newflash
134
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 134
1/28/12 11:22 PM
“No place beats home” merupakan ucapan yang seringkali terdengar dari banyak orang yang menandakan bahwa tiada tempat lain (mau seunik apapun tempat tersebut) yang dapat mengalahkan kenyamanan kampung halaman kita sendiri. Saya pun cukup setuju akan hal tersebut. Mengapa hanya cukup? Cukup karena saya memang lahir di Jakarta dan tinggal di ibukota tercinta ini… Tapi senyaman dan sebetah apapun saya di Jakarta, ada kalanya saya berkhayal ingin keluar dari kelembaban, polusi, dan kemacetan kota ini yang luar biasa padatnya.
TreeLiving Teks: Melati Siregar Foto: Peter Lundstrom, WDO – www.treehotel.se
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 135
135
1/28/12 11:22 PM
136
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 136
1/28/12 11:22 PM
A
ndaikata saya bisa keluar sejenak dari kota Jakarta dan berada di suatu tempat yang 180 derajat berbeda dari kota ini, tempat saya bisa bergaul karib dengan alam, atau semata melamun dan melepas pandangan tanpa berpikir apapun, melihat pegunungan dengan udara yang dingin dan bersih, jauh dari keringat, polusi dan hiruk pikuk serta bisa mendengar nikmatnya gemericik air sungai di sekitar saya. Ternyata tempat seperti itu bukanlah khayalan semata, alangkah beruntungnya saya! Tempat tersebut bukan negeri di atas awan yang mustahil kita gapai ataupun seperti surga yang baru bisa kita nikmati setelah kita “pergi” dari dunia ini. Tempat tersebut nyata-nyata masih disediakan Tuhan untuk bisa kita nikmati keindahannya. Hanya saja perlu diingat bahwa saya perlu menimbun uang dalam jumlah banyak untuk kemudian bisa menukar Rupiah saya ke Krona Swedia karena rupanya tempat tersebut berlokasi di Harads, bagian utara negara Swedia yang terdiri dari hutan pohon pinus dengan pemandangan pegunungan dan Sungai Lule, semuanya masih alamiah dan belum terjamah oleh manusia. Untuk menjangkau tempat tersebut, saya pun bisa memilih apakah akan menggunakan mobil, helikopter ataupun jet pribadi. Apabila menggunakan mobil, jarak tempuhnya sekitar 1 jam dari airport kota Lulea atau 50 km apabila dihitung dari jarak semata. Tempat yang bernama Treehotel itu dibangun atas landasan penghargaan para pemilik hotel terhadap alam khususnya pepohonan, dan inspirasi mereka terbentuk dari film “The Tree Lover” karya Jonas Selberg Augustsen yang bercerita tentang tiga orang kota yang menemukan asal muasal mereka dengan membangun rumah pohon bersama. Sebelum menuju kamar hotel biasanya para tamu terlebih dahulu mengurus administrasi pembayaran dan check in di guest house bergaya Swedia di tahun 1930-1950 yang juga digunakan oleh para tamu untuk menikmati santapan harian mereka walau para tamu tetap memiliki pilihan untuk menikmati hidangan mereka di kamar masingmasing apabila mereka menginginkan privacy penuh.
Perhatian sang pemilik hotel yang bernama Kent dan Britta ini rupanya tidak berhenti pada cara dan tempat di mana para tamu bisa menyantap hidangannya, namun juga sampai kepada selera, pribadi dan karakter para tamu yang menghabiskan waktu mereka di daerah tersebut. Walau saat ini Treehotel hanya menawarkan 5 pilihan kamar, namun ke depannya dan khususnya tahun 2012 ini mereka akan menawarkan 24 pilihan kamar yang semuanya dirancang oleh arsitek ternama Skandinavia. Mengambil ide dasar rumah pohon, kelima kamar yang dimiliki oleh hotel tersebut rata-rata berada sekitar 4-6 meter di atas tanah, namun setiap kamar memiliki desain kontemporer yang sangat unik, bahkan sampai kepada interiornya yang seluruhnya dibuat secara khusus. Layaknya rumah pohon, luas per kamar pun tidak bisa terlalu luas, dan rata-rata berukuran 15-30 meter persegi dengan kapasitas maksimum 4 orang untuk kamar dengan ukuran paling luas. Jika Anda ingin memiliki tempat persembunyian yang aman, mungkin Anda bisa mencoba tinggal di The Mirrorcube. Mendengar namanya saja Anda sebenarnya sudah bisa menebak bahwa kamar ini berbentuk kubus yang diselimuti oleh kaca sehingga kamar ini seakan-akan samar, yang terlihat hanyalah pohon-pohon pinus yang merupakan refleksi dari keadaan sekitar. Karena ukurannya yang kecil, kamar ini hanya bisa menampung 2 orang dan memiliki rooftop terrace. Untuk memasukinya, Anda harus melewati jembatan sepanjang 12 meter yang menanjak untuk menuju ke kamar Anda. Apabila Anda ingin tinggal di tempat dengan wooden feel, Anda bisa memilih bermalam di The Cabin. Tempat ini secara mayoritas terbuat dari kayu dan Anda juga harus menapaki jembatan landai untuk menuju kamar ini. Bedanya dengan Mirrocube, jembatan landai yang menghubungkan Anda dengan kamar ini ditambahi dengan spot-spot untuk beristirahat serta dek untuk melihat pemandangan. The Cabin berbentuk seperti kapsul dan memiliki pemandangan indah berupa lembah Sungai Lule.
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 137
137
1/28/12 11:22 PM
138
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 138
1/28/12 11:22 PM
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 139
139
1/28/12 11:22 PM
140
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 140
1/28/12 11:23 PM
K
amar lain lagi yang cukup unik buat saya adalah The Bird’s Nest. Tempat ini tidak lain berbentuk semacam sarang burung berukuran raksasa dengan ide dasar untuk menjadikan penghuni tempat tersebut seakan-akan menjadi bagian dari alam sekitar. Walau dari luar tidak terlihat seperti kamar, namun sebenarnya kamar ini tetap memiliki jendela yang terlihat samar karena tertutup ranting pohon dan interiornya pun dibuat cukup eksklusif dengan lapisan panel kayu. Kamar yang satu ini berukuran cukup luas sehingga bisa menampung satu keluarga yang terdiri dari dua anak dan untuk masuk ke dalamnya kita harus menggunakan retractable stairway. The Blue Cone adalah kamar yang paling sederhana menurut saya, baik secara desain maupun materi. Mayoritas dari kamar ini dibuat dari kayu, namun bagian luarnya secara keseluruhan dicat dengan warna merah. Tempat ini dilengkapi dengan jembatan landai sebagai akses masuk yang juga aman digunakan oleh orang cacat. Untuk mendapat kesan bahwa kita benar-benar serasa “out of place” mungkin kita bisa mencoba the UFO yang bentuknya benarbenar menyerupai pesawat alien yang seakan-akan terdampar di hutan. Walau bentuknya terkesan cukup rumit dan unik, namun materi yang digunakan cukup berkualitas dan tahan lama. Kamar yang juga bisa menampung satu keluarga dengan dua anak tersebut memiliki desain interior sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk bisa bermain dengan khayalan masa kecil kita. Setelah selesai menjatuhkan pilihan pada kamar yang akan ditempati dan puas melihat interior kamar, saya kemudian berpikir, apalagi yang bisa saya lakukan di tempat ini? Secara konsep hotel ini mengajak kita untuk lebih dekat dengan alam, mungkin yang paling cocok adalah membaca buku sambil menikmati pemandangan dengan ditemani secangkir teh, kopi ataupun coklat hangat. Apalagi jika pemandangan yang kita nikmati pada saat menjelang matahari terbenam, sungai, gunung dan pepohonan diselimuti cahaya matahari yang berwarna keemasan. Sangat indah pikir saya… Tidak cukup sampai di situ, mungkin bagi para tamu yang suka melakukan aktivitas di luar kamar, mereka pun perlu tahu apa saja yang mereka bisa lakukan di sana. Bagi tamu yang tinggal hanya di dua musim seperti orang Indonesia, mungkin ada baiknya menginap di Treehotel pada saat salju menyelimuti kawasan tersebut sehingga bisa merasakan serunya mengendarai kereta yang ditarik oleh sekawanan anjing ataupun apabila ingin merasakan yang lebih menantang dan mengolah badan, mungkin bisa melakukan hiking di pegunungan es dan sesudahnya menikmati sauna di Treesauna yang disediakan oleh pihak hotel. Ketika musim panas pun tiba, aktivitas yang bisa dilakukan pun tidak kalah menariknya seperti berkuda, bersepeda gunung, hiking ataupun naik kayak di sepanjang sungai Lule.
MUST KNOW Beberapa hal yang perlu diketahui: 1. Treehotel memiliki paket khusus untuk perusahaan, keluarga ataupun pasangan. 2. Harga kamar tertinggi adalah The Mirrorcube sekitar USD650 per malamnya. 3. Untuk info lebih lanjut: www.treehotel.se
clara FEBRuari 2012
134-141 SPACE TREE.indd 141
141
1/28/12 11:23 PM