Bab II Kajian Pustaka, Gambaran Umum Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi dan Perumusan Indikator dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
II.1
Landasan Pemikiran Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Proses pemanfaatan ruang terutama di perkotaan merupakan gejala alamiah suatu kota yang tetap akan berlanjut dimasa mendatang seiring dengan berkembangnya kota tersebut. Namun demikian, perubahan ini tidak harus dibiarkan tetapi harus dapat dikendalikan sehingga perubahan yang terjadi tetap teratur dan selaras dengan visi dan misi pembangunan suatu kota. Pengaturan ruang merupakan bagian yang terpenting dalam tahapan pemanfaatan ruang. Kegiatan pengaturan ruang bertujuan untuk menetapkan persyaratan teknis ruang pada setiap kawasan yang berpijak pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi ijin prinsip/lokasi kepada pihak-pihak yang ingin membangun. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan berfungsi secara efektif dan efesien bilamana didasarkan pada sistem pengendalian yang menyediakan informasi yang akurat tentang penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di lapangan dan ketegasan untuk memberi reaksi yang tepat bagi penyelesaian simpangan-simpangan yang terjadi di lapangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu perlu dipahami dan dipersiapkan dengan tepat mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang, baik yang terkait dengan piranti manajemen maupun pengendalian pemanfaatan ruang yang diterapkan untuk menata mekanisme perijinan pembangunan yang berlaku. Landasan pokok yang mendasari pemikiran bahwa perubahan pemanfaatan lahan harus dikendalikan (Winarso, 1995) antara lain adalah : 1. Mencegah terjadinya dampak negatif dan dapat mengupayakan sebesarbesarnya keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah derah.
20
2. Mengoptimalkan peran pihak swasta dan masyarakat yang mempunyai potensi dalam melangsungkan kegiatan komersial sehingga dapat berguna dalam pembangunan kota baik dari segi ekonomi maupun fisik. Dalam Permendagri No. 4 tahun 1996 diatur kegiatan pengendalian untuk kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dengan memberikan peluang terhadap kegiatan yang melakukan perubahan pemanfaatan lahan agar dapat mempercepat laju pertumbuhan daerah, dengan kriteria (pasal 3): 1. Memberikan
manfaat
yang
sebesar-sebesarnya
bagi
kemakmuran
masyarakat. 2. Tidak merugikan masyarakat, khususnya golongan ekonomi lemah. 3. Tidak membawa kerugian pada pemerintah daerah. 4. Mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi perkotaan. Penyelenggaraan perencanaan tata ruang atau pembangunan fisik membutuhkan landasan hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut (Khulblall, 1991 : 6-7) : 1. Rencana pembangunan yang harus adil atau memberikan kesempatan yang sama bagi pelaku pembangunan. 2. Rencana memberikan kenyamanan/kesenangan/kenikmatan dasar bagi masyarakat penghuni. 3. Rencana pembangunan haruslah berorientasi pada kesehatan dan masyarakat penghuni. 4. Rencana pembangunan harus dapat mengendalikan eksternalitas (pengaruh luar). 5. Rencana pemabangunan harus dapat memberikan akses yang cukup ke barang publik (fasilitas pelayanan umum) bagi masyarakat penghuni. 6. Rencana pembangunan fisik harus dapat memberikan kedudukan yang memadai bagi lingkungan yang sudah ada.
21
II.2
Sistem Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Dalam praktek perencanaan pembangunan proses pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan dengan proses penyusunan rencana dan implementasi dari rencana pemanfaatan ruang itu ssendiri. Hal diatas tertuang didalam pasal UU Penataan Ruang No. 24/1992, yang menyatakan bahwa : “Proses penataan ruang dijabarkan sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Pernyataan diatas dengan jelas menyatakan bahwa yang disebut sebagai proses penataan ruang adalah suatu proses lengkap yang terdiri dari tiga rangkaian yang tidak terpisahkan dan saling menlengkapi. Perencanaan yang berlaku kegiatan yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Perencanaan yang berlaku di Indonesia tidak semata mata mencakup penyusunan dan impelmentasi dari rencana tata ruang, melainkan mencakup pula pengendalian atas semua kegiatan yang timbul sebagai implikasi dari rencana tata ruang yang telah disusun, terutama
yang
berhubungan
dengan
pemanfaatan
ruang.
Pengendalian
pemanfaatan ruang yang dimaksud diatas dijabarkan kembali dalam Permendagri No. 8/1998 sebagai berikut : “Kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud”. Dalam teori perencanaan pengertian pengendalian pemanfaatan ruang sering dirasa bias pengertiannya dengan pengendalian pembangunan atau development control.
Secara
teoritis
pengendalian
pembangunan
mengatur
kegiatan
pembangunan atau development, yaitu yang didefinisikan sebagai (Khulball dan Yuen, 1991:55):
22
“Pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, perekayasaan, pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya pada, dibawah maupun diatas tanah, dan atau mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu”. Inti dari pengendalian pembangunan adalah pengendalian yang melibatkan seluruh stakeholder pada proses pembangunan terhadap implementasi dari rencana dan kebijakan yang telah disusun (Khulball dan Yuen, 1991 : 2). Dari pemaparan pengertian diatas diperjelas bahwa pengendalian pembangunan terkait erat dengan pemanfaatan lahan dan kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap lahan, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang mencakup pengendalian terhadap aspek yang lebih luas yaitu termasuk pengendalian berbagai kegiatan dan aktivitas yang muncul sebagai implikasi dari rencana tata ruang meskipun kegiatan tersebut secara fisik tidak berpengaruh langsung kepada lahan. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan penertiban terhadap implementasi rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan rencana atau adanya produk rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan salah satu kegiatan dari proses penataan ruang sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, yaitu penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 15 disebutkan bahwa pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya berdasarkan rencana tata ruang yang telah disusun, adapun pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan
melalui
kegiatan
pengawasan
dan
penertiban
terhadap
pemanfaatan ruang sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.
23
Proses perencanaan tata ruang pemanfaatan ruang dan pengendalian harus merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi dalam penataan ruang, dengan demikian suatu penataan ruang pada dasarnya meliputi manajemen ruang (Patta, 1995 : 32). Sebagai substansi yang berkaitan dengan aspek manajemen, maka pengendalian ruang erat hubungannya dengan aspek kebijaksanaan pemerintah, antara lain dalam rangka penerbitan/legitimasi proses perijinan pemanfaatan ruang. Dalam artian pengendalian Rencana Tata Ruang, termasuk di dalamnya 3 tahapan pengendalian, ditinjau dari segi prosesnya (Patta, 1995:34) yaitu : 1. Ex-ante Evaluation, merupakan pengendalian yang dilakukan sebelum rencana tata ruang diimplementasikan . 2. Monitoring, merupakan pengendalian yang dilakukan pada saat/masa rencana tata ruang sedang diimplementasikan. 3. Ex-post evaluation, merupakan pengendalian yang dilakukan setelah selesainya rencana tata ruang diimplementasikan. Kegiatan pengendalian termasuk didalamnya pengawasan dan penertiban. Menurut Parlindungan (1993 : 22-23), bahwa pengawasan berwujud usaha untuk menjadi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Penertiban berarti mengambil tindakan terhadap semua pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan, dalam bentuk sanksi administratif, perdata dan atau sanksi pidana. Dalam penjelasan Pasal 17 UU Nomor 24 tahun 1992, lebih lanjut disebutkan bahwa: di wilayah Kabupaten/Kota, penyelenggaraan pengendalian pemanfaatan ruang selain melalui kegiatan pengawasan dan penertiban juga meliputi mekanisme perijinan. Ditambahkan oleh Patta, (1995 : 34) bahwa menurut bentuknya, pengendalian dapat dibagi atas dua kegiatan, pertama, pengendalian dalam bentuk pengawasan dan penertiban sebagai alat kontrol, kedua, pengendalian dalam bentuk proposi perwujudan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.
24
Adapun tindakan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang disebut pelanggaran dalam pemanfaatan ruang. Bentuk pelanggaran dalam pemanfaatan ruang (Ibrahim, 1998), terdiri dari : 1. Pelanggaran Fungsi (PF), yaitu pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. 2. Pelanggaran Blok Perumahan (BL), yaitu pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan arahan peruntukan ruang yang telah ditetapkan. 3. Pelanggaran Persyaratan Teknik (PT), yaitu pemanfaatan ruang sesuai fungsi dan peruntukan, tetapi persyaratan teknis ruang bangunan tidak sesuai dengan ketentuan dalam rencana tata ruang dan peraturan bangunan setempat. Pengendalian dapat dikelompokan dalam pengendalian yang sifatnya mencegah (preventif) dan penyembuhan (kuratif), dalam konteks pembangunan yang sifatnya
langsung
maupun
pembangunan
yang
sifatnya
mengarahkan
perkembangan suatu kawasan. II.2.1 Sistem Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Indonesia Sistem pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Rencana Tata Ruang
Rencana Tata Ruang (RTR) merupakan perangkat pengendalian utama pemanfaatan ruang. Kesesuaian pemanfaatan ruang harus dilihat dalam rencana tata ruang yang telah ditetapkan dalam perundangan yang mempunyai kekuatan hukum, pelanggaran terhadap RTR merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang dapat menganulir RTR adalah pertaturan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dan atau lebih kuat. Dokumen RTR yang berlaku sebagai landasan utama bagi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang mengikat masyarakat dan aparat pemerintah.
25
Dalam pasal 16 UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pemanfaatan ruang terdiri atas: •
Pola pengelolaan tata guna tanah, air dan udara serta tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang melalui pengaturan kelembagaan untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan lahan, air, udara dan sumber daya alam lainnya.
•
Perangkat yang bersifat insentif dan disintensif dengan menghormati hak penduduk sebagai warga negara dalam hal kesamaan harkat dan martabat, serta hak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya.
2.
Insentif dan Disinsentif
Dalam pasal 16 ayat 1 butir b UU No. 24 Tahun 1992 dinyatakan bahwa dalam pemanfaatan dikembangkan perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati penduduk sebagai warga negara. Insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang, sedangkan disintensif merupakan pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan tujuan rencana tata ruang. Berdasarkan Peraturan Mentri Dalam Negri No. 4 tahun 1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan, yang berisi antara lain perangkat insentif yaitu merupakan pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan penataan ruang. Perangkat ini dapat berupa keringanan pajak yang dikenakan kepada masing-masing individu yang mendapatkan manfaat dari lahan yang dimiliki atau ditempatinya, penyediaan infrastruktur, kemudahan persyaratan administrasi atau teknis. Adapun perangkat disintensif merupakan pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan penataan ruang. Perangkat ini dapat berupa pengenaan pajak berdasarkan pendapatan individu dari lahan atau dapat juga berdasarkan nilai kapital dari lahan, baik yang ditentukan berdasarkan harga pasar atau berdasarkan indeks kapasitas yang dapat dikenakan pajak (Reme, 1958 : 270-271), penambahan persyaratan administrasi dan 26
persyaratan teknis, tidak disediakan infrastruktur dan sebagainya. Perangkat intensif dan disintensif diperlukan untuk hal-hal sebagai berikut: a. Mendorong/merangsang pembangunan yang sejalan dengan renana tata ruang. b. Menghambat/membatasi pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. c. Memberi
peluang
kepada
masyarakat
dan
pengembang
untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. 3.
Perijinan
Perijinan merupakan upaya mengatur kegiatan-kegiatan yang memiliki peluang menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum. Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, perijinan merupakan mekanisme terdepan dalam pengendalian pemanfaatan ruang juga sering digunakan sebagai menarik dan menghambat investasi. Mekanisme perijinan, yaitu usaha pengendalian melalui penerapan prosedur dan ketentuan yang ketat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan suatu pemanfaatan ruang (Zulkaidi, 1998). Dalam pemanfaatan ruang, kegiatan perijinan lahir untuk menjamin kesesuain antara pelaksanaan pembangunan oleh masyarakat, dunia usaha atau swasta, dan pemerintah dengan arahan pengembangan sektor (macam, kuantitas, kualitas, maupun lokasi) sesuai RTR (Kombaitan, 1995). Perijinan adalah (LAN, 1997;138) salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah, merupakan mekanisme pengendalian administratif terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perijinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan ijin untuk melakukan sesuati usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.
27
Penerapan perijinan dalam pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut : a. Kegiatan yang berpeluang menimbulkan gangguan pada dasarnya dilarang, kecuali dengan ijin. b. Setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon ijin dari pemerintah setempat yang akan memeriksa kesesuainnya dengan rencana serta standar administrasi legal. Pelaksanaan perijinan tersebut diatas berdasarkan pertimbangan dan tujuan sebagai berikut: a. Melindungi kepentingan umum (public interest) b. Mengindari eksternalitas negatif c. Menjamin pembangunan sesuai dengan rencana, serta standar dan kualitas minimum yang ditetapkan. Adapun klasifikasi perijinan terdiri atas : a. Lisensi (License), merupakan ijin bagi kegiatan tertentu yang tidak harus berkaitan dengan ruang, seperti SIUP, Ijin Prinsip, IUT, Ijin Trayek dan lainlain. b. Ijin (Permit), merupakan ijin yang berkaitan dengan lokasi, pemanfaatan dan kualitas ruang, seperti ijin lokasi, IMB dan lain-lain. Berdasarkan jenis, perijinan dalam pembangunan suatu kawasan dapat dikelompokan atas 3-4 bagian (Kombaitan – Jurnal PWK Nomor 17), antara lain: 1. Ijin
Kegiatan/Sektor,
merupakan
persetujuan
pengembangan
aktivitas/sarana/prasarana yang menyatakan bahwa aktivitas budidaya yang akan menyatakan bahwa aktivitas budidaya yang akan mendominasi kawasan memang sesuai atau masih dibutuhkan atau merupakan bidang yang terbuka di wilayah tempat kawasan itu terletak. Ijin ini diterbitkan oleh instansi pembina/pengelola sektor terkait dengan kegiatan dominan tadi. Tingkatan instansi ditetapkan sesuai dengan aturan di Departemen/Lembaga terkait. Pada dasarnya dikenal 2 tingkatan ijin kegiatan/sektor, yakni: 28
a. Ijin Prinsip, merupakan persetujuan pendahuluan yang dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan ijin lokasi. Bagi perusahaan PMDN/PMA, Surat Persetujuan Penanaman Modal (SPPM) untuk PMDN dari Meninves/Ketua BKPM atau Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden untuk PMA, digunakan sebagai ijin prinsip. b. Ijin Tetap, merupakan persetujuan akhir setelah ijin lokasi diperoleh. Ijin lokasi menjadi persyaratan, mengingat sebelum memberikan persetujuan final tentang pengembangan kegiatan budidaya, lokasi kawasan yang dimohon bagi pengembangan aktivitas tersebut juga telah sesuai. Selain itu kelayakan pengembangan kegiatan dari segi lingkungan hidup harus telah diketahui melalui hasi; studi AMDAL. 2. Ijin Pertanahan, merupakan persetujuan penggunaan tanah yang diawali dengan ijin lokasi dan dilanjutkan dengan penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah. Ijin ini meliputi: a. Ijin
Lokasi,
merupakan
persetujuan
lokasi
bagi
pengembangan
aktivitas/sarana/prasarana yang menyatakan kawasan yang dimohon pihak pelaksana pembangunan atau pemohon sesuai untuk dimanfaatkan bagi aktivitas dominan yang telah memperoleh ijin prinsip. Ijin lokasi akan dipakai sebagai dasar dalam melaksanakan perolehan tanah melalui cara pengadaan tertentu dan dasar bagi pengurusan hak atas tanah. Acuan yang sering digunakan dalam penertiban Ijin Lokasi adalah : •
Kesesuain lokasi bagi pembukaan/pengembangan aktivitas dilihat dari : o Rencana Tata Ruang Wilayah o Keadaan pemanfaatan ruang eksisting
•
Bagi lokasi dikawasan tertentu, suatu kajian khusus mengenai dampak lingkungan pengembangan aktivitas budidaya dominan terhadap kualitas ruang yang ada, hendaknya menjadi pertimbangan dini. Persyaratan tambahan yang dibutuhkan, adalah :
29
o Surat Persetujuan Prinsip o Surat Pernyataan Kesanggupan akan memberi ganti rugi atau penyediaan tempat penampungan bagi pemilik yang berhak atas tanah yang dimohon. b. Hak Atas Tanah, walaupun sebenarya bukan merupakan preijinan, namum dapat dianggap sebagai persetujuan kepada pihak pelaksana pembangunan untuk mengembangkan kegiatan budidaya di atas lahan yang telah diperoleh. 3. Macam hak yang akan diperoleh sesuai dengan sifat kegiatan budidaya dominan yang akan dikembangkan. Pada tingkat kawasan, hak yang diberikan umumnya bersifat kolektif, tergantung sifat aktivitas budidayanya, hak kepemilikan individual dapat dikembangkan dari hak kolektif. a. Ijin Perencanaan dan Bangunan, meliputi : 1. Ijin Perencanaan, merupakan ijin pemanfaatan ruang yang sebenarnya karena setelah Ijin Lokasi menyatakan kesesuaian lokasi bagi pengembangan
aktivitas
budidaya
dominan.
Ijin
Perencanaan
menyatakan persetujuan terhadap aktivitas budidaya yang akan dikembangkan dalam kawasan. Ijin Penggunaan Lahan diduga merupakan istilah lain yang digunakan beberapa Pemda. 2. Ijin Mendirikan Bangunan, merupakan ijin bagi setiap aktivitas budidaya rinci yang bersifat binaan (bangunan) jika akan dibangun. Perhatian utama diarahkan pada kelayakan struktur bangunan melalui penelaahan rancangan rekayasa bangunan; rencana tapak di tiap Blok Peruntukan (terutama Bangunan berskala besar, mega struktur); atau rancangan arsitektur di tiap persil. b. Ijin lokasi Lingkungan, merupakan persetujuan yang menyatakan aktivitas budidaya rinci yang terdapat dalam kawasan yang dimohon “layak” dari segi lingkungan hidup, ijin ini meliputi :
30
1). Ijin HO/Undang undang Gangguan, terutama untuk kegiatan usaha yang tidak mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup (buka obyek AMDAL). 2). Persetujuan RKL dan RPL, untuk kawasan yang sifat kegiatan budidaya rinci yang berada didalamnya secara sendiri-sendiri maupun bersamasama berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Acuan yang digunakan dengan demikian adalah dokumen AMDAL yang pada bagian akhirnya menjelaskan RKL (Rencana Pemanfaatan Lingkungan) pada tingkat budidaya rinci (jika dibutuhkan) dan pada tingkat kawasan. Acuan yang digunakan dengan demikian adalah Dokumen AMDAL yang pada bagian akhirnya menjelaskan RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemanfaatan Lingkungan) pada tingkat budidaya rinci (jika dibutuhkan) pada tingkat kawasan. 4.
Pengawasan
Dalam pasal 18 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa pengawasan merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi. Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak, sehingga apa bila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan, dapat diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya. Obyek pengawasan adalah perubahan pemanfaatan ruang (kegiatan pembangunan fisik) yang terjadi, baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana beserta besaran perubahannya. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan sebagai berikut:
31
1. Pelaporan adalah sebagai upaya memberikan informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang, baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang dan perubahan pemanfaatan ruang dilakukan oleh semua pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat). Hasil dari proses pelaporan ini berupa tipologi penyimpangan pemanfaatan ruang, yaitu : •
Besaran penyimpangan (luas, panjang, lebar)
•
Bentuk dan jenis penyimpangan (fungsi, intensitas atau teknis).
•
Arah penyimpangan atau pergeseran pemanfaatan ruang.
2. Pemantauan adalah kegiatan mengamati, mengawasi dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pemantauan dilakukan dengan cara pemeriksaan yang melibatkan pelaku pelanggaran (dengan memeriksa lebih jauh dokumen perijinan yang dimilikinya). 3. Evaluasi adalah sebagai upaya untuk menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang secara keseluruhan setelah terlebih dahulu dilakukan kegiatan pelaporan dan pemantauan untuk mencapai tujuan rencana tata ruang. Keluaran dari evaluasi adalah rekomendasi mengenai revisi tata ruang dan arahan jenis tindakan penertiban yang sebaiknya dilakukan. 5.
Penertiban
Penertiban merupakan upaya mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Dalam pasal 18 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Obyek penertiban adalah pola penyimpangan pembangunan terhadap rencana yang telah ditetapkan, meliputi penyimpangan fungsi, peruntukan dan ketentuan teknis lainnya. Tindakan penertiban dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan.
32
Kegiatan penertiban dapat dilakukan secara langsung melalui penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan penertiban secara tidak langsung melalui pengenaan diintensif pemanfaatan ruang, seperti pengenaan retribusi secara porgresif atau membatasi penyediaan sarana dan prasarana dasar lingkungannya. Pengenaan sanksi dapat berupa sanksi administratif, sanksi pidana maupun sanksi perdata, yang terlebih dahulu diawali dengan peringatan/teguran kepada aktor pembangunan yang dalam pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang dikeluarkan. Bentuk sanksi yang diberlakukan kepada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang adalah : a. Sanksi administrasi, yaitu sanksi administrasi terhadap pelanggaran/kejahatan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, dapat berupa tindakan pembatalan ijin dan pencabutan hak sebagaimana dinyatakan dalam pasal 26 UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang bahwa setiap ijin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat dinyatakan batal atau dicabut perijinannya oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. Sanksi ini dikenakan atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang berakibat pada terhambatnya pelaksanaan program pemanfaatan ruang. b. Sanksi perdata, yaitu sanksi perdata terhadap pelanggaran/kejahatan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dapat berupa tindakan pengenaan denda atau pengenaan ganti rugi. Sanksi ini dikenakan atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan seseorang, kelompok orang atau badan hukum. c. Sanksi pidana, yaitu sanksi pidana terhadap pelanggaran/kejahatan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, dapat berupa tindakan penahanan atau kurungan. Sanksi ini dikenakan atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan umum.
33
6. Resume Sistem Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Indonesia Dapat disimpulkan sistem pengendalian pemanfaatan ruang yang di lakukandi Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Perijinan Penerapan perijinan dalam pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut : •
Kegiatan yang berpeluang menimbulkan gangguan pada dasarnya dilarang, kecuali dengan ijin.
•
Setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon ijin dari pemerintah setempat yang akan memeriksa kesesuainnya dengan rencana serta standar administrasi legal.
Pelaksanaan perijinan tersebut diatas berdasarkan pertimbangan dan tujuan sebagai berikut: a. Melindungi kepentingan umum (public interest) b. Mengindari eksternalitas negatif c. Menjamin pembangunan sesuai dengan rencana, serta standar dan kualitas minimum yang ditetapkan. Adapun klasifikasi perijinan terdiri atas : a. Lisensi (License), merupakan ijin bagi kegiatan tertentu yang tidak harus berkaitan dengan ruang, seperti SIUP, Ijin Prinsip, IUT, Ijin Trayek dan lainlain. b. Ijin (Permit), merupakan ijin yang berkaitan dengan lokasi, pemanfaatan dan kualitas ruang, seperti ijin lokasi, IMB dan lain-lain. Macam hak yang akan diperoleh sesuai dengan sifat kegiatan budidaya dominan yang akan dikembangkan. Pada tingkat kawasan, hak yang diberikan umumnya bersifat kolektif, tergantung sifat aktivitas budidayanya, hak kepemilikan individual dapat dikembangkan dari hak kolektif.
34
Ijin Perencanaan dan Bangunan, meliputi : 1. Ijin Perencanaan, merupakan ijin pemanfaatan ruang yang sebenarnya karena setelah Ijin Lokasi menyatakan kesesuaian lokasi bagi pengembangan aktivitas budidaya dominan. Ijin Perencanaan menyatakan persetujuan terhadap aktivitas budidaya yang akan dikembangkan dalam kawasan. Ijin Penggunaan Lahan diduga merupakan istilah lain yang digunakan beberapa Pemda. 2. Ijin Mendirikan Bangunan, merupakan ijin bagi setiap aktivitas budidaya rinci yang bersifat binaan (bangunan) jika akan dibangun. Perhatian utama diarahkan pada kelayakan struktur bangunan melalui penelaahan rancangan rekayasa bangunan; rencana tapak di tiap Blok Peruntukan (terutama Bangunan berskala besar, mega struktur); atau rancangan arsitektur di tiap persil. Ijin lokasi Lingkungan, merupakan persetujuan yang menyatakan aktivitas budidaya rinci yang terdapat dalam kawasan yang dimohon “layak” dari segi lingkungan hidup, ijin ini meliputi : 1. Ijin HO/Undang undang Gangguan, terutama untuk kegiatan usaha yang tidak mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup (buka obyek AMDAL). 2. Persetujuan RKL dan RPL, untuk kawasan yang sifat kegiatan budidaya rinci yang berada didalamnya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Acuan yang digunakan dengan demikian adalah dokumen AMDAL yang pada bagian akhirnya menjelaskan RKL (Rencana Pemanfaatan Lingkungan) pada tingkat budidaya rinci (jika dibutuhkan) dan pada tingkat kawasan. 2. Pengawasan Dalam pasal 18 ayat 1 UU nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa pengawasan merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan dalam bentuk pelaporan, pemantauan 35
dan evaluasi. Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak, sehingga apa bila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah
ditetapkan,
dapat diketahui dan dilakukan upaya
penyelesaiannya. Obyek pengawasan adalah perubahan pemanfaatan ruang (kegiatan pembangunan fisik) yang terjadi, baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana beserta besaran perubahannya. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan sebagai berikut: •
Pelaporan adalah sebagai upaya memberikan informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang, baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
•
Pemantauan adalah kegiatan mengamati, mengawasi dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pemantauan dilakukan dengan cara pemeriksaan yang melibatkan pelaku pelanggaran (dengan memeriksa lebih jauh dokumen perijinan yang dimilikinya).
•
Evaluasi adalah sebagai upaya untuk menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang secara keseluruhan setelah terlebih dahulu dilakukan kegiatan pelaporan dan pemantauan untuk mencapai tujuan rencana tata ruang. Keluaran dari evaluasi adalah rekomendasi mengenai revisi tata ruang dan arahan jenis tindakan penertiban yang sebaiknya dilakukan.
3. Penertiban Penertiban merupakan upaya mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Dalam pasal 18 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Obyek penertiban adalah pola penyimpangan pembangunan terhadap rencana yang telah ditetapkan, meliputi penyimpangan fungsi, peruntukan dan ketentuan teknis lainnya. Tindakan penertiban dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang 36
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. Kegiatan penertiban dapat dilakukan secara langsung melalui penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan penertiban secara tidak langsung melalui pengenaan diintensif pemanfaatan ruang, seperti pengenaan retribusi secara porgresif atau membatasi penyediaan sarana dan prasarana dasar lingkungannya. Pengenaan sanksi dapat berupa sanksi administratif, sanksi pidana maupun sanksi perdata, yang terlebih dahulu diawali dengan peringatan/teguran kepada aktor pembangunan yang dalam pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang dikeluarkan. Pengendalian kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dilakukan dengan suatu mekanisme perijinan yang memperhatikan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi kota, aspek estetika, arsitektonis bangunan dan nilai sejarah kota, aspek pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah terhadap lingkungan (permendagri No. 4/1996 bagian pertimbangan), serta keserasian dengan fungsi lahan yang ada dan kesesuaiannya dengan daya dukung lingkungan sekitarnya (permendagri No. 4/1996, pasal 6). Selain itu, permendagri tersebut juga menghendaki upaya mempertimbangkan ketersediaan dan kapasitas sarana dan prasarana lingkungan yang berkaitan dalam proses perijinan perubahan pemanfaatan lahan. II.2.2 Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kota Cimahi Pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Cimahi dilakukan melalui beberapa mekanisme pengedalian pemanfaatan ruang yang terdiri dari, perijinan, pelaporan, pemantauan, evaluasi dan penertiban. Didalam perda No. 32 tentang RTRW Kota Cimahi menjelaskan prosedur pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri dari : 1. Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pemafaatan ruang harus mendapat ijin dari walikota atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
37
2. Menyampaikan laporan kepada Walikota tentang hasil kualitas ruang baik yang sesuai dengan rencana maupun yang tidak. 3. Survey kondisi pemanfaatan lahan pemeriksaan bangunan lingkungan dan melakukan kompilasi atas perubahan kualitas tata ruang yang tidak sesuai dengan ruang. 4. Mengadakan evaluasi hasil kegiatan kemajuan pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana. 5. Pengenaan sanksi yang terdiri atas sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana, apabila pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu bentuk pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Cimahi yaitu perijinan. Perijinan Pemanfaatan Ruang di Kota Cimahi diatur melalui beberapa Peraturan Daerah, seperti : 1. Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 32 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cimahi. 2. Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 35 Tentang Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT). 3. Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 37 Tahun 2003 tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Beberapa jenis-jenis perijinan pemanfaatan ruang di Kota Cimahi yaitu : 1.
Persetujuan Pemanfaatan Ruang (PPR) Persetujuan Pemanfaatan Ruang bertujuan untuk
menyelaraskan
pemanfaatan ruang dengan Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan. Dasar hukum Persetujuan Pemanfaatan Ruang yaitu Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 32 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cimahi. Untuk lebih jelas mengenai proses pemberian ijin Persetujuan Pemanfaatan Ruang (PPR) dapat dilihat pada Tabel II.1
38
Tabel II. 1 Bagan Alur Prosedur Tetap Pelayanan Persetujuan Pemanfaatan Ruang (PPR)
No. 1.
Pemohon Mulai
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Informasi Persyaratan & RTRW Kota Cimahi
Mengambil Form
Tidak Surat Penolakan
TKPPRD/BAPEDA
Sesuai
Cek Sesuai RTRW
2.
Form & Persyaratan
Mengisi Form & Persyaratan Resi Penerimaan Berkas
Bagian Proses
Lengkap
Tidak
Cek Persyaratan
3. Lengkap
Perlu Dibahas TKPRD
4. Surat Undangan
39
Tidak
SETDA
Walikota
No. 5.
Pemohon
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
6.
TKPPRD/BAPEDA
SETDA
Walikota
Paraf Ijin & Kajian
Tanda Tangan Ijin
Pemeriksaan Lapangan
Rekomendasi Tim Teknis
7.
Kaji & Beri Rekomendasi
Tidak Diijinkan?
Surat Penolakan
8.
Ya Pengolahan Ijin
Pemeriksaan Lapangan
9. Pemeriksaan Format Ijin
10.
Pencatatan & Penomoran
40
No. 11.
Pemohon
Loket Informasi
Bayar Retribusi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
SPPR
Arsip
SPPR
Sumber: Dinas Penanaman Modal 2007
41
TKPPRD/BAPEDA
SETDA
Walikota
2.
Ijin Lokasi (IL) Ijin Lokasi (IL) bertujuan untuk
memberikan ijin dengan maksud
penguasaan atas tanah/lahan. Dasar hukum Ijin Lokasi (IL) yaitu: •
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi.
•
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 22 tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan pemberian ijin lokasi dalam rangka pelaksanaan peraturan menteri negara agraria/ Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal.
Masa berlaku Ijin Lokasi ini tergantung pada luas tanah yang dimiliki, seperti : •
Luas Tanah ≥ 25 ha, 1 tahun.
•
Luas Tanah ≥ 25 sanpai dengan 50 ha, 2 tahun.
•
Luas Tanah ≥ 50 ha, 2 tahun
Untuk lebih jelas mengenai proses pemberian Ijin Lokasi (IL) dapat dilihat pada Tabel II.2. 3.
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Dengan pesatnya pertambahan penduduk dan pembangunan di Kota Cimahi diperlukan suatu rencana pemanfaatan ruang dengan tetap memperhatikan kesesuaian lahan dan kelestarian lingkungan. Selain itu juga untuk menata penggunaan dan pemanfaatan ruang Kota Cimahi dan didorong dengan semakin meningkatnya kebutuhan ruang kota, maka perlu adanya pengendalian dan pengaturan melalui Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) .
42
Tabel II. 2 Bagan Alur Prosedur Tetap Ijin Lokasi (IL)
No. 1.
Pemohon
Mulai
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Informasi Persyaratan
Mengambil Form
2.
3.
TKPPRD/BAPEDA
Form & Persyaratan
Mengisi Form & Persyaratan Resi Penerimaan Berkas
Bagian Proses
Lengkap
Tidak
Cek Persyaratan
Lengkap
Perlu Dibahas TKPRD
4.
Surat Undangan
43
Tidak
SETDA
Walikota
No. 5.
Pemohon
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
6.
TKPPRD/BAPEDA
SETDA
Walikota
Paraf Ijin & Kajian
Tanda Tangan Ijin
Pemeriksaan Lapangan
Rekomendasi Tim Teknis
7.
Kaji & Beri Rekomendasi
Tidak Diijinkan?
Surat Penolakan
8.
Ya Pengolahan Ijin
Pemeriksaan Lapangan
9. Pemeriksaan Format Ijin
10.
Pencatatan & Penomoran
44
No. 11.
Pemohon
Loket Informasi
Bayar Retribusi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
SPPR
Arsip
SPPR
Sumber: Dinas Penanaman Modal 2007
45
TKPPRD/BAPEDA
SETDA
Walikota
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya sepanjang pemegang ijin tidak memproses permohonan ijin selanjutnya, serta dapat diperpanjang 1 (satu) kali berdasarkan permohonan yang bersangkutan. Dasar hukum IPPT yaitu: 1. Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cimahi. 2. Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 35 Tahun 2003 Tentang Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT). Untuk lebih jelas mengenai proses pemberian IPPT lihat pada Tabel II.3 4.
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Dalam rangka antisipasi percepatan pertumbuhan dan menjamin tata tertib, kenyamanan, keselamatan bangunan yang ada di Kota Cimahi, perlu adanya pembinaan. Pengawasan dan pengendalian terhadap bangunan yang senantiasa meningkat. Bangunan yang berdiri harus ditangani dan dikelola sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi. IMB berlaku selama bangunan itu berdiri dan tidak ada perubahan. Dasar hukum IMB yaitu: 1. Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 37 Tahun 2003 tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Untuk lebih jelas mengenai proses pemberian IMB dapat dilihat pada Tabel II.4
46
Tabel II. 3 Bagan Alur Prosedur Tetap Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)
No.
Pemohon
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Informasi Persyaratan
Mengambil Form
Bagian Proses
TIM TEKNIS (DTK)
1. Mulai
2.
Form & Persyaratan
Mengisi Form & Persyaratan Resi Penerimaan Berkas
3.
Lengkap
Cek Persyaratan
Lengkap
Tidak
Perlu Dibahas Tim Teknis
4.
Surat Undangan
47
Tidak
KEPALA DINAS
No.
Pemohon
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
TIM TEKNIS (DTK)
KEPALA DINAS
5. 6.
Pemeriksaan Lapangan dan Pembuatan gambar Kaji & Beri Rekomendasi
7.
Tidak Surat Penolakan
Rekomendasi Tim Teknis
Diijinkan?
8.
Ya Pengolahan Ijin
Pemeriksaan Lapangan
9. Pemeriksaan Format Ijin
10.
Pencatatan & Penomoran
48
Tanda Tangan Ijin & Gambar
No.
11.
Pemohon
Loket Informasi
Bayar Retribusi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
Arsip
IPPT
IPPT
Sumber: Dinas Penanaman Modal 2007
49
TIM TEKNIS (DTK)
KEPALA DINAS
Tabel II. 4 Bagan Alur Prosedur Tetap Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
No.
Pemohon
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
TIM TEKNIS (DTK)
1. Mulai
Informasi Persyaratan
2.
Form & Persyaratan
Mengisi Form & Persyaratan Resi Penerimaan Berkas
3.
Mengambil Form
Lengkap
Tidak
Cek Persyaratan
Lengkap
Perlu Dibahas Tim Teknis
4.
Surat Undangan
50
Tidak
KEPALA DINAS
No.
Pemohon
Loket Informasi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
TIM TEKNIS (DTK)
KEPALA DINAS
5. 6.
Pemeriksaan Lapangan dan Pembuatan gambar Kaji & Beri Rekomendasi
7.
Tidak Surat Penolakan
Rekomendasi Tim Teknis
Diijinkan?
8.
Ya Pengolahan Ijin
9. Pemeriksaan Format Ijin
10.
Pencatatan & Penomoran
51
Pemeriksaan Lapangan
Tanda Tangan Ijin, Gambar Dan perhitungan
No.
11.
Pemohon
Loket Informasi
Bayar Retribusi
Loket Penerimaan
Bagian Proses
Arsip
SIMB
SIMB
Sumber: Dinas Penanaman Modal 2007
52
TIM TEKNIS (DTK)
KEPALA DINAS
Mekanisme perijinan di Kota Cimahi secara bertahap dimulai dari kepemilikan hak atas tanah yang diberikan Badan Pertanahan Nasional (BPN), kemudian Persetujuan Pemanfaatan Ruang (PPR) yang di berikan oleh walikota. Setelah mendapatkan persetujuan pemanfaatan ruang (PPR) kemudian ijin lokasi (IL) yang juga di berikan oleh walikota. Didalam pemberian persetujuan pemanfaatan ruang (PPR) dan ijin lokasi (IL) walikota dibantu oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang (TKPRD) yang didalamnya terdiri beberapa dinas terkait dengan pemanfaatan ruang. Sedangkan untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebelumnya para pemohon harus mendapatkan Ijin Peruntukan Pengunaan Tanah (IPPT). Didalam Ijin Peruntukan Pengunaan Tanah (IPPT) yang memberikan IPPT ialah Dinas Penanaman Modal (Dispemo). Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) akan diberikan setelah mendapat Ijin Perencanaan dan Rekomendasi Perencanaan. Untuk Ijin Perencanaan dan Rekomendasi Perencanaan di berikan oleh Dinas Tata Kota (DTK). Setelah mendapat rekomendasi ijin perencanaan dari Dinas Tata Kota (DTK) baru diberikan IPPT. Sedangkan untuk Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) juga merupakan wewenang Dinas Penanaman Modal (Dispemo). Akan tetapi sebelum mendapatkan IMB harus mendapat pengesahan gambar bangunan dan rekomendasi perijinan yang diberikan oleh Dinas Tata Kota (DTK). Untuk lebih jelas mengenai mekanisme perjinan di Kota Cimahi dapat dilihat pada Tabel II.5.
53
Tabel II. 5 Mekanisme Perijinan Di Kota Cimahi
Dinas Tata Kota
Dinas Penanaman Modal
Walikota Ijin Lokasi (IL)
Ijin Perencanaan
Rekomendasi Perencanaan
Persetujuan Pemanfaatan Ruang (PPR)
IPPT
Mengesahkan gambar bangunan
Rekomendasi Perijinan
IMB
Sumber : Hasil Kajian 2007 Selain perijinan yang perlu dilakukan dalam pengendalian pemanfaatan ruang yaitu penertiban. Berdasarkan peraturan daerah No. 37 Tahun 2003 tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi perdata yaitu denda Rp. 5.000.000, sanksi pidana yaitu kurungan 6 bulan dan sanksi administrasi yaitu pembongkaran bagi bangunan yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Proses pengenaan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang di Kota Cimahi dilakukan secara bertahap dan koordinasi. Proses penertiban dimulai dari surat teguran sebanyak 3 (tiga) kali yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota (DTK) kepada pelanggar tata ruang. Jika sudah 3 (tiga) masih tidak di respon maka Dinas Tata Kota (DTK) melaporkan ke Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) yang mempunyai wewenang sebagai penegak peraturan daerah. Dari Satpol PP ini kemudian melakukan tindakan pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar ketentuan yang berlaku dan Satpol PP ini juga bekerja sama dengan kejaksaan untuk menyelenggaraan sidang dari hasil sidang ini dapat diputuskan apakah para pelanggar tata ruang ini akan dikenakan sansi perdata berupa denda atau sanksi pidana berupa kurungan. 54
II.2.3 Perumusan
Indikator
dan
Tolok
Ukur
dalam
Pengendalian
Pemanfaatan Ruang Karena evaluasi yang dilakukan tergolong evaluasi semu (pseudo evoluation), maka indikator-indikator evaluasi sepenuhnya ditetapkan berdasarkan pendapat para ahli dan dokumen kebijakan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang. Pendapat para ahli dan dokumen kebijakan yang digunakan untuk memenuhi indikator dan dirumuskan dalam penelitian ini untuk mengetahui sebab-sebab ketidakefektifan Dinas Tata Kota didalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konservasi di Kota Cimahi. Dalam Kepmendagri No. 8 Tahun 1998 dijelaskan bahwa pengendalian merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi. Dalam pasal 16 No. 8 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan penataan ruang di daerah diselenggarakan dengan cara : (1) Melaporkan pelaksanaan pemanfaatan ruang (2) Memantau perubahan pemanfaatan ruang (3) Mengevaluasi konsistensi pelaksanaan rencana tata ruang (4) Pemberian sanksi hukum atas penyelenggaraan terhadap pemanfaatan ruang. Kegiatan pengawasan merupakan salah satu bentuk usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang. Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak, sehingga apa bila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan, dapat diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya.
55
Dalam pasal 17 No.8 Tahun 1998 kegiatan pengawasan diselenggarakan dengan cara : 1. Pelaksanaan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang dilakukan melalui kegiatan pelaporan, pemantauan dan evaluasi. 2. Hasil pengawasan pemanfaatan ruang berupa temuan penyimpangan. 3. Kepala Daerah wajib menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk pemeriksaan dan penyidikan atas penyimpangan terhadap pemanfaatan ruang. 4. Gubernur menyiapkan langkah-langkah tindakan pemeriksaan penyidikan sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3),
berdasarkan
hasil
evaluasi
penyimpangan melalui peninjauan lapangan pada lokasi secara koordinatif dan terpadu. 5. Bupati/Walikotamadya menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berdasarkan hasil evaluasi penyimpangan dan melalui peninjauan lapangan pada lokasi secara koordinatif dan terpadu serta masukan dari Gubernur. Penertiban merupakan salah satu bentuk mewujudkan rencana tata ruang, dalam pasal 18 No.8 Tahun 1998 kegiatan penertiban diselenggarakan dengan cara : a. Penertiban pemanfaatan ruang diwilayah Kabupaten/Kotamadya Dati II dilakukan melalui penertiban langsung dan penertiban tidak langsung. b. Penertiban langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui pemberian sanksi administrasi, sanksi pidana, dan sanksi perdata. c. Penertiban tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui antara lain : •
Pengenaan kebijakan pajak/retribusi
•
Pembatasan pengadaan prasarana dan sarana
•
Penolakan pemberian perijinan pebangunan
56
Menurut (Ibrahim, 1998) prosedur pengendalian dalam pemanfaatan ruang terdiri dari : 1. Mekanisme perijinan yang disesuaikan dengan jenis perijinan yang berlaku di Daerah Tingkat II. 2. Menyiapkan dan menerima laporan secara obyektif mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang. 3. Pemantauan perkembangan fisik pemanfaatan ruang yang sesuai dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang. 4. Menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang di kaitkan dengan kondisi rencana tata ruang yang ada. 5. Memberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dalam penelitan ini menggunakan UU No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang sebagai salah satu sumber kajian untuk melakukan perumusan indikator. Dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang prosedur pengendalian pemanfaatan ruang terdiri dari : 1. Perijinan terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. 2. Memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang 3. Mengamati, mengawasi, dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang 4. Menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang 5. Pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
57
Selain UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, didalam perda No. 32 tentang RTRW Kota Cimahi menjelaskan prosedur pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri dari : 1. Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pemafaatan ruang harus mendapat ijin dari walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Menyampaikan laporan kepada walikota tentang hasil kualitas ruang baik yang sesuai dengan rencana maupun yang tidak. 3. Survei kondisi pemanfaatan lahan pemeriksaan bangunan lingkungan dan melakukan kompilasi atas perubahan kualitas tata ruang yang tidak sesuai dengan ruang. 4. Mengadakan evaluasi hasil kegiatan kemajuan pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana. 5. Pengenaan sanksi yang terdiri atas sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana, apabila pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang Dari berbagai pendapat para ahli dan dokumen kebijakan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang ini, maka ditetapkan beberapa indikator. Indikator yang dipilih yaitu indikator yang mempunyai kesamaan dan mempunyai dasar yang kuat. Untuk lebih rinci mengenai proses penetapan indikator dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat pada Tabel II.6 dan hasil indikator yang telah ditetapkan dapat dilihat pada Tabel II.7.
58
Tabel II. 6 Proses Penetapan Indikator dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
UU 24/92 1. Perijinan terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Permendagri No. 8/98 Penyelenggaraan perijinan pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang di bidang perijinan.
Perda Kota Cimahi No. 32/2003
Syahrul Ibrahim
2. Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pemafaatan ruang harus mendapat ijin dari walikota atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perijinan
3. Mekanisme perijinan disesuaikan dengan jenis perijinan yang berlaku di Daerah Tingkat II.
Pelaporan
Menyampaikan laporan kepada Walikota tentang hasil kualitas ruang baik yang sesuai dengan rencana maupun yang tidak.
3. Memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang 4. Pelaporan
dalam
rangka
59
UU 24/92
Pemantauan
6. Mengamati, mengawasi, dan Memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang 7. Menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang
Permendagri No. 8/98 pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya di lakukan oleh Bappeda Tingkat II
Pemantauan dalam rangka pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya, dilakukan oleh Dinas Teknis Dati II melalui pengamatan dan pemeriksaan lapangan
Perda Kota Cimahi No. 32/2003
Syahrul Ibrahim
5. Menyiapkan dan menerima laporan secara obyektif mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang. Survey kondisi pemanfaatan lahan Pemantauan pemeriksaan bangunan lingkungan dan perkembangan fisik melakukan kompilasi atas perubahan kualitas pemanfaatan ruang yang sesuai dan tata ruang yang tidak sesuai dengan ruang. tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Mengadakan evaluasi hasil kegiatan kemajuan Menilai kemajuan pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan kegiatan rencana. pemanfaatan ruang di kaitkan dengan kondisi rencana tata ruang yang ada.
Evaluasi 8. Evaluasi dalam rangka pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah
60
UU 24/92
Permendagri No. 8/98 Kabupaten/Kotamadya, dilakukan oleh Bappeda Tingkat II
Perda Kota Cimahi No. 32/2003
9. Pengenaan sanksi sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penertiban
Syahrul Ibrahim
Memberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 10. Penertiban pemanfaatan ruang diwilayah Kabupaten/Kotamadya Dati II dilakukan melalui penertiban langsung dan penertiban tidak langsung.
Sumber: Hasil Kajian 2007
61
Pengenaan sanksi yang terdiri atas sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana, apabila pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
Tabel II. 7 Penetapan Indikator dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Indikator
Perijinan
1. Perijinan terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 2. Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pemafaatan ruang harus mendapat ijin dari walikota atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Penerima ijin wajib melaksanakan ketentuan dalam perijinan.
1
2
3
4
9 9 X X
Penyelenggaraan perijinan pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang di bidang perijinan.
Mekanisme perijinan disesuaikan dengan jenis perijinan yang berlaku di Daerah Tingkat II.
63
X
X 9 X
X
X X 9
Kesimpulan Indikator yang di gunakan Pelaksanaan perijinan sesuai dengan mekanisme perijinan yang telah ditentukan.
Indikator 4. Memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
Pelaporan
Menyampaikan laporan kepada Walikota tentang hasil kualitas ruang baik yang sesuai dengan rencana maupun yang tidak.
1
Memberi informasi Secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
5. Pelaporan dalam rangka pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotam adya di lakukan oleh Bappeda Tingkat II 6. Menyiapkan dan menerima laporan secara obyektif mengenai
64
9
Kesimpulan Indikator yang di gunakan 9 X X Memberikan informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
2
3
4
X
9 X X
X
X X 9 Menyiapkan dan menerima laporan secara obyektif mengenai
Indikator
Pemantauan
Evaluasi
pelaksanaan pemanfaatan ruang. 7. Mengamati, mengawasi, dan Memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
8. Menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang
Pemantauan dalam rangka pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya, dilakukan oleh Dinas Teknis Dati II melalui pengamatan dan pemeriksaan lapangan
Survey kondisi pemanfaatan lahan pemeriksaan bangunan lingkungan dan melakukan kompilasi atas perubahan kualitas tata ruang yang tidak sesuai dengan ruang.
Mengamati, mengawasi, dan Memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
Mengadakan evaluasi hasil kegiatan kemajuan pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana.
Menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang
Menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang di kaitkan
65
Pemanta uan perkemb angan fisik pemanfa atan ruang yang sesuai dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
1
2
3
4
9
9 9 9
Kesimpulan Indikator yang di gunakan pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Mengamati dan Memeriksa perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
9
X 9 9 Menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang di kaitkan dengan
Indikator
1
2
3
4
X
9 X X
9
X 9 9
dengan kondisi rencana tata ruang yang ada.
Penertiban
9. Evaluasi dalam rangka pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotam adya, dilakukan oleh Bappeda Tingkat II 10. Pengenaan sanksi sesuai dengan Peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang sanksi, baik pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Memberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
66
Pengenaan sanksi yang terdiri atas sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana, apabila pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
Kesimpulan Indikator yang di gunakan kondisi rencana tata ruang yang ada
Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Indikator 11. Penertiban pemanfaatan ruang diwilayah Kabupaten/Kotama dya Dati II dilakukan melalui penertiban langsung dan penertiban tidak langsung. Sumber : Hasil Analisis2007 Keterangan :
1. UU No.24/92, 2. Permendagri No.8/98, 3. Perda Kota Cimahi No.32/2003, 4. Syahrul Ibrahim.
67
1
2
3
4
X
9 X X
Kesimpulan Indikator yang di gunakan
Dari perumusan pendapat para tenaga ahli dan dokumen-dokumen kebijakan maka dihasilkan indikator. Selain indikator ditetapkan pula sub indikator dan tolok ukur yang merupakan tahapan-tahapan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang yang harus dilakukan Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi yang disesuaikan dengan peraturan daerah di Kota Cimahi. Adapun proses penetapan sub indikator dan tolok ukur diturunkan dari beberapa pendapat para ahli dan dokumen kebijakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang yang kemudian disesuaikan dengan peraturan daerah di Kota Cimahi, berikut akan dijelaskan proses penetapan sub indikator dan tolok ukur yang digunakan dalam studi ini. 1. Perijinan Sub indikator mekanisme perijinan dilakukan sesuai dengan jenis perijinan yang berlaku di Daerah Tingkat II diturunkan dari pendapat Syahrul Ibrahim yang dituangkan dalam Jurnal PWK Vol.9, No.2/Mei 1998. Sedangkan toluk ukur memberikan rekomendasi surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) diturunkan dari Keputusan Walikota Cimahi No. 060/Kep. 46 – Ortala/2003 yang dituangkan dalam uraian tugas jabatan struktural Dinas Tata Kota (DTK). 2. Pelaporan Sub indikator penyampaian laporan kepada Walikota tentang hasil kualitas ruang baik yang sesuai dengan rencana maupun yang tidak, diturunkan dari Peraturan Daerah No. 32 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi. Syahrul Ibrahim dalam Jurnal PWK Vol.9, No.2/Mei 1998 menyebutkan salah satu mekanisme pelaporan dalam pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan cara menyampaikan laporan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan kepada instansi terkait setiap bulan dan menyiapkan laporan bulanan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan daerah kepada Bupati/Walikota. Tolok ukur menerima laporan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai dengan peraturan daerah dari Kepala Desa/Lurah dan menerima laporan bulanan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan daerah dari Camat diturunkan dari 68
Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. 3. Pemantauan Sub indikator mengamati perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang serta memeriksa perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai, diturunkan dari UU Penataan Ruang No. 24/1992. Tolok ukur kegiatan pemantauan dilakukan dengan pemetaan terhadap KDB perumahan yang tidak sesuai dengan ketentuan KDB yang telah ditetapkan dan juga melakukan peninjauan dengan lapangan secara langsung terhadap perumahan yang KDB tidak sesuai aturan KDB yang telah ditetapkan, diturunkan dari Keputusan Walikota Cimahi No. 060/Kep. 46 – Ortala/2003 yang dituangkan dalam uraian tugas jabatan struktural Dinas Tata Kota Cimahi. 4. Evaluasi Sub indikator evaluasi pegendalian pemanfaatan ruang yaitu dengan menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang diturunkan dari Peraturan daerah No. 32 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi. Sedangkan tolok ukur kegiatan evaluasi proses pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan dengan pembahasan atau rapat pengambil keputusan untuk penertiban diturunkan dari Keputusan Walikota Cimahi No. 060/Kep. 46 – Ortala/2003 yang dituangkan dalam uraian tugas jabatan struktural Dinas Tata Kota Cimahi. 5. Penertiban Peraturan daerah No. 32 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi menyebutkan pengenaan sanksi yang terdiri atas sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana, apabila pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Keputusan Walikota Cimahi No. 060/Kep. 46 – Ortala/2003 yang dituangkan dalam uraian tugas jabatan struktural Dinas Tata Kota Cimahi menyebutkan proses kegiatan penertiban dilakukan dengan memberikan surat
69
teguran 1 (satu), memberikan surat teguran 2 (dua) dan memberikan surat teguran 3 (tiga). Proses penetapan indikator dan tolok ukur ini diyakini benar karena merupakan rumusan dari beberapa pendapat para ahli dan dokumen kebijakan dalam bidang kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan efektif apabila keseluruhan prosesnya dilakukan secara efektif. Sehingga outputnya adalah, pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif. Berikut adalah kriteria dan indikator evaluasi yang merupakan hasil perumusan dari beberapa ahli dan kebijakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk lebih jelasnya mengenai proses penetapan tolok ukur dalam studi ini dapat dilihat pada Tabel II.8. Tabel II. 8 Kriteria, Indikator dan Tolok Ukur Dinas Tata Kota (DTK) dalam
Pengefektifan
Prosedur Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Kriteria Perijinan
Indikator Pelaksanaan perijinan sesuai dengan mekanisme perijinan yang telah ditentukan.
Sub Indikator Melaksanakan proses pemberian IPPT (Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah) sesuai aturan. Melaksanakan proses IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) sesuai aturan
Pelaporan
Memberikan informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang
Memberikan informasi mengenai KDB yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
70
Tolok Ukur Memberikan Ijin Perencanaan yang telah ditentukan. Memberikan Rekomendasi Perencanaan yang telah ditentukan. Mengesahkan gambar bangunan yang sesuai dengan KDB yang telah ditentukan. Memberikan rekomendasi perijinan bagi bangunan yang sesuai dengan KDB yang telah ditentukan.. Menyampaikan laporan kepada Walikota tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan daerah setiap bulan.
Kriteria
Indikator
Sub Indikator
Menyiapkan dan menerima laporan secara obyektif mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Menerima laporan secara obyektif mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Menyiapkan laporan secara obyektif mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang. Pemantauan Mengamati dan Memeriksa perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang
Mengamati perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Memeriksa perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Menilai perkembangan kegiatan pemanfaatan ruang di kaitkan dengan kondisi rencana tata ruang yang ada Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuanketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Menilai temuan penyimpangan dalam pemanfaatan ruang.
Evaluasi
Penertiban
Pengenaan sanksi administrasi terhadap pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Sumber: Hasil Kajian 2007
71
Tolok Ukur Menyampaikan laporan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan kepada instansi terkait setiap bulan. Menerima laporan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan daerah dari Kepala Desa/Lurah . Menerima laporan bulanan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan daerah dari Camat. Menyiapkan laporan bulanan tentang KDB perumahan yang tidak sesuai peraturan daerah kepada Bupati/Walikota Melakukan pemetaan terhadap KDB perumahan yang tidak sesuai dengan ketentuan KDB yang telah ditetapkan. Melakukan peninjauan lapangan secara langsung terhadap perumahan yang KDB tidak sesuai dengan aturan KDB yang telah ditetapkan. Melakukan pembahasan atau rapat pengambil keputusan untuk penertiban
Memberikan surat teguran 1 (satu) Memberikan surat teguran 2 (dua) Memberikan surat teguran 3 (tiga)
Indikator yang telah dirumuskan ini menjadi penilai terpenuhi tidaknya prosedur kerja Dinas Tata Kota (DTK) dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Dari penjabaran diatas disebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan akan berjalan efektif apabila keseluruhan prosesya dilakukan. Proses pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Tata Kota (DTK) ini sudah dijabarkan dalam indikator-indikator evaluasi, sehingga penilaian keseluruhan baru dinyatakan efektif jika 100% indikatornya terpenuhi, dan memenuhi keseluruhan dari indikator yang telah ditentukan. II.3
Gambaran Umum Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi
Pembentukan Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi tertuang dalam peraturan daerah No.2 Tahun 2003 tentang struktur organisasi. Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi. Dinas Tata Kota (DTK)
mempunyai tugas pokok merumuskan dan
melaksanakan kebijakan opersional di bidang tata ruang, tata bangunan, prasarana perkotaan dan bina marga serta melaksanakan urusan ketatausahaan dinas. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana maksud diatas, Dinas Tata Kota mempunyai fungsi : •
Perumusan dan pelaksanaan kebijkan teknis opersional di bidang tata ruang
•
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis operasional di bidang tata bangunan
•
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis operasional di bidang prasarana perkotaan
•
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis operasional di bidang bina marga
Untuk menjalankan tugas dan fungsinya Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi mempunyai struktur organisasi yang teridiri dari : I. Kepala Dinas a. Bagian Tata Usaha b. Subag Program Dan Pelaporan c. Subag Umum dan Kepegawaian d. Subag Keuangan dan Perlengkapan 72
e. Bidang Tata Ruang •
Seksi Perencanaan Tata Ruang
•
Seksi Pemanfaatan Dan Pengendalian Tata Ruang
f. Bidang Tata Bangunan •
Seksi Perencanaan Teknis Tata Bangunan
•
Seksi Pelaksanaan Teknis Bangunan
•
Seksi Pengawasan dan Pengendalian
g. Bidang Prasarana Perkotaan •
Seksi Perencanaan Teknis Prasarana Perkotaan
•
Seksi Pelaksanaan Pembangunan Prasarana Perkotaan
•
Seksi Pengawasan Dan Pengendalian Prasarana Perkotaan
h. Bidang Bina Marga •
Seksi Perencanaan Teknis Bina Marga
•
Seksi Peralatan dan Pemeliharaan
•
Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bina Marga
i. UPTD j. Kelompok Jabatan Fungsioanal Untuk lebih jelasnya mengenai struktural dapat dilihat pada gambar III.1. Berikut uraian tugas Struktural Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi yaitu : 1. Kepala Dinas a. Menyusun rencana strategis Dinas berdasarkan Rencana Strategis Daerah. b. Mengkoordinasikan Kegiatan sektoral maupun sektoral di bidang tata ruang, tata bangunan, prasarana perkotaan dan bina marga berdasarkan kebijakan walikota. c. Menyelenggarakan
pembinaan
dan
pengawasan
dalam
hal
operasional di bidang kebakaran, pemakaman, bina marga dan perkotaan. d. Menyelenggarakan
pembinaan
dalam
pengelolaan
teknis
administrasi ketatausahaan yang meliputi : program, umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan. e. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan atasan. 73
2. Kepala Bagian Tata Usaha a. Menyusun program kerja pengendalian dan evaluasi program kerja bagian tata usaha. b. Menyelenggarakan
pengelolaan
teknis
admnistrasi,
umum,
kepegawaian, program, keuangan dan perlengkapan. c. Menyelenggarakan kegiatan penetapan rancangan kebijakan pengelolaan
umum,
kepegawaian,
program,
keuangan
dan
Menyusun dan menyiapkan rencana anggaran dinas. d. Menyelenggarakan pembinaan dan memelihara seluruh kegiatan kelembagaan dan ketatalaksanaan di lingkungan dinas serta usaha pengembangannya. e. Memberikan saran pertimbangan kepada kepala dinas dalam rangka menetapkan kebijakan dibidang tugasnya. f. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasa. 3. Kepala Sub Bagian Program dan Pelaporan a. Menyusun Visi, Misi, Renstra, Propeda, Rapeteda Dinas; b. Membuat Program Tahunan Jangka Pendek, Jangka Menengah dan Jangka Panjang. c. Melaksanakan dan menyiapkan usulan anggaran tahunan Dinas. d. Monitoring,
mengendalikan
dan
mengevaluasi
pelaksanaan
program Dinas. e. Inventarisasi dan analisa laporan dari tiap-tiap Bidang. f. Menyiapkan dan menyusun laporan bulanan, triwulan dan tahunan. g. Melaksanakan koordinasi dengan unit isntansi terkait. h. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. i. perlengkapan.
74
KEPALA DINAS Ir. Herdadi Pagih, MT BAGIAN TATA USAHA H. Eddy Wahyudi, SH
SUBAG PROGRAM DAN PELAPORAN Ir. Dudi Dofarudin Hakim
BIDANG TATA RUANG Ir. Didi Ahmadi Djamhir, MT
BIDANG TATA BANGUNAN Ir. Yayat syamsudin
SEKSI PERENCANAAN TATA RUANG Agus Joko N, ST
SEKSI PERENCANAAN TEKNIS TATA BANGUNAN Ir. Hamdan Agustin
SEKSI PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN Ir. Yani Rijaningsih
SEKSI PELAKSANAAN TEKNIS BANGUNAN Ir. Meity Mustika
BIDANG PRASARANA PRKOTAAN Ir. Hadimilono
BIDANG BINA MARGA Ir. Achyar
SEKSI PERENCANAAN TEKNIS PRASARANA PERKOTAAN Ir. Sule
SEKSI PERALATAN PERBEKALAN DAN PEMELIHARAAN Ir. Agus Safari
SEKSI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PRASANA PERKOTAAN Drs. Achmad Nuryana
SEKSI PERALATAN, PERBEKALAN DAN PEMELIHARAAN Ir. Yandi Tubagus
SEKSI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PRASARANA PERKOTAAN Agus Hapriyadi, ST
SEKSI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BINA MARGA Ujang Syafrudin
SEKSI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Ir. Prabowo, MT
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
SUBAG UMUM DAN KEPEGAWAIAN Rita Suharyati
UPTD PEMADAM KEBAKARAN Rudi Priadi, SH PEMAKAMAN Ir. Yusi Febrian Karim
Gambar II. 1 Struktur Organisasi Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi
76
SUBAG KEUANGAN DAN PERLENGKAPAN Aan Rusdana, Bsc
4. Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian a. Menyelenggarakan
pengumpulan,
pengolahan,
penyimpanan/pendokumentasian dan penyiapan data/informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas Dinas. b. Menyiapkan dan mengkoordinir rancangan Keputusan maupun Peraturan Daerah Lingkup Dinas. c. Melaksanakan dan melayani urusan rumah tangga, perjalanan dinas dan keprotokolan dilingkungan Dinas. d. Menghimpun, mendistribusikan dan mengirim surat-surat. e. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan pengadaan pegawai di lingkungan dinas.Melaksanakan penyusunan bahan kenaikan pangkat, pemberian penghargaan pension dan kenaikan gaji berkala, pengembangan karir, pembinaan dan peningkatan SDM. f. Melaksanakan penyusunan Daftar Urut Kepangkatan (DUK) di Lingkungan Dinas. g. Mengkoordinasikan dan melaksanakan pembuatan daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). h. Membuat buku besar dan normative daftar pegawai di Lingkungan Dinas. i. Melaksanakan penyusunan evaluasi dan laporan kegiatan Sub Bagian Umum dan Kepegawaian. j. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 5. Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan a. Menyiapkan dan menyusun anggaran tahunan Dinas. b. Melaksanakan pengadministrasian dan pembukuan keuangan anggaran dinas serta PAD. c. Melaksanakan kegiatan verifikasi anggaran Dinas. d. Monitoring,
mengendalikan
dan
mengevaluasi
penggunaan
anggaran Dinas dan perolehan PAD. e. Membimbing, membina dan mengkoordinir para bendaharawan dilingkungan Dinas.
77
f. Melaksanakan penyiapan dan membuat laporan pertanggung jawaban anggaran dinas baik bulanan, triwulan maupun tahunan. g. Melaksanakan koordinasi dengan unit kerja terkait. h. Menyiapkan dan menyusun Rencana Kebutuhan Barang Unit (RKBU) dan Rencana Tahunan Barang Unit (RTBU) Dinas. i. Melaksanakan pengadaan barang kebutuhan Dinas. j. Menerima, menyimpan, memelihara dan mendistribusikan barang dilingkungan Dinas. k. Melaksanakan pembukuan barang dinas. l. Menyiapkan, menyusun dan membuat laporan pengelolaan barang DInas triwulan dan tahunan. m. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 6. Kepala Bidang Tata Ruang a. Memimpin, mengatur, mengkoordinasikan, mengevaluasi, dan mengendalikan semua kegiatan Bidang Tata Ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. b. Merumuskan dan menetapkan rencana dan program kerja Bidang Tata Ruang sesuai dengan kebijakan dan arahan dari Kepala Dinas. c. Mendistribusikan dan member petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan. d. Menyiapkan dan membuat konsep atau naskah Dinas sesuai dengan kewenangannya dan atau atas instruksi/disposisi Kepala Dinas. e. Memaraf dan atau menanda tangani konsep atau naskah dinas sesuai dengan bidang tugasnya dan kewenangan yang dimiliki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan unit kerja di lingkungan Dinas Tata Kota dalam rangka efektivitas dan efisiensi kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. g. Membina dan memberikan motivasi serta bimbingan kepada bawahan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja.
78
h. Memberikan informasi dan pertimbangan efektivitas dan efesiensi pelaksanaan tugas Bidang Tata Ruang kepada Kepala Dinas. i. Mewakili Kepala Dinas dalam hal Kepala Dinas berhalangan untuk merencanakan koordinasi extern yang berkaitan dengan tugastugas di Bidang Tata Ruang. 7. Kepala Seksi Perencanaan Tata Ruang a. Memimpin seluruh kegiatan pelaksanaan tugas sesuai dengan bidang tugasnya. b. Mengumpulkan data demografis, geografis, social, ekonomi, dan budaya kawasan permukiman. c. Menyusun peta zonasi fungsi ruang permukiman. d. Menyiapkan pola lingkungan peruntukan, pola intensitas bangunan dan ketinggian bangunan. e. Menyiapkan arahan rencana perkembangan kota dan tahapannya. f. Mengkaji dan menyiapkan rencana lingkungan terpadu antar lingkungan. g. Mengkaji dan menyiapkan rencana perkembangan lingkungan permukiman yang memuat rencana lingkungan peruntukan, penggunaan tanah, jaringan prasarana dan sarana transportasi, serta sarana lingkungan. h. Menyusun dan menetapkan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK), Rencana Teknik Ruang (RTR), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Rencana Induk Sistem Seluruh sector. i. Menyelenggarakan survey dan pengukuran topografis lingkungan permukiman. j. Melakukan pemetaan dan pendataan lingkungan permukiman. k. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 8. Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang a. Memimpin seluruh kegiatan, pelaksanaan tugas sesuai dengan baidang tugasnya.
79
b. Melaksanakan serta menyusun pedoman dan petunjuk teknis pengendalian pemanfaatan ruang kota. c. Melaksanakan pemantauan perkembangan pemanfaatan ruang kota sebagai bahan evaluasi rencana kota dan pelayanan kepada masyarakat. d. Menyelenggarakan diseminasi rencana penataan ruang kawasan permukiman. e. Menyelenggarakan sosialisasi penerapan rencana penataan ruang kepada masyarakat. f. Mengelola kegiatan perijinan pemanfaatan ruang. g. Memberikan masukan kepada atasan langsung dalam rangka penertiban pelanggaran peruntukan ruang. h. Menghimpun dan memelihara data serta naskah yang berhubungan dengan perencanaan kota dan pengendalian pemanfaatan ruang. i. Menyimpan serta menyajikan data statistik hasil perencanaan kota dan pengendalian pemanfaatan ruang. j. Melaksanakan koordinasi dengan Dinas / Instansi / Lembaga terkait dalam pemberian rekomendasi penerbitan surat ijin peruntukan penggunaan tanah (IPPT). k. Melakukan evaluasi dan pelaporan pemanfaatan ruang. l. Melakukan evaluasi dan pelaporan perubahan dan perkembangan situasi lingkungan permukiman. m. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 9. Kepala Bidang Tata Bangunan a. Menyusun program jangka pendek dan jangka menengah/lima tahun kegiatan Bidang Tata Bangunan. b. Merencanakan pengawasan dan pelaksanaan pembangunan milik pemerintah, rumah dinas dan bangunan umum lainnya serta penataan bangunan dan lingkungan. c. Memantau,
mengendalikan
dan
pelaksanaan Bidang Tata Bangunan.
80
mengadakan
pengawasan
d. Mengelola pemanfaatan gedung, rumah dan bangunan milik pemerintah. e. Menyusun bahan pembinaan dan petunjuk teknis pelaksanaan sosialisasi Bidang Tata Bangunan. f. Melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian Bidang Tata Bangunan. g. Melaksanakan
pembinaan
teknis
dan
sosialisasi
pedoman
konservasiarsitektur bangunan dan pendestrian kawasan bangunan bersejarah. h. Melaksanakan koordinasi dengan unit kerja terkait. i. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 10. Kepala Seksi Perencanaan Teknis Tata Bangunan a. Menyusun data/informasi, melalui survei rutin dan survei lapangan. b. Menysusun analisa dan satuan harga upah dan bahan. c. Melaksanakan proses perancangan dan perencanaan di Bidang Tata Bangunan. d. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga terkait. e. Melaksanakan evaluasi dan pelaporan kegiatan perencanaan teknis pembangunan Gedung Pemerintah. f. Membuat laporan kegiatan proses perencanaan dan perancangan bangunan Gedung Pemerintah. g. Menyelenggarakan perencanaan bangunan gedung. h. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 11. Kepala Seksi Pelaksanaan Teknis Bangunan a. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan tata tertib pelaksanaan pembangunan Bdiang Tata Bangunan. b. Melaksanakan pembinaan administrasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan pembangunan Bidang Tata Bangunan. c. Melaksanakan pembinaan penataan, keamanan dan keselamatan bangunan.
81
d. Melaksanakan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara. e. Menyelenggarakan pelaksanaan standar nasional Bidang Tata Bangunan. f. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan instansi / lembaga terkait dalam memberikan rekomendasi penerbitan surat ijin sewa penggunaan jalan masuk pekarangan. g. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 12. Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bangunan a. Mengumpulkan,
mengolah
evaluasi
data
pengawasan
dan
pengendalian bangunan gedung milik pemerintah, rumah sakit, rumah sakit, dan non pemerintah (swasta baik perorangan maupun badan hukum). b. Melaksanakan
penyusunan
pedoman
dan
petunjuk
teknis
pengawasan dan pengendalian bangunan gedung pemerintah, rumah sakit dan non pemerintah (swasta). c. Melaksanakan
penyusunan
pedoman
dan
petunjuk
teknis
pengelolaan dan penerbitan surat ijin mendirikan bangunan. d. Melaksanakan peringatan
penyusunan
penertiban
pembangunan
gedung
pedoman
terhadap
dan
petunjuk
penyimpangan
pemerintah,
rumah
teknis
pelaksanaan
sakit,
dan
non
pemerintah (swasta). e. Melaksanakan koordinasi pengawasan dan pengendalian bangunan gedung pemerintah, rumah sakit, dan non pemerintah (swasta) dengan instasi terkait. f. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 13. Kepala Bidang Prasarana Perkotaan a. Melaksanakan pembinaan atas perencanaan dan pemograman penataan taman perumahan kota dan pedesaan. b. Melaksanakan pembinaan dan bimbingan teknis pembangunan, perbaikan serta pengembangan perkotaan dan pedesaan.
82
c. Melaksanakan pengendalian dan evaluasi perumahan dikaitkan dengan rencana tata ruang. d. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 14. Kepala Seksi Perencanaan Teknis Prasarana Perkotaan a. Melaksanakan koordinasi dengan unit kerja/instansi lain. b. Menyiapkan bahan koordinasi perencanaan lingkungan. c. Menampung usulan dan masalah lingkungan dari masyarakat. d. Mengiventarisasi data peraturan standar yang diperlukan untuk perencanaan lingkungan. e. Melaksanakan peninjauan lapangan pada lokasi kegiatan yang direncanakan dan lokasi yang bermasalah. f. Melaksanakan perencanaan penyehatan lingkungan yaitu air bersih, limbah, persampahan, drainase, jalan setapak, jalan lingkungan dan memonitoring serta evaluasi pelaksanaan kegiatan. g. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 15. Kepala Seksi Pelaksanaan Pembangunan Prasarana Perkotaan a. Melaksanakan
bimbingan
teknis
pelaksanaan
pembangunan
perumahan baik secara internal maupun esternal. b. Melaksanakan
pengawasan
langsung
terhadap
pekerjaan
pembangunan perumahan dan melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga terkait. c. Melaksanakan kegiatan administrasi dan dokumentasi kegiatan pembangunan di lapangan. d. Membuat laporan kegiatan pembangunan dan pemeliharaan prasarana lingkungan perumahan/permukiman di lapangan. e. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 16. Kepala Seksi Pengendalian dan Pengawasan Prasarana Perkotaan a. Menyusun pedoman dan petunjuk teknis dalam bidang : i. Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan prasarana secara spesifik sesuai dengan bidang tugas seharihari.
83
ii. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan prasarana perkotaan khususnya pembangunan prasarana lingkungan perumaha/permukiman. b. Melaksanakan koordinasi dengan dinas / instansi / lembaga terkait dalam
pelaksanaan
pembangunan
prasarana
lingkungan
perumahan/permukiman. c. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan bidang tugasnya.’ d. Membuat laporan dan evaluasi sesuai bidang tugasnya. e. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 17. Kepala Bidang Bina Marga a. Menyusun rencana kegiatan teknis kebinamrgaan. b. Melaksanakan teknis kegiatan kebinamrgaan. c. Mengkoordinasikan kegiatan teknis kebinamargaan. d. Mengendalikan dan monitoring kegiatan kebinamargaan. e. Mengevaluasi dan melaporkan kegiatan kebinamargaan. f. Menyelenggarakan pelayanan perijinan yang berkaitan dengan pemanfaatan daerah pengawasan jalan. g. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 18. Kepala Seksi Perencanaan Teknis Bina Marga a. Melaksanakan pengumpulan, pengolahan data teknik jalan untuk menyusun program Kebinamargaan. b. Melaksanakan perencanaan teknis jalan. c. Melaksanakan penyusunan dokumen perencanaan teknis dan mengkaji dokumen pelaksanaan. d. Menyelenggarakan kegiatan leger jalan. e. Memonitoring
dan
mengevaluasi
pelaksanaan
kebinamargaan. f. Melaksanakan koordinasi dengan unit kerja terkait. g. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 19. Kepala Seksi Peralatan Perbekalan dan Pemeliharaan
84
program
a. Menyusun rencana kegiatan pengelolaan peralatan, perbekalan dan pemerliharaan. b. Merumuskan
kebijakan
teknis
peralatan
perbekalan
dan
pemeliharaan. c. Mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan peralatan, perbekalan dan pemeliharaan. d. Menyelenggarakan administrasi dan manajemen alat, perbekala dan pemeliharaan. e. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait. f. Menyalurkan dan mendistribusikan peralatan, perbekalan untuk kegiatan pemeliharaan jalan. g. Melaksanakan
evaluasi
dan
pelaporan
kegiatan
peralatan,
perbekalan dan pemeliharaan. h. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 20. Kepala Seksi Pengendalian dan Pengawasan Bina Marga a. Menyelenggarakan kegiatan penyiapan bahan penetapan kebijakan teknis pengendalian dan pengawasan Kebinamargaan. b. Menyelenggarakan kegiatan pelaksanaan dan petunjuk teknis pengendalian dan pengawasan Kebinamargaan. c. Menyelenggarakan kegiatan pelaksanaan pengujian material bahan jalan. d. Menyelenggarakan perijinan pemakaian lahan/tanah milik jalan. e. Melaksanakan koordinasi dengan unit kerja terkait. f. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. 21. UPTD Kebakaran a. Menyusun rencana dan program kegiatan teknis dan administrasi di bidang penanggulangan bahaya kebakaran. b. Melaksanakan
kegiatan
di
bidang
penanggulangan
bahaya
kebakaran. c. Menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan teknis dalam upaya pencegahan/penanggulangan bahaya kebakaran. d. Membuat pelaporan dan evaluasi sesuai bidang tugasnya.
85
e. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan 22. UPTD Pemakaman a. Menyusun rencana dan program kegiatan teknis dan administrasi di bidang pemakaman. b. Melaksanakan kegiatan di bidang pemakaman. c. Menyelenggarakan
pelayanan
dan
pengendalian
sarana
permakaman. d. Menyelenggarakan
pengelolaan
dan
pentoran
retribusi
pemakaman. e. Melaksanakan pemantauan dan pengendalian pemakaman. f. Membuat pelaporan dan evaluasi sesuai bidang tugasnya. g. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan atasan.
II.4
Konsep Evaluasi
Secara sederhana evaluasi dapat didefinisikan sebagai penilaian kembali kegiatankegiatan yang telah berlalu sampai ke periode tertentu. Dalam tatanan analisis kebijakan, evaluasi berfungsi untuk memberi informasi yang bermakna dan terpercaya mengenai kinerja kebijakan, memberi masukan pada klarifikasi dan kritik nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan sasaran kebijakan serta memberi masukan pada aplikasi metoda analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan penyusunan rekomendasi (Dunn, 1994; 609-611). Studi evaluasi dapat dibagi menjadi dua yaitu evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Singarimbun (1985; 5) mengemukakan bahwa evaluasi sumatif adalah upaya untuk mengevaluasi program atau kebijakan yang telah tercapai, sedangkan evaluasi formatif adalah upaya untuk mengevaluasi program atau kebijakan yang masih berjalan (on-going) untuk mendapatakan umpan balik yang berguna untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja program atau kebijakan tersebut. Untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, pada tahap analisis dibutuhkan kriteria-kriteria untuk menilai kinerja kebijakan tersebut. Kriteria untuk evaluasi tersebut diterapakan secara retrospektif atau ex-post (Dunn, 1994;
86
611). Pada umumnya kriteria evaluasi yang digunakan dalam analisis kebijakan publik adalah : •
Efectiveness Kriteria ini digunakan untuk menilai apakah kebijakan atau program yang diterapkan dapat mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan.
•
Efficiency Kriteria efesiensi digunakan untuk mencari tahu perbandingan antara input dan out put suatu program atau kebijaksanaan. Yang dipertanyakan adalah seberapa besar usaha dilakukan untuk mencapai hasil yang maksimal dan apakah besarnya usaha dan hasil program atau kebijakan yang diterapkan seimbang.
•
Adequacy Adequacy digunakan untuk menjawab seberapa jauh program atau kebijakan yang diterapkan mampu dan tetap untuk memecahkan dan menjawab masalah.
•
Equity Kriteria ini digunakan untuk mencari tahu apakah biaya dan manfaat dari program atau kebijakan yang diterapkan terdistribusi secara proposioanal bagi setiap stakeholder yang terlibat.
•
Responsiveness Kriteria responsiveness digunakan untuk menilai apakah hasil program atau kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan, preferensi atau sistem nilai kelompok yang menjadi objek program atau kebijakan.
87
•
Approriateness Kriteria ini digunakan untuk menilai apakah tujuan dari program dan kebijakan yang diterapkan memberi manfaat secara normatif.
Secara umum, evaluasi dapat diartikan sebagai prosedur analitik kebijakan yang digunakan untuk menghasilkan iformasi tentang kinerja kebijakan dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatan-kesempatan yang merupakan “masalah” (Dunn, 1994). Selain itu evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu prosedur analisis kebijakan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan dengan tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan terhadap tujuan dan sasaran semula (Anggriani, 2000). Dalam aplikasinya, evaluasi yang dilakukan terhadap suatu hasil kebijakan bisa dibedakan dalam beberapa hirarkis (Sutriadi, 2002). Hirarki itu dimulai dari evaluasi pada tingkatan kebijakan kemudian evaluasi pada tingkatan program dan terakhir adalah evaluasi pada tingkat proyek. Secara detail berikut akan dijelaskan dalam uraian berikut : 1. Evaluasi Kebijakan Evaluasi pada tingkat kebijakan dilakukan pada segala tingkatan baik pada pelaksanaan kebijakan, hasil kebijakan, maupun pada tahapan penyusunan alternatif kebijakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada/tidaknya peningkatan dari keluaran kebijakan dengan seperangkat penilaian. Secara lebih khusus evaluasi lebih menjurus kepada suatu upaya untuk mendapatkan hasil informasi mengenai hasil dari policy out comes. Kriteria yang dijadikan acuan dalam melakukan evaluasi, yaitu keefektifan, efesiensi, adequacy, equity, responsiveness, appropriatness. 2. Evaluasi Program Merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi kepada decision maker (pengambil keputusan)
guna
mendapatkan gambaran
tentang
keefektifan kinerja serta strategi yang dijalankan, sehingga pengambil 88
keputusan dapat mengambil tindakan/kebijakan ataupun memberikan saran untuk
mengatasi
mengurangi
permasalahan/problem
yang
dihadapi,
keefektifan kinerja serta strategi yang dijalankan. Sedangkan secara spesifik, evaluasi program diartikan sebagai pemeriksaan program secara sistematis untuk memberikan informasi mengenai dampakdampak yang dirasakan oleh masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika disederhanakan, pada dasarnya evaluasi program beranjak dari pertanyaan apakah program tersebut berhasil atau tidak. Jawaban dari pertanyaan apakah program tersebut berhasil atau tidak. Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan dasar pengambilan keputusan apakah program yang bersangkutan diteruskan, dihentikan, ditolak, diterima, atau diperbaiki dan seterusnya (Weiss dalam Starling, 1993). Jadi, kegiatan evaluasi tidak hanya menjawab pertanyaan apa yang terjadi, mengapa dan bagaimana, tetapi juga apa yang sebaiknuya dilakukan. Kriteria yang digunakan dalam melakukan evaluasi program antara lain adalah relevansi, signifikasi, validasi, kepercayaan (realibility), keobjektifan, ketepatan waktu, dan daya guna. (Henry, Nicholas, Public Administration & Public Affairs, Fifth Edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, Nem Jersey, 1992, halaman 184). Dalam melakukan kegiatan evaluasi program, terdapat enam macam evaluasi program dalam mekanisme evaluasi program, yaitu: front-end evaluation, evaluability asessment, process evaluation, the effectiveness or impact evaluation, program and problem monitoring, meta evaluation or evaluation synthesis. Front-end evaluation : Kegiatan evaluasi yang dilakukan sebelum keputusan dibuat dan hasilnya dimasukan ke dalam program baru, evaluasi ini mengukur secara terus menerus tentang permasalahan dan kemajuan program dari waktuwaktu yang lalu. Evaluability : Evaluasi yang digunakan untuk menjawab perumusan program dan implementasinya, secara mendasar evaluasi ini melibatkan pertanyaan tentang hitungan. 89
Process Evaluation : Evaluasi ini menggambarkan proses kegiatan program mulai perencanaan hingga pelaksanaannya, serta dapat melihat akibat pemakaian program terhadap pemakainya. The effectivenes or impact evaluation : Evaluasi dilakukan dengan jalan melihat kebelekang untuk mengetahui bagaimana program berjalan dengan baik, evaluasi ini dilakukan dengan secara kontinu memantau problem dan kemajuan yang dialami oleh program tersebut. Program and problem monitoring : Evaluasi ini digunakan untuk melihat kesesuain program dan pelaksanaannya, juga menyediakan berbagai informasi dari permasalahan dalam berbagai waktu sehingga dapat dilihat perubahan permasalahan yang dihadapi pada waktu tertentu. Meta Evaluation or Evaluation Synthesis : Evaluasi yang bersifat menyeluruh, evaluasi ini dilakukan dengan hasil yang dilakukan pada tahap sebelumnya. 3. Evaluasi Proyek Evaluasi proyek merupakan upaya untuk menilai objektif terhadap hasil-hasil yang telah dicapai dari suatu proyek yang telah direncanakan sebelumnya, hasil penilaian tersebut sebagai masukan bagi perencanaan kembali ataupun perencanaan selanjutnya. Evaluasi
memiliki peranan penting dalam
menentukan kelanjutan suatu proyek. Jika hasil yang merugikan, maka proyek layak dihentikan. Dan jika hasilnya menunjukan sebaliknya maka proyek layak untuk dilanjutkan. Kegiatan evaluasi proyek tidak terlepas dari kategori yang dipergunakan, dalam hal ini secara umum terdapat tiga kategori yaitu: a. Evaluasi tahap Perencanaan
90
Dilaksanakan untuk memilih dan menentukan sakla prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. b. Evaluasi Tahap Pelaksanaan Evaluasi pada tahap ini merupakan kegiatan analisis untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan rencana. Sejauh mana proyek masih tetap dapat mencapai tujuannya, apakah tujuan tersebut sudah berubah, atau dengan kata lain, apakah pencapaian hasil proyek tersebut
akan
memecahkan
masalah
pembangunan
yang
ingin
dipecahkannya, Evaluasi juga mempertimbangkan faktor-faktor luar yang mempengaruhi keberhasilan proyek baik membantu maupun menghambat. c. Evaluasi Tahap Purna Pelaksana Evaluasi pada tahap ini untuk menilai hasi pelaksanaan dibandingkan dengan rencana, apakah dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan tata cara untuk melakukan kegiatan evaluasi dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu pseudo-evaluation, formal evaluation, serta decision-theoritic evaluation. 1.
Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation) Evaluasi semu pada intinya dilakukan denganmenggunakan sisitem nilai individu untuk menilai sistem publik. Pada pendekatan semu ini nilai yang dipilih sebagai variabel penilai bagi suatu program maupun kebijakan adalah nilai-nilai pribadi yang sifatnya non-konvensioanal atau dapat diterima oleh publik. Variabel penilai yang dianggap kontroversial tidak diperhatikan dalam pendekatan semu ini untuk menghindari pelaksanaan evaluasi yang tidak objektif.
91
2.
Evaluasi Formal (Formal Evaluation) Merupakan salah satu kegiatan evaluasi dengan metode pendekatan keilmuan untuk menghasilkan informasi dari suatu kebijakan yang dapat dipercaya, dimana kebijakan tersebut telah ditetapkan sebagai program.
3.
Evaluasi teori keputusan (decision-theoritic evaluation) Evaluasi Teori Keputusan adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai kebijaksanaan yang menyangkut banyak pihak (stakeholders) yang berkonflik antara satu sama lain, sehingga pengambilan keputusan sulit dilakukan karena banyaknya perbedaan pendapat. Metode Analytical Hierarchy Practice (AHP) secara praktis akan memudahkan dan mendukung evaluasi ini.
Berkaitan dengan tipe evaluasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini, evaluasi yang digunakan adalah evaluasi pada tingkatan program, yaitu pada Process Evaluation dengan menggunakan pendekatan Evaluasi Semu. Evaluasi semu adalah
pendekatan
yang
menggunakan
metode-metode
deskriptif
untuk
menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadapa individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial. Evaluasi ini meliputi pemantauan dan evaluasi program setelah program tersebut diterapkan untuk jangka waktu tertentu. Jadi penekanan evaluasi program dalam studi ini adalah keefektifan proses pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Tata Kota (DTK) Kota Cimahi yang sedang berjalan, dan rekomendasi untuk memperbaiki kinerjanya. Evaluasi Semu pada studi ini berarti studi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi perbaikan atau feedback bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan koservasi di Kelurahan Cipageran untuk masa mendatang. 92