan kepala Ariella. Ariella mengerucuti bibirnya. "Yeee, eyke juga manusia kali, cyin." "Ariella!" Kali ini yang memanggilnya berasal dari ambang pintu. "Sini, Fif!" Pinta Ariella begitu mengetahui yang memanggilnya adalah Afifa. Afifa memasuki kelasnya Ariella setengah berlari. "Hai, kak Afifa." Sapa perempuan yang terduduk didepan Ariella. Afifa menjawabnya dengan senyuman manisnya karena lesung pipi yang menghiasi pipi kanannya. "Ri, gue galau. Si Ketos itu--" Ariella mengernyit begitu Afifa menggangtungkan perkataannya dan matanya mengerling kearah Aryanata. "--eh itu cogan di samping lo anak baru?" Lanjut Afifa dengan berbisik. Ariella mendelik. "Gimana sih lo? Gak konsisten banget. Dateng-dateng ngomongin Ketos, tiba-tiba ganti topik," oceh Ariella. "Ri, lo mau nyoba jadi Ketos gak?" Ariella kembali memanglingkan pandangannya. "Gak mau ah! Capek kalau harus ngurusin urusan orang lain. Mending seluruh anggotanya pada mau gerak," tolak Ariella mentahmentah.
"Lo nawarin jabatan kaya gitu ke orang yang salah, dek," kata Afifa menyambungkan jawaban Ariella. "Nah, itu lo tau, Fif." Ariella menyetujui perkataan Afifa. "Iyalah. Gue udah hafal bener sifat lo kaya gimana." Sambung Afifa menyombongkan dirinya. "Ri," kali ini gilirian anak klub musik yang menyapanya. Pembahasannya pasti tidak jauhjauh dari musik. Apalagi musik klasik. "Video waltz Antonio Vivaldi yang lo kasih kemarin ternyata keren banget. Thanks banget ya. Apalagi rekomendasi buat violin di klub musik. Kemarin yang lo saranin siapa namanya? Sarasate? Iya itu. Pokoknya thanks banget deh." Setelah itu anak itu berlalu karena teman lain yang menyapanya. Ariella mendengar itu tersenyum senang. Ia senang ia bisa berguna bagi orang lain. Dan baginya, membantu orang lain adalah tugas yang harus diemban setiap orang. Tanpa ia sadari hari ini ia belum sekalipun menyapa sang anak baru. Sekalipun tidak.
3. Ego Yang Besar Kamis, 06 Mei. Pukul 17:42 WIB. "Mbak, kita sudah sampai." Supir pribadi Ariella menyadarkan. Ariella tersentak, cepat-cepat ia menyadarkan diri. "Yaudah. Saya permisi duluan ya, pak. Salam untuk mamah." Kemudian Ariella berlalu. Ariella berjalan sedikit gusar memasuki elevator hotel tempatnya menginap selama ia berada di kota kelahirannya. Semakin jauh ia berjalan dari masa lalu, semakin pekat pula rasa sesal yang ia rasa. Tapi penyesalan memang selalu diakhir. Mengapa pula ia sempat-sempatnya memikirkan masa-masa menyakitkan itu. Begitu ia sudah sampai didalam kamar hotelnya, ia segera berendam air hangat agar sekelibat bayangan itu tidak kembali datang menghantuinya sehingga ia harus kembali meruntuhkan pertahanan yang sudah sembilan tahun ia buat. Berendam sembari diiringi alunan musik klasik yang juga berasal dari masa lalunya yang terdengar dari ponselnya. Tiba-tiba, alunan musik terhenti berganti nada dering panggilan yang cukup nyaring. Altairisa Afifa is calling. Tak merasa harus berpikir dua kali, Ariella sudah menekan tombol hijau yang ada di layar ponselnya. "Aloha, ibu negara. Masih sibuk aja nih?" Suara melengking dibuat-buat milik Afifa terdengar dari seberang telepon. Ariella tergelak. Lama tak berjumpa malah sekarang predikat 'bawel' disandang Afifa. "Gak kok. Gue sekarang ada di Jakarta. Nanti malem bisa ketemu? Kita dinner mau?" Terdengar suara teriakkan dan sedikit suara krasak-krusuk dari sebrang telepon. "Mau banget! Nanti malem di restoran biasa ya, babe. See you at 7pm honey, bye." Ariella menghela napasnya begitu saluran telepon itu terputus secara sepihak. Dengan cepat Ariella membersihkan tubuhnya secara keseluruhan karena waktu yang hampir mepet. Selang lima belas menit, Ariella keluar dari dalam kamar mandinya. Ariella mengobrak-abrik isi kopernya. Pakaian yang ia pilih hanya sekedar kaus polos berwarna putih yang dibaluti jaket kulit berwarna hitam, celana skinny jeans berwarna hitam serta sepatu converse putih dan sling bag hitam yang selalu ia bawa kemanapun. Setelah ia menatap yakin pada pantulan dirinya di cermin, ponselnya kembali berdering. Namun kali ini menandakan ada pesan singkat yang masuk. Gue udah berangkat nih. Lo naik apa? Perlu gue jemput?
Ariella tersenyum membaca pesan singkat yang dikirim oleh sahabat kecilnya. Dengan lincah, jemarinya menari diatas layar ponsel miliknya. Gue bisa berangkat sendiri dan perlu lo catet, gue bukan adik kelas lo lagi yang masih harus diantar jemput. Ariella mengunci layar ponselnya lalu memasukkannya ke dalam sling bag miliknya. Dengan senyum yang merekah, Ariella berjalan menuju lobi utama hotel ini. Tak perlu menunggu lama, sebuah taksi yang baru saja menuruni penumpangnya menawarkan jasanya untuk mengantar Ariella ke tempat tujuannya. Setelah ia duduk didalam mobil sedan berwarna biru ini dan memberitahu tujuannya, Ariella termangu, menatap kendaraan yang berlalu lalang. Keadaan kota kelahiran yang sangat ia rindukan. Sekelibat masa lalu kembali menghantuinya. Namun dengan cepat ia mengusir bayangan masa lalu yang hampir membuatnya jatuh kembali. "Terimakasih, pak." Ujar Ariella begitu taksi yang ia tumpangi sudah berada di depan tujuannya. Ariella melangkahkan kakinya dengan anggun untuk masuk ke dalam restoran yang pernah menjadi tempat makan favorit dirinya dan Afifa beberapa tahun yang lalu sebelum ia memutuskan berangkat ke Jerman. Pandangannya menangkap seorang wanita yang sedang duduk dengan daftar menu makanan yang berada digenggamannya. Wajah wanita itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Namun, yang membuat penampilannya berbeda adalah warna rambut yang sedikit kecokelatan sekarang. Ariella berjalan mendekati wanita itu. Wanita itu menoleh ketika Ariella menepuk pelan bahu wanita itu. "Kyaaaaaa, Ariellaaa!!" Serunya sembari berlompatan memeluk tubuh Ariella. "Iya, iya. Ini gue Ariella, iya." Wanita yang ternyata Afifa itu melepaskan pelukannya lalu menangkup kedua pipi Ariella. "Kok lo gak sekonyol dulu sih?" Tanyanya. Ariella tersenyum sembari melepaskan tangkupan Afifa, "Semuanya akan berubah, Fif. Termasuk lo," Mereka terduduk sembari tetap menatap satu sama lain. "Coba liat penampilan lo. Sejak kapan gitu lo jadi warnain rambut lo? Padahal dulu 'kan lo benci banget sama orang yang rambutnya sok-sok diwarnain." Lanjut Ariella. "Em, iya juga sih. Eh, lo apa kabar? Sembilan tahun tinggalin gue ke Jerman. Dapet apaan lo di sana?" Ariella terkekeh pelan. "Kabar gue baik, kaya apa yang lo liat sekarang. Banyak yang gue dapet dari sana," jawabnya dengan wajah datar. "Sembilan tahun, ya? Em, apa udah cukup waktunya buat lupain Arya?" Pertanyaan itu kembali mengingatkan Ariella pada sosok Aryanata--laki-laki yang baru saja tadi sore bertemu dengannya. Ariella menjawab pertanyaan Afifa dengan senyuman samar.
"Eh cerita dong perjalanan lo selama di sana," "Kok lo jadi bawel gini sih? Bawel 'kan predikat gue!" Ariella mengomel. "Lo juga jadi cuek, dingin, sok angkuh! Itukan juga predikat gue!" Balasnya dengan nada tak kalah tinggi. Ariella dan Afifa terdiam sejenak. Kemudian mereka sama-sama terbahak menertawakan diri mereka masing-masing yang hampir dikalahkan oleh ego. 🐾 "Bener nih, gak pa-pa?" Tanya Ariella memastikan. Afifa memutarkan bola matanya. "Ck! Gue ini udah sahabatan sama lo selama dua puluh tiga tahun, dan lo masih nanya ke gue yakin apa gak anterin lo pulang? Haha," Ariella ikut tertawa disaat hatinya menyetujui omongan Afifa. Ia mengangguk lalu masuk ke dalam mobil pribadi milik Afifa yang dikemudikan oleh seorang sopir pribadi juga. Selama perjalanan menuju hotel penginapan Ariella, mereka sempat membicarakan masa-masa sekolah dulu. Walaupun mereka berbeda angkatan, namun disetiap menit bahkan detik masamasa sekolah mereka selalu bersama. "Pak, saya ke dalam sebentar ya." Ucap Afifa kepada sang sopir begitu mereka sudah sampai di lobi hotel. Sang sopir pun mengangguk sembari tersenyum. Jika Ariella sudah bertemu dengan Afifa, ataupun sebaliknya, pasti segala hal yang dilakukan mereka akan didasari dengan niat yang kuat. Mereka berjalan dengan diam dan menghentikkan langkahnya di depan pintu elevator yang masih berada di lantai atas. "Lagi sibuk apa lo, Fif?" Ariella bertanya begitu pintu elevator mulai terbuka. Mereka berdua berjalan memasuki ruangan kubus yang bergerak ini. "Biasa kaya cita-cita gue waktu dulu," Afifa menjawab beriringan tertutupnya pintu elevator. "Apaan?" Afifa memutar kedua bola matanya. "Dongonya masih sama ya nih anak. Dulu gue mau jadi apaan sih? Penulis 'kan?" Ucap Afifa dongkol. Seketika mata Ariella melebar. "Lo jadi penulis? Kok gak pernah bilang ke gue kalau tiap lo terbitin buku?" "Baru ada tiga buku sih, tapi sori, gue gak sanggup kalau harus diterjemahin ke bahasa Jerman kesayangan lo itu. Gue cuman terjemahin ke bahasa Inggris doang. Nyerah gue sama bahasa Jerman." Afifa berpura-pura putus asa. Ariella tertawa mendengarnya. Kemudian setelah itu semuanya kembali terdiam. Ting! Pintu elevator terbuka di lantai 14. Lantai dimana kamar hotel Ariella terletak. Mereka berjalan beriringan menuju kamar hotel Ariella.
"Gue gak bisa ikut masuk nih, gue balik ya." Kata Afifa ketika Ariella dengan sibuk membuka pintu hotelnya. Ariella menoleh dan mengernyit, "Gak mau minum bentar gitu?" Tanyanya memelas. Afifa tersenyum sembari mengusap pipi Ariella yang menurutnya masih gadis kecil yang ia kenal dulu. "Gak bisa sayang. Lo balik ke Jerman kapan? Gue antar ya ke bandaranya." "Lusa berangkatnya. Tapi tengah malam harus ada di sana," jawab Ariella. "Oke. Gue balik ya, dah." Kemudian Afifa berlalu. "Dah." Balas Ariella dengan suara yang hampir berbisik kemudian ia masuk ke dalam kamar hotelnya. Afifa dengan jalan yang sedikit terburu-buru masuk ke dalam elevator yang untungnya sedang melintasi lantai 14 ini. Keadaan elevator masih sama seperti tadi. Kosong. Dalam keheningan Afifa menunggu pintu elevator terbuka di lobi. Selang lima menit, ia sudah keluar dari dalam elevator. Pandangannya tidak berhenti memperhatikan setiap sudut lobi hotel yang tergolong mewah ini. Tapi, pandangannya membeku begitu ia melihat objek yang berada di hadapannya. Tubuh objek itu juga seperti terkejut bertemu dengannya. "Aryanata 'kan?" 🐾 "Pak, gadis yang bapak cari sedang berada di lingkungan Jakarta." Ucap seorang intel milik perusahaannya begitu Aryanata baru tiba di lobi apartemen. "Cari tahu dia menginap dimana." perintah Aryanata dengan nada yang masih datar. "Dia tinggal di hotel yang bapak kasih saham beberapa minggu yang lalu." Aryanata berhenti melangkah begitu mendengar penjelasan dari intel yang masih mengikutinya hingga ke lantai yang dimana kamar apartemennya berada. "Baik. Kamu boleh pulang, saya akan menemuinya sendiri." Sang intel mengangguk kemudian berlalu dari hadapan Aryanata. Aryanata tersenyum lega lalu melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam apartemennya. Sudah lama ia tinggal seorang diri di apartemen ini. Kedua orang tuanya sudah berulang kali meminta Aryanata agar kembali tinggal di rumah, namun itu sangat merepotkan kedua orang tuanya menurut Aryanata. Aryanata bergegas membersihkan dirinya. Setelah selesai, ia meraih kunci mobil yang tadi ia pakai lalu kembali berjalab menuju basemant yang dimana berada mobilnya sedang terparkir rapi. Ia memantapkan hatinya untuk kembali bertemu dengan gadisnya itu sembari menggenggam erat kemudi mobilnya. Setelah cukup yakin, pedal gas pun ditancap olehnya. Bayang-bayang masa lalu terlintas di benaknya. Ia sangat menyesali akan apa yang ia lakukan saat itu. Ia menggelengkan kepalanya guna mengusir bayangan itu agar tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Selang dua puluh menit, mobil Aryanata sudah berada di lobi hotel
yang dimaksud. Namun, Aryanata mengurungkan niatnya untuk turun dari dalam mobil begitu melihat gadisnya sudah masuk ke dalam taksi. Dengan cepat Aryanata kembali menancapkan pedal gasnya untuk mengikuti kemana perginya gadisnya itu. Aryanata mengernyit begitu taksi yang ditumpangi oleh gadisnya itu berhenti disebuah restoran. Ia mengurungkan niatnya untuk ikut masuk ke dalam karena keadaan restoran itu sedang tidak terlalu ramai sehingga ia bisa saja terlihat oleh gadisnya itu. Hampir satu jam Aryanata gusar menunggu gadisnya itu keluar dari dalam restoran. Ia sudah menunggu dengan waktu yang cukup terbuang. Aryanata menegakkan posisi duduknya begitu ia melihat gadisnya sudah keluar dari dalam restoran bersama seorang wanita lain yang Aryanata tahu ia adalah sahabat kecilnya. Aryanata kembali menancapkan pedal gasnya begitu gadisnya beserta sahabatnya itu sudah berlalu menggunakan sebuah mobil pribadi. Aryanata mendengus kesal disaat tiba di lobi hotel yang cukup ramai kendaraan sehingga terjadi kemacetan. Gadisnya itu sudah masuk terlebih dulu bersama sahabatnya. Giliran mobil Aryanata sampai di muka lobi, sekitar sepuluh menit dari waktu gadisnya masuk ke dalam hotel. "Selamat malam, pak Arya." Sapa seorang valet hotel ini sembari meraih kunci mobil milik Aryanata. "Saya mungkin gak lama." Ujar Aryanata yang disambut anggukan oleh seorang valet tersebut. Aryanata sempat berjalan menunduk. Ia memperhatikan penampilannya dalam diam. Ia tidak mau menunjukkan penampilannya yang kacau beberapa tahun terakhir karena tidak dapat menemukan keberadaan gadisnya itu. Aryanata kembali mendongakkan kepalanya. Betapa terkejutnya ia mendapati wanita yang tadi bersama gadisnya itu sudah berada di hadapannya. "Aryanata 'kan?" Aryanata mengangguk. "Afifa 'kan?" Kata Aryanata balik bertanya. Wanita yang ternyata Afifa itu mengernyit. "Lo ngapain di sini?" Tanya Afifa dengan nada sinis. Beberapa detik kemudian, bibir tebal Afifa membentuk huruf 'o' sembari menepuk keningnya, "Jangan bilang lo ke sini mau nemuin Ariella?!" Afifa menuduh. Aryanata tersenyum lemah. "Pada akhirnya, itu kenyataannya." "Lo jadi cowok terlalu kaku? Lugu? Atau bodoh? Udah jelas-jelas beberapa tahun yang lalu lo ngusir dia dari kehidupan lo. Sekarang? Lo minta dia balik lagi? Terus kalau dia udah balik, lo mainin lagi dan akhirnya lo usir lagi? Gitu?" Emosi Afifa sudah berada dipuncaknya. Manusia mana yang rela sahabatnya disakiti? Tidak ada bukan? Posisi mereka saat ini sudah terduduk di bangku yang berada di lobi hotel tersebut. "Saya hanya ingin menyelesaikan apa yang belum terselesaikan diantara saya dan dia," Aryanata berkata dingin. Afifa tertawa mendengus. "Menurut gue , Ariella akan ngelakuin hal yang sama kaya gue. Gak ada yang perlu kalian selesaikan lagi, semuanya udah selesai."
"Kasih saya kesempatan untuk memperjelas semuanya. Saya janji pertemuan saya kali ini dengannya adalah pertemuan terakhir." Afifa menatap tajam kearah Aryanata. "Maaf, gak bisa. Ayo sekarang lo harus pulang adik tampan. Ini udah malam, besok lo kerja 'kan?" Ujar Afifa sembari menarik paksa tangan kokoh Aryanata menuju pos valet. "Pak, mobil Aryanata tolong bawa kesini." Ucap Afifa kepada sang valet sembari tetap menahan tangan Aryanata. Tak harus menunggu waktu yang lama, mobil milik Aryanata sudah tiba di hadapan mereka. "Lo pulang ke rumah, terus makan malam, sikat gigi langsung tidur. Parkir biar gue yang bayar. Sampai ketemu lagi." Ucap Afifa begitu Aryanata sudah duduk di kursi pengemudi mobilnya. Sifat Afifa dan gadisnya itu memang sama-sama keras kepala. Tidak ada yang bisa mengalahkan keras kepalanya Afifa. Seorang Aryanata yang bisa mengalahkan keras kepala gadisnya itu, saat ini lebih tepatnya mengalah dengan Afifa karena keadaan. Aryanata menancapkan pedal gasnya dan berlalu. Ia tidak ingin menyerah begitu saja. Ia meraih ponselnya yang berada di dalam saku celana army yang ia pakai. Tangannya dengan lihai menari di atas layar ponselnya mencari sebuah nomor kontak. "Cari tahu di kamar berapa dia menginap." 🐾 Jum'at, 07 Mei. Pukul 08:27 WIB. Ia sudah siap untuk menghabiskan masa-masanya di ibukota karena keadaannya yang memaksakan dirinya untuk secepat mungkin kembali ke Jerman. Pakaian yang ia pilih sangat casual. Ariella menyesap kopi yang sempat ia buat hingga habis, lalu meletakkan gelas kopinya di atas meja. Ariella menghela napasnya berat sebelum membuka pintu kamar hotelnya. Jantungnya menjadi berdetak tak keruan. Perasaannya juga ikut gusar. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Ariella membuka pintu kamar hotel dalam keadaan menatap lurus ke depan. Begitu ia menundukkan kepalanya, betapa terkejutnya ia mendapati laki-laki yang paling ia hindari sedang tertidur pulas di atas lantai hotel yang terasa dingin. Ariella bingung apa yang harus ia lakukan. Ia sedikit menurunkan tubuhnya agar ia bisa memperhatikan wajah laki-laki itu lebih dalam lagi. Matanya yang entah sejak kapan memiliki kantung yang terlihat besar. Pipinya bertambah tirus. Hidungnya bertambah mancung. Alisnya bertambah tebal. Sudah lama ia merindukan wajah ini. Tangannya sudah terangkat untuk menelusuri tiap inci wajah laki-laki yang teramat ia rindukan. "Ara,"
Ariella menyadarkan dirinya sendiri lalu kembali menarik tangannya yang sedikit lagi sudah menyentuh pipi laki-laki itu. Gumaman laki-laki itu terdengar sangat putus asa. "Ara," gumamnya lagi. Ariella gusar dibuatnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika laki-laki ini membuka matanya. Raut wajah laki-laki ini mendadak membiru dan seluruh tubuhnya bergemetar. Ariella panik dan menyentuh kening laki-laki ini dengan punggung tangannya. Suhu tubuhnya sangat panas. Mungkin efek lantai hotel yang dingin ditambah lagi pendingin ruangan yang sangat banyak. "Bangun. Ayo masuk ke dalam." Akhirnya Ariella menyerah. Pertahanannya kembali goyah melihat laki-laki masa lalunya dalam keadaan seperti ini. Sekuat tenaga Ariella membopong tubuh laki-laki ini yang masih bergemetar. Ariella merebahkan tubuh laki-laki ini di atas tempat tidur. Ia menyelimuti seluruh tubuh laki-laki ini dengan beberapa selimut yang cukup tebal. Ariella berlari kecil kearah dapur lalu kembali ke kamar dengan membawa senampan penug air hangat beserta kain untuk mengompres tubuh laki-laki ini. Laki-laki ini membuka kedua matanya begitu Ariella meletakkan kain yang sudah dibasahi kearah keningnya. "Ara," panggilnya dengan suara yang masih sangat lemah. Ariella menelan ludahnya susah payah sembari berdiri. "Saya Ariella. Suhu tubuh kamu masih tinggi, istiharat saja. Saya akan menunggumu di sofa." Katanya sembari mengancang tubuhnya hendak pergi. "Tunggu," satu genggaman tangan berhasil membuat hati Ariella mencelos. Ariella memandangi tangan kokoh yang sedang menahannya untuk pergi ini, "Temani saya, disini." Lanjutnya sembari melepaskan genggamannya. "You are still my Ara. Setidaknya begitu untuk saya." Ucap laki-laki ini dengan nada yang tergolong putus asa. "Saya mau menemani kamu, asalkan kamu memanggil nama saya yang benar. Apa perlu kita berkenalan kembali?" Laki-laki ini tertegun dengan sikap Ariella yang berubah menjadi dingin. Bahkan sangat apatis. "Temani saya, Ariella Nazadine Fadhillah." Ariella mengangguk lalu kembali terduduk di bibir tempat tidur. Keadaan menjadi canggung. Detak jantung Ariella tidak bisa diajak kompromi untuk sementara waktu. Ariella menahan tubuhnya sebisa mungkin untuk tidak berhambur ke dalam dekapan laki-laki yang sangat ia rindukan. Tidak ada yang membuka suara hingga setengah jam mereka berdua berada di dalam kamar yang sama. "Bagaimana kabar kamu?" laki-laki ini membuka suara.
Ariella tersenyum sinis. "Setidaknya lebih baik dari sembilan tahun yang lalu," jawabnya. "Lalu kabarmu?" Pertanyaan yang sedari tadi Ariella tahan akhirnya lolos juga. Laki-laki ini menghembuskan napas berat. "Lebih buruk dari sembilan tahun yang lalu." Ariella cukup tertegun mendengarnya. Dalam benaknya ia bertanya-tanya. Apa yang dimaksud lebih buruk oleh laki-laki yang sedang berbaring di hadapannya ini? "Ariella, apa masih ada kesempatan untuk saya memperjelas semua?" "Maaf, Aryanata. Tapi menurut saya semuanya tidak ada yang perlu dijelaskan lagi," tolak Ariella dengan cepat sebelum pertahanannya runtuh. "Saya rasa kamu sudah merasa baikkan. Saya antar kamu pulang." Lanjut Ariella sembari melepaskan kompresan yang berada di kening laki-laki yang ternyata Aryanata. "Saya lebih merasa baik kalau kamu tidak memaksa saya untuk beranjak dari kasur hotel ini," ucap Aryanata yang berhasil membuat langkah Ariella berhenti diambang pintu. Ariella menoleh. "Baiklah. Tapi maaf untuk kesekian kalinya, saya tidak bisa menemanimu lebih lama. Karena itu sama saja seperti saya membunuh diri saya sendiri." "Sebesar itukah salah saya padamu?" Ariella tertawa mendengus. "Seberapa bodoh kamu? Hal seperti ini saja kamu tidak mengerti." Aryanata berdecak. "Lantas apa tujuan kamu menghilang selama sembilan tahun ini?" "Kamu ingin tahu?" Tanya Ariella sembari berjalan mendekati Aryanata. "Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk melupakan segala kesakitan yang saya rasa, Aryanata." Lanjutnya. "Kamu tidak perlu membutuhkan waktu selama itu. Saya bisa membuatmu melupakan rasa sakitmu yang saya buat, Ariella." Kata Aryanata yang disambut kekehan sinis dari Ariella. "Membantu katamu?" Tanya Ariella disela-sela kekehan sinisnya. "Melihatmu kemarin sore saja sudah membuat luka saya yang hampir mengering kembali mengeluarkan darah bahkan lebih banyak dari sebelumnya, Aryanata." Aryanata mengusap wajahnya kasar. "Apa yang harus saya perbuat agar lukamu itu kembali mengering?" "Sepertu apa yang kamu katakan sembilan tahun yang lalu. Saya akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kamu, bahkan saya tidak akan pernah kembali muncul di hadapan kamu," jawab Ariella dengan perkataan yang menohok. "Maksud saya--"
"--mungkin kemarin pertama kita bertemu dan hari ini terakhir kita bertemu," ucap Ariella memotong perkataan Aryanata. "Dan tak akan ada lagi sua yang akan terjadi tanpa kehendakku sendiri." Lanjutnya. Aryanata terdiam. Ralat, mereka terdiam. Tidak ada perkataan-perkataan lagi yang lolos dari mulut mereka masing-masing. Lima menit membiarkan sunyi mendominasi, Aryanata angkat suara. "Andai saja disaat itu saya tidak melakukan kesalahan. Apa kamu bersedia menerima saya kembali?" Ariella tersenyum lemah. "Semuanya sudah salah, bahkan dari sapaan pertamamu. Semuanya adalah kesalahan." Dan perkataan itu membuat keduanya terlempar ke masa-masa itu.
4. Sapaan Pertama Aryanata meletakkan headphones yang sebelumnya ada di kepalanya. Sekolah masih sepi. Aryanata sebenarnya bukan tipikal murid yang kelewat rajin dengan datang subuh-subuh ke sekolah, tapi karena posisi anak baru yang ada dirinya membuat ia harus cepat beradaptasi. Kakinya melangkah tak tau arah, ia bahkan tak tau dimana letak kantin. Di ujung sebuah lorong ia menemukan taman yang sepertinya tidak terurus. Disini benar-benar tenang, membuat Aryanata langsung mencap tempat ini sebagai tempat favoritnya. Aryanata menatap taman sekitar dengan rumput-rumput panjang yang tak pernah dirawat. Ia menghirup udara segar pagi ini. Laki-laki bertubuh jangkung ini bersenandung kecil ditengah sepinya taman yang tak terurus. Beberapa menit kemudian, Aryanata mengadahkan wajahnya ke langit. Sang mentari sudah menampakkan dirinya. Menurut orang lain, pasti menjadi dirinya sangat membosankan. Tidak punya teman, selalu sendiri, datar, dan sangat pendiam. Sebenarnya ia ingin berteman hanya saja ia malas membuang-buang tenaga untuk bergabung dengan gangster yang tidak jelas tujuannya. Masalah ia memiliki wajah yang datar Aryanata tidak pernah berfikir untuk memiliki tampang sok cool, ia hanya malas tersenyum untuk orang yang belum tentu senang terhadapnya. Seperti saat ini ia berada di tengah rerumputan kering, sendirian. Benar-benar sendiri. Jika deru napas bisa dihitung, hanya itu yang bersamanya saat ini. Entah kenapa ia merasa tenang jika sendirian. Ia seperti bisa merasakan semua yang terjadi di dunia ini ketika sendirian, seperti merasakan bumi yang berputar. Aryanata menoleh kearah arloji yang melingkar di lengan kirinya. Sudah pukul 06:50. Bel masuk sudah berbunyi. Berarti cukup lama sudah Aryanata berada di taman ini. Aryanata bangkit lalu berjalan sembari menepuk-nepuk bagian belakang celananya. Aryanata mengernyit begitu melihat seorang perempuan sedang berjalan cepat memasuki kelasnya. Nampaknya perempuan itu telat datang ke sekolah sehingga mengharuskannya jalan cepat. Ia memasuki kelasnya dengan wajah yang masih datar. "Ri, lo gak capek apa telat mulu?" tegur salah satu perempuan. "Capek banget. Capek lari-larian dari rumah, apalagi nyebrangnya. Beuuuhhh capek banget!" jawab perempuan yang tadi datang terlambat. Perempuan itu dengan cepat berjalan menuju pintu kelas begitu Aryanata mendekat kearah tempat duduknya. Aryanata terus memperhatikan perempuan itu yang sedang mengobrol dengan salah satu teman kelasnya. Tuh cewek famous banget kayaknya. Batin Aryanata. "Hayo! Mau kemana kamu?" tegur seorang guru ketika perempuan itu hendak keluar kelas. "Em, ini bu saya mau cari angin." Bohong perempuan itu. "Masuk!"
Perempuan itu berjalan menghampiri tempat duduknya yang berada disamping Aryanata sembari mencibir seiring kakinya melangkah. "Selamat pagi, anak-anak. Sudah tau 'kan nama ibu siapa?" "Udah tau!" jawab seluruh murid yang berada dikelas ini terkecuali Aryanata. "Bagus. Saya berada disini selaku wali kelas kalian." Semua murid saling berbisik begitu seorang guru yang namanya tidak diketahui oleh Aryanata itu memperjelas. "Hari ini saya akan membebaskan kalian. Masih efek liburan, badan saya juga agak sedikit pegal-pegal," adu guru itu. Tangannya memegang pinggang bagian kanannya. "Badan pegal linu? Minum oskadon espe!" celetuk salah satu murid yang membuat seisi kelas tertawa, termasuk guru itu dan terkecuali Aryanata. "Sudah diam! Coba ibu lihat absen dulu," Seorang siswa berjalan menghampiri guru itu sembari membawa absen yang tadi diminta olehnya. Guru itu mengernyit dan menoleh kesegala arah dikelas ini menatap satu persatu wajah muridnya. "Diabsen masih ada nama yang menurut ibu asing. Yang bernama Aryanata Daniel Permana, maju kedepan!" Perempuan yang duduk disamping Aryanata memiringkan posisi duduknya guna memberi Aryanata jalan keluar. Aryanata menghampiri guru itu yang sedang berdiri menunggunya dimuka kelas. Aryanata mulai membuka suara, "Kemarin saya sudah memperkenalkan diri saya. Ibu yang belum memperkenalkan diri ibu pada saya." Guru itu tersenyum. "Iya benar juga. Saya bu Rita," Aryanata mengangguk begitu mengetahui nama guru yang berada dihadapannya ini. Pandangan Aryanata tertuju pada perempuan yang duduk disampingnya itu. Wajahnya cantiknya sangat konyol menatap kearah Aryanata. "Baik. Kamu duduk, Aryanata." Aryanata mengangguk lalu kembali duduk. "Ibu ngasih kalian tugas untuk hari esok," ucap Bu Rita yang membuat seisi kelas mendengus. "Kalian membuat kelompok dengan teman sebangku kalian. Kalian akan menggali lebih dalam seni musik dengan cara kalian mengekspresikan musik itu seperti apa," lanjutnya. "Maksudnya gimana bu?" tanya perempuan yang berada disamping Aryanata. "Ya, diantara kalian berdua ada yang bernyanyi dan ada yang memainkan alat musik. Duaduanya bernyanyi juga boleh atau dua-duanya memainkan alat musik juga boleh." Jelas bu Rita yang disambut 'o'ria oleh para murid. "Yasudah. Ibu kembali ke ruang gulu dulu. Jangan ribut ya!"
"Iya bu." Sahut seisi kelas dengan serempak. Sedetik kemudian, seisi kelas mulai bersuara. Entah membicarakan tentang tugas yang tadi Bu Rita berikan atau membahas yang lain. Terkecuali Aryanata dan perempuan yang berada disebelahnya. Keduanya terdiam. "Jadi, mau gimana?" suara Aryanata membuat perempuan itu menoleh. Perempuan itu mengernyit. "Apaan?" tanyanya polos. Aryanata menghembuskan nafasnya. "Tugas dari Bu Rita tadi." Perempuan itu berpikir sebentar lantas bangkit lalu menarik paksa tangan Aryanata. "Ayo!" serunya sembari terus menarik tangan Aryanata. Entah ingin kemana perempuan itu membawanya. Disepanjang perjalanan, hampir seluruh murid yang berlalu-lalang atau yang sedang menepi menyapa dirinya. Nampaknya perempuan itu memang sangat ramah. Langkah mereka berhenti didepan ruangan yang terpampang jelas tulisan 'Ruang Musik'. "Ayo, pinjem gitar." Ajak perempuan itu. Mereka masuk sebentar ke dalam ruangan itu hanya untuk meminjam gitar, lalu perempuan itu kembali menarik tangan Aryanata dengan paksa. Mereka kembali melewati beberapa rombongan siswa-siswi yang menyapa perempuan itu. Namun, langkah mereka tidak berhenti pada ruang kelas mereka yang sudah terlewati oleh mereka. Langkah mereka berhenti ditaman yang tadi pagi Aryanata temukan. "Duduk sini," pinta perempuan itu sembari menepuk-nepuk rumput yang berada disebelahnya. Aryanata mengangguk lalu terduduk dihadapan perempuan itu. Aryanata memangku gitar yang tadi mereka pinjam, "Saya kira cewek sefamous kamu gak suka menyendiri," ucap Aryanata. "Enak aja. Gue suka banget malah ke tempat tenang kaya gini. Hidup memang harus terbuka kepada dunia. Jangan ditutup-tutupi. Tapi tidak semua yang ada di diri kita harus dibagi kepada dunia. Ada beberapa yang bisa kita simpan sendiri. Seperti ketenangan hidup, misalnya," katanya. "Sayangnya taman ini gak keurus." Lanjutnya sembari memperhatikan sekitar. Aryanata menatap kagum kearah perempuan itu begitu ia mengucapkan beberapa kalimat yang menurutnya sangat bijak. "Ya, saya ngerti." Aryanata menanggapi. "Apatis banget sih lo!" omelnya. Aryanata terkekeh kecil mendengar omelan perempuan yang berada dihadapannya kini. Aryanata kembali memalingkan pandangannya kearah gitar yang berada dipangkuannya. "Oh ya, kenalin. Gue Ariella Nazadine Fadhillah." Ucapnya seraya menyodorkan tangannya.
Aryanata menjabat tangan perempuan yang bernama Ariella itu. "Aryanata." "Gue manggil lo Nata aja ya? Kan pas gitu sama sikap apatis lo," kata Ariella dengan gerakan tangan yang tak berhenti. "Terserah kamu." Jawab Aryanata sembari memetik senar gitar. "Mau nyanyi apa nih?" tanya Ariella. "Eh-eh kalau gak nyanyi lagunya A Rocket To The Moon aja! Yang Somebody Out There enak tuh buat dinyanyiin!" sambungnya. Selera musik yang bagus. Batin Aryanata berbisik.. Aryanata mengiyakan permintaan Ariella. Beberapa detik kemudian Ariella dengan hebohnya meminta Aryanata untuk mencoba memainkan instrument lagu yang tadi ia sarankan. Aryanata memainkan instrument dan Ariella menyanyi. "You deserve someone who listens to you, Hears every word and knows what to do, When you're feeling hopeless, lost and confused, There's somebody out there who will, You need a man who holds you for hours, Make your friends jealous, When he brings you flower, And laughs when he says they don't have love like ours, There's somebody out there who will, Somebody out there who's looking for you, Someday he'll find you, I swear that it's true, He's gonna kiss you and you'll feel the world standstill, There's somebody out there who will." 🐾 Cowok ini dingin. Cowok ini jarang ngomong. Cowok ini apatis. Komentar batin Ariella sembari terus memperhatikan Aryanata yang masih sibuk dengan gitar yang berada dipangkuannya. "Jadi, mau beneran bawain lagu itu?" Ariella mengangguk yakin. "Jadilah. Emang lo punya pilihan lagu lain?"
Aryanata menggeleng. "Lo kenapa gak mau bersosialisasi?" kali ini Ariella yang bertanya. "Males beradaptasi sama orang baru." Alis Ariella terangkat sebelah. "Jadi lo sekarang ada disini karna lo terpaksa?" "Gak juga." Jawabnya datar. Ariella mencibir. "Gue mau ke kantin. Mau ikut ga? Mumpung masih pagi, tadi gak sempet sarapan gue," ujarnya sembari bangkit dan menepuk-nepuk rok bagian belakangnya. "Boleh." Jawab Aryanata singkat sembari ikut berdiri. Mereka berjalan berdampingan menuju kantin. Seperti biasa, tidak ada hari tanpa sapaan dari hampir seluruh murid sekolah ini kepada Ariella. Siapapun yang sedang bersama Ariella saja merasa risih jika pembicaraannya harus terpotong akibat sapaan dari murid lain. "Gue mau beli siomay dulu, lo mau apa?" kata Ariella begitu Aryanata sudah duduk disalah satu bangku kantin. "Siomay juga boleh." Aryanata menjawab dingin. Ariella menganggukan kepalanya lalu berjalan mendekati salah satu ibu kantin yang menjual siomay. Pandangan Ariella tidak dapat berhenti menatap wajah Aryanata dari tempatnya berdiri. Wajahnya sangat tergolong tampan. Pipinya yang sedikit tirus, rahangnya keras membuatnya nampak tegas, warna matanya yang hitam pekat senada dengan rambutnya yang berwarna hitam pekat sedikit acak-acakan, tubuhnya yang menjulang tinggi, bibirnya yang sedikit tebal dan berwarna kemerahan serta suara maskulinnya yang amat khas dan membuat siapapun yang mendengarnya akan mendapati kupu-kupu berterbangan diperutnya. "Neng Riel? Jangan bengong, nanti kesambet." Ariella menggelengkan kepalanya begitu suara ibu kantin menyadarkan lamunannya. "Maaf bu, kebawa suasana. Hehe," ujar Ariella sembari meraih dua piring siomay yang tadi ia pesan. Ariella berjalan menghampiri Aryanata yang sedang sibuk dengan suara bising yang diciptakan jemarinya diatas meja kayu kantin ini. "Nih, siomay lo." Kata Ariella sembari memberi sepiring siomay lalu ia terduduk dihadapan Aryanata. "Thanks." Ariella tersenyum guna menjawab perkataan Aryanata. "Eh, kalau boleh tau, lo kenapa pindah ke sekolah ini? Sekolah SMP favorit di Jakarta 'kan banyak," suara Ariella yang sangat menggelegar memecahkan keheningan areal kantin yang sangat sepi. "Karena rumah saya dekat sama sekolahan ini." Aryanata menjawab singkat. Ariella ber'o'ria. "Memang sebelumnya, lo tinggal dimana?" "Harus gue jawab?" kata Aryanata dengan angkuh. Ariella tertegun lalu ia menelan ludahnya sendiri susah payah, "Gue cuman nanya. Kalau gak mau jawab juga gakpapa. Pertanyaan gue gak penting juga." Jawab Ariella terselubung rasa kekecewaan.
Setelah itu keadaan kembali hening. Ariella kembali menyantap siomaynya dengan gusar karna sesekali ia tertangkap oleh Aryanata kalau ia melirik kearahnya. Ariella menggigit bibir bawahnya guna menghilangkan kegugupannya. "Dari umur enam tahun saya tinggal sama nenek saya dikampung," Aryanata bersuara sehingga membuat Ariella segera mendongakkan kepalanya. "Waktu itu saya—" "—gak usah dilanjutin kalau lo masih belum mau bersosialisasi sama orang lain. Termasuk gue." Potong Ariella. Aryanata menatap Ariella dengan satu alis yang terangkat. Ariella bertambah gugup begitu Aryanata menatapnya seperti itu. Ariella menyelipkan anak-anak rambutnya yang lolos dari ikatan rambutnya kearah sela-sela daun telinganya. "Kamu sendiri kenapa bisa setenar itu?" tanya Aryanata dengan nada penuh tekatan pada satu kalimat. "Gue gak setenar yang lo kira," elak Ariella. Ariella kembali menyantap siomaynya, "lagipula, gue gak mau ada diposisi sekarang. Gak enak! Deket sama guru, dibilang caper. Bales sapaan dari semua murid, dibilang sok tenar." Lanjutnya dengan keadaan mulut yang terisi penuh siomay. "ARIELLA!" Ariella dan Aryanata menahan gendang telinganya yang ingin pecah disaat mendengar suara cempreng seorang perempuan yang sudah dihafali betul oleh Ariella siapa pemiliknya itu. "Gue cariin dikelas gak taunya ada disini," ujarnya sembari ikut terduduk disamping Ariella. Ariella menatap tajam kearah perempuan yang berada disebelahnya, "Ada apaan dah nyariin gue?" Perempuan itu menunjukan deretan gigi putihnya bersama lesung pipi yang menghiasi pipi kanannya. "Ketos ituloh, si embel-embel Raven ayangbep-ku Ri masa deketin anak kelas tujuh sih. Kan gue minder," adunya dengan nada memelas. Ariella mendelik. "Yaelah. Lo aja belum nyatain perasaan lo gimana dia gak mau ngelirik lo?" kata Ariella sembari menoyor kepala perempuan itu. Perempuan itu makin memelas. "Riel jahat sama gue," Ariella tersenyum. "Jangan melas gitu mukanya, Afifa. Nanti orang-orang pada iba, trus ngasih uang ke lo gimana? Kan gue jadi enak." Goda Ariella yang disambut cubitan kecil dari perempuan yang ternyata Afifa itu. Afifa mendatarkan raut wajahnya lalu menoleh kearah makhluk yang sedari tadi berada ditengah gosipan mereka. "Eh, ada manusia juga disini!" serunya. 🐾 "ARIELLA!"
Aryanata dan Ariella menahan gendang telinganya yang ingin pecah disaat mendengar suara cempreng seorang perempuan yang pernah Aryanata temui secara sekilas. "Gue cariin dikelas gak taunya ada disini," ujarnya sembari ikut terduduk disamping Ariella. Ariella menatap tajam kearah perempuan yang berada disebelahnya, "Ada apaan dah nyariin gue?" Perempuan itu menunjukan deretan gigi putihnya bersama lesung pipi yang menghiasi pipi kanannya. "Ketos ituloh, si embel-embel Raven ayangbep-ku, Ri. Masa deketin anak kelas tujuh sih. Kan gue minder," adunya dengan nada memelas. Aryanata menghembuskan nafasnya dalam diam begitu mulai mendengar gosipan seorang perempuan yang tidak jauh dari persoalan cinta. Aryanata terus menatap kearah dua sejoli yang ada dihadapannya itu. Ia masih tidak mengerti, mengapa didunia ini masih ada duplikatan Ariella yang suaranya hampir memekakkan telinga. Ariella mendelik. "Yaelah. Lo aja belum nyatain perasaan lo gimana dia gak mau ngelirik lo?" kata Ariella sembari menoyor kepala perempuan itu. Perempuan itu makin memelas. "Riel jahat sama gue," Ariella tersenyum. "Jangan melas gitu mukanya, Afifa. Nanti orang-orang pada iba, trus ngasih uang ke lo gimana? Kan gue jadi enak." Goda Ariella yang disambut cubitan kecil dari perempuan yang ternyata Afifa itu. Secara tidak sadar, Aryanata terkekeh tanpa suara mendengar beberapa kalimat Ariella yang cukup membuat sahabatnya Afifa merubah raut wajahnya. Afifa mendatarkan raut wajahnya lalu menoleh kearah makhluk yang sedari tadi berada ditengah gosipan mereka. "Eh, ada manusia juga disini!" serunya kepada Aryanata. Pandangan Aryanata dan Ariella bertemu. Namun dengan segera mungkin, Aryanata kembali menatap siomaynya yang masih tersisa banyak diatas piringnya. "Hai. Gue Afifa. Sahabatnya Ariella," ujar Afifa yang disambut respon khas seorang Aryanata. Datar. "Aryanata." ia menjawab singkat. Aryanata mengernyit begitu dua perempuan yang berada dihadapannya ini berbisik sembari sesekali diantara keduanya menatap kearahnya. Aryanata merasa risih diperlakukan seperti ini. Aryanata bangkit hendak memesan segelas minuman untuknya. "Mau kemana lo?" tanya Ariella yang tidak digubris sama sekali oleh Aryanata. Aryanata memang tidak menjawab melalui suara, namun gerakan tubuhnya yang menjawab. "Bu, jus jeruk ya satu." Pesan Aryanata pada salah seorang ibu kantin. Aryanata tersenyum begitu segelas plastik jus jeruk sudah berada digenggamannya. Aryanata enggan untuk kembali menghampiri Riella dan Afifa. Aryanata berjalan melewati dua sejoli itu tanpa menegur untuk sekedar berpamitan.
"Nata, lo mau kemana?" teriak Ariella begitu Aryanata sudah berada diambang pintu kantin. Aryanata menoleh sekilas lalu kembali berbalik badan dan berlalu tanpa ada keinginan untuk menjawab pertanyaan Ariella. Aryanata berjalan kembali menuju taman yang tadi ia singgahi. Ia terduduk diatas rerumputan panjang sembari menikmati segelas jus jeruk yang berada digenggamannya. Matanya menatap kesekitar. Gedung sekolah barunya, sudah terlihat using disudut pojok tertentu. Entah karena terlalu sering terkena air hujan atau karena memang gedungnya yang sudah tua. Aryanata tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan ponselnya saja ia tinggal didalam tasnya. Aryanata menghembuskan nafasnya lalu kembali menyesap jus jeruknya itu. Tubuh Aryanata membeku begitu ada seseorang yang menepuk pundaknya dari arah belakang. Dengan rasa takut serta penasaran, Aryanata menoleh. "Hai." Aryanata menoleh dengan alis yang hampir terpaut. "H-hai." Balasnya dengan ragu-ragu. Aryanata menatap bingung perempuan yang ada dihadapannya kini. Wajahnya terlihat manis dengan matanya yang sedikit bulat berwarna coklat terang. "Aku, Agis." Katanya sembari menyodorkan tangannya kearah Aryanata. "Arya." Jawab Aryanata tanpa membalas jabatan tangannya. Perempuan bernama Agis itu tersenyum sembari kembali menarik tangannya. Keadaan kembali hening. Dalam hati Aryanata mengucapkan beberapa sumpah serapah untuk Agis yang sudah mengganggu ketenangannya. Aryanata merasa tidak nyaman bila berduaan dengan seorang perempuan ditempat sepi seperti ini. Aryanata berdoa didalam hati agar Tuhan memberikannya malaikat penyelamat. "Nata!" Aryanata menoleh dan dapat bernafas lega begitu mendapati Ariella bersama Afifa sedang berjalan kearahnya. Agis terlihat bingung. "Lo ngapain berduaan sama cewek?" tanya Ariella. "Em, kamu pasti Ariella?" tanya Agis. "Aku, Agis. Kelas tujuh F." lanjutnya mengenalkan diri. Dengan cepat Afifa mendekati tubuh Agis. "Halo, Agis. Gue Afifa, kelas Sembilan." Sahut Afifa. "Kelas Sembilan ya? Berarti kaka kenal sama mas aku dong?" Afifa mengernyit. "Mas kamu? Siapa?" "Mas Raven."
Mata Afifa sukses melebar begitu mendengar nama Raven selaku pangeran dihatinya. Ariella terkekeh melihat sahabatnya dengan tak tau malu berteriak sendiri begitu mendengar nama ketua osis pujaannya. Aryanata terus menatap Ariella meminta pertolongan. Namun Riella masih juga tidak mengedarkan pandangan kearahnya. Aryanata berbicara melalui mata begitu pandangannya bertemu dengan pandangan Ariella. Ariella mengernyit tak mengerti. Bibirnya terangkat ingin mengucapkan sesuatu namun disergah dengan Aryanata menarik tangannya paksa entah ingin kemana. Ternyata Aryanata menarik paksa tangan Ariella untuk berjalan masuk kedalam kelasnya yang masih ramai seperti pasar itu. Aryanata melepaskan genggamannya begitu mereka sudah terduduk diatas kursi masing-masing. Sepanjang perjalanan tadi, banyak yang menyapa Ariella dengan sapaan menggodanya karna posisi Aryanata sedang menggenggam tangannya erat. "Maaf udah narik paksa tangan kamu," Aryanata angkat suara. "Saya gak tau harus apalagi. Tadi saya minta tolong ke kamu buat bawa saya menjauh dari perempuan tadi. Tapi kamu gak ngerti apa yang mata saya bicarakan," sambungnya. Ariella tersenyum. "Santai, bro. Memang kenapa? Cewek tadi lumayan cantik, lho!" goda Ariella. Aryanata kembali menyibukkan dirinya dengan meraih ponsel yang berada didalam tasnya guna menghindari godaan dari Ariella. Ariella mengerucuti bibirnya begitu Aryanata mulai acuh atas kehadirannya. Ariella mengangkat bahunya sembari menghembuskan nafas kesal lalu menenggelamkan wajahnya pada cela yang dibentuk oleh lipatan tangannya diatas meja. Aryanata melirik kearah Ariella yang sepertinya ingin tertidur. 🐾 "Mau kemana?" tegur Aryanata begitu melihat Ariella lari terbirit-birit. Ariella terus berlari tanpa memperdulikan Aryanata yang memanggilnya. Sempat tersenyum lega begitu Ariella memasuki kamar mandi perempuan. Selang empat menit, Riella keluar dari dalam kamar mandi perempuan. Ariella keluar dengan posisi kepala yang menunduk. Ia mengernyit begitu melihat sepasang sepatu yang menghalanginya jalan. Ariella mendongak lalu mengernyit. "Lo ikutin gue kesini?" tanya Ariella. Yang ditanya hanya mengangguk, "ya ampun, Aryanata! Ngapain? Mau ngintipin gue ya?" lanjut Ariella menuduh Aryanata. Aryanata menggeleng. "Saya heran aja tadi kamu lari kaya gitu. Saya kira ada hal yang gawat, jadi saya ikutin kamu." Ariella melontarkan tatapan tajam tanda ia tidak percaya perkataan Aryanata. Ia melangkah menjauh dari Aryanata. Kembali meninggalkan Aryanata dalam keadaan heran. "Ara?" panggil Aryanata. Ariella sempat mengernyit. Siapa yang dipanggil oleh Aryanata?
"Ara?" panggilnya lagi. Karena penasaran, Ariella membalikkan tubuhnya untuk menoleh kearah Aryanata. Ariella melirik kekanan-kirinya lalu mengernyit. "Lo manggil siapa sih?" Aryanata berdecak lalu berlari kecil menghampiri Ariella. "Lo manggil siapa?" Ariella mengulangi pertanyaannya. "Saya manggil kamu." Jawab Aryanata. Ariella mengernyit. "Gue? Nama gue 'kan Ariella?" "Ariella terlalu panjang untuk lidah saya." Ariella menarik bibirnya hingga membentuk garis. "Serah lo dah! Ayo dikelas udah pada nunggu 'kan?" Aryanata mengangguk lalu berjalan terlebih dulu meninggalkan Ariella. Ariella memutarkan bola matanya lalu berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Aryanata. Seperti biasa, selama perjalanan ada saja yang menyapa Ariella. "Ariella, Aryanata? Kalian habis dari mana?" tegur bu Rita begitu Ariella dan Aryanata menampakkan dirinya diambang pintu kelas. Ariella berjalan takut-taku dibelakang tubuh Aryanata yang masih terlihat santai. Aryanata menyalami bu Rita sementara Ariella masih mengumpat dibalik tubuh Aryanata. Aryanata menyenggol tubuh Ariella untuk berdiri dengan posisi yang benar. Ariella yang mengerti akan maksud senggolan Aryanata lalu membenarkan posisi berdirinya. "Halo, ibu." Sapa Ariella sembari melambaikan tangannya. "Dari mana kalian?" tanya bu Rita. "Tadi kalau saya sih abis dari kamar mandi, bu." Jawab Ariella sembari melirik kearah Aryanata yang masih terlihat santai. "Yasudah. Karena kalian terlambat, jadi kalian yang tampil pertama." Lanjut bu Rita. Ariella mendadak mengeluarkan keringat dinginnya. "O-oke." Jawabnya tergugup. Aryanata meraih gitar yang berada disamping meja guru lalu terduduk dimuka kelas dengan gitar yang dipangku. Ariella masih terdiam. "Ara? Duduk!" Ariella mengangguk lalu terduduk dikursi yang berada disamping Aryanata. Ariella mengambil nafasnya dalam-dalam lalu menatap kearah Aryanata dengan tatapan yang mengartikan kalau ia siap. Aryanata mulai memetik senar gitar, memainkan instrument lagu yang akan mereka bawakan.
Ariella memejamkan matanya selama ia menyanyikan lagu yang ia pilih sendiri. Ia merasakan sensasi menjadi perhatian teman-teman sekelas. Tepukan tangan meriah terdengar begitu Ariella menyanyikan baris lirik lagu terakhir bersama petikan senar gitar terakhir yang dimainkan oleh Aryanata. "Bagus. Kalian terlihat serasi." Kata bu Rita yang disahut sorakan menggoda dari seisi kelas. Ariella memasang wajah malu-malu sedangkan Aryanata masih memasang wajah kelewat datar. Ariella dan Aryanata kembali terduduk ditempat mereka setelah dipersilahkan oleh bu Rita. Ariella ikut bersorak gembira begitu teman sekelas lainnya tampil ke muka kelas. Ariella membeku di pikirannya. Kenapa pipinya bersemu merah? Atau kupu-kupu berterbangan di perutnya? Jika berdasarkan novel-novel yang ia baca apa yang ia rasakan saat ini adalah apa yang dirasakan orang yang sedang jatuh cinta. "Sekian, pelajaran hari ini. Langsung pulang ke rumah ya! Assalamualaikum." Suara Bu Rita menyentak pikirannya. "Wa'alaikumsalam." Jawab seluruh murid sembari bangkit dan ikut keluar dari dalam kelas. Ariella dengan cepat meraih tasnya dan keluar dari dalam kelasnya. Namun langkahnya berhenti ditengah muka kelas karena lengannya digenggam oleh sesuatu. Ariella menoleh dan mengernyit menapati Aryanata yang sedang menggenggamnya. "Kenapa?" tanya Ariella. Dengan cepat Aryanata menarik tangannya. "Pulang sama siapa?" Ariella menghembuskan nafasnya sembari memutarkan bola matanya. "Sendiri. Kenapa?" "Bareng saya." Kata Aryanata sembari menyelonong jalan keluar dari dalam kelas. Ariella menatap heran punggung Aryanata yang semakin menjauh. Bibirnya terbuka. Dengan cepat Ariella menyusul Aryanata dan menyamakan langkahnya begitu ia sudah disampingnya. Dan sejauh ini masih sama, banyak orang yang menyapa Ariella. "Rumah lo memang dimana?" tanya Ariella begitu mereka sudah berada area luar sekolah. Aryanata tetap berjalan dengan pandangan lurus kedepan tanpa menggubris pertanyaan dari Ariella. Ariella mengerucuti bibirnya sembari mendengus sebal. Ariella mengucapkan beberapa sumpah serapah dalam bisik. Namun Aryanata dapat mendengar sumpah serapah itu. Ariella mengernyit begitu ia dan Aryanata berbelok masuk kedalam gang rumahnya. "Lo rumahnya di gang ini juga?" Ariella kembali menanya. Aryanata tetap tidak menggubris pertanyaan Ariella hingga Ariella sudah berhenti tepat didepan rumahnya.
"Jangan keluyuran lagi." Kata Aryanata begitu ia sudah melangkah sejauh tiga kaki dari Ariella yang sedang berdiri didepan gerbang rumahnya. Ariella mengerucuti bibirnya. Lalu tanpa ia sadari, sudut bibirnya tertarik keatas untuk membentuk sebuah senyuman. Ariella memegangi pipinya yang terasa panas. Ariella menggelengkan kepalanya untuk mengusir semua yang ia rasa lalu masuk kedalam rumahnya.
5. Degupan Pertama Ariella berjalan menuju pojok perpustakaan yang penuh debu. Ia menutup mulut dan hidungnya dengan sebelah tangan upaya untuk tidak menghirup tebalnya debu yang ada di sekitarnya. Matanya mengedar mencari bayangan seseorang yang memiliki keperluan dengannya. Ariella berdecak kesal. Sebenarnya kemana si manusia es itu? Ia hampir menyerah jika matanya tidak mendapati seseorang yang sangat serius membaca. Ariella menghembuskan nafas kesal. "Nata." Ariella memang sedang mencari Aryanata sejak tadi. Ia harus mengelilingi satu sekolah untuk mencari Aryanata. Entah apa yang ada dipikiran Aryanata utuk mendekam disini. "Nata, ih, lo ngapain sih disini?" "Baca." Ariella mendengus. "Gue gak bilang lo lagi masak, Nata." "Saya juga gak bilang seperti itu." "Lagian lo ngapain baca disini? Biasanya juga dikelas." Ariella tak habis pikir dengan Aryanata yang bisa-bisanya membaca di pojok perpustakaan penuh debu ini. Kenapa tidak perpustakaan bagian depan? Lebih bersih, lebih rapih. Dasar manusia es. Aryanata menurunkan buku yang sedari tadi ada ditangannya. Matanya menatap Ariella. "Ada yang mengejar saya." "Dikejar apa? Siapa? Makhluk halus?" Ariella merinding. "Makhluk aneh." Ariella lebih merinding lagi. "Pocong? Genderuwo? Cenayang? Dikejar apaan?" Aryanata menghela napas. "Kalau kamu emang takut ada disini, kamu bisa ninggalin saya sendiri." Ariella mengerucuti bibirnya. "Bukan gitu, gue gak mau aja denger berita lo kenapa-kenapa disini. Kan gak elit." "Ya sudah kita pergi dari sini." Aryanata mengambil keputusan tangannya menarik pergelangan Ariella. "Kenapa gak ditempat lain sih sembunyinya?" Ariella bertanya tanpa melepaskan tangan Aryanata. Tepat disaat pertanyaannya selesai diucapkan, seorang perempuan datang dari bingkai pintu. "Kak Arya." Suara melengking mendominasi sekitar.
Aryanata mendengus kesal lalu menoleh kearah Ariella. "Itu makhluk yang ngejar saya." Aryanata membenarkan posisi tangannya untuk menggenggam tangan Ariella, "Tadi kamu nanya kenapa saya sembunyi dipojok perpustakaan yang penuh debu? Karena gak akan ada yang datang kesana. Saya sendiri saja bingung kenapa kamu bisa menemukan saya disana." Lanjutnya. Ariella ternganga sembari menahan rasa panas yang menjalar pada pipinya. Tapi ia yakin, dirinya baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja. Benarkan? Aryanata kembali membalikan tubuhnya menghadap kearah segerombolan perempuan yang tadi memanggilnya. "Maaf saya minta jalan keluar dari perpustakaan ini. Bisa menepi sedikit?" Tanpa ada penolakan, segerombolan perempuan tersebut memberikan jalan untuk Aryanata dan Ariella. Ariella tertawa tanpa suara dibelakang tubuh Aryanata begitu segerombolan perempuan tersebut membeku akibat Aryanata. Aryanata menarik tangan Ariella untuk segera keluar dan menghindari gerombolan itu. Gerombolan yang aneh menurutnya. Ariella dapat tertawa bebas begitu mereka sudah menjauh dari perpustakaan. Aryanata menghentikan langkahnya begitu suara tertawa Ariella semakin mengencang. "Bisa diam?" tegur Aryanata. Ariella menutup mulutnya dan menggigit bibirnya kencang-kencang agar tawanya tidak lolos kembali. Aryanata kembali melanjutkan langkahnya. Tidak lupa juga Ariella, karena jemari mereka masih terpaut satu sama lain. Langkah mereka berhenti pada taman belakang sekolah. Tempat favorit mereka berdua. "Aneh gue sama mereka," kata Ariella disaat mereka sudah terduduk diatas rumput. Aryanata mengernyit. "Aneh kenapa?" Ariella menatap atap-atap sekolah. "Aneh aja gitu. Kenapa bisa-bisanya mereka ngejar orang seapatis lo?" Aryanata hanya mengangkat bahunya acuh. Lalu mereka berdua terdiam, berusaha menafsirkan pikiran masing-masing. Tak terasa sudah sepuluh bulan mereka mengenal satu sama lain. Ternyata Aryanata tidak semengerikan yang Ariella pikirkan. Juga Ariella, tidak selalu bahagia seperti yang Aryanata lihat. Selama ini, mereka belajar mengenal satu sama lain. Terkadang keingintahuan Ariella membuat Aryanata jengah, malas menanggapi. Juga Aryanata, yang terkadang sangat dingin membuat Ariella mati gemas kepadanya. Tapi inilah mereka, bersama Afifa, yang sebentar lagi menghadapi ujian kelulusan, berbagi bersama membuat orang yang ada disekitar menatap iri. Tidak sedikit orang yang berfikir bagaimana bisa Aryanata tahan berteman dengan Ariella yang jelas-jelas sangat terkenal. Berbanding balik dengan dirinya, yang tidak suka bersosialisasi. Dan juga bagaimana bisa Ariella menutup rapat-rapat telinganya dari ocehan orang-orang tentang Aryanata yang hanya ingin berteman dengannya juga Afifa. Berbagai
macam laporan tidak benar mengenai Aryanata didengar oleh Ariella, baik menggunakan bahasa halus, kasar, atau yang kelewat frontal. "Nat, apa kabarnya Afifa ya?" Aryanata menoleh. "Botak mungkin kepalanya." Ledek Aryanata masih dengan nada dingin. Ariella mengerucuti bibirnya lalu menonjok pelan bahu Aryanata. "Pulang sekolah mau gak lo nemenin gue?" Aryanata kembali menoleh dengan tatapan yang mengartikan 'mau kemana'. "Anterin ke toko buku," rujuk Ariella sembari menggoyang-goyangkan tubuh Aryanata. Aryanata mendengus. "Iya." Ariella berteriak kesenangan. Aryanata sudah kebal dengan sikap Ariella yang satu ini. Ariella mulai kehabisan tenaga untuk berteriak kesenangan. "Udah capek?" Aryanata menyindir. Ariella terkekeh lalu mengangguk. Aryanata menghela napas lalu menggelengkan kepalanya dan kembali menatap lurus kearah depan. 🐾 "Menurut lo bagusan yang ini atau yang ini?" "Yang kedua aja." Aryanata menjawab tanpa menoleh sedikitpun kearah Ariella. Ariella menghela napas kemudian berlalu. Aryanata masih diam diposisinya ditemani sebuah buku sejarah digenggamannya. Ia membuka halaman demi halaman. Entah mengapa Aryanata lebih menyukai sejarah daripada masalah percintaan yang menurutnya sangat merepotkan. Aryanata menutup buku yang berada digenggamannya begitu menyadari sosok Ariella tidak lagi datang mengganggunya. Ia mulai melangkah menelusuri bagian rak buku yang lain untuk menemui Riella. Aryanata mengernyit begitu mendengar suara Ariella sedang mengoceh. "Gue duluan yang nemuin!" teriak Ariella pada seorang perempuan yang tubuhnya memunggungi Aryanata. Aryanata memperhatikan kedua perempuan itu tanpa ada niat untuk mendekat dan melerai mereka. "Tapi maaf, aku duluan!" kata perempuan itu dengan nada tak kalah tinggi. "Gue!" balas Ariella tak mau kalah.
Kaki Aryanata tergerak disaat pipi mulus Ariella mendapat tamparan yang cukup keras dari perempuan yang berada dihadapannya. Aryanata menghampiri keduanya lalu membalikkan tubuh perempuan yang menampar Ariella agar ia dapat melihat jelas wajahnya. "Kak Arya?" kata perempuan yang menampar Ariella. Aryanata melirik kearah Ariella yang sedang memegangi pipi kanannya yang terlihat bekas tamparan. "Kamu gakpapa 'kan?" tanya Aryanata sembari mengelus pelan pipi kanan Ariella. Ariella mengangguk kemudian Aryanata kembali menatap tajam kearah perempuan yang menampar Ariella. "Sebelumnya saya tidak tahu apa yang kalian rebutkan. Tapi, saya harus turun tangan karena kamu berani menyentuh pipi teman saya. Ralat, sahabat saya." "Ma-maaf kak, maksud aku bukan gitu." "Tolong cerna perkataan saya baik-baik, sekali lagi kamu berani menyentuh sahabat saya baik Ariella maupun Afifa, saya tidak akan segan-segan untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang kamu lakukan pada mereka." Aryanata menautkan jemarinya dengan jemari Ariella. "Kami duluan, Agis." Lanjut Aryanata kemudian berlalu bersama Ariella meninggalkan perempuan yang bernama Agis membeku. Emosi Aryanata sudah menggebu-gebu. Kini mereka sudah keluar dari toko buku tadi dan mereka sedang berjalan menuju halte bus dengan posisi jemari yang masih terpaut. Mereka masih sama-sama terdiam. Ariella masih terdiam menahan rasa nyeri yang mulai menjalar keseluruh tubuhnya sedangkan Aryanata terdiam menahan emosinya yang sudah melonjak. Jemari mereka masih terpaut hingga bus datang. Bahkan saat mereka sudah turun dari dalam bus pun jemari mereka masih terpaut. "Makasih, Nat." kata Ariella pelan begitu ia sudah sampai didepan rumahnya. Aryanata melepaskan genggamannya lalu mengacak-acak rambut Ariella. "Sama-sama. Masuk gih, saya tunggu kamu sampai pintu rumah kamu tertutup." Ariella tersenyum. "Gue duluan ya." Kata Ariella sembari berjalan mundur memasuki pekarangan rumahnya. "Jangan lupa dikompres pipinya!" teriak Aryanata begitu Ariella sudah mendekati pintu utama rumahnya. Aryanata melambaikan tangannya begitu Ariella melambaikan tangan kearahnya dan tak lama pintu rumahnya tertutup. Aryanata menghela napasnya lalu kembali melanjutkan langkah kakinya. Namun, langkah kakinya tidak tergerak kejalan yang akan membawanya menuju rumahnya yang berada tidak terlalu jauh dari rumah Ariella. Melainkan langkahnya bergerak kembali menuju halte bus yang berada tepat didepan gang. 🐾
"Buat kamu." Kata Aryanata sembari menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus rapih oleh kertas polos berwarna cokelat. Ariella mengernyit sembari meraih kotak tersebut, "apaan nih?" tanyanya sembari membolak-balikkan kotak tersebut. Aryanata terduduk disamping Ariella dengan menyandarkan tubuhnya kebatang pohon yang berada dihalaman belakang rumah Ariella. "Buka aja." Aryanata menjawab sembari membuka buku sejarah yang ia bawa dari rumahnya. Karena sifat penasaran Ariella yang sangat tinggi, ia mulai membuka kotak yang dibaluti kertas itu. Mata Ariella melebar begitu mengetahui apa wujud kotak yang dibaluti kertas itu. "Lo beli ini buat gue?" tanya Ariella tak percaya. "Hmm." Jawab Aryanata tanpa memanglingkan pandangannya. Ariella tersenyum tak percaya. "Makasih, lho." Kata Ariella sembari memeluk buku yang beberapa hari lalu Ia perebutkan dengan Agis. Aryanata tidak menggubris perkataan Ariella. Hari libur akhir pekan minggu ini mereka putuskan untuk bersantai-santai dihalaman belakang rumah Ariella. Tadinya mereka ingin bersantai dirumah Aryanata, namun keadaan menolaknya karena rumah Aryanata sedang ramai oleh para keponakan yang sedang datang berkunjung. Ariella menyesap greantea yang tadi ia buat lalu mencomot keripik pisang yang berada dihadapannya. "Makan mulu," tegur Aryanata namun pandangannya masih fokus kearah buku yang sedang ia baca. Ariella mengerucuti bibirnya, "serah gue dong." Jawab Ariella dengan kondisi mulut yang penuh oleh keripik. Aryanata mengubah posisinya menjadi terduduk. "Belajar! Minggu depan kita ulangan kenaikan kelas!" oceh Aryanata sembari menyentil jidat Ariella. "Aw! Sakit bego!" pekik Ariella sembari mengusap jidatnya. Aryanata berpindah posisi tempat duduk menjadi dibelakang Ariella. Ariella mengernyit begitu ikatan rambutnya dilepaskan oleh Aryanata. "Ngapain sih lo?" tanya Ariella. Aryanata tidak menggubrisnya. Aryanata mengikat kembali rambut Ariella yang sudah melewati bahunya. "Kebiasaan. Kalau nguncir gak pernah bener." Ocehnya lagi disela-sela gerakan tangannya. Ariella mengerucuti bibirnya. Tak lama Aryanata kembali duduk disampingnya. Ariella terus memperhatikan setiap gerakan tubuh Aryanata. Ia memikirkan bagian apa yang membuat Aryanata banyak penggemar. Apa matanya yang hitam pekat? Atau rambutnya yang berwarna hitam dan acak-acakan? Atau hidungnya yang mancung? Atau sikapnya yang dingin? Ariella menggidikkan bahunya tak tahu.
"Kenapa? Ayan?" Ariella menoleh dengan tatapan tajam. Namun tak setajam tatapan Aryanata. "Gila lo! Gue gak ayan!" omel Ariella sembari memukul pundak Aryanata. Aryanata menangkap tangan Ariella yang tidak berhenti memukuli pundaknya. Matanya menatap dalam-dalam mata coklat gelap milik Ariella. Begitu pula Ariella. Ia mulai memasuki kepekatan hitamnya mata Aryanata. Bersama itu, degupan jantung Ariella berubah tak karuan. Ariella tidak tahu apa yang dirasakannya. Ia mencoba mencari jawaban dari kepekatan mata hitam milik Aryanata. Namun tidak ada jawaban yang ia temukan, melainkan degupan jantungnya yang semakin kencang. Tangannya bergerak untuk menelusuri tiap inci wajah Aryanata. Aryanata tidak memberontak mendapati perlakuan aneh ini. Yang ada, Aryanata malah memejamkan matanya membiarkan jemari lembut Ariella menelusuri wajahnya. Dengan cepat Ariella menarik tangannya begitu jemarinya sampai pada rahang Aryanata yang sangat menunjukkan sifat dinginnya. Ariella mencoba mengatur napasnya. Aryanata mulai membuka matanya begitu ia menyadari jemari Ariella sudah tidak menelusuri wajahnya lagi. "M-maaf." Dan untuk pertama kalinya Ariella merasa gugup dihadapan Aryanata.