0Ci 03 I
ANALISIS BIAYA SUMBERDAYA DOMESTIK UNTUK MENGETAHUI
KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PRODUKSI KEDELAI (Di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabnpaten Garot, Jawa Barat)
Oleh AGUS EDIAWAN A.27.0941
JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1994
AGUS EDIAWAN.
Analisis Biaya
Sumberdaya Domestik untuk
mengetahui Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Produksi Kedelai (Di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat).
Di bawah bimbingan
Hangara Tambunan. Kedelai merupakan salah satu komoditi tanaman palawija yang mempunyai Indonesia.
prospek
baik
untuk dikembangkan di
Disamping harganya cukup tinqgi, kebutuhan
kedelai dalam negeri sangat besar sehingga sampai sekarang produksi
dalam
negeri
belum
mampu
memenuhi
kebutuhan
konsumsinya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri, Indonesia harus mengimpor dari neqara lain yang kenyataan menunjukkan bahwa impor kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Hal ini tentu saja memerlukan
perhatian yang serius dan harus diupayakan usaha peningkatan produksi kedelai di dalam negeri, agar dapat mengurangi
ketergantungan pada
kedelai
impor
yang memakan
devisa cukup besar. Berdasarkan keterangan tersebut diatas, maka perlu kiranya diadakan penelitian dan analisis mengenai kebijaksanaan
dalam
pengembangan
dengan
pemanfaatan
produksi
sumberdaya
kedelai
domestik,
dikaitkan
khususnya
di
daerah-daerah yang saat ini menjadi sentra produksi kedelai.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis Biaya Sumberdaya Domestik dengan maksud untuk mengetahui keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif produksi kedelai di daerah penelitian yaitu di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut.
Diambilnya Kabupaten
Garut sebagai daerah penelitian karena kabupaten tersebut merupakan sentra produksi kedelai utama di Jawa Barat, dengan luas lahan kedelai sebesar 39,4 persen dari luas total lahan kedelai di Jawa Barat. Penentuan
jenis usahatani kedelai yang dianalisis
dilakukan berdasarkan jenis lahan dan pola tanam yang diusahkan di daerah penelitian.
Adapun tujuan penelitian
ini adalah untuk membandingkan pendapatan pada dua tipe pola tanam kedelai yaitu monokultur dan tumpangsari pada lahan kering dari segi finansial dan ekonomi; kemudian ingin mengetahui apakah daerah yang diteliti mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai sebagai komoditi substitusi impor dan juga keunggulan kompetitif dengan menggunakan pendekatan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik, lalu mengkaji perubahan hasil analisis tersebut terhadap berbagai perubahan harga input dan output serta tingkat produktivitas dengan menggunakan analisis kepekaan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa produksi kedelai lahan kering di daerah penelitian menghasilkan pendapatan yang menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi.
Begitu pula dengan hasil analisis BSD dapat
diketahui bahwa usaha produksi kedelai tersebut mempunyai keunggulan komparatif, yang ditunjukkan dengan nilai BSD yang lebih kecil dari harga bayangan nilai tukar uang (KBSD < 1).
~ a e r a h tersebut juga mempunyai keunggulan
kompetitif karena mempunyai nilai BSD* yang lebih kecil dari nilai tukar mata uang resmi yang berlaku (Rp/US $ 1). Dari hasil analisis kepekaan diketahui bahwa keunggulan komparatif komoditi kedelai tersebut peka terhadap perubahan
tingkat
produktivitas,
harga
bayangan
lahan, upah tenaga kerja, pupuk, benih dan output. dangkan
analisis
kepekaan
pada
keunggulan
sewa Se-
kompetitif,
produksi kedelai tersebut sangat peka terhadap perubahan harga aktual output dan tingkat produktivitas. Usaha produksi kedelai di daerah penelitian mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, sehingga layak untuk diusahakan sebagai komoditi substitusi impor dalam usaha untuk menghemat devisa negara, khususnya untuk memenuhi kebutuhan kedelai di Kabupaten Garut yang sampai sekarang konsumsi kedelai di Kabupaten Garut masih lebih tinggi dibanding produksinya.
ANALISIS BLAYA SUMBERDAYA POMESTIK UNTUK MENGETAHUI KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PRODUKSI KEDELAI (Di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat)
Oleh AGUS EPIAWAN A.27.0941
SKRIPSI Sebagai satah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pa"a Fakultas Pertanian Institnt Pertanian Bogor
IURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1994
Judul
Skripsi
: ANALISIS BIAYA SUHBKRDAYA DOHESTIK
TUK
WENGETAWI
KEXJNGGULAN
UN-
KOHPARATIF
DAN KOZIPETITIP PRODUI(S1 KEDELAI (Di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Java Barat) Nama Hahasiswa
:
AGUS EDIAWAN
Nomor Pokok
:
A 27.0941
Henyetujui Dosen Pembimbing
Dr. 1r.bngara Tambunan NIP : 130 345 010
asor Sanim, MSc.
Tanggal Lulus : 7 September 1994
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat pada tanggal 22 Januari 1971.
Penulis lahir sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Edia Santika dan Ibu Utin Rosmayati. Tahun 1978 penulis mulai menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Kawali I Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis, dan lulus pada
tahun 1984.
Pendidikan menengah
pertama
penulis tempuh di SMP Negeri Kawali Kabupaten Ciamis, dan lulus
tahun
1987.
Pada
tahun
yang
sama
penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri Kawali Kabupaten Ciamis dan lulus tahun 1990. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 1990 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USHI).
Pada tahun 1991 penulis diterima di
Jurusan
Sosial
Ilmu-Ilmu
Ekonomi
Pertanian,
Fakultas
Pertanian dengan Program Studi Ekonomi Pertanian dan
.
Sumberdaya (EPS)
PEFWYATAAN DENGAN IN1 MENYATAXAN BAHWA SKUIPS1 YANG BERJUDUL ANALISIS BIAYA
SUKBERDAYA
DOMESTIK
UNTUK
MENGETAHUI
KEUNGGULAN
KOHPARATIF DAN KOMPETITIF PRODUKSI KEDELAI IN1 BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN DI PERGURUAN TINGGI ATAU LFXBAGA MANAPUN.
BOGOR, SEPTEMBER 1994
AGUS EDIAWAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Isi skripsi yaitu mengenai
analisis keunggulan komparatif dan kompetitif produksi kedelai
dengan
menggunakan
analisis
Biaya
Sumberdaya
Domestik. Penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Mangara Tambunan
yang telah memberikan
bimbingan serta motivasi yang tinggi dari mulai sampai penulisan ini selesai. 2.
Bapak Dr. Ir. Mangatas Tampubolon, MSc. dan
Eiapak
Ir. Abas Tjakrawiralaksana atas saran dan kritiknya untuk perbaikan laporan ini. 3. Bapak Amar
beserta Ibu yang telah banyak memberikan
informasi dan kemudahan selama penulis mengumpulkan data di daerah penelitian. 4.
Sembah sungkem kepada kedua orang tua penulis dan
Mamah
diberikan,
"
atas
juga
segala
untuk
harapan
dan
saudara-saudara
Bapak
do8a yang penulis
Lusiana Santika Dewi dan Emalia Santika Dewi.
:
5.
Semua rekan-rekan yang telah ikut memberikan dorongan hingga selesainya tulisan ini.
6.
Terimakasih yang tak terhingga, untuk atas
........... Rini
kesetiaan, ketulusan, perhatian
dan
curahan
kasih sayang yang menjadikan inspirasi dan semangat bagi penulis dalam menghadapi hari-hari yang telah, sedang dan akan dilalui. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak sekali kekurangannya, karena itu penulis menerima kritik dan saran guna kesempurnaan skripsi ini. Sesungguhnya kebenaran datangnya dari Allah semata dan kekurangan berasal dari manusia.
Akhir kata semoga
skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 1994
Penulis
DAFTAR IS1
Halaman
......................................... DAFTAR IS1 ........................................ DAFTAR TABEL ...................................... PENDAHULUAN ....................................... Latar Belakang ............................... Perumusan Masalah ............................ Tujuan Penelitian ............................ TINJAUAN PUSTAKA ..................................
RINGKASAN
i ii iv 1 1 3
5 6
Perkembangan Areal Komoditi Kedelai di Indone-
.......................................... Perkembangan Produksi Kedelai Dalam Neqeri ... sia
6
7
Perkembangan Volume Permintaan Kedelai Dalam
....................................... dan Pemasaran Kedelai ..................
Negeri Harga
Tinjauan Beberapa Penelitian yang Telah Dila kukan Terhadap Komoditi Kedelai dengan Anali
10
-
................ MODEL ANALISIS .................................... Analisis Biaya Sumberdaya Domestik ........... Analisis Kepekaan ............................ sis Biaya Sumberdaya Domestik
............................. Metode Penelitian ............................ Rancangan Pengambilan Contoh ............... Lokasi Penelitian ........................ Tahapan Analisis
9
11 15
15 24 25 26 26 26
..................... Pengambilan Contoh ....................... Penentuan Usahatani yang Dianalisis ...... Operasionalisasi ........................... Data dan Sumber Data
26 27 27 28
Penentuan Input-Output Fisik Usahatani
.................................. Penentuan Harga Bayangan .................
Kedelai
Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
.
................. Analisis Kepekaan .......................... KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................... Alokasi Biaya Tataniaga
........................... Sindangratu ............................. PEMBAHASAN ..............................
28 28 36 39 40 43
Kecamatan Wanaraja
43
Desa
48
HASIL DAN
................ Pendapatan Ekonomi .................. Keunggulan Komparatif ...............
52
Analisis Pendapatan Finansial
52
Analisis
58
Analisis
............... ............................
62
Analisis Keunggulan Kompetitif
64
Analisis Kepekaan
66
Implikasi Hasil Analisis BSD Terhadap Usaha
........ ..............................
Produksi Kedelai di Daerah Penelitian KESIMPULAN DAN SARAN
................................... Saran ........................................ DAFTAR PUSTAKA .................................... LAMPIRAN .......................................... Kesimpulan
78 83 83 86 88 90
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1.
Neraca Konsumsi Kedelai di Indonesia
........
7
2.
Perkembangan rata-rata harga kedelai di tingkat grosir di daerah produsen dan konsumen
..
11
Alokasi Biaya Produksi ke Dalam Komponen Biaya Domestik dan Asing ....................
39
Alokasi Biaya Tataniaga Atas Dasar Komponen Biaya Domestik dan Asing ....................
40
Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Wana raja ........................................
45
3.
4.
5. 6.
Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Kedelai di Kecamatan Wanaraja Tahun 1987 - 1992 ...........................
7.
Tambah Tanam, Luas Panen, Hasil Per Hektar dan Produksi Kedelai di Kabupaten Garut, 1993
8.
Tingkat Pendidikan di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat ..
9
Persentase Komponen Biaya Produksi Kedelai Pola Tanam I dan I1 ..........................
10. Pendapatan Finansial Produksi Kedelai Pola Tanam I dan I1 per hektar, MT 1993/1994
......
11. Persentase Komponen Biaya Ekonomi Terhadap
Total Biaya Ekonomi Produksi Kedelai dengan Pola Tanam I dan I1 ..........................
........
12. Pendapatan Ekonomi Produksi Kedelai Pola Ta nam I dan I1 per Hektar, MT 1993/1994 13. Nilai BSD dan KBSD Produksi Kedelai Menurut
-
Pola Tanam di Desa Sindangratu, Kecamatan Wa naraja, Kabupaten Garut, MT 1993/1994 ........ 14. Nilai BSD* dan KBSD* Produksi Kedelai Menurut
Pola Tanam di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, MT 1993/1994 .......
15. Hasil Analisis Kepekaan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif pada Produksi Kedelai Pola Tanam Monokultur ............................ 16. Hasil Analisis Kepekaan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif pada Produksi Kedelai Pola Tanam Tumpangsari ...........................
Lampiran Nomor 1.
2. 3. 4.
Teks
Halaman
Kandungan Gizi Beberapa Tanaman Palawija (per 100 gram) ..............................
90
Neraca Konsumsi Kedelai di Indonesia, 1977 1990 ........................................
91
Rata-Rata Per Tahun Luas Areal dan Produksi Kedelai di Indonesia, 1968/75 - 1984/90 ......
92
Rata-Rata Tingkat Pertumbuhan per Tahun dari Luas Areal dan Produksi Kedelai di Indonesia, 1968/75 1984/90 ............................
93
-
5.
Rata-Rata Per Tahun Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai per Kabupaten di Jawa Barat Periode 1986 - 1990 ...................
6.
Tingkat Subsidi Pupuk Pertanian Tahun Anggaran 1992/1993 ...............................
7.
Rata-Rata Suku Bunga Deposito Bank Swasta Jangka Waktu 3 Bulan, 1986-1993
8.
Besarnya Angka Konversi Standar Tahun 1986 1992 ........................................
9.
Nilai Tukar Resmi Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat, 1986-1994 .....................
10.
Biaya Tataniaga Komoditi Kedelai dan Jagung dari Desa Sindangratu, Tahun 1994 ...........
11.
Harga Aktual dan Harga Bayangan per Satuan Input Output yang Digunakan .................
.............
12.
Produksi dan Struktur Input Fisik Usaha Produksi Kedelai per Hektar di Desa Sindangratu, MT 1993/1994 ................................
13.
Analisis Pendapatan Finansial dan Ekonomi Produksi Kedelai Monokultur per Hektar pada Lahan Kering di Desa Sindangratu, MT 1993/ 1994
14.
Analisis Pendapatan Finansial dan Ekonomi Produksi Kedelai Tumpangsari per Hektar pada Lahan Kering di Desa Sindangratu, MT 1993/ 1994
15.
........................................
Perhitungan NIlai BSD* dan KBSD* Produksi Kedelai Monokultur di Desa Sindangratu, MT 1993/ 1994
18.
........................................
Perhitungan Nilai BSD dan KBSD Produksi Kedelai Tumpangsari di Desa Sindangratu, MT 1993/ 1994
17.
........................................
Perhitungan Nilai BSD dan KBSD Produksi Kedelai Monokultur di Desa Sindangratu, MT 1993/ 1994
16.
........................................
.........................................
106
Perhitungan Nilai BSD* dan KBSD* Produksi Kedelai Tumpangsari di Desa Sindangratu, MT 1993/ 1994
.........................................
107
DAFTAR GAWBAR
Nomor 1.
Teks
Halaman
Pola Tanam Lahan Pertanian di Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat
...........
44
Lampiran Nornor
Teks
..................... ~indangratu .......................
Halaman
1.
Peta Kecamatan Wanaraja
109
2.
Peta Desa
110
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sebagaimana
disebutkan
dalam
GBHN
(1993),
bahwa
pembangunan pertanian tanaman pangan akan terus ditingkatkan untuk memelihara kemantapan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman jenis bahan pangan. Diantara komoditi yang ada, kedelai merupakan salah satu tanaman palawija yang mempunyai 'kandungan protein cukup tinggi dibandingkan tanaman palawija lainnya yaitu sebesar 34,9 persen (tabel lampiran 1).
Oleh karena itu
kedelai mempunyai posisi yang sangat penting selain sebagai salah satu upaya untuk menunjang kemantapan swasembada pangan, juga sebagai sumber protein dalam usaha untuk memperbaiki keadaan gizi masyarakat, terutama bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah yang umumnya mempunyai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani, karena harganya relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga protein nabati. Upaya peningkatan produksi kedelai sudah sejak lama dilaksanakan, terutama sejak dicanangkannya program swasembada kedelai pada tahun 1984.
Berbagai upaya dari
pemerintah telah dilaksanakan seperi intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi guna mewujudkan swasembada kedelai
.
Upaya pemerintah
tersebut telah menunjukkan
hasil, ha1
ini terbukti dengan terjadinya peningkatan
produksi kedelai yang cukup pesat sejak tahun 1986 (tabel lampiran 2).
Sejalan dengan peningkatan produksi, konsum-
si kedelaipun mengalami
peningkatan
yang
pesat
pula.
Meningkatnya permintaan kedelai ini seiring dengan pertumbuhan industri makanan dengan bahan baku kedelai, minyak kedelai, dan produk kedelai.
lain yang menggunakan bahan baku
Selain itu kenaikan konsumsi kedelai juga dise-
babkan oleh kepedulian masyarakat terhadap manfaat hasil olahan dari kedelai. Sementera itu, peningkatan permintaan komoditi ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan peningkatan produksi kedelai dalam negeri, sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut, Indonesia harus mengimpor dari negara lain, yang kenyataan menunjukkan bahwa impor kedelai dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1987, impor kedelai mencapai 286,7 ribu ton.
Angka ini naik menjadi 465,s ribu ton, 390,5 'ribu
ton, dan 541,l ribu ton untuk tahun 1988, 1989, dan 1990. (tabel lampiran 2). Departemen Pertanian memperkirakan bahwa pada tahun 2010
nanti, konsumsi kedelai di Indonesia diperkirakan
mencapai 2,s juta ton.
Sementara itu pada saat yang sama,
produksi dalam negeri diperkirakan hanya sebesar 1,2 juta ton.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa konsumsi kedelai
belum bisa seluruhnya dipenuhi oleh produksi kedelai dalam
negeri, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia tetap harus mengimpor kedelai dari negara lain. Impor
suatu
komoditi
merupakan
suatu
pengurasan
devisa negara yang besar, padahal devisa merupakan sesuatu yang langka terutama bagi Indonesia yang sedang melaksanakan pembanaunan.
Oleh karena itu devisa negara perlu
digunakan seefisien mungkin. Bertitik tolak dari keadaan di kiranya diadakan penelitian
atas, maka
perlu
terhadap produksi kedelai
dalam negeri khususnya di daerah-daerah yang merupakan sentra produksi, baik ditinjau dari segi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Perumusan Hasalah Produksi kedelai Indonesia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, menyebabkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebagian besar dilakukan melalui impor. Oleh karena itu Indonesia harus meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebagai komoditi substitusi impor, juga dalam upaya penghematan devisa negara. Kabupaten Garut yang merupakan sentra produksi kedelai utama di Jawa Barat, ternyata masih belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan kedelai di Kabupaten Garut itu sendiri, sehingga produksi
kedelai masih
harus
terus
ditingkatkan. Usahatani kedelai sebenarnya cukup menguntungkan dan mempunyai prospek yang baik untuk dikembang-
kan.
Untuk memperoleh keuntungan, seorang petani harus
mengerti teknik budidaya kedelai yang baik serta mempunyai modal usaha yang cukup sehingga akan diperoleh hasil produksi kedelai yang baik bahkan tidak kalah dengan kedelai impor. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa produksi kedelai dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga masih diperlukan peningkatan produksi tanaman tersebut.
oleh sebab itu maka perlu kiranya
diadakan pengujian dan analisis lebih lanjut mengenai kebijaksanaan dalam pengembangan produksi kedelai dikaitkan dengan pemanfaatan sumberdaya domestik, khususnya di daerah-daerah yang saat ini menjadi sentra produksi kedelai. Masalah yang akan dikaji sehubungan dengan penelitian ini adalah seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari usaha produksi kedelai baik dari segi finansial maupun ekonomi ?
Apakah produksi kedelai tersebut mempunyai
keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga layak untuk diusahakan di dalam negeri, ditinjau dari pemanfaatan sumberdaya domestik ?
Serta bagaimana pengaruh yang
terjadi terhadap keunggulan komparatif dan seandainya terjadi
perubahan
tingkat produktivitas.
harga
kompetitif
input, output
dan
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Membandingkan pendapatan
pada
kedelai yaitu monokultur
dan
dua tipe pola tanam tumpangsari pada lahan
kering dari segi finansial dan ekonomi. 2.
Mengetahui
apakah
daerah
yang
diteliti
mempunyai
keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai sebagai komoditi substitusi impor dan kompetitif
dengan
menggunakan
Biaya Sumberdaya Domestik.
juga keunggulan
pendekatan
Kemudian Mengkaji
Analisis peruba-
han hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif
tersebut terhadap berbagai perubahan harga input
dan output serta tingkat produktivitas dengan menggunakan analisis kepekaan.
TTNJAUAN PUSTAKA
Perkemhangan Areal Komoditi Kedelai di Indonesia Dalam membahas perkembangan areal komoditi kedelai, tidak terlepas dari produksi yang dihasilkan dari luas areal tersebut.
Perkembangan areal dan produksi kedelai
nampak bervariasi antar periode.
Untuk Indonesia secara
keseluruhan, perkembangan areal dan produksi nampak sangat menonjol mulai tahun 1984, sedangkan periode sebelumnya laju yang relatif
areal dan produksi meningkat dengan
rendah, seperti yang terlihat'pada Tabel iampiran 3. Sedangkan dari Tabel Lampiran 4 bahwa dalam
periode
dapat diketahui
tahun 1968-1975, produksi kedelai
nasional meningkat sebesar rata-rata 5,6 persen per tahun. Sebesar 55 persen dari tingkat pertumbuhan tersebut diakibatkan oleh peningkatan luas areal. 1983, rata-rata persen per tahun.
produksi
hanya
Antara tahun 1976-
meningkat
sebesar
0,6
Hal tersebut terutama diakibatkan oleh
penurunan luas areal sebesar 0,2 persen per tahun.
Dari
Tabel Lampiran 4 juga dapat dilihat bahwa pada periode tahun 1984-1990, produksi kedelai nasional meningkat cepat dengan tahun.
rata-rata
pertumbuhan
sebesar
10,4
persen
per
Sebesar 66 persen dari tingkat pertumbuhan ini
disebabkan oleh perluasan areal.
Perkembangan Produksi Kedelai Dalam Negeri Dalam membahas perkembangan produksi
kedelai ini,
mengacu pada Tabel 1 tentang neraca konsumsi kedelai di Indonesia, 1977-1990.
Berdasarkan tabel tersebut diketa-
hui bahwa rata-rata persentase perkembangan produksi per tahun pada periode tahun 1977-1990 adalah sebesar persen.
Sedangkan
rata-rata
persentase
9,8
perkembangan
konsumsi per tahun pada periode yang sama sebesar 12,3 persen.
Jadi tidaklah mengherankan jika impor kedelai
terus meningkat karena memang perkembangan produksi kedelai dalam negeri masih lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan konsumsi dalam negeri. Tabel 1. Tahun
Neraca Konsumsi Kedelai di Indonesia, 1977-1990
Produksi 1) (ton)
Impor dalam bentuk bi ji
Konsumsi 1)
Rasio impor/ konsumsi
Konsumsi per 2) kapita
Sumber : CGPRT Crops in Indonesia : A Statistical Profile; 1960-1990 Keterangan : 1) ribu ton 2) kg/tahun
Peningkatan produksi yang tinggi terjadi pada periode tahun 1983-1984 dan tahun 1985-1986 yaitu sebesar 43,5 dan 41 persen.
Tetapi peningkatan produksi ini diimbangi
dengan peningkatan konsumsi yang tinggi pula yaitu sebesar 61 persen pada periode tahun 1983-1984 dan 42 persen pada periode tahun 1985-1986.
Tingginya tingkat konsumsi ini
disebabkan meningkatnya konsumsi per kapita sebesar 57,5 persen pada periode tahun 1983-1984 dan 39 persen pada periode tahun 1985-1986.
Selain itu .meningkatnya konsumsi
juga dimungkinkan karena meningkatnya jumlah penduduk. Dengan demikian walaupun produksi mengalami peningkatan yang cukup besar, tapi tidak berarti mengurangi jumlah impor, karena konsumsipun mengalami peningkatan yang besar pula.
Bahkan pada periode tersebut jumlah impor tetap
mengalami peningkatan, yaitu sebesaqr 81,5 persen untuk periode tahun 1983-1984 dan 19 persen pada periode tahun 1985-1986. Selama
periode
tahun
1977-1990, produksi
kedelai
mengalami fluktuasi tetapi tetap menunjukkan kecenderungan yang
meningkat
dengan
rata-rata
pertahunnya sebesar 9,8 persen.
peningkatan
produksi
Terjadinya fluktuasi ini
bisa disebabkan oleh'berbagai faktor, dan kendala utama yang perlu ditangani secara serius adalah masih rendahnya daya hasil varietas lokal, sehingga produksi sulit untuk ditingkatkan.
Kendala
lain
adalah
jumlah benih
yang
disediakan oleh balai-balai benih belum mampu mencukupi
kebutuhan.
Keterbatasan penyediaan benih tersebut dise-
babkan masih terbatasnya penamgkar benih palawija, dan karena adanya gangguan iklim serta hama dan penyakit. Perkembangan Volume Permintaan Kedelai Dalam Negeri Sampai saat ini masih terjadi kesenjangan yang sangat besar antara permintaan kedelai dengan penawaran kedelai yang berasal dari produksi dalam negeri.
Produksi kedelai
dalam negeri pada tahun 1990 sebesar 1 487 ribu ton, sedangkan permintaan (Tabel 1).
sudah mencapai
2
ribu ton
032,l
Ini berarti pada tahun 1990 terjadi defisit
sebesar 545,l ribu ton.
Dari tabel tersebut juga bisa
dilihat bahwa dari tahun ke tahun jumlah konsumsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat, demikian juga dengan konsumsi per kapitanya. Pembahasan lebih lanjut dari Tabel 1 khususnya mengenai konsumsi kedelai di Indonesia, bisa dikemukakan bahwa persentase
perkembangan konsumsi dari
menunjukkan fluktuasi. rata-rata
persentase
sebesar 12,3 persen.
tahun
ke
tahun
Selama periode tahun 1977-1990, perkembangan
konsumsi
per
tahun
Peningkatan konsumsi yang tinggi
terjadi pada tahun 1980-1981 dan tahun 1983-1984 sebesar 62 dan 61 persen.
yaitu
Hal ini disebabkan karena
kenaikan konsumsi perkapita sebesar 58 persen untuk tahun 1980-1981 dan 57,5 persen untuk tahun 1983-1984.
Sejalan dengan ha1 tersebut, produksi kedelai dalam negeri pada tahun 1980-1981 hanya mengalami peningkatan sebesar 8 persen.
Oleh karena itu untuk memenuhi konsumsi
yang cukup tinggi, pemerintah harus meningkatkan impor kedelai sampai 248 persen pada periode tahun tersebut. Harga dan Pemasaran Kedelai Kedelai merupakan tanaman perdagangan, artinya hampir seluruh hasil panen kedelai dari petani dijual ke pasar. Peranan
transportasi
sangat
penting
dalam
pemasaran,
karena produksi kedelai tersebut harus berada pada tempat dan waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan konsumen. Mekanisme pengendalian harga kedelai tingkat konsumen diperkirakan sangat berpengaruh terhadap sistem perdagangan kedelai di dalam negeri.
Apalagi harga kedelai
tingkat konsumen di daerah produsen maupun daerah konsumen tidak menunjukkan gejolak yang berarti (Tabel 2). Dengan variasi harga bulanan yang kecil, pedagang tidak mempunyai keinginan untuk menyimpan kedelai sebagai stok, karena
harus
mengeluarkan
biaya
tambahan
untuk
penyimpanan kedelai di gudang, apalagi jika permintaan di daerah konsumen cukup tinggi.
Tabel 2. Perkembangan rata-rata harga kedelai di tingkat grosir di daerah produsen dan konsumen (Rp/kg) Harga grosis kedelai rata-rata Bulan Konsumen Produsen Lokal
Impor
Desember 1991 Nopember 1991 Oktober 1991 September 1991 Agustus 1991 Juli 1991 Juni 1991 Mei 1991 April 1991 Maret 1991 Pebruari 1991 Januari 1991 Sumber : Vademekum Pemasaran, 1993 Tinjauan Beberapa Penelitian yang Telah Dilakukan Terhadap Komoditi Kedelai dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik Pada saat ini sudah ada beberapa studi tentang keunggulan
komparatif dalam
produksi
kedelai.
Penelitian
terdahulu dilakukan oleh Simatupang pada tahun 1986, untuk melihat kelayakan produksi kedelai di Indonesia dengan menggunakan analisis biaya sumberdaya domestik. analisis
ini
disertai dengan
tiga
orientasi
Dalam produksi
perdagangan yaitu substitusi impor, promosi ekspor, dan perdagangan antar daerah. Hasil analisis yang diperoleh Simatupang et a1 (1986) menunjukkan bahwa Jawa Barat tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk orientasi perdagangan substitusi impor
dan promosi ekspor.
Hal tersebut ditunjukkan oleh koefi-
sien biaya sumberdaya domestik (KBSD) yang lebih besar dari satu.
Jawa Tengah mempunyai keunggulan komparatif
untuk tiga orientasi perdagangan, karena nilai KBSD lebigh kecil dari satu.
Jawa Timur mempunyai keunggulan kompara-
tif untuk orientasi substitusi impor, sedangkan untuk dua orientasi lainnya tidak mempunyai keunggulan komparatif. Sumatra, Kalimantan
dan
Sulawesi mempunyai
keunggulan
komparatif untuk orientasi substitusi impor dan promosi ekspor.
Sedangkan untuk Bali dan Nusa Tenggara, produksi
komoditi kedelai mempunyai keunggulan komparatif untuk tiga orientasi perdagangan. Analisis
biaya
kedelai di Jawa (1987).
sumberdaya
domestik
terhadap
Tengah juga telah dilakukan
produksi
oleh Yandini
Analisis dilakukan dengan membandingkan pola yang
dilakukan petani dan pola rekomendasi di dua kabupaten yaitu Grobogan dan Wonogiri.
Hasil dari pola rekomendasi
menunjukkan nilai BSD yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pola
yang
digunakan petani, baik
Grobogan maupun Kabupaten Wonogiri.
KBSD
di
Kabupaten
lebih kecil
untuk pola rekomendasi di dua kabupaten tersebut. Bahkan untuk Kabupaten Grobogan, pola yang digunakan petani tidak efisien atau tidak mempunyai keunggulan komparatif karena KBSD lebih besar dari satu. Haryono
(1991)
melakukan
analisis
keunggulan
komparatif terhadap produksi kedelai, ubikayu dan jagung
di Propinsi Lampung. pola
tanam
dengan
baik
disertai
Analisis ini membandingkan berbagai
secara monokultur orientasi
maupun
perdagangan.
penelitian tersebut, produksi kedelai pada
tumpangsari Dari
hasil
lahan sawah
dengan orientasi substitusi impor mempunyai keunggulan komparatif.
Hal tersebut ditunjukkan dengan KBSD yang
lebih kecil dari satu.
Sedangkan untuk produksi kedelai
pada lahan kering dengan orientasi promosi ekspor, tidak mempunyai keunggulan komparatif karena KBSD lebih besar dari satu.
Kedelai yang ditumpangsarikan dengan jagung,
baik di lahan sawah maupun lahan kering dengan orientasi substitusi impor dan promosi ekspor, mempunyai KBSD yang lebih kecil dari satu, sehingga bisa dikatakan mempunyai keunggulan komparatif. Nunung (1992) melakukan analisis keunggulan komparatif terhadap produksi jagung, kedelai dan ubikayu di Jawa Tengah dengan analisis biaya sumberdaya domestik.
Adapun
kabupaten yang dipilih adalah Grobogan, Wonogiri, Blora dan Kendal.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa produksi kedelai di Jawa Tengah mempunyai keunggulan komparatif.
Daerah yang
memiliki
nilai
BSD
terkecil
adalah Blora, dan yang terbesar adalah Wonogiri.
Demikian
juga untuk koefisien BSD, Blora mempunyai KBSD yang terkecil, dan Wonogiri mempunyai KBSD yang terbesar. Analisis biaya sumberdaya domestik usahatani kedelai juga dilakukan oleh Sjarief pada tahun 1994, yang meliputi
empat propinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa empat propinsi di Pulau Jawa tersebut mempunyai keunggulan komparatif.
Hal
tersebut ditunjukkan oleh KBSD yang lebih kecil dari satu. Hasil analisis kepekaan menunjukkan bahwa kedelai sangat peka
terhadap perubahan harga bayangan output, tetapi
kedelai tidak peka terhadap perubahan harga bayangan upah tenaga kerja, pupuk dan sewa lahan. Berdasarkan
beberapa
penelitian
terhadap komoditi
kedelai yang telah dilakukan, maka pada penelitian ini akan melihat keunggulan komparatif dan kompetitif produksi kedelai dengan menggunakan analisis BSD di Kabupaten Garut yang merupakan daerah sentra produksi kedelai utama di Jawa Barat.
MODEL ANALISIS
Analisis proyek bertujuan untuk menentukan pilihan dalam investasi suatu proyek, karena terbatasnya sumberdaya yang tersedia.
Kesalahan dalam memilih proyek akan
menyebabkan sumberdaya yang langka tersebut terbuang. Analisis proyek mencakup analisis ekonomi dan analisis finansial yang keduanya saling melengkapi.
Menurut
Kadariah (1978), analisis ekonomi berbeda dengan analisis finansial dalam menghitung unsur-unsur harga, bunga, pajak dan subsidi.
Dalam analisis ekonomi, subsidi dan pajak
dianggap tidak mempengaruhi arus pengeluaran dan pemasukan karena merupakan transfer payment.
Sedangkan dalam anali-
sis finansial, pajak dihitung sebagai biaya dan subsidi dihitung
sebagai
keuntungan.
Dalam
analisis ekonomi
digunakan harga bayangan (Shadow Price), yang menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya dari unsur biaya maupun hasil, sedangkan dalam analisis finansial digunakan harga pasar (Market Price). Analisis Biaya Sumberdaya Domestik Berdasarkan tujuan penelitian, maka analisis ekonomi terhadap produksi kedelai serta keunggulan komparatifnya maupun analisis finansial dan keunggulan kompetitifnya dianalisis dengan konsep biaya
sumberdaya domestik dan
koefisien biaya sumberdaya domestik. Melalui analisis ini dapat diketahui apakah pemenuhan permintaan dalam negeri
terhadap suatu komoditi lebih menguntungkan jika meningkatkan produksi domestik komoditi tersebut, ataukah lebih menguntungkan jika dilakukan dengan impor, ditinjau dari efisiensi
penggunaan
sumberdaya
domestik
yang
ada.
Kemudian juga dapat diketahui apakah produksi kedelai tersebut dapat bersaing di pasar
internasional dengan
asumsi-asumsi tertentu. Menurut Pearson (1976) dalam Suryana (1980), analisis biaya sumberdaya domestik adalah ukuran biaya imbangan sosial atau social ow~ortunitv cost dari penerimaan suatu unit marginal bersih devisa, diukur dalam bentuk faktorfaktor produksi domestik yang digunakan baik
langsung
maupun
ekonomi.
tidak
langsung dalam
suatu
aktivitas
Aktivitas ekonomi yang dimaksud adalah usaha untuk menghasilkan komoditi kedelai di Indonesia. Analisis BSD disebut juga Domestic Resource Cost of Earninq atau Savina a Unit of Foreian Exchanae, yaitu besarnya biaya sumber-sumber nasional untuk memperoleh atau menghemat satu satuan devisa (Kadariah et al, 1978). Analisis ini dapat mengukur efisiensi ekonomi usaha memproduksi kedelai di Indonesia yang menggunakan sumberdaya domestik yang langka, untuk menghemat satu satuan devisa. Asumsi yang harus dipenuhi agar konsep BSD dapat diterapkan pada suatu analisis ekonomi
dalam Suryana, 1980) adalah
(Pearson, 1976
:
1. Ada pengaruh dari pemerintah pada nilai tukar uang.
2.
Ada pengaruh dalam perdagangan komoditi yang dianalisis, dapat berupa peraturan-peraturan atau pembatasanpembatasan dari pemerintah.
3.
Output yang dianalisis dapat diperdagangkan (tradable).
4.
Biaya produksi dari tambahan satu satuan output ditentukan oleh hubungan input-output yang konstan, dan harga relatif faktor-faktor produksi tidak berubah.
5.
Harga bayangan input dan output serta nilai tukar uang dapat dihitung dan mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Kadariah &
(1978) menyatakan bahwa komoditi
tradable adalah : 1.
Sekarang diimpor atau diekspor.
2.
Bersifat pengganti yang erat hubungannya dengan jenis lain yang diimpor atau diekspor.
3.
Komoditi selain diatas dan dilindungi oleh pemerintah, yang sebenarnya dapat diperdagangkan secara internasional. Rumus BSD diturunkan dari konsep keuntungan bersih
sosial (KBS) atau Net Social Profitabilitv, yaitu pendapatan atau kerugian bersih dari suatu aktivitas ekonomi apabila seluruh output dan input dinilai dalam biaya imbangan sosialnya, dan seluruh efek eksternalitas tersebut diperhitunqkan (Pearson, 1976 dalam Suryana, 1980). Rumus KBS yang dipergunakan adalah
:
dimana : KBSj = Keuntungan bersih sosial dari aktivitas ke-j. aij
Output ke-i yang dihasilkan dalam aktivitas
=
ke-j.
Pi
= Harga bayangan output ke-i (dalam Rupiah)
fsj
Jumlah faktor produksi ke-s yang digunakan
=
dalam aktivitas ke-j. =
vs
Harga bayangan faktor produksi ke-s (dalam
Rupiah). Ej
= Efek eksternalitas dari aktivitas ke-j, dapat
bertanda positif atau negatif. Bila seluruh output dapat diperdagangkan (tradable), serta
seluruh
digunakan
input
dalam
lansung
aktivitas
dan
tidak
ekonomi
langsung
tersebut
yang dapat
dikelompokkan ke dalam komponen biaya domestik dan asing, maka :
dimana : j
=
Nilai total output dari aktivitas ke-j pada tingkat harga dunia (dalam US $ ) .
mj
=
Nilai total input yang bersifat tradable yang diimpor baik langsung maupun tidak langsung yang diunakan dalam aktivitas ke-j.
j'
=
Nilai total penerimaan pemilik faktor-faktor
lainnya, dengan mengeluarkan harga bayangan nilai tukar seperti pada persamaan ( 3 ) , maka kesalahan penilaian yang mungkin dibuat dari penilaian variabel ini dapat dihindari
.
Rasio persamaan
sumberdaya dnestik ( B S D ) .
(3) diatas
adalah rumus biaya
Dengan denikian persamaan BSD
dapat dinyatakan sebagai berikut :
Nilai eksternalitas sulit untuk diukur dan diidentifikasikan.
Nilai eksternalitas suatu kegiatan ekonomi
tergantung kepada tujuan pembangunan suatu negara. Komoditi kedelai lebih banyak ditanam di areal persawahan, sehingga akan menimbulkan permasalahan dalam areal tanam
padi
terutama
dalam
upaya
untuk
mempertahankan
swasembada pangan (eksternalitas negatif).
Namun demikian
jika mengingat bahwa Indonesia masih mengimpor kedelai, maka
peningkatan produksi kedelai dalam
negeri sangat
diperlukan (eksternalitas positif). Berdasarkan alasan diatas, maka nilai eksternalitas tergantung pada penilaian menurut kepentingannya.
Oleh
karena itu dalam penelitian ini diasunsikan bahwa eksternalitas positif dan negatif yang ditinbulkan tas
memproduksi kedelai akan
saling
oleh aktivi-
menghilangkan, se-
hingga eksternalitas bernilai no1 Dari persamaan KBS dan BSD diperoleh persamaan sebagai berikut :
=
(uj
-
mj
KBSj =
(vl
-
BSDj) (uj
KBsj
-
rj) v1
-
-
mj
(uj - m j - rj) BSD j
-
rj)
Apabila nilai BSDj sama dengan harga bayangan nilai tukar uang, maka nilai KBSj akan sama dengan nol.
Bila
nilai BSDj lebih kecil dari harga bayangan nilai tukar uang, maka nilai KBSj akan positif dan sebaliknya bila nilai BSDj lebih besar dari harga bayangan nilai tukar uang, K B S7 akan bernilai negatif. Analisis
keunggulan
komparatif
usaha
memproduksi
kedelai dalam negeri dinilai dengan koefisien biaya sumberdaya domestik (KBSD), yaitu rasio antara nilai BSD dengan harga bayangan nilai tukar uang. KBSD
berguna
untuk
membandingkan suatu aktivitas
ekonomi dengan aktivitas ekonomi alternatif di dalam suatu negara/daerah, atau untuk membandingkan suatu aktivitas ekonomi antar negara/daerah karena adanya perbedaan harga bayangan nilai tukar uang (Squire dan van der Tak, 1979 dalam Toni, 1991).
Rumus Koefisien BSD yaitu :
Koefisien BSD
j
=
BSD v1
dimana : BSDj
=
Nilai BSD dalam aktivitas ke-j (Rp/US $ 1).
v1
=
Harga bayangan nilai tukar uang (Rp/US $ 1).
Semakin kecil nilai rasio tersebut atau semakin kecil nilai BSD dari harga bayangan nilai tukarnya, maka aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya semakin efisien, yang berarti untuk memenuhi kebutuhan permintaan dalam negeri lebih menguntungkan jika dipenuhi dengan meningkatkan produksi domestik daripada melakukan impor terhadap komoditi tersebut. Ada beberapa kelebihan dan kelemahan dari analisis keungulan komparatif yang menggunakan BSD (Nunung, 199). Kelebihannya adalah : 1.
Mempunyai ruang lingkup analisis tidak bersifat parsial.
yang lebih luas dan
Dengan demikian analisis
secara wilayah dapat dilakukan. 2.
Dapat digunakan
untuk menganalisis komparatif dengan
cara membandingkan manfaat dari proyek atau aktivitas ekonomi antar berbagai teknologi dalam suatu daerah atau antar daerah dengan menggunakan teknologi yang sama . 3.
Dalam analisis BSD terutama
perhitungannya selalu
diusahakan dengan pendekatan yang bersaing sempurna. Adapun kelemahan dari analisis dengan BSD ini adalah: 1.
Adanya pengalokasian terhadap komponen-komponen biaya domestik dan biaya asing sangat mempengaruhi dalam perhitungan.
Kesalahan dalam mengelompokkan komponen
biaya akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari nilai BSD. 2.
Analisis BSD ini hanya dapat digunakan untuk
analisis
dan menilai manfaat dari aktivitas ekonomi pada masa tertentu dan dalam keadaan yang tidak dinamis, sehingga jika ada perubahan-perubahan diantisipasi dengan menggunakan analisis kepekaan. Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan private dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku (ADB, 1990). Menurut Asian Development Bank (1990), suatu negara akan dapat bersaing di pasar internasional jika negara tersebut mempunyai keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditi, dengan asumsi ada sistem pemasaran dan intervensi pemerintah.
Secara matematis koefisien keung-
gulan kompetitif dinyatakan sebagai berikut :
Dimana
:
KBSD*
=
Koefisien keunggulan kompetitif
.
BSD*
=
BSD berdasarkan harga pasar yang berlaku (Rupiah).
"OP
=
Nilai tukar uang resmi atau official exchange rate (dollar).
Suatu negara dikatakan mempunyai keunggulan kompetitif dalam kegiatan ekonomi tertentu jika KBSD* < 1, artinya negara tersebut dapat bersaing di pasar internasional dengan asumsi ada sistem pemasaran dan intervensi pemerintah.
Jika KBSD* > 1, maka negara tersebut tidak mempunyai
keunggulan kompetitif dalam kegiatan ekonomi tertentu, sehingga tidak dapat bersaing di pasar internasional. Analisis Kepekaan Analisis kepekaan adalah menelaah kembali suatu analisis untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986). Menurut Kadariah & &. (1978), analisis kepekaan bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi/proyek bila ada suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit. Suatu analisis kepekaan dikerjakan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis semula.
kelemahan, antara lain : 1.
Analisis kepekaan tidak dapat dipakai untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial dan hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu.
2.
Analisis kepekaan hanya mengatakan apa
yang akan
terjadi bila suatu variabel berubah, dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Tahapan Analisis
Secara ringkas tahapan dalam analisis BSD adalah sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi input yang digunakan dan output yang dihasilkan dalam
aktivitas ekonomi
(dalam ha1
ini
adalah usahatani kedelai). 2.
Menentukan penilaian harga bayangan dari input dan output yang diperhitungkan serta nilai tukar uang.
3.
Mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya domestik dan asing dari aktivitas pada butir (1).
4.
Melakukan analisis pendapatan dari segi finansial dan ekonomi
5.
.
Melakukan analisis BSD,
dengan melihat nilai dan
koefisiennya. 6. Melakukan
analisis kepekaan
dari beberapa komponen
input dan output terutama yang diduga berpengaruh terhadap hasil analisis BSD.
Metode Penelitian Rancangan Pengambilan Contoh Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Kabupaten
Garut
dilakukan
secara
sengaja
Pemilihan
(purposive),
karena Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kedelai utama di Jawa Barat (tabel lampiran 5). Pemilihan Kecamatan Wanaraja juga dilakukan secara purposive karena berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, diketahui bahwa Kecamatan Wanaraja merupakan sentra produksi kedelai di Kabupaten Garut
.
Memilih
lokasi usahatani
di
Desa
Sindangratu
mengingat desa tersebut merupakan salah satu penghasi.1 utama kedelai di Kecamatan Wanaraja. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
.Data primer diperoleh melalui
wawancara langsung dengan responden (petani kedelai di Desa
Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut,
Propinsi Jawa Barat).
Wawancara dilakukan dengan menggu-
nakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Bank Indonesia serta instansi terkait lainnya.
Metode Penaambilan Contoh Responden yang diambil adalah petani kedelai di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat, dengan cara Stratified Random Sampling.
Tahap
pertama, petani kedelai yang menanam secara monokultur dipisahkan
dengan
petani
kedelai
yang
tumpangsari, kemudian masing-masing diberi nomor. yang
menanam
menanam
petani
secara
dicatat dan
Jumlah sampel yang diambil dari petani baik secara
monokultur
maupun
tumpangsari
ditentukan berdasarkan persentase terhadap jumlah total petani kedelai di Desa Sindangratu. Jumlah total sampel sebanyak 50 petani. Penentuan Usahatani vana Dianalisis Penentuan jenis usahatani kedelai yang dianalisis dilakukan berdasarkan jenis lahan dan pola tanam yang diusahakan di daerah penelitian.
Usahatani kedelai yang
akan dianalisis adalah : 1.
Usahatani kedelai
monokultur pada lahan kering yang
selanjutnya disebut pola tanam I. 2.
Usahatani kedelai tumpangsari dengan jagung pada lahan kering yang selanjutnya disebut pola tanam 11.
Oprasionalisasi Penentuan Inwut-Out~utFisik Usahatani Kedelai Komponen input usahatani kedelai di daerah penelitian terdiri dari sarana produksi dan peralatan.
Sarana pro-
duksi yang digunakan terdiri dari pupuk anorganik yaitu Urea, TSP dan KC1, pupuk kandang iorganik), insektisida, benih kedelai, lahan dan tenaga kerja.
Peralatan yang
digunakan terdiri dari cangkul, tugal, kored,arit, parang dan handsprayer. Komponen
output dalam
usahatani
kedelai
di
Desa
Sindangratu yaitu kedelai untuk pola tanam monokultur, sedangkan untuk pola tanam tumpangsari adalah kedelai dan jagung
.
Penentuan Haraa Bavanaan Dalam analisis ekonomi termasuk analisis BSD, harga yang digunakan adalah harga bayangan.
Beberapa pustaka
telah membahas tentang harga bayangan ini. Kadariah et a1 (1978) menyatakan bahwa harga bayangan dapat dianggap semacam penyesuaian yang dibuat oleh peneliti proyek terhadap harga pasar dari beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu, disebabkan karena harga pasar itu tidak mencerminkan biaya atau nilai sosial Cost) dari unsur-unsur yang sebenarnya (Social O~~ortunitv atau hasil produksi tersebut. disebabkan
oleh
Hal tersebut terutama
kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah
berupa pajak tidak langsung, subsidi maupun pengaturan harga. Squire dan van der Tak
(1979) dalam
Toni
(1991)
mendefinisikan harga bayangan sebagai harga yang menggambarkan
peningkatan
dalam
kesejahteraan
dengan
adanya
perubahan marginal dalam persediaan komoditi dan faktorfaktor produksi. Squire (1982) dalam Nunung (1992) mengemukakan dua ha1 yang penting dalam penggunaan harga bayangan.
Pertama
harga bayangan bukanlah harga-harga keseimbangan yang akan terjadi dalam perekonomian dimana tidak terdapat gangguan'gangguan. Penaksiran dari harga bayangan ini akan memberikan
informasi
penting
yang
dapat
digunakan
sebagai
landasan untuk merancang kebijaksanaan yang dapat menghilangkan gangguan-gangguan. yang
Kedua perlunya pendefinisian
jelas terhadap tujuan-tujuan sosial ekonomi dari
kebijaksanaan pembangunan nasional. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar dalam keadaan bersaing sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Dalam kenyataan sebenarnya sulit menjumpai pasar dengan keadaan bersaing sempurna karena adanya berbagai gangguan akibat kebijaksanaan pemerintah seperti subsidi, pajak dan sebagainya.
Alasan
digunakannya harga bayangan
dalam
analisis ekonomi, pertama harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyara-
kat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut.
Kedua harga pasar tidak mencerminkan apa yanq sebe-
narnya
dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang
dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan dalam masyarakat. Dalam menentukan harga penelitian bayangan
bayanqan sehubungan dengan
ini, akan digunakan metode sebagaimana
yang
dikemukakan
penentuan harqa oleh
Gittinqer
dengan berbaqai penyesuaian. Haraa Bavanaan Outaut Harga bayangan output (kedelai) yang digunakan adalah harga
batas
(border mice).
Menurut
Kadariah &
a
(1978), border price adalah tingkat harga internasional yang
berlaku
pada
perbatasan
terhadap luar negeri.
negara yang bersanqkutan
Border price untuk output yang
diekspor atau merupakan barang yang mempunyai potensi untuk diekspor adalah harga f.0.b
(free on board).
Se-
dangkan border price untuk output yang diimpor atau kemungkinan
diimpor
adalah
harga
c.i.f
(cost insurance
freight). Kedelai merupakan komoditi yang sedang diimpor, maka harga bayangan yang digunakan adalah harga c.i.f di pelabuhan
impor ditambah dengan biaya tataniaqa sampai di
pasar tujuan, yang dalam ha1 ini adalah Pasar Ciawitali Garut.
Harga c.i.f kedelai pada tahun 1992 yaitu sebesar
dollar per kilogram, atau sebesar
0,27
kilogram. nilai
Harga c.i.f
rupiah per
ini didapat dari hasil pembagian
impor dengan volume
Besarnya biaya
592
impor pada
tataniaga kedelai dari
tahun tersebut. pelabuhan
impor
(Tanjung Priok, Jakarta) ke Pasar Ciawitali Garut adalah sebesar 100 rupiah per kilogram (lihat keterangan halaman Dengan demikian untuk orientasi perdagangan substi-
108).
tusi impor, harga bayangan kedelai adalah sebesar
692
rupiah per kilogram. Jagung
merupakan
sulitnya untuk
Karena
komoditi
yang
memperoleh
data
sudah
diekspor.
mengenai
biaya
tataniaga jagung serta penyesuaian-penyesuaiannya, maka harga
bayangan
jagung diperoleh dari
harga
aktual di
tingkat petani yang disesuaikan dengan harga bayangan nilai
tukar uang
didapat harga
rupiah terhadap dollar AS,
bayangan jagung sebesar
223
sehingga
rupiah per
kilogram. Harqa Bavanqan Sarana Produksi dan Peralatan Benih.
Dalam penelitian ini kebutuhan benih kedelai dan
jagung ditentukan oleh pasar domestik atau lokal, dengan demikian termasuk inlsut non tradable.
Oleh karena itu
harga bayangan benih didekati dari harga pasarnya.
Hal
ini disebabkan karena benih kedelai dan benih jagung di lokasi penelitian, diperoleh dari hasil produksi petani itu sendiri atau membeli masih di sekitar lokasi usahatani mereka .
Pupuk. penelitian
Pupuk yang digunakan oleh petani di lokasi adalah
Urea, TSP, KC1
dan
pupuk
kandang.
Karena pupuk buatan merupakan input tradable, maka harga baya-
ngannya ditentukan berdasarkan harga finansial atau
aktual ditambah subsidi yang diberikan pemerintah pada masing-masing pupuk tersebut. ~erdasakkandata dari Centre for Policy and Implementation Studies (1993), tingkat subsidi untuk Urea, TSP dan KC1 adalah masing-masing sebesar 24,8, 16,5 dan 13,3 persen (Tabel Lampiran 4).
Untuk pupuk kandang harga bayangan
sama dengan harga aktual yang terjadi di daerah penelitian. Insektisida.
Di daerah penelitian, obat pembasmi
hama yang digunakan adalah insektisida.
Karena mulai
tahun 1989 pemerintah telah mencabut subsidi untuk insektisida, maka
harga bayangan
insektisida nilainya sama
dengan harga aktual yang terjadi di daerah penelitian. Peralatan.
Harga peralatan yang ada di pasar domes-
tik mendekati persaingan sempurna, dan tidak ada kebijaksanaan pemerintah yang secara langsung mengatur hargaharga peralatan, sehingga tidak ada gangguan yang bekerja dalam pasar domestik (Nunung, 1992).
Oleh karena itu
dalam penelitian ini harga bayangan peralatan dihitung berdasarkan nilai penyusutan dalam satu musim tanam yang nilainya sama dengan harga aktualnya.
Harga Bayangan Tenaga Kerja. der
Tak
bayangan
(1976) dalam tenaga
kerja
Suryana
Menurut Squire dan van (1980),
bertujuan
untuk
penilaian harga mengukur
biaya
imbangan tenaga kerja, yaitu output marginal yang hilang karena tenaga kerja digunakan di tempat lain. Dalam pasar persaingan sempurna, tingkat upah pasar akan mencerminkan nilai produktivitas marginalnya.
Pada
keadaan ini besarnya upah pasar dapat dipakai sebagai harga bayangan tenaga kerja (Gittinger,l986). Untuk tenaga kerja pada sektor pertanian di pedesaan yang umumnya merupakan tenaga kerja tidak terampil, sehingga tingkat upah yang diberikan seringkali melebihi biaya irnbangannya.
Oleh sebab itu tingkat upah pasar
untuk tenaga kerja di sektor pertanian tidak dapat dipakai sebagai harga bayangan tenaga kerja (Toni, 1991). Seperti yang
telah dikemukakan oleh Toni
(1991),
bahwa beberapa penelitian terdahulu menilai harga bayangan tenaga kerja di sektor pertanian lebih rendah dari tingkat upah pasar.
IPB (1977) menetapkan harga bayangan tenaga
kerja di perkebunan kelapa rakyat di Lampung sebesar 70 persen dari tingkat upah pasar.
Suryana (1980) menetapkan
harga bayangan tenaga kerja untuk usahatani ubikayu dan jagung di Jawa Timur dan Lampung masing-masing 70 persen dan 80 persen dari tingkat upah pasar.
Sedangkan Wahyudi
(1989) dalam Nunung (1992) menilai harga bayangan berdasarkan tingkat pengangguran di desa pada tahun 1986 yaitu
sebesar 30 persen, sehingga harga bayangan tenaga kerja ditetapkan
70
persen
dari
tingkat upah
yang berlaku.
Berdasarkan keterangan di atas, maka pada penelitian ini ditetapkan harga bayangan tenaga kerja sebesar 70 persen dari tingkat upah yang berlaku. Harga Bayangan Lahan.
Lahan merupakan faktor produk-
si yang utama selain tenaga kerja dan modal dalam usaha di bidang pertanian.
Dalam penelitian ini harga bayangan
lahan berdasarkan cara yang dikemukakan oleh Gittinger (1986),
yang
mengemukakan
bahwa
harga
bayangan
lahan
ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan tiap musim tanam yang berlaku di masing-masing tempat usahatani. Harga Bayangan Bunga Modal.
Harga bayangan bunga
modal adalah tingkat bunga tertentu atau tingkat pengembalian riil atas proyek-proyek pemerintah.
Tingkat bunga
diperlukan untuk menghitung biaya tunai yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani mulai masa tanam sampai dengan pra panen (Suryana, 1980). Bunga modal untuk analisis finansial ditaksir dengan memperhitungkan tingkat bunga
bank
yang berlaku umum.
Pada penelitian ini bunga modal untuk analisis finansial ditentukan sebesar 15 persen per tahun atau sekitar
3,75
persen per musim tanam berdasarkan rata-rata tingkat suku bunga deposit0 berjangka 3 bulan pada bank-bank swasta (Tabel Lampiran 5).
Harga bayangan bunga modal untuk analisis ekonomi dalam penelitian ini tidak diperhitungkan sebagai komponen biaya karena diasumsikan bahwa modal untuk usaha produksi kedelai berasal dari dana dalam negeri.
Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Gittinger (1986) bahwa harga bayangan bunga modal untuk analisis ekonomi tergantung Jika modal atau pinjaman
pada sumber modal tersebut.
berasal dari dana dalam negeri, maka bunga modal tidak perlu diperhitungkan sebagai biaya.
Tetapi jika modal
atau pinjaman berasal dari luar negeri, maka bunga modal harus dimasukkan ke dalam komponen biaya. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang.
Henurut Suryana
(1980) harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata
uang
asing yang
terjadi pada pasar nilai tukar uang yang bersaing sempurna
. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan
nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat
keseimbangan nilai
tukar
uang.
Keseimbangan
terjadi apabila dalam pasar uang semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan (Bacha dan Taylor, 1971 dalam Suryana, 1980). Simatupang
(1990) dalam Nunung
(1992) menggunakan
pendekatan Standard convention factor (SCF) untuk menentukan harga bayangan nilai tukar dengan rumus sebagai berikut :
OERt SCF
=
SERt
Mt
-
+
Xt
(Mt + Tmt) + (Xt - TXt)
dimana : Mt
=
Nilai dari impor Indonesia untuk tahun t (Rp)
Xt
=
Nilai dari ekspor Indonesia untuk tahun t (Rp)
Tmt = Penerimaan pemerintah dari pajak impor tahun t (Rupiah) Txt
=
Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor tahun t (Rupiah)
OERt= Nilai tukar resmi untuk tahun t (Rp/US $ 1) SERt= Nilai tukar bayangan untuk tahun t (Rp/US $ 1) Dalam penelitian ini angka konversi standar diperoleh dari hasil perhitungan angka konversi standar tahun 1992. yaitu sebesar 0,980 (Tabel Lampiran 7). resmi yang
digunakan adalah
Besarnya nilai tukar
sebesar
2146 rupiah yang
didapat dari catatan kurs mata uang dollar terhadap rupiah dalam Indikator Ekonomi dari Biro Pusat Statistik sampai dengan bulan februari tahun 1994. diatas maka
Berdasarkan keterangan
dalam penelitian ini harga bayangan nilai
tukar uang yang digunakan adalah sebesar 2190 rupiah. Alokasi KomDonen Biava Domestik dan Asins Menurut Pearson (1976) dalam Suryana (19801, ada dua pendekatan yang dapat dipakai untuk mengalokasikan kompo-
-n
biaya domestik dan asing.
andekatan total.
Pendekatan pertama adalah
Pada pendekatan ini setiap biaya input
'-adable produksi domestik dibagi ke dalam komponen biaya -7rnestik dan asing.
Pendekatan total dipergunakan apabila
-odusen lokal dilindungi, sehingga tambahan penawaran :.put tradable
didatangkan dari
produsen
lokal.
Pendekatan kedua adalah pendekatan langsung.
Dalam
--ndekatan langsung diasumsikan seluruh biaya input trada:e baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai Tmponen asing. imbahan
Pendekatan ini dapat dipergunakan apabila
permintaan
input tradable
baik
barang
impor
.-aupunproduksi domestik dapat dipenuhi dari perdagangan 7tar negara atau penawaran di pasar internasional. Pada penelitian ini menggunakan '-%l
pendekatan langsung.
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pearson (1976)
' i u Suryana (1980) bahwa untuk keperluan analisis keung-
'~~lankomparatif, pendekatan langsung lebih sesuai. Komponen tradable seperti pupuk anorganik (Urea, KC1,
%-an TSP) serta insektisida adalah 100 persen komponen :.%ing.
Komponen yang non tradable seperti lahan, tenaga
k ~ r j a ,bunga modal dan pupuk kandang adalah 100 persen brupakan komponen domestik.
Benih kedelai merupakan produksi domestik yang harga dan pasarnya ditentukan oleh pasar domestik, dengan demikian termasuk input non tradable. benih
adalah
100
persen
Dalam penelitian ini
merupakan
komponen domestik,
karena di lokasi penelitian tidak ada perlakuan khusus untuk menghasilkan benih, tetapi hanya mengambil dari hasil produksi yang akan dijual, atau membeli dari lingkungan usahatani mereka. Alokasi
komponen
peralatan
dalam
penelitian
ini
mengacu pada cara yang dikemukakan oleh Toni (1991) dengan menggunakan pendekatan tabel input-output Indonesia tahun 1985 dari sektor bernomor kode 116 yaitu sektor industri
alat potong dan perkakas pertanian, yang membagi komponen peralatan ini menjadi 14,8 persen komponen asing dan 85,2 persen komponen domestik. Secara ringkas alokasi komponen biaya domestik dan asing dipat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Biaya Domestik dan Asing
Komponen Biaya
Domestik
Asing
Lahan Tenaga kerja Bunga modal Pupuk kandang Benih Pupuk anorganik Insektisida Peralatan
Alokasi Biava Tataniasa Orientasi perdagangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah substitusi impor yang manfaatnya diperoleh dari nilai devisa yang dihemat akibat berkurangnya impor. Dengan
demikian biaya
tataniaga
dalam
penelitian
ini
didekati dengan menghitung seluruh biaya nulai dari petani sampai pada pedagang di Pasar Ciawitali Garut. Biaya tataniaga dalam penelitian ini meliputi biaya pengepakan dan karung, bongkar muat, penyimpanan dan biaya pengangkutan.
Adapun alokasi biaya tataniaga atas kompo-
nen biaya domestik dan asing, mengacu pada hasil modifikasi alokasi tataniaga yang dilakukan oleh Haryono (1991) dalam Gunawan (1994), dengan perincian seperti yang disajikan pada tabel 4.
Tabel 2.
Alokasi Biaya Tataniaga Atas Dasar Komponen Biaya Domestik dan Asing
Unsur
Domestik ( % )
Pengangkutan Penanganan
*)
Asing ( % )
Pajak ( % )
44,32
54,47
1,21
82,05
17,19
0,76
Keterangan : * ) : Terdiri dari penyimpanan, bongkar muat, pengepakan dan karung. Analisis Kepekaan Analisis ke~ekaanPada Keunaaulan Kom~aratif Analisis
kepekaan yang
dilakukan pada
keunggulan
komparatif dalam penelitian ini adalah : 1.
Analisis kepekaan perubahan harga bayangan sewa lahan pada tingkat harga sebesar 90,110 dan 120 persen dari harga bayangan semula dengan asumsi faktor lain tetap.
2.
Analisis kepekaan perubahan harga bayangan upah tenaga kerja sebesar 90,110 dan 120 persen dari harga bayangan semula dengan asumsi faktor lainnya tetap.
3.
Analisis kepekaan terhadap perubahan harga bayangan pupuk sebesar 90,110 dan 120 persen dari harga bayangan semula dengan asumsi faktor lain tetap.
4.
Analisis kepekaan terhadap perubahan harga bayangan benih sebesar 90, 110 dan 120 persen dari harga
baya-
ngan semula dengan asumsi faktor lain tetap. 5.
Analisis kepekaan terhadap perubahan harga bayangan output sebesar SO,
90
dan 110 persen
dari harga
bayangan semula dengan asumsi faktor lain tetap. 6.
Analisis kepekaan terhadap perubahan tingkat produktivitas sebesar 80, 90, 110 persen dari tingkat produktivitas semula dengan asumsi faktor lain tetap.
7.
Analisis kepekaan terhadap perubahan keenam variabel tersebut diatas pada kondisi yang kurang menguntungkan dengan perubahan masing-masing sebesar 10 persen dari harga bayangan dan tingkat produktivitas semula dengan asumsi faktor lain tetap.
pnalisis Kewekaan Pada Keunaaulan Kom~etitif Analisis kepekaan keunggulan kompetitif dalam penelitian ini adalah : 1.
Analisis kepekaan pada saat harga aktual benih kedelai meningkat sebesar 30,63 persen dan harga aktual benih jagung meningkat sebesar 2,52 persen dari harga aktual benih yang berlaku dengan asumsi faktor lain tetap.
2.
Analisis kepekaan pada saat harga aktual upah tenaga kerja meningkat sebesar 13,21 persen dari harga aktual upah tenaga kerja yang berlaku dengan asumsi faktor lain tetap.
3.
Analisis kepekaan pada saat harga aktual pupuk Urea, TSP dan KC1 meningkat masing-masing sebesar 24,8, 16,5
dan 13,3 persen dari harga aktual pupuk yang berlaku dengan asumsi faktor lain tetap.
4.
Analisis
kepekaan pada
saat harga
output kedelai
menurun sebesar 25 persen dan harga jagung menurun sebesar 63.3 persen dari harga aktual kedelai semula dengan asumsi faktor lain tetap. 5.
Analisis kepekaan pada saat terjadi penurunan tingkat produktivitas sebesar 35 persen dari tingkat produktivitas semula dengan asumsi faktor lain tetap.
6.
Analisis kepekaan jika terjadi perubahan harga aktual benih, upah tenaga kerja, pupuk dan output secara bersamaan
pada
kondisi
yang
kurang
menguntungkan
sesuai dengan persentase diatas dengan asumsi faktor lain tetap.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Kecamatan Wanaraja Letak dan Geosrafis Kecamatan Wanaraja
terletak
di
wilayah Kabupaten
Garut bagian Utara dengan jarak kurang lebih 12 kilometer dari Ibukota Kabupaten Garut.
Kecamatan Wanaraja berbata-
san dengan Kecamatan Sukawening di
sebelah Utara, di
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Karangpawitan, sebelah Barat berbatasan
dengan
Kecamatan Banyuresmi,
sedangkan Kabupaten Tasik membatasi Kecamatan Wanaraja dari sebelah Timur.
Gambaran umum wilayah Kecamatan
Wanaraja disajikan pada Gambar Lampiran 1. Kecamatan Wanaraja terletak pada ketinggian sekitar 700 meter diatas permukaan laut, dengan kemiringan tanah
-
berkisar
antara 10
2 808 mm
dengan curah hujan rata-rata sebesar 234 mm, ba-
nyaknya
hari
hujan
50 persen.
111
dengan
Banyaknya
curah hujan
rata-rata
sebesar
9.
Bulan basah tiap tahun rata-rata enam bulan dan suhu berkisar antara 17
-
27" C.
Tatasuna Lahan. Penduduk dan Mata Pencahar~an Kecamatan Wanaraja mempunyai luas wilayah sebesar 71,56 Km2 dengan jumlah penduduk 81 481 jiwa yang terdiri
dari 39 336 orang laki-laki dan 42 145 orang perempuan. Adapun kepadatan penduduk adalah 1 138,68 jiwa/Km2.
Sektor
pertanian
di
Kecamatan
Wanaraja
memegang
peranan yang sangat penting, karena sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani.
Dari
luas wilayah yang ada, 78 persen merupakan lahan kering dan 22 persen merupakan lahan sawah dan kolam.
Dengan
demikian sebagian besar usaha produksi kedelai dilakukan di lahan kering. Pola tanam yang biasa diterapkan di Kecamatan Wanaraja terlihat pada gambar 1 dibawah ini. Gambar 1.
Pola Tanam Lahan Pertanian di Kecamatan Wanara ja, Kabupaten Garut Jawa Barat.
Bulan
1
sawah irigasi
0
1
1
/Padi
1
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
i / 1 x 1
I
Sawah pengairan r
r
/ Padi
lainnya
-
I
/
I
// Padi II/
,/~alawi jd
/palawija/
sawah tadah hujan
/~alawi ja/
/
Tegal/kebun
/
/
z
d
Padi
,
Palawija
/
Sumber : BPP Wanaraja, 1994. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di Kecamatan Wanaraja adalah sebagai petani yaitu sebesar 84,4 persen, termasuk didalamnya petani pemilik, penggarap, penyakap dan
buruh
tani.
Secara
lengkap
mata
pencaharian
masyarakat Kecamatan Wanaraja adalah sebagai berikut :
Tabel 5.
Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Wanaraja Jumlah Penduduk
Uraian Mutlak
Persentase
60 569
100
Petani Pengusaha Pengrajin/industri kecil Buruh industri, bangunan dan pertambangan Pedagang Pegawai negeri sipil ABRI
Pensiunan Peternak TOTAL
Sumber : Data Monografi Kecamatan Wanaraja Semester I, 1994 Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sektor pertanian di Kecamatan Wanaraja memegang peranan yang sangat penting, dilihat dari besarnya proporsi penduduk yang bekerja pada sektor ini. Ketersediaan kelembagaan dan sarana penunjang sangat besar peranannya bagi kemajuan pertanian.
Di Kecamatan
Wanaraja, kelembagaan yang tersedia ada satu buah KUD, tiga buah Bank, empat buah Koperasi Simpan Pinjam dan satu pasar kecamatan untuk penjualan hasil pertanian maupun pembelian sarana produksi.
Kelembagaan yang ada tersebut
pada saat ini tidak memberikan pinjaman kredit maupun penyediaan sarana produksi pertanian.
Akibatnya masalah
kekurangan modal masih merupakan masalah utama pada sebagian besar petani kedelai.
perkembangan Produksi Kedelai di Kecamatan Wanaraia Berdasarkan data
dari
Garut, diketahui bahwa
Kantor
Statistik Kabupaten
produksi kedelai di Kecamatan
Wanaraja mempunyai kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Perkembangan luas panen dan produksi
kedelai di Kecamatan Wanaraja dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6.
Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Hasil per Hektar Kedelai di Kecamatan Wanaraja Tahun 1987
-
1992
-
Tahun
Luas Tanam (ha)
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Garut.
Rata-Rata Produksi ( Kw/ha)
1992
Usaha produksi kedelai di Kecamatan Wanaraja sebagian besar dilakukan di lahan kering.
Hal tersebut disebabkan
karena memang sebagian besar lahannya merupakan kering (78 persen dari total luas wilayah).
lahan
Dari sebanyak
31 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Garut, Wanaraja
merupakan salah satu kecamatan yang diprioritaskan sebagai sentra produksi kedelai di Kabupaten Garut, seperti yang tercantum pada tabel 7.
Tabel 7.
Tambah Tanam, Luas Panen, Hasil per hektar dan Produksi Kedelai di Kabupaten Daerah Tingkat I1 Garut, Tahun 1993
Kecamatan * ) Tambah Tanam Luas Panen Hasil per (Hektar) Hektar (Hektar) Talegong Pakenjeng Bayongbong Tarogong Garut Kota Karang Pawitan Wanara ja Sukawening Banyuresmi Cibatu
1 1 1 1 1 6
7 2 4 2
Produksi (Ton)
053 180 885 638 339 600 200 354 382 693
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, 1993.
Keterangan : * ) Merupakan 10 kecamatan utama yang diprioritaskan sebagai sentra produksi kedelai di Kabupaten Garut. Dari Tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 1993
Kecamatan
Wanaraja menambah lahan kedelai seluas
7 200 hektar, dan merupakan tambahan lahan yang terluas
dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dan juga mempunyai tingkat produktivitas yang cukup tinggi.
Dengan semakin
bertambahnya luas lahan kedelai tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan analisis pendapatan baik secara finansial maupun ekonomi, dan juga analisis keunggulan komparatif dan kompetitif produksi kedelai sebagai komoditi substitusi impor.
Desa Sindangratu Letak dan Geoarafis Desa
Sindangratu merupakan
salah satu desa
yang
termasuk wilayah Kecamatan Wanaraja, dengan jarak kurang lebih
2,5
kilometer dari Ibukota Kecamatan Wanaraja.
Di
sebelah Tinur, Desa Sindangratu berbatasan dengan Desa Sindangmekar, di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wanamekardan Wanajaya, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Babakanloa, dan Desa Sukaratu membatasi
Desa
Sin-
dangratu dari sebelah selatan. Adapun gambaran umum wilayah Desa Sindangratu disajikan pada Gambar Lampiran 2. Desa Sindangratu terletak pada ketinggian sekitar
700
meter diatas permukaan laut dengan bentuk permukaan tanah berupa dataran. sebesar
2450
Desa Sindangratu mempunyai curah hujan
mm per tahun, dengan bulan basah tiap tahun
rata-rata enam bulan dan suhu berkisar antara
15
-
2 7 - C.
Tatacruna Lahan. Penduduk dan Mata Pencaharian Desa hektar.
Sindangratu mempunyai
Dari luas wilayah tersebut,
pakan lahan kering, atau sekitar wilayah.
luas
67
wilayah
254,854
22
hektar meru-
persen dari total luas
Sawah pengairan sederhana seluas
atau sebesar
378,445
83,126
persen dari total luas wilayah.
hektar, Selebih-
nya terdiri dari daerah perumahan dan pekarangan
(10%)
serta daerah pekuburan sebesar 1 persen dari total luas wilayah.
Melihat dari keadaan wilayah tersebut diatas, maka dapat dipastikan bahwa sebagian besar penduduk Sindangratu mengusahakan pertaniannya di lahan kering, dengan pola tanam Padi gogo
-
Palawija (monokultur) atau Padi gogo
Palawija (tumpangsari).
untuk lahan sawah, pola tanam
yang biasa dilakukan adalah Padi Padi
-
Palawija
Jumlah
-
-
-
Padi
-
Palawija, atau
Sayuran,
penduduk
Desa
Sindangratu
1991/1992, tercatat sebanyak 4 805
pada
tahun
jiwa dengan 1 350
kepala keluarga, serta kepadatan penduduk sebesar 1 282 jiwa/Km2. Eerdasarkan data dari kantor Desa Sindangratu, diketahui bahwa 73 persen dari penduduknya bemata pencaharian petani.
Sebesar 3 persen menjadi pegawai negeri (sipil
dan ABRI), buruh sebesar 19 persen, selebihnya bekerja sebagai pedagang, dukun bayi dail pensiunan pegawai negeri. Adapun tingkat pendidikan di Desa Sindangratu secara umum masih tergolong rendah.
Hal ini ditunjukkan oleh
data yang didapat dari kantor Desa Sindangratu yang menyatakan bahwa sebesar'6 8 , 9 persen dari total penduduk, hanya tamatan Sekolah Dasar.
Secara terperinci tingkat pendidi-
kan di Desa Sindangratu dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Tingkat pendidikan di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat ~ingkatpendidikan Belum Tidak Tamat Tamat Tamat Tamat Tamat
Jumlah
Persentase
sekolah tamat SD/sederajat SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat akademi perguruan tinggi
J u m l a h
4 871
100
Sumber : Kantor Desa Sindangratu, 1991/1992 Karakteristik Petani Kedelai Petani kedelai di Desa Sindangratu Kecamatan Wanaraja sudah menanam kedelai sejak lama. dari sejumlah
Hal ini terbukti karena
responden ternyata diperoleh rata-rata
50
pengalaman dalam usahatani kedelai selama 25 tahun, dan usahatani kedelai merupakan pekerjaan utama bagi mereka. Sebesar 40 persen dari responden mengemukakan alasan mereka berusahatani kedelai adalah karena menanam kedelai sudah diusahakan secara turun temurun.
Sebesar 52 persen
mengatakan bahwa alasan berusahatani kedelai karena pemasaran lebih mudah. sarkan
informasi
Kabupaten
Garut
Hal ini bisa dimaklumi karena berdadari
Dinas
diketahui
Pertanian
bahwa
Tanaman
Rebutuhan
Pangan
kedelai
di
Kabupaten Garut belum bisa terpenuhi seluruhnya dari hasil produksi kedelai di Kabupaten Garut, walaupun sebenarnya Kabupaten Garut mempunyai luas lahan usahatani kedelai sebesar 39,4 persen dari total luas lahan kedelai di Jawa Barat (Tabel Lampiran 5).
Lahan yang digunakan untuk usaha produksi kedelai adalah lahan kering dengan dua macam pola tanam, yaitu monokultur dan tumpangsari dengan tanaman jagung.
Rata-
rata luas lahan yang digunakan petani untuk menanam kedelai secara monokultur maupun hektar.
tumpangsari adalah
0,36
Adapun umur petani kedelai Deragam dengan tingkat
pendidikan sebatas sekolah dasar.
HASIL DAN PEMBANASAN Bab ini akan membahas hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat.
Adapun yang akan dibahas adalah
analisis pendapatan, baik secara finansial maupun ekonomi. Kemudian analisis BSD untuk mengetahui keunggulan komparatif dengan menggunakan harga bayangan baik untuk input maupun outputnya.
Sedangkan analisis keunggulan kompeti-
tif dihitung berdasarkan pada hasil analisis finansial atau berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan baik dilihat dari input maupun output, maka akan dilakukan analisis kepekaan yang dalam ha1 ini akan dilakukan hanya terhadap kemungkinan yang peluang terjadinya sangat besar dan berpengaruh terhadap hasil analisis. Sebagai bahasan terakhir akan dikemukakan implikasi dari hasil analisis BSD baik mengenai keunggulan komparatif maupun
kompetitif
terhadap usaha
produksi
kedelai
di
daerah penelitian. Analisis Pendapatan Finansial Pendapatan finansial diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan, yang dihitung berdasarkan nilai aktual yang berlaku di daerah
penelitian. daerah
Usaha produksi kedelai yang dilakukan di
penelitian baik yang ditanam secara monokultur
maupun tumpangsari, biaya sewa lahan merupakan komponen biaya terbesar yang harus dikeluarkan.
Dari tabel 9 dapat
dilihat bahwa produksi kedelai dengan pola tanam monokultur, komponen biaya untuk sewa lahan sebesar 39,50 persen dari total biaya, sedangkan untuk pola tanam tumpangsari biaya untuk sewa lahan sebesar 39,44 persen dari total biaya . Tabel 9. Pola Tanam
Persentase Komponen Biaya produksi'kedelai Pola Tanam I dan Pola Tanam 11 Komponen Biaya
.................................................. Benih
Pupuk
9,49
15,54
TK
Sewa lahan
Tataniaga
lainnya
Ratarata
23,54
39,47
5,27
6,71
Keterangan : Pola Tanam I : Produksi kedelai monokultur pada lahan kering Pola Tanam 11: Produksi kedelai tumpangsari pada lahan kering Biaya sewa lahan pada penelitian ini merupakan komponen biaya yang diperhitungkan, karena pada kenyataannya jarang sekali petani yang menyewa lahan.
Berdasarkan data
dari kuisioner diperoleh keterangan bahwa petani di daerah penelitian lebih suka menggarap lahan milik sendiri walaupun hanya mempunyai luas lahan yang kecil.
Seandainya
mereka tidak mempunyai lahan sendiri atau ingin menambah lahan garapannya, mereka lebih suka menggarap lahan milik orang lain dengan sistim sakap atau bagi hasil, karena dengan demikian resiko kegagalan ditanggung bersama. Komponen biaya adalah tenaga kerja.
terbesar kedua setelah sewa lahan Untuk pola tanam monokultur biaya
tenaga kerja sebesar 23,55 persen, sedangkan untuk pola tanam tumpangsari sebesar 23,52 persen dari total biaya. Besarnya biaya untuk tenaga kerja disebabkan karena tingkat upah di
daerah penelitian tergolong tinggi, yaitu
sebesar 2650 rupiah per HKP (Hari Kerja Pria). Sedangkan untuk pupuk tersebut nempunyai biaya total biaya.
dari
dua macam
pola
tanam
rata-rata sebesar 15,54 dari
Seperti halnya dengan upah tenaga kerja,
harga pupuk buatan di daerah penelitian tergolong tinggi bila dibandingkan dengan harga eceran resmi (lihat Tabel Lampiran 6 dan 11). Satu ha1 lagi yang perlu dikemukakan disini ialah bahwa biaya untuk benih hanya sebesar 8 , 8 6 persen untuk pola tanam monokultur, dan 10,12 persen untuk pola tanam tumpangsari.
Hal ini bisa dimaklumi karena benih kedelai
yang dipakai hanya berasal dari hasil pembelian di lingkungan petani itu sendiri, atau bahkan dicampur dengan
benih dari hasil produksi mereka sendiri yaitu dengan cara menyortir dari kedelai yang akan dijual. memang
Kondisi ini
cukup memprihatinkan karena benih kedelai yang
digunakan akan mempengaruhi pada jumlah produksi yang akan dihasilkan, yang pada akhirnya tentu saja akan mempengaruhi jumlah pendapatan mereka. Berdasarkan keterangan yang didapat dari responden, diketahui
bahwa
mereka bukannya
tidak mau menggunakan
benih yang baik, tetapi disebabkan karena menang benih kedelai yang baik masih sulit didapat.
Walaupun
ada
beberapa petani yang membeli benih ke kios di kota kecamatan, tetapi tetap mereka mengemukakan ketidakpuasan terhadap benih yang didapat.
Sebesar 40 persen dari jumlah
responden mengemukakan saran sehubungan dengan pengadaan banih kedelai, yaitu ingin mendapat benih yang berlabel yang benar-benar berasal dari hasil penangkaran benih di lembaga-lembaga penelitian
benih
atau
dari
swasta yang bergerak di bidang perbenihan.
perusahaan Sebesar 40
persen lagi dari responden menginginkan benih yang baru dan baik, dalam
arti mereka
tidalc menginginkan terus
menerus hanya menggunakan benih yang hanya berasal daari hasil produksi d lingkungannya sendiri.
Selebihnya dari
responden menginginkan agar persediaan benih di kios-kios diperbanyak sehingga mudah untuk mendapatkannya. Dari Tabel Lampiran 13 dan 14 secara ringkas disajikan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut tampak bahwa penda-
patan finansial usaha produksi kedelai di daerah penelitian baik untuk pola tanam monokultur maupun turnpangsari bernilai positif.
Pendapatan finansial yang bernilai
positif ini menandakan bahwa produksi kedelai tersebut secara finansial menguntungkan. Tabel 10. Pendapatan Finansial Produksi Kedelai Pola Tanam I dan I1 per Hektar, MT 1993/1994 Pola Tanam .....................................
Itomponen
I
Biaya produksi (Rp)
6 7 8 138
Biaya tataniaga (Rp)
30 6 5 6
Penerimaan (Rp)
1 022 186
Pendapatan (Rp)
313 392
--
I1
--
-
Keterangan : Pola Tanam I : Produksi kedelai monokultur pada lahan kering Pola Tanam 11: Produksi kedelai tumpangssari pada lahan kering Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan baik tunai maupun biaya yang diperhitungkan dalam proses produksi.
Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk
mengangkut
hasil produksi
dari
petani ke pedagang
di
pasar, yang terdiri dari biaya pengangkutan dan penanganan. Sedangkan penerimaan merupakan hasil penggandaan dari produksi atau output yang diperoleh dengan tingkat harga yang berlaku.
Pendapatan diperoleh dari selisih antara
total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan.
Dari Tabel 10
dapat diketahui bahwa produksi kedelai
dengan pola tanam monokultur memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari. Hal ini bisa dimengerti karena produksi kedelai untuk pola tanam monokultur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari.
Walaupun pola tanam tumpangsari
ditambah dengan produksi jagung yang cukup tinggi, tetapi harga
jagung per
kilogram relatif rendah dibandingkan
harga kedelai (lihat Tabel Lampiran 11), sehingga penerimaan
untuk pola
tanam tumpangsari masih
lebih rendah
dibanding penerimaan pada pola tanam monokultur. Selain
penerimaan
yang
lebih
rendah, Pola
Tanam
tumpangsari juga mempunyai total biaya yang lebih tinggi dibandingkan pola tanam monokultur.
Hal ini disebabkan
biaya tataniaga pada pola tanam tumpangsari lebih besar dari pola tanam monokultur, karena harus memasarkan dua komoditi yang mempunyai biaya tataniaga berbeda, walaupun harus diakui bahwa biaya produksi pola tanam tumpangsari lebih rendah dari pola tanam monokultur. Berdasarkan
keterangan
diatas,
untuk
mendapatkan
keuntungan yang lebih besar, maka usaha produksi kedelai lahan kering di daerah penelitan lebih baik ditanam secara monokultur karena pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan menanam kedelai secara tumpangsari.
Analisis Pendapatan Ekonomi Analisis ekonomi menilai aktivitas atas dasar manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, dimana komponen input dan output pada analisis ini dinilai berdasarkan harga bayangan. akan
Sebelum membahas pendapatan secara ekonomi,
dikemukakan terlebih dahulu komponen-komponen biaya
berdasarkan harga-harga bayangannya (Tabel Lampiran 11) Tabel
11
menyajikan
besarnya
persentase
komponen
biaya ekonomi terhadap total biaya ekonomi, yang diperoleh dari hasil perhitungan pada Tabel Lampiran 13 dan 14. Tabel 11. Persentase Komponen Biaya Ekonomi Terhadap Total Biaya Ekonomi Produksi Kedelai dengan Pola Tanam I dan Pola Tanam I1 Pola Komponen Biaya Ekonomi Tanam .................................................. Benih Pupuk TK Sewa lahan Tataniaga lainnya
Ratarata
10,19
19,52
17,70
42,39
5,60
4,61
Keterangan : Pola Tanam I : Produksi kedelai monokultur pada lahan kering Pola Tanam 11: Produksi kedelai tumpangsari pada lahan kering
Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa yang mempunyai komponen biaya ekonomi terbesar adalah sewa lahan dengan rata-rata sebesar 42,39 persen dari total biaya. biaya terbesar kedua adalah pupuk.
Komponen
Komponen biaya pupuk
ini lebih besar pada analisis ekonomi yaitu sebesar ratarata 19,52 persen, sedangkan pada analisis finansial hanya sebesar 15,54 persen dari total biaya.
Hal ini disebabkan
karena pupuk buatan (Urea, TSP dan KC1) sampai sekarang masih disubsidi (lihat Tabel Lampiran 6), sedangkan dalam analisis ekonomi subsidi diperhitungkan sebagai biaya yang harus dikeluarkan.
Dengan demikian harga bayangan pupuk
buatan lebih tinggi dari harga aktual pupuk yang berlaku (Tabel Lampiran 11). Kemudian biaya terbesar lainnya adalah upah tenaga kerja dengan rata-rata sebesar 17,70 persen dari total biaya. dengan
Persentase tersebut lebih rendah dibandingkan biaya
pada analisis finansial, karena harga baya-
ngan upah tenaga kerja lebih rendah dari harga upah yang berlaku, atau 30 persen lebih rendah dari harga upah yang berlaku per HKP. Walaupun harga bayangan benih sama dengan harga yang berlaku, namun kalau dibandingkan antara Tabel 9 dengan Tabel 11, tampak terjadi kenaikan persentase biaya benih terhadap biaya total, yaitu rata-rata ssebesar 9,49 persen pada analisis finansial meningkat menjadi rata-rata sebesar 10,19 persen pada analisis ekonomi.
Tabel 12 menyajikan besarnya pendapatan ekonomi yang merupakan ringkasan dari tabel lampiran 13 dan 14. Tabel 12. Pendapatan Ekonomi Produksi Kedelai Pola Tanam I dan I1 per Hektar, MT 1993/1994 Pola Tanam .....................................
Komponen
I Biaya produksi (Rp)
I1
630 019
Biaya tataniaga (Rp)
30 361
Penerimaan (Rp)
6 6 2 936
Pendapatan (Rp)
2 556
Keterangan : Pola Tanam I : Produksi kedelai monokultur pada lahan kering Pola Tanam 11: Produksi kedelai tumpangssari pada lahan kering Dari Tabel 12 tampak bahwa produksi kedelai lahan kering di daerah penelitian menghasilkan pendapatan ekonomi yang bernilai positif, ini berarti bahwa secara ekonomi produksi kedelai baik secara monokultur maupun tumpangsari menguntungkan
untuk
diusahakan,
walaupun
pendapatan
ekonomi untuk kedua pola tanam tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan finansialnya. Satu ha1 menarik adalah bahwa
pada
yang
dapat dikemukakan disini
analisis finansial, pendapatan
pola
tanam monokultur lebih besar dari pendapatan pola tanam tumpangsari.
Sedangkan pada analisis ekonomi, pendapatan
pola tanam monokultur jauh lebih rendah dari pendapatan pola tanam tumpangsari. Pendapatan secara ekonomi pada Pola Tanam monokultur menurun drastis dibandingkan dengan pendapatan finansialnya. Hal ini disebabkan karena harga bayangan kedelai yang jauh lebih rendah dari harga aktual yang berlaku.
Harga
output kedelai yang berlaku di daerah penelitian adalah sebesar 1067 rupiah per kilogram.
sedangkan harga baya-
ngan output kedelai hanya sebesar 692 rupiah per kilogram, atau sebesar 65 persen dari harga finansialnya.
Lebih
rendahnya harga bayangan output kedelai ini tentu saja akan menyebabkan turunnya penerimaan yang diperoleh pada analisis ekonomi. Faktor lain yang menyebabkan lebih rendahnya pendapatan
ekonomi
dibandingkan
pendapatan
finansial
adalah
karena harga bayangan pupuk buatan yaitu Urea, TSP dan KC1 dihitung dengan mengeluarkan subsidi yang diberikan pemerintah terhadap pupuk tersebut, sehingga ha1 ini akan menaikkan biaya ekonomi yang dikeluarkan. Harga bayangan upah tenaga kerja memang lebih rendah dibandingkan harga finansialnya, tetapi menurunnya biaya ekonomi untuk upah tenaga kerja jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan menurunnya penerimaan secara ekonomi ditambah peningkatan biaya ekonomi pupuk, sehingga ha1 ini menyebabkan menurunnya pendapatan ekonomi yang jauh lebih rendah dari pendapatan secara finansial.
Menurunnya pendapatan ekonomi dari pendapatan finansial pada pola tanam tumpangsari tidak terlalu drastis, ha1 ini disebabkan karena pola tanam tumpangsari menghasilkan dua macam output yaitu kedelai dan jagung, dimana jagung merupakan komoditi yang telah diekspor dan harga bayangan output jagung sedikit lebih tinggi dari harga finansialnya.
Oleh karena itu penerimaan dari output
kedelai menurun, sedangkan dari output jagung meningkat walaupun pada akhirnya pendapatan ekonomi pada pola tanam tumpangsari lebih rendah dibandingkan pendapatan finansialnya. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara ekonomi atau jika dilihat atas dasar manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, maka usaha produksi kedelai di daerah penelitian lebih baik ditanam secara tumpangsari karena pendapatan
ekonomi
yang
diperoleh
lebih
besar
dibandingkan dengan produksi kedelai secara monokultur. Analisis Keunggulan Komparatif Seperti yang dikemukakan oleh Kadariah (1978), bahwa konsep keunggulan komparatif suatu komoditi dapat dihitung dengan menggunakan analisis BSD yang mengukur besarnya sumberdaya nasional untuk memperoleh atau menghemat satu unit devisa. Pada Tabel 13 disajikan hasil perhitungan nilai BSD dan koefisien BSD (KBSD) produksi kedelai di daerah pene-
litian yang diringkas dari hasil perhitungan pada Tabel Lampiran 15 dan 16. Dari Tabel 13 tersebut dapat diketahui bahwa produksi kedelai secara monokultur maupun
tumpangsari mempunyai
nilai BSD yang lebih kecil dari harga bayangan nilai tukar uang yang nilainya 2190 rupiah per dollar AS.
Hal ini
memberikan arti bahwa sumberdaya domestik yang digunakan dalam produksi kedelai di daerah penelitian efisien secara ekonomi untuk menghemat satu unit devisa. Tabel 13.
Nilai BSD dan KBSD Produksi Kedelai Menurut Pola Tanam di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat, MT 1993/1994
Pola Tanam
Nilai BSD
Koefisien BSD
Keterangan : Pola Tanam I : Produksi kedelai monokultur pada lahan kering Pola Tanam 11: Produksi kedelai tumpangsarj pada lahan kering Dari Tabel 13 juga dapat diketahui bahwa produksi kedelai untuk kedua macam pola tanam tersebut, mempunyai ICBSD yang lebih kecil dari satu (KBSD < l), sehingga produksi kedelai tersebut mempunyai keunggulan komparatif. Hal penting lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa KBSD untuk pola tanam tumpangsari lebih kecil dari KBSD pola tanam monokultur.
Hal tersebut memberikan indikasi bahwa
produksi kedelai dengan pola tanam tumpangsari mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi dari pola tanam monokultur.
Dengan kata lain secara ekonomi usaha produk-
si kedelai lahan kering di daerah penelitian paling efisien dalam menghemat sumberdaya domestik, jika diusahakan dengan menggunakan pola tanam tumpangsari. Analisis Keunggulan Kompetitif Berbeda halnya dengan analisis keunggulan komparatif, dalam analisis keunggulan kompetitif analisis BSD yang digunakan dihitung berdasarkan harga finansial atau harga yang berlaku dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Hasil analisis keunggulan kompetitif produksi kedelai di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 14, yang merupakan
ringkasan dari
hasil perhitungan pada
Tabel
Lampiran 17 dan 18. Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa produksi kedelai untuk kedua macam pola tanam mempunyai nilai BSD* yang lebih kecil dari nilai tukar uang resmi yang berlaku yaitu sebesar 2146 rupiah per dollar AS.
Hal ini menyebabkan
produksi kedelai untuk kedua pola tanam tersebut mempunyai ICBSD* yang lebih kecil dari satu (KBSD* < I), sehingga
dapat dikatakan mempunyai keunggulan kompetitif, dan dapat bersaing di pasar internasional dengan asumsi ada sistem pemasaran dan intervensi pemerintah. Dilihat dari pemanfaatan sumberdaya domestik dengan
mempertimbangkan aspek keunggulan kompetitif, maka akan lebih menguntungkan secara finansial jika usaha produksi kedelai
di
daerah
penelitian
menggunakan
pola
tanam
monokultur, karena mempunyai nilai KBSD* yang lebih kecil dari pola tanam tumpangsari. Tabel 14.
Nilai BSD* dan KBSD* Produksi Kedelai Menurut Pola Tanam di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat, MT 1993/ 1994
Pola Tanam
Nilai BSD*
Koefisien BSD*
Keterangan : Pola Tanam I : Produksi kedelai monokultur pada lahan kering Pola Tanam 11: Produksi kedelai tumpangsari pada lahan kering * : Berdasarkan nilai finansial
Dari penjelasan diatas diketahui adanya perbedaan nilai BSD dan KBSD yang diperoleh pada analisis keunggulan komparatif
yang
menggunakan
pendekatan
ekonomi
dengan
analisis keunggulan kompetitif yang menggunakan pendekatan finansial.
Tabel 13 dan 14 memperlihatkan bahwa nilai BSD
dan KBSD pada keunggulan komparatif lebih besar dari nilai BSD" dan KBSD" pada keunggula kompetitif.
Hal tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan harga input dan output yang digunakan dalam kedua analisis tersebut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Analisis Kepekaan Analisis
kepekaan
dilakukan
untuk
menguji
hasil
analisis yang diperoleh seandainya terjadi perubahan pada harga yang digunakan dan tingkat produktivitas.
Untuk
analisis kepekaan pada keunggulan komparatif, ada enam variabel
yang
digunakan untuk
menguji
hasil
analisis
keunggulan komparatif, yaitu tingkat produktivitas, harga bayangan sewa lahan, upah tenaga kerja, pupuk, benih dan output. Dalam analisis kepekaan pada keunggulan komparatif ini, ada tujuh macam analisis kepekaan yang dilakukan. Analisis pertama sampai keenam, menguji pengaruh perubahan satu variabel tersebut dengan asumsi faktor lainnya tetap. Analisis
ketujuh
menguji
pengaruh
perubahan
variabel-
variabel tersebut jika terjadi secara bersamaan dalam kondisi yang kurang menguntungkan, dengan asumsi faktorfaktor diluar variabel tersebut kondisinya tetap. Ketujuh macam analisis kepekaan tersebut juga dilakukan pada keunggulan kompetitif, tetapi tidak dibahas lebih lanjut karena dimaksudkan hanya untuk membandingkan antara keunggulan komparatif dengan keunggulan kompetitif jika terjadi perubahan sebesar persentase yang sama pada harga input, output dan tingkat produktivitas. Sedangkan yang akan dibahas pada keunggulan kompetitif adalah sesuai dengan kondisi nyata yang terjadi di daerah
penelitian,
masing-masing
dengan
perubahan
variabel
tingkat
yang
diuji
produktivitas,
adalah harga
aktual benih, upah tenaga kerja, pupuk dan output dengan asumsi faktor lainnya tetap.
Analisis terakhir menguji
perubahan harga aktual benih, upah tenaga kerja, pupuk dan output secara bersamaan dalam kondisi yang kurang menguntungkan . Analisis kepekaan pertama menguji nilai BSD dan KBSD karena perubahan harga bayangan sewa lahan sebesar 90, 110 dan 120 persen dari harga bayangan semula.
Dari hasil
perhitungan seperti terdapat pada Tabel 15 dan 16 diketahui bahwa perubahan harga bayangan sewa lahan berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD.
Dengan
kata lain, semakin tinggi tingkat harga bayangan sewa lahan, maka nilai BSD dan KBSD yang diperoleh akan semakin tinggi pula sehingga akan menurunkan keunggulan komparatif komoditi yang dihasilkan. Dari Tabel 15 dan 16 juga dapat dilihat bahwa peningkatan harga bayangan sewa lahan sebesar 110 persen dari harga bayangan semula, produksi kedelai dengan pola tanam monokultur lagi.
sudah tidak mempunyai keunggulan komparatif
Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai BSD yang
lebih besar dari harga bayangan nilai tukar uang, atau nilai KBSD > 1.
Sedangkan pada pola tanam tumpangsari
masih tetap mempunyai keunggulan komparatif walaupun harga bayangan sewa lahan berubah sebesar 120 persen dari harga bayangan semula.
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui
bahwa pola tanam tumpangsari tidak mempunyai keunggulan komparatif lagi jika perubahan harga bayangan sewa lahan berubah sebesar 140 persen dari harga bayangan semula. Analisis kedua menguji seandainya terjadi perubahan harga bayangan upah tenaga kerja dengan kriteria seperti pada perubahan harga bayangan sewa lahan.
Dari Tabel 15
dan 16 terlihat bahwa perubahan harga bayangan upah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD, karena semakin tinggi harga bayangan upah tenaga kerja, nilai BSD dan KBSD semakin tinggi pula, yang pada akhirnya akan mengurangi keunggulan komparatif komoditi yang dihasilkan. Dari Tabel 15 dan 16 juga dapat dilihat bahwa perubahan harga bayangan upah tenaga kerja sebesar 110 persen dari harga bayangan semula menyebabkan produksi kedelai dengan pola tanam monokultur tidak mempunyai keunggulan komparatif lagi karena KBSD > 1.
Sedangkan pada pola
tanam tumpangsari, perubahan harga bayangan upah tenaga kerja sebesar 120 persen dari harga bayangan semula masih tetap mempunyai keunggulan komparatif, ha1 tersebut ditunjukkan dengan KBSD yang masih tetap lebih kecil dari satu. Pola tanam tumpangsari tidak mempunyai keunggulan komparatif
jika terjadi perubahan harga bayangan upah tenaga
kerja sebesar 200 persen dari harga bayangan semula. Sedangkan untuk keunggulan kompetitif, menguji perubahan harga aktual upah tenaga kerja jika terjadi kenaikan sebesar 13,21 persen dari harga aktual semula.
Dasar
pertimbangan ini adalah karena di daerah. penelitian upah tenaga kerja tertinggi yang pernah terjadi adalah sebesar 3000 rupiah per HKP (Hari Kerja Pria), sedangkan rata-rata
upah tenaga kerja dalam penelitian ini sebesar 2650 rupiah per HKP.
Oleh karena itulah analisis kepekaan ini menguji
Tabel 15.
Hasil Analisis Kepekaan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif pada Produksi Kedelai Pola Tanam Monokultur Keunggulan Komparatif
Keunggulan Kompetitif
Uraian BSD
I. Kondisi awal
2178,89
11. Sewa lahan
-
Turun 10% Naik 10% Naik 20%
2057,22 2300,55 2422,22
Upah tenaga kerja a. Turun 10% 2128,ll - Naik 10% 2229,67 - Naik 20% 2280,45 b. - Naik 13,21%
-
Pupuk a. - Turun 10% - Naik 10% Naik 20% b. - Naik 24,8%,
-
2129,75 2230,35 2284,30
16,5%, 13,3%
untuk Urea, TSP dan KC1 Benih a. Turun 10% - Naik 10% - Naik 20% b. - 30,63%
2151,61 2206,16 2233,44
output a. - Turun 10% - Turun 20% - Naik 10% b. - Turun 25%
2509,Ol 2956,86 1925,68
Produktivitas a. - Turun 10% - Turun 20% - Naik 10% b. - Turun 35%
2509,Ol 2956,86 1925,68
-
KBSD
BSD*
KBSD*
Lan jutan Keunggulan Komparatif
Keunggulan Kompetitif
Uraian BSD
a. Perubahan enam variabel diatas secara bersamaan masing-masing sebesar 10% pada kondisi yang kurang menguntungkan 3271,85
KBSD
BSD*
KBSD*
1,494
1959,99
0,913
b. Perubahan harga aktual benih, upah tenaga kerja, pupuk dan output secara bersamaan sebesar persentase diatas pada kondisi yang kurang menguntungkan
seandainya upah tenaga kerja sebesar 3000 rupiah per HKP terulang kembali. Dari Tabel 15 dan 16 dapat dilihat bahwa perubahan harga aktual upah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD* dan KBSD*, tetapi masih tetap mempunyai keunggulan kompetitif untuk kedua jenis pola tanam. Analisis ketiga adalah analisis kepekaan yang menguji seandainya terjadi perubahan harga bayangan pupuk dengan kriteria yang sama seperti diatas. dapat
diketahui
bahwa
perubahan
Dari Tabel 15 dan 16 harga
bayangan
pupuk
berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD.
Tabel 16.
Hasil Analisis Kepekaan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif pada Produksi Kedelai Pola Tanam Tumpangsari Keunggulan Komparatif
Keunggulan Kompetitif
Uraian BSD
I. Kondisi awal
1809,77
11. Sewa lahan - Turun 10% - Naik 10% Naik 20%
1711,19 1908,34 2006,92
-
Upah tenaga kerja a. - Turun 10% 1768,62 - Naik 10% 1850,91 - Naik 20% 1892,05 b. - Naik 13,21% Pupuk a. - Turun 10% - Naik 10% - Naik 20% b. - Naik 24,8%,
1709,55 1777,35 1812,93
16,5%, 13'3%
untuk Urea, TSP dan KC1 Benih a. - Turun 10% - Naik 10% - Naik 20% b. - 30,63%
1784,48 1835,06 1860,35
output a. - Turun 10% - Turun 20% - Naik 10% b. - Turun 25%
2064,92 2403,87 1610,69
Produktivitas a. - Turun 10% - Turun 20% - Naik 10% b. - Turun 35%
2064,92 2403,87 1610,69
KBSD
BSD*
KBSD*
Lanjutan Keunggulan Komparatif
Keunggulan Kompetitif
Uraian BSD
a. Perubahan enam variabel diatas secara bersamaan masing-masing sebesar 10% pada kondisi yang kurang menguntungkan 2647,12
KBSD
BSD*
KBSD*
1,209
1969,47
0,918
b. Perubahan harga aktual benih, upah tenaga kerja, pupuk dan output secara bersamaan sebesar persentase diatas pada kondisi yang kurang menguntungkan
Seandainya terjadi perubahan harga bayangan pupuk sebesar 110 persen dari harga bayangan semula, produksi kedelai untuk pola mempunyai
tanam monokultur
sudah tidak
keunggulan komparatif, sedangkan pola
lagi tanam
tumpangsari masih tetap mempunyai keunggulan komparatif walaupun terjadi perubahan harga bayangan pupuk sebesar 120 persen dari harga bayangan semula.
Perubahan harga
bayangan pupuk sebesar 210 persen dari harga bayangan semula menyebabkan pola tanam tumpangsari mempunyai nilai BSD yang lebih besar dari harga bayangan nilai tukar uang, sehingga perubahan sebesar persentase tersebut, pola tanam tumpangsari sudah tidak mempunyai keunggulan komparatif.
Pada keunggulan kompetitif menguji perubahan harga aktual pupuk jika terjadi kenaikan harga Urea, TSP dan KC1 masing-masing sebesar harga aktual semula.
24,8,
16,5
dan 13,3
persen dari
Analisis tersebut dilakukan seandai-
nya subsidi dari pemerintah untuk ketiga pupuk tersebut ditiadakan (lihat Tabel Lampiran 6). Dari Tabel 15 dan 16 diketahui bahwa perubahan harga aktual pupuk berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD"
dan
KBSD*,
sehingga kenaikan harga
aktual
pupuk
sebesar persentase diatas menyebabkan nilai BSD* dan KBSD* semakin besar, namun KBSD" masih tetap lebih kecil dari satu, sehingga produksi kedelai untuk kedua pola tanam masih tetap layak untuk diusahakan. Analisis keempat menguji seandainya terjadi perubahan harga bayangan benih dengan kriteria yang sama seperti diatas, dengan hasil perhitungan tercantum pada Tabel 15 dan 16.
Dari tabel tersebut diketahui bahwa perubahan
harga bayangan benih berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD.
Seandainya harga bayangan benih
berubah sebesar 110 persen dari harga bayangan semula, produksi kedelai dengan pola tanam monokultur sudah tidak mempunyai
keunggulan komparatif, sedangkan untuk
pola
tanam tumpangsari masih tetap mempunyai keunggulan komparatif walaupun berubah sampai 120 persen dari harga bayangan benih semula.
Pola tanam tumpangsari tidak mempunyai
keunggulan komparatif lagi jika terjadi perubahan harga
bayangan benih sebesar 260 persen dari harga bayangan semula
.
Untuk keunggulan kompetitif menguji seandainya terjadi kenaikan harga aktual benih sebesar 30,63 persen untuk kedelai dan
2,52 persen
untuk
jagung.
Ditentukannya
persentase tersebut karena berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa
rata-rata
harga
aktual
benih
kedelai
adalah sebesar 1531 rupiah per kilogram, sedangkan untuk harga aktual benih jagung sebesar 3414 rupiah per kilogram.
Jika persediaan benih di kios-kios benih
lagi
sedikit, sementara kebutuhan banyak, harga aktual benih di daerah penelitian bisa mencapai 2000 rupiah per kilogram untuk kedelai dan 3500 rupiah per kilogram untuk jagung. Dari Tabel 15 dan 16 dapat dilihat bahwa peningkatan harga aktual benih berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD* dan KBSD*.
Dari kenaikan harga aktual benih
sebesar persentase diatas didapat nilai KBSD* < 1, sehingga kedua pola tanam pada produksi kedelai tersebut masih tetap mempunyai keunggulan kompetitif. Analisis selanjutnya menguji perubahan harga bayangan output sebesar 80, 90 dan 110 persen dari harga bayangan output semula.
Dari Tabel 15 dan 16 diketahui bahwa
perubahan harga bayangan output berpengaruh negatif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD.
Dengan kata lain,
semakin besar harga bayangan output maka nilai BSD dan KBSD akan semakin kecil, yang berarti keunggulan kompara-
tif komoditi yang diproduksi semakin besar. tabel tersebut
Berdasarkan
juga dapat dikemukakan bahwa
harga bayangan output sebesar
90
perubahan
persen dari harga baya-
ngan semula, produksi kedelai untuk pola tanam monokultur sudah tidak mempunyai keunggulan komparatif karena nilai IZBSD > 1.
Sedangkan untuk pola tanam tumpangsari tidak
mempunyai keunggulan komparatif
jika terjadi perubahan
harga bayangan output sebesar
persen dari harga baya-
80
ngan output semula. Pada keunggulan kompetitif menguji perubahan harga aktual output jika terjadi penurunan sebesar 25 persen untuk kedelai dan
63,3
persen untuk jagung dari harga
aktual output yang berlaku.
Hal tersebut dilakukan karena
pada saat produksi kedelai dan
jagung melimpah, harga
komoditi tersebut di pasar menjadi turun dengan penurunan harga terendah yang pernah terjadi adalah sebesar rupiah per kilogram untuk kedelai dan
80
800
rupiah per kilo-
gram untuk jagung. Dari Tabel 15 dan 16 dapat dilihat bahwa perubahan harga aktual output berpengaruh negatif terhadap perubahan nilai BSD* dan KBSD*.
Dengan kata lain jika harga aktual
output menurun, maka nilai BSD* dan KBSD* semakin besar, yang berarti keunggulan kompetitifnya semakin kecil.
Pada
Tabel tersebut nampak bahwa dengan terjadinya penurunan harga aktual output sebesar persentase diatas, menyebabkan produksi mempunyai
kedelai
dengan
pola
tanam
tumpangsari tidak
keunggulan kompetitif, sedangkan
untuk
Pola
Tanam Monokultur masih tetap mempunyai keunggulan kompetitif. Analisis berikutnya menguji
jika terjadi perubahan
tingkat produktivitas sebesar 80, 90 dan tingkat produktivitas semula.
110
persen dari
Berdasarkan Tabel 15 dan 16
dapat dikemukakan bahwa perubahan tingkat produktivitas berpengaruh negatif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD. Untuk
produksi
kedelai
dengan
pola
tanam
monokultur,
perubahan tingkat produktivitas sebesar 90 persen sudah tidak
mempunyai
keunggulan
komparatif, sedangkan
pola
tanam tumpangsari tidak mempunyai keunggulan komparatif jika terjadi perubahan tingkat produktivitas sebesar 80 persen dari tingkat produktivitas semula. Pada keunggulan kompetitif dilakukan analisis kepekaan pada saat terjadi penurunan tingkat produktivitas sebesar 35 persen dari tingkat produktivitas semula dengan asumsi faktor lain tetap. Dasar pertimbangan ditetapkannya penurunan tingkat produktivitas sebesar persentase tersebut adalah karena berdasarkan keterangan dari BPP Wanaraja khususnya WKPP Sindangratu menerangkan bahwa seandainya terjadi kegagalan panen baik disebabkan gangguan hama dan penyakit ataupun tanaman rebah karena hujan yang terus menerus, maka yang masih bisa diambil hasilnya rata-rata hanya sekitar 65 persen dari luas lahan. Dari Tabel 15 dan 16 diketahui bahwa penurunan tingkat produktivitas menyebabkan nilai BSD'
menjadi bertambah
besar, sehingga ha1 ini menyebabkan keunggulan kompetitif yang dimiliki komoditi tersebut semakin kecil.
Pada
penurunan tingkat produktivitas sebesar 35 persen, menyebabkan usaha produksi kedelai tidak mempunyai keunggulan kompetitif lagi untuk kedua macam pola tanam. Analisis kepekaan pada keunggulan komparatif yang terakhir adalah menguji pengaruh perubahan keenam variabel yang telah diuji diatas pada kondisi yang kurang menguntungkan, dengan perubahan masing-masing sebesar 10 persen. Dari,Tabel 15 dan 16 dapat dilihat bahwa seandainya terjadi
kondisi yang kurang menguntungkan seperti tersebut
diatas, maka nilai BSD dan RBSD menjadi lebih besar dari harga bayangan nilai tukar uang.
Dengan demikian nilai
KBSD > 1, sehingga produksi kedelai untuk kedua pola tanam tersebut tidak mempunyai keunggulan komparatif dan secara ekonomi tidak layak untuk diusahakan. Analisis terakhir pada keunggulan kompetitif adalah menguji perubahan harga aktual benih, upah tenaga kerja, pupuk
dan output
kurang
secara bersamaan
menguntungkan
dengan
dalam
persentase
kondisi yang masing-masing
seperti diatas. Dari Tabel 15 dan 16 terlihat bahwa perubahan keempat variabel tersebut secara bersamaam menyebabkan nilai BSD" lebih besar dari nilai tukar uang resmi yang berlaku, sehingga ICBSD* lebih besar dari satu.
Dengan demikian
kedua pola tanam tidak mempunyai keunggulan kompetitif lagi.
Implikasi Hasil Analisis BSD Terhadap Usaha Produksi Kedelai di Daerah Penelitian Usaha produksi kedelai di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat baik monokultur maupu
tumpangsari mempunyai
pola
nilai BSD
tanam yang
lebih kecil dari harga bayangan nilai tukar uang, sehingga nilai KBSD yang dihasilkan lebih kecil dari satu. tersebut
menunjukkan
bahwa
usaha
produksi
Hal
kedelai
di
daerah penelitian efisien dalam menggunakan sumberdaya domestik untuk menghemat satu unit devisa. Saat ini pemerintah membayar sebesar Rp 2190/US $ 1 untuk menghasilkan komoditi kedelai melalui impor.
Pada-
ha1 di Desa Sindangratu Kabupaten Garut, usaha produksi kedelai hanya membutuhkan biaya sebesar RP 2178,89 /US $ 1 untuk produksi kedelai dengan pola tanam monokultur, dan Rp 1809,77/US $ 1 untuk pola tanam tumpangsari. Pada kondisi sekarang kebutuhan kedelai di Kabupaten Garut masih belum bisa terpenuhi seluruhnya dari hasil produksi kedelai di Kabupaten Garut itu sendiri, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut terpaksa mendatangkan kedelai impor. Berdasarkan analisis BSD, maka untuk memenuhi kebutuhan kedelai di Kabupaten Garut sebenarnya pemerintah lebih untung jika memilih untuk memproduksi sendiri kedelai di Kabupaten Garut daripada mengimpor.
Usaha produksi kede-
lai yang selama ini dilakukan oleh petani di Icabupaten
Garut khususnya Desa Sindangratu, ternyata mampu memanfaatkan sumberdaya domestik yang ada secara efisien. Satu ha1 yang perlu dikemukakan disini, bahwa berdasarkan hasil analisis BSD dengan pendekatan ekonomi, usaha produksi kedelai dengan pola tanam tumpangsari mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan pola tanam monokultur yang ditunjukkan dengan nilai ICBSD pola tanam tumpangsari yang lebih kecil dari ICBSD pola tanam monokultur.
Hal ini membawa implikasi, bahwa untuk lebih
menghemat devisa negara maka akan lebih tepat jika usaha produksi kedelai di Kabupaten Garut khususnya Desa Sindangratu diusahakan dengan pola tanam tumpangsari. jika dilihat dari pendapatan
yang
sisi petani, maka
paling
besar
adalah
kedelai dengan pola tanam monokultur.
Tetapi
secara finansial jika
memproduksi
Hal ini didukung
juga oleh hasil analisis BSD dengan pendekatan finansial, yang menghasilkan kesimpulan bahwa produksi kedelai dengan pola tanam monokultur mempunyai keunggulan kompetitif yang lebih besar dibanding pola tanam tumpangsari. Terlepas dari keputusan mana yang akan diambil, pada dasarnya usaha produksi kedelai lahan kering di Kabupaten Garut khususnya Desa Sindangratu, baik pola tanam monokultur maupun tumpangsari mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif.
Dengan
demikian
secara
finansial maupun
ekonomi usaha produksi kedelai tersebut layak untuk diusahakan.
Hal penting yang perlu dikemukakan disini, walaupun produksi kedelai di daerah penelitian mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif tetapi tidak berarti jika memproduksi kedelai di daerah penelitian impor kedelai akan menurun.
Hal ini disebabkan karena kedelai yang diimpor
sekarang ini adalah untuk memenuhi kebutuhan kedelai di seluruh Indonesia.
Sedangkan tidak mungkin jumlah kedelai
impor sekarang bisa ditutupi semuanya dari produksi kedelai di Kabupaten Garut khususnya di daerah penelitian. Tetapi jika produksi kedelai di daerah-daerah lain khususnya yang menjadi sentra produksi
kondisinya sama
seperti yang terjadi di daerah penelitian, maka akan lebih baik memproduksi kedelai di dalam negeri dan kemungkinan besar impor kedelai akan berkurang. Sekarang akan diulas sedikit tentang kondisi usaha produksi kedelai di daerah penelitian.
Produksi kedelai
di Desa Sindangratu Kabupaten Garut baru mencapai 958 kilogram per hektar untuk pola tanam monokultur dan 632 kilogram per hektar untuk pola tanam tumpangsari.
Tingkat
produksi ini masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat produksi kedelai Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil penelitian Bastari (1994) dengan
menggunakan data dari Biro Pusat Statistik dan Departemen Pertanian tahun 1991, diketahui bahwa tingkat produksi kedelai Propinsi Jawa Barat mencapai 1234 kilogram per hektar .
Dari hasil wawancara dengan petani, diketahui bahwa faktor utama masih rendahnya tingkat produktivitas ini disebabkan karena masih sulitnya untuk mendapatkan benih kedelai yang baik.
Sehingga kebanyakan dari petani meng-
gunakan benih dari hasil produksi sendiri atau membeli dari sesama petani.
Hal ini tentu saja akan berpengaruh
terhadap jumlah produksi yang dihasilkan. Melihat kenyataan tersebut, maka pemerintah khususnya lembaga-lembaga penelitian benih perlu menaruh perhatian yang besar agar dapat memenuhi kebutuhan benih yang diperlukan petani dengan persediaan yang banyak dan berkwalitas baik.
Faktor lain yang menyebabkan nasih rendahnya ting-
kat produktivitas ini adalah kurangnya modal.
Akibatnya
para petani tidak dapat memenuhi semua sarana produksi yang diperlukan.
Sehingga ha1 ini akan berpengaruh pada
produksi
yang
kedelai
dihasilkan.
Selain itu kurang gencarnya penyuluhan serta kursuskursus pelatihan teknik budidaya khususnya kedelai, menyebabkan para petani lebih banyak mengandalkan pengalamannya saja dalam berusahatani kedelai tersebut. BIengatasi masalah-masalah tersebut merupakan suatu keharusan jika produksi kedelai khususnya di daerah penelitian ingin mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi, apalagi Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kedelai di Jawa Barat dengan luas lahan kedelai sebesar 39,4 persen dari total luas lahan kedelai di Jawa Barat.
Semakin tingginya tingkat produktivitas kedelai ini, tentu saja akan mendukung mencapai
swasembada
pemerintah dalam usaha untuk
kedelai,
menghemat devisa negara.
yang
pada
akhirnya
akan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Produksi kedelai lahan kering di Desa Sindangratu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat, secara finansial dan ekonomi menghasilkan pendapatan yang menguntungkan baik untuk pola tanam monokultur maupun tumpangsari. Pada analisis pendapatan finansial produksi kedelai dengan pola tanam monokultur memperoleh pendapatan sebesar 313 392 rupiah per hektar, sedangkan untuk pola tanam tumpangsari pendapatan 288
371
rupiah
per
yang
diperoleh
hektar.
adalah
Dengan
sebesar
demikian
secara
finansial keuntungan tertinggi diperoleh jika produksi kedelai diusahakan dengan pola tanam monokultur. Sedangkan pada analisis pendapatan ekonomi pola tanam monokultur memperoleh pendapatan sebesar
2 556 rupiah per
hektar, dan pola tanam tumpangsari memperoleh pendapatan sebesar 108 023 rupiah per hektar. ekonomi
keuntungan
tertinggi
Dengan demikian secara
diperoleh
jika
produksi
kedelai diusahakan dengan pola tanam tumpangsari. Pendapatan
pada
analisis
finansial
lebih
tinggi
dibanding pendapatan pada analisis ekonomi untuk kedua jenis pola tanam.
Hal ini disebabkan karena adanya perbe-
daan dasar penilaian harga input dan output dari kedua pendekatan tersebut.
Usaha
produksi kedelai di
daerah penelitian
baik
secara monokultur maupun tumpangsari mempunyai keunggulan komparatif.
Hasil analisis BSD menunjukkan bahwa aktivi-
tas ekonomi usaha produksi kedelai tersebut efisien dalam menggunakan sumberdaya domestik untuk menghemat satu unit Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien BSD
devisa.
yang kurang dari satu untuk kedua jenis pola tanam, yaitu sebesar
0,995
untuk pola tanam monokultur dan
0,826
untuk
pola tanam tumpangsari. Dari hasil analisis BSD* dengan menggunakan harga aktual diketahui bahwa usaha produksi kedelai di daerah penelitian tersebut mempunyai keunggulan kompetitif untuk kedua jenis pola tanam.
Hal tersebut ditunjukkan oleh
nilai koefisien BSD yang lebih kecil dari satu, yaitu sebesar
0,645
untuk pola tanam monokultur dan
0,668
untuk
pola tanam tumpangsari. Berdasarkan hasil analisis kepekaan pada keunggulan komparatif
diperoleh
kesimpulan bahwa
perubahan
harga
bayangan sewa lahan, upah tenaga kerja, pupuk dan benih berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD. Dengan kata
lain
semakin tinggi harga
bayangan empat
variabel tersebut, maka nilai BSD dan KBSD yang diperoleh akan semakin tinggi pula sehingga akan menurunkan keunggulan komparatif komoditi yang dihasilkan. bahan
tingkat produktivitas dan
Sedangkan peru-
harga bayangan output
berpengaruh negatif terhadap perubahan nilai BSD dan KBSD.
Semakin besar harga bayangan output dan tingkat produktivitas, maka nilai BSD dan KBSD akan semakin kecil, yang berarti keunggulan komparatif komoditi yang diproduksi semakin besar.
Reunggulan komparatif yang dimiliki komo-
diti kedelai dengan pola tanam monokultur lebih peka dibanding pola tanam tumpangsari, terutama terhadap perubahan harga bayangan sewa lahan, upah tenaga kerja, pupuk, benih, output dan tingkat produktivitas. Dari hasil analisis kepekaan pada keunggulan kompetitif
diperoleh kesimpulan bahwa
perubahan
harga
aktual
benih, upah tenaga kerja dan pupuk buatan berpengaruh positif terhadap perubahan nilai BSD" dan KBSD".
Sedang-
kan perubahan harga aktual output dan tingkat produktivitas berpengaruh negatif terhadap perubahan nilai BSD* dan KBSD* . Keunggulan kompetitif produksi kedelai dengan pola tanam tumpangsari lebih peka dibanding pola tanam monokultur, terutama terhadap perubahan harga aktual output dan tingkat produktivitas. Dari hasil penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa usaha produksi kedelai di Desa Sindangratu IZabupaten Garut , secara finansial maupun ekonomi layak untuk diusahakan dalam upaya untuk menghemat devisa negara dan mewujudkan swasembada kedelai.
Saran Bertitik tolak dari hasil analisis yang diperoleh, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai di Kabupaten Garut, maka keputusan untuk memproduksi kedelai di Kabupaten Garut itu sendiri khususnya Desa Sindangratu akan lebih menguntungkan dibandingkan bila pemerintah merigimpor kedelai, dengan catatan jika hasil analisis BSD ini akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Dalam
upaya
mewujudkan
swasembada
kedelai;
maka
pemerintah diharapkan dapat lebih memperhatikan faktorfaktor yang selama ini menjadi kendala dalam usaha peningkatan
produksi
kedelai, antara
lain
penyediaan
benih
berlabel atau benih yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian benih, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas komoditi kedelai tersebut. Faktor lain yang menjadi kendala dalam usaha pengembangan produksi kedelai khususnya di daerah penelitian adalah kurangnya modal.
Akibat para petani kekurangan
modal, maka sarana produksi terutama pupuk serta obat pembasmi hama dan penyakit tidak semuanya dapat terpenuhi sesuai dengan aturan yang telah disarankan PPL. ha1
ini akan berpengaruh pada
hasil
produksi
Sehingga kedelai
tersebut, dan pada
akhirnya akan mempengaruhi tingkat
pendapatan petani.
Mengingat ha1 tersebut diatas, maka
bantuan pinjaman modal dengan bunga rendah dari lembaga keuangan
pemerintah
sangat
diharapkan, sehingga
dapat
membantu
untuk
meningkatkan
produksi
komoditi
kedelai
tersebut. Selama ini penyuluhan-penyuluhan dari PPL di kelompok-kelompok tani lebih difokuskan pada usaha peningkatan produksi padi dalam upaya untuk mempertahankan swasembada beras.
Alangkah lebih baiknya jika penyuluhan terhadap
usaha pengembangan komoditi lain khususnya kedelai lebih gencar lagi dilakukan, sehingga diharapkan program swasembada
kedelai yang
telah
dicanangkan
sejak tahun
1984
dapat tercapai, yang pada akhirnya nanti dapat menghemat pengeluaran devisa negara
sekaligus meningkatkan
kese-
jahteraan petani khususnya petani kedelai. Dalam upaya untuk mengurangi
impor kedelai, maka
penelitian tentang keunggulan komparatif dan kompetitif di daerah-daerah lain seluruh Indonesia khususnya yang menjadi sentra produksi kedelai, akan sangat bagus untuk dilakukan.
Dari hasi penelitian-penelitian tersebut, diharap-
kan akan diketahui daerah-daerah mana saja yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga akan lebih memudahkan para pengambil kebijaksanaan untuk menentukan langkah selanjutnya dalam upaya mengurangi impor kedelai dan sekaligus menghemat devisa negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. 1990. Competitive and compara tive Advantage in Coffee : Indonesia, Papua New Guinea and Philippines. Jakarta. Bank Indonesia. 1994. Rata-Rata Suku Bunga Deposito Bank Swasta Jangka Waktu Tiga Bulan Tahun 1986-1994. Jakarta. Bastari, S.M. 1994. Analisis Biaya Sumberdaya Domestik Usahatani Kedelai di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta . Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Biro Pusat Statistik. 1994. Nilai Tukar Resmi Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Tahun 1986-1994. Indikator Ekonomi Bulan Februari 1994. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1994. Nilai Serta Pajak Ekspor dan Impor Tahun 1986-1992. Indikator Ekonomi Bulan Februari 1994. Jakarta. Center for Policy and Implementation Studies. 1993. Tingkat Subsidi Pupuk Pertanian Tahun Anggaran 1992/1993. Jakarta. 1990. CGPRT Crops in Indonesia : 1960 Statistical Prefile. Bogor.
CGPRT Centre. 1990. A
-
Danarti dan Najiyati, S. 1992. Palawija Budidaya dan Analisis Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1993. Laporan Tahunan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat I1 Garut. Garut.
.
Gittinger , J. P .Pertanian. Jakarta.
1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Edisi ke dua. UI Press - John Bopkins.
Gunawan, A.F. 1994. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Produksi Bawang Putih dengan Analisis BSD. Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kadariah. 1978. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomis. UI. Jakarta. Kantor Desa Sindangratu. 1992. Kecamatan Wanaraja. Garut.
Data Potensi
FE
Desa.
Kantor Kecamatan Wanaraja. Garut . Nazir, M. 1983. Jakarta.
1994.
Data Potensi Kecamatan.
Metode Penelitian.
Ghalia Indonesia.
Nuryartono, R.N. 1992. Keunggulan Komparatif Produksi Jagung Kedelai dan Ubikayu di Propinsi Jawa Tengah Sosial dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik. Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Republik Indonesia. 1993. Garis-Garis Besar Negara. Penerbit Citra Umbara. Bandung.
Haluan
Republik Indonesia. 1993. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 1993/1994. Jakarta. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Suryana, A. Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur Dan Lampung dengan Analisis Penghematan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pasca Sarjana. Bogor.
Sanusi, I.C. 1993. Analisis Biaya Sumberdaya Domestik Serat Kapas di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Sumarno. na.
1991. Kedelai dan Cara Budidayanya. Jakarta.
CV Yasagu
Sudaryanto, T., et al. 1992. Agribisnis Kedelai (Buku I Laporan Teknis Pusat Penelitian Sosial dan 11). Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Toni.
1991. Analisis Biaya Sumberdaya Domestik Usahatani Bawang Putih di Dataran Rendah Kabupaten Bantu1 dan IZabupaten Gunung Kidul. Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tjakrawiralaksana, A. dan Soeriaatmadja, A.C. 1983. Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Yandini, F. 1989. Keunggulan Komparatif dalam Produksi Kedelai dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) di Jawa Tengah. Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zulham, A., et al. 1993. Pola Perdagangan Wilayah Komoditi IZedelai di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Tabel Lampiran 1.
Kandungan Gizi Beberapa Tanaman Palawija (per 100 gram)
Kandungan Gizi Komoditi Kalori
Protein
Lemak
Karbohidrat
(kal)
(9)
(9)
(9)
25
43
21
Kacang tanah
540
Jagung
355
9,2
3,9
73,4
Kedelai
331
34,9
18,l
34,8
Kacang hijau
345
22,2
1,2
62,9
Ubikayu
157
6.8
0,7
37,8
Ubi jalar
123
1 ~ 8
ot7
27,9
Sumber :
Danarti dan Najiyati, S.
1992.
Tabel Lampiran 2.
Neraca Konsumsi Kedelai di Indonesia, 1977-1990
Tahun
Pro -1)
Impor
Total
Kon-
Rasio
Kon-
duksi
dalam
ekspor
sumsi
impor/
sumsi
(ton)
bentuk biji 1)
1)
1)
konsumsi
per 2) kapita
Sumber : CGPRT Crops in Indonesia : A Statistical Profile; 1977 - 1990 Keterangan : 1) ribu ton 2) kg/tahun
Tabel dan
Lampiran
3.
Rata-rata
per
tahun
luas
areal
produksi kedelai di Indonesia, 1968/75 - 1984/90 Luas Areal (1000 ha)
Produksi (1000 ha)
Propinsi 1968-75
76-83
84-90
1968-75
76-83
84-90
Jawa Timur * 377,8 Jawa Tengah 167,2 Jawa Barat 28,9 Jawa 573,8 NTT 57,3 Lampung 28,O Aceh 2,9 Bali 11,7 Sulawesi 6,1 Selatan Sulawesi Utara 0,8 Sumatera Utara 6,8 Propinsi lain 8,4 Luar Jawa 122,O Indonesia Sumber :
*
:
695,8
700,l 1108,2
507,6
Biro Pusat Statistik (diolah) Termasuk D.I. Yogyakarta
594,4 1146,4
Tabel Lampiran
4.
Rata-rata tingkat pertumbuhan per tahun dari luas areal dan produksi kedelai di Indonesia, 1968/75-1984/90
Luas Areal
Produksi
Propinsi 1968-75
76-83
84-90
...................
Jawa Timur 0,s Jawa ~ e n ~ a h * 5,8 Jawa Barat 3t5 Jawa 2,4 3,8 NTT Lampung 17,l Aceh 10,6 Bali 1,o Sulawesi Selatan 2,1 Sulawesi Utara 28,4 Sumatera Utara 1,O Luar Jawa 6,7 Indonesia
3,1
1968-75
76-83
84-90 -
( % )
......-.*...........
-1,4 0,3 0,7 -0,8 -1,9 -6,6 30,3 -4,l
2,8 3,2 4,l 3,O 11,7 12,5 18,3 11,O
2t 4 7,9 7,o 4,1 10,5 27,9 12,6 7,5
-0,3 0,8 0,6 0,l -1,7 -8,s 32,3 -1,5
5,9 8,5 11,O 7,2 15,6 16,4 18,2 15,2
-1,5 24,7 -18,2 2,O
13,9 11,3 20,4 13,l
0,1 35,s -2,3 13,l
2,5 28,6 -15,8 2,6
18,5 11,2 23,6 16,s
-0,2
6,9
5,6
0,6
10,4
Sumber : Biro Pusat Statistik (diolah) * : Termasuk D.I. Yogyakarta
Tabel Lampiran 5.
Rata-Rata Per Tahun Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Di Jawa Barat Periode 1 9 8 6 1990.
-
Kabupaten
Luas Panen (ha)
Produktivitas ( kw/ha )
Produksi (ton)
Serang Pandeglang Lebak Tangerang Bekasi Karawang Purwakarta Subang Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Cirebon Kuningan Majalengka Indramayu JAWA BARAT Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat. Keterangan : Angka dalam ) : Persentase terhadap ratarata luas panen atau produksi kedelai di tingkat propinsi.
Tabel lampiaran 6. Harga Batas
Pupuk
Tingkat Subsidi Pupuk Pertanian Tahun Anggaran 1992/1993 (Rp/Kg)
Biaya Harga Eceran Tataniaga Resmi * )
Urea
242
77
240
TSP
304
67
310
KC1
274
130
350
Sumber
:
Tingkat Subsidi
Subsidi
Central for Policy and Implementation Studies,
1993 * ) : Harga Eceran Resmi Pada Bulan Oktober 1992
Tabel Lampiran 7.
Rata-Rata Suku Bunga Deposito Bank Swasta Jangka waktu 3 Bulan, 1986 1993
T a h u n
Rata-Rata Suku Bunga ( %/Tahun )
Sumber : Bank Indonesia, 1994
Tabel Lampiran 8. Tahun
Xt
Besarnya Angka Konversi Standar Tahun 1992 (Milyard Rupiah) 1986
-
Mt
Tx
Sumber : Indikator Ekonomi Bulan Februari. Tabel Lampiran 9. T a h u n
Sumber : *) :
Tm
SCF
BPS (1994)
Nilai Tukar Resmi Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat, 1985 1994 (Rp/US $ 1)
Indikator Ekonomi Bulan Februari. BPS (1994) Nilai Tukar sampai dengan bulan Februari 1994
Kecarnahn
Ba
__--
skala
wllcrynh Kec. W n r ~ a r j o Desa
I : lo.ooo
Tabel Lampiran 10.
Biaya Tataniaga Komoditi Kedelai dan Jagung dari Desa Sindangratu, Kecama tan Wanaraja, Kabupaten Garut, Tahun 1994 (Rp/Kg)
Biaya Tataniaga ~ ~ ~ ~ d ............................... i t i Pengangkutan Penanganan Total Kedelai
14,5
Jagung
7
17,5 9
32
Pasar Ciawitali Garut
16
Pasar Ciawitali Garut
Sumber : Data Primer (diolah) Keterangan : 1.
Biaya tataniaga komoditi kedelai :
*
Pengangkutan - Sewa mobil - Logistik Total
*
Penanganan - Pengepakan dan karung Bongkar muat
-
Total
RP 14,5/kg RP RP
9,5/kg 8,O/kg
RP 17,5/kg
Biaya tataniaga komoditi jagung :
*
Pengangkutan Sewa mobil Logistik
-
Total
*
Penanganan Pengepakan dan karung - Bongkar muat
-
Total
Tujuan
RP
7 ,0/kg
RP RP
5,5/kg 3,5/kg
RP
9,0/kg
Tabel
Lampiran 11.
Komponen
Harga Aktual dan Harga Bayangan per Satuan Input Output yang Digunakan Satuan
Harga Aktual
Harga Bayangan
A. Input : 1. Benih
a. Kedelai b. Jagung 2. Pupuk
a. Urea b. TSP
c. KC1 d. Pukan 3. Insektisida
4. Tenaga kerja
Rp/kg Rp/liter HKP
.
18
18
15 923
15 923
2 650
1 855
280 000
280 000
5. Sewa lahan
(lahan kering) 6. Bunga modal
Rp/ha/MT %/MT
3.75
7. Penyusutan alat
RP/MT
2 635
8. Pajak tanah
Rp/ha/MT
5 285
2 635
B. Output 1. Kedelai
Rp/kg
2. Jagung
R~/kg
C. Nilai tukar uang
RP/US $ 1
Sumber : Data Primer (diolah)
1 067
692
218
223
2 146
2 190
Tabel Lampiran 12.
Komponen
Produksi dan Stuktur Input Fisik Usaha Produksi Kedelai per hektar di Desa Sindangratu, MT 1993/1994. Satuan
Produksi 1. Kedelai kg 2. Jagung kg Inwut Fisik 1. Benih : a. Kedelai kg b. Jagung kg 2. Pupuk : a. Urea kg b. TSP kg c. KC1 kg d. Pukan kg 3. Insektisida liter 4. Tenaga Kerja (TK) a. TK luar keluarga Pengolahan lahan HKP Penanaman HKP Pemeliharaan HKP Panen HKP Pasca panen HKP Sub Total HKP b. TK dalam keluarga Pengolahan lahan HKP Penanaman HKP Pemeliharaan HKP Panen HKP Pasca panen HKP Sub Total HKP Total TK HKP Sumber : Data Primer (diolah)
Monokultur
Tumpangsari
Lampiran 13.
Analisis Pendapatan Finansial dan Ekonomi Produksi Kedelai Monokultur Per Hektar Pada Lahan Kering di Desa Sindangratu, MT 1993/1994 Nilai finansial (RP)
Uraian
Nilai Ekonomi (Rp) Domestik
Penerimaan - Kedelai
1 022 186
Biaya Produksi 1. Benih Kedelai 2. Pupuk - Urea TSP KC1 Pukan Sub Total 3. Insektisida 4. Tenaga Kerja a. Luar keluarga b. Dalam keluarga Sub Total 5. Bunga modal 4a) (1 6. Sewa lahan 7. Penyusutan alat 8. Pajak tanah Total biaya produksi
-
-
-
Biaya Tataniaga Kedelai Pengangkutan Penanganan Total biaya tataniaga
-
13 891 16 765 30 656
Total Biaya
708 794
Pendapatan
313 392
Sumber : Data Primer (diolah)
Asing
Total
Lampiran 14.
Analisis Pendapatan Finansial dan Ekonomi Produksi Kedelai Tumpangsari Per Hektar Pada Lahan Kering di Desa Sindangratu, MT 1993/94 Nilai finansial (RP)
Uraian
Nilai Ekonomi (Rp) Domestik
Penerimaan - Kedelai Jagung Total Penerimaan
-
Biaya Produksi 1. Benih - Kedelai Jagung Sub Total 2. Pupuk Urea - TSP - KC1 - Pukan Sub Total 3. Insektisida 4. Tenaga Kerja a. Luar keluarga b. Dalam keluarga Sub Total 5. Bunga modal (1 4a) 6. Sewa lahan 7. Penyusutan alat 8. Pajak tanah Total biaya produksi Biaya Tataniaga - Kedelai Pengangkutan Penanganan Jagung Pengangkutan Penanganan Total biaya tataniaga
-
-
-
674 344 323 948 998 292
58 178 13 656 71 834 46 34 8 14 103 23
500 320 480 382 682 884
58 178 13 656 71 834
14 382 14 382
111 300 55 650 166 950
77 910 38 955 116 865
11 651 280 000
280 000
2 635 5 285
2 245
665 921
590 326
9 164 11 060
4 061,5 9 074,7
10 402 13 374
4 610,l 10 973,4
44 000
28 720
Total Biaya
709 921
619 046
Pendapatan
288 371
-
Sumber : Data Primer (diolah)
Asing
Total
Tabel
Lampiran
15.
v~
fsj Komponen
Perhitungan Nilai BSD dan KBSD Produksi Kedelai Monokultur di Desa Sindangratu, MT 1993/1994 f51 ..vS
(kg,HKP)(Rp/sat)
(Rp)
j
mj
rj
(us $ ) (us $ ) (us $1
output Kedelai
-
Input Benih 41 Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KC1 Pukan 1 092 Insektisida Tenaga kerja 63 Sewa lahan Penyusutan alat
1 531
62 771
18
19 656
1 855
116 865 280 000 2 245
Biava Tataniaqa Pengangkutan Penanganan T o t a l
501 449,2
302,72
Sumber : Data Primer (diolah) 501 449,2 BSD
=
(302,72
-
67,62
-
2 178,89 KBSD
=
=
2 190
0,995
= 2 178,89
4,96)
67,62
4,96
Tabel
Lampiran
16.
v~
fsj
Komponen
Perhitungan Nilai BSD dan KBSD Produksi Kedelai Tumpangsari di Desa Sindangratu, MT 1993/1994 f51 ..vs
(kg,HKP)(Rp/sat)
(Rp)
j
j'
(us $ ) (us $1 (us $1
outout - Kedelai Jagung
-
Inout Benih Kedelai Jagung Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KC1 Pukan Insektisida Tenaga kerja Sewa lahan Penyusutan alat
-
38 4
799 63
Biaya Tataniaaa Pengangkutan - Kedelai Jagung Penanganan - Kedelai - Jagung
-
T o t a l
514 045,7
351,Ol
Sumber : Data Primer (diolah) BSD
=
514 045,7 (351,Ol 60 6,97)
KBSD
=
1 809,77 = 0,826 2 190
-
-
=
1 809,77
60
6,97
Tabel Lampiran 17.
£Sj Komponen
Perhitungan Nilai BSD* dan KBSD* Produksi Kedelai Monokultur di Desa Sindangratu, MT 1993/1994
v~
fs3..v,
(kg,HKP)(Rp/sat)
(Rp)
j
mj
j'
(us $ ) (us $ ) (us $ )
output - Kedelai Input Benih 41 Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KC1 Pukan 1 092 Insektisida Tenaga kerja 63 Bunga modal Sewa lahan Penyusutan alat Pajak tanah Biaya Tataniaaa Pengangkutan Penanganan T o t a l
1 531
62 771
18
19 656
2 650
166 950 11 997 280 000 2 245 5 285
6 156,5 13 755,7 568 816,2 476,32
Sumber : Data Primer (diolah)
60,04
5,05
Tabel Lampiran 18.
fsj Komponen
Perhitungan Nilai BSD* dan KBSD* Produksi Kedelai Tumpangsari di Desa Sindangratu, MT 1993/1994 "S
(kg,HKP)(Rp/sat)
f 51..v,
j
(Rp)
(us
mj $)
(us $ ) (us $ )
output Kedelai - Jagung
-
Input Benih Kedelai Jagung Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KC1 Pukan Insektisida Tenaga kerja Sewa lahan Penyusutan alat
-
38
4
799 63
Biaya Tataniaaa Pengangkutan - Kedelai - Jagung Penanganan - Kedelai Jagung
-
T o t a l
581 066,2 465,18
Sumber : Data Primer (diolah)
52,74
7,11
Biaya Tataniaga Kedelai dari Tanjung Priok (Jakarta) ke Pasar Ciawitali (Garut) :
* *
Pengangkutan sewa mobil logistik
-
:
:
R p 45/kg R p 21,5/kg
Penanganan pengepakan : R p 16/kg - bongkar muat : Rp 17,5/kg
-
Biaya Total
:
R p 100/kg