PROLOGUE
Pernahkah kalian bertemu seseorang, baik itu sesama jenis ataupun lawan jenis, dan kalian langsung merasakan adanya getaran chemistry yang berkembang di antara kalian? Mungkin kalian berpikir kalau chemistry yang kumaksud itu rasa suka, atau rasa cinta pada pandangan pertama, tapi tidak, tidak—aku masih cukup normal untuk tidak menyukai sesama jenisku, Chemistry yang kumaksud adalah—di saat kalian bertemu dengan seseorang yang awalnya tidak kalian kenal sama sekali, tapi kalian langsung merasakan hubungan yang erat dengannya. Kalian akan merasa seperti kalian telah mengenalnya untuk waktu yang sangat lama. Pernahkah kalian mengalaminya? Mungkin tidak banyak orang yang pernah mengalami ini, but trust me—it’s really amazing. Katherine „Kate‟ Elizabeth Anderson
1 Lethologica (n.) The inability to recall a precise word of something
-Kate. 22 April 2014 21:53
Betapa hari yang melelahkan… Aku melepas celemekku dan menggantungkannya di loker. Hari ini kafe sangat penuh sehingga kami baru bisa menutupnya jam setengah sepuluh tadi—lebih lama satu jam daripada biasanya. Badanku sampai terasa kaku saat aku mencoba untuk merenggangkannya. Sambil berganti baju, aku mengambil ponsel dari saku celanaku. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Kevin—dia berjanji utuk menjemputku malam ini. Saat mengancingkan kemeja biruku dengan satu tangan, ponselku bergetar. Kevin. “Hei, kau!” “Babe,” suaranya terdengar begitu serak dan letih. “Apa kau sudah selesai?” Aku mengangguk. “Hm-hmm. Kau di mana? Aku baru saja berganti pakaian. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu!” 2
“Uh—aku minta maaf, Sayang. Sepertinya aku tidak bisa menjemputmu malam ini. Ada masalah dengan bon-bon di bar. Aku harus meeting dengan Cameron dan timnya,” aku yakin aku dapat melihat Kevin yang sedang mengernyitkan kening sambil memegang batang hidungnya. Aku tidak pernah mendengarnya sefrustrasi ini sebelumnya. “Ya sudah, tidak apa-apa. Aku bisa memanggil taksi. Jangan kerja terlalu keras, Kev. Aku mencintaimu.” “Aku juga. Hati-hati, ya? Selamat malam, Kate.” “Oke, bye.” Aku menghela nafas dan memanyunkan bibirku. Dia membatalkan janji lagi, tapi memang masalahnya kali ini terdengar serius. Kevin bukan orang bodoh, aku yakin dia pasti
akan
menyelesaikannya
dengan
baik.
Setelah
membereskan tas dan mengunci loker, aku pun keluar dari ruang ganti pegawai. Tampak Tyler—partner kerjaku yang sudah kuanggap seperti adik sendiri—sedang berdiri dengan murung di samping pintu. “Kena—?” “Kate.” “Kenapa, Ty?” Tyler menatapku. “Aku minta maaf.” “Memangnya ke—?” Oh, tunggu. “Apa ini ada hubungannya dengan Bella?” 3
Tyler terlihat terkejut dan membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Akhir-akhir ini Bella memang terlihat lebih diam daripada biasanya. Setiap kali aku berusaha untuk mengajaknya bicara, dia selalu berkata kalau semuanya baikbaik saja, tapi aku tidak pernah mempercayainya. Aku bahkan pernah memergokinya menangis saat tengah malam! “Apa. Yang. Telah. Kau. Lakukan. Tyler?” “Aku tidak melakukan apa-apa!” seru Tyler membela diri sambil mengangkat kedua tangannya ke udara. “Tapi…” Aku balik menatapnya lurus-lurus, menunggu penjelasannya. “Aku memang sedikit memaksanya,” aku Tyler. Aku terbelalak. Apa dia benar-benar memaksanya untuk… Ya, Tuhan! Berbagai adegan mulai terputar di kepalaku dengan sekejap. Melihat ekspresiku, mata Tyler melebar. “Oh, bukan. Tidak, Katherine! Bukan itu maksudku! Aku tidak akan menyakitinya! Bukan itu, demi Tuhan! Astaga, bukan itu!” Aku masih menatap Tyler dengan terperangah. “Aku melamar Bella.” “Apa?”
4
“Aku. Melamar. Bella,” Tyler menekankan setiap kata-katanya dengan staccato; Dia. Melamar. Bella. Ketika aku pertama kali datang ke London bersama Bella, rasanya semua terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Sebuah mimpi yang awalnya kau kira tidak akan pernah bisa terkabulkan, tapi, semua itu terjadi. Bella dan aku mendapat beasiswa ke salah satu universitas ternama di London. Yayasan pendidikan pemberi beasiswa itu juga memfasilitasi dengan sebuah flat kecil di salah satu distrik wilayah barat daya pusat London, Morden. Kami berdua sangat senang dan bangga, karena kuliah di London telah menjadi cita-cita kami berdua sejak kami memulai persahabatan kami delapan tahun yang lalu saat kami masih di sekolah menengah. Kami juga bekerja paruh waktu untuk menambah uang saku kami—full-time sekarang, karena kini sudah setahun setelah kami lulus kuliah dan kami masih bingung mau bekerja apa—aku bekerja sebagai barista di sebuah kafe bernama Lemon & Lime, sementara
Bella
Si
Kutu
Buku
bekerja
menjadi
perpustakawan di Public Library of Morden. Kisah cinta kami berdua juga bisa dibilang unik. Pacarku, Charles Kevin O‟Connor, merupakan pemilik bar lokal yang bisa dibilang populer, The Red Lemonade dan kafe tempatku bekerja, Lemon & Lime. Jadi yah—bisa 5
dibilang aku berpacaran dengan bosku. Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, aku sama sekali tidak tahu kalau dia adalah pemilik kafe tempatku bekerja. Dia biasanya datang sebagai pelanggan setiap Selasa sore dan pesanannya selalu cappuccino dan blueberry cheesecake. Matanya yang biru dan suaranya yang berat khas memang sangat sulit untuk diabaikan. Kevin memang brengsek saat itu. Entah kenapa dia kebetulan
bertemu
Bella
di
sebuah
toko
CD
dan
mengajaknya berkenalan, membuat Bella pun jatuh hati padanya. Kami berdua tidak tahu kalau kami menyukai lakilaki yang sama, karena kami mempunyai kesepakatan untuk tidak menceritakan laki-laki yang kami sukai sampai kami benar-benar berpacaran. Kevin memperkenalkan dirinya sebagai „Charles Kevin‟ pada Bella, sedangkan dia memperkenalkan dirinya sebagai „Kevin O‟Connor‟ padaku. Brengsek, bukan? Setelah semuanya terbongkar, Bella dan aku bertengkar karena aku memang sangat mencintai Kevin—aku tahu, aku memang bodoh—tapi akhirnya kami berdua berbaikan dan Bella „melepaskan‟ Kevin untukku. Sementara itu, Tyler sempat memendam perasaan padaku. Dia selalu bersikap seolah tidak peduli ketika aku bercerita tentang Kevin walaupun sebenarnya dia merasa 6
sangat cemburu dan kesal. Dia juga sangat marah ketika mengetahui kalau Kevin telah „mempermainkan‟ kami berdua. Tapi kemudian setelah Kevin dan aku „resmi‟ berpacaran, Bella mengakui kalau dia mulai dekat dengan Tyler. Bella berkata kalau Tyler membuatnya merasa senang dan nyaman. Sampai akhirnya satu setengah tahun yang lalu, Tyler menyatakan cintanya pada Bella dan mereka berpacaran pun sejak itu. Aku tidak pernah melihat Tyler begitu tertekan, dan Bella juga tidak berkata apa-apa padaku tentang Tyler melamarnya! Ada apa dengan Bella?! Mengapa dia menyembunyikannya
dariku?
Apa
mereka
sudah
bertunangan? Tapi aku belum melihat adanya cincin di jari manis Bella. “Kate?” “Apa… Apa jawaban Bella?” “Dia bilang kalau dia akan memikirkannya, tapi sampai sekarang dia belum memberikan jawaban apapun. Dia
selalu
mengelak
saat
aku
berusaha
untuk
membicarakannya.” “Kapan kau melamarnya?” “Saat kita pergi ke rumah kakemu bulan Februari lalu.” 7
Mataku kembali melebar. “Saat kita merayakan ulang tahunnya? Ya, Tuhan. Pantas saja!” “Memangnya
kenapa?”
Tyler
mengacak-acak
rambutnya, frustrasi. “Tidakkah kau menyadarinya? Bella terlihat sangat kusut saat kita makan malam waktu itu! Aku sampai berpikir kalau dia tidak menyukai kejutan ulang tahunnya,” jawabku. Muka Bella yang datar masih terbayang dengan jelas di otakku. Saat itu bulan Februari, tanggal lima belas. Aku mengajak Kevin dan Tyler untuk merayakan ulang tahun sahabatku itu di mansion Kakek Anderson di Darthmouth selama akhir minggu. Semuanya berjalan dengan sangat baik, sampai akhirnya pada Sabtu malam, aku mengajak ketiga orang terdekatku itu makan malam di sebuah restoran di pinggir pantai. Terus terang sebenarnya aku sangat menikmati hari itu. Kevin baru saja pulang dari sebuah business trip ke kampung halamannya—Dublin—untuk melihat beberapa bar dan mempelajari berbagai macam resep minuman baru. Kevin juga banyak tersenyum hari itu, lebih banyak dari biasanya. Tapi justru yang berulang tahun jelas tidak menikmati makan malamnya. Ekspresi matanya kosong sepanjang malam. Aku khawatir kalau diam-diam dia masih 8
menyimpan sedikit dendam terhadapku karena Kevin. Jangan-jangan asumsiku benar; Bella tidak menerima lamaran Tyler karena dia masih memendam perasaan pada Kevin. “Tyler,
apakah
mungkin
kalau
Bella
masih
menyukai Kevin?” tanyaku ragu-ragu. “Apa?
Tidak.
Tidak
mungkin,”
Tyler
menggelengkan kepalanya. “Aku percaya padanya, Kate. Dia mencintaiku. Dia sudah melupakan Kevin.” Aku mengangguk. “Baiklah kalau begitu, aku mau pulang. Kalau berlama-lama nanti aku tidak mendapat taksi.” “Biar kuantar,” tawar Tyler. “Kalau boleh, aku mau bertemu Bella sebentar.” “Bagaimana, ya?” aku tidak mau mengganggu Bella malam-malam begini. Dia bukan tipe orang yang suka terjaga hingga tengah malam. Aku juga tidak mau dia menjadi marah hanya karena hal sepele. “Bagaimana kalau besok saja?” ”Please, Kate,” pinta Tyler memelas. “Kalau dia sudah tidur, aku akan langsung pulang, aku janji.” Karena aku tahu Tyler akan terus memaksa, aku pun mengiyakan. Tyler tersenyum puas dan mengambil helmnya. Untung saja aku memakai jaket tebalku pagi ini. Kalau aku
9
memakai jaket tipis malam-malam sambil mengendarai motor, bisa-bisa aku terserang hipotermia. “Siap?” tanya Tyler, menoleh ke arahku. “Jangan ngebut!” aku memperingatkannya. “Aku tahu, aku tahu,” Tyler memutar bola matanya. “Kita berangkat!” Motor besar Tyler melaju melintasi jalanan Morden yang sudah lumayan sepi. Aku melirik speedometer-nya, 35mph. Oke, I can tolerate that. Tidak sampai setengah jam, kami pun sampai di rumahku. Yup, rumah Bella dan aku. Jadi begini, kakekku— Kakek Anderson—merupakan orang kaya yang sangat murah hati. Kakek memberikan rumah kecil ini sebagai hadiah kelulusan kami karena sudah lulus dengan hasil yang sangat gemilang di matanya. Bukan hanya itu, karena dia juga mengenal
banyak
orang
di
Inggris
Raya
ini,
dia
menghadiahkan kami surat-surat kewarganegaraan Inggris! Sekarang kami sudah menjadi warga Negara Inggris yang sah. Kami sangat senang karenanya. Ketika aku pertama datang ke London, aku tidak begitu dekat dengan Kakek. Walaupun aku berasumsi kalau
10