1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan pada organ tulang merupakan masalah kesehatan yang serius karena tulang merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi manusia. Betapa pentingnya fungsi tulang sehingga apabila terjadi kerusakan maka fungsi kerja dari tubuh akan terhambat. Untuk menangani kerusakan pada tulang tersebut, maka dibutuhkan suatu material yang tepat untuk implantasi tulang. Material pengganti tulang yang umum digunakan adalah autograf (penggantian satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lainnya dalam satu individu), allograf (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari manusia lain), xenograf (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari hewan), exogemus (penggantian atau implantasi dengan bahan sintetik atau yang biasa disebut dengan biomaterial) dan berbagai macam material sintetik lainnya seperti polimer, material logam, komposit dan biokeramik. Setiap material tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai material untuk memperbaiki tulang, seperti stabilitas kimia, biokompatibilitas, biodegradasi dengan tubuh dalam waktu yang lama [1]. Adanya keterbatasan dalam setiap material tersebut memicu perkembangan riset di bidang biomaterial. Biomaterial merupakan bahan inert yang diimplantasi ke dalam sistem hidup sebagai pengganti fungsi jaringan hidup atau organ [2]. Pemilihan biomaterial yang tepat sangat diperlukan dalam proses implantasi. Tentunya biomaterial yang dipilih adalah yang mudah diperoleh, biokompatibel atau sesuai dengan jaringan keras dalam komposisi dan morfologi kandungannya, bioaktif dan tidak toksik [3]. Material komposit kalsium fosfat dibutuhkan untuk memperbaiki atau mengganti tulang yang rusak. Senyawa kalsium fosfat yang paling stabil adalah hidroksiapatit (HAP) yang memiliki formula Ca10(PO4)6(OH)2 dengan rasio Ca/P sekitar 1,67 [4]. HAp memiliki biokompatibilitas yang baik terhadap kontak langsung dengan tulang. Salah satu sifat biokompatibilitas yang diharapkan adalah tidak mudah getas. Untuk mengoptimalisasikan sifat tersebut maka digunakan kitosan sebagai biopolimer yang diharapkan mampu meminimalisir sifat getas pada HAP.
Kitosan merupakan polisakarida dengan struktur yang mirip dengan selulosa. Kitosan (2-asetamida-deoksi-α-D-glukosa) memiliki gugus amina bebas yang membuat polimer ini bersifat polikationik, sehingga polimer ini potensial untuk diaplikasikan dalam pengolahan limbah, obat-obatan, pengolahan makanan dan bioteknologi. Kitosan merupakan salah satu matriks polimer yang dapat digunakan untuk modifikasi komposit [5]. Matriks polimer dari bahan alami ini diharapkan dapat meningkatkan bioaktivitas, biokompatibel dan sifat mekanik komposit. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Membuat senyawa komposit apatit-kitosan melalui presipitasi dengan metode in-situ dan ex-situ. 2. Melakukan karakterisasi dan menganalisis komposit apatit-kitosan hasil presipitasi dengan menggunakan XRD (X-Ray Diffraction), FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan SEM (Scanning Electron Microscopy) 1.3. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2008 – Mei 2009 di Laboratoium Biofisika Departemen Fisika IPB. Karakterisasi XRD dilakukan di Litbang Kehutanan Bogor dan PTBIN Batan Serpong, SEM dilakukan di PPGL Bandung, dan FTIR dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur Tulang Tulang sebagai bagian dari kerangka manusia memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai tempat melekatnya otot dan menyokong jaringan halus, memberikan perlindungan kepada organ-organ internal tubuh sehingga mengurangi resiko organorgan tersebut terluka dan sebagai tempat memproduksi sel darah. Interaksi antar otot pada tulang menyebabkan tulang dapat digerakkan. Selain itu, jaringan tulang menyediakan beberapa mineral antara lain kalsium (Ca) dan fosfor (P). Ketika diperlukan, tulang akan melepaskan mineral ke dalam darah sehingga tercipta keseimbangan mineral di dalam tubuh [6]. Komposisi utama jaringan tulang adalah mineral, air, dan matriks kolagen. Masingmasing komponen jumlahnya bergantung pada spesies, umur, jenis kelamin, jenis tulang
2
dan posisi tulang. Tulang terdiri dari dua komponen utama yaitu rangka organik dan garam anorganik. Mineral tulang merupakan komponen anorganik tulang, sedangkan kolagen merupakan komponen organik tulang. Serat kolagen memberikan tulang kemampuan untuk meregang dan memutar. Kombinasi dari serat dan garam menjadikan tulang kuat tanpa menjadi rapuh [7]. Tulang merupakan jaringan hidup dan bersifat dinamis sehingga struktur tulang dapat berubah karena gaya luar yang didapat selama hidup. Tulang juga mengalami rekonstruksi internal atau remodelling. Remodelling adalah proses tulang lama akan dihancurkan dan diganti oleh tulang baru. Proses ini berlangsung selama hidup manusia dan terjadi pada semua tulang. Selain itu tulang juga mengalami perkembangan atau osifikasi. Ada dua tipe osifikasi yaitu osifikasi intramembranus dan osifikasi endokondral [8]. Rangka berkembang dari transformasi jaringan embrionik yang menjadi tulang. Jaringan yang menjadi tulang tersebut berasal dari sel-sel yang terdapat pada lapisan mesodermal embrio. Jika jaringan embrionik langsung bertransformasi menjadi tulang disebut osifikasi intramembranus. Jika sel mesodermal bertransformasi menjadi kartilago dahulu sebelum menjadi tulang maka prosesnya disebut osifikasi endokondral. 2.2. Mineral Tulang Jaringan keras tulang adalah material komposit alami, yang mengandung 60% mineral, 30% matriks, dan 10% air. Kombinasi yang demikian memberikan fungsi mekanik yang dibutuhkan oleh tulang untuk penyangga tubuh dan pendukung gerakan [9]. Komponen utama material anorganik adalah senyawa kalsium fosfat yang berhubungan erat dengan kristal stabil kalsium fosfat yang biasanya disebut dengan hidroksiapatit (HAP)[10]. Kandungan unsur mineral tulang dapat dilihat pada Tabel 1. Apatit biologi yang hadir dalam tulang mempunyai karakteristik kristanilitas rendah dan nonstokiometri. Hal ini disebabkan oleh kehadiran ion asing selain ion kalsium dan fosfat. Sebagian ion ini masuk ke dalam kisi kristal apatit dan sebagian lain hanya diabsorpsi pada permukaan kristal [11].
Tabel 1. Kandungan unsur mineral dalam tulang Unsur Ca P Mg Na K C Cl F Zat Sisa Total
% Berat 34 15 0,5 0,8 0,2 1,6 0,2 0,08 47,62 100
2.3. Mineral Apatit Apatit adalah istilah umum untuk kristal mineral dengan komposisi M10(ZO4)6X2. Elemen-elemen yang menempati M, Z, dan X adalah: M = Ca, Mg, Sr, Ba, Cd, Pb, dst. Z = P
Ca/P
Struktur kristal
HAP
1,67
Heksagonal
DKFD
1,00
Monoklinik
OKF
1,33
Triklinik
TKF
1,50
Rombohedral
Parameter kisi a = 9,42 Å c = 6,88 Å a = 5,81 Å b = 15,18 Å c = 6,24 Å β = 116,4o a = 19,87 Å b = 9,63 Å c = 6,88 Å α = 89,3o β = 92,2o γ = 108,9o a = b = 10,3 Å c = 37,0 Å
3
Pada umumnya, kalsium fosfat hadir dalam bentuk campuran amorf maupun berbagai kristal (dapat berada dalam berbagai fase). Formula kimia, struktur dan parameter kisi kristal kalsium fosfat dari tiap fase diperlihatkan pada Tabel 2. Fase-fase tersebut terdiri dari satu fase amorf dan empat fase kristal, yaitu: 1. Kalsium fosfat amorf (KFA), memiliki rumus kimia yang bervariasi, kaya akan HPO42- dan mempunyai harga rasio molar unsur Ca dan P rendah. Selain ion kalsium dan fosfat, ion lain seperti CO32-, HCO3- , Mg2+ dan sebagainya juga dapat masuk dan mengganggu struktur KFA. 2. Dikalsium fosfat dihidrat (DKFD, Ca2HPO4.2H2O), merupakan tahap awal proses pertumbuhan kristal hidroksiapatit. Kristal DKFD ini memiliki ukuran yang kecil sehingga dalam profil XRD masih tampak seperti amorf. DKFD dapat dihasilkan dari medium dengan pH di bawah 6,6 yang kemudian mengalami hidrolisis dan berubah menjadi OKF. 3. Oktakalsium fosfat (OKF, Ca8H2(PO4)5H2O), mempunyai struktur yang mirip dengan hidroksiapatit. 4. Trikalsium fosfat (TKF, Ca3(PO4)2), kristal TKF mempunyai kemungkinan kecil dalam salah satu komponen mineral jaringan keras. Hidroksiapatit (HAP, Ca10(PO4)6(OH)2), merupakan fase kristal yang paling stabil. [13]. 2.4. Struktur Kristal Apatit Struktur hidroksiapatit adalah heksagonal dengan a = b = 9,423 Å dan c = 6,881 Å. Struktur ini dapat dipandang sebagai struktur kristal ideal heksagonal (closed-packed) dari ion PO43- yang mengalami distorsi akibat kehadiran unsur Ca2+ dan ion OH- di celah antara ion-ion PO43- [14].
Gambar 1. Struktur Hidroksiapatit [15]
Gambar 1. menunjukkan unit sel struktur hidroksiapatit. Unit sel terdiri dari 2 subsel prisma segitiga rombik. Atom Ca ditunjukkan oleh lingkaran hijau, atom O oleh lingkaran biru, dan atom P oleh lingkaran merah. Terdapat dua kaca datar horizontal yaitu pada z = ¼ dan z = ¾ dan sebagai tambahan terdapat bidang tengah inversi tepatnya di setiap tengah muka vertikal dari setiap subsel. Unit sel kristal hidroksiapatit memiliki 2 jenis atom Ca yang disebut Ca1 dan Ca2. Perbedaannya terletak pada lokasi atom Ca. Setiap subsel memiliki 3 pusat. Atom Ca 1 puncak dan dasar masing-masing dihitung sebagai ½ Ca1, sementara Ca1 tengah dihitung sebagai satu Ca1 sehingga masing-masing subsel tersebut memiliki 2 atom Ca dari Ca1. Setiap unit sel memiliki 6 atom Ca2. Total atom Ca setiap unit sel adalah 10 yang terdiri dari 4 atom Ca1 dan 6 atom Ca2. Atom-atom Ca2 membentuk 2 segitiga normal hingga sumbu c dan berotasi sebesar 60o [15]. 2.5. Kitosan Kitosan adalah biopolimer natural, berpotensi dalam teknik jaringan. Kitosan banyak terdapat di alam, salah satunya dari kepiting [16]. Sebagai polimer alam keberadaan kitosan di alam kedua setelah selulosa. Kitosan merupakan polisakarida alam yang terdapat di biota laut, dengan strukturnya menyerupai glycosaminoglycansi [17]. Senyawa ini tidak dapat disintesis secara kimia dan tersusun oleh satuan molekul Nasetil-D-glukosamin [18]. Karakteristik fisikokimia kitosan seperti fleksibilitas rantai dalam larutan, sifat reologi, ukuran kristal dan kristalinitas kitosan bergantung pada faktor intrinsik seperti derajat deasetilasi, distribusi grup asetil, bobot molekular, dan distribusinya [19]. Karakteristik fisikokimia kitosan dapat dilihat pada Tabel 3. Derajat deasetilasi merupakan salah satu sifat kimia yang penting, yang dapat mempengaruhi kegunaannya dalam berbagai aplikasi. Derajat deasetilasi menyatakan banyaknya gugus amino bebas dalam polisakarida. Kitosan merupakan kitin dengan derajat deasetilasi lebih dari 70%. Deasetilasi adalah proses pengubahan gugus asetil (NHCOCH3) dari rantai molekular kitin menjadi gugus amina lengkap (-NH2) pada kitosan dengan penambahan NaOH konsentrasi tinggi. Reaksi deasetilasi kitin pada dasarnya adalah suatu reaksi hidrolisis amida dari α-(1-4)-2-asetamida-2-deoksi-Dglukosa. Kemampuan kitosan utamanya
4
Gambar 2 Struktur kimia kitosan
Gambar 3. Sinar-X Menumbuk Atom
Tabel 3. Spesifikasi kitosan niaga
Sinar-X berinteraksi dengan elektron di dalam atom. Ketika foton sinar-X menumbuk elektron, beberapa foton akan dihamburkan dengan arah yang berbeda dari arah datangnya seperti halnya bola biliar yang saling bertumbukkan. Gelombang difraksi dari atom yang berbeda-beda dapat saling berinterferensi maksimal yang tajam (puncakpuncak) dengan kesimetrian sama yang menggambarkan distribusi atom-atom. Pengukuran pola difraksi akan menggambarkan distribusi atom di dalam bahan [24]. Puncak-puncak pola difraksi sinar-X berhubungan dengan jarak antar bidang. Jika sinar-X dilewatkan pada atom-atom yang tersusun secara teratur dan periodik seperti diilustrasikan pada gambar secara dua dimensi dimana jarak antar bidang adalah d, maka difraksi dapat dituliskan sebagai 2 d sin θ = n λ (1) Persamaan tersebut dikenal sebagai hukum Bragg. Pada persamaan, λ merupakan panjang gelombang sinar-x, θ adalah sudut hamburan dan n adalah orde difraksi. Parameter kisi HAp telah diketahui memiliki sistem heksagonal, yakni dengan menggunakan persamaan [24]:
No 1
Parameter Ukuran partikel
2 3
Warna Kelarutan
4 5 6 7 8 9
Kadar abu (%) Kadar air (%) Warna larutan N-deasetilasi (%) Ph Viskositas (cPs) - rendah - medium - tinggi - sangat tinggi
Ciri Serbuk sampai bubuk Putih kelabu 97% dalam 1% asam asetat 2,0 10,0 Tak berwarna 70,0 6,5 – 8,0 200 200 – 799 800 – 2000 2000
bergantung pada derajat kimia reaktif yang tinggi gugus aminonya [20]. Kitosan memiliki karakter bioresorbabel, biokompatibel, non-toksik, non-antigenik, biofungsional, dan osteokonduktif. Karakter osteokonduktif yang dimiliki kitosan dapat mempercepat pertumbuhan osteoblas sehingga mempercepat pembentukkan sel-sel tulang [21]. Karakter lain yang dimiliki kitosan adalah tidak larut dalam air, alkali dan pelarut organic tetapi larut dalam larutan asam organikdan dapat terdegradasi oleh enzim dala tubuh. Komposit kitosan apatit dapat meningkatkan bioaktivitas. 2.6. X-Ray Diffraction (XRD) Adanya struktur kristal dapat dibuktikan dengan percobaan difraksi sinar-X. Berkas gelombang elektromagnetik yang mengenai kristal mengalami difraksi sesuai dengan hukum fisika [22]. X-Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk mengetahui nilai parameter kisi, struktur kristal dan derajat kekristalan. Derajat kekristalan adalah besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu materi dengan membandingkan luasan kurva puncak dengan total luasan amorf dan kristal [23].
1 d
2
2 2 2 4 h hk k l 2 c2 3 a
(2)
Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer sebagai berikut: D
k
C os
(3)
dimana β merupakan FWHM (Full width at half maximum) dari garis difraksi skala 2θ, λ merupakan panjang gelombang yang digunakan pada alat XRD yaitu 0,15406 nm dan k adalah konstanta untuk material biologi yang nilainya adalah 0,94. 2.7. Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) FTIR merupakan salah satu teknik spektroskopi inframerah yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks
5
dalam senyawa kalsium fosfat, tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan unsurunsur penyusunnya. Pada spektroskopi inframerah, spektrum inframerah terletak pada daerah dengan panjang gelombang 0,78 sampai 1000 μm atau bilangan gelombang dari 12800 sampai 1 cm-1. FTIR termasuk ke dalam kategori radiasi inframerah pertengahan (bilangan gelombang 4000-200 cm-1). Plot antara presentase transmitansi dengan bilangan gelombang akan menghasilkan spektrum inframerah dan setiap tipe ikatan yang berbeda mempunyai frekuensi vibrasi yang sedikit berbeda, maka tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya akan mempunyai bentuk serapan inframerah atau spektrum inframerah yang sama [25]. FTIR memanfaatkan energi vibrasi gugus fungsi penyusun senyawa hidroksiapatit, yaitu gugus PO43-, gugus CO32-, serta gugus OH-. Gugus PO43- mempunyai empat mode vibrasi yaitu: 1. Vibrasi simetri stretching (υ1) dengan bilangan gelombang sekitar 956 cm-1 2. Vibrasi simetri bending (υ2) dengan bilangan gelombang sekitar 430-460 cm-1 3. Vibrasi asimetri stretching (υ3) dengan bilangan gelombang sekitar 1040-1090 cm-1 4. Vibrasi asimetri bending (υ4) dengan bilangan gelombang sekitar 575-610 cm-1 Bentuk pita υ3 dan υ4 yang tidak simetri merupakan tanda bahwa senyawa hidroksiapatit tidak seluruhnya dalam bentuk amorf. Spektrum hidroksiapatit dapat diteliti yaitu pada υ4 dalam bentuk belah dengan maksimum 562 cm-1 dan 602 cm-1. Pita absorpsi υ3 mempunyai dua puncak maksimum yaitu pada bilangan gelombang 1090 cm-1 dan 1030 cm-1. Pita absorpsi υ1 dapat dilihat pada bilangan gelombang 960 cm-1 [26]. Puncak pada 633 cm-1 dan 3570 cm-1 menunjukkan vibrasi dari OH. Luas puncak pada 3500 cm-1 dan puncak pada 1660 cm-1 menunjukkan penyerapan air [15,17]. Ikatan karbonat teramati pada 870 dan 1430cm-1[27]. Kitosan murni ditunjukkan pada puncak 1255 cm-1 dan 1040 cm-1 menunjukkan amino primer yang bebas (-NH2) pada posisi C2 dari glucoseamine, kelompok utama pada kitosan. Puncak pada 1380, 1420, 2870 dan 2920 cm_1 berkaitan dengan C-H. Ikatan pada 280 dan 2920 cm-1 adalah aliphatic C-H stretching. Ada sebuah penyerapan ikatan amida pada 1565 cm-1. Bilangan gelombang 1605cm-1 berkaitan dengan C=O.
Gambar 4. Skema FTIR Puncak pada 3420 cm-1 menunjukkan –OH stretching. Ada sebuah amino asetil pada puncak 1650 cm-1 yang diindikasikan sebagai kitosan tidak mengalami deacetylated secara penuh.[28]. Spektra inframerah kitosan murni menginformasikan adanya pita serapan gugus fungsi –OH pada bilangan gelombang 3433,45 cm-1. Pita serapan yang lebar dan kuat pada daerah 3450-3200 cm-1 tersebut tumpang tindih dengan gugus N-H amina. Pita serapan utama lainnya antara 1220-1020cm-1 menunjukkan gugus amino bebas primer (NH2), suatu gugus utama dalam kitosan serta mengindikasikan vibrasi regang C-O dari gugus alkohol. Serapan pada bilangan gelombang 2921,18 cm-1 mengindikasikan vibrasi regang -CH2- dari gugus –CH. Pita serapan antara 1640–1560 cm-1 menunjukkan vibrasi bending N-H dari gugus amina yang merupakan serapan karakteristik kitosan. Selain itu, serapan dengan intensitas medium pada bilangan gelombang 1379,61 dan 1454,37cm-1 merupakan vibrasi bending -CH3 dari gugus C-H [29]. 2.8. Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang dapat membantu mengatasi permasalahan analisis struktur mikro dan morfologi dalam berbagai bidang. Pemercepat elektron (electron gun) menghasilkan pancaran elektron monokromatis. Lensa pemfokus pertama menghasilkan pancaran dan batas arus, pada celah lensa berfungsi untuk mengurangi pembelokkan sudut. Lensa pemfokus kedua membentuk pelemahan (pancaran sinar koheren), celah lensa dikendalikan untuk mengurangi pembelokkan sudut dari pancaran lensa pertama. Pancaran yang dilewatkan lensa kedua akan mengalami proses scan oleh
6
Untuk larutan kitosan, komposisi massa kitosan yang digunakan yaitu menggunakan perbandingan 35:55 (massa kitosan:massa HAP). Massa HAP didapat dari hasil presipitasi sampel kontrol. Kitosan dilarutkan dengan asam asetat 2%. Pada penelitian ini dilakukan dua metode pada sampel yaitu in-situ dan ex-situ. Perbedaan kedua metode ini terletak pada proses penambahan kitosan saat presipitasi sampel berlangsung.
Gambar 5. Skema SEM koil penyearah untuk membentuk gambar dan diteruskan ke lensa akhir untuk difokuskan ke sampel. Interaksi pancaran elektron dengan sampel dan elektron yang dipantulkan diterima oleh detektor. Detektor akan menghitung elektron-elektron yang diterima dan menampilkan intensitasnya. Energy Dispersive X-Ray (EDXA) merupakan satu perangkat dengan dengan SEM. Pengukuran EDXA merupakan perangkat analisa sedara kuantitatif untuk menentukan kadar unsur dalam sampel.
3. BAHAN DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu CaCl2.2H2O(s) pro analis, Na2HPO4.2H2O(s) pro analis, kitosan, CH3COOH 2%, aquades, aquabides, dan gas nitrogen (N2). Alat yang digunakan antara lain buret, beaker glass, statip, gelas ukur, labu takar, corong, kertas saring, furnace, incubator, magnetic stirrer, hot plate, termometer digital, sudip, neraca analitik, dan sentrifuse. Karakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM), Fourier Transform Infra Red (FTIR), dan Uji Mekanik. 3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Preparasi Sampel Senyawa Na2HPO4.2H2O dan CaCl2.2H2O masing-masing dilarutkan dengan aquabides sebanyak 50ml. Komposisi massa yang digunakan Na2HPO4.2H2O 1,7801g, CaCl2. 2H2O 2,4554g. Komposisi massa ini diperoleh dengan menggunakan perbandingan molaritas Ca/P sebesar 0,334:0,2.
3.2.2. Kontrol Pada kontrol dibuat HAP murni yang dihasilkan dari proses presipitasi tanpa menggunakan tambahan kitosan. Larutan Na2HPO4.2H2O 50 ml disiapkan dalam beaker glass yang diletakkan di atas hot plate dalam kondisi atmosfir nitrogen. Ketika suhu larutan Na2HPO4.2H2O 50 ml mencapai 70oC, larutan CaCl2.2H2O 50ml diteteskan ke dalamnya dengan kecepatan konstan menggunakan buret. Selama proses presipitasi berlangsung, suhu larutan tetap dikontrol pada 70oC dengan kecepatan stirring sekitar 400 rpm. Setelah proses presipitasi selesai, larutan di-agging selama 24 jam kemudian dipanaskan dalam inkubator pada suhu 50oC selama 48 jam. 3.2.3. In-situ Pada metode in-situ proses pembentukkan mineral apatit dilakukan dalam matrik kitosan. Larutan Na2HPO4.2H2O 50 ml dalam beaker glass ditambahkan dengan larutan kitosan kemudian diletakkan di atas hot plate dalam kondisi atmosfir nitrogen. Ketika suhu larutan Na2HPO4.2H2O 50 ml dan kitosan mencapai 70oC, larutan CaCl2.2H2O 50 ml diteteskan ke dalamnya dengan kecepatan konstan menggunakan buret. Selama proses presipitasi berlangsung, suhu larutan tetap dikontrol pada 70oC dengan kecepatan stirring sekitar 400 rpm. Setelah proses presipitasi selesai, larutan di-agging selama 24 jam kemudian dipanaskan dalam inkubator pada suhu 50oC selama 48 jam. 3.2.4. Ex-situ Pada metode ex-situ, penambahan larutan kitosan dilakukan setelah proses presipitasi selesai dilakukan. Larutan Na2HPO4.2H2O 50 ml disiapkan dalam beaker glass yang diletakkan di atas hot plate dalam kondisi atmosfir nitrogen. Ketika suhu larutan Na2HPO4.2H2O 50 ml mencapai 70oC, larutan CaCl2.2H2O 50 ml diteteskan ke dalamnya dengan kecepatan