BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejadian Diare
1. Pengertian kejadian diare Kejadian diare merupakan Suatu kejadian dimana terjadi buang air besar cair atau mencret dengan frekuensi lebih dari 3 kali sehari (Wardhani, 2012). Diare dapat disebabkan oleh berbagai infeksi, selain penyebab lain seperti malabsorbsi. Diare sebenarnya merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrintestinal atau penyakit lain diluar sistem pencernaan. Tetapi sekarang lebih dikenal dengan penyakit diare, karena dengan sebutan diare akan mempercepat tindakan penanggulangannya. Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 2005). Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair (Suriadi, 2006). Gangguan terjadinya diare sangat beragam dapat disebabkan oleh pengaruh oleh pengaruh salah satu atau gabungan dari 3 mekanisme yang terdiri dari proses osmotis, gangguan transport air elektrolit dan perubahan mortilitas usus.
2. Jenis-jenis diare Menurut Hidayat (2008) ada 3 jenis diare : a. Diare cair akut Diare cair akut memiliki 3 ciri utama, gejalanya dimulai secara tiba-tiba, tinjanya encer dan cair, pemulihan biasanya terjadi dalam waktu 3-7 hari. Kadang kala gejalanya bisa berlangsung sampai 14 hari. Lebih dari 37% orang yang terkena diare mengalami diare cair akut. b. Disentri
8
Disentri memiliki 2 ciri utama yaitu, adanya darah dalam tinja, mungkin disertai kram perut, berkurangnya nafsu makan dan penurunan berat badan yang cepat, sekitar 1015% anak-anak dibawah usia 5 tahun (balita) mengalami disentri. c. Diare Kronik Diare yang menetap atau persisten memiliki 3 ciri utama yaitu, pengeluaran tinja encer disertai darah, gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari dan ada penurunan berat badan. Derajat dehidrasi akibat diare menurut Widoyono (2008) dibedakan menjadi 3, yaitu : 1) Tanpa dehidrasi, biasanya anak merasa normal, tidak rewel, masi bisa bermain seperti biasa. Umumnya karena diarenya tidak berat, anak masi mau makan dan minum seperti biasa, 2) Dehidrasi ringan atau sedang, menyebabkan anak rewel atau gelisah. Mata sedikit cekung, turgor masi kembali dengan cepat jika dicubit. 3) Dehidrasi berat, anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung, pada cubitan kulit turgor kembali lambat, nafas cepat, anak terlihat lemah.
3. Tanda dan gejala diare Menurut Schowartz (2004) tanda dan gejala diare pada anak antara lain: a. Gejala umum 1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare. 2) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut. 3) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare. 4) Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulitmenurun, apatis bahkan gelisah.
b. Gejala spesifik 1) Vibrio Cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis. 2) Disenterifrom : tinja berlendir dan berdara.
4. Epidemiologi Diare pada Balita Segitiga epidemiologi merupakan konsep dasar epidemiologi yang memebrikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Segitiga ini merupakan interaksi anatara tiga faktor yakni host (tuan rumah), agent (faktor penyebab) dan environmet (lingkungan). Interaksi host, agent dan environment merupakan suatu sistem dinamis yang berada dalam keseimbangan (equilibrium) pada seseorang (individu) yang sehat (Bustan, 2002). a. Host kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui faecal oral antara lain melalui makanan/minuman yang tercemar tinja atau kontak langsung dengan tinja penderita. Faktor infeksi Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Jenis-jenis infeksi yang umumnya meneyrang sebagai berikut (Widjaja, 2004). 1)
Infeksi bakteri oleh kuman E. Coli Salmonella, Vibrio Cholerae (kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik (memanfaatkan
kesempatan
ketika
kondisi
tubuh
lemah)
seperti
pseudomonas. 2)
Infeksi basil (disentri)
3)
Infeksi virus enterovirus dan adenovirus.
4) Infeksi parasit oleh cacing (askari) 5) Infeksi jamur (candidiasis). 6)
Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronkhitis, dan radang tenggorokan
7) Keracunan makanan
Faktor Malabsorbsi 1) Malabsorbsi karbohidrat. Pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau
sangat khas asam, sakit daerah perut. Jika sering tertekan diare ini pertumbuhan anak terganggu. 2) Malabsorbsi lemak. Dalam makanan terdapat lemak yang disebut dengan triglyserida. Triglyserida denga bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorbsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare terjadi karena lemak tidak terserap dengan baik, gejalanya adalah tinja mengandung lemak.
Agent (faktor penjamu yang meningkatkan kerentetan terhadap diare). Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden, beberpa penyakit dan lamanya diare. 1) Status gizi Beratnya penyakit, lama dan resiko kematian karena diare meningkat pada anak-anak yang mnederita gangguan gizi, terutama gizi buruk. Pada penderita kurang gizi serangan diare terjadi lebih sering terjadi, semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang diderita. 2) Pemberian ASI eksklusif Bayi harus disusui secara penuh sampai 6 berumur 6 bulan. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberikan ASI secara penuh, pada bulan pertama kehidupan, resiko mendapat diare adalah 30x lebih besar (Roesli, 2005) 3) Perilaku hidup sehat bersih Masyarakat dapat menurangi resiko terhadap serangan diare dengan cara : a) kebiasaan mencuci tangan dengan menggunakan sabun, teruatama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi anak, dan sesuda makan. Hal ini memepunyai dampak dalam kejadian diare. b) Kebiasaan membuang tinja, membuang tinja harus dilakukan secara bersih
dan benar, karena tinja bayi mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar dan dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. c) Pemberian pemberian imunisasi campak, diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. d) penimbangan balita, hal ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan balita. Apabila ada balita pertanyaan adalah apakah sudah ditimbang secara teratur ke posyandu minimal 8 kali setahun. e) menggunakan air bersih yang cukup, masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan dirumah. Faktor lingkungan (environment) Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yan dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta beakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
5. Pencegahan diare Menurut Widoyono (2008) penyakit diare dapat dicegah melalui promosi kesehatan, anata lain : a.
Menggunakan air bersih. Tanda-tanda air bersih ada 3 yaitu, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa.
b.
Memasak air mendidih sebelum diminum untuk mematikan sebagian besar kuman penyakit.
c.
Mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan, sesudah makan, dan sesudah buang air besar (BAB).
d.
Memberikan ASI pada anak sampai berusia dua tahun
e.
Menggunakan jamban yang sehat.
f.
Membuang tinja bayi dan anak dengan benar.
B. Status gizi 1. Pengertian Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Suparisa, 2001). Almatsier (2002) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur prosesproses kehidupan. Status gizi adalah keadaan seimbang antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirements) zat besi (Soegianto, 2007). Status gizi balita adalah tingkat kecukupan gizi yang diukur melalui indeks berat badan menurut umur dan kategorinya ditentukan dengan menggunakan standar WHO-NCHS yang dibagi berdasarkan Z-score yaitu gizi lebih (Z-score ≥+2), gizi normal (-2
2. Penilaian status gizi Menurut Suparisa (2001), Penilaian status gizi di bagi menjadi dua yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. a. Penilaian secara langsung 1) Penilaian secara Antropometri Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudu pandang manusia, maka antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi.
Antropometri
secara
umum
di
gunakan
untuk
untuk
melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Proporsi ini terlihat pada pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Indeks antropometri yang biasanaya digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Tabel 2.1 Status Gizi Berdasarkan Indikator Antropometri Satus Gizi
Indeks BB/U
TB/U
BB/TB
Gizi Baik Gizi Sedang Gizi Kurang
>80% 71-80% 61-70%
>90% 81-90% 71-80%
>90% 81-90% 71-80%
Gizi Buruk
>60%
<70%
<70%
Sumber : Supriasa 2002
2) Penilaian secara Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini di dasarkan pada atas perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Penggunaan metode ini umumnyauntuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan kejala (symptom) atau riwayat penyakit. 3) Penilaian secara Biokimia Penilaia status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain, darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini di lakukan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang yang kurang spesifik, maka penentuan
kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. 4) Penilaian secara Biofisik penetuan sattus gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindnes), cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap. b. Penilaian secara tidak langsung. Penilaian secra tidak langsung dapat dibagi menjadi 3 yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. 1) Survei konsumsi makanan Survei konsumsi makanan adalah metode penetuan status gizi secara tidak langsung dengan melihatjumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. 2) Statistik vital Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagaian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat. 3) Faktor ekologi Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, bilogis dan lingkungan budaya, jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dll. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan intervensi gizi (Schrimshaw 1964 dalam supriasa, 2002).
Di masayarakt cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah
cara antropometri (Supriasa, 2002). Pengukuran antropometri dapat
dilakukan dengan dengan berbagai macam pengukuran, yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, pengukuran berat badan dan lingkar lengan atas sesuai umur adalah pengukuran yang sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita terbagi menjadi 2 meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri, yang meliputi status kesehatan, umur, jenis kelamin, dan ukuran rubuh. Status kesehatan berkaitan dengan adanya hambatan reaksi imunologis dan berhubungan dengan terjadinya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi, seperti marasmus, sering dijumpai pada taraf yang yang sangat berat. Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare (Santosa, 2004). Sedangkan faktor-faktor datang yang atau ada dari luar anak itu sendiri, meliputi faktor-faktor pendidikan, pengetahuan, infeksi dan pendapatan (Radiansyah, 2007). Berdasarkan Almatsier (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi meliputi : a. Program Pemberian Makanan Merupakan program untuk menambah nutrisi pada balita, biasanya diperoleh saat mengikuti posyandu. Adapun pemberian tambahan makanan tersebut berupa makanan pendamping ASI yang bisa didapat di puskesmas setempat. b. Tingkat Pendapatan Keluarga Dinegara Indonesia yang jumlah penduduk sebagian besar adalah golongan rendah atau menengah, hal ini akan berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi. c. Pemeliharaan Kesehatan Perilaku sehubungan denga peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, misalnya makanan yang bergizi, olah raga dan sebagainya termasuk juga perilaku
pencegahan penyakit yang merupakan respon untuk melakukan pencegahan penyakit. d. Pola Asuh Keluarga Pola asuh adalah pola pendidikan yang diberikan orang tua kepada anakanaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan emosional.
C. Makanan Pendamping ASI 1.
Pengertian Makanan
pendampnig ASI (MP-ASI) adalah makanan yang secara
berangsur diberikan kepada bayi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi menjelang dan sesudah disapih sebelum bayi diberikan makanan anak (Kristiyanasari, 2010). Makanan pendamping Air susu ibu adalah makanan dan minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006). Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi yang menjadi makanan pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi. Makanan pendamping ASI diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan, jadi selain makanan pendamping, ASI harus tetap diberikan kepada bayi paling tidak sampai berusia 24 bulan. Peranan makanan pendamping ASI sama sekali bukan untuk menggantikan ASI melainkan untuk melengkapi ASI (Waryana, 2010). Memasuki usia 4-6 bulan, bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan padat serta lambung juga sudah lebih baik mencerna zat tepung. Jika kemudian bayi disapih pada usia 4 atau 6 bulan, tidak berarti karena bayi telah siap menerima makanan selain ASI, tetapi juga karena kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok hanya oleh ASI. Bayi merupakan bagian dari keluarga, karena itu sepanjang proses penyapihan, kepada mereka sebaiknya diberikan makan yang lazim disantap oleh anak yang lebih besar dan orang dewasa dalam keluarga itu. Sehingga perlu diingat,
bahwa makanan
yang diberikan bukan untuk menggantikan, melainkan
mendampingi ASI (Arisman, 2004).
2. Manfaat dan Tujuan Makanan Pendamping ASI Manfaat maknan pendamping ASI adalah untuk menambah energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi karena ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi secara terus-menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui denga cara melihat dan memantau kondisi berat badan seorang anak, jika anak tidak mengalami peningkatan maka menunjukan bahwa kebutuhan energi bayi tidak terpenuhi (Diah, 2001). Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah melengkapi nutrien yang kurang pada ASI, mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima makanan
dengan
berbagai
tekstur,
mengembangkan
kemampuan
bayi,
mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan, dan melatih anak
melakukan
adaptasi
terhadap
makanan
mengandung
energi
tinggi
(Kristiyanasari, 2010). Menjelag usia 9 bulan bayi telah pandai menggunakan tangan untuk memasukan benda ke dalam mulut, hal ini dapat dijadika sebagai indikator bahwa bayi sudah siap mengkonsumsi makanan padat, selain itu dapat diacu pada parameter seperti berat badan mencapai 2 kali berat badan lahir, setelah minum susu formula sebanyak 240 cc dan 4 jam kemudian bayi merasa lapar atau 964 cc susu formula selama 24 jam namun masi kurang, dan bayi telah berusia 6 bulan (Arisman, 2004).
3. Waktu Pemberian MP-ASI ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan sampai anak berusia 6 bulan, antara umur 6-24 bulan anak tumbuh dengan cepat sehingga kebutuhan energi, vitamin dan mineralnya meningkat (Waryana, 2010) Memasuki usia 4-6 bulan, bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi sudah mulai tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan padat, dan lambung juga telah lebih baik mencerna zat tepung (Arisman, 2004).
Waktu yang baik untuk memberikan makanan tambahan pada bayi adalah umur 6 bulan, pemberian makanan bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko sebagai berikut (Ariani, 2008) : a.
Seorang anak belum memerlukan makanan tambahn pada umur kurang dari 6 bulan, makanan ini dapat dijadikan sebagai pengganti ASI, sehingga apabila makanan diberikan, maka anak akan minum ASI lebih sedikit dan ibu akan memproduksi ASI lebih sedkit sehingga akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
b.
Anak mendapat faktor pelindung ASI lebih sedikit sehingga resiko infeksi meningkat.
c.
Resiko diare juga meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI.
d.
Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer sehingga mudah dicerna bayi, makanan ini memang membuat lambung penuh tetapi memberikan nutrient sedikit.
Akibat tidak diberikan makanan pendamping ASI yang tepat adalah : a.
Anak tidak mendapat makanan tambahan yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan nutrient dan energi.
b.
Pertumbuhan anak terhenti atau lambat.
c.
Resiko malnutrisi dan defisiensi mikro nutrient meningkat pada anak.
4. Syarat-syarat pemberian makanan pendamping ASI Makanan pendamping ASI sebaiknya memenuhu persyaratan sebagai berikut : a.
Memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi.
b.
Memilki nilai suplementasi yang baik serta mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup.
c.
Dapat diterima oleh alat pencernaan bayi dengan baik
d.
Harganya relatif murah
e.
Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.
f.
Bersifat padat gizi.
5. Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI a. Umur Pemberian MP-ASI Memasuki usia 4-6 bulan bayi telas siap menerima makanan bukan cair, karena gigi telah tumbuh, lidah tidak lagi menolak makanan setengah padat, dan lambung juga lebih baik dalam mencerna zat tepung (Arisman, 2004). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<4 bulan) maka asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Biasanya bayi yang sudah diberi makanan setengah padat pada umur <4 bulan akan menyusu lebih sedikit, hal ini disebabkan ukuran perut bayi yang masih kecil sehingga mudah penuh., sedangkan kebutuhan gizi bayi terpenuhi, selain itu, sistem pencernaan bayi akan mengalami gangguan seperti diare, sembelit, dan alergi (Krisnatuti & Yenrina, 2000), sebaliknya penundaan pemberian makanan dapat menghambat pertumbuhan jika energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi lagi kebutuhan bayi (Pudjiadi, 2008). b. Jenis makanan pendamping ASI Cara memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah proses dari makanan berbentuk cair ke kental lalu bertahap menjadi keras seiring dengan proses dan umur juga perkembangan bayi, sehingga usus bayi terlatih dengan sendirinya terhadap makanan yang diterimanya (Chintia, 2008). Menurut Arisman (2004) makanan pendamping yang ideal harus mengandung 1) makanan pokok, 2) kacangkacangan, sayuran berdaun hijau atau kuning, 3) buah, 4) daging, dan 5) minyak atau lemak. Kemudian bahan ini dibuat menjadi bubur untuk disuapkan kepada bayi sebagai makanan tambahn selain ASI. Jenis-jenis makanan tambahan menurut Chintia (2008) : 1) Makanan lunak yaitu semua makanan yang termasuk yang disajikan dalam bentuk halus dan diberika pada bayi yang pertama kali, misalnya bubur susu dan sari buah. 2) Makanan lembek yaitu makanan peralihan dari maknan lunak ke makanan biasa seperti nasi tim. 3) Makanan biasa yaitu termasuk makanan orang dewasa yang disajikan seperti nasi.
Makanan padat pertama yang diberikan pada anak harus mudah dicerna dan bukan makanan yang mempunyai resiko alergi yang tinggi. Makanan yang diberikan kepada bayi sebaiknya tidak diberikan tambahan apapun seperti garam dan gula karena garam dapat merusak ginjal bayi, sedangkan gula dapat membuat bayi menyukai makanan manis yang dapat merusak gigi (Luluk, 2005). c. Frekuensi pemberian makanan pendamping ASI Sesuai dengan bertambahnya umur anak, perkembangan dan kemampuan dalam menerima makanan, maka pola pemberian makanan pada anak yaitu : 1) Makanan pendamping bayi 6-9 bulan, pemberian ASI tetap diteruskan, dan ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak kelapa/margarin dapat ditambah sedikit demi sedikit untuk mempertinggi nilai gizi makanan. 2) Makanan bayi umur 9-12 bulan, pemberian ASI tetap diteruskan. Pada umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang ijo dan buah berikan 1 kali sehari. 3) Makanan anak umur 12-24 bulan, pemberian ASI juga tetap diteruskan, dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga diberikan 3 kali sehari dan pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes & Kesos RI, 2000).
Tabel 2.2 Jadwal pengaturan makanan anak
Umur (bulan) 0-4 4-6
6-9
9-12
Jenis Makanan ASI ASI Sari Buah Bubur susu ASI Sari Buah Bubur susu Tim Saring
ASI Buah Nasi Tim Bubur susu Sumber : waryana (2010)
Frekuensi Sehari Sesuka bayi Sesuka bayi 2x 2x Sesuka bayi 2x 1x 2x Sesuka bayi 2x 2x 1x
Jam
10.00 dan 15.00 08.00 dan 18.00 10.00 dan 15.00 08.00 13.00 dan 18.00 10.00 dan 15.00 13.00 dan 18.00 08.00
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI Menurut penelitian yang dilakukan oleh Faturahman (2007) faktor-faktor yang berhubungan pemberian MP-ASI antara lain sikap ibu, pendidikan dan jumlah anak. Sedangkan penelitiann yang dilakukan oleh Indrawati (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI antara lain, pengetahuan gizi ibu dan pendidikan ibu.
D. Kerangka teori Faktor yang mempengaruhi kejadian diare : a.Faktor internal Faktor infeksi - infeksi bakteri, misalnya E coli salmonella. - Infeksi basil. - Infeksi virus (dll) Faktor Malabsorbsi - Malabsorbsi karbohidrat. - Malabsosrbsi lemak
Kejadian diare
b.Faktor eksternal -
Status gizi Pemberian ASI eksklusif Ketepatan Pemberian MP-ASI Perilaku hidup sehat bersih Lingkungan Gambar 2.3 Kerangka teori Sumber : Widjaja (2004), Waryana (2010), Supriasa dkk (2001)
E. Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : Variabel Bebas -
Ketepatan pemberian MPASI
-
Status Gizi
Variabel teriktak
Kejadian Diare
F. Hipotesis Penelitian Dari uraian di atas dan berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Ada hubungan ketepatan pemberian mankanan pendamping ASI dan status gizi dengan kejadian diare pada anak usia 1-2 tahun di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu Semarang.