11. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kegunaan Solanwn Wtasianwn Clarke. Solanwn khasianwn Clarke adalah salah satu jenis terung-terungan
penghasil solasodin.
Solasodin adalah senyawa organik dengan struktur
steroid tetapi bersifat alkaloid.
Solasodin dapat dikonvenikan menjadi
derivat pregnan seperti halnya diosgenin. Kesamaan sifat ini menyebabkan solasodin dijadikan pengganti diosgenin sebagai bahan dasar dalam pembuatan &at kontrasepsi oral. Kandungan solasodin tertinggi pada Solanwn khmianwn Clarke terdapat pada lapisan b d i r ("mucilage") yang menyelaputi biji. Kandungan soladin pada jenis m n g ini mencapai 2 persen sampai 2.85 persen dari berat kering buah (Saini, 1966; Chatterjee dan Nandi, 1977). Lapisan lendir ini sifatnya semakin lengket dan warnanya semakin coklat pada buah yang semakin tua. Karena lokasi solasodin ini sifatnya ekstraselular maka kadarnya setdah buah mencapai tingkat kematangan tertentu tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh umur buah. Oleh karena itu saat pemanenan buah tidak terlalu merupakan masalah yang kritis. Waupun demikian disarankan agar buah dipanen pada saat kulit buah berwarna kuning kehijauan untuk mendapatkan kadar solasodin yang maksimum (Chaudhuri dan Chattejee, 1979).
2. Masalah-masalah dalam Pembudidayaan Solanwn Wtmianwn Clarke. 2.1.
Adaptasi dan Produksi.
Solanwn khasianwn Clarke termasuk
tanaman yang mempunyai adaptasi yang baik terhadap jenis tanah dan letak ketinggian tempat.
Jenis tanaman ini dapat tumbuh mulai dari
dataran rendah sampai ice dataran tinggi yang mencapai sekitar 2000 m di atas permukaan laut (Chatterjee dan Nandi, 1977; Chaudhuri dan Chatterjee, 1979; Sudiarto, 1981). Chaudhuri dan Chatterjee (1979) mendapatkan bahwa kandungan solasodin pada umumnya lebih tinggi pada tanaman dari dataran rendah dibandingkan dengan tanaman dari dataran tinggi, tetapi ha1 ini tergantung pada musim. Chatterjee dan Nandi (1977) menyatalcan bahwa pada musim hujan produksi buah tertinggi didapatkan pada tanaman dari ketinggian sedang (500 m di atas permukaan laut) sedangkan kadar solasodin tertinggi didapatkan pada tanaman dari dataran tinggi (2 000 m di atas permukaan laut). Sudiarto (198 1) mendapatkan bahwa baik pertumbuhan vegetatif maupun pmduksi buah dari Sdanwn khasianwn Clarke ternyata lebih baik pada tanaman di datatan tinggi daripada tanaman di dataran rendah. Muljati (1988) mendapatkan kadar solasodin tertinggi sebesar 1.93 persen dari berat kering buah pada tanaman yang dipupuk dengan boron dan tembaga di Kebun Percobaan Cimanggu-Bogor (200 m di atas permukaan laut). Sudiatso (4990)mencatat kadar solasodin tertinggi sebesar 2.37 persen dari berat kering buah pada tanaman di Pasir Sarongge-Cianjur (sekitar 1000 m di atas permukaan laut) yang diberi perlakuan ethrel dan pemupukan nitrogen. 2.2.
Penyakit. Hal yang cukup berat diatasi dalam pembudidayaan
Solanwn khasianum Clarke ialah gangguan penyakit. Penyakit yang
sering menyerang tanaman ini di lapangan adalah bakteri dan nematoda (Sudiarto, 1981). Gangguan penyakit di lapangan bisa timbul kapansaja. Adakalanya gangguan penyakit tersebut baru mulai muncul pada waktu tanaman mulai berbunga, yaitu pada umur selcitar tiga bulan terhitung sejak biji disemaikan.
'haman yang sudah terserang bakteri
biasanya tidak mungkin pulih lagi.
W e r i yang umum menyerang
tanaman di lapangan adalah Pseudomonas solanaceam.
2.3. Sifat berduri. Hal lain yang juga cukup menjadi kendala pada pembudidayaan Solanwn khasianum Clarke ialah terdapatnya duri-duri tajam pada hampir seluruh bagian vegetatif. Batang tanaman terung ini, terutama pada pangkal batang, ditumbuhi duriduri kecii yang tajam. Pada gagang daun (petiole) dan pada tulang-tulang daun duriduri tersebut lebih besar dan lebih panjang.
Duri-duri ini terdapat baik pada
permukaan atas maupun permukaan bawah daun. Pada fenotipe berduri banyak jumlah dun pada satu permukaan daun berkisar antara 7 sampai 16 buah, sedangkan pada fenotipe berduri jarang berkisar antara 3 sampai 8 buah. Rmyata puh bahwa jumlah duri ini dipengaruhi oleh umur tanaman dan intensitas penyinaran.
Makin tua tanaman dan makin
tinggi intensitas cahaya matahari maka jumlah duri pun makin lebih banyak. Pada fenotipe yang berduri bengkok, duri bengkok ini terutama terdapat pada permukaan daun sebelah atas, pada bagian vegetatif lainnya duri tersebut adakalanya agak lurus. Duri yang paling mengganggu para pemanen buah adalah duri yang terdapat pa& daun.
fisukan duri-duri ini menimbulkan rasa
perih. Apabila daun telah rontok pemanenan buah relatif mudah, tetapi daun ini hanya rontok masal apabila tanaman telah terlalu tua atau terserang penyakit.
Penggunaan ethrel diketahui selain menstimulasi
menguningnya buah juga dapat meluruhkan daun (Sudiatso, 1990). Penggunaan bahan kimia perontok daun secara teknis memang memungkinkan, tetapi secara ekonomis pada saat ini belum menguntungkan. 2.4.
Pemuliaan.
Solanurn khQsianwn Clarke yang didatangkan ke
Indonesia terdiri dari tiga fenotipe. Dari ketiga fenotipe ini kits belum bisa menggali informasi genetik yang memadai. Usaha ke arah ini baik yang dilakukan oleh BALI'ITRO maupun oleh BPPT baru dalam taraf awal.
3. Cara-cara Mendapatkan 'hnaman' Haploid.
nnaman haploid bisa diperoleh secara in-vim ataupun secara invitro.
Pierik (1987) menyebutkan cara-cara mendapatkan tanaman
haploid baik secara in-viw maupun secara in-vitro. 3.1. Secara in-vim tanaman haploid dapat diperoleh dengan beberapa
cara, yaitu: 3.1.1. Ginogenesis: yaitu perkernbangan dari sel telur yang tidak
dibuahi sebagai hasil persilangan antar jenis. 3.1.2. Androgenesis;
yaitu perkembangan dari sel telur yang
mengalami eliminasi intinya dan inti ini digantikan oleh inti gamet jantan.
3.1.3. Eliminasi genom;
yaitu perkembangan zigot yang
mengalami eliminasi salah satu genomnya sebagai hasil persilangan antar jenis atau antar marga. 3.1.4. Semigami;
inti sel telur dan inti sel generatif polen
masing-masing berkembang secara mandiri yang akhimya menghasilkan suatu kimera haploid. 3.1.5. Pemberian perlakuan kimiawi untuk mengeliminasi homo-
som. 3.1.6. Pemberian perlakuan kejutan dengan suhu tinggi atau suhu
rendah. 3.1.7. Iradiasi dengan sinar X atau sinar UV.
3.2. Secara in-vitro tanaman haploid bisa diperoleh dengan beberapa cam, antara lain : 3.2.1. Kultur anter (kepala sari).
Anter yang telah diisolasi
dari tanaman donor ditumbuhkan dalam medium buatan
secara aseptik. 3.2.2. Kultur polen (serbuk sari). Polen dalam tingkat perkem-
bangan tertentu setelah diisolasi dari anter ditumbuhkan dalam medium buatan secara aseptik. 3.2.3. Kultur perbungaan ("inflorescense"). Seluruh perbungaan
ditumbuhkan dalam medium buatan secara aseptik. Hal ini terutama dilakukan pada jenis rumput-rumputan yang ukuran bunganya kecil-kecil.
3.2.4. Kultur embrio. Embrio hasil persilangan antar jenis atau antar marga biasanya mengalami eliminasi genom dan tidak bisa berkembang dalam kondisi in-viw.
Untuk
perkembangannya embrio tersebut ditumbuhkan secara aseptik dalam medium buatan.
3.2.5. Fertilisasi semu. Hasil fertilisasi semu antar marga bisa berkembang dalam kultur buatan secara aseptik dan menghasilkan tanaman haploid.
3.2.6. Penumbuhan ovul yang tidak dibuahi dalam kultur buatan
secara aseptik. 3.2.7. Kombinasi antara radiasi gamet dan kultur ovari.
4.
Kultur Anter atau Polen. Kultur anter rnerupakan salah satu cara untuk mendapatkan tanaman haploid secara in-vitro. Dalam kenyataannya dari kultur ini tidak hanya tanaman haploid yang bisa dihasilkan, tetapi juga bisa muncul tanamantanaman dengan tingkat ploidi yang lebih tinggi. Kenyataan ini ada keuntungannya karena berarti memperkaya keragaman genetik tanaman tersebut yang mungkin berguna dalam usaha pemuliaannya.
4.1
Faktor-faktor yang bemngaruh terhada~keberhasilan kul tur an ter atau polen. Suatu pertumbuhan dan perkembangan hayati baik dalam kondisi in-viw maupun dalam kondisi in-virro merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Anter sebagai organ tanaman merupakan gabungan dari jaringan sel-sel somatik dengan sel-sel generatif. Secara fisik kedua macam jaringan tersebut relatif mudah dibedakan akan tetapi secara fisiologis
sulit dibedakan. Prinsip dalam kultur anter adalah menghambat pertumbuhan dan perkembangan sei-sel somatik tetapi merangsang pertumbuhan dan perkembangan sel-sel generatif. Hal ini dicajxii dengan memanipulasi kondisi lingkungan secara empiris dan
secara uji coba. Keberhasilan kultur anter ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:
4.1.1.
Keraeaman tanaman donor.
Berbagai percobaan klah
menunjukkan bahwa tanaman donor sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anter dalam kultur. Keragaman donor bisa bersifat genetik bisa juga bersifat fisiologis.
Redenbaugh, West fall dan Karnosky (198 1)
melaporkan bahwa kemampuan membentuk kalus dari anter UImus americana yang berasal dari empat macam genotip secara statistik berbeda nyata.
Demikian juga
Thuding dan Chay (1984) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anter Brussica napus ssp.oleiftra dalam kultur dipengaruhi genotipe dan kondisi tanaman donor. Hal serupa juga dilaporkan pada kultur anter Arabidopsis
thaliaM (Gresshoff dan Doy, 1972a), Lycopersicon esculentum (Gresshoff dan Doy, 1972b), Solanum tuberosum (Dunwell dan Sunderland, 1973), Solanwn phureja dan silangan-silangannya (Singsit dan Veilleux, 1989), Brussica campcrrris (Keller, Rajhathy dan Lacapra, 1979, Oryza sativa (Martin dan Millo, 1981), Prunus persica (Harnmerschlag, 1983), S a c c h a m spontanewn (Hinchee dan
Fitch, 1984), ZFiticwn aestivwn (Jones dan Petolino, 1987). Solanwn spp. (Powell dan Uhrig, 1987). Hordewn
vulgare (Powell, 1988) dan &paver somnivenun (Dieu dan Dunwell, 1988). Di antara anter berbagai jenis tanaman, anter dari suku Solanaceae termasuk paling tanggap terhadap perlakuan dalam kultur. Walaupun derniician ternyata anter dari beberapa jenis dan galur Lycopersicon (Gresshoff dan Doy, 1972b) dan Solanwn (Dunwell dan Sunderland, 1973; Singsit dan Veileux, 1989) ada yang kurang tanggap terhadap berbagai perlakuan dalam kultur.
Perbedaan daya
tanggap (respon) terhadap kondisi kultur tidak hanya terlihat antar jenis atau galur saja tetapi bisa terlihat antar tangkai bunga. ~h'iendan Kao (1983) melaporkan bahwa kemampuan membentuk kalus dari anter yang berasal dari bulir (spike) yang berbeda dari satu tanaman triticale ternyata tidak sarna. Dunwell dan Cornish (1985) menda-
patkan bahwa pada Brassica napw ssp. oleijiera kemampuan membentuk embrio dari bunga apikal lebih tinggi daripada bunga aksilar. 4.1.2.
Stadium anter atau polen.
Pertumbuhan dan perkem-
bangan anter atau polen dalam kultur tergantung pada stadium anter atau polen yang dikulturkan.
Nitsch dan
Nitsch (1969) mendapatkan bahwa pada tanaman tembakau
(Nicoriana rabacum dan Nicoriana silvesrris) polen dalam
stadium tetrad atau polen yang sudah tua ("maturew)tidak bisa beregenerasi menjadi tanaman. Pembentukan pinak tanarnan atau planlet ("plantlet") paling banyak dihasilkan dari polen dalam stadium berinti satu ("uninucleate") yang belum mengandung pati ("starch"). Hu dan Zeng (1984) menyimpulkan bahwa untuk
berbagai jenis serealia stadium polen yang tepat untuk dikulturkan adalah pada stadium awal sampai stadium akhir berinti satu. Hal serupa juga dijumpai pada berbagai jenis tanaman lain seperti Brassica campestris (Keller et al, 1975), Oryta sativa (Genovesi dan Magill, 1979; Rush, 1981; Mercy dan Zapata, 1987), Ulmus america (Redenbaugh et al, 1981), Carica papaya (Tsay dan Su, 1985), Prunm persica (Hammerschlag, 1983), Hordeum vulgare (Wheatley, Marsolais dan Kasha, 1986), Brassica napus (Thurfing dan Chay, 1984; Pechan dan Keller, 1988) dan Zea mays (Coumans, Sohota dan Swanson, 1989).
Sunderland dan Roberts (1977), Reynolds (1986), Mercy dan Zapata (1986) masing-masing pada tanaman
Nkotiana tabacm, Sokanum carolinenre dan Oryza sativa mendapatkan bahwa sampai pada stadium berinti dua ("binucleate") polen dari tanaman-tanaman tersebut masih mampu menghasilkan planlet dalam kultur. Pada tanaman Arabidopsis thaliana dan Lycopersicon esculenrwn polen dalam stadium berinti satu tidak mampu menghasilkan kaius apalagi menghasilkan planlet.
Pada kedua jenis
tanaman ini kalus justru dihasilkan oleh polen dalam
stadium meiosis-metafase pertama (Gresshoff dan m y , 1972a, 1972b). 4.1.3.
Pra~erlakuan. Praperlakuan yang diberikan terhadap polenatauanter dimaksudkan untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya dalam kultur. Praperlakuan tersebut diharapkan mampu mengubah pola perkembangan polen dari pola normal ke arah pembentukan embrio. Praperlalcuan yang biasa diberikan pada umumnya berupa penyimpanan pada suhu rendah di tempat gelap (Sunderland dan Roberts, 1977; Genovesi dan Magill, 1979; Rush, 1981; Fitsch dan Moore, 1983). Suhu penyimpanan yang biasa digunakan berkisar antara 5°C sampai 13°C. Pada Pclpaver somnijienun L. perlakuan anter pada suhu 7°C selama 7 hari telah meninglcatkan jumlah antel yang tumbuh dan pembentukan kalus rneningkat jadi dua kali lipat (Dieu dan Dunwell, 1988). Powell (1988) mendapatkan bahwa jangka waktu perlakuan dingin selama 21 hari pada suhu 4OC adalah yang optimum bagi bulir Hordewn vulgare. Menurut Marsolais, Swartz dan Kasha (1984) perla-
kuan penyimpanan anter mticwn aestivurn pada suhu -5 _+ 3°C sampai 10
+ 2°C dianggap tidak perlu.
Respon anter
dalam kultur malah dihambat pada perlakuan yang lebih lama dm pada suhu yang lebih rendah. Demikian juga Dunwell dan Cornish (1985) pada kultur anter Brussica
napw ssp. oleifera cv. Duplo mendapatkan bahwa respon anter tanpa perlakuan dingin lebih baik daripada anter yang
diberi perlakuan dingin selama 14 hari pada suhu 4°C. Sharma dan Bhojwani (1985) melaporkan bahwa anter
Brassica junceu yang diperlakukan pada suhu 35°C selama
1-5 hari memberikan respon jauh lebih baik daripada yang diperlakukan pada suhu 5°C selama 1-5 hari atau perlakuan kontrot (25°C). Sunderland dan Roberts (1977) menyimpan anter
N W a m tabacwn pada suhu 7-8°Cselama 12 hari. Selanjutnya kultur diinkubasikan selama 14 hari pada suhu 28°C dalam keadaan gelap kemudian diinkubasikan dalam keadaan terang pada suhu 25°C. Powell dan Uhrig (1987)menyimpan anter Wanwn
tuberoswndan Solanwn papita pada suhu 6°C atau 30°C selama 2 hari sebelum dikulturkan. Secara keseluruhan praperlakuan pada suhu 6°C memberikan jumlah pembentukan embrioid jauh lebih tinggi daripada praperlakuan pada suhu 30°C. Waupun demikian ternyata pembentukan embrioid pada kedua praperlakuan suhu tersebut tidalc berbeda nyata dengan kultur tanpa praperlakuan.
1.4. Komposisi medium. Pierik (1987)menyimpulkan bahwa medium yang digunakan untuk kultur anter tergantung pada jenis tanaman donor. Gresshoff dan Doy (1972b)mendap a t h dari 43 galur Lycopersicon esculenfwn hanya 3 galur saja yang bisa menghasilkan kalus dalam 2 macam medium dasar yang dicobanya. Di antara berbagai medium kultur nampaknya medium Murashige dan Skoog (medium MS) adalah yang
paling umum digunakan. Medium Murashige dan Skoog telah dipakai untuk kultur anter Solanwn tukroswn (Dunwell dan Sunderland, 1973), Nicotim tabucum (Sunderland dan Roberts, 1977), Solanwn carolinense (Reynolds, 1986), Olym saiva (Martin dan Millo, 1981; Torrim dan Zapata, 1986), Loliwn multiJlonun (Dale, Thomas, Brettell dan Wemicke, 1981), Carica pcrpaya (Tsay dan Su, 1985) dan Hordewn vulgare (Powell, 1988). Pada kultur anter jenis-jenis serealia medium yang sering digunakan anatara lain adalah medium N6 (Genovesi dan Magill, 1979; Chien dan Kao, 1982; Huang, 1987; Jones dan Petollino, 1987; Mercy dan Zapata, 1987). Di antara garam-garam anorganik penyusun medium, garam nitrat dan amonium merupakan sumber nitrogen yang sering sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anter dalam kultur.
Guo dan Ouyang
(1988) menyatakan bahwa peningkatan kadar KNO, sampai 13 mM meningkatkan jumlah pembentukan kalus pada kultur anter dari 4 kultivar Tnricwn aesrivum.
Pening
katan kadar KNO, j uga meningkatkan pembentukan planlet yang berwama hijau dan menurunkan pembentukan planlet yang albino. Apabila kadar KNO, melebihi 20 mM maka induksi pembentukan kalus sangat menurun. Biddington, Shuterland dan Robinson (1988) melaporkan bahwa anter
Brassica oleifera var.gemifara yang kurang tanggap terhadap kondisi kultur ada harapan bisa membentuk embrio dengan penambahan garam AgNO, ke dalam medium
kultur yang digunakan (medium B5). Nitsch dan Nitsch (1969) menyatakan bahwa pada kultur anter Nicotiana tabacum var. Wisconsin 38, ion nitrat jauh lebih ber-
pengaruh terhadap pembentuh planlet daripada ion amonium. Dari kelompok asam-asam organik diketahui bahwa glutamin atau L-asparagin dengan konsentrasi 1 x 1 0 4 ~ sampai 3 x 1 0 " ~dalam medium kultur dapat merangsang pembentukan planlet.
Sebaliknya L-arginin atau adenin
dengan konsentrasi 1x 104M sampai 4x 104M bersifat rnenghambat (Nitsch dan Nitsch, 1969).
Keller et al
(1975) juga melaporkan bahwa perkembangan embrioid kultur anter Brassica campestris dirangsang oleh glutamin. Reinert dan Bajaj (1977) menyatakan bahwa kebutuhan hara bagi kultur anter lebih sederhana daripada untuk kultur polen.
Dunwell dan Sunderland (1973) dalam
percobaan kultur anter Solanwn tuberoswn dalam enam macam medium dasar menyimpulkan bahwa komposisi hara medium tidak terlalu kritis dalam menginduksi pembentukan kalus. Dalam ha1 tersebut nampaknya yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anter dalam kultur adalah jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam medium. Pembentukan kalus, pucuk, akar atau planlet tergantung pada macam, konsentrasi dan kornbinasi zat pengatur tumbuh dalam medium kultur.
Indol-3yl acetic acid (IAA) dengan konsentrasi optimum 0.1 mgll merangsang pembentukan planlet pada kultur anter Nicotiana tabacwn (Nitsch dan Nitsch, 1969). Pada kultur anter Solanwn carolinense jumlah pembentukan embrioid tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan konsentrasi IAA sebanyak 10 mgll medium (Reynolds, 1986). Naphth-lyl acetic acid (NAA) dengan konsentrasi 0.1 mg atau 0.5 mgll medium pada kultur anter Lycopersicon esculentwn ternyata menghambat pembentukan klorofil (warna hijau) pada kalus dan juga menghambat difefensiasi kalus (Gresshoff dan Doy, 1972b).
Pada kultur anter
empat kultivar Orym sariva, Martin dan Millo (1981) melaporkan bahwa NAA dengan konsentrasi 0.2 mg atau 2.0 mg/l medium merangsang pembentukan planlet dan pembentukan akar.
2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) pada kultur anter Nicotiana tabucum ternyata dapat merangsang pembentukan planlet (Nitsch dan Nitsch, 1969). kultur anter
Oryta
sariva pemberian
Pada
2,4-D sebanyak
0.2 mg atau 2.0 mgll medium merangsang pembentukan katus, tetapi pada dua dari empat varietas padi yang dicoba malah menghambat pembentukan organ (Martin dan Millo, 1981). Guha, Iyer, Gupta dan Swaminathan (1970) menyat a b bahwa perkembangan dari kalus menjadi planlet pada
kultur anter Oryza safiva hanya bisa terjadi dalam medium
tanpa auksin.
Gresshoff dan Doy (1972a) menyatakan
bahwa induksi kalus dari anter Arabidopsis thaliana memerlulcan konsentrasi auksin yang tinggi, sebaliknya untuk pembentukan embrioid dan planlet diperlulcan konsentrasi auicsin rendah. Pada kultur anter Arabidopsis thaliana diferensiasi dari kalus menghendaki konsentrasi kinetin yang tinggi (10 mgll) sebaliknya pada kultur anter Lycopenicon esculentum konsentrasi kinetin sebanyak itu malah mematikan kalus yang sudah terbentuk (Gresshoff dan Doy, 1972b). Chien dan Kao (1983) menyatakan bahwa di antara zeatin, kinetin dan 6-benzyladenine (BA) maka BA adalah yang paling efektif dalam meranmgsang pembentulcan kalus dari anter tetapi menghambat pembentukan kalus dari filamen. Gibberellic acid (GA) pada konsentrasi 1 mgll medium tidak meningkatkan pembentukan embrio tetapi memacu pembentukan planlet pada kultur anter Nicotiana
spp. (Nitsch dan Nitsch, 1969). Pada konsnetrasi lmgll medium, GA menyebabkan pemanjangan hipokdil abnormal dan menghasilkan tanaman yang kurus serta klorosis. Abscisic acid (ABA)
dengan konsentrasi
sampai
lo-' M (0.02 sampai 2.0 mgll) pada kultur anter Nicotiana
spp. tidak berpengaruh terhadap jumlah pembentukan planlet tetapi menghambat perkembangan planlet selanjutnya (Nitxh dan Nitsch, 1969).
Mereka juga mela-
porkan bahwa pemberian ABA dengan konsentrasi 104 M (0.2 mgll) ke dalam medium kultur menyebabkan embrio
yang terbentuk lebih pendek dan lebih tebal daripada perlakuan kontrol dan tetap tidak berkembang sampai paling singkat dua bulan kemudian.
Sebaliknya pada
kultur anter Oryta sufivu grOrino dan Zapata, 1986) pemahian A M dengan konsentrasi 4 x 106 M (0.8 mg/l)
temyata meningicah berat segar kalus dan juga meningkatkan jumlah kalus yang menghasilkan planlet yang b e m a hijau. Penggunaan ABA pada konsentrasi yang lebih tinggi menghambat pertumbuhan kalus dan kalus yang terbentuk lebih kompak serta berwarna putih. Kalus semacam ini mempunyai harapan rnenghasilkan planlet lebih tinggi daripada kalus yang longgar.
Pembentukan
plank yang bewarna hijau secara nyata semakin meningkat pada perlakuan dengan konsentrasi ABA yang lebih tinggi. Peningkatan pembentukan kalus dan planlet pada kultur anter Olyta sariva sebagai akibat pemberian ABA juga telah dikemukakan oleh Zapata, Aldemira, Novero, Torrizo, Megaling, Mazaredo, Visperas, Lim dan Moon (1986). Mereka mengemukakan bahwa jumlah pembentukan kalus tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan konsentrasi A M 20
- 30 mgll
medium, sedangkan pem-
bentukan planlet tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan konsentrasi ABA sebanyak 10 - 20 mgll medium. Gula dalam medium kultur tidak hanya berfungsi sebagai pengatur tekanan osmotik tetapi juga merupakan sumber karbohidrat yang efektif (Hu dan Zeng, 1984). Keller et a1 (1975) menyatakan bahwa sukrosa merupakan
sumber gula terbaik dibanding dengan glukosa, maltosa atau rafmosa.
Mereka juga menyatakan bahwa anter
Brassica cumpestris membutuhkan konsentrasi gula yang tirtggi bagi pertumbuhan dan perkembangannya dalam kultur. Apabila konsentrasi gula dalam kultur kurang dari
6 persen (60 gll medium) maka tidak akan k h m t u k embrioid, sedangkan pada konsentrasi gula 2 persen terbentuk kalus dari filamen dan dinding anter. Peningkatan konsentrasi gula dalam medium kultur temyata menghambat pernbesaran set-sel somatik dan pembentukan kalus dari sel-sel somatik tetapi merangsang pembelahan sel dari polen.
Frekwensi pembentukan embrioid tertinggi dida-
patkan pada perlakuan dengan kandungan gula sebanyalc 10 persen (100 gll medium).
Waupun demikian ternyata
perkembangan emhrioid selanjutnya hanya bisa berlangsung &lam medium dengan kadar gula rendah (2 persen) dan tanpa zat pengatur tumbuh. Sebaliknya Redenbaugh
et a1 (1981) rnendapatkan bahwa pembentukan planlet dihapioid pada kultur anter Ulmus amricana makin meningkat akibat interaksi antara kandungan gula dan zat pengatur tumbuh dalam medium kultur.
Pierik (1987) menyatakan bahwa kandungan gula dalam medium kultur pada umumnya berkisar antara 2 - 4 persen, tetapi untuk jenis-jenis tanaman tertentu kadar gula ini bisa lebih tingggi. Hu dan Zeng (1984) mendapatkan bahw untuk serealia kandungan gula tertinggi dalam medium kultur bisa sampai 0.35 M (1 18 gll). Pada kultur
anter triticale pembentukan kalus jauh lebih baik pada perlakuan dengan kandungan gula 100 g/l dibanding dewan kandungan gula 60 gll medium. 4.1.5.
Rntuk fisik medium kultur. Bentuk fisik medium untuk kultur anter bisa berbentuk padat bisa berbentuk air. Medium bentuk cair antara lain telah digunakan pada kultur anter Nicotiana tu6acum (Sunderland dan Roberts, 1973, Sorghum bicolor (Rose, Dunwell clan Sunderland, 1986), Oryza sativa (Mercy dan Zapata, 1987) dan Wti-
cum aesrivwn (Huang, 1987; Jones dan Petolino, 1988). Pescitelli, Mitchell, Jones, Pareddy dan Petdim (1989) untuk pertama kalinya berhasil meregenemilcan tanaman dari mikrospora jagung yang diisolasi.
Pada
percobaannya didapatkan bahwa pembentukan embrioid dalam medium c$r jauh lebih tinggi daripada dalam medium semi padat. Jones dan Petolino (1988) mendapatkan pada kultur anter lkiticum aestivum jumlah pembentukan embrio dalam medium cair sebanyak dua kali lipat dalam medium padat. Walaupun kmikian ternyata jumlah planlet hasil regenerasi dari embrio yang terus menerus ditumbuhkan dalam medium cair jauh lebih rendah daripada dalam medium padat. Oleh sebab itu medium cair hanya digunakan untuk merangsang embriogenesis dan
pemben tukan
kalus.
Perkembangan selanjutnya sampai pembentukan planlet dilakukan pada medium padat (Rose et al, 1986; Huang, 1987).
4.1.6.
pen~inara~.Sinar bagi tumbuhan berperan dalam proses fotosintesis yang selanjutnya mempengaruhi kegiatan metabolism. Selain itu sinar juga mengatur metabolik yang berarti mengatur perkembangan suatu unit melalui sistem pigmen, hormon atau mekanism lainnya.
Oleh
sebab itu pengaturan lama penyinaran, intensitas penyinar-
an dan kualitas sinar dapat digunakan untuk memanipulasi proses pertumbuhan dan perkembangan unit turnbuhan. Sunderland dan Dunwell (1977) menyatakan bahwa kultur anter bisa langsung disinari sejak awal atau setelah melalui masa induksi singkat dalam kondisi gelap. Pada kultur anter Nicotiana tabucum perlakuan gelap selama 14 hari pada suhu 2S°C sebelum perlakuan terang membexikan tingkat keberhasilan paling tinggi (Sunderland dan Roberts; 1977). Demikian juga pada kultur anter Carica papaya, Tsay dan Su (1985) mendapatkan tingkat pembentukan kalus yang tinggi pada perlakuan gelap, sedangkan pembentukan embrio dan planlet juga dirangsang pada perlab a n dengan intensitas penyinaran yang rendah (1.500 Iuks). Pada kultur anter U h u s mricana, Redenbaugh et a1 (1981) mendapatkan bahwa kultur yang terus menerus diinkubasikan di tempat gelap menghasilkan tingkat kalus haploid yang lebih tinggi (15.9 96) daripada kultur yang dipindahkan dari tempat gelap ke tempat terang dengan lama penyinaran 16 jam sehari; sedangkan kultur yang terus menerus
mendapat penyinaran 16 jam sehari
menghasilkan kalus dihaploid terendah. Jones dan Petolino
(1987) mendapatkan bahwa anter dari beberapa genotipe mticwn aestivwn membutuhkan penyinaran harian yang lebih panjang (16 jam) sedangkan beberapa genotipe lainnya membutuhkan penyinaran harian yang lebih pendek (12 jam) baik untuk pembentukan embrio maupun untuk pembentukan planlet. Pada umumnya pembentukan kalus atau pembentulcan akar menghendaki kondisi gelap, sedangkan pembentukan pucuk atau planlet menghendaki kondisi terang (Gresshoff dan Doy, 1972a, 1972b; Martin dan Millo, 1981; Dieu dan Dunwell, 1988).
Waupun demikian
ternyata pembentukan embrio ataupun plankt pada kultur anter Digitalis obscura bisa tejadi dalam kondisi gelap apabila medium kultur mengandung IAA atau IBA (Bermudez, Cornejo dan Segura, 1985). 4.1.7.
&&,-I. Setiap reaksi metabolik dicirikan oleh koefisien suhu. Perubahan suhu mempengaruhi perimbangan masingmasing reaksi. Dampak lain dari perimbangan tersebut antara lain akan terlihat dalam wujud pertumbuhan dan perkembangan.
Manipulasi suhu kultur untuk mem-
pengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anter dapat dimulai sejak praperlakuan, tetapi dapat juga hanya selama kultur diinkubasikan. Suhu inkubasi pada kultur anter dari beberapa jenis tanaman pada umumnya berkisar pada 2S°C (Guha et al,
1970; Genovesi dan Magill, 1979 Redenbaugh et al, 1981; Rush, 1981). Variasi suhu inkubasi bisa berupa suhu pada
siang hari yang lebih tinggi daripada malam hari (Nitsch dan Nitsch, 1981) bisa juga suhu masa induksi yang berbeda dari suhu masa inkubasi selanjutnya (Sunderland dan
Roberts, 1977; Hammerschlag, 1983). Induksi punbentukan kalus biasanya dilakukan pada suhu rendah disertai
kedaan gelap, sedangkan embriogenesis dan pembentukan planlet dilakulcan pada suhu lebih tinggi dan dalam keadaan terang (Rush, 1981). Nitsch dan Nitsch (1969) menginkubasikan kultur poien NWana tabacum pada suhu 28°C siang hari dan 22°C pada malam hari.
Sunderland dan
Roberts (1977) melaporkan bahwa suhu terbaik untuk masa
induksi dan masa inkubasi bagi kultur polen Nicotiana tabacum adalah pada suhu 2S°C. Pada kultur anter Prunus
persica suhu inkubasi untuk pembentukan kalus paling baik adalah pada suhu tetap 26°C dengin pemindahan kultur ke dalam medium segar setiap tiga minggu sekali (Hammerschhg, 1983). Menurut Huang (1987) kulktur anter 'Ifiticurnaestivum yang diinkubasikan selama 8 hari pada suhu 3S°C
atau 30°C &lum
diinkubasikan pada suhu 25°C mengha-
silkan kalus dan planlet jauh lebih banyak daripada yang t e ~ menerus s diinkubasikan pada suhu 25°C. Rose et a1 (1986) melaporkan bahwa pembentukan kalus pada suhu inkubasi 33°C jauh lebih baik daripada suhu inkubasi 25"C,
28°C atau 38°C bagi kultur anter Sorghum bicolor. Pada anter yang tidak diberi prapedakuan dingin malah hanya anter yang diinkubasikan pada suhu 33°C saja yang menghasilkan kalus.
.
4.2.
Pertumbuhan dan
perkembangan anter atau polen dalam kultur merupalcan hasil interaksi antara faktor genetik dengan faktor luar. Sacara teori
polen hapbid akan menghasilkan tanaman haploid, tetapi karena pengaruh faktor luar polen tersebut dalam pertumbuhan dan perkermbangannya bisa mengalami endomitosis sehingga b i n memunculkan individu-individu dengan tingkat ploidi yang
berbeda. Sel-se4 somatik dari anter pun dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman. 'haman yang tumbuh dari kultur mungkin berasd tidak dari satu sel tetapi berasal dari beberapa sel dengan tingbt ploidi yang berbeda. 4.2.1. Tinekat ploidi. Konsekuensi dari interaksi antara faktor genetik dengan faktor luar dalam kultur anter bisa menghasilkan terbentuknya tanaman-tanaman dengan tingkat ploidi yang berbeda. Keragaman tersebut akan diperbesar apabila sel-se4 somatik turut berkembang menjadi tanaman. Pada kultur anter Oryu sarivu, Martin dan Millo (1981) medapatkan bahwa semua planlet yang dihasilkan
adaiah haploid; Genovesi dan Magill (1979) mendapatkan 40 penen planlet haploid dan 60 persen diperkirakan
diploid; sedangkan Mercy dan Zapata (1986) mendapatkan hasil 42.1 persen haploid, 56.4 persen diploid dan 1.5 persen polyploid. Marsolais er a1 (1984) mendapatkan 18 tanaman haploid dan 1 tanaman diploid pada kultur anter Triricwn aestivwn. Pada kulktur anter Brassica campestris, Keller
et a1 (1975) mendapatkan 1 tanaman haploid ,20 tanaman diploid, 2 tanaman tetraploid dan 2 tanaman heksaploid. Pada kultur anter Brassica juncea semua @anlet yang terbentuk adalah haploid (Sharma dan Bhojwani, 1985).
'Emaman yang diregenerasikan dari anter Digitalis
purpurea temyata sebanyak 50 persen haploid, selebihnya diploid atau tetraploid (Bermudez et al, 1985). Dieu dan Dunwell (1988) dari percobaannya mendapatkan hasil
regenerasi anter Papaver somnijienun sebanyak 1 tanaman haploid, 60 tanaman diploid dan 2 tanaman haplo-diploid. Redenbaugh et a1 (1981) dari kultur anter Ulmw americaM (4x
-
= 56) mendapatkan kalus dihaploid sebanyak 0 38
persen tagantung pada medium kultur yang digunakan. Gresshoff dan Doy (1972a, 1972b) mendapatkan semua tanaman hasil regenerasi dari kultur anter Arabidopsis
thaliana dan Lycopersicon esculentwn adalah haploid. Singsit dan Veileux (1989) pada kultur anter dari galur dan silangan-silangan antar jenis Solanwn phureja yang diploid
mendapatkan 29 tanaman monoploid di
antam 91 tanaman yang berhasil diregenerasikan dari
9.465 anter yang dikulturkan.
Pescitelli et a1 (1989)
mendapatkan bahwa di antara tanaman yang diregenerasikan dari kultur polen jagung ternyata ada yang bisa menghasilkan biji yang berarti teiah terjadi penggandaan jumlah krornosom. 4.2.2. Mutan. Selain kelainan tingkat ploidi, planlet yang diha-
silkan dari kultur anter juga bisa menampakkan kelainan akibat terjadi mutasi.
Peluang terjadin ya mutasi pada
kultur anter sangat rendah (Sunderland dan Dunwell, 1977). Untuk meningkatkan jumlah mutan bisa dilakukan dengan penyinaran sinar gamma pada kuncup bunga yang
akan dikulturkan atau pada saat planlet mulai muncul dari anter. Pembentukan mutan juga bisa dirangsang dengan bahan kimia mutagenik seperti ethyl methane sulphonate
(EMS)pada kultur suspensi. 4.3. .Manfaat kultur anter. Kultur anter sebagaimana umumnya kultur jaringan dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Dalam pemuliaan tanaman kultur anter merupakan sumber keragaman genetik, sumber keragaman karakter dan juga dapat digunakan sebagai jalan pintas dalam pembentuh galur murni. 4.3.1. Kera~aman iumlah kromosom. diploid berada
dalam
Kromosom dalam sel
pasangan-pasangan
homolog.
Masing-masing anggota pasangan diwariskan dari tanaman induk melalui penggabungan inti polen dan inti sel telur. Demikian juga gen-gen yang mengontrol suatu karakter
berada dalam pasangan-pasangan yang disebut alel. Dalam proses meiosis terjadi lagi segregasi kmmosom yamg berarti juga segtegasi gen. Keragaman jumlah kromosom pada tanaman androgen (Keller et al, 1975; Bajaj , 1983; Hu dan Zeng, 1984; Mercy dan Zapata, 1986; Dieu dan Dunwell, 1988) rnerupakan bukti bahwa kultur anter berpotensi sebagai sumber keragaman genetik. Walaupun j umlah kromosom tanaman androgen sama belum tentu secara genetik mereka
memiliki sifat yang sama. Owen, Veileux, Heynes dan Heynes (1988) mendapatkan bahwa tanaman-tanaman androgen monoploid dari Solanurn phureja memperlihatkan
pertKdaan yang sangat nyata dalam ha1 berat umbi dan jumlah umbi yang dihasilkan dalam lingkungan tumbuh yang sama. 4.3.2. Seleksi karakter.
m a m a n monoploid mempermudah
seleksi kmna penampilan fenotipe dari tanaman tersebut merupakan reflelcsi dari sifat genotipenya (Owen et al, 1988). Pada tanaman monoploid tidak a& sifat yang terselubung karena tidak ada dominasi gen. Ekspresi gen resesif
akan muncul dan timbulnya mutasi mudah dilihat (Mercy dan Zapata, 1986). Tmnaman padi haploid hasil dari hltur anter dilaporkan berbatang lebih pendek, berdaun lebih pendek dan lebih sempit, lebih banyak anakan, bermalai lebih pendek dengan percabangan lebih sedikit dan ukuran bulirnya lebih Icecil (Mercy dan Zapata, 1986). Tingkat munculnya sifat resesif dalam populasi tanaman androgen jauh lebih tinggi daripada dalam populasi tanaman F2 (Hu dan Zeng, 1984). Dalam populasi F2 silangan gandum berbutir merah dengan gandum berbutir putih, perbandingan tanaman berbutir merah dengan tanaman berbutir putih adalah 3.1 banding 1; dalam populasi H2 perbandingan tersebut rnenjadi 0.8 banding 1. Sifat berbutir putih yang merupakan sifat resesif semakin tinggi tingkat pemunculannya dalam populasi tanaman androgen.
Chien dan Kao (1983) pada kultur anter triti-
cale mendapatkan 52 tanaman hijau dan 82 tanaman albino
(bulai). Hunter (1985) melaporkan bahwa jumlah tanaman albino pada kultur anter Hordewn vulgan jauh lebih banyak daripada tanaman yang hijau: sedangkan Rose et a1 (1973) dari kultur anter Sorghum bicolor hanya mendapat-
kan 4 tanaman yang kesemuanya albino. 4.3.3. Pembentukan galur mumi.
Pembentukan galur murni
dengan cara pembuahan sendiri dan seleksi pada ketunmannya sangat memakan waktu. Galur murni yang mantap
sebagai turunan dari suatu hasil silangan baru akan didapatkan padagenerasi keenam (Hu dan Zeng, 1984) bahkan mungkin baru pada generasi kesepuluh @epaepe, Nitsch, Godard dan Pemes, 1977) apabila dilakukan dengan cara konvensional. Melalui teknik kultur anter dan penggandam kromosom, galur murni yang mantap sudah bisa didapatkan pada generasi kedua (Hu dan Zeng, 1984). Mereka melaporkan bahwa suatu varietas tembakau sudah bisa dilepas untuk tujuan produksi dalam jangka waktu tiga tahun sejak anter dikulturkan. Salahsatu teknik pmggandaan kromosom adalah
dengan penggunaan kolkisin. Griesbach (198 1) mengocok protokorm anggrek dalam medium Murashige-Skoog cair yang diberi kolkisin sebanyak 50 mgll medium.
Lama
pengocokan sepuluh hari dengan kecepatan kocokan 50 putaran permenit. Selanjutnya protokorm dipindahkan ke dalam medium padat. Dengan teknik ini sekitar 50 persen tanaman yang ditumbuhkan dari biji tanaman diploid menjadi tetraploid .
Perlakuan kolkisin juga bisa diberikan terhadap planlet yang barn muncul dari anter atau diberikan pada ketiak daun pada planlet yang dewasa dengan rnenggunakan campuran kolkisin &%an lanolin (Bajaj, 1983).
Penggandaan jumlah kromosom juga bisa w a d i karena endomitosis atau akibat fusi inti dari dua buah sel polen semasa pertumbuhannya dalam kultur (Bajaj , 1983).