1.
TUHAN
BUKAN
MENGABAIKAN
HARAPAN,
TETAPI
MENANGGUHKANNYA SAMPAI TIBA SAAT YANG TEPAT UNTUK MENGABULKAN DAN MENJADIKANNYA KEJUTAN
Sepasang sepatu boots coklat itu melangkah enerjik mengikuti alunan musik electropop yang terdengar seantero ruangan, menuju ke studio siaran. Pemiliknya segera duduk di kursi di balik meja siaran dan kembali menyapa pendengarnya. “Ganendra Radio the Specta Talkactive Station! Sebenernya masih pengen nemenin lo, sih..., tapi udah jam sebelas dan nggak mungkin gue siaran terus sampe besok! Haha. Dengerin terus Specta Indo Request, setiap Senin sampe Jumat jam sembilan pagiii! Imagination could push you struggling to reach your dreams, so never stop imagining great things! Langit pamit, assalamuallaikuuum! Bye-bye, dear!” Cewek itu melepas headphone yang dipasang di kepalanya, kemudian memasukkan buku karya Paul Arden-nya yang ditaruh di atas meja siaran, tadi dibacanya ketika lagu-lagu diputar. Dia tidak memerhatikan seorang cowok yang masuk ke studio siaran dan menghampirinya. “Lang, gimana siaran pagi?” tanya Rizad, yang berdiri di depan meja siaran. “Bikin jam tidur gue jadi bener,” sahut Langit sambil terus mengotak-atik ponselnya. “Bagus, deh. Tapi agak kangen juga baca post baru di blog lo yang ditulis pagi buta. Biasanya pikiran lo kalo insomnia suka ngaco!” Sambil cengengesan Rizad menggodanya. “Lo sih emang seneng kalo tiba-tiba gue curhat colongan pas lagi galau tengah malem! Hahahaa...” ujar Langit. “Tapi intinya, gue pindahin jadwal siaran lo ke program Specta Indo Request biar lo nggak muterin lagu La Roux terus!” celoteh Rizad. “Sial. Lama-lama gue bajak juga nih program Specta Request! Gue mau request terus lagu La Roux ke Mario!” tukas Langit.
Rizad geleng-geleng kepala sambil berdecak. “Ckckck..., niat amat lo. Gue tinggal nunggu waktu sampe lo pengen operasi plastik jadi serupa sama Elly Jackson nih kayaknya.” “Nothing in this world can stop me from loving La Roux, especially Elly Jackson!” Langit menjulurkan lidahnya. “Iya, deh, iyaaa,” sahut Rizad sekenanya. “Dan nggak ada juga yang bisa ngehalangin Madam Nelly buat ketemu sama lo hari ini.” “Demi apa lo?” Langit langsung berpaling menatap cowok yang lima tahun lebih tua darinya itu. Rizad mengangguk mengiyakan. “Lo dipanggil sama Madam Nelly ke ruangannya.” Langit menatap Rizad dengan ekspresi wajah seperti mempertanyakan kebenaran informasi tersebut. “Sekarang,” tegas Rizad. “Kalo nggak disuruh Madam Nelly manggilin lo, gue nggak akan keluar dari ruangan. Banyak yang harus dikerjain.” “Tau deeeh, Program Director paling keren se-Bandung Raya!” canda Langit seraya berdiri dan menyandang tote bagnya. “Gue gitu, lho!” Dengan gaya angkuh yang kocak, Rizad mengangkat kerah seragam Ganendra Radio-nya. “Najong!” tukas Langit, kemudian merangkul leher Rizad dan berjalan bersamanya menuju pintu studio siaran. “Ada apa nih Madam Nelly manggil gue? Bakal naik gaji kali ya gue? Haha.” “Mungkin. Bagus, tuh! Siapa tau gue juga naik gaji,” timpal Rizad yang balas merangkul pinggang Langit sahabatnya. “Lebih bagus kalo gue naik jabatan. Jadi PD! Hahahahaa...,” ujar Langit sambil menendang pantat Rizad dari samping lalu berlari mendahuluinya keluar dari studio siaran. “Heh! Enak aja mau ngambil jabatan gue! Langkahin dulu mobil gue! Sial! Pake nendang pantat gue segala, lagi!” seru Rizad sambil mengusap-usap pantatnya yang jadi sasaran kaki jahil Langit.
***
Madam Nelly adalah ibu paling gaul yang pernah Langit kenal. Usianya sudah 40 tahun tapi wajahnya masih kencang dan cantik, tubuhnya langsing, aktif, dan punya banyak inovasi dalam mengurus perusahaannya. Dia menjabat sebagai General Manager, sekaligus istri dari Iskandar Ganendra, pemilik radio anak muda paling populer di Bandung. Sudah lebih dari dua tahun Langit mengenalnya, sejak Madam Nelly menerimanya sebagai penyiar. “Vito apa kabar, Madam? Gimana betah di London katanya?” tanya Langit yang kini duduk di salah satu dari tiga sofa beledu empuk yang tampak jelas mahal harganya di ruangan General Manager itu. “Sampai kapan kamu mau nanyain anak saya terus?” sahut Madam Nelly dengan gaya juteknya yang khas. Langit cengengesan. “Namanya juga usaha, Bu...,” candanya. “Silakan bersaing dengan cewek-cewek lain yang juga pengen jadi istri pewaris jaringan radio Ganendra,” kata Madam Nelly santai. “Aku tau itu berat, Madam. Lebih baik aku mencari pangeran yang lain aja,” timpal Langit berlebihan, pura-pura sedih. Karena hubungan mereka sudah akrab, maka Langit tidak canggung lagi bercanda dengan Madam Nelly yang sebenarnya humoris di balik sikap seriusnya. “Ya, ya, ya..., Ratu Drama. Tidak apa-apa, karena itulah yang kita butuhkan sekarang. Drama,” sahut Madam Nelly menggantung. “Hah? Ganendra mau bikin reality show apa gimana maksudnya, Madam?” tanya Langit. Madam Nelly mengepalkan kedua tangannya di atas meja dan menatap gadis yang duduk di hadapannya dengan serius. “Saya akan membuat film untuk diputar pada hari ulang tahun Ganendra Radio yang ke sepuluh, tahun ini,” kata Madam Nelly.
“Wow! Keren, Madam! Filmnya tentang apa?” ujar Langit. “Saya baru akan menjelaskan ketika kamu menyela barusan, Langit.” Madam Nelly memicingkan matanya. Langit nyengir. “Ohehehe. Sori, Madam. Ayo ayo lanjutin. Seru, nih.” “Betul. Saya sangat serius soal film ini. Nggak susah-susah, ceritanya seputar aktivitas dan permasalahan kru Ganendra Radio. Fiksi, tapi harus Ganendra Radio banget,” jelas Madam Nelly. “Nah, kamu bersedia?” Langit langsung cengo. “Bersedia apa, Madam? Kalo dijodohin sama Vito sih aku setuju-setuju aja.” “Itu sih memang obsesi kamu!” ujar Madam Nelly sambil menggetok pelan kepala Langit. “Kamu bersedia jadi penulis skenario film ini? Saya tahu kamu suka menulis.” Langit jadi lebih terperangah lagi. “Madam serius?” “Kapan sih saya nggak serius?” “Sering, Madam.” “Ya, tapi sekarang saya serius.” “Kalo gitu aku juga serius.” “Betul?” “Betul. Siapa juga yang bakal nolak jadi istri Vito Ganendra?” “Kenapa jadi balik lagi ke anak saya? Ini soal film!” “Hahaha. Sori, Madam. Vito terlalu memesona buat dilupakan. Oke! Aku bersedia! Dari dulu pengen banget nyoba nulis skenario film. Ceritanya aku yang bikin atau Madam udah punya?” “Ceritanya dari saya. Baiklah, Langit, jadi saya pengen film itu bercerita tentang...”
***
Langit langsung bercumbu—dengan senja sore yang tampak memancar anggun. Sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk, gadis itu menyatu dengan embusan angin yang menyegarkan wajah lelahnya. Tidak ada tempat paling nyaman untuk menenangkan diri bagi Langit selain di puncak sebuah bangunan, salah satunya roof top Ganendra Tower. Dan memandangi matahari sore tidak akan Langit lewatkan ketika hatinya sedang merasa gembira. Lewat headset yang dipasang di telinganya, mengalun lagu Seringan Awan milik Homogenic, band indie kesukaan Langit. Radio anak muda paling populer di Bandung itu berada di lantai 14 Ganendra Tower yang juga milik Iskandar Ganendra. Sejak bekerja sebagai penyiar, roof top Ganendra Tower menjadi pilihan tempat favorit Langit. Gadis itu pun menjadi favorit teman-temannya, sikapnya periang dan ramah, juga mudah bergaul. Banyak orang senang berteman dengan Langit yang asyik diajak ngobrol. Dengan umur 20 tahun, Langit Astreila Kawiswaran adalah kru paling muda di Ganendra Radio. Kuliahnya menginjak semester 6 dan mestinya sudah mulai membuat Tugas Akhir supaya cepat lulus dari jurusan D3 yang diambilnya. Tetapi banyaknya kegiatan selain kuliah membuat Langit tidak punya cukup waktu untuk duduk fokus mengerjakan Tugas Akhir-nya. Otak brilian Langit sekarang sibuk, bukan merancang judul Tugas Akhir, melainkan mengolah cerita yang tadi dipaparkan oleh Madam Nelly. Akan dikembangkan seperti apa, akan menjadi film yang bagaimana.... Ini kesempatan besar bagi Langit. Sebelumnya tidak banyak orang mengenal karya tulisnya, novel remaja buatannya memang tidak sepopuler milik Dee. Senyum Langit merekah begitu teringat akan doa-doanya tahun lalu. Film-film keren selalu memukaunya, hingga terbentuk sebuah mimpi ingin membuat cerita untuk salah satu dari mereka. Kini Tuhan memberinya kesempatan lewat Madam Nelly, Langit tidak akan menyia-nyiakannya. Malah semakin yakin, Tuhan mungkin menjawab permohonan umatNya pada waktu yang tidak terduga. Kejutan indah memang selalu berarti.
***
Gedebag, gedebug, gedebag, gedebug. Kira-kira begitu suara langkah-langkah kaki Langit yang terburu-buru. Dia menuruni tangga sambil memasang sepatu boots coklat kesayangannya, hampir saja Langit terjatuh. Tapi ini sudah jam setengah sembilan, tiga puluh menit lagi dia harus sudah hadir di udara. Jelas saja Langit panik. Dari arah depan rumahnya terdengar suara mesin mobil dinyalakan. “Oom Erwan! Oom Erwan! Anterin ke kantor, dong!” teriak Langit dari teras rumah. Seorang laki-laki berusia 50 tahun yang duduk di balik setir berpaling menatap Langit lewat jendela mobil yang kacanya terbuka. Rambutnya kelimis, penampilannya rapi, memakai kemeja putih, sudah siap berangkat ke kantor. “Aduuuhh... gimana ya, kalau mengantar kamu dulu, saya pasti terlambat. Kamu berangkat sendiri saja. Oke? Hati-hati di jalan!” kata Oom Erwan seraya menjalankan mobil menjauh dari rumah. Langit mematung dengan mulut menganga, tidak percaya dirinya ditinggalkan dalam keadaan kesiangan dan panik. Akhirnya Langit buru-buru menutup pintu rumah dan menguncinya, kemudian berangkat siaran sambil ngedumel. “Demi apapun, kalo gue udah bisa nyetir, gue bawa kabur tuh mobil! Sialan. Itu mobil Mama, juga!” gerutu Langit yang berjalan keluar perumahan dengan langkah cepat. Bukan hanya karena tidak diantarkan ke Ganendra Radio pagi ini, tetapi Langit memang tidak pernah menyukai Oom Erwan. Bahkan sejak delapan tahun yang lalu, sejak Oom Erwan menggantikan posisi Gabriel Kawiswaran, Papa Langit.
***
Langit kecil berdiri di depan kamar Ainun. Pintunya terbuka, jadi gadis berumur 10 tahun itu bisa melihat ibunya sedang tengkurap di atas tempat tidurnya. Terdengar isakan tangis wanita yang melahirkan Langit itu.
Baru saja Langit akan melangkah melewati ambang pintu, ketika sebuah tangan merangkulnya tiba-tiba. Langit melihat ke samping kanannya, tampak Ua Eka tersenyum padanya. “Jangan. Mamamu lagi butuh waktu sendiri,” kata Ua Eka. “Kenapa Mama nangis?” tanya Langit. “Kelak kamu akan tahu, Langit.” Senyuman hangat Ua Eka menenangkan keponakannya itu. Memang kemudian Langit tahu bahwa kedua orang tuanya bercerai. Orang tua Gabriel memaksa Ainun untuk pindah agama menjadi Katolik seperti keluarga suaminya. Tentu saja Mama Langit tidak mau, sejak kecil orang tuanya mendidiknya menjadi seorang Muslim. Ancaman orang tua Gabriel tidak menggetarkan keteguhan hati Ainun, maka orang tua Langit pun memutuskan untuk bercerai. Gabriel langsung dinikahkan dengan wanita pilihan orang tuanya, dan ketika Langit menginjak usia 12 tahun, Ainun pun mendapatkan Oom Erwan sebagai pasangan hidup barunya. Tetapi mereka tidak akrab. Bisa dihitung, hanya pada saat Hari Raya Idul Fitri, Langit mencium tangan Oom Erwan. Di rumah pun rasanya mereka jarang sekali ngobrol. Dan kejadian pagi ini cukup membuat Langit kesal. Memang sih, salahnya bangun terlambat, tapi tidak ada salahnya juga Oom Erwan menolongnya dengan mengantarnya ke kantor. Setelah turun dari angkot, Langit masih harus berjalan agak jauh menuju ke Ganendra Radio, karena arah jalannya berlawanan dengan arus kendaraan. Gadis itu melirik jam tangan digital yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul 08.55. Lima menit lagi harus sudah duduk di studio siaran atau Langit akan kena damprat Rasti. Walaupun sahabatnya, Rasti harus profesional. Sebagai produser program Specta Indo Request, Rasti perlu mengingatkan Langit supaya penyiarnya itu disiplin. Langkah-langkah kaki Langit semakin cepat. Lagu I’m Not Your Toy mengalun kencang lewat headset yang dipasang di telinganya. Musik La Roux selalu bisa membuatnya semangat.
Sudah setengah jalan, harusnya Langit berlari, tetapi dia langsung menghentikan langkahnya begitu melihat seorang nenek yang duduk di depan Red Roses Hotel. Sosok nenek itu membuatnya penasaran. Sudah renta—menurut tebakan Langit, umurnya sudah menginjak kepala 6 seperti Oma—kulitnya keriput dan hitam karena sering terbakar sinar matahari, kacamata yang dipakainya retak di sana-sini, kerudungnya lusuh, dan menggunakan kebaya yang tampak tua dan kotor. Di depan nenek itu digelar plastik di mana tertata belasan tasbih. Langit berdiri di hadapannya, lalu bertanya, “Nenek, jualan tasbih ini?” Si Nenek berpaling menatap Langit dan tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang rapi tetapi kusam dimakan usia. “Iya, Neng,” katanya ramah. “Berapa harganya?” tanya Langit seraya meraih sebuah tasbih berwarna hijau. “Sepuluh ribu.” “Saya beli satu.” Langit tersenyum sambil mengacungkan tasbih hijau di tangannya, kemudian memberi si Nenek selembar uang sepuluh ribu. “Alhamdulillah. Makasih, Neng. Nenek dari tadi jalan, capek, berhenti di sini. Tidak kuat berjalan, pakai tongkat,” kata si Nenek. Barulah Langit menyadari kalau di samping nenek itu tergeletak sebuah tongkat kayu sederhana, yang ternyata untuk membantu si Nenek berjalan. “Kaki Nenek pincang karena tertabrak mobil waktu mencari anak Nenek.” Beliau bercerita tanpa diminta. Langit sangat ingin mendengar ceritanya lebih lanjut, tetapi ini sudah pukul 09.00. “Nek, kapan-kapan saya mau dengar cerita Nenek. Tapi sekarang saya buru-buru. Saya kerja dulu ya, Nek!” kata Langit sopan. “Iya, Neng. Iya, silakan.” Senyuman tulus si Nenek mengantar Langit melanjutkan perjalanan ke Ganendra Tower.
Entah mengapa, pertemuannya dengan nenek penjual tasbih tadi membuat Langit senang dan senyumnya tidak hilang sampai sisa hari itu. Walaupun Rasti ngomel terus karena Langit baru on air jam 09.15.
***
“Ini gue udah masuk Sukajadi! Bawel deh lo!” Lewat kaca spion di atasnya, supir taksi melirik cewek yang sedang menelepon dengan heboh di jok belakang. “Gila kali lo, nyuruh gue balik lagi! Gue udah deket nih, lo jangan dulu masuk!” Langit sedang bicara dengan Ray. Sahabatnya itu sudah menunggu Langit untuk menonton film, dan filmnya sudah mulai. “Ini uangnya, makasih ya, Pak!” Setelah memberi ongkos sesuai argo, Langit buruburu keluar dari taksi dan berlari menuju ke Blitz Megaplex. Langit menemukan Ray di depan studio 6, berdiri menunggunya dengan wajah tanpa ekspresi. Begitu berada di dekatnya, Langit langsung cengengesan, merasa bersalah. “Lama. Temen-temen gue udah masuk duluan,” kata Ray dingin. “Hehehe. Soriiii..., macet,” cengir Langit. Ray langsung memimpin Langit masuk ke studio 6 yang sudah gelap dan menuju ke kursi mereka. “Weeeyy! Langit!” sapa Obbi, salah seorang teman kampus Ray yang juga menonton film bersama mereka. “Hey, Bi!” sahut Langit setengah berbisik, tidak mau mengganggu orang lain yang sedang serius menonton film. Kemudian Langit melambaikan tangan kepada teman-teman Ray lainnya yang duduk di sekitarnya. Langit dan Ray sudah bersahabat sejak SMA, kini sama-sama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Palagan (Fikom Unpag), tetapi beda jurusan. Langit mengambil
jurusan D3 Penyiaran, sedangkan Ray masuk jurusan S1 Hubungan Masyarakat. Karena sering main bareng, Langit jadi kenal dengan teman-teman Ray. Obbi yang kocak, Hilman yang serius juga cerdas, dan... “Thyo....” Langit mematung begitu melihat cowok yang duduk di samping Ray. Sejak dikenalkan oleh Ray, Langit menyukai Thyo, karena cowok itu ganteng, tubuhnya tinggi dan berisi karena rajin olahraga, berkulit putih, dengan rambut berponi pinggir, dan tampak pendiam. Di antara teman-teman Ray, Thyo yang paling tidak akrab dengan Langit. Film yang mereka tonton sekarang berjudul Konotasi, film thriller yang adalah karya anak-anak Universitas Palagan yang tergabung dalam production house di luar kampus, bernama Sayap Imaji. Langit menerima ajakan Ray untuk menontonnya demi mendukung karya sesama mahasiswa Universitas Palagan saja, tanpa tahu itu film apa dan siapa para pemainnya. Di tengah film, barulah Langit terbelalak kaget melihat wajah ganteng Thyo Amindar muncul di layar lebar. “Ciiieeeeeee..., ini dia nih si psycho!” celetuk Obbi yang duduk di kursi di atas Thyo, kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Ini nih pembunuhnya, niiihh!” ujarnya sambil menunjuk-nunjuk Thyo. “Apaan sih lo,” protes Thyo sambil menjauhkan tangan Obbi yang mencengkeram bahu kirinya—merasa tidak nyaman karena sekarang penonton yang lain berpaling memerhatikannya. “Bibir lo tuh menuhin layar!” canda Ray sambil menoyor kepala Thyo. “Ray, lo nggak bilang kalau Thyo juga main di film ini,” bisik Langit. “Lah ngapain juga, ntar dia sok kebagusan lagi!” sahut Ray seraya kembali menggoda Thyo bersama Obbi dan Hilman. Sementara itu Langit memilih untuk fokus ke layar lebar di hadapannya. Senyum Langit diam-diam tersimpul, film Konotasi menjadi jauh lebih menarik dengan tokoh pembunuh yang diperankan oleh cowok yang disukainya.
***
“Kok bisa sih lo keluar gitu aja dari karung? Lo kan udah dibuang ke sungai!” Obbi tidak henti mengritik Konotasi setelah selesai menontonnya. Sebagai satu-satunya pemain film itu yang bersama mereka, Thyo menjadi sasaran kritik teman-temannya. Setelah keluar studio, Langit, Ray, Obbi, Hilman, dan Thyo makan di Sushi Station. “Kalo nggak gitu, gue nggak akan bisa ngejar temen-temen gue dan ngebunuh mereka buat bales dendam. Dan film Konotasi nggak akan ada akhirnya!” timpal Thyo santai, seraya menyeruput iced banana mocca-nya. “Menurut gue, akting lo di Konotasi kayak Joker di The Dark Knight deh,” komentar Hilman. “Keren, kaaann?” cengir Thyo. “Berarti nanti juga Thyo bakal mati over dosis kayak Heath Ledger!” celoteh Ray dengan ekspresi cuek seperti biasa. “Sompral deh lo!” cengir Langit. Sedangkan Thyo langsung memicingkan mata dan melirik Ray dengan tajam. “Lihat aja nanti, Sayap Imaji bakal bikin film lagi. Kali ini proyeknya lebih gede, sama Ganendra Radio!” Langit otomatis berpaling menatap Thyo begitu cowok itu berkata barusan. “Sama Ganendra Radio?” ulangnya ragu. Thyo mengangguk mengiyakan, dan Langit langsung teringat tugas yang diberikan Madam Nelly kepadanya. “Gue yang bikin skenario!” pekik Langit. Dulu dia pernah mengucap doa ingin mengenal Thyo lebih dekat, dan ternyata sekarang muncul jalannya. Tuhan memang suka memberi kejutan.
“Oh ya? Gue jadi astrada dua, berarti lo satu tim sama gue. Tos dulu, dong!” ujar Thyo seraya menyodorkan telapak tangannya ke hadapan Langit. Sambil nyengir, Langit menepuk telapak tangan Thyo. Dalam hati Langit yakin, proyek film Ganendra Radio ini akan sangat menyenangkan.
***