POKOK-POKOK PENJELASAN KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM PADA RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM (RDPU) DENGAN BADAN LEGISLASI DPR-RI UNTUK PENYAMPAIAN MASUKAN RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD
RABU, 14 JULI 2010
Bismillahirrahamnirrahim Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yth. Bapak/Ibu Pimpinan Badan Legislasi DPR-RI Yth. Bapak/Ibu Anggota Badan Legislasi DPR-RI.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya pada hari ini kita dapat bertemu dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Badan Legislasi DPR-RI dengan KPU. Kami bersama seluruh jajaran KPU menyampaikan ucapan terimakasih atas undangan Bapak Pimpinan Badan Legislasi DPR-RI untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum pada hari ini, Rabu Tanggal 14 Juli 2010. Sesuai dengan surat Pimpinan DPR-RI Nomor LG.01/5101/DPRRI/VII/2010 tanggal 12 Juli 2010 perihal Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), perkenankanlah kami menyampaikan
masukan RUU tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, sebagai berikut: 1
1. Sistem Pemilu Anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka (vide Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008) tidak konsisten dengan penetapan calon terpilih yang diterapkan dalam Pemilu 2009 (vide Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008) yaitu berdasarkan suara terbanyak calon pada suatu daerah pemilihan. Saran/usul perlu dicarikan rumusan mengenai system Pemilu legislative yang dalam penetapan calon terpilih dari Parpol yang mendapat kursi di suatu daerah pemilihan didasarkan atas suara terbanyak calon yang mewakili daerah pemilih tersebut, tidak lagi berdasarkan nomor urut dan prosentase perolehan suara calon agar tidak menimbulkan standar ganda, termasuk
dalam
Pertimbangan
penjelasan
saran/usul
umum
tersebut
juga
juga
perlu
didasarkan
disempurnakan. atas
putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 22-24 Tahun 2008, mengingat tanpa melakukan perubahan Pasal 214 UU Nomro 10 Tahun 2008 KPU dalam penetapan calon terpilih Pemilu 2009 berdasarkan suara terbanyak calon di suatu daerah pemilihan. Konsekwensi lanjutannya adalah bahwa dalam penyusunan DCS maupun DCT pada setiap daerah pemilihan, tidak perlu mencantumkan nomor urut calon tetapi dapat berdasarkan abjad nama calon (vide Pasal 55 ayat (1), Pasal 61 ayat (3) dan Psal 65 ayat (4) UU Nomor 10 tahun 2008). 2. Metode penetapan daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi (vide Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya. Ketentuan ini akan bertentangan dengan Pasal 25 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah penduduk. Ketentuan tersebut apabila dilaksanakan khususnya pada daerah pemekaran provinsi baru menjadi sangat tidak realistis, karena jumlah penduduk di provinsi induk pasti berkurang sehingga jumlah kursi di provinsi tersebut tentunya juga akan berkurang. 2
Saran/usul jumlah kursi di provinsi induk harus sesuai dengan jumlah riil di provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi jumlah penduduk yang masuk di provinsi pemekaran. Pengaturan tersebut secara mutatis mutandis berlaku pula penentuan jumlah kursi di kabupaten induk apabila terdapat pemekaran kabupaten/kota baru (vide Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008). 3. Metode penetapan daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota kaitannya dengan batasan minimal 3 kursi dan maksimal 12 kursi tiap daerah pemilihan, perlu penyempurnaan terutama untuk mengatur mengenai penggabungan kecamatan yang apabila dihitung jumlah kursinya lebih dari 12 kursi, dan karena kondisi letak geografis apabila dipisah tidak mungkin. Dengan kata lain disarankan/diusulkan perlu diatur mengenai penetapan daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang berdasarkan hasil perhitungan jumlah kursinya lebih dari 12 kursi. 4. Metode penetapan daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi yang harus disesuaikan dengan penetapan daerah pemilihan Anggota DPR karena jumlah dan nama kabupaten/kotanya sama, kiranya tidak serta merta dapat dijadikan ukuran karena dimungkinkan untuk beberapa daerah pemilihan Anggota DPRD provinsi
kalau harus disesuaikan dengan
daerah pemilihan Anggota DPR alokasi kursi di daerah pemilihan tersebut dapat lebih dari 12 kursi (vide Pasal 314 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008). Kondisi demikian apabila dipaksakan akan melanggar ketentuan bahwa alokasi kursi untuk Pemilu Anggota DPRD Provinsi tiap daerah pemilihan paling banyak 12 kursi, kecuali ditentukan bahwa alokasi kursi tiap daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi batasan maksimalnya tidak perlu ditentukan, termasuk dalam hal ini alokasi kursi tiap daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
3
Alasan demikian ini dapat dipahami karena untuk menetapkan alokasi kursi tiap daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi didasarkan atas Bilangan Pembagi (BPP) Penduduk dan BPP Penduduk tersebut diperoleh dari hasil bagi total jumlah penduduk di provinsi tersebut dengan jumlah kursi DPRD Provinsi yang sudah ditentukan secara pasti yaitu paling sedikit 35 kursi dan paling banyak 100 kursi (vide Pasal 23 UU Nomor 10 Tahun 2008). Dengan jumlah penduduk yang sama untuk penetapan daerah pemilihan Anggota DPR, tetapi dengan jumlah kursi yang berbeda untuk menetapkan BPP Penduduk, maka hasil bagi antara jumlah penduduk di provinsi tersebut dengan jumlah kursi DPRD Provinsi yang lebih banyak dari pada jumlah kursi DPR akan menghasilkan BPP Penduduk yang kecil dan dengan BPP Penduduk yang kecil sebagai pembagi untuk menetapkan alokasi kursi tiap daerah pemilihan akan menghasilkan jumlah alokasi kursi yang besar (dapat melebihi 12 kursi). Oleh karenanya disarankan/diusulkan agar tidak perlu dibatasi batas maksimal alokasi kursi tiap daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi, demikian pula terhadap daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. 5. Metode pencalonan Anggota legislatif khususnya mengenai pemenuhan syarat calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (vide Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2008), disarankan/diusulkan untuk diubah menganalog dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 4/PUU-VII/2009. Mengingat pelaksanaan dalam pemeriksaan terhadap syarat calon, KPU selama ini mendasarkan bahwa yang dilihat dalam pemenuhan syarat calon memenuhi 5 tahun atau lebih adalah ancaman pidana yang sudah pasti dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengenaan dakwaan, dan pada umumnya secara tegas disebutkan ancaman pidananya tanpa batasan minimal dan maksimal ancaman pidananya. 4
Permasalahannya KPU kesulitan menentukan ancaman pidana bagi calon yang terkena kasus korupsi dan telah mendapat putusan pengadilan yang ancaman pidananya dalam UU Korupsi terdapat batasan minimal dan maksimal ancaman pidananya (paling rendah 1 tahun dan paling tinggi 20 tahun). Oleh karenanya disarankan/diusulkan ukuran ancaman pidana yang dikenakan adalah ancaman pidana yang maksimal atau sesuai dakwaan penuntut umum karena jaksa boleh menentukan ancaman pidana yang dikenakan sepanjang minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. 6. Metode pencalonan Anggota legislatif disarankan/diusulkan agar dapat diatur secara tegas dan dibedakan mengenai pengertian pemenuhan syarat pengajuan calon, pemenuhan syarat calon dan pemenuhan keanggotaan, karena ketiga hal tersebut mempunyai makna yang berbeda. 7. Metode pencalonan Anggota legislatif khususnya mengenai syarat menjadi anggota legislative perlu diperlakukan sama pemenuhan syaratnya dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilukada. Oleh karenanya disarankan/ diusulkan perlu ditambah syarat baru yaitu tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang ditetapkan oleh MA mengingat tidak semua kab/kota terdapat pengadilan niaga dan syarat baru wajib melaporkan harta kekayaannya sesuai mekanisme yang diatur oleh KPK (vide Pasal 12, Pasal 50 dan Pasal 67 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008). 8. Metode pencalonan Anggota legislative khususnya mengenai syarat keterwakilan
perempuan
30
%
yang
diajukan
oleh
Parpol,
disarankan/diusulkan untuk diatur mengenai sanksi apabila Parpol yang bersangkutan setelah diberikan kesempatan untuk memperbaiki pada masa perbaikan syarat calon tidak pula dipenuhi (vide Pasal 58 UU Nomor 10 Tahun 2008).
5
9. Metode pencalonan Anggota DPD yang diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2008 antara pendaftaran sebagai peserta Pemilu dan pencalonan dijadikan
satu
kegiatan.
Disarankan/diusulkan
agar
pendafataran
perseorangan sebagai peserta Pemilu Anggota DPD dipisahkan kegiatannya dengan kegiatan pengajuan syarat calon, pemeriksaan syarat calon dan penetapan calon dalam DCS dan DCT Anggota DPD. 10. Metode pencalonan Anggota DPD yang mengatur mengenai syarat calon, disarankan/diusulkan agar syarat calon perseorangan harus tidak menjadi anggota Parpol dan ditentukan batasan waktu yang tegas berapa lama calon yang bersangkutan tidak menjadi anggota Parpol (vide Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2008). 11. Metode kampanye yang berupa visi, misi, dan program dari Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon dan calon perseorangan DPD, disarankan/ diusulkan agar visi, misi, dan program tersebut lebih menjabarkan RPJP dan RPJM yang telah ditetapkan baik di tingkat pusat maupun daerah (vide Pasal 80 UU Nomor 10 tahun 2008). 12. Metode kampanye yang bagi Parpol yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu yaitu 3 hari setelah penetapan Parpol sebagai peserta Pemilu, disarankan/diusulkan agar mengenai bentuk kampanye apa yang dapat dilakukan oleh Parpol sebagai peserta Pemilu dan bentuk sanksi apa yang dikenakan apabila melanggar larangan kampanye tersebut mengingat sangsi pelanggaran kampanye hanya terhadap kampanye rapat umum (vide Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008). Disamping itu perlu diberikan criteria yang tegas mengenai apa yang disebut kampanye baik kampanye oleh Parpol setelah 3 hari ditetapkan sebagai peserta Pemilu maupun kampanye dalam bentuk rapat umum selama 21 hari. 13. Metode pemberian suara sebagai bentuk aplikasi system Pemilu yang digunakan/ diubah, disarankan/diusulkan metode pemberian suara dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada salah satu nama calon dari Parpol yang diwakili (vide Pasal 153 UU Nomor 10 Tahun 2008).
6
14. Rekapitulsi hasil penghitungah suara di PPK sarat dengan kecurangan, sama halnya ketika PPS diberi kewenangan melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPPS, oleh karenanya disarankan/diusulkan agar PPK tidak diberi kewenangan melakukan rekapitulasi, tetapi dari KPPS langsung ke KPU Kabupaten/Kota melalui PPS dan PPK (vide Pasal 182, Pasal 184 dan Pasal 185 UU Nomor 10 tahun 2008). 15. Penentuan angka prosentase 2,5 % perolehan suara sah Parpol secara nasional untuk menetapkan Parpol yang dapat diikutsertakan dalam penghitungan
kursi
DPR,
disarankan/diusulkan
untuk
dipertegas
mengenai apa yang dimaksud dengan suara sah Parpol secara nasional, apakah hanya terhadap suara Parpol dalam Pemilu anggota DPRD atau termasuk suara Parpol baik untuk Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Disamping itu disarankan/diusulkan pula penentuan angka prosentase perlu diperbesar, dan hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi jumlah Parpol secara alamiah (vide Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 tahun 2008). 16. Metode penetapan kursi/pembagian perolehan kursi DPR, tidak diatur mengenai penempatan kursi hasil perhitungan kursi Tahap III, oleh karenanya disarankan/diusulkan agar diatur secara tegas bahwa Parpol yang mendapat kursi Tahap III baik berdasarkan BPP DPR baru maupun peringkat sisa suara penempatan kursinya didasarkan atas sisa suara terbanyak suatu Parpol di daerah pemilihan yang masih tersedia sisa kursi yang belum terbagi dan sisa suara Parpol tersebut juga lebih banyak dari pada sisa suara Parpol lain di daerah pemilihan yang bersangkutan (vide Pasal 205 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 206 dan Pasal 208 UU Nomor 10 tahun 2008). Hal ini perlu mendapat perhatian karena Pasal tersebut menjadi obyek gugatan di MK sehingga MK mengeluarkan putusan Nomor : 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009.
7
17. Metode penetapan kursi/pembagian perolehan kursi DPRD Tahap II, disarankan/diusulkan agar ditentukan secara tegas bahwa Parpol yang tidak mendapat kursi Tahap I maka suara Parpol tersebut dikategorikan sebagai sisa suara untuk diperhitungkan dalam perhitungan kursi Tahap II (Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2008). Hal ini perlu secara tegas dinyatakan mengingat ketentuan tersebut diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 maupun ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008. 18. Penentuan kriteria Parpol menjadi peserta Pemilu 2014 yang disyaratkan harus memiliki prosentase tertentu perolehan kursi DPR atau kursi DPRD Provinsi atau kursi DPRD Kabupaten/Kota (vide Pasal 315 UU Nomor 10 Tahun 2008),
disarankan/diusulkan agar prosentasenya dinaikkan
sehingga akan mengurangi jumlah Parpol peserta Pemilu secara alamiah dan pengaturannya langsung pada batang tubuh undang-undang tidak dalam ketentuan peralihan. 19. Penentuan Parpol menjadi peserta Pemilu 2014 apabila sudah ditentukan prosentasenya berdasarkan perolehan kursi DPR atau kursi DPRD Provinsi atau kursi DPRD Kabupaten/Kota, sudah tidak perlu lagi diatur bahwa Parpol yang memperoleh kursi sesedikit apapun tetap dapat menjadi peserta Pemilu 2014, karena hal ini justru akan bertentangan dengan pengaturan mengenai prosentase berdasarkan jumlah kursi yang diperoleh Parpol untuk dapat menjadi peserta Pemilu (vide Pasal 316 huruf d
UU Nomor 10 Tahun 2008). Dan hal ini terbukti dengan
diajukannya gugatan oleh 4 (empat) Parpol peserta Pemilu 2004 ke pengadilan tata usaha negara dan diputuskan bahwa sesedikit apapun perolehan kursi DPR yang diperoleh Parpol tersebut tetap harus ditetapkan
sebagai
peserta
Pemilu
2009.
Oleh
disarankan/diusulkan agar ketentuan tersebut dihapuskan saja.
8
karenanya
20. Ketentuan yang mengatur mengenai criteria persyaratan Parpol menjadi peserta Pemilu dan pendaftaran Parpol sebagai peserta Pemilu (vide Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 UU Nomor 10 Tahun 2008) tidak jauh berbeda dengan persyaratan Parpol menjadi badan hukum berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2007 yang dilakukan oleh Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Disarankan/ diusulkan ketentuan tersebut cukup diatur dalam perubahan UU Nomor 2 Tahun 2007. Artinya Keputusan Kementrian Hukum dan HAM yang menetapkan Parpol sebagai badan hukum sekaligus juga Parpol sebagai peserta Pemilu. 21. Ketentuan yang mengatur pendaftaran/pemutakhiran data pemilih (vide Pasal 33 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008), disarankan/diusulkan agar mekanismenya perlu dikembalikan seperti masa lalu yaitu dilakukan oleh Pantarlih dengan pendataan rumah ke rumah, bahkan yang tidak ber-KTP didaftar. Data kependudukan dari Pemda digunakan sebagai data awal dan pembanding. Hasil pendataan oleh Pantarlih tersebut setelah ditetapkan dan digunakan untuk penyelenggaraan Pemilu legislatif, dimutakhirkan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilukada. Data pemilih hasil pendataan Pantarlih ditetapkan oleh PPS, diumumkan oleh PPS, diperbaiki oleh PPS dan disampaikan kepada KPU Kab/Kota untuk ditetapkan menjadi DPT. 22. Logistik Pemilu berupa surat suara, disarankan/diusulkan agar tidak perlu ditentukan secara pasti jumlahnya mengenai surat suara yang akan digunakan dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang, mengingat dapat terjadi untuk pemungutan suara ulang di suatu daerah pemilihan jumlah pemilihnya lebih dari 1.000 pemilih (vide Pasal 145 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008).
9
23. Logistik Pemilu berupa surat suara cadangan sebanyak 2 % dari jumlah pemilih tetap, disarankan/diusulkan agar prosentase tersebut ditambah karena dalam kenyataannya surat suara cadangan tersebut tidak hanya untuk mengganti surat suara yang keliru coblos atau surat suara yang rusak, tetapi juga untuk pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS lain (vide Pasal 145 ayat (2) dan Pasal 150 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008). 24. Penyelesaian sengketa hasil Pemilu legislatif yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk hasil Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, disarankan/diusulkan agar dilakukan di tingkat provinsi dengan membentuk perwakilan MK di provinsi yang bersifat adhoc. Dan tanpa melampaui kewenangan MK yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, diusulkan agar setiap putusan MK dalam amarnya dicantumkan secara tegas jumlah suara Parpol atau calon yang benar dan suara Parpol lain atau calon lain yang benar setelah dikurangi suara Parpol atau calon yang benar menurut MK. Hal ini perlu mengingat pengalaman
Pemilu
2009
apabila
amar
putusan
MK
tersebut
dilaksanakan oleh KPU mengalami kesulitan karena apabila begitu saja dimasukkan dalam rekapitulasi hasil suara kemungkinan aka terjadi total suara sah di suatu daerah pemilihan akan melebihi jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dan suaranya dinyatakan sah, atau bahkan melebihi jumlah pemilih terdaftar di daerah pemilihan tersebut. Dengan demikian KPU tidak selalu bertanya kepada MK mengenai pelaksanaan amar putusan MK tersebut.
10
Demikianlah pokok-pokok masukan untuk Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang dapat kami sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi DPR-RI. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh
JAKARTA, 14 Juli 2010 KETUA
PROF. DR H. A. HAFIZ ANSHARY AZ, MA
11