Kecil-Kecil Punya Karya® BULAN TIDAK BOHONG Penulis: Hanifah, dkk. Ilustrasi sampul: Heindry Kurniawan Ilustrasi isi: Agus Willy Penyunting naskah: Dadan Ramadhan Desain sampul dan isi: Iwan Yuswandi Proofreader: Wawan Kurniawan Layout sampul dan seting isi: Tim Artistik Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Diterbitkan pada Mei 2012, oleh: DAR! Mizan Anggota Ikapi PT Mizan Pustaka Jln. Cinambo No. 135 Cisaranten Wetan Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7834310--Faks. (022) 7834311 e-mail:
[email protected], http://www.mizan.com
BU AKBOHONGBULAN LAN D I T N TIDAKBOHONGBULA Hanifah, dkk. Bulan tidak bohong/Hanifah, dkk; penyunting, Dadan Ramadhan —Cet. I,—Bandung: DAR! Mizan, 2012. 68 hlm.; Ilust.: 21 cm. (Kecil-Kecil Punya Karya®) ISBN: 978 –602–242– 017–0 1. Kreativitas. I. Judul. II. Dadan Ramadhan. III. Seri.
899. 221 3K
Didigitalisasi dan didistribusikan oleh:
Kantor Pusat: Gedung Ratu Prabu I Lantai 6 Jln. T.B. Simatupang Kav. 20, Jakarta 12560 - Indonesia Telp. (021) 78842005 – Faks. (021) 78842009 e-mail:
[email protected] http://www.mizan.com Perwakilan: Jln. Jagakarsa I No. 12, Jakarta 12620 - Indonesia Telp. (021) 7865767 – Faks. (021) 7863283
Pengantar Dalam rangka menyambut peluncuran film Ambilkan Bulan produksi Mizan Productions dan Falcon Pictures, Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK), divisi buku anak dan remaja di bawah naungan Penerbit Mizan, menyelenggarakan lomba menulis cerpen bertema “ambilkan bulan”. Lomba ini dibagi dalam dua kategori, yaitu untuk siswa SD dan SMP dan berhasil menjaring lebih dari 160 peserta dari seluruh Indonesia. Lomba menulis cerpen ini bertujuan antara lain untuk menemukan bibit-bibit baru penulis cilik tanah air. Karya yang menjadi pemenang akan diterbitkan dalam bentuk buku digital (E-book) oleh Mizan Digital Publishing (MDP) yang dapat diunduh di www.mizan.com. Lomba ini juga menyediakan hadiah uang tunai total sebesar 6 (enam) juta rupiah. Masih dalam rangkaian kegiatan menyambut film Ambilkan Bulan, Penerbit Mizan juga mengeluarkan novel anak-anak berjudul Ambilkan Bulan yang ditulis oleh Shara, penulis cilik yang karya-karyanya best seller. Shara, yang bernama lengkap Wanda Amyra Mayshara, telah menulis empat buah buku yang semuanya diterbitkan oleh DAR! Mizan. Buku kelimanya, Ambilkan Bulan ini, ditulis berdasarkan skenario film Ambilkan Bulan karya Jujur Prananto. Buku ini telah diluncurkan pada 1 Mei 2012 yang lalu. Satu lagi yang turut menyemarakkan kehadiran film Ambilkan Bulan adalah album Ambilkan Bulan. Album ini berisi sepuluh lagu ciptaan AT Mahmud yang sudah sangat kita kenal,di antaranya “Ambilkan Bulan”, “Paman Datang”, “Anak Gembala”, dan “Libur T’lah Tiba”. Lagu-lagu itu dinyanyikan oleh sepuluh artis penyanyi dan grup band, termasuk Lana Nitibaskara, penyanyi jazz cilik pemeran utama film Ambilkan Bulan. Penyanyi lainnya adalah Sheila on 7, SID, Numata, She, The Changcuters, Coklat, Judika, rif, Tangga, dan Astrid. Album ini dirilis oleh Sony Music bekerja sama dengan Bank BNI.
Filmnya akan beredar serentak di bioskop-bioskop tanah air pada 28 Juni 2012, bersamaan dengan liburan sekolah. Film ini digarap oleh Ifa Isfansyah, Sutradara Terbaik FFI 2011 dengan Helmy Yahya selaku produser eksekutif. Para pemainnya, selain Lana adalah Agus Kuncoro, Astri Nurdin, dan Landung Simatupang. Pada dasarnya, rangkaian kegiatan yang diberi nama Ambilkan Bulan ini merupakan persembahan kami untuk AT Mahmud dan anak-anak Indonesia, di samping sebagai bentuk kepedulian kami terhadap pentingnya lagu, buku, dan film untuk anak-anak. Semoga ini menjadi langkah awal yang baik bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap hiburan yang sesuai bagi anak-anak. Berikut ini adalah nama-nama pemenang Lomba Menulis Cerpen Ambilkan Bulan: KATEGORI SD: Juara I
: Bulan Tidak Bohong, karya Nur Fadhilah, dari SD Muhammadiyah Dhuri Juara II : Anak yang Takut Akan Kegelapan, karya Yin Chan Hee Juara III : Menangkap Bulan, karya Intania Raihan, SD Karakter KATEGORI SMP: Juara I
: Namaku, Doa Mereka, karya Faridatul Mardhiyyah, SMPN 15, Serang Juara II : Aku, Bapak, dan Bulan, karya Sabrina Hilmawati, SMP Islam Didaktika Juara III : Bulan untuk Cinta dari Ayah, karya Dini Larasati. : @ambilkanbulan : Film Ambilkan Bulan
Pengantar Penerbit
Assalamu ‘alaikum .... Tidak terasa seri Kecil-Kecil Punya Karya® (KKPK) sudah berjalan lebih dari lima tahun. KKPK lahir pada Desember 2003. Penulis yang pertama kali mengusung seri KKPK adalah Sri Izzati, 8 tahun, yang masih duduk di kelas V SD Istiqamah, Bandung. Sri Izzati membuat karya berjudul Kado untuk Umi. KKPK memang diniatkan sebagai wadah yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak dalam menciptakan prestasi pada bidang tulis-menulis. Setelah karya Sri Izzati, pada Januari 2004 terbit kumpulan puisi karya Abdurahman Faiz, Untuk Bunda dan Dunia. Tidak lama setelah karya Faiz, muncul Dunia Caca (Putri Salsa) dan May, Si KupuKupu (Dena).
5
Ketika para pelopor KKPK beranjak remaja, seri KKPK tidak pernah kehilangan penulis. Anak-anak yang semula hanya menjadi pembaca KKPK, de ngan penuh semangat mengirim karya tulis mereka. Nama-nama baru pun terus bermunculan dalam seri KKPK. Bukan jumlah penulis cilik saja yang semakin banyak, ide-ide baru pun tumbuh menyemarakkan seri KKPK. Seiring berjalannya waktu, KKPK tidak lagi berisi puisi dan cerita, ada juga yang mengirim kisah nyata, reportase, sketsa, sampai komik. Saat ini, hampir semua anak Indonesia mengenal KKPK. Mereka senantiasa menunggu kisah-kisah ba ru dari teman-teman mereka yang menjadi penulis KKPK. Sebagian lagi dari mereka terus berkreasi agar dapat menjadi penulis KKPK. Semoga KKPK semakin dicintai anak-anak Indonesia. Wassalamu ‘alaikum .... Penerbit
6
Isi Buku
Bulan Tidak Bohong — 9 Anak yang Takut Kegelapan — 19 Menangkap Bulan! — 23 Namaku, Doa Mereka — 31 Aku, Bapak, dan Bulan — 43 Bulan untuk Cinta dari Ayah — 51
7
Bulan Tidak Bohong Hanifah Nur Fadhilah (Pemenang I Kategori SD) Ambilkan bulan, Bu.
I
tu adalah kalimat pertama dari sebuah lagu yang pertama kali Disa hafal. Disa adalah anak umur 5 tahun waktu itu. Ibu sangat sayang kepada Disa, ibu selalu menemaninya bermain dan bercerita. “Ibu!” Disa baru saja pulang dari Taman Kanak-Kanak, wajahnya ceria dan ingin segera bicara banyak dengan ibundanya. Ibu memeluk dan mencium kening Disa dengan sayang. “Sepertinya anak kesayangan ibu punya cerita menarik hari ini.” Disa mengangguk bersemangat. “Tadi ibu guru mengajari Disa dan temanteman bernyanyi lagu bagus.” 9
“Lagu apa, Sayang?” ibu merapikan jilbab Disa yang agak miring. “Disa lupa Ibu. Tapi ada kata bulannya. Besok coba Disa tanya ke bu guru lagi.” Ibu memeluk Disa lagi dengan gemas. Ambilkan bulan, Bu.
Pagi ini suara burung yang rajin bangun pagi sudah saling bersahutan seakan ingin mengenal satu sama lain. Disa bangun pukul lima pagi kemudian merapikan tempat tidurnya. Selimut warna biru kesayangan Disa dilipat dengan hatihati dan ditaruh di atas bantal. Disa menuju ke meja belajarnya dan meraih benda asing yang baru kemarin malam resmi menjadi penghuni baru di kamarnya. Benda itu terletak di dalam kotak pipih kecil berselimut kertas bergaris warna-warni dengan pita biru kelap-kelip di karton penutupnya. Pelan-pelan dia membuka kotak itu lagi, senyumnya merekah melihat apa isinya. Sebuah jam tangan dengan foto kecil Disa dan ibu serta ayah di dalamnya. 10
“Sayang, ayo, sarapan!” ibu memanggil Disa. “Iya, Ibuuu ….” Disa menutup kotak itu lagi. Disa menuju ruang makan lalu duduk di kursinya. Tangannya terlipat di atas meja kemudian tersenyum, di samping kanannya ayah juga tersenyum dan memeluk tubuh mungil Disa. “Ambilkan bulan, Bu.” dia bernyanyi pelan. “Bulan sudah tidak nampak, Sayang.” Ayah menyahut dengan candaan. Ibu ikut tersenyum. Yang selalu bersinar di langit.
Selalu ada yang istimewa dari setiap orang, khususnya anak-anak. Mereka memiliki imajinasi yang luar biasa. Tak heran mereka seakan memiliki teman imajinasi, yang hanya bisa berbicara dan bergaul dengan anak tersebut. Sejak Disa mengenal lagu Ambilkan Bulan, Bu, imajinasi Disa memulai petualangannya. Dia memiliki seorang teman imajinasi juga, namanya Poporo. Ibu sering tersenyum melihat Disa mengobrol dengan imajinasinya itu. 11
“Disa Sayang, sedang apa?” ibu duduk di sampingnya, tangan Disa berlepotan krayon. “Sedang menggambar Poporo.” Disa nyengir sambil menyerahkan kertas gambarnya itu. Akhirnya ibu mengetahui seperti apa Poporo itu. Dia adalah makhluk lucu dengan kepala bulat bersinar dan matanya seperti bintang. Di langit bulan benderang.
Umur Disa 6 tahun ketika dia diajak ayah dan ibunya mengunjungi nenek di desa untuk yang pertama kalinya. Dia sangat gembira. Sejak malam sebelumnya, Disa sudah heboh menentukan barang apa yang akan dibawa. Udara dingin menyapa Disa malam ini. Dia berbaring di karpet yang ada di halaman rumah nenek. Ayah datang dari dalam rumah membawakan dua selimut untuk mereka. “Ayah, kenapa di rumah kita jarang terlihat bulan seindah ini?” “Disa mau menebak dulu apa alasannya?” Ayah melempar balik pertanyaan.
12
“Hmmm ... kalau di rumah kita, bulannya enggak sebersih ini, Ayah.” “Benar, dan penyebabnya adalah karena rumah kita berada di kota yang sangat ramai. Disa tahu banyak kendaraan yang melewati jalan-jalan di waktu siang? Asap kendaraan itu mengotori langit kita.” Ayah menjelaskannya dengan sabar. “Ada lagi, Yah?” Disa tertarik dengan pen jelasan ayahnya barusan. “Ada. Disa tahu apa bedanya kota kita dan desa nenek ini?” “Di kota panas, Yah. Terus .... Ah, ya, kalau malam banyak cahaya lampu, tapi di sini tidak .... Apa hubungannya, Ayah?” Disa masih bertanyatanya. Ayah menarik napas panjang. Menikmati kesejukan dan bersihnya udara. “Disa tahu kalau cahaya lampu mirip asap kotor mobil? Bedanya hanya cahaya lampu terlihat lebih bersih. Terlalu banyak kendaraan itu tidak bagus, tapi kebanyakan lampu juga kurang
13
baik. Cahaya lampu itu memenuhi langit dan akhirnya menutupi kerlip bintang. Jangankan bintang, bulan pun terlihat hanya samar.” Ayah mengakhiri penjelasannya. Apakah bulan yang benderang hanya untuk orang yang tinggal di desa? Disa bergumam sangat pelan, matanya mulai menghangat. Cahayanya sampai ke bintang.
Disa kelas 3 SD. Dia membaca sebuah buku bergambar yang di dalamnya menjelaskan tentang benda-benda langit. “Apa buku ini salah?” ungkap Disa dengan nada kecewa. Bulan memantulkan cahaya matahari. Sedangkan bintang memancarkan cahayanya sendiri. “Bagaimana bisa cahayanya sampai ke bintang kalau bulan hanya memantulkan cahaya benda lain? Berarti lagu kesukaanku itu bohong?” Raut mukanya bingung dan kecewa.
14
Ambilkan bulan, Bu!
“Lagu itu enggak bohong, Disa,” ibu men jelaskan halus. Sejak kemarin sore setelah membaca buku tentang benda langit, Disa terus meminta penjelasan ibu. Disa kecewa kalau lagu favoritnya itu benar-benar bohong. “Tapi kenapa di buku tulisannya begitu?” Disa menjawab ketus. “Karena maksudnya berbeda, Disa.” “Disa bingung, Ibu.” “Maksud lagu itu cahayanya bulan sangat terang, Disa. Sehingga cahayanya bisa dilihat dari tempat yang sangat jauh. Dalam lagu itu tempat yang dianggap jauh adalah bintang ....” “Ibu, kepala Disa pusing banget,” Disa menyela penjelasan ibu. Ibu langsung berjongkok di samping Disa. Panik. “Tenang, Sayang. Tarik napas panjang.” Disa tak sadarkan diri.
15
Untuk menerangi tidurku yang lelap.
Ini sudah hari kelima Disa di rumah sakit, koma. Gejala leukimia Disa baru diketahui dua tahun ini. Sebelumnya Disa juga pernah koma, namun tidak lama seperti sekarang ini. Aku merasa ada di dunia asing. Sangat tenang, tak ada suara, tak ada orang lain. “Disa … bangun, Sayang.” Ibu cemas berada di samping tempat tidur Disa. Ibu berlinang air mata. Detak jantung Disa terlihat pelan. Ayah berada di sisi lainnya. Ayah membisikkan sesuatu. Suara apa itu? Damai sekali. Aku mengenal syair itu. Aku menyukainya. Ambilkan bulan, Bu. Detak jantung Disa mendadak meningkat. Dia seperti mendapat aliran energi baru. Kelopak matanya bergerak pelan. Matanya akhirnya terbuka. Ibu yang sudah lima hari menjaga Disa di ruangan ini menangis terharu. “Disa, Sayang … akhirnya bangun.” Ibu bergetar mengatakannya. 16
“Disa di mana, Ibu, Ayah?” tanyanya lirih. “Disa minta maaf telah menuduh lagu favorit Disa bohong,” lanjutnya. Ibu dan ayah berpandangan. Mereka kemudian tersenyum. “Tidak apa-apa, Sayang,” ibu berbisik. Di malam gelap.
Disa duduk di kursi roda. Sejak dibisiki lagu Ambilkan Bulan, Bu oleh ayahnya, kesehatan Disa semakin membaik. Dia sekarang berada di halaman rumah nenek untuk yang kedua kalinya. Perasaannya bahagia sekali berada di sini. Malam ini sangat gelap, bintang berkelip jelas. Yang lebih istimewa bulan seakan menyambutnya kembali. Bulan purnama berwarna keperakan penuh, cahayanya menghangatkan matanya.
18
Anak yang Takut Kegelapan Yin Chan Hee (Pemenang II Kategori SD)
D
ulu, ada seorang anak yang bernama Martin. Dia takut akan kegelapan. Setiap malam, dia akan mengangis sampai ibunya mengizinkan Martin untuk tidur dengannya. Tetapi, ibunya menjadi lelah sehingga meminta Martin untuk tidur sendiri. Martin jadi takut setiap kali ibunya mematikan lampu kamar. Satu temannya pernah menceritakan bahwa kalau tidur tanpa menutup jendela, hantuhantu bisa masuk! Martin segera berdiri dan menuju ke jendela kamarnya. Rupanya, jendela kamar Martin terbuka. Saat itu, dia melihat bulan. Dia ingin sekali mengambil bulan itu. Martin segera ke kamar ibu dan membangunkannya. Dia 19
meminta ibu untuk mengambilkan bulan. Ibunya menjadi bingung. Dia segera mendapat ide. Ibu Martin meniup sebuah balon dan mengecat balon itu dengan warna kuning. Sambil mengecat, ibu Martin menyanyikan sebuah lagu yang berjudul Ambilkan Bulan.
Ambilkan bulan, Bu … Ambilkan bulan, Bu … Yang selalu bersinar di langit Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang Ambilkan bulan, Bu … Untuk menerangi Tidurku yang lelap di malam gelap
Saat dia sudah selesai menyanyi, balon yang ditiup ibu sudah selesai dicat. Lalu, dia me masukkan sebuah kaca bening yang berbentuk 20
bulan. Kaca itu adalah kaca khusus yang bisa bercahaya bahkan dalam kegelapan. Ibu memberikan balon itu kepada Martin. Karena bentuk dan warnanya sama, Martin menganggap balon itu adalah bulan dan memeluk ibunya. Berkat balon itu, Martin sudah berani tidur sendiri. Ibunya jadi senang. Kadang-kadang, dia juga tertawa sedikit karena Martin menganggap balon itu bulan.
22
Menangkap Bulan! Intania Raihan (Pemenang III Kategori SD)
C
ita-citanya menjadi astronaut. Di kamarnya, banyak koleksi teropong. Baju astronautnya, sudah banyak! Tapi sejujurnya itu bukan baju yang dipakai banyak astronaut. Tapi baju yang bergambar roket astronaut. Koleksi ensiklopedia bulannya, tak terhitung. Ya, itulah Mary. Mary Clary, seorang anak berumur 6 tahun. Dia bercita-cita menjadi astronaut perempuan. Dia menemukan cita-citanya itu sejak dia diajak oleh ibu ke museum astronomi. Kegemarannya melihat bulan setiap malam, membuat dirinya yakin bisa menjadi astronaut. Mary ingin bisa melihat bulan lebih dekat, itulah impiannya menjadi astronaut, walaupun dia tahu kalau menjadi astronaut bukan perkara yang mudah. 23
Lagipula, menjadi astronaut tidak hanya sekadar melihat bulan, dan bisa pergi kapan pun ke sana dengan roket. “Ibu, aku ingin melihat bulan, Bu! Aku ingin melihat bulan lebih dekat!” kata Mary suatu hari. Saat itu, mereka berdua sedang duduk di sofa sambil menikmati cokelat hangat buatan ibu. Cuaca hari itu tidak bersahabat. Hujan lebat membasahi kebun dan taman rumah Mary. Cuaca pun membuat udara menjadi dingin. “Kamu boleh, kok, kalau ingin melihat bulan. Tapi, kalau kamu ingin menjadi astronaut, kamu harus banyak belajar. Supaya pintar,” kata ibu mengingatkan. Mary hanya mengangguk pelan. Dia sudah tidak menduga kalau seandainya nanti, dia bisa mewujudkan cita-citanya. Awan biru mulai mendatangi pagi ini. Itu tandanya, pagi cerah datang! Matahari ikut terbit, dan saat itu Mary bangun dari tidur. Mary melihat jam dinding, pukul 06.00! Tak terlalu siang untuk bangun pagi. Lagipula, hari ini libur. Mary mandi dan segera sarapan. Di
24
sana sudah ada ayah dan ibu. Sarapan pagi itu adalah roti panggang keju kesukaan Mary. Sesudah makan, seperti biasa, Mary membaca sedikit buku ensiklopedia koleksinya. Judulnya, 1001 tentang Bulan dan Alam Semesta. Sebenarnya, Mary tidak pernah membaca semuanya. Dia hanya membaca tentang bulan saja. Jadi, setiap hari, kadang Mary bisa membaca 10 buku. Itu minimalnya. Wajar saja, dia hanya membuka halaman tentang bulan! Ketika Mary sudah bosan, Mary memutuskan untuk membuka internet di komputernya. Kali ini yang ditujunya adalah sebuah web tentang alam semesta. Dan yang dicari, adalah BULAN! Sekali lagi, Mary mencari banyak berita tentang bulan. Dan, kali ini banyak berita-berita yang belum pernah dibacanya. Tapi yang membuat Mary penasaran, ada satu artikel yang membuatnya bingung. Judul artikel itu adalah “Misteri dalam Bulan” dimulai dari pertanyaan “ada apa di dalam bulan?”. Mary bingung dengan artikel itu, tapi ketika dia membuka artikel itu, tak bisa dibuka. 26
Malah komputernya yang error. Dia mencoba mematikan komputernya, berulang-ulang. Tapi, tetap saja artikel itu tidak terbuka! Mary sebetulnya sangat penasaran dengan artikel aneh itu. Tapi dari pada komputernya malah rusak, dia memutuskan tidak membukanya lagi. Mary menatap ke jendela kamarnya. Sudah siang. Dia memutuskan untuk makan siang dan tidur. Sore datang dan berlalu berubah malam. Sudah pukul 20.00! Malam itu, bulan muncul lagi. Yang datang adalah bulan sabit. Bulan itu bersinar cerah. Mary menatap bulan itu. Ibu pun muncul di belakang Mary. “Mary, kamu belum tidur? Waktu sudah malam,” ibu mengingatkan. “Tidak! Aku masih betah untuk melihat bulan,” kata Mary. “Ingin menangkap bulan.” “Oh, kalau begitu … tangkap saja bulan itu … nanti kalau sudah dapat, berikan ke ibu. Ibu mau masuk ke dalam lagi,” kata ibu menutup pintu. Mary pun berdiri dari duduknya dan berlari, melompat. Misinya kali ini menangkap bulan!
27
Dia jadi tertantang untuk melihat bulan walaupun dia tahu, bulan itu sangat susah ditangkap. Apa salahnya mencoba, pikir mary. Maka, dia menghabiskan setengah jam, masih terus melompat untuk mendapatkan bulan. Ibu pun keluar lagi menghampiri Mary yang duduk di halaman rumahnya. “Gimana? Sudah dapat belum?” tanya ibu. “Mary belum dapat. Tapi, pasti, Mary akan dapatkan bulan itu,” kata Mary. “Mary, kita masuk dulu, yuk!” ajak ibu untuk duduk di dalam rumah. “Ibu, Mary belum dapat bulan, masa ibu sudah ajak Mary ke dalam?” tanya Mary. Maka, kedua ibu-anak itu duduk di sofa. “Kamu tahu jarak bumi ke bulan?” tanya ibu. “Tentu. Jaraknya sangat jauh!” kata Mary. “Oh! Berarti sekarang aku tidak bisa mengambil bulan!” “Ya, mungkin sekarang kamu tidak bisa mengambil bulan. Bulan jaraknya sangat jauh
28
sekali!” kata ibu. “Tapi, kalau kamu mau jadi astronaut, kamu bisa melihat bulan lebih dekat. Kamu bahkan bisa berdiri di atasnya,” kata ibu. “Oh, berarti aku bisa mengambil bulan kalau aku jadi astronaut!” seru Mary. Ibu mengangguk. “Makanya, rajin belajar supaya bisa meng gapai impian … apalagi kamu mau jadi astronaut,” kata ibu. “Ya, Bu, Mary akan rajin belajar supaya bisa jadi astronaut!” Mary berseru senang.
29
Namaku, Doa Mereka Faridatul Mardhiyyah (Pemenang I Kategori SMP)
“H
ai, Bintang Kecil!” Aku mendengus. Lagi-lagi panggilan itu. Aku sebal sekali dipanggil begitu. Namaku memang Bintang, tapi bukan berarti bintang selalu identik dengan kecil, kan? Kalau ada yang bertanya kenapa namaku Bintang, tanya saja kepada kedua orangtuaku. Aku sendiri tidak tahu kenapa kedua orangtuaku menamaiku Bintang. Mungkin kapan-kapan aku akan bertanya. Ah, sudahlah. Aku malas membahasnya. “Bintang Kecil! Udah ngerjain PR IPS, belum?” tanya Shinta. Aku melengos. Malas menatap sahabatku yang jail itu. “Jangan panggil aku Bintang Kecil!” seruku. 31
“Oh, maaf,” ujar Shinta pelan. Aku mengerling ke arah Shinta. “Memangnya IPS ada PR?” “Ada!” Shinta menunjukkan buku tulisnya. Aku bergumam kecil. Ooo … ternyata PR yang dibuku tulis itu. Aku melirik bangku Ninda. Kosong. Ninda belum datang. “Lihat PR-mu, dong!” ujarku memelas. “Enak saja! Semalaman aku belajar … kamu juga, dong!” seru Shinta melenggang ke luar kelas. Aku mencibir. Katanya sahabat, best friends forever. Tapi kenapa tidak mau membantuku? Aku tahu, mencontek bukan hal yang baik, tapi aku dalam bahaya sekarang. Yah, walaupun itu berlebihan, sih. “Nih, contek aja!” Ninda memberikan buku tulisnya. Aku melirik sekilas buku tulisnya dan memandang Ninda dengan tatapan aneh. “Enggak apa-apa?” “Iya. Cepat salin sebelum masuk!” kata Ninda seraya duduk. 32
Ragu-ragu aku mengambil buku tulis Ninda. Tuhan, semoga ini acara mencontekku untuk yang terakhir kalinya. Dengan mengucap bismillah, aku salin hasil kerja Ninda itu.
Hari ini hari Senin. Ya, hari ini waktunya me laksanakan upacara bendera. Katanya, ini adalah kegiatan yang membosankan. Tapi menurutku tidak begitu. Walaupun harus berpanas-panas ria, tapi bukankah ini salah satu cara untuk menghargai jasa para pahlawan? Setelah kegiatan upacara bendera selesai, aku berlari-lari masuk ke kelas, karena sudah tidak sabar untuk duduk setelah sekian lama berdiri. Aku membuka tas dan mengeluarkan benda berharga: sebotol air! Kalian tentu pernah mendengar, bahwa manusia bisa hidup tanpa makan, tapi manusia tidak akan bisa hidup tanpa air. Wah, bagaimana kalau nanti bumi tanpa air, ya? Pasti sangat tidak enak!
33
Aku meneguk air lumayan banyak. Eits, jangan berpikir kalau aku ini kelaparan dan tidak memiliki uang untuk jajan. Enak saja! Aku ini haus, tahu! “Bintang, awas!” teriak Shinta. Tapi peringatan itu sudah terlambat, keningku terkena kapur yang dilempar Shinta. Sebenarnya, aku tidak marah, karena pasti Shinta tidak sengaja. Buktinya dia memberi peringatan kepadaku. Tapi, yang membuat hatiku panas adalah tulisan di papan tulis. Di sana tertulis: yang namanya Bintang norak banget! Memangnya namaku senorak itu? Aku maju ke depan kelas dan menunjuk tulisan itu. “Siapa yang nulis ini?!” tanyaku emosi. “Jujur aja! Aku lebih suka orang jujur daripada bohong!” ucapku terdengar parau. Tak ada yang mengaku, semua diam menatapku. “Kalau kalian enggak suka dengar nama aku, bilang di depan, jangan di belakang!” ucapku bergetar. Sedikit demi sedikit, butiran-butiran hangat jatuh dari pelupuk mataku. Shinta dan Ninda sampai maju ke depan untuk
34
menenangkanku. Sampai Bu Ifah datang pun, aku masih menangis.
Aku makan siang dengan cepat dan lahap. Kejadian tadi pagi membuatku lapar setengah mati. “Tumben makannya lahap?” goda ibu setelah aku selesai makan. Aku tak mengindahkan perkataan ibu dan segera masuk ke kamarku dengan mimik yang sama saat aku datang ke rumah, yaitu cemberut. “Bintang, kamu kenapa?” tanya ibu di balik pintu. Belum aku menjawab, ibu sudah membuka pintu. “Kok, diem aja? Tumben,” komentar ibu sambil melihat seisi kamarku. “Aku, kan, belum menjawab ‘masuk’!” seruku sebal. “Oh, oke. Ayo, sekarang bilang ‘masuk’.” ucap ibu seraya duduk di tepi ranjang single-ku. Aku menatap ibu sebal. Heran, deh, masa ibu
35
tidak tahu maksudku? Aku membelakangi ibu dan menarik selimut sampai menutupi sebagian kepalaku. Sambil menangis, aku menceritakan kejadian tadi pagi. “Kamu enggak suka ya?” tanya ibu tersenyum. Tapi aku yakin, hati ibu tidak tersenyum. “Aku suka, kok, tapi ….” “Bintang, maaf kalau nama yang ibu berikan terkesan jelek atau kuno,” ucap ibu. “Ibu hanya ingin kamu menjadi bintang kecil yang bersinar. Tak lebih. Bukankah setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi bersinar?” lanjut ibu sambil tersenyum. Dengan mata yang masih sembap, aku duduk dan menatap ibu dalam-dalam. Siap bertanya yang lainnya. “Jadi, Izdihar Bintang itu artinya apa?” tanyaku. Ibu tersenyum tipis. “Izdihar berasal dari bahasa Arab yang artinya berkilau. Jadi, kamu adalah Bintang yang berkilau,” terang ibu. Aku berdecak kagum. “Makasih, ya, Bu, sudah mau menjadi teman curhatku,” ujarku. “Maaf,
36
kalau aku suka mempermasalahkan soal namaku. Sekarang aku janji, aku tak akan begitu lagi!” Ibu mengangguk dan mengangkat sebelah alisnya. “Janji?” “Janji!” seruku mantap. “Oh, iya, aku boleh ikut study tour?” tanyaku. Dan setelah itu, kami mengobrol panjang lebar.
Malam ini aku akan berangkat study tour. Aku akan diantar ayah ke sekolah. “Bu, ini.” Aku memberikan sepucuk surat pada ibu. “Tapi, jangan dibaca dulu! Dibacanya nanti saja, kalau aku sudah berangkat atau besok pagi.” Aku terkekeh kecil. “Wah, kira-kira apa, ya? Ibu jadi tidak sabar untuk membacanya,” ibu tertawa pelan. Setelah bercakap sebentar, aku pamit kepada ibu … dan tak lupa, meminta doa agar aku selamat sampai tujuan.
38
“Hati-hati, ya! Jaga kesehatan dan perilaku!” ucap ibu cukup keras karena aku sudah agak jauh. Aku menoleh ke belakang yang semakin lama, ibu semakin kecil. “Iya!” seruku keras. Aku masih menoleh ke belakang, namun ibu sudah tak terlihat kembali, seakan hilang. Aku menatap ke depan, melihat cahaya lampu kota yang begitu menawan. Detik berikutnya, aku tersenyum mengingat perkataan ibu tadi. Ibu memang begitu, beliau menyuruhku untuk selalu menjaga perilaku di mana pun berada.
Sebuah benda bergetar dari saku celanaku. Dengan sigap, aku merogoh saku celana dan mendapati benda mungil yang masih bergetar heboh. Ternyata, itu SMS dari ibu. Bintang, suratnya bikin ibu terharu! Oya, knp kmu ga bilang kalau kmu menang lomba mnulis
39
cerpen? Ibu sampai kaget dpt kiriman paket utk Bintang. Aku tertawa membaca SMS dari ibu. Aku memang sudah tahu kalau aku menang lomba menulis cerpen dari facebook. Dengan cepat aku membalas SMS dari ibu. Sekarang, aku tahu, namaku adalah doa mereka.
Teruntuk ibu tercinta .… Ibu bingung enggak aku menulis surat seperti ini? Aku hanya ingin mencoba menulis surat kok. Maaf kalau surat ini aneh! Ibu, sekarang aku tidak akan mengungkit soal namaku lagi. Aku yakin, apa pun nama yang ayah dan ibu berikan kepadaku, ayah dan ibu pasti memberikan yang terbaik. Terima kasih, lho, sudah mau berbagi cerita denganku. Ternyata curhat sama ibu asyik! Oh, ya, ibu berharap aku akan menjadi bintang kecil yang bersinar, kan? Dan sekarang aku sudah menjadi bintang kecil
40
yang bersinar belum? Hehehe … jangan menjawab, Bu! Aku malu sendiri, aku kayak pamer saja, ya? Kalau aku bintang, ibu mau enggak jadi bulannya? Bulan dan bintang selalu bersama, kan? Sekalipun langit itu hitam, bulan dan bintang akan tetap membagi sinarnya, yah, walaupun mereka enggak akan selalu bersama, sih. Kita memang membutuhkan matahari. Setidaknya bulan enggak akan bersinar tanpa bantuan matahari. Eh? Bintang memang disinari matahari? Hahaha. Sungguh bodohnya diriku! Yang begini saja tidak tahu! Ibu mengerti tidak yang aku tulis tadi? Eum, matahari itu diibaratkan Tuhan, bulan itu ibu, dan bintang itu aku. Maksudku itu, kita enggak akan bisa hidup tanpa bantuan-Nya. Bintang, jika dilihat dari bumi seperti memiliki bentuk yang indah, padahal aslinya tidak indah. Sekalipun aku terlihat punya banyak kelebihan, tapi tetap, dong, aku punya kekurangan juga. Ibu, makasih, ya, sudah mau jadi teman curhatku kemarin. Aku seneng banget! Nah, sekarang, ibu mau jadi bulanku, enggak? Agar aku bisa memberikan yang
41
terbaik untuk ibu … Seperti lagu Ambilkan Bulan, Bu aku ingin ibu menemaniku di malam yang gelap .…
Ambilkan bulan, Bu Ambilkan bulan, Bu Yang selalu bersinar di langit Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang Ambilkan bulan, Bu Untuk menerangi tidurku yang lelap Di malam gelap
42
Aku, Bapak, dan Bulan Sabrina Hilmawati (Pemenang II Kategori SMP)
Ambilkan bulan, Bu … Ambilkan bulan, Bu … Yang selalu bersinar di langit Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang Ambilkan bulan, Bu … Untuk menerangi tidurku yang lelap Di malam gelap
L
agu karya Pak AT. Mahmud ini selalu aku se nandungkan tanpa sadar setiap melihat bulan di malam hari. Pertama kali aku mendengarnya 43
ketika berusia 4 tahun. Pikiranku melayang akan kenangan indah bersama bapak. Aku masih ingat setiap menjelang hari raya Idulfitri, bapak selalu mengajak aku dan ibu mudik ke rumah pakde, di Bojonegoro. Rumah pakde selalu ramai bila musim liburan. Saudara dan keponakan datang untuk menginap hingga lebaran usai. Di sana, terutama pada malam hari, anakanak kecil seperti kami akan berkumpul di halaman rumah tetangga untuk bermain dengan sepupu serta anak-anak tetangga. Dan, para ibu biasanya sibuk di dapur membuat penganan kecil untuk lebaran seperti kue kering, madu mongso, tape ketan hijau dan sebagainya. Sementara itu, bapak, pakde dan para bapak lainnya duduk santai tak jauh dari tempat kami bermain. Mereka terlihat serius berbicara namun kadang diselingi suara tawa keras. Entah apa yang sedang diperbincangkan, biasanya kami hanya menatapnya dengan penuh keheranan. Bila malam telah larut, saatnya untuk pulang, bapak akan menggendongku di punggungnya. 44
Dia bersenandung kecil. Meski tak merdu, aku selalu menyukai senandungnya. Suatu malam, saat berjalan pulang menuju rumah pakde dalam gendongan bapak, aku menengadah menatap langit. Aku melihat bulan yang bulat sempurna dengan cahaya putihnya yang indah. Bulan itu mengikuti langkah kecil kami. Aku merasa heran. “Pak, bulannya bagus, deh. Terang sekali sinarnya,” “Itu bulan purnama, Rin,” jawab bapak. “Pak, bulannya ngikutin kita!” seruku senang. “Tidak, sayang, bulan tidak mengikuti kita.” Bapak menghentikan langkahnya dan menurunkanku dari punggungnya. Kemudian, menggenggam tangan kecilku dan mengajak ber jalan pelan sambil bercerita. “Bulan itu sebenarnya diam saja di langit. Tapi karena bulan itu besaaar, setiap kali kita berjalan, seolah-olah dia sedang mengikuti kita,” kata Bapak “Sebesar apa bulan itu, Pak?” 46
“Hm ... besar sekali ….” “Sebesar bumi?” “Ya, kira-kira seperti itulah,” “Kita bisa mengambil bulan enggak, Pak?” “Tentu saja tidak, Sayang, karena jarak bulan jauuuh sekali dari bumi,” “Kalau kita ke sana … bisa, ya, Pak?” “Bisa, tapi, harus menggunakan pesawat luar angkasa,” “Pesawat luar angkasa? Apa itu, Pak?” “Sejenis pesawat terbang, tapi dibuat khusus untuk pergi ke luar bumi,” “Wah, nanti kalau besar, aku mau jalan-jalan ke bulan, ah!” “Boleh, tapi, kamu harus rajin belajar biar pandai dan bisa membuat pesawat luar angkasa. Terus, Bapak boleh ikut enggak, jalan-jalan ke bulan?” “Iya, dong. Bapak dan ibu pasti aku ajak juga,” Kini, bila mengingatnya lagi, aku suka ter senyum sendiri. Aku tahu, waktu itu semuanya terlalu susah untuk dimengerti. Sebesar apa, sih, 47
Bulan? Toh setiap kali aku melihat bulan dengan bentuk bulat sempurna, besarnya sama seperti bola pingpong yang ku pegang. Tapi aku percaya, bapak tidak akan berbohong. Aku bangga pada bapak yang selalu berusaha menjawab rasa ingin tahuku. Bahkan, karena ingin memenuhi rasa keinginan tahuku tentang bulan, bumi, matahari dan luar angkasa, bapak mengajakku ke Planetarium di Taman Ismail Marzuki, tentu saja ibu turut serta. Dan aku sangat senang ke sana, pengetahuanku tentang jagat raya beserta isinya semakin bertambah. Sekarang, aku duduk di kelas dua SMP, tentu saja aku sudah tahu tentang cerita bulan yang sesungguhnya. Bulan adalah satelit bumi yang berjarak 384.404 km dari bumi. Garis tengah bulan sama dengan seperempat garis tengah bumi yaitu 3.476 km dengan massa jenis 3340 kg/m3. Kekuatan daya tarik bulan hanya 1/6 dari gaya tarik bumi, karena itulah bulan tidak dapat menahan molekul-molekul udara untuk menetap di sekelilingnya, sehingga bulan tidak dapat membentuk atmosfer seperti di bumi. 48
Sekarang, bapak sudah tidak muda lagi dan aku juga tidak pernah lagi minta gendong. Tapi kami masih tetap melakukan ritual menatap bulan bila ada kesempatan, duduk bersama di bawah langit gelap ditemani bulan dan taburan bintang. Terhadap perkembangan ilmu pendidikan dan informasi, bapak selalu merendah, “Kamu lebih tahu dari Bapak. Oleh karena itu, tetaplah mengejar ilmu setinggi langit, kelak akan berguna untukmu,” I love you, Dad.
49
Bulan untuk Cinta dari Ayah Dini Larasati (Pemenang III Kategori SMP)
C
inta adalah seorang gadis cilik berumur 10 tahun. Rambutnya ikal sebahu berwarna hitam pekat. Kulitnya kuning langsat. Pokoknya lucu sekali, deh. Terutama, ketika dia sedang tertawa, terlihat giginya yang ompong pada bagian depan. Walau umurnya 10 tahun, sikap nya terlihat dewasa. Hari ini, adalah hari pertamanya masuk kembali ke kelas 5 Sekolah Dasar di sekolah Kasih Ayah-Bunda. Dia pun bangun pagi-pagi sekali. Bahkan, mendahului bundanya. Sebenarnya, sih, Cinta takut kalau mandi sendiri pagi-pagi sekali. Tapi, dia tidak mau merepotkan bundanya, dia tidak mau membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Aku mau kasih kejutan ke Bunda, ah … pikir Cinta dalam hati. 51
Sambil berjinjit, dia berusaha mengambil handuk yang tergantung. “Huh, cucah banget cih,” keluh Cinta dengan kalimat yang agak tidak jelas. Maklumlah, Cinta tidak bisa melafalkan huruf ‘s’ dan ‘r’. “Tapi Bu gulu bilang, belcucah-cucah dahulu, belcenang-cenang kemudian,” ucap Cinta pada dirinya sendiri untuk memotivasi. “Huuu … cegal!” Kata Cinta seusai mandi. Namun tanpa sengaja, ketika dia sedang berjalan ke kamar untuk ganti baju, tangannya menyenggol vas bunga kesayangan bunda. Akhirnya vas bunga tersebut jatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras. Bunda pun terbangun. Suara apa itu? Pikir bunda. Beliaupun, segera beranjak dari tempat tidurnya, dan mengecek dari sumber suara. Setelah diselidiki, ternyata suara tersebut berasal dari vas bunga yang diletakkan di meja dekat kamar Cinta. Dan disana, terlihat Cinta sedang berusaha membereskan itu semua. “Sayang?” Kata bunda kaget. “Hmmm, maapin Cinta, ya, Bun. Tadi celecai mandi, Cinta, kan, mau ganti baju. Eh, enggak cengaja tangan Cinta cenggol vac bunga 52
kecayangan Bunda,” jelas Cinta gemetar. Tapi, 1 detik, 2 detik, sampai 10 detik. Bunda masih diam saja. Cinta mengira bunda akan marah, ternyata bunda justru memeluknya dengan erat. “Bunda kenapa?” tanya Cinta heran. “Kamu memang anak yang baik. Bunda lupa kalau hari ini adalah hari pertama kamu masuk sekolah. Sudah, biarkan saja, nanti biar bibi yang membereskannya. Sekarang … ayo, kita pakai baju seragam barunya!” ajak bunda sembari mengenggam tangan Cinta. Cinta pun mengangguk. “Padahal, aku pengin kacih kejutan ke Bunda. Eh, jadi gagal, deh,” sesal Cinta kepada dirinya sendiri. “Kenapa, Sayang?” Tanya bunda yang merasa mendengar Cinta berbicara. “Ha? Hmmm … endak apa-apa, kok, Bun.” Tak terasa, karena sambil bercanda sekarang sudah hampir pukul tujuh. Itu artinya Cinta harus sudah berangkat, karena sekolah masuknya pukul 08.00. Dan jarak sekolah dari rumah cukup jauh. 54
“Wah, Sayang. Sekarang udah jam tujuh. Sarapan dulu, yuk! Terus langsung berangkat. Nanti terlambat, lho!” kata Bunda menakutnakuti. “Kalau dihukum bu guru gimana, hayo? Udah sekarang kamu turun ke bawah duluan, ya! Bunda mau mandi dulu,” lanjut bunda. Cinta pun menuruti perkataan bundanya. Di meja makan, sudah tersedia makanan lezat kesukaan Cinta yaitu ayam goreng. Dia pun segera duduk di kursinya. “Bibi ambilkan ya, Non!” tawar bibi. “Boleh, Bi.” jawab Cinta. Dia pun segera makan dengan lahapnya. Sebenarnya, sih, ada sesuatu yang kurang bagi Cinta. Bagaimana tidak, dia sarapan mendahului bundanya. Tapi, karena dia memang sudah disuruh sarapan duluan. Apa boleh buat. Ayah bilang Cinta harus selalu nurut sama Bunda, pikir Cinta dalam hati. Tepat pukul 07.30, Bunda baru turun ke bawah. “Sayang, kita langsung berangkat saja ya! Nanti kamu telat,” kata bunda sambil mengecek isi tasnya. 55
“Tapi, Bun ... Bunda, kan, belum calapan?” tanya Cinta. “Hmmm, enggak apa-apa, Sayang. Itu gampang,” jawab bunda. “Enggak! Bunda harus calapan dulu! Nanti, kan, Bunda juga langsung belangkat ke kantol! Kalau enggak calapan, nanti Bunda cakit!” paksa Cinta dengan raut wajah ditekuk. “Iya, Sayang. Iya-iya. Bunda bener-bener enggak bisa mengelak kata-kata dari anak Bunda yang satu ini-nih. Yang cantik sekali, nih …,” ucap bunda sambil menyentuh hidung Cinta dengan jari telunjuknya. Akhirnya, bunda selesai makan. Mereka berdua pun berangkat menuju sekolah. Dalam perjalanan, bunda sangat ngebut. Dia takut pada hari pertama anaknya sekolah, justru terlambat. “Bun, jangan ngebut-ngebut. Banyak olang luka dan cakit dalam kecelakaan kalena ngebut.” ingat Cinta kepada orang yang dia paling sayangi.
56
“I ...” belum selesai Bunda berbicara, Cinta sudah memotongnya. “Cinta enggak mau kehilangan olang yang Cinta cayang untuk kedua kali,” ucap Cinta kemudian. Tiba-tiba saja, bunda langsung mengerem mobil yang sedang dikendarainya. Dia juga langsung menggengam tangan anak kesayangannya itu. “Iya, Sayang, Bunda juga enggak mau kehilangan kamu.” Seusai mengucapkan kalimat itu, bunda langsung mencium kening Cinta dan melanjutkan perjalanan dengan kecepatan yang lebih pelan. Sesampainya di sekolah, Cinta sudah terlambat. Tapi untungnya, dia belum ketinggalan acara pelepasan balon dan beberapa burung merpati. Saat melihatnya, terpancar raut kegembiraan dari wajahnya. Tapi, lagi-lagi ada suatu hal yang kurang. Bunda tidak bisa menemaninya karena harus segera ke kantor. Padahal, anak-anak yang lainnya ditemani oleh orangtua mereka masingmasing.
57
Kini, waktunya anak-anak masuk ke kelas. Anak-anak berbaris dengan rapi, sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di paling depan ada guru wali kelas masing-masing yang memandu. Oh, iya, Cinta masuk ke kelas Slyterin. Namanya seperti di kelas di film Harry Potter, kan? Yups! Sekolah ini emang dibuat se-enjoy mungkin. Anak-anak jaman sekarang, kan, lagi suka Harry Potter, maka dari itu kelas-kelasnya pun dibuat sama dengan kelas-kelas yang ada di film tersebut. Bagaimana dengan anak-anak yang masuk ke kelas-kelas itu? Sama saja, semua benar-benar dibuat persis seperti di film Harry Potter, Slyterin untuk anak-anak yang cerdas, sedangkan Gryffindor untuk anak-anak yang pemberani, dan yang lainnya. Tapi, itu hanya soal kelas, lho! Kalau penataan kelasnya mengikuti kartun Doraemon. Pokoknya, sekolah di sekolah Kasih Ayah Bunda sangat menyenangkan, deh! Karena ini adalah hari pertama, jadi hari ini belum ada jam pelajaran. Paling-paling cuma perkenalan. Dan ada sedikit pengumuman.
58
“Baik, Anak-Anak. Sekarang satu sama lain sudah saling kenal, kan?” tanya Bu Septha, wali kelas, kelas Slyterin. Semua anak mengangguk secara serempak termasuk Cinta. “Nah, kalian tahu tidak, sebentar lagi mau ada hari apa?” tanya bu guru. “Hari ayah, Bu!” jawab salah seorang murid yang duduk di kursi paling belakang. Semua pandangan pun mengarah kepadanya. Cinta pun demikian. “Iya, betul sekali,” timpal Bu Septha. “Nah, maka dari itu, sekolah Kasih Ayah Bunda mau menyelenggarakan hari Ayah. Bisa dibilang masih dalam masa perkenalan kalian juga, tapi melibatkan orangtua. Mumpung sebentar lagi hari Ayah, sekolah kita pun memanfaatkannya. Maka dari itu, besok jangan lupa ajak ayah kalian masing-masing, ya!” jelas Bu Septha. Setelah mendengar kalimat dari Bu Septha, hati Cinta rasanya seperti ada yang mencubit keraaas sekali. Dan ingin rasanya seketika itu juga dia menangis dan berteriak sekeras dan sekencang
59
mungkin, tapi untunglah Cinta seorang anak yang sangat sabar. Bagaimana tidak, sebentar lagi adalah hari Ayah, sedangkan ayah Cinta sudah meninggal satu tahun yang lalu. Seketika itu juga, Cinta langsung terbayang akan sosok ayah yang paling dia cintai. Dulu Cinta seperti anak yang lainnya. Tapi kini, setelah sepeninggal ayahnya, Cinta menjadi anak yatim. Ayah Cinta adalah seorang peneliti di laboratorium miliknya sendiri. Beliau sangat senang bereksperimen. Hingga akhirnya, pada 23 Juli 2011 pukul 16.00, ayah cinta sedang bereksperimen mengenai bahan-bahan bakar alternatif. Tapi, mungkin inilah takdirnya. Tidak seperti biasanya, ternyata ayah cinta lupa menutup salah satu tabung eksperimennya. Dan itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Karena, tepat satu jam setelah dia melakukan eksperimen tersebut, tabung itu meledak. Alhasil, ayah Cinta yang berada dalam laboratorium itu meninggal. Dan kini, laboratorium itu ditutup.
60
“Cinta ...,” panggil Bu Septha. “Cinta .…” Sekali lagi bu guru mencoba memanggil. Dan akhirnya pada panggilan yang ketiga, Cinta baru sadar. “Kamu, kenapa, Sayang? Kok, dari tadi kamu melamun saja?” tanya Bu Septha khawatir. “Enggak apa-apa, kok, Bu,” jawab Cinta dengan senyum manisnya. “Ya, sudahlah, kalau begitu. Ini surat undangan nya. Jangan lupa, ya, siapkan hadiah darimu untuk ayah tercinta. Dan, ajak ayahmu datang ke sekolah,” kata Bu Septha mengingatkan. “Baiklah, Anak-Anak. Sekarang, sudah waktunya pulang. Sebelum pulang kita berdoa terlebih dahulu, ya! Cinta, kamu sebagai leader, maka kamu yang memimpin doanya ya!” perintah Bu Septha. Cinta hanya mengangguk. “Attention please .... Befole we go home. Let’s play togethel. Play begin.” Semua anak pun menundukkan kepalanya. “Finish. Great to oul teachel,” lanjutnya lagi. Satu per satu anak pun ke luar dan tak lupa mencium tangan kepada Bu Septha.
61
Di luar, bunda sudah menunggu di dalam mobil sedan berwarna hitam. “Lho, Sayang, kenapa wajahmu telihat murung? Ini, kan, hari pertama kamu masuk sekolah?” tanya bunda khawatir. “Kamu sakit, ya?” kata bunda sambil mencoba mengecek kening Cinta. “Enggak, Bun,” kata Cinta sambil menepis tangan bundanya. “Lho, Sayang?” bunda Cinta pun kaget. Karena itu adalah kali pertama Cinta marah kepadanya. “Cudahlah, Bun. Lebih baik cekalang kita pulang, Cinta capek,” pinta Cinta. Detik demi detik berlalu ... menit demi menit berganti. Hingga kini, pukul 21.00 Cinta belum juga keluar dari kamarnya setelah pulang sekolah tadi. Bunda yang melihatnya pun merasa khawatir. Beliau akhirnya memutuskan untuk mengecek Cinta di kamarnya untuk yang ke sepuluh kalinya. Tok ... tok ... tok ... “Sayang, Bunda benar-benar mohon. Untuk kali ini, bukalah pintunya,” ucap bunda. Cinta 62
yang tidak tega mendengarnya pun dengan cekatan membukakan pintu. Lalu, dia kembali duduk di jendela, sambil mengingat ayahnya. “Alhamdulillah, akhirnya kamu mau mem bukakan pintu juga,” kata bunda saat pertama kali menginjakkan kaki kanannya di kamar Cinta. “Sebenarnya, ada masalah apa, sih, dengan kamu, Nak?” tanya bunda bingung. Tanpa berkata apa-apa, Cinta langsung menyerahkan surat yang tadi dia terima. Setelah membaca isi surat tersebut, bunda langsung memeluk Cinta sambil berderai air mata. Begitupula dengan Cinta. Air matanya deras membasahi pipi. “Bun, mungkin cetiap ada macalah apa-apa, Cinta bica cabal dan kuat menahannya. Tapi, untuk kali ini. Cinta enggak bica, Bun. Cinta kangen ayah. Cinta ingin sepelti anak-anak lainnya. Becok cemua datang dengan ayah macing-macing, cedangkan Cinta?” Belum sampai Cinta menyelesaikan kalimat yang dia bicarakan.Bunda langsung menutup mulut cinta dengan jari telunjuknya. “Ssst ...”
63
“Cinta, walaupun kita hanya berdua, dan kita telah ditinggal oleh orang yang kita sayang. Tapi, kita harus tetap kuat dan tabah, Nak!” kata bunda sambil menatap Cinta dengan penuh kasih sayang. “Kamu ingat pesan terakhir ayah?” tanya bunda. Cinta mengangguk. Dia pun mencoba mengucapkannya. “Cinta haluc kuat, walaupun ayah pelgi, Cinta macih punya Bunda. Bunda akan celalu cayang dengan Cinta. Dan, Cinta haluc celalu nulut apa kata Bunda. Jika Cinta kangen cama ayah, jika Cinta takut akan gelap di caat Cinta akan tidul tetapi ayah tidak bisa menelanginya lagi cetelah ayah pelgi, pandanglah Bulan yang ada di langit. Bulan cecuatu kecayangan ayah dan cinta yang seling kami beldua lihat di labolatolium dengan menggunakan telopong ayah,” jelas Cinta, dan air matanya pun justru semakin deras. “Sekarang pandanglah bulan itu, Nak!” kata bunda sambil menunjuk bulan yang sedang purnama. 64
“Mungkin cekalang, ayah cudah enggak bica ambilkan bulan itu untukku, Bun. Tapi, aku macih punya Bunda. Bunda yang celalu cayang kepadaku,” kata Cinta
Ambilkan bulan, Bu … Ambilkan bulan, Bu … Yang selalu bersinar di langit Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang Ambilkan bulan, Bu .. Untuk menerangi tidurku yang lelap Di malam gelap
“Iya, sayang. Bunda pasti akan selalu mengambilkan bulan titipan ayah untuk Cinta, Nak!” kata Bunda sambil menghapus air mata yang mengalir dan memeluknya kembali. “Untuk besok, biar Bunda saja yang datang menemani 65
Cinta,” ucap bunda menenangkan hati anaknya. “Sekarang Cinta tidur, ya … kalau tidak besok telat, lho!” perintah bunda. Bunda pun keluar dari kamar Cinta, untuk membiarkan anaknya beristirahat. Keesokan harinya di sekolah Cinta. Awalnya ketika Cinta datang dengan bunda, semua orang memandang dengan penuh heran. Karena mereka semua tahu, bahwa ini adalah acara anak dengan ayah. Tapi, mengapa Cinta datang justru dengan bundanya? Kini saatnya satu per satu anak maju untuk memberi tahu hadiah apa yang mereka beri untuk ayah mereka masing-masing. Dan, giliran ketiga adalah saatnya Cinta untuk maju ke atas panggung. Ternyata, semalam sebelum Cinta tidur Cinta sempat membuat puisi untuk ayah. “Cinta tahu. Cinta hali ini datang tak cepelti anak-anak lain. Cinta datang belsama dengan bunda, bukan dengan ayah,” kata Cinta y0ang mulai meneteskan air mata. “Ayah Cinta telah tiada catu tahun yang lalu. Kalena kecelakaan kelja di 66
labolatolium miliknya cendili. Tapi, Cinta yakin di culga, ayah cedang telcenyum untuk Cinta,” lanjutnya lagi. Semua hadirin yang datang termasuk guruguru yang ada pun tampak mulai mengelap matanya. “Untuk itu, cekalang Cinta mau bacain
Bulan dali Ayah untuk Cinta Ayah … Cinta cangat cayang dengan ayah ... Ayah … walaupun ayah enggak ada di camping Cinta Tapi, Cinta yakin kacih cayang ayah celalu ada untuk Cinta Yah, telima kacih untuk bulan yang ayah beli Di cini, bunda celalu ambilkan untuk Cinta ... Cinta cenang menelimanya, Yah ... Telimakacih, oh, Ayah
puici untuk ayah.” Setelah itu, cinta menyanyikan lagu Ambilkan Bulan, Bu. Spesial untuk bundanya. Semua yang 67
hadirpun semakin tersedu-sedu, melihat kado dari Cinta. Pada akhir nyanyiannya, Bunda naik ke atas panggung dan memeluk Cinta dengan penuh kasih sayang. Cinta janji, Cinta enggak akan pernah cedih lagi atas kepelgian ayah, kalena dicini cudah ada bunda yang cayang cama Cinta. Kacih cayang ayah juga celalu campai, kok, pada Cinta. Tekad Cinta dalam hati ….
68