Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN2089-3590 | EISSN 2303-2472
PELAKSANAAN DIVERSI BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN RESTORATIF DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA BERDASARKAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SPPA (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI CIBINONG) 1
Nandang Sambas, 2Euis D. Suhardiman, 3Dewi Anna Huriatma
1,2,3
Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail:
[email protected]
Abstrak. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dalam penyelesaian perkara pidana anak diwajibkan kepada para penegak hukum untuk melaksanakan proses diversi yang merupakan upaya penyelesaian perkara pidana anak di luar sidang pengadilan. Dalam melaksanakan perintah UU tersebut dibutuhkan adanya suatu peraturan pelaksana mengenai tata cara pelaksanaan diversi, namun baru ada pepraturan teknis yang berlaku di lingkungan pengadilan melalui PERMA no. 4 Tahun 2014. Tujuan penelitian diketahuinya mekanisme diversi dalam menangani perkara anak berdasarkan UU No.11 Tahun 2012 tentang SPPA serta efektifitasnya diversi untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak yang dilakukan di PN. Cibinong. Hasil penelitian bahwa mekanisme diversi dapat dilakukan dari setiap tahapan mulai dari penyidikan sampai LP. Diversi dilakukan dengan melibatkan pihak keluarga korban dan pelaku, petugas bimbingan kemasyarakatan, pekerja sosial, perwakilan masyarakat, serta pihak terkait lainya. Diversi ditujukan agar anak terhindar dari penanganan perkara secara formal yang dapat menimbulkan stigma buruk. Namun demikian, diversi hanya dapat diajukan terhadap perkara anak yang diancam pidana tidak lebih 7 tahun dan bukan pengulangan. Dalam praktik pelaksanaan di PN Cibinong diversi relatif tidak begitu efektif diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari data perkara yang masuk dan ditangani melalui diversi relatif sedikit. Pada praktiknya masih banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan diversi, dari aspek yuridis selain menyangkut kebutuhan waktu yang diperlukan oleh para pelaksana di lapangan, juga dipandang perlu adanya peraturan teknis bagi para penegak hukum. Sarana prasarana dirasakan belum cukup menunjang, serta hal yang lebih sulit adalah mengubah pola pikir atau paradigma masyarakat, terutama keluarga korban yang belum dapat menerima untuk menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi para pihak. Kata kunci: Model Diversi, Proses Peradilan Pidana Anak.
1.
Pendahuluan
Anak merupakan generasi penerus bangsa dan negara yang memerlukan perhatian dan perlindungan dalam tumbuh kembang mereka. Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945,ditegaskan bahwa anak memiliki peran strategis dan negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya
153
154 |
Nandang Sambas, et al.
untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak anak diposisikan sebagai objek, sehingga cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. 1 Hal inilah yang menjadi pertimbangan dibentuknya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). SPPA memiliki paradigma baru dalam penanganan ABH. Menurut UU SPPA, terhadap ABH para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi2 berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif3. Diversi dapat dilaksanakan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan peradilan sebelum ABH masuk kepada proses peradilan pidana. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana; umur Anak; hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. 4 Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. 5 Pelaksanaan proses Diversi wajib memperhatikan kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab Anak (ABH); penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 6 UU SPPA yang disahkan tahun 2012, mulai berlaku efektif sejak Agustus 2014. Atas dasar hal tersebut, tim peneliti melakukan penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN DIVERSI BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN RESTORATIF DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA BERDASARKAN UU NO.11 TAHUN 2012 TTG SPPA”(StudiKasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Cibinong). Permasalahan yang akan diteliti dalam penilitian ini adalah mengenai mekanisme pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan efektifitas pelaksanaan diversi sebagai upaya mewujudkan keadilan restoratif demi kepentingan terbaik bagi anak dalam penyelesaian perkara pidana anak di PN Cibinong.
2.
Pembahasan
2.1 Mekanisme Diversi Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 adalah ditegaskannya ketentuan tentang Diversi sebagai proses 1 2
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
3
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 4 5 6
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 8 ayat (1) UU SPPA. Pasal 8 ayat (3) UU SPPA.
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Pelaksanaan Diversi Berdasarkan Prinsip Keadilan Restroratif dalam Proses Peradilan Pidana Anak.. | 155
penanganan ABH7. Penanganan anak melalui Diversi bertujuan agar anak yang bemasalah dengan hukum tidak secara langsung ditanganani melalui peradilan secara prosedural formal. Hal tersebut agar ABH terhindar dari dampak negatif sistem peradilan pidana. Berdasarkan Rule 11.1, 11.2 dan Rule 17.4. United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), diversi (diversion) adalah pemberian kewenangan kepada aparat hukum untuk mengambil tindakantindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada mayarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.8 Di dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan tentang diversi yaitu Divertion dan Divertion Program. Divertion yaitu : “A Turning a side or altering the natural course or route of a thing. The term is chiefly applied to the an authorized change or alteration of the water course to the prejudice of a lower riparian, or the authorized use of funds.”9 Ketentuan yang mendasari penanganan ABH secara khusus antara lain tercantum dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Tahun 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Tujuan dari diversi adalah menghindarkan anak dari prosedur resmi beracara di pengadilan serta mengurangi kemungkinan terjadinya bentuk residivisme di masa mendatang. Misi ide diversi bagi anak-anak menyediakan sebuah alternatif dengan prosedur resmi beracara di pengadilan untuk memberikan kesempatan kedua bagi para pelaku tindak pidana ringan di bawah umur yang baru pertama kali melakukan, melalui kegiatan yang terprogram dan memberikan bentuk pengabdian sosial secara nyata pada masyarakat. Adapun tujuan utama adalah guna mengarungi residivis bagi peserta program. Dengan adanya kesempatan ini, para anak muda yang sedang bermasalah dengan hukum diberikan kesempatan untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan. Secara teoritis garis besar ada tiga jenis atau tipe diversi yaitu: diversi dalam bentuk Peringatan, Diversi informal dan Diversi formal. Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 ditegaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi dalam setiap tahap sistem peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan dan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Selanjutnya ketentuan diversi secara lengkap ditentukan dalam Bab II dimulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. Pasal 6 tujuan penyelenggaraan diversi adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
7 Berdasarkan UUSPPA ABH adalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana yang usianya belum mencapai 18 tahun. 8 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Hlm. 165. 9 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary(Sixth Edition), St. Paul Minn West Publicing Co., 1990, Hlm. 477.
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
156 |
Nandang Sambas, et al.
menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Penyelenggaraan diversi dilaksanakan dan dibatasi dalam tindak pidana yang dilakukan dan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun atau bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Di dalam Penjelasan Pasal 7, bahwa pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pasal 8 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya. Orang tua dan wali korban dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah anak. Pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Dalam hal ini diperlukan musyawarah, maka dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat. Yang dimaksud dengan “masyarakat” antar lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. Proses diversi wajib memperhatikan kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab anak; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pasal 9 menentukan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana; umur anak; hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal 9 dijelaskan bahwa kategori tindak pidana merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi. Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas diversi. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana tanpa korban; dan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Ketentuan mengenai “Persetujuan keluarga Anak Korban” dimaksudkan dalam hal korban adalah anak di bawah umur. Yang dimaksud dengan “tindak pidana ringan” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (1) dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban; rehabilitasi medis dan psikososial; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat. Pasal 12 mengatur bahwa hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana dimaksud
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Pelaksanaan Diversi Berdasarkan Prinsip Keadilan Restroratif dalam Proses Peradilan Pidana Anak.. | 157
pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi.Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 menetapkan bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah. Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak wajib diterapkan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana. Penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak pada setiap pemeriksaan anak wajib mengupayakan program diversi dalam proses pemeriksaan perkara anak. Kewajiban penegak hukum anak untuk mengupayakan diversi diperkuat dengan adanya sanksi ancaman pidana penjara bagi penegak hukum yang dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut. Adanya kriteria secara tegas terhadap tindak pidana tertentu yang dapat ditangani melalui diversi, menandakan bahwa kondisi kepentingan perlindungan anak bukan merupakan faktor utama implementasi diversi. Dengan demikian, aspek model peradilan pidana dengan paradigma retributif/ pembalasan masih mewarnai dan belum sepenuhnya hilang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Hal lain terkait dengan tataran kebijakan formulasi, sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan Diversi sebagaimana diamanatkan Pasal 15 UU No. 11 Tahun 2012. Padahal peraturan teknis tentang mekanisme Diversi sangat diperlukan oleh setiap institusi yang terlibat. Hal tersebut dimaksudkan pula agar terciptanya persepsi yang sama antar penegak hukum terkait penanganan ABH. Hal ini tentunya akan menimbulkan permasalahan pada tataran aplikatif atau penerapannya. Masing-masing penegak hukum akan memaknai sesuai persepsi serta kebutuhannya. Secara teknis terkait dengan penerapan diversi pada tingkat kepolisian, petugas di lapangan merasa bahwa jangka waktu selama 7 hari untuk menentukan dapat atau tidaknya diversi dilakukan ternyata menimbulkan kendala teknis. Untuk melaksanakan diversi kepolisian perlu mendapat laporan dari pekerja sosial tentang kondisi sosial si pelaku, sementara petugas harus melakukan investigasi di lapangan. Dengan demikian, batas waktu selama 7 hari untuk menentukan pelaksanaan diversi dirasakan tidak mencukupi. Implikasi praktis, bahwa implikasi ide diversi membutuhkan bantuan Peneliti Kemasyarakatan dari Bapas yang handal untuk mencapai tujuan ide diversi. Oleh karena itu peningkatan kualitas SDM serta kelengkapan sarana dan prasarana bagi ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
158 |
Nandang Sambas, et al.
penyelenggaraan penelitian kemasyarakatan memerlukan perhatian khusus. Di lain pihak eksistensi lembaga-lembaga yang ditunjuk untuk menangani ABH sebagai tidak lanjut kesepakatan Diversi perlu dipertanyakan. Dalam tataran teknis operasional yang dapat mendukung keberhasilan diversi adalah dalam hal pelaksanaan hasil diversi yang melibatkan lembaga sebagaimana telah ditetapkan dalam UU No. 11 tahun 2012, yaitu mengikuti pendidikan atau pelatihan pada Lembaga Pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, serta mengikuti Program Pelayanan pada Masyarakat. Terhadap kelembagaan tersebut penting diperhatikan pembenahan baik dari aspek struktur kelembagaan maupun sarana dan prasarana penunjangnya. Begitu juga terkait dengan tindakan penahanan, pihak kepolisian memandang upaya penahanan terhadap pelaku anak masih perlu dilakukan dengan pertimbangan tidak semua orang tua atau pihak lain menjamin bahwa pada saat dilakukan pertemuan, anak akan dengan mudah untuk hadir. Kalaupun dipandang perlu dilakukan penahanan, batas waktu selama 7 hari dirasakan tidak cukup memadai baik wktu untuk mempersiapkan diversi maupun dalam pelaksanaan diversi. Di lain pihak undangundang menetapkan bahwa diversi dapat berlangsung paling lama 30 hari. Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah menyangkut pelaksanaan diversi setelah terjadi kesepakatan. Walaupun undang-undangan menetapkan bahwa semua pihak harus ikut mengawasi namun dalam praktek bagaimana pelaksanaan pengawasannya serta siapa dari lembaga-lembaga terkait yang paling bertanggungjawab untuk melakukan monitoring. Menjadi pertanyaan juga dari para pelaksana dilapangan, khususnya kepolisian seandainya hasil kesepakatan diveresi tidak berjalan dengan baik dimana pihak pelaku atau keluarganya tidak menyelesaikan kewajibannya. Apakah secara langsung pihak kepolisian memproses ke tahap penyidikan formal, sementara telah dikeluarkan surat penetapan pengadilan tentang hasil diversi yang antara lain dijadikan dasar untuk menghentikan penyidikan. Tindak lanjut dari amanat undang-undang untuk melaksanakan diversi, pihak Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan ditetapkannya PERMA RI No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan demikian, bagi lingkungan peradilan setidak-tidaknya terdapat petunjuk teknis tentang pelaksanaan diversi pada tingkat peradilan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung pelaksanaan diversi adalah persoalan mind set (pola pikir) atau budaya hukum aparat maupun masyarakat. Hal ini penting karena perubahan budaya hukum baik dari penegak hukum maupun budaya hukum masyarakat akan sangat besar pengarunya terhadap konsep diversi. Faktor pembalasan atau balas dendam serta pemikiran pembalasan maupun penjeraaan masih membelenggu pola pikir penegak hukum dan masyarakat. Implementasi diversi telah memberikan kewenangan untuk menentukan tindakan diskresi (discretionary power) kepada penegak hukum. Atas dasar itu implementasi diversi membutuhkan penegak hukum yang peka akan kebutuhan dan kepentingan ABH. Dikhawatirkan besarnya kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum, akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan tertentu setta akan meninggalkan esensi kepentingan terbaik bagi anak. Dengan merujuk kepada PERMA RI Noomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanan Diversi, dapat digambarkan bahwa mekanisme diversi pada berbagai tingkatan sebagaimana dibawah ini:
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Pelaksanaan Diversi Berdasarkan Prinsip Keadilan Restroratif dalam Proses Peradilan Pidana Anak.. | 159
Gambar 1. Mekanisme Diversi pada Tahap Penyidikan
Gambar 2. Alpinia melichroa (K.Schum.) K. Schum. A. Perbungaan; B. Buah (Foto : Y. Santika)
Gambar 3. Etlingera rubroloba AD. Poulsen. A. Habitus; B. Perbungaan; C. Bagian bunga (Foto : Y. Santika)
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
160 |
Nandang Sambas, et al.
Gambar 2 Mekanisme Diversi pada Tahap Pengadilan
2.2 Pelaksanaan Diversi pada Wilayah Hukum Penagadilan Negeri Cibinong Pengadilan Negeri Cibinong disingkat PN Cibinong, merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di Kabupaten Bogor. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, PN Cibinong berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan di Wilayah Kabupaten Bogor. Secara detail, kewajiban dan kewenangan Pengadilan Negeri dapat kita lihat dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 85, dan Pasal 86 Undangundang nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menyatakan bahwa: 1. Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. 2. Pengadilan negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besarsaksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. 3. Apabila seseorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. 4. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seseorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. Berdasarkan Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Pelaksanaan Diversi Berdasarkan Prinsip Keadilan Restroratif dalam Proses Peradilan Pidana Anak.. | 161
menunjuk pengadilan negeri lain dari pada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Disini dapat dikatakan bahwa letak pilar hukum adalah pengadilan, pengadilan sebagai benteng keadilan dijalankan oleh para hakim. Untuk itu hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Meskipun kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka, tetapi tidak menutup kerja sama atau koordinasi antar pengadilan. Dinyatakan, untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta. Pengadilan Negeri Cibinong dipilih sebagai salah satu sampel dalam pelaksanaan peradilan anak, karena dinilai menjadi Pengadilan Negeri yang paling baik dalam penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak dan kelengkapan sarana dan prasarana dalam Persidangan Pidana Anak.
Sebagaimana disampaikan pada uraian terdahulu, bahwa walaupun UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) disahkan pada tahun 2012, namun baru efektif berlaku sejak Agustus tahun 2014, tepatnya dua tahun setelah Undang-Undang tersebut diundangkan. Oleh karena itu dalam penanganaan anak baik pada tingkat penyidikan, kejaksaan maupun pengadilan penanganan perkara anak melalui pendekatan Diversi belum secara formal digunakan. Oleh karena itu pulapenyelesaian perkara-perkara tindak pidana anak sampai dengan tahun 2014 tidak/belum sepenuhnya diselesaikan sesuai mekanisme diversi sebagaimana ditegaskan dalam UU No 11 Tahun 2012. Namun demikian, secara materiil penanganan perkara anak sudah diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Artinya penyidik dalam menangani perkara anak yang bukan pelangagaran hukum serius ditangani dan diselesakan diluar proses peradilan. Terutama tindak kenakalan anak yang secara formal sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui diversi adalah tindak pidana yang dilakukan anak tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Berdasarkan data yang kami peroleh di PN Cibinong sejak tahun 2012 sampai dengan triwulan pertama 2015, perkara yang masuk dan ditangani PN Cibinong adalah sebagai berikut: No.
Tahun
Jumlah Perkara Anak
Jumlah Diversi
1
2012
47 perkara
Belum berlaku UU No. 11/2012
2
2013
34 perkara
Belum berlaku UU No. 11/2012
3
2014
38 perkara
1 perkara
4
s/d April 2015
8 perkara
2 perkara
Sumber Data : Panitra Pidana PN Cibinong
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
162 |
Nandang Sambas, et al.
Berdasarkan data yang diperoleh dari PN Cibinong, penanganan perkara anak sebelum diterapkanya UU SPPA sampai dengan tahun 2014 ditangani melalui sistem peradilan pidana formal dan selalu diakhiri dengan penjatuhan sanksi pidana badan. Tahun 2012 dari 47 perkara anak yang ditangani PN Cibinong hanya 4 orang dijatuhi pidana percobaan dan selebihnya yakni 43 orang dipidana antara 1 bulan hingga 3 tahun. Tahun 2013 dari 34 perkara 2 orang dijatuhi pidana percobaan, 4 dikembalikan kepada orang tua, 3 diserahkan ke panti sosial dan sebanyak 25 orang dijatuhi pidana badan antara 1 bulan hingga 2 tahun. Tahun 2014 terdap 46 perkara yang ditangani PN Cibinong, keseluruhan dijatuhi sanksi pidana badan antara 1 bulan samapai 6 tahun. Hanya terdapat 1 perkara yang ditangani melalui diversi dan diajukan ke pengadilan untuk dimintakan penetapan. Pada tahun 2015, sampai dengan bulan April terdapat 8 perkara anak yang ditangani PN Cibinong, dari 8 perkara tersebut 2 perkara ditangani melalui Diversi dan ditetapkan oleh hakim. Sejak bulan Agustus 2014 sampai dengan bulan April 2015 perkara pidana anak yang diselesaikan melalui mekanisme diversi berjumlah 3 (tiga) perkara. Ketiga diversi tersebut terlaksana pada tahap penyidikan atau di kepolisian, sehingga setelah tercapainya kesepakatan diversi pada pemeriksaan kepolisian, maka Kapolres Cibinong memintakan penetapan diversi ke PN Cibinong. Berdasarkan fakta tersebut terlihat bahwa penanganan perkara di PN Cibinong terdapat pergeseran pandangan dari penegak hukum yang menangani masalah anak yaitu diterapkannya model diversi. Walaupun dilihat secara kuantitatif jumlahnya sangat minim bila dibandingkan dengan jumlah perkara yang masuk. Hal tersebut terjadi karena berbagai kendala, baik kendala yurudis, maupun non yuridis. Kendala yuridis terkait dengan persoalan substansi hukum dimana keberadaan UU SPPA belum ditunjang dengan peraturan pelaksanaanya. Selain itu terdapat kendala-kendala teknis yuridis yang dirasakan berpengaruh kepada pelakasanaan diversi, yakni persoalan waktu yang diberikan baik lamanya dalam menetapkan model yang akan diterapkan dengan proses serta prosedur yang harus ditempuh oleh lembaga lain yang erat hubungannya dengan pelaksanaan diversi oleh kepolisian. Persoalan yang sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanan diversi, adalah kuatnya pola pikir masyaraakat yang selalu pandangan bahwa setiap ppeprsoalan yang menyangkut pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui prosedur hukum formal. Dalam arti karena diversi harus ada kesepakatan anatara korban beserta keluarga sera pelaku dan keluarga, maka pihak korban enggan bahkan pada umumnya menolak untuk dilakukan diversi dalam menyelesaikan perkara. Akibatnya penegak hukum sendiri sangat susah untuk mendorong dan memaksakan pelaksanaan diversi. Dengan demikian, perkara yang telah dilaporkan ditangani melalui prosedur peradilan secara formal. Namun demikian, proses penangan perkara anai di PN Cibinong menyangkut perkara anak ditangani dengan pendekatan restorative. Artinya prosedur serta tahapan-tahapannya ditempuh melalui pendekatan kekeluargaan berbeda dengan penanganan perkara pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat pula dari sarana prasarana yang telah disiapkan, seperti ruangan-ruangan yang ada dari mulai ruang mediasi, ruang tunggu sampai ruang peradilan yang secara khusus diperuntukan bagi penanganan perkara anak. Mengkritisi putusan yang dijatuhkan hakim terhadap anak sebagaimana tergambar pada table di atas, pola pikir retributive nampaknya masih kuat pada pikiran hakim. Hal tersebut Nampak dari masih banyaknya sanksi pidana perampasan badan diatas 1 tahun hingga 9 tahun sangat dominan. Dari 46 perkara yang ditangani yang
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Pelaksanaan Diversi Berdasarkan Prinsip Keadilan Restroratif dalam Proses Peradilan Pidana Anak.. | 163
dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan diatas 1 tahun sebanyak 33 perkara. Begitu juga penanganan perkara anak pada tahun 2015, dimana sampai dengan bulan April 2015 terdapat 8 perkara anak, dan yang ditangani melalui diversi sebanyak 2 peprkara. Sedangkan 6 perkara ditangani melalui peradilan pidana dan dijatuhi ssanksi pidana perampasan kemerdekaan antara 2 tahun samapai 6 tahun penjara. Melihat kondisi pembinaan pada Lembaga Pemasyarakatan (anak) saat ini apakah hal itu akan mampu memperbaiki perilaku dan masa depan anak atau justru sebaliknya ? Kondisi demikian tidak akan jauh berbeda dengan penanganan anak di Pengadilan lainnya. Hal itu terbukti dari data dirjen kehakiman kementrian hukum dan HAM, bahwa sampai dengan bulan Agustus tahun 2015 jumlah napi anak penghuni LP di Jawa Barat sebanyak 204 orang. Secara rinci dapat dilihat dari tabel terlampir. 3.
Kesimpulan dan Saran
3.1 Simpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Mekanisme diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sejalan dengan pendekatan restorative justice yang bertujuan menghindarkan anak dari penanganan perkara melalui system peradilan formal. Dengan tujuan agar anak terhindar dari perlakuan yang dapat membahayakan masa depan serta stigma buruk dalam masyarakat. Diversi dapat dilakukan pada setiap tahapan dari mulai ingkat penyidikan sampai lembaga pemasyarakatan. Namun dalam praktik masih menghandapi kendala baik kendala yuridis maupun budaya masyarakat. 2. Praktik diversi di wilayah hokum PN Cibinong sudah mulai diterapkan oleh kepolisian, hal itu nampak dari adanya 3 perkara hasil kesepakatan diversi yang diajukan untuk minta ditetapkan oleh KaPN. Namun demikian, hal itu dapat dikatakan belum berhasil mengungat masih banyak perkara anak yang ditangani melalui peradilan formal dan diakhiri dengan penjatuhan sanksi pidana perampasan badan yang cukup tinggi antara 1 sampai 9 tahun. 3.2 Saran 1. Perlu dilakukan kajian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terutama terkait dengan batas waktu pentahapan proses diversi terutama masa penahanan, masa koordinasi serta masa pencarian laporan hasil kajiaan social kemasyarakatan,juga perlu dibuatkan peraturan pemerintah serta peraturan pelaksanaan lainya. 2. Perlu terus dilakukan sosialisai baik kepada masyarakat umum maupun kepada pengak hukum, bahwa tujuan peradilan anak bukan semata-mata menjatuhkan sanksi pidana, melainkan melakukan pembinaan dan didasakan kepada memberikan yang terbaik bagi masaa depan anak. Hal itu sangat berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa. 3. Perlu segera dipersiapkan sarana prasarana sebagai penunjang proses penangan anak baik tempat, ruangan serta fasilitas lainya baik di tingkat kepolisisan, kejaksaan maupun pengadilan, sebagai upaya mendukung penangan anak yang lebih baik. Termasuk tempat-tempat pembinaan anak sebagaimana diamanatkan UU SPPA.
ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 | Vol5, No.1, Th, 2015
164 |
Nandang Sambas, et al.
Daftar Pustaka Buku: Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Semarang : Pustaka Magister Undip2011. Eva Achjani Zulfa,Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009. J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, Rineka Cipta, 2003. Kartini Kartono, Pengantar Metedologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju, 1990. Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema “Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012. Mahrus Ali, syahrul M Hidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System and Out System, Jakarta, Gratama Publishing, 2011. Marlina, “Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Pres, 1984. Qurais Shihab, Tafsir Almisbah: pesan , Kesan.dan Kreasi Alquran. Vol I cet. Kedua. Perundang-undangan: Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sumber lain: KPAI, “Konsep Keadilan Restoratif Perlindungan Anak”, http://www.kpai.go.id/artikel/konsep-keadilan-restoratif-perlindungan-anak/, diakses 05 / 06 / 2015 pukul 13.55. Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006),1 Albert Aries, ” Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan Restoratif”,http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt519065e9ed0a9/penyelesai an-perkara-pencurian-ringan-dan-keadilan-restoratif.diakses 01/06/2015 pukul 23.11. Hukumonline.com, “ MA berharap PP Diversi Segera Terbit Agar Bisa Mengikat Aparat Penegak Hukum Lain”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540036e7e328c/ma-berharap-ppdiversi-segera-terbit, [diakses 21/11/2014]. DS. Dewi, “Restorative Justice, Diversionary Schemes and Special Children’s Courts in Indonesia”. ejournal.unsrat.ac.id. diakses 21/02/2015 pukul 20.39. Erdian, “Penerapan Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”,http://jabar.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/artikel/965-penerapandiversi-dan-restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-pidana-anak diakses pada 05/06/2013 pukul 13.47. Eva Achjani Zulfa, “Mendefenisikan Keadilan Restoratif”, http://evacentre.blogspot.com/ 2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html. diakses pada 19/03/2015 pukul. 17.44.
Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora