1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil cipta rasa dan karya manusia, yang menurut Semi (1993:1) disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah kemanusiaan, dan menaruh minat pada dunia realitas yang berlangsung sepanjang zaman. Sastra yang telah dilahirkan para sastrawan diharapkan dapat memberikan kepuasan estetik dan kepuasan intelek bagi khalayak pembaca. Puisi adalah bagian dari karya sastra. Pradopo (2002:4) mengatakan, sampai saat ini orang tidak dapat memberikan definisi yang tepat untuk puisi, tetapi untuk memahaminya dapat dilihat dari tanda-tanda di seputar pengertian puisi. Secara intuitif orang dapat mengetahui puisi berdasarkan konvensi wujud puisi, tetapi sepanjang sejarahnya wujud puisi selalu berubah. Saat ini tidak dapat dibedakan antara puisi dan prosa jika hanya dilihat dari bentuk visualnya saja. Dengan demikian pengertian puisi yang sebenarnya lebih mudah dikenali melalui unsur-unsurnya. Ada tiga unsur pokok yang terkandung dalam puisi, yaitu ide atau emosi, bentuk, dan kesan. Semua itu terungkap dengan media bahasa. Bahasa adalah media utama puisi. Secara ekstrim, Riffaterre (1978:125) bahkan mengatakan bahwa sastra adalah
2
fenomena linguistik, yang bentuknya lebih penting dari isinya. Dalam pengertian ini, puisi tak lebih adalah permainan bahasa. Teeuw (1983:3) mengatakan bahwa seorang pengarang menggunakan bahasa secara kreatif, artinya dia menggunakan aspek kebahasaan yang difungsikan dan diberi makna untuk memperoleh aspek estetis dalam kesatuan teks yang utuh. Dari pendapat Teeuw ini, Pradopo dkk. (1987:15) menegaskan bahwa seorang pengarang mampu melakukan kreativitas tertentu di dalam pemakaian bahasa dan penerapan konvensi sastra dengan terkadang membuat penyimpangan dan deviasi. Termasuk dari kreativitas tertentu di dalam pemakaian bahasa dan penerapan konvensi sastra itu adalah adanya aspek humor dalam karya sastra. Humor merupakan aspek yang sangat universal dalam pengalaman kemanusiaan. Humor merupakan sebuah terminologi yang sangat luas yang merujuk kepada segala apa pun yang dikatakan (dituliskan) atau dilakukan oleh seseorang yang tampak lucu dan atau dimaksudkan untuk membuat orang lain tertawa (Martin, 2007:2,5). Martin mendasarkan pernyataannya kepada The Oxford English Dictionary yang mendefinisikan humor sebagai “that quality of action, speech, or writing which excites amusement; oddity, jocularity, facetiousness, comicality, fun.” Asal muasal istilah humor, menurut Pradopo dkk. (1987:1), berasal dari bahasa Latin yang berarti „cairan‟ atau „kelembaban‟. Pradopo dkk. mengambil pengertian itu dari Encyclopedia Britanica. Sementara itu, Jusuf (1984:5), dengan mendasarkan pada Ensiklopedia Indonesia, menerangkan bahwa kata humor itu berasal dari Yunani yang berarti „getah‟. Menurut kepercayaan Yunani, tubuh
3
manusia mengandung getah yang dapat menentukan temperamen seseorang. Perbedaan temperamen dalam diri manusia, menurut kepercayaan Yunani itu, disebabkan perbedaan kadar campuran getah dalam tubuh manusia. Jika campuran seimbang, orang itu mempunyai humor, tidak marah, tidak sedih, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari humor dapat diartikan sebagai riang dalam sikap hidup. Orang yang mempunyai rasa humor tidak akan mencela situasi dan tidak akan merasa tersinggung apabila orang menertawakan kesilapannya. Ia akan mengemukakan kesedihan dengan cara yang menggembirakan. Istilah humor kemudian juga dikenal dalam kesusastraan karena kesusastraan sendiri adalah pancaran masyarakat. Stanton (1965:30) memasukkan humor sebagai salah satu unsur gaya, yang gaya itu sendiri merupakan bagian dari sarana sastra. Meski Stanton sedang berbicara tentang fiksi (prosa), tetapi konsepnya bisa diberlakukan di karya sastra secara umum, termasuk puisi. Humor adalah salah satu sarana yang bisa dimanfaatkan penyair untuk memperkuat penyampaian puisinya. Berkaitan dengan puisi, Riffaterre (1978:115) memasukkan humor sebagai bagian dari semiotika tekstual. Humor sebagai permainan bahasa dapat menjadi artefak yang membuat pembaca mengalami tekstualitas. Tekstualitas adalah sesuatu yang menarik perhatian pembaca, yang menghendaki kecerdasan pembaca, yang memunculkan di dalam diri pembaca suatu kesenangan atau kedongkolan sebagai satu sensasi estetika. Dalam khazanah perpuisian Indonesia modern, pemakaian unsur humor bukan merupakan hal yang asing, setidaknya sejak awal 1970-an. Pada saat itu bahkan terjadi euforia pemakaian humor dalam gerakan “puisi mbeling” yang dibesarkan
4
oleh Remy Sylado, Yudhistira ANM Massardi, dan Jeihan. Ciri penting dari puisipuisi mbeling adalah humor atau parodi yang tidak harus patuh dengan konvensi ketat dalam penulisan puisi (Dewanto, 2003). Sementara itu, Damono (1980) memberi catatan terhadap “puisi mbeling”, yang pada waktu itu puisi-puisi mereka dimuat di dalam majalah Aktuil. Menurut Damono, yang menarik dari sajak-sajak yang dimuat dalam Aktuil itu adalah bentuk yang sangat jarang ditemui dalam perkembangan puisi Indonesia waktu itu, yakni parodi. Adanya bentuk itu dalam kesusastraan sebenarnya menunjukkan bahwa tradisi bersastra sudah mulai terwujud. Ciri yang sangat menonjol dalam dalam sajak-sajak ini adalah unsur kelakar, suatu unsur yang biasa dalam sastra daerah, tetapi jarang sekali ditemui dalam perpuisian modern. Pada era 1990-an dan 2000-an, di antara para penyair yang seringkali dengan sengaja menggunakan humor dalam penulisan puisinya adalah Mustofa W. Hasyim (lih. Wachid BS, 2009). Mustofa W. Hasyim (selanjutnya disingkat menjadi MWH) lahir di Yogyakarta, 17 November 1954. MWH sebetulnya sudah berkecimpung di dalam dunia perpuisian sejak 1970-an ketika ia bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi. Selain di Persada Studi Klub, MWH juga terlibat di komunitas sastra atau teater yang lain, seperti Insani (1980) yang diasuh Emha Ainun Nadjib, Teater Melati (1970), Teater Matahari Kotagede, Gelanggang Remaja Bulungan atau Kelompok Poci (1978), Sanggar Enam Dua (1978), Kelompok Sembilan Jakarta, Sanggar Sastra dan Teater Sila, dan yang terkini adalah Studio Pertunjukan Sastra (SPS). Sebagai penulis, MWH sudah menghasilkan banyak terbitan buku. Karya yang pernah diterbitkan dalam bentuk buku di antaranya adalah
5
Reportase yang menakutkan (antologi puisi), Ki Ageng Miskin (antologi puisi), Beragam Sekaligus Berhati Nurani (antologi esai), Ranting itu Penting (esai panjang), Luka Politik dan Luka Budaya (esai), Membela Tekstil Tradisional (esai), Hari-hari Bercahaya (novel), Hijrah (novel), Mudik (kumpulan cerpen bersama), Terompet Terbakar (kumpulan cerpen bersama), Kopiah dan Kun Fayakun (kumpulan cerpen bersama), Api Meliuk di Atas Batu Apung (antologi cerpen), Perempuan yang Menolak Berdandan (novel), Cinta di Balik Kerudung (novel), Burung Tak Bernama (novel), Kekasih Tersembunyi (novel), Hanum (novel) dan POT (novel). Meski menekuni penulisan novel dan karya nonfiksi, ia tetap suntuk dalam menulis puisi karena ini merupakan dunia kreatif pertama yang dimasukinya ketika berkecimpung dalam sastra. Keberadaannya sebagai penyair mulai diperhitungkan dengan kemunculan antologi puisi tunggalnya yang berjudul Reportase yang Menakutkan (1992). Setelah itu, buku-buku antologi puisinya yang terbit adalah Ki Ageng Miskin Puisi-Puisi Humor dan Setengah Humor (2007), Musim Hujan Datang di Hari Jumat (2012), Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia (2012), Pohon Tak Lagi Bertutur (2013), dan Telunjuk Sunan Kalijaga (2013). Sebagai penyair, kekhasan yang dihadirkan MWH adalah ketika ia mengolah humor sebagai kekuatan pembangun puisi. Dengan humor MWH lebih berhasil menyuarakan puisi. Dengan puisi-puisi humornya MWH menegaskan posisinya sebagai wong cilik yang tertindas dan dengan itu ia bersuara. Wachid BS mengatakan bahwa MWH membangkitkan kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”
6
dengan menyublimasi kekerasan sosial ke dalam sajak-berkisah (memakai pencerita orang-pertama) ataupun balada (memakai pencerita orang-ketiga). Wachid BS juga mengatakan bahwa atmosfer kultur yang dihadirkan MWH adalah dunia wong cilik Jawa sehingga dalam menghadapi ketakberdayaan nasib, ia mendekatinya dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu tertawa getir dalam kepahitan. Puisi MWH membuat pembaca geli sekaligus getir karena ia menyampaikan kenyataan ketertindasan wong cilik dengan gaya santai dan humoris. Menurut Suharmono (2008), bentuk humor dipilih MWH karena bentuk itulah yang paling memungkinkan untuk mengekspresikan kedongkolan atau kejengkelan tanpa membuat pihak mana pun tersinggung. Selain itu, bentuk humor juga lebih mudah diingat. Puisi-puis humor MWH, bagi Suharmono, menghadirkan sebuah wacana baru tentang puisi yang selama ini dikenal menghadirkan hal-hal yang serius atau sangat serius. Warna humor sudah mulai ditunjukkan MWH di dalam antologi tunggalnya yang pertama kali terbit, yaitu Reportase yang Menakutkan (selanjutnya disingkat menjadi RyM), meskipun dalam antologi tersebut warna humor belum terlalu menonjol dan unsur absurditaslah yang lebih dominan. Warna humor semakin terlihat menonjol dalam antologi MWH yang terbit berikutnya, yaitu Ki Ageng Miskin PuisiPuisi Humor dan Setengah Humor (selanjutnya disingkat menjadi KAMPHdSH). Dalam pengantar penerbit KAMPHdSH disebutkan bahwa puisi ternyata tidak melulu berwajah muram karena hanya mengibarkan bendera tragedi kehidupan. Bendera
7
komedi pun berhak ditampilkan di tiang pancang puisi. Inilah yang coba disampaikan oleh MWH. Setelah KAMPHdSH, MWH meluncurkan beberapa antologi puisi tunggal, tetapi tidak semuanya berwarna humor. MWH kembali menegaskan kegemarannya menulis puisi bernada humor di dalam antologi tunggal yang terbaru, yaitu Telunjuk Sunan Kalijaga (selanjutnya disingkat menjadi TSK). Dalam pengantar untuk antologi tersebut, MWH menyatakan bahwa ia sudah memiliki tradisi atau kebiasaan menulis puisi humor mulai tahun 1970-an bersamaan dengan ketika ia menulis puisi serius. “... Dulu puisi yang seperti ini, disebut puisi humor atau puisi slengekan saya bacakan di depan orang-orang serius yang belum mengenal puisi serius. Maksudnya, saya bacakan pada khalayak umum, termasuk di pengajian Milad dan semacamnya. Misalnya waktu itu saya menulis puisi Kere Mari Berpesta dan Muhammadiyah Mirip Gajah. Karena asyik, saya jadi keterusan menulis puisi seperti ini. ...” (Hasyim, 2013:v—vi). KAMPHdSH dan TSK merupakan dua antologi puisi yang membuktikan kepiawaian MWH menulis puisi humor dan menempatkan humor sebagai kekuatan puisi. Dalam posisinya yang demikian, kedua antologi tersebut layak dijadikan bahan untuk melacak kekhasan kepenyairan MWH dalam hal menulis puisi humor. Warna humor sangat kental di dalam kedua antologi tersebut. Humor di dalam KAMPHdSH dan TSK menjadi senjata bagi MWH untuk meneriakkan sesuatu di dalam puisi-puisinya. Di dalam kedua antologi tersebut, MWH mampu menjadikan humor alat untuk menyampaikan makna puisi-puisinya.
8
Humor bukan sekedar lelucon yang tidak memiliki arti. Humor justru menjadi pemantik arti. Untuk membuktikan sejauh mana humor berperan penting dan menjadi pemantik arti di dalam puisi-puisi humor MWH diperlukan sebuah langkah penelitian yang objektif terhadap puisi-puisi tersebut. Usaha pemaknaan terhadap puisi-puisi humor MWH perlu dilakukan. Dalam hal pemaknaan puisi, teori yang cukup banyak dirujuk menjadi pisau bedah adalah teori semiotika Riffaterre. Teori tersebut sudah banyak dicoba diaplikasikan dengan berbagai variasi teknik pengaplikasiannya sesuai dengan akumulasi pengetahuan yang terjadi di dalam memahami panduan teori dan metode semiotika puisi Riffaterre itu sendiri dan masih harus terus dilakukan berbagai perbaikan di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi yang tertuang dalam subbab latar belakang, masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah signifikansi puisi-puisi humor dalam antologi KAMPHdSH dan TSK karya MWH dan bagaimana humor berperan sebagai pemantik signifikansi. . 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk memecahkan masalah dalam penelitian serta untuk mengakumulasi ilmu terutama berkaitan dengan kajian aspek humor dalam puisi dan
9
humor sebagai pemantik signifikansi. Sementara itu, tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan panduan kepada pembaca untuk memahami puisi-puisi MWH dan untuk memberikan gambaran kepada pembaca akan keluasan khazanah perpuisian Indonesia.
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam kaitannya dengan objek material penelitian, puisi-puisi MWH termasuk belum banyak diteliti secara serius. Pembahasan terhadap puisi-puisi MWH dari antologi Reportase yang Menakutkan (1992) pernah dilakukan oleh Sutiyem dalam sebuah makalah berjudul “Majas dalam Antologi Puisi Reportase yang Menakutkan Karya Mustofa W. Hasyim”, dimuat di dalam jurnal Alayasastra Volume 5, No. 1, Mei 2009. Dalam makalah ini Sutiyem sekadar memaparkan majas apa saja yang terdapat dalam Reportase yang Menakutkan dan memberikan contohcontohnya. Abdul Wachid BS pernah melakukan pembicaraan tentang puisi-puisi MWH yang dia kaitkan dalam konteks perpuisian Yogyakarta. Dalam makalah yang berjudul “Perpuisian Yogyakarta di Era Transisi” itu dijelaskan bahwa MWH menjadi salah satu pemain penting dalam perpuisian Yogyakarta dengan kekhasan penggunaan gaya naratif dan mengusung tema kegetiran nasib wong cilik dengan gaya humor. Kajian penelitian yang lebih serius adalah skripsi dengan judul ”Reportase yang Menakutkan Karya Mustofa W. Hasyim dalam Kajian Sosiologi Sastra” oleh
10
Yasser Arafat (2006). Penelitian tersebut membahas puisi-puisi MWH yang terkumpul dalam kumpulan puisi pertamanya yang berjudul Reportase yang Menakutkan. Penelitian Arafat menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Arafat, dalam laporan penelitiannya, menyatakan bahwa (1) kumpulan puisi Reportase yang Menakutkan merupakan wujud dari kegelisahan, penderitaan, dan keprihatinan MWH atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia tahun 1991. Hal tersebut menjadi latar belakang penciptaan kumpulan puisi Reportase yang Menakutkan; (2) Gambaran masyarakat yang tecermin dalam kumpulan puisi Reportase yang Menakutkan meliputi masyarakat yang mengalami keterpurukan berbagai persoalan kehidupan, masyarakat yang sulit mengubah nasib dan memperjuangkan hidup, dan masyarakat yang mengalami keterpurukan moral; (3) Kumpulan puisi Reportase yang Menakutkan memiliki fungsi moral berupa fungsi edukatif yang menanamkan ajaran moral dan ajaran religiusitas terhadap pembaca. Suharmono (2008) melakukan penelitian yang serupa dengan yang dilakukan Arafat dalam skripsi berjudul “Puisi-Puisi Humor dan Setengah Humor Karya Mustofa W. Hasyim (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra)”. Perbedaan penelitian Suharmono dan Arafat adalah dalam hal objek material penelitian. Objek material penelitian Arafat adalah kumpulan puisi Reportase yang Menakutkan yang merupakan buku kumpulan puisi pertama karya MWH (terbit tahun 1992), sedangkan objek material penelitian Suharmono adalah puisi-puisi humor dan setengah humor MWH yang terkumpul dalam kumpulan puisi keduanya berjudul Ki Ageng Miskin: Puisi-puisi Humor dan Setengah Humor (2007). Dalam laporan penelitiannya,
11
Suharmono menyimpulkan bahwa (1) kumpulan puisi Ki Ageng Miskin: Puisi-puisi Humor dan Setengah Humor mengutarakan pengalaman-pengalaman hidup yang merupakan wujud dari kegelisahan dan keprihatinan MWH atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia tahun 1993 hingga 2007. Berbagai ketimpangan sosial menjadi latar belakang sebagian besar puisi dalam kumpulan ini. Pengarang menulis kumpulan puisi Ki Ageng Miskin Puisi-puisi Humor dan Setengah Humor untuk berbagi pengalaman kepada masyarakat. Sikap, pandangan, dan latar belakang pengarang sangat tampak dalam kumpulan puisi ini; (2) Kumpulan puisi Ki Ageng Miskin Puisi-puisi Humor dan Setengah Humor mengungkapkan gambaran masyarakat pada tahun 1991 hingga 2007. Masyarakat pada zaman tersebut mengalami keterpurukan yang diakibatkan distorsi nilai-nilai; (3) Kumpulan puisi Ki Ageng Miskin Puisi-puisi Humor dan Setengah Humor digunakan sebagai penyampai nilai-nilai moral dan religiusitas yang dapat dijadikan pelajaran bagi pembaca. Pengarang mencoba memberikan amanat-amanat yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Puisi tidak hanya bersifat menghibur, tetapi juga merupakan sebuah media untuk merombak masyarakat. Dari tinjauan pustaka di atas tampak bahwa penelitian serius terhadap puisipuisi MWH belum banyak dilakukan. Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan pioner dalam hal kajian analitis ilmiah terhadap puisi-puisi MWH khususnya dengan pendekatan analisis semiotika Riffaterre. Pemaknaan puisi dengan menggunakan teori dan metode semiotika puisi Riffaterre sendiri sudah cukup banyak dilakukan. Praktik pemaknaan puisi dengan
12
pendekatan ini mengalami berbagai variasi sesuai dengan akumulasi pengetahuan yang terjadi di dalam memahami panduan teori dan metode semiotika puisi Riffaterre itu
sendiri.
Indrastuti
(1999)
menulis
penelitian
berjudul
“Orang-Orang
Rangkasbitung Karya Rendra: Konkretisasi Semiotik”. Dalam penelitiannya, Indrastuti menggunakan teori semiotika secara umum dengan mengacu kepada berbagai pendapat ahli semiotik, tetapi dalam subbab metode penelitian, ia mengatakan bahwa konkretisasi puisi yang dilakukan menggunakan teori semiotika Riffaterre dan menyebutkan bahwa ada empat hal pokok yang merupakan metode pemroduksian makna puisi, yaitu (1) puisi merupakan ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain; (2) pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik; (3) matriks atau kata kunci, model, dan varian-variannya; dan (4) hipogram. Meskipun demikian, dari keempat hal tersebut, dalam penelitian ini hanya diambil satu saja, yakni yang keempat atau hipogram karena hipogram berkenaan dengan prinsip hubungan intertekstual. Dalam praktik konkretisasinya, Indrastuti
sekedar
membandingkan
isi
puisi-puisi
dalam
Orang-Orang
Rangkasbitung dan naskah Max Havelaar, misalnya bahwa baik di dalam puisi yang terkumpul dalam Orang-Orang Rangkasbitung maupun Max Havelaar, keduanya membicarakan perihal ketidakadilan, seperti kemiskinan, kesewenang-wenangan penguasa, dan lain-lain. Penelitian ini terkesan sangat sederhana memahami teori semiotika puisi Riffaterre. Mahmudah (2004) melaporkan penelitian berjudul “An-Nabiyyu (Sang Nabi) Karya Jubran Khalil Jubran dalam Kajian Struktural-Semiotik”. Mahmudah
13
menyebut penelitiannya menggunakan kajian struktural-semiotik. Dalam praktik kajiannya, ia juga menggunakan prinsip kerja semiotika Riffaterre, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Penerapan yang dilakukannya adalah, dalam pembacaan heuristik ia membahas unsur-unsur apa saja yang dominan menjadi penyusun struktur an-Nabiyyu dan dipilih empat hal, yaitu diksi, pencitraan, sarana retorika, dan bahasa kiasan. Dalam bagian ini ia hanya menjelaskan apa saja diksi yang digunakan, pencitraan yang muncul atau digunakan, sarana retorika yang muncul atau digunakan, dan bahasa kiasan yang muncul atau digunakan dalam kumpulan puisi an-Nabiyyu. Sementara itu, dalam bagian pembacaan hermeneutik, yang pertama dilakukannya adalah membicarakan matriks, model, dan varian. Dengan tiba-tiba disimpulkan bahwa matriksnya adalah tuntunan moral, modelnya adalah Nabi, dan varianvariannya adalah cinta, pernikahan, anak-anak, dll. Ternyata ia memaksudkan model itu adalah judul puisi an-Nabiyyu sedangkan varian-variannya adalah judul-judul puisi yang terdapat di dalam kumpulan an-Nabiyyu itu. Setelah membicarakan perihal matriks, model, dan varian, Mahmudah melanjutkan ke pemaknaan terhadap beberapa judul puisi dengan membicarakan pokok pikiran yang muncul di dalamnya, makna ilustrasi yang menyertai puisi, dan hipogram yang mungkin ada. Pemaknaan ini justru terkesan seperti kerja pembacaan heuristik karena sekedar menceritakan isi puisi perbaitnya. Mulyani (2003), dalam penelitiannya yang berjudul “Naskah Serat Asmaralaya: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Semiotika”, juga menggunakan metode semiotika puisi Riffaterre dan mengatakan adanya empat aspek
14
pemaknaan penting yang harus diperhatikan (sebagaimana yang dikatakan Indrastuti [1999]). Dalam proses pembahasannya, Mulyani melakukan pembacaan secara bertahap, yaitu pertama menelusuri ketaklangsungan ekspresi yang muncul dalam teks yang diteliti. Dibahas dalam penelitian itu aspek penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti yang muncul dalam teks yang diteliti. Selanjutnya, Mulyani melakukan pembacaan heuristik, berupa menulis ulang teks yang diteliti dengan melakukan parafrase untuk menjelaskan teks secara leksikal. Setelah melakukan pembacaan heuristik dengan teknik parafrase, yang dilakukan kemudian adalah melakukan pembacaan retroaktif. Mulyani langsung mengatakan bahwa Asmaralaya merupakan kiasan kehidupan setiap manusia. Kiasan kehidupan yang dimaksud adalah kegemaran kematian atau nilai-nilai menuju ke kematian atau dengan kata lain “bagaimanakah manusia itu dalam menghadapi sakaratul maut”. Mulyani menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan cara-cara manusia dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu dimulai dari hakikat Tuhan, hal penciptaan alam dan manusia, ketenteraman hidup, hidup sejati, sampai pada bagaimana menghadapi sakaratul maut. Pembahasan itu langsung dikonfirmasikan dengan teks yang diteliti. Setelah itu, Mulyani membahas tentang matriks, model, dan varian serta menyimpulkan bahwa matriksnya adalah ajaran moral tentang nilai-nilai menuju kematian atau ajaran manunggaling kawula-Gusti, modelnya adalah „asmaralaya‟, dan varianvariannya adalah eling, mengetahui hakikat Tuhan, berusaha menjadi insan kamil, cara-cara menghadapi sakaratul maut, dan langkah-langkah untuk mencapai manunggaling kawula-Gusti. Setelah itu dicarilah hipogram dan secara langsung
15
disimpulkan bahwa hipogram potensialnya adalah ajaran moral tentang nilai-nilai menuju kematian dan hipogram aktualnya beberapa teks yang berupa serat yang muncul terdahulu. Pola yang sama juga dilakukan oleh Uniawati (2007) dan Werdiningsih (2013). Uniawati, dalam penelitian berjudul “Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre”, memulai dari pembacaan heuristik, kemudian melanjutkan ke pembacaan hermeneutik, kemudian mencari matriks, model, dan hubungan intertekstualitas. Werdiningsih, dalam laporan penelitian berjudul “Signifikansi Serat Sastra Gendhing: Kajian Semiotika Riffaterre”, menganalisis dengan tahapantahapan sebagai berikut. Pertama, membaca secara heuristik dengan mengonfirmasi makna kata-kata dengan beberapa kamus bahasa Indonesia dan Jawa. Dalam pembacaan ini Werdiningsih mencoba menemukan rintangan-rintangan makna. Selanjutnya Werdiningsih melakukan pembacaan ulang (hermeneutik) dan kemudian mencari matriks, model dan varian serta hipogramnya. Lewier (1999), dalam penelitian berjudul “Kajian Semiotik Sajak „Di Bawah Layar‟ dalam Antologi Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin Karya D Zawawi Imron” menganalisis puisi Zawawi berjudul “di Bawah Layar” dengan pendekatan semiotika Riffaterre. Tahapan-tahapan analisisnya adalah melakukan pembacaan heuristik dengan membaca secara tekstual dengan kompetensi linguistik sekaligus menemukan beberapa rintangan makna. Selanjutnya melakukan pembacaan hermeneutik dan menemukan bahwa matriks sajak adalah „semangat‟ yang direalisasikan dalam bentuk model „pelayaran‟. Sementara itu dalam kajian
16
intertekstualitas (hipogram) Lewier memaparkan hubungan antara sajak yang diteliti dengan judul sajak lain dalam kumpulan yang sama (Bantalku Ombak Selimutku Angin) dan menganggap hal itu menjadi mata rantai yang saling melengkapi pemikiran dasar antologi bosa. Lewier juga melengkapi penelitiannya dengan memaparkan bahwa sajak yang diteliti bergenre puisi naratif dan menelusuri ciri-ciri kenatifannya, yaitu adanya tokoh, latar, alur, dan tindakan yang berciri kausal sehingga dapat dibaca sebagai suatu cerita yang utuh. Penelitian Lewier tampak lebih serius dalam mencoba menerapkan teori dan langkah-langkah metodologik semiotika puisi Riffaterre. Beberapa laporan penelitian di atas menggambarkan berbagai variasi penerapan teori dan metode semiotika puisi Riffaterre, dari penerapan yang sangat “sederhana” sampai ke penerapan yang cukup serius. Dalam praktiknya kebanyakan penelitian kurang menekankan pada menemukan penyimpangan mimetik sebagai pijakan awal pemaknaan puisi menurut Riffaterre. Meskipun beberapa penelitian mengungkapkan tentang adanya displacing, distorting, dan creating of meaning, tetapi pembicaraan tentang hal itu tidak dilakukan secara radikal dikaitkan dengan penyimpangan mimesis sebagai pijakan pemaknaan puisi. Selain itu, kebanyakan penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotika puisi Riffaterre kurang menekankan pada menganalisis pasangan oposisional yang muncul di dalam puisi. Dalam beberapa laporan penelitian, pembagian subbab pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, pencarian matriks-model-varian, serta pencarian hipogram justru mengesankan pemaknaan puisi yang tidak menyatu. Usaha untuk melakukan
17
pemaknaan secara lebih menyatu pernah penulis lakukan dalam penelitian berjudul “Makna Puisi „(Sajak-sajak yang Dimulai dengan Bait Al-Barzanji)‟ Kuntowijoyo Pendekatan Semiotika Riffaterre” (2002). Dalam penelitian ini penulis melakukan pemaknaan dengan membagi paparan dalam dua subbab, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Dalam penelitian ini, persoalan tentang matriks, model, varian, dan hipogram dimasukkan dalam pembacaan hermenenutik karena pada hakikatnya memang persoalan itu muncul di dalam pembacaan hermeneutik. Selain itu, penelitian yang penulis lakukan ini juga melakukan penekanan pada aspek kajian terhadap hubungan oposisional sebagai sumber pemaknaan. Dari paparan di atas, meskipun pendekatan semiotika puisi Riffaterre untuk menganalisis puisi sudah cukup banyak dilakukan, tetapi masih diperlukan banyak penelitian lebih lanjut untuk mengakumulasi pengetahuan tentang pendekatan semiotika Riffaterre dan penerapannya. Penelitian ini mencoba untuk melakukan hal itu.
1.5 Landasan Teori Riffaterre memasukkan humor sebagai bagian dari semiotika tekstual. Humor sebagai permainan bahasa dapat menjadi artefak yang membuat pembaca mengalami tekstualitas. Tekstualitas adalah sesuatu yang menarik perhatian pembaca, yang menghendaki kecerdasan pembaca, yang memunculkan di dalam diri pembaca suatu kesenangan atau kedongkolan sebagai satu sensasi estetika.
18
Sebagai permainan bahasa, humor berpotensi melakukan distorsi, displasi, ataupun kreasi terhadap bahasa sehari-hari. Ketiga hal tersebut adalah sumber ketidaklangsungan ekspresi yang biasa muncul di dalam puisi. Ketidaklangsungan ekspresi di dalam bahasa puisi merupakan inti dari teori semiotika Riffaterre. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diuraikan tentang semiotika Riffaterre secara mendasar. Riffaterre adalah salah satu penganjur pendekatan puisi secara semiotik, sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry (1978). Semiotika Riffaterre, dalam tradisi kritik sastra, merupakan cara pandang yang tergolong baru (Faruk,1996:25). Faruk mengatakan bahwa Riffaterre mendekati puisi, khususnya makna puisi, dengan pendekatan struktural. Karena yang ingin didiskripsikan adalah makna puisi, pendekatannya dapat pula disebut sebagai pendekatan semiotik-struktural. Ia dinamakan semiotik karena puisi cenderung dipahami sebagai sistem makna dan dinamakan stuktural karena sistem makna itu terbentuk secara struktural (2012:140). Teeuw (1980:4) berpendapat bahwa teori semiotika Riffaterre merupakan bagian dari gerakan kritik terhadap teori kaum strukturalis (Roman Jacobson dan Levi Strauss) yang mengabaikan konteks sejarah dan konteks sosial budaya yang melingkupi penciptaan puisi. Riffaterre, meskipun melandaskan diri pada pendekatan struktural, tetapi memberi penekanan yang sangat besar kepada faktor pembaca sebagai penentu makna/arti. Riffaterre dengan tegas mengatakan bahwa the literary phenomenon, however, is a dialectic between text and
19
reader “fenomena kesusasteraan, bagaimana pun, adalah dialektika antara teks dan pembaca”. Riffaterre mengawali teorinya dengan sebuah postulat bahwa bahasa puisi berbeda dari penggunaan bahasa umum (bahasa linguistik). Bahasa puisi memang memanfaatkan kata-kata dan tata bahasa yang sama dengan bahasa sehari-hari, tetapi puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung, mengatakan sesuatu dengan memaksudkan yang lainnya. Riffaterre menganggap puisi sebagai salah satu aktivitas bahasa. Namun, bahasa puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa puisi mengatakan sesuatu dengan memaksudkan yang lainnya, dengan kata lain terjadi ketidaklangsungan ekspresi. Ketidaklangsungan ekspresi ini dapat terjadi dikarenakan adanya pengubahan/penggantian makna (displacing), perusakan/penyimpangan makna (distorting), atau penciptaan makna (creating of meaning) (Riffaterre, 1978:2). Penggantian makna adalah ketika sebuah tanda menggeserkan satu makna ke makna lain, ketika sebuah kata memiliki acuan pada kata lainnya, sebagaimana yang terjadi di dalam metafora dan metonimi. Perusakan/penyimpangan makna adalah jika terdapat adanya ambiguitas, kontradiksi, atau nonsens. Penciptaan makna adalah ketika ruang tekstual bertindak sebagai sebuah prinsip organisasi untuk menghasilkan tanda-tanda dari item-item linguistik yang di dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya simetri, persajakan, tipografi, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog
dalam
suatu
stanza
(Riffaterre,
1978:2).
Ketiga
pola
ketaklangsungan ekspresi ini mengancam mimesis, mengancam representasi literer
20
dari realitas. Artinya ketaklangsungan ini diukur dalam hubungannya dengan realitas. Karena acuan kepada realitas bersifat langsung, ketaklangsungan ekspresi membuat acuan itu terus-menerus mengalami perubahan atau variasi dan multiplisitas (Faruk, 2012:141). Ketidaklangsungan ekspresi kemudian dianggap sebagai sebuah keanehan atau ketidakgramatikalan. Pada mulanya ia menjadi stumbling block “perintang” dalam pembacaan puisi (Riffaterre, 1978:91), tetapi kemudian justru menjadi guideline “pemandu” ke semiosis (Riffaterre, 1978:7). Ketidakgramatikalan itulah yang memungkinkan terjadinya transformasi dari sistem bahasa ke sistem yang lebih tinggi, sistem yang lebih berkembang, yang merupakan wilayah semiotik (Riffaterre, 1978:4). Sistem bahasa sehari-hari bersifat mimetik dan karenanya membangun makna (meaning) yang terpecah-pecah dan beraneka ragam dikarenakan kodrat realitas itu sendiri bersifat kompleks. Sementara itu, karakteristik sebuah puisi adalah unitasnya, oleh karenanya bahasa puisi harus dipahami setingkat lebih tinggi dari level bahasa sehari-hari. Bahasa puisi bersifat semiotik dan karenanya membangun arti (significance) yang tunggal dan memusat. Dengan demikian, ketidakgramatikalan yang terlihat pada level mimesis (level teks yang lebih rendah) harus ditransformasikan ke dalam sistem lain (level teks yang lebih tinggi), yaitu level semiotik. Untuk memahami semiotika puisi akhirnya diperlukan adanya dua level pembacaan karena untuk menggapai arti (signifikansi) harus terlebih dahulu
21
melompati mimesis. Kedua level itu adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6). Pembacaan heuristik merupakan penafsiran puisi dari awal teks hingga akhir, dari halaman atas ke bawah berdasarkan pemekaran sintagmatik. Level ini merupakan tempat terjadinya interpretasi awal ketika serangkaian makna yang terpecah-pecah itu dipahami. Di sini diperlukan adanya kompetensi linguistik yang meliputi asumsi bahwa bahasa itu bersifat referensial (setiap kata memiliki acuannya); meliputi juga kemampuan pembaca untuk menangkap ketidaksesuaian antarkata (menangkap ketidakgramatikalan), kemampuan menangkap bahwa sebuah kata atau frase tidak dapat dipahami hanya secara literal dan hanya bisa dipahami jika dilakukan sebuah transformasi semantik (misalnya dengan membaca sebuah kata atau frase sebagai sebuah metafora atau metonimi). Dalam pembacaan heuristik tersebut kompetensi sastra seorang pembaca sudah mulai dilibatkan, yaitu berupa keakraban pembaca dengan sistem-sistem deskriptif, dengan tema-tema, dengan mitologi-mitologi, dan dengan teks-teks lain untuk merespon secara tepat adanya ketidakgramatikalan tadi sesuai dengan model hipogramatik. Hipogram sendiri memang dapat berupa hipogram potensial yang dapat diamati dalam bahasa seperti presuposisi dan sistem deskriptif dan dapat berupa hipogram aktual yang berupa teks-teks yang terdahulu (Riffaterre, 1978:23). Pada pembacaan pertama inilah, dengan demikian, mimesis teks telah dimengerti seluruhnya dan rintangan-rintangan di dalam pembacaan telah benar-benar dilompati.
22
Selepas ini, di dalam pembacaan tahap kedua nanti sudah tidak diperbolehkan lagi muncul adanya referential fallacy “kekeliruan referensial”. Pembacaan hermeneutik didasarkan pada konvensi sastra. Inilah saatnya untuk melakukan interpretasi lanjutan. Pembacaan ini merupakan pembacaan secara menyeluruh sepanjang teks dengan melakukan modifikasi ulang atas pemahaman yang terserap di dalam pembacaan heuristik. Dalam pembacaan hermeneutik pembaca melakukan upaya dekoding, melakukan peninjauan dan revisi terhadap pembacaan tahap pertamanya. “… As he progresses through the text, the reader remembers what he has just read and modifies his understanding of it in the light of what he is now decoding. As he works forward from start to finish, he is reviewing, revising, comparing backwards….” (Riffaterre, 1978:5—6). Dalam dekoding ini segala sesuatu yang mulanya tampak sebagai ketidakgramatikalan-ketidakgramatikalan itu akan tampak menjadi ekuivalen karena ia semata sebagai varian dari matrik struktural yang sama. Teks dengan demikian adalah suatu variasi dari sebuah struktur tematik yang membangun makna. Arti tertemukan, sebagaimana terbahas di muka, setelah pembaca dapat mengatasi
rintangan
mimesis.
Dalam
hal
ini,
ketidakgramatikalan-
ketidakgramatikalan dan kecenderungan ke arah polarisasi merupakan bahan-bahan bagi pembaca untuk memperjelas interpretasi (Riffaterre,1978:6). Arti puisi sendiri menurut Riffaterre menyerupai sebuah donat (1978:13). Teks verbal adalah daging donat tersebut sementara lubang donat yang menopang dan membentuk daging donat sebagi donat, yang merupakan sumber signifikansi, berisi
23
matriks dari sebuah hipogram atau hipogram sebagai matriks. Lubang donat sekaligus merupakan pusat arti. Pusat arti ini disebut oleh Riffaterre sebagai matriks. Matriks itu merupakan invarian yang tampak hanya dari serangkaian ketakgramatikalan yang menjadi variannya. Hipogram sebagai matriks atau matriks sebagai hipogram itu tidak terdapat di dalam linearitas teks. Puisi dihasilkan dari transformasi matriks menjadi sebuah perifrase yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral (Riffaterre, 1978:19). Matriks ini tidak hadir di dalam teks. Yang hadir di dalam teks adalah aktualisasi dari matriks, dan aktualisasi pertama dari matriks adalah model yang bisa berupa kata atau kalimat tertentu. Model ini kemudian diperluas sehingga menurunkan teks secara keseluruhan. Adapun ciri utama dari model itu adalah sifat puitisnya. Model adalah sebuah tanda puitis dan sebuah tanda akan menjadi puitis bila bersifat hipogramatik (Faruk, 1996:26). Segala sesuatu yang berhubungan dengan pengintegrasian tanda-tanda dari level mimesis ke level signifikansi di atas, menurut Riffaterre (1978:4) merupakan semiosis atau proses semiotik. Proses semiotik itu sendiri berlangsung dalam pikiran pembaca dan proses itu terjadi akibat pembacaan pembaca terhadap teks. Karena itu, proses semiotik itu pada dasarnya merupakan produk dari interaksi antara pembaca dengan teks. Di satu pihak terdapat kenyataan fisik teks yang dengan kompetensi bahasanya pembaca menemukan ketidaksesuaian-ketiadaksesuaian referensial, berbagai ketakgramatikalan, yang pada gilirannya “memaksa” pembaca untuk menempuh cara pembacaan yang lain, yaitu cara pembacaan dengan menggunakan kompetensi sastra agar ia, pada akhirnya, menemukan “arti” atau signifikansi.
24
Dengan kata lain, meskipun proses itu berlangsung di dalam pikiran pembaca, melibatkan masukan-masukan dari pembaca yang berupa kompetensi bahasa dan sastranya, pembaca tidak sepenuhnya bebas, masih tergantung pada kenyataan fisik teks yang ia hadapi. Karena itu, sekali lagi, modus keberadaan puisi, dalam teori ini, dipahami sebagai sesuatu yang terletak dalam hubungan dialektik antara kenyataan empirik teks dengan kompetensi pembaca, penguasaan pembaca terhadap konvensi bahasa dan konvensi sastra (Faruk, 2012:142—143). Faruk (2012:143—144) mencoba merumuskan intisari pemikiran Riffaterre mengenai puisi sebagai berikut. 1. Puisi merupakan wacana kebahasaan yang mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain atau secara tidak langsung. 2. Sebagai konsekuensi dari sifat yang demikian, puisi mempunyai dua lapis makna, yaitu makna referensial yang bersifat heretogen dan disebut “makna” dan makna semiotik yang bersifat homogen, tunggal, terpusat, dan struktural yang disebut “arti” sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa puisi merupakan suatu kesatuan formal dan semantik. 3. “Arti” itu sendiri berpusat pada apa yang disebut matriks, satuan makna yang tidak terdapat di dalam linearitas teks. 4. Dorongan pemaknaan ke arah matriks dapat bermuara pada suatu teks lain yang disebut hipogram yang dengan demikian dapat sekaligus berkedudukan sebagai matriks itu sendiri.
25
5. Proses peralihan dari “makna” ke “arti” tersebut disebut sebagai semiosis atau proses semiotik dan terjadi dalam hubungan dialektika antara pembaca dengan teks puisi. 6. Di dalam proses semiotik itu pembaca dapat memberikan masukan-masukan terhadap
teks
dengan
menggunakan
kompetensi
linguistik
maupun
kesastraannya sehingga rintangan-rintangan yang berupa ungramatikalitas referensial yang dihadapi dalam level pembacaan secara mimesis dapat dilampaui.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Data adalah fakta yang relevan yang berkaitan secara logis dengan masalah penelitian dan dengan kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data yang digunakan adalah data yang diperoleh melalui pernyataan yang memberikan keterangan, informasi mengenai isi, sifat, ciri, dan keadaan sesuatu, atau hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berupa kata, frase, dan kalimat dalam puisi yang dianalisis yang diambil dari kumpulan puisi KAMPHdSH dan TSK. Data diperoleh dengan cara membaca puisi secara seksama dan berulang.
26
1.6.3. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan berdasarkan teori semiotika Riffaterre. Riffaterre merekomendasikan metode pembacaan puisi melalui dua tahap pembacaan, yaitu heuristik dan hermeneutik. Faruk (2012:144—146) menjabarkan bahwa pembacaan heuristik dilakukan dengan menggunakan kode bahasa yang bersifat referential, yaitu yang mengandaikan bahwa tanda-tanda yang terdapat di dalam teks puisi yang diteliti mengacu kepada satuan-satuan kenyataan yang terdapat dalam dunia empirik. Karena kenyataan itu bersifat kompleks, pembacaan yang demikian hanya akan membawa peneliti pada serangkaian makna referensial yang heterogen, yang tidak bersesuaian satu sama lain, serangkaian ungramatikalitas. Untuk mengatasi hambatan yang demikian, peneliti harus mengambil cara pembacaan yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik yang di dalam hermeneutika biasa disebut dengan metode “lingkaran hermeneutik”. “Tahap kedua merupakan tahap pembacaan retroaktif. Ini saat bagi suatu interpretasi kedua, bagi pembacaan yang benar-benar hermeneutik. Ketika ia bergerak maju sepanjang teks, pembaca mengingat apa yang baru saja ia baca dan memodifikasi pemahaman mengenainya dengan bantuan cahaya dari apa yang baru saja ia tafsirkan. Ketika ia bekerja dari awal hingga akhir, ia melakukan pemandangan ulang, penglihatan ulang, perbandingan ke belakang. Ia, dengan demikian, melaksanakan penafsiran struktural; begitu ia bergerak menelusuri teks ia segera mengenali, dengan berkah dari perbandingan atau hanya karena ia sekarang dapat menempatkan mereka (halhal yang terpisah) secara bersama-sama; bahwa pernyataan-pernyataan yang beruntun dan berbeda-beda, yang semula diperhatikan hanya sebagai ungramatikalitas, sesungguhnya ekuivalen, karena semua itu sekarang tampak sebagai varian dari matriks struktural yang sama. Karena itu, teks merupakan suatu variasi atau modulasi dari sebuah struktur—tematik, simbolik, atau apa pun—dan hubungan dengan struktur yang terus bertahan ini membentuk signifikansi. Efek maksimal dari pembacaan retroaktif, klimaks dari fungsinya sebagai generator signifikansi, secara alamiah terjadi di akhir puisi; kepuitisan
27
dengan demikian merupakan suatu fungsi yang koekstensif dengan teks, dipertalikan dengan suatu realisasi terbatas wacana, diikat oleh klausula dan permulaan (yang secara retrospektif kita persepsi sebagai bertalian). Itulah sebabnya, jika satuan-satuan makna dapat berupa kata-kata atau frase-frase atau kalimat-kalimat, satuan signifikansi adalah teks. Akhirnya, untuk menemukan signifikansi, pembaca harus mengatasi rintangan mimesis: namun sebenarnya rintangan itu merupakan sesuatu yang esensial bagi perubahan pikiran pembaca. Penerimaan pembaca terhadap mimesis menempatkan tata bahasa sebagai latar belakang yang darinya ungramatikalitas akan mendorong dirinya ke arah depan sebagai kayu-kayu sandungan, untuk kemudian dipahami pada suatu level kedua. Saya tidak dapat menekankan secara cukup kuat bahwa rintangan yang mengancam makna, bila dilihat secara terpisah hanya pada pembacaan pertama, adalah juga suatu garis pemandu kepada semiosis, kunci ke dalam signifikansi dalam sistem yang lebih tinggi, tempat pembaca mempersepsinya sebagai bagian dari suatu jaringan yang kompleks.”
Berdasarkan teori semiotika puisi Riffaterre, metode analisis data akan berjalan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut. (1) Pencarian makna referensial (2) Pencarian rintangan-rintangan mimesis atau ketakgramatikalan (3) Pencarian arti-arti simbolik (4) Pencarian kecenderungan ke arah polarisasi (5) Pencarian matriks dan hipogram
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga bab. Bab pertama berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua
28
berupa inti penelitian berisi analisis semiotika Riffaterre terhadap sampel penelitian. Bab ketiga berupa penutup dan terdiri atas ikhtishar dan rekomendasi.