1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, serta lautan seluas 5,8 juta km2 yang merupakan 70% dari seluruh wilayahnya. Sejak dulu, kekayaan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya ikan, telah menjadi sumber makanan serta protein hewani utama bagi rakyat Indonesia. Sekitar 5 juta orang menggantungkan kehidupan ekonomi keluarganya dengan bekerja sebagai nelayan. Di daerah pesisir, selain sebagai nelayan, banyak penduduk yang bekerja sebagai pembudidaya ikan. Demikian juga ada yang bekerja sebagai pengolah dan pemasar ikan dan produk perikanan. Terutama di pulau-pulau kecil, pekerjaan pada bidang perikanan cenderung sebagai satusatunya alternatif. Bila ukuran keluarga rata-rata 4 orang maka diperkirakan sedikitnya 20 juta penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada perikanan DKP (2003). Namun pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak terbatas pada perikanan (Dahuri 2003). Kegiatan lain yang mengandalkan sumberdaya kelautan adalah pertambangan, industri jasa transportasi, perhubungan, komunikasi, pariwisata, dan perdagangan. Akan tetapi tidak seperti sektor perikanan yang termasuk di dalamnya kegiatan penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan, sektor-sektor selain perikanan ini tidak begitu banyak melibatkan penduduk Indonesia, terutama yang ada di pesisir dan kepulauan. Di pulau-pulau kecil di perbatasan negara, perikanan pada umumnya adalah satu-satunya mata pencaharian. Karena itu pula maka biasanya usaha perikanan, utamanya
2
penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Hanya sejak dasawarsa terakhir, sumberdaya kelautan dan perikanan mulai diperhatikan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, serta swasta sebagai salah satu sumberdaya ekonomi. Hal ini mulai terjadi setelah sumberdaya alam lainnya sudah berkurang karena eksploitasi dan kerusakan lingkungan. Secara nasional memang kontribusi sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai satu sektor ekonomi tidak dilaporkan secara eksplisit. Untuk bidang perikanan sendiri yang difokuskan hanya pada kegiatan produksi primer, sumbangannya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar 2%. Pangsa sumbangan bidang perikanan primer ini memang tidak beranjak selama 25 tahun terakhir, meskipun secara absolut nilainya meningkat. Bila dipertimbangkan dengan kegiatan industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan maka sumbangan ini semakin besar. Dahuri (2003) mengemukakan bahwa sumbangan sektor kelautan dan perikanan secara keseluruhan mencakup bidang perikanan dan bidang-bidang lain yaitu sekitar 20,06% PDB pada tahun 1998. Sedangkan khusus sub sektor perikanan pada tahun 2004 menyumbang 15,0% terhadap PDB sektor pertanian berdasarkan ha rga konstan tahun 2000 (BPS 2006). Dengan adanya perubahan dan
perkembangan
pembangunan
ekonomi
di
berbagai
daerah
yang
menitikberatkan pada bidang perikanan, maka mungkin saja presentasi sumbangan ini sudah makin besar. Di China dan Korea, sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB masing- masing negara yaitu 48,4% dan 54,0%. Membandingkan Korea dan China di satu sisi dan Indonesia di sisi lain,
3
maka bisa dikemukakan bahwa potensi sumberdaya alam kelautan dan perikanan Indonesia yang lebih besar belum sebanding dengan kontribusi yang disumbangkannya. Dengan kata lain, sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia dan telah diberikan Tuhan ini belum dimanfaatkan dengan baik bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara. Di beberapa daerah, utamanya provinsi dan kabupaten dengan basis kepulauan, sektor kelautan dan perikanan memang memberikan sumbangan pembangunan yang lebih besar dibandingkan secara nasional. Namun demikian, aktivitas ekonomi di daerah masih juga terbatas pada industri perikanan primer yaitu penangkapan ikan. Industri pengolahan dan pemasaran belum banyak dikembangkan,
apalagi
bidang
pembangunan
kelautan
lainnya.
Sejak
diberlakukannya rezim otonomi daerah (desentralisasi), beberapa pemerintah daerah provinsi dan kabupaten telah memproklamirkan daerahnya sebagai provinsi atau kabupaten kepulauan atau maritim. Itu berarti di daerah-daerah tersebut,
pembangunan
kelautan
dan
perikanan khususnya
pemanfaatan
sumberdaya alam hayati perairan menjadi tumpuan pembangunan ekonomi. Secara ekonomi makro, pembangunan kelautan dan perikanan selain memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional juga menyediakan dan menyerap lapangan kerja, menyumbangkan devisa, serta memicu dan mendorong pembangunan pulau-pulau terpencil. Secara politik, pembangunan kelautan dan perikanan merupakan wujud dari pembangunan negara Indonesia dalam bingkai negara kesatuan. Tujuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah (1) menjadi salah satu mesin pertumbuhan yang mendorong dan menarik pertumbuhan sektor
4
lain, (2) menyediakan ikan sebagai sumber pangan sehat bagi penduduk melalui peningkatan konsumsi ikan per kapita, (3) menyediakan lapangan kerja dan sebagai pendapatan penduduk dalam rangka pengentasan kemiskinan, (4) meraih lebih banyak devisa melalui peningkatan ekspor dan pengendalian impor, serta (5) mewujudkan laut sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam hal kelautan dan perikanan sebagai sektor basis yang menarik dan mendorong sektor lain, hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui pembangunan industri hulu dan hilir. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan memiliki dampak ekonomi bagi sektor lain. Berdasarkan tabel Input-Output tahun 2000, dari 172 sektor KLUI (Kelompok Lapangan Usaha Indonesia), paling sedikit terdapat 57 dan 30 KLUI yang masing- masing dapat digolongkan ke dalam sektor perikanan dan kelautan (Nikijuluw 2005). Dengan demikian pilihan pemerintah untuk membangun sektor kelautan dan perikanan sama artinya dengan menggerakkan sektor lain yang saling memiliki keterkaitan. Dengan sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang dimiliki dan dikelola oleh hampir seluruh provinsi serta lebih dari 400 kabupaten/kota maka membangun sektor kelautan dan perikanan bisa dipandang sebagai upaya membangun perekonomian daerah. Sebagai sumber pangan, konsumsi ikan nasional adalah sekitar 20 kg per kapita, meskipun beberapa daerah sudah mencapai lebih dari 40 kg per kapita. Target konsumsi ikan rata-rata nasional adalah 32,3 kg. Dalam hal penyediaan lapangan kerja, sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat menampung sekitar 21 juta jiwa penduduk pesisir pada saat ini. Ekspor bersih hasil perikanan diharapkan terus meningkat dari posisi $1,9 milyar pada tahun 2005 menjadi $4,0 milyar pada tahun 2009 (DKP 2006).
5
Tujuan dan target ini memang hanya bisa dicapai melalui pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, diikuti dengan pengembangan industri terkait khususnya industri pengolahan dan pemasaran yang merubah bahan mentah menjadi bahan jadi, siap konsumsi. Tujuan dan target ini juga akan dicapai bila adanya sumberdaya manusia yang ahli dan terampil, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan sistem manajemen pengelolaan, serta yang terutama yaitu adanya iklim investasi yang memfasilitasi swasta nasional dan asing untuk berusaha dengan sebaik-baiknya. Membangun sektor kelautan dan perikanan adalah pilihan di antara sektorsektor ekonomi lainnya. Sumberdaya alam Indonesia yang bervariasi yang terdiri dari laut dan daratan membuka peluang berusaha dan berbisnis di berbagai bidang ekonomi. Sejak zaman penjajahan, pembangunan perkebunan menjadi perhatian utama, ditandai dengan dibangunnya perkebunan negara. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, pembangunan pertanian tanaman pangan dalam rangka menyediakan pangan bagi penduduk menjadi tumpuan. Pada zaman Orde Baru pula, sumberdaya hutan, minyak, dan tambang dieksploitasi untuk dijual sebagai sumber devisa negara. Proses pembangunan yang terjadi ini di satu sisi mengakibatkan sumberdaya alam mengalami deplesi dan kerusakan. Di sisi lain, hal ini mengakibatkan sumberdaya kelautan tidak diperhatikan, dan yang tinggal saat ini yaitu sumberdaya alam di daratan yang sudah makin menipis, sementara di laut masih terlambat atau belum dimanfaatkan dan dieksploitasi. Karena itu, membangun sektor kelautan dan perikanan pada saat ini adalah momentum yang sangat baik untuk menggerakkan pembangunan ekonomi.
6
Selain pertimbangan sumberdaya dan alasan-alasan internal, permintaan dunia akan ikan juga merupakan alasan kuat yang menarik pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. Sumberdaya ikan dunia yang cenderung deplesi di satu sisi, sementara di sisi lain permintaan ikan yang meningkat membuat kelangkaan akan ikan terjadi. Kelangkaan ini membuat industri perikanan dunia mencari daerah baru, negara baru, dan peluang baru untuk berinvestasi dalam rangka memenuhi kebutuhan jurang kelangkaan yang cenderung melebar. Karena Indonesia merupakan salah satu sumber ikan dunia, disebut dengan serengetis sumberdaya ikan dunia, maka menggerakkan pembangunan kelautan dan perikanan untuk tujuan pemenuhan pasar internasional ini adalah salah satu alternatif pembangunan (Nikijuluw 2005). Berikut ini adalah justifikasi pembangunan kelautan dan perikanan pada spektrum nasional maupun daerah: 1. Ketersediaan sumberdaya alam, baik sumberdaya hayati maupun non-hayati, baik yang dapat maupun yang tidak dapat diperbaharui. 2. Banyak sektor pembangunan ekonomi yang dapat digolongkan sebagai sektor kelautan dan perikanan, berdasarkan jenis usaha ekonomi masyarakat. 3. Keterkaitan antara sektor kelautan dan perikanan dengan sektor-sektor lainnya yang erat atau tinggi yang berarti membangun sektor kelautan dan perikanan akan memiliki dampak pada sektor lain. 4. Adanya kontribusi PDB perikanan yang cukup signifikan secara nasional maupun daerah (provinsi, kabupaten, kota). 5. Adanya permintaan ikan secara nasional dan internasional yang tinggi yang merupakan daya tarik untuk membangun industri perikanan.
7
1.2 Perumusan Masalah Meskipun sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia dan boleh dikatakan masih dalam tahap (tingkat) pemanfaatan yang belum optimal, ternyata kendala sumberdaya manusia menghalangi optimalisasi pembangunan sektor ini. Sumberdaya manusia memang adalah faktor penting dalam pembangunan. Aliran Cobb-Douglasian menempatkan sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting, di samping modal atau kapital (Cobb dan Douglas 1928). Optimasi suatu sistem produksi, baik pada tingkat industri maupun perusahaan, dicapai melalui pengelolaan atau manajemen sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga efisiensi bisa dicapai. Meskipun pada akhirnya aliran Cobb-Douglasian yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi ini dikritisi, namun kenyataannya optimasi produksi melalui pengaturan (manajemen) sumberdaya manusia tetap berlangsung. Aliran yang mengkritisi CobbDouglasian menilai manusia lebih tinggi dari sekedar faktor produksi. Manusia adalah objek bukan subjek pembangunan, bukan objek ekonomi tetapi subjek ekonomi. Karena pentingnya sumberdaya manusia, baik sebagai objek dan subjek pembangunan, maka otomatis keberadaannya menentukan kinerja pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Sumberdaya manusia yang rendah kualitasnya tentu saja mempengaruhi secara negatif kinerja pembangunan. Sebaliknya sumberdaya manusia yang tinggi kualitasnya, bila juga ditunjang kuantitas, akan secara positif menentukan kinerja pembangunan. Gejala menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pada sektor perikanan terjadi secara global. Nikijuluw (2005), misalnya, memberi
8
contoh tentang turunnya jumlah orang muda yang kuat dan berprestasi yang menjadi nelayan di Jepang dan Korea. Karena bisnis menangkap ikan dinilai sebagai bisnis yang memiliki sifat dangerous, dirty, dan desperate maka orang muda berhenti menjadi nelayan atau tidak mau masuk bekerja pada usaha ini. Disebut dangerous karena memang menangkap ikan penuh bahaya yang mengancam keselamatan. Disebut dirty karena usaha ini memang bernuansa dekil, bau amis, diterjang sinar matahari, dan tidak seperti pekerjaan di kantor. Disebut desparate karena menjalankan bisnis ini mengandung makna nekat dan aneh karena hanya mereka yang demikianlah yang mau tinggal berhari- hari di laut. Akibatnya, generasi muda Korea dan Jepang banyak yang tidak mau menjadi nelayan, sehingga yang bekerja di sektor perikanan adalah nelayan usia tua. Karena alasan kurang sumberdaya manusia usia muda maka Korea dan Jepang merekrut nelayan dari negara lain, utamanya Indonesia, Vietnam, Myanmar, dan Filipina, untuk mengoperasikan kapal-kapal perikanan laut dalam (deep-sea fishing). Di tingkat nasional, minat generasi muda untuk bekerja pada usaha perikanan cenderung semakin berkurang, paling tidak dinilai dari kurangnya minat pemuda yang masuk sekolah kedinasan (kejuruan) perikanan. Bila dilihat dari alumni sekolah kejuruan perikanan, hanya sedikit yang ingin benar turun ke laut sebagai nelayan. Menurut Satria (2002) urbanisasi serta tersedia peluang kerja dan usaha di sektor lain adalah alasan kaum muda menurun minatnya pada pekerjaan sebagai nelayan. Disamping kecenderungan jumlah ge nerasi muda yang berkurang pada usaha perikanan, masalah lain yang dihadapi oleh industri perikanan Indonesia
9
adalah kualitas sumberdaya manusia yang rendah, setidaknya dilihat dari tingkat pendidikan formal yang dijalani. Hanya tiga dari 10.000 orang nela yan yang pernah duduk di perguruan tinggi. Sementara, 79,50% nelayan tidak tamat Sekolah Dasar (SD), sekitar 17,39% tamat SD, 1,90% tamat Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) dan 1,36% tamat Sekolah Lanjutan Atas atau SLTA (DELP 2000 dan DKP 2004). Dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia nelayan seperti ini, disertai dengan kecenderungan nelayan usia tua yang tinggal di dalam usaha perikanan, maka adalah salah satu upaya yang tidak ringan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dan pada akhirnya kinerja sektor perikanan Dalam skala lokal dan spektrum yang kecil, dampak kehadiran nelayan terhadap produksi perikanan sangat variatif (Simbolon 2002). Misalnya, dalam penelitian tentang pengembangan perikanan pole and line di perairan Sorong menyimpulkan bahwa jumlah nelayan di suatu unit kapal tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan. Hasil tangkapan lebih ditentukan oleh ketersediaan umpan hidup dan musim penangkapan. Namun untuk kasus yang lain, hasil empiris menunjuk kan bahwa nelayan sangat mempengaruhi kinerja usaha perikanan dan mempengaruhi pembangunan pesisir pada spektrum yang lebih luas. Hasil penelitian empiris tersebut adalah sebagai berikut. Mangga Barani (2005) dalam penelitian tentang perikanan di wilayah padat tangkap Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kehadiran nelayan dalam suatu unit penangkapan sangat mempengaruhi kinerja ekonomi usaha. Hasil yang sama juga diperoleh Bintoro (2005) pada saat melakukan penelitian tentang perikanan ikan tembang di Selat Madura.
10
Sementara itu, untuk pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan dan terpadu, Lewaherilla (2006) menyimpulkan bahwa tersedianya sumberdaya manusia yang berkualitas adalah penentu utama kesenjangan implementasi kebijakan di lapangan. Akibat sumberdaya manusia yang tidak berkualitas, kebijakan pemerintah pusat dalam hal pembangunan pesisir diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda di tingkat daerah. Berdasarkan hasil penelitian empiris yang dirujuk ini, dapat dikatakan bahwa kehadiran nelayan masih memiliki arti penting dalam menentukan kinerja produksi perikanan. Pada spektrum lebih luas tentu saja kehadiran nelayan ikut mempengaruhi atau menentukan pembangunan perikanan serta pembangunan pesisir di suatu daerah. Dengan adanya kecenderungan turunnya kualitas nelayan, berkurangnya kuantitas nelayan usia muda, sementara di sisi lain, hasil penelitian empiris yang menunjukkan bahwa kehadiran nelayan masih sangat diperlukan maka hal tersebut merupakan suatu persoalan yang perlu dijawab. Bila trend penurunan jumlah nelayan usia muda terus berlanjut, padahal kehadiran mereka sangat diperlukan, maka hal tersebut akan sangat menentukan pembangunan kelautan dan perikanan di masa datang. Bukan tidak mungkin bahwa situasi ini akan membuat sumberdaya kelautan dan perikanan bukan dimanfaatkan oleh rakyat dan Bangsa Indonesia tetapi sebaliknya oleh negara asing melalui infiltrasi secara tidak legal. Dari sisi konstelasi politik, itu berarti bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan akan terganggu. Merupakan suatu hasil simplifikasi jika dikatakan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan pesisir semata- mata tergantung pada ketersediaan
11
sumberdaya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas. Karakter atau sifat intrinsik sumberdaya manusia tentu saja memiliki peranan yang besar dalam pembangunan. Secara komunal, sifat tersebut diwujudkan bersama dalam interaksi antar sesama manusia yang bisa dinilai sebagai cara pandang kolektif terhadap sumberdaya laut. Memang harus diakui bahwa kesadaran bangsa Indonesia terhadap sumberdaya laut masih sangat rendah. Bahkan, pemahaman dan pengetahuan bahwa Indonesia adalah suatu negara kepulauan juga masih sangat rendah. Umpamanya, Bachtiar (2002) mengatakan bahwa nama “Indonesia” sendiri pun bukan diberi oleh orang Indonesia, tetapi seorang Eropa yang bernama James Richardson. Mengikuti nama- nama yang diberikan pada rumpun-rumpun pulau di Lautan Pasifik, seperti Polynesia (banyak pulau), Mikronesia (pulau-pulau kecil), dan Melanesia (pulau-pulau hitam), ia pun mengusulkan nama kepulauan Indonesia. Sebagai Indonesia, yaitu kepulauan yang berada di antara Asia dan Australia serta Lautan Hindia dan Lautan Pasifik maka sepantasnya oritentasi kehidupan manusianya bertumpu ke laut. Akan tetapi, meskipun sejarah kerajaankerajaan tua di Indonesia menunjukkan keperkasaan mereka di laut (Ricklefs 2005), dalam kenyataannya keperkasaan dan kejayaan itu tidak dapat bertahan dan relatif mati pada masa setelah Indonesia merdeka. Atje et al. (2002) misalnya, menguraikan tentang kebijakan pembangunan masa setelah kemerdekaan yang bertumpu pada dua sumberdaya alam utama yaitu hutan dan minyak dan gas (migas). Sumberdaya kelautan yang merupakan porsi terbesar negara ini, boleh dikatakan sama sekali diabaikan selama kurun waktu 50 tahun kemerdekaan.
12
Tetapi desentralisasi pembangunan di era otonomi daerah saat ini memungkinkan beberapa daerah (provinsi dan kabupaten/kota) melihat laut sebagai sumberdaya yang menjanjikan bagi ekonomi daerahnya. Tujuh dari 33 propinsi saat ini telah mendeklerasikan daerahnya sebagai provinsi kepulauan yang mengandalkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai basis pembangunan ekonomi. Sementara itu, lebih dari 200 kabupaten-kota di Indonesia yang secara geografis memang berada di pesisir. Tampaknya dengan trend seperti ini, dimana sumberdaya hutan dan minyak yang sudah makin berkurang (Atje et al. 2002) maka ke depan pembangunan kelautan dan perikanan akan lebih diperhatikan oleh bangsa ini. Bila ada kebijakan makro yang mendorong terbangun perspektif positif masyarakat terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan maka ke depan generasi muda bisa beralih memandang ke laut sebagai sumber kehidupan ekonomi mereka. Bila saja nilai- nilai kebaharian serta cinta laut yang ada pada suku-suku di Indonesia (Pramono 2005) kembali digali dan diremajakan maka sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu luas dan besar ini dimanfaatkan dengan bijaksana bagi kemakmuran. Atas dasar adanya persoalan yang diuraikan ini maka penelitian ini dilakukan. Tentu saja suatu penelitian yang mencakup keseluruhan daerah (secara nasional) membutuhkan upaya yang sangat besar. Karena itu penelitian ini dilakukan pada kawasan dimana pembangunan kelautan dan perikanan memiliki arti penting serta sumberdaya alam ya ng tersedia dapat menjamin pengembangan di masa yang akan datang.
13
Penelitian ini mengambil daerah pesisir Kabupaten Sukabumi sebagai daerah contoh atau kasus. Berdasarkan hasil penelitian empiris dari Kabupaten Sukabumi ini dilakukan proses induksi untuk menarik kesimpulan dan merumuskan implikasi kebijakan secara nasional.
Alasan-alasan pengambilan
Kabupaten Sukabumi sebagai contoh adalah sebagai berikut : 1. Sukabumi merupakan kabupaten pesisir yang memiliki potensi sumberdaya alam yang relatif tinggi karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sebagai salah satu dari sembilan daerah penangkapan ikan Indonesia. Selain Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan lainnya yang dimiliki Sukabumi namun umumnya dimanfaatkan oleh perikanan rakyat (skala kecil) adalah Teluk Pelabuhan Ratu. 2. Sukabumi memiliki sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang cukup lengkap, yaitu sumberdaya ikan laut untuk tujuan penangkapan dan sumberdaya budidaya laut. Benih ikan dan udang dihasilkan pula di daerah ini. Sampai tahun 2000, beberapa panti benih udang (hatchery) berlokasi di Sukabumi. Panti benih tutup sejalan dengan gugurnya industri budidaya udang windu. Di Kecamatan Cisolok masih beroperasi industri budidaya dan pembesaran sidat secara terpadu. 3. Sukabumi juga merupakan daerah yang banyak memiliki industri pengolahan, khususnya olahan tradisional. Produk pindang dan abon ikan adalah produk yang umum dihasilkan oleh pengusaha kecil Sukabumi. Dari Sukabumi, produk olahan ini dipasarkan ke daerah Jawa Barat lainnya, Jakarta serta kota-kota besar lainnya.
Produk perikanan bernilai tambah
14
tinggi dihasilkan oleh beberapa perusahaan yang terletak di Sukabumi. Produk tersebut umumnya diekspor ke Korea Selatan. 4. Selain kegiatan sumberdaya perikanan yang menjadi basis industri perikanan,
Sukabumi juga merupakan kawasan wisata bahari.
Pantai,
gelombang, dan berbagai olahraga bahari adalah kegiatan yang menarik wisatawan.
Dengan adanya industri pariwisata, penduduk khususnya
pemuda dapat ikut serta langsung atau tidak langsung dalam industri ini. 5. Sukabumi adalah lokasi bagi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu dan Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok. PPN Pelabuhan Ratu merupakan salah satu sentra produksi perikanan yang tersebar di pantai selatan Jawa yang juga dijadikan pangkalan bagi nelayan yang berasal dari Sibolga-Sumatera Utara, Cilacap-Jawa Tengah, Muara Baru-Jakarta, hingga Banyuwangi-Jawa Timur. 6. Dari sisi keikutsertaan pemuda dalam organisasi resmi kepemudaan, Sukabumi termasuk unik dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa Barat, yaitu relatif sedikitnya pemuda yang menjadi anggota organisasi kepemudaan yang dimaksud. Apakah ini berarti bahwa mereka juga tidak ikut berperan dalam bekerja memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut yang di sekitarnya untuk kebutuhan individu dan keluarga mereka, hal ini merupakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya.
Secara spesifik, dan dengan menggunakan istilah pemuda untuk menggantikan usia muda, persoalan yang dirumuskan di atas dirinci dengan beberapa pertanyaan berikut:
15
1. Adakah pemuda berperan dalam pembangunan kelautan dan perikanan saat ini? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan peranan atau ketiadaan peranan tersebut? 3. Mungkinkah faktor- faktor tersebut digunakan sebagai peubah kebijakan dalam rangka meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan? 4. Bila mungkin, apa bentuk kebijakan yang perlu dirumuskan dan diimplementasikan sehingga pemuda akan semakin berperan?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya suatu rumusan kebijakan yang melaluinya peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia dapat digunakan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. 2. Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembanguna n sektor kelautan dan perikanan. 3. Menentukan peubah kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan. 4. Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
16
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam upaya pemberdayaan pemuda dan pembangunan daerah melalui peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan, baik oleh pemerintah daerah, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun oleh Kement erian Pemuda dan Ola hraga sebagai acuan dasar yang dapat diterapkan pada daerah lain di Indonesia. 2. Di bidang ilmu kebijakan publik, sebagai salah satu masukan ilmiah dan bahan rujukan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang ini.
1.5 Ruang Lingkup Pe nelitian Penelitian peran pemuda dalam pembangunan adalah suatu tema yang cukup luas dimensinya. Agar kegiatan penelitian dapat dilakukan dengan baik dan dalam rangka mencapai tujuan pene litian seperti dikemukakan sebelumnya maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa aspek berikut ini. 1. Pemuda dalam penelitian ini diartikan sebagai mereka berkelamin laki- laki atau perempuan, berusia 18-35 tahun, merupakan penduduk di daerah penelitian, serta bekerja dalam bidang kelautan dan perikanan 2. Peran pemuda dalam penelitian ini diartikan sebagai keikutsertaan seorang pemuda dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai salah satu atau satu-satunya mata pencaharian. Peran tersebut terwujud bukan karena ada proyek pembangunan pemerintah yang mensyaratkan keikutsertaan pemuda. Peran yang dimaksudkan di sini lebih difokuskan
17
pada keputusan pemuda secara independen untuk menekuni usaha pada bidang kelautan dan perikanan sebagai mata pencaharian. Dengan demikian peran pemuda yang dimaksudkan berbeda dengan partisipasi pemuda dalam proyek atau program pemerintah. 3. Sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini sumberdaya hayati perairan. Dengan demikian fokus penelitian ini adalah usaha ekonomi yang dijalankan pemuda dalam memanfaatkan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya kelautan lainnya berupa tambang, mineral, minyak, dan gas, termasuk kegiatan jasa perhubungan laut, tidak diikutkan dalam penelitian ini. Karena itu pula maka definisi sektor atau bidang kelautan dan perikanan dalam penelitian ini adalah usaha ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan serta usaha penyediaan barang dan jasa bagi pelaksanaan usaha kelautan dan perikanan. 4. Lingkup kawasan penelitian adalah kawasan pesisir Teluk Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan lingkup kawasan penelitian ini dilakukan proses deduksi dalam rangka perumusan implikasi peran pemuda pada spektrum kawasan yang lebih luas.
1.6 Kerangka Pikir Penelitian Penelitian yang dilakukan ini menganalisis peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Kegiatan penelitian beranjak dari kondisi sekarang di lokasi penelitian yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu: 1. Peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan masih rendah.
18
2. Masih tersedia nya sumberdaya kelautan dan perikanan yang digunakan untuk pengembangan selanjutnya sebagai mata pencaharian masyarakat serta sumber pendapatan keluarga dan daerah. 3. Peluang berusaha dan bekerja pada sektor kelautan dan perikanan relatif rendah. Dengan adanya kondisi seperti ini dan apabila hal tersebut berlanjut maka beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi adalah: 1. Insidensi kemiskinan yang dapat menyebar di kalangan masyarakat secara umum, khususnya di kalangan generasi muda. 2. Sumberdaya
kelautan
dan
perikanan
yang
tersedia
akan
tidak
termanfaatkan dan bila sudah mencapai batas usianya dapat lenyap secara natural. 3. Kemungkinan lain yaitu sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan oleh nelayan asing secara ilegal dengan menggunakan teknologi destruktif yang pada akhirnya merusak eksistensi sumberdaya tersebut. 4. Karena sumberdaya tidak dimanfaatkan maka kegiatan ekonomi menjadi rendah yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan secara umum untuk ekonomi daerah dan secara khusus pada sektor kelautan dan perikanan. 5. Bila semua dampak sebelumnya terjadi maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul frustasi sosial di kalangan pemuda. Bisa saja frustasi sosial tersebut tampil dalam bentuk aksi masa yang tidak diinginkan.
Kemungkinan dampak negatif ini dapat ditiadakan apabila peran pemuda dihidupkan dan ditingkatkan. Karena itu harus dipahami dan diketahui faktorfaktor
yang
mempengaruhi
keputusan
pemuda
untuk
berperan
dalam
19
pembangunan. Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa empat faktor yang mungkin menentukan peran pemuda adalah: 1. Kebijakan publik tentang kepemudaan atau alokasi sumberdaya ekonomi yang dapat diakses pemuda. 2. Sumberdaya alam yang tersedia yang dapat menarik pemuda untuk terjun ke dalam industri pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. 3. Kapital sosial (social capital) yang dimiliki pemuda yang memungkinkan yang bersangkutan dapat mendayagunakan modal tersebut untuk mengaktualisasikan peranannya. 4. Kemampuan
kewirausahaan
serta
karakteristik
individu
memungkinkan pemuda dapat ikut ambil bagian dalam pembangunan.
yang
20
Faktor Penentu Peran Pemuda
Kondisi Sekarang 1. Pemanfaatan sumberdaya rendah 2. Peran pemuda belum optimal 3. Kesempatan dan peluang berusaha rendah
1. Kewirausahaan 2. Kebijakan publik 3. Sumberdaya 4. Kapital sosial Program pemerintah untuk menumbuhkan dan mengembangkan peran pemuda
Akibat
1. Kemiskinan 2. Sumberdaya tidak termanfaatkan 3. Perikanan ilegal 4. Pertumbuhan ekonomi rendah 5. Frustrasi sosial pemuda
Dukungan kapital sosial dan pengembangan jiwa kewirausahaan
Pengembangan potensi sumberdaya ekonomi
KETERANGAN: 1. Akibat
2. Determinan
3. Kondisi yang diharapkan 4. Manipulasi 5. Dukungan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Manipulasi faktor penentu peran pemuda dalam rangka perumusan kebijakan publik, program dan proyek
Kondisi yang Diharapkan
1. Peran pemuda tinggi 2. Sumberdaya termanfaatkan 3. Kesejahteraan 4. Pembangunan daerah 5. Kestabilan sosial politik
21
Keempat faktor tersebut tentu saja terdiri dari elemen (peubah) yang dapat dijadikan peubah intervensi kebijakan (policy intervention variable) yang bila dikelola (dimanipulasi) dengan baik dan terarah dapat menghasilkan kebijakan publik yang mendorong dan meningkatkan peran pemuda. Apabila kebijakan publik, dukungan modal sosial, serta pengembangan potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki pemuda dapat dipadukan dan dikelola secara cerdas maka diharapkan peran pemuda dapat ditingkatkan. Hasil akhir atau kondisi yang diharapkan dari peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan, seperti dikemukakan pada Gambar 1 adalah: 1. Tingginya peran pemuda dalam pembangunan. 2. Dimanfaatkannya sumberdaya alam yang diberikan Tuhan. 3. Kesejahteraan masyarakat makin baik. 4. Berlangsungnya pembangunan daerah dengan kelautan dan perikanan sebagai sektor utama. 5. Tidak adanya frustasi sosial di kalangan pemuda sehingga bentuk-bentuk aspirasi pemuda yang disalurkan secara tidak benar dapat dihindari serta ditiadakan.
1.7 Hipotesis Penelitian Berdasarkan atas persoalan yang dihadapi seperti diuraikan dalam latar belakang dan perumusan masalah penelitian ini, tujuan dan sasaran penelitian, serta kerangka pikir penelitian maka disusunlah hipotesis yang merupakan arahan bagi pengembangan metode penelitian dan analisis data. Hipotesis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
22
1. Kebijakan publik bagi pemuda, dapat meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan. 2. Jiwa kewirausahaan seorang pemuda, menentukan peran pemuda tersebut dalam pembangunan kelautan dan perikanan. 3. Kapital sosial yang dimiliki seorang pemuda, menentukan perannya dalam pembangunan kelautan dan perikanan. 4. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemuda, dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Hipotesis yang dikemukakan ini pada hakekatnya adalah dikonstruksi untuk empat kelompok peubah bebas (independen) yang diduga mempengaruhi peran pemuda. Keempat kelompok peubah bebas tersebut adalah (1) jiwa kewirausahaan, (2) kebijakan publik, (3) kepemilikan sumberdaya, dan (4) kapital sosial. Pada uraian tentang metode penelitian di bab selanjutnya keempat kelompok peubah bebas akan didekomposisi menjadi peubah-peubah yang lebih terukur dan dengan demikian akan mempermudah pengujian hipotesis.