PMRI dan PISA: Suatu Usaha Peningkatan Mutu Pendidikan Matematika di Indonesia Y. Marpaung dan Hongki Julie
[email protected] dan
[email protected] A.
Pendahuluan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), di satu sisi, adalah suatu
pendekatan atau teori tentang pembelajaran matematika di sekolah, yang dikembangkan mulai tahun 2000 di Indonesia, di sisi lain, PMRI adalah suatu gerakan (bukan proyek) untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Sebagai suatu pendekatan atau teori, PMRI pada mulanya merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan di Belanda sejak sekitar tahun 1970, berdasarkan ide dari Freudenthal yang mengatakan bahwa Matematika adalah aktivitas manusia (human activity) dan pembelajarannya (khususnya untuk siswa) dimulai dengan masalah-masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Perlahan-lahan PMRI sebagai teori dikembangkan di Indonesia melalui penelitianpenelitian dan pengalaman-pengalaman dalam melakukan workshop pada guru-guru SD/MI dan SMP/MTs dan sebentar lagi juga pada guru-guru SMU/MA. Sebagai suatu gerakan, PMRI di mulai oleh 4 LPTK (UPI, UNY, USD dan UNESA) di Jawa dengan berkolaborasi dengan 12 SD/MIN, dan sekarang .sudah melibatkan 20 LPTK ( di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Kupang dan Mataram). Namun, secara persentual, banyak sekolah (SD dan SMP) yang sudah mengimplementasikan PMRI masih sangat kecil. Di
sekolah-sekolah
dasar
yang
sejak
awal
pengembangan
PMRI
mengimplementasikan PMRI, telah tampak perubahan-perubahan antara lain dalam sikap siswa terhadap matematika, cara berpikir mereka menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan matematika, keberanian mereka mengutarakan pendapat (Marpaung, 2007). B.
Realistic Mathematics Education (RME) Filosofi dasar RME adalah pandangan dari Freudenthal yang menyatakan bahwa
matematika sebagai aktivitas manusia (dalam Wanty Widjaja, Hongki Julie, dan Hana Desi Suryandari, 2009). Filosofi ini mengakibatkan perubahan yang amat mendasar pada proses pembelajaran matematika di kelas. Guru di dalam kegiatan belajar mengajar tidak lagi langsung memberikan informasi, tetapi harus menciptakan aktivitas yang dapat digunakan
1
www.p4mriusd.blogspot.com
para siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dengan kata lain, guru harus memainkan peran sebagai seorang fasilitator bagi siswanya. Menurut Wanty Widjaja, Ahmad Fauzan, dan Marteen Dolk (2009) untuk dapat berperan sebagai seorang fasilitator, guru harus dapat memfasilitasi belajar siswa dengan menggunakan masalah-masalah kontekstual
yang kaya, menanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang membimbing
pengembangan proses berpikir siswa, dan memimpin diskusi kelas. Ada tiga prinsip utama di dalam RME (Gravemeijer, 1994), yaitu: 1. Penemuan kembali secara terbimbing (guided reinvention) dan matematisasi progresif (progressive mathematization); Siswa dalam mempelajari matematika, perlu diupayakan agar dapat mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip matematika, dll, dengan bimbingan orang dewasa, dengan melalui proses matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal seperti yang dulu pernah dialami oleh para pakar yang pertama kali menemukan atau mengembangkan konsep-konsep atau materi-materi tersebut. Menurut Freudenthal (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006) hasil berpikir secara matematis (mathematical thought-things), seperti konsep, alat-alat, dan prosedur-prosedur ditemukan dengan mengorganisasi fenomena-fenomena tertentu. Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006) jika seorang pembuat materi ajar mau memunculkan prinsip penemuan kembali, orang tersebut harus berusaha untuk menemukan situasi-situasi yang dapat membuat siswa merasa membutuhkan untuk menemukan hasil berpikir secara matematis. Untuk menemukan situasi tersebut, seorang pembuat materi ajar dapat melakukan analisis hubungan antara hasil berpikir secara matematis dan fenomena-fenomena yang akan diorganisir oleh siswa. Dengan kata lain, seorang pembuat materi ajar harus membuat lintasan belajar (learning trajectory) yang harus dilalui oleh siswa sedemikian hingga siswa dapat menemukan sendiri hasil berpikir secara matematis. 2. Fenomenologi didaktis (didactical phenomenology); Fenomenologi didaktis mengandung arti bahwa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam matematika, para siswa perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena) kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berasal dari dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah nyata. 3. Mengembangkan model-model sendiri (self-developed models); Artinya bahwa dalam mempelajari konsep-konsep dan materi-materi matematika, melalui masalah-masalah yang kontekstual, siswa perlu mengembangkan sendiri
2
www.p4mriusd.blogspot.com
model-model atau cara-cara menyelesaikan masalah tersebut. Model-model tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal oleh siswa, yang mungkin masih bersifat intuitif, ke arah proses berpikir yang lebih formal. Secara lebih operasional prinsip-prinsip utama tersebut dijabarkan ke dalam lima prinsip (Suwarsono, 2001), yaitu: 1. Digunakannya konteks nyata untuk dieksplorasi; Apa maksudnya? Artinya kegiatan pembelajaran bertitik pangkal dari masalah-masalah yang kontekstual. Kemudian siswa membahasakan masalah-masalah yang kontekstual itu ke dalam bahasa matematika, selanjutnya siswa menyelesaikan masalah itu dengan alat-alat yang ada di dalam matematika, dan akhirnya dapat membahasakan kembali jawaban yang diperoleh yang masih dalam bahasa matematika ke dalam bahasa seharihari. Diharapkan dengan proses seperti ini, siswa dapat melihat kegunaan matematika sebagai alat bantu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kontekstual. Proses pengembangan ide dan konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata, oleh de Lange disebut matematisasi konseptual (Sutarto, 2005) dan proses ini digambarkan dalam suatu diagram yang sederhana oleh de Lange sebagai berikut (gambar 1):
dunia nyata matematisasi dan aplikasi
matematisasi dan refleksi Abstraksi dan formalisasi
Gambar 1 Matematisasi konseptual Dari gambar di atas tampak jelas bahwa terjadi dua proses matematisasi yang berupa siklus, di mana konteks dunia nyata tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. 2. Digunakannya “instrumen-instrumen vertikal”, seperti model-model, skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol, dsb, untuk menjadi jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman berikutnya.
3
www.p4mriusd.blogspot.com
3. Digunakannya proses yang konstruktif dalam pembelajaran, di mana siswa mengkonstruksi sendiri proses penyelesaian soal atau masalah kontekstual yang dihadapi, yang menjadi awal dari proses matematisasi berikutnya. 4. Terdapat interaksi yang terus menerus antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, juga antara siswa dengan pembimbing, mengenai proses konstruksi yang dilakukan masing-masing, beserta hasil dari proses konstruksi tersebut, sedemikian hingga setiap siswa mendapatkan manfaat positip dari interaksi tersebut. 5. Terdapat banyak keterkaitan (intertwining) di antara berbagai bagian dari materi pembelajaran. Tahap-tahap pembelajaran dalam RME dapat digambarkan sebagai berikut (perhatikan gambar 2):
Formal Abstrak
Pembangunan Pengetahuan
Skematisasi
Dunia Nyata
Gambar 2. Tahap-tahap pembelajaran dalam RME C.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Jika ditinjau dari sudut pandang filosofi dan prinsip yang dikembangkan, PMRI
merupakan suatu pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika yang mengadaptasi RME.. Proses adaptasi PMRI dari RME terjadi pada pengembangan masalahmasalah kontekstual yang sesuai dengan konteks Indonesia dan pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru disesuaikan dengan nilai dan budaya Indonesia. Menurut Marpaung (2009), ada 10 karakteristik PMRI, yaitu: 1. Siswa dan guru aktif dalam pembelajaran. 2. Pembelajaran dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik.
4
www.p4mriusd.blogspot.com
3. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan guru dengan caranya sendiri. 4. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi. 5. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan (menggunakan pendekatan SANI: santun, terbuka dan komunikatif). 6. Ada keterkaitan antar materi yang diajarkan (prinsip intertwinment). 7. Pembelajaran berpusat pada siswa.(menggunakan pendekatan tut wuri handayani) 8. Guru bertindak sebagai fasilitator (proses pembelajaran bervariasi). 9. Jika siswa melakukan kesalahan di dalam menyelesaikan masalah, siswa jangan dimarahi,
tetapi
disadarkan
melalui
pertanyaan-pertanyaan
terbimbing
(
mempraktekkan budaya “ngewongké wong”). 10. Guru perlu menghargai keberanian siswa ketika mengutarakan idenya. D.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Menurut BSNP dalam panduan penyusunan KTSP jenjang pendidikan dasar dan
menengah, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam dokumen yang sama, BSNP juga merumuskan apa yang dimaksud dengan KTSP. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur, dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Dari pengertian KTSP di atas tampak bahwa ada suatu perubahan yang sangat fundamental dari kurikulum 94, yaitu bahwa sekolah diberi keleluasaan untuk menyusun materi ajar setiap mata pelajaran yang akan dibelajarkan kepada siswanya. Hal ini tidak ada dalam kurikulum 94. Perhatikan pengertian kurikulum yang ada sebelumnya yang dimuat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 1989, pasal 2 ayat 9: kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Domi, 2003). Apakah yang menjadi tuntutan penyusun KTSP dalam membelajarkan matematika? Perhatikan cuplikan-cuplikan berikut ini: a. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi
5
www.p4mriusd.blogspot.com
tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. b. Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. c. Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. d. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. E.
PISA (Programme for International Student Assessment) PISA adalah suatu program internasional yang disponsori oleh OECD (yang
beranggota 30 negara) untuk mengetahui literasi matematis siswa berumur sekitar 15 tahun. Literasi matematis adalah kecakapan individu untuk mengidentifikasi, mengerti peranan matematika di dunia ini, membuat penilaian yang akurat, menggunakan dan melibatkan matematika dengan berbagai cara
untuk memenuhi kebutuhan individu
sebagai warga negara yang reflektif, konstruktif dan berbakti (bdk. OECD, PISA, 2003). Salah satu yang menjadi fokus evaluasi dalam PISA adalah literasi matematis (mathematical literacy). Tujuan dari tes literasi matematis dari PISA adalah mengukur bagaimana siswa mengaplikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya untuk menyelesaikan sekumpulan masalah dalam berbagai konteks nyata. Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, para siswa harus mengerahkan sejumlah kompetensi matematikanya. Menurut Jan de Lange, literasi matematis (mathematical literacy) adalah suatu kecakapan yang dimiliki oleh seorang individu untuk mengidentifikasi dan memahami peran-peran yang dimainkan oleh matematika di dunia nyata, untuk membuat pendapatpendapat yang cukup beralasan, dan untuk menggunakan cara-cara yang ada di dalam
6
www.p4mriusd.blogspot.com
matematika untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya dalam kehidupan saat ini dan yang
akan
datang,
seperti
sesuatu
kemampuan
yang
sifatnya
membangun,
menghubungkan, dan merefleksikan warga masyarakat (OECD, 1999). Definisi literasi matematis di atas dikembangkan oleh kelompok ahli untuk matematika dalam PISA. Menurut Jan de Lange, kompetensi-kompetensi berikut akan membentuk literasi matematis seperti dideskripsikan dalam definisi di atas: 1. Kompetensi berpikir dan beralasan secara matematis. a. Mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
tentang
karakateristik-karakteristik
matematika, seperti apakah hal tersebut ada? Jika demikian, berapa banyak? Bagaimana kita membuktikannya? b. Mengetahui macam-macam jawaban dari pertanyaan-pertanyaan matematika. c. Membedakan antara jenis-jenis pernyataan yang berbeda, yaitu definisi, teorema, konjektur, hpotesis, contoh-contoh, dan pernyataan bersyarat. d. Memahami dan memegang keluasan dan keterbatasan konsep-konsep matematika. 2. Kompetensi berargumentasi secara logis. a. Mengetahui apa yang dibuktikan secara matematis dan bagaimana pembuktian tersebut berbeda dari pembuktian-pembuktian secara matematis yang lainnya. b. Mengikuti dan menilai rangkaian argumen-argumen secara matematis dari tipe-tipe yang berbeda. c. Memiliki suatu perasaan yang heuristik, yaitu apa yang dapat terjadi, apa yang tidak dapat terjadi, dan mengapa. d. Membuat argumen-argumen secara matematis. 3. Berkomunikasi secara matematis. a. Mengekspresikan ide-ide dalam komponen-komponen matematika dengan berbagai cara, dalam bentuk lisan sama baiknya dengan dalam bentuk tertulis. b. Memahami pernyataan-pernyataan lisan dan tertulis yang dibuat oleh orang lain. c. Mengetahui tentang dan dapat menggunakan berbagai bantuan dan alat-alat (termasuk di dalamnya alat-alat teknologi informasi) yang dapat membantu terjadinya kegiatan matematika. d. Mengetahui tentang keterbatasan berbagai bantuan dan alat. 4. Kompetensi dalam memodelkan. a. Menstrukturkan lapangan atau situasi yang akan dimodelkan. b. Matematisasi, yaitu menterjemahkan realitas ke matematika. c. Dematematisasi, yaitu mengintepretasikan model-model matematika ke i realistas. d. Memodelkan (bekerja dalam domain matematika).
7
www.p4mriusd.blogspot.com
e. Memvalidasi model. f.
Merefleksikan, menganalisis, dan memberikan kritik terhadap model-model, dan hasil-hasil model.
g. Mengkomunikasikan model dan hasil-hasilnya (termasuk keterbatasan hasil dari model). h. Memonitor dan mengontrol proses pemodelan. 5. Kompetensi mengajukan dan menyelesaikan masalah. a. Mengajukan, memformulasikan, dan membuat masalah-masalah matematika yang berbeda-beda jenis secara tepat, misal: masalah matematika murni, aplikasi, terbuka, dan tertutup. b. Menyelesaikan berbagai macam masalah matematika dengan cara yang berbedabeda. 6. Kompetensi merepresentasi ide. a. Memahami, menginterpretasikan, dan membedakan bentuk-bentuk representasi yang berbeda dari objek-objek dan situasi-situasi matematika, dan memahami hubungan timbal balik antar berbagai bentuk representasi. b. Memilih dan mengubah bentuk-bentuk representasi yang berbeda menurut situasi dan tujuan. 7. Kompetensi menggunakan simbol dan bahasa formal. a. Memahami dan menginterpretasikan bahasa simbolik dan formal dan memahami hubungannya dengan bahasa yang biasa dipakai. b. Menterjemahkan dari bahasa yang digunakan sehari-hari ke bahasa simbolik atau formal. c. Memahani pernyataan-pernyataan dan ekspresi-ekspresi yang memuat simbolsimbol dan rumus-rumus. d. Menggunakan variabel, menyelesaikan persamaan, dan melakukan perhitungan. Ada enam level soal dalam PISA yang terkait dengan kemampuan melek matematika siswa. Berikut adalah deskripsi dari masing-masing level soal (lihat PISA 2009, Assessment Framework. Key Competencies in Reading, Mathematics and Science):
8
www.p4mriusd.blogspot.com
Berikut adalah pengelompokan materi tes dalam PISA untuk literasi matematis: a. besaran (quantity) b. ruang dan bangun (space and quantity) c. perubahan dan hubungan (change and relationship) d. ketidakpastian (uncertainty). Masalah yang berkaitan dengan kemampuan matematis secara kurikuler (seperti bilangan, aljabar dan geometri) hanya bersifat sekunder dalam PISA.
9
www.p4mriusd.blogspot.com
F.
Hubungan PMRI, PISA, dan KTSP Ada banyak alasan mengapa PMRI dapat sejalan dengan KTSP dan PISA, antara lain:
1.
Dalam PMRI, pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik dan hal ini sesuai dengan yang diharapkan dalam KTSP seperti yang dikatakan dalam latar belakang dokumen Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Matematika (Permen No. 22 tahun 2006), yaitu dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dalam PISA tes dimaksudkan untuk melihat kemampuan siswa menggunakan matematika yang dipelajari untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan (kontekstual)
2.
Dalam PMRI, guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri dan hal ini sesuai dengan yang diharapkan dalam KTSP seperti yang dikatakan di dalam latar belakang dokumen Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Matematika (Permen No. 22 tahun 2006), yaitu pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Tujuan asesmen dalam PISA adalah untuk memberi feedback pada pembelajaran matematika di sekolah.
3.
Dalam PMRI, murid dan guru aktif dan peran guru adalah sebagai fasilitator. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip pengembangan kurikulum, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
4.
Dalam PMRI, kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (SANI dan menghargai pendapat siswa). Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip dalam melaksanakan KTSP, yaitu kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan).
Dari beberapa alasan yang sudah disebutkan di atas, maka PMRI tepat digunakan sebagai salah satu pendekatan di dalam pembelajaran matematika, sesuai dengan tuntutan dalam KTSP.
Kegiatan Kontes Literasi Matematis setingkat PISA ini diharapkan dapat
10
www.p4mriusd.blogspot.com
meningkatkan komitmen para guru dan pengembang PMRI untuk mengembangkan PMRI dan mengimplementasikan secara sungguh di sekolah-sekolah, mulai dari SD/MI sampai SMU/MA. G.
Daftar Pustaka
Domi, Severinus. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Sebuah Pengantar Umum (makalah). Gravemeijer, K.P.G. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Marpaung, Y. 2006. Pembelajaran Matematika dengan Model PMRI (makalah yang disampaikan pada Seminar Lokakarya Nasional di PPPG Yogyakarta yang berlangsung dari tanggal 6 sampai 8 November 2006). Marpaung, Y. 2007. Pengkajian Proses Pembelajaran Matematika dan Dampaknya pada Siswa di Beberapa SD di Yogyakarta. Laporan penelitian Pusat Studi Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Marpaung, Y. 2009. PMRI Merupakan Pendekatan Pembelajaran Matematika yang Memberdayakan Siswa. Makalah yang disajikan pada Seminar dalam Festival Sains III yang diselenggarakan Sekolah Kristen Kalam Kudus Surakarta. Permen No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Permen No. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. PISA 2009, Assessment Framework. Key Competencies in Reading, Mathematics and Science): Sutarto Hadi. 2005. Pendidikan Matematika Realistik..Banjarmasin: Tulip. Suwarsono, St. 2001. Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik di Indonesia. (makalah). Widjaja W., Julie H., dan Suryandari H. D.. 2009. The Nature of Discourse in PMRI Classroom: Exploring The Notion of Average. Makalah yang disajikan dalam ICAM, Yogyakarta. Widjaja W., Fauzan A., dan Dolk M. 2009. The Role of Contexts and Teacher’s Questioning to Enhance Students’ Thingking. (makalah)
11
www.p4mriusd.blogspot.com