Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
-Sebuah Laporan Pembacaan esai-esai Eduardo Galeano di Purwokerto-
Pada suatu malam yang mendung pada tanggal 28 November 2011, mahasiswa sastra Indonesia dan sastra Inggris Universitas Jenderal Soedirman yang tergabung dalam unit kegiatan mahasisiwa (UKM) Teater Teksas dan komunitas Legion of Art untuk pertama kali menggelar acara pembacaan esai. Pergelaran itu diberi tajuk “Melacak Sejarah, Menguak Masa Depan” yang secara khusus akan membacakan serta mendiskusikan esai-esai Eduardo Galeano yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Halim HD, networker kebudayaan yang kini bermukim di Solo.
Komposisi panggung ditata sederhana: kain hitam dibentangkan menutupi dinding, properties sebuah kursi diletakkan tepat di tengah panggung diikat oleh benang-benang putih yang awut-awutan tak berpola dan disorot oleh lampu berwarna merah. Sedang di sekitar ruangan, potongan-potongan cerita pendek, puisi, esai dari beberapa lembar sastra koran ditempel secara tak beraturan pada kertas lebar berwarna coklat yang menutup jendela-jendela ruangan. Kurang lebih 50 penonton telah berkumpul, lamat-lamat terdengar suara petikan gitar dan rintik hujan. Pembacaan esai-esai Eduardo pun dimulai.
I
Pembacaan esai-esai Eduardo Galeano diawali oleh Ana Susiana. pegiat teater Teksas yang mendramatisasikan esai bertajuk “The Culture of Terror”. Ana melangkah perlahan menuju tengah panggung, duduk di kursi yang terikat sedang lampu berwarna merah menyorot seakan ingin menegaskan tentang kondisi perempuan yang kebebasannya terkekang. Dengan bibir cemberut, mimik yang memelas dengan muka menunduk, serta gerak-gerak tubuh yang tak beranjak dari duduk lalu tahap demi tahap Ana berdiri, membuka jaket sehinga nampak badannya yang kerempeng sebelum melepas kerudung sehingga rambutnya yang sebelumnya tertutup kini tergerai sebahu. Dengan suara berteriak Ana meneror penonton dengan berkata
1/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
begini: “Memeras. Mencerca. Mengancam. Menampar. Memukul. Merangket. Mencambuk. Hukuman kamar gelap ”.
Setelah kata-kata yang berhubungan dengan laku-laku kekerasan itu diucapkan dalam irama yang cepat, Ana terus meracau tentang bentuk-bentuk hukuman dan siksasan di dalam keluarga dalam bentuk pelarangan meninggalkan rumah, pelarangan untuk mengemukakan pendapat atau penghinaan di depan publik. Di sela-sela dialognya yang pendek, Ana mengacak rambutnya, memotong-motong beberapa helai dengan gunting sebelum menyebarkan helai-helai rambutnya di lantai. Untuk sementara suasana hening, Ana lalu maju melangkah mendekati penonton sembari berkata lirih bahwa hak azasi manusia semestinya dimulai dari dalam rumah. Sayang, lampu terlambat untuk melakukan black-out yang menandakan pembacaan esai oleh Ana telah usai, tapi penonton tetap riuh bertepuk tepuk tangan.
Pembacaan kedua diteruskan oleh Muhammad Taufiqurrohman yang akan membacakan dua esai Eduardo Galeano, ia memilih untuk membaca santai di kursi yang tak begitu jauh jaraknya dengan penonton dengan sorot lampu berwarna kuning. Esai pertama yang dibacakan oleh Taufiq berjudul “Kebuntuan Memori Keloktif Amerika Latina”, esai ini menarasikan tragedi perbukuan yang berpangkal pada kisah seorang akuntan yang ditugaskan menyusun laporan pembukuan keuangan oleh Pusat Peneltian Ilmu-ilmu Sosial dengan imbalan pemberian ribuan koleksi buku, majalah, pamphlet dan brosur yang sangat penting dalam sejarah kontemporer Brazilia. Tawaran pembayaran ini diterima oleh sang Akuntan karena pada mulanya ia percaya bahwa buku-buku yang sangat bernilai itu akan dengan mudah dijual pada organisasi kebudayaan, lembaga peneltian sejarah, kepada sejumlah menteri atau kepada universitas negeri maupun swasta. Tapi kenyataan berbicara lain, kesemuanya menolak bahkan tak ada individu-individupun yang menaruh minat untuk menyewa koleksi itu. Dengan penuh sesal pada akhirnya sang akuntan menjual koleksi bukunya pada perusahan daur ulang kertas bernama Tljuca Paper Factory yang akan melumat dokumentasi tentang gerakan-gerakan sosial di Brazilia menjadi kertas toilet.
Sedang esai kedua berjudul “Dari Mutilasi Rasisme menuju Kemegahan”, membicarakan issue sepakbola di Brazil yang pada mulanya berunsur rasialisme sebab presiden Brazilia, Epitacio Pessoa, mengeluarkan keputusan untuk tak mengikutsertakan pemain-pemain berkulit berwarna pada perhelatan South America Cup yang digelar di Buenos Aires pada tahun 1921. Tapi keputusan itu tak berlangsung lama, pada perhelatan sepakbola selanjutnnya muncul pemain-pemain kulit berwarna yang berbakat semacam Romario, Zizinho, atau Pele yang nantinya menjadi legenda sepakbola dunia. Perubahan ini membuat sepakbola menjadi permainan yang memungkinkan masyarakat kulit berwarna membayangkan imaji kesetaraan dengan masyarakat kulit putih dan membayangkan imaji kemakmuran yang mengentaskan peluang menjauhi kemelaratan.
2/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
Di sela-sela pembacaan dua esai itu, sesekali Taufik yang tercatat sebagai dosen sastra Inggris ini menimpali dengan membayangkan kemungkinan apakah lembaga-lembaga di Indonesia akan tertarik untuk menerima tawaran sang akuntan membeli ribuan koleksi itu mengingat keadaan perpustakaan kota atau perpustakaan universitas yang tersebar di berbagai derah di Indonesia sering tak dapat dianggap layak. Atau apakah sepakbola di Indonesia juga berpotensi untuk menjadi profesi yang menawarkan imaji kemakmuran pada rakyat jelata. Menanggapi timpalan-timpalan Taufiq itu penonton bersahutan tertawa.
Pembacaan ketiga menampilkan Wage Teguh Wiyono yang membacakan esai berjudul “Lima Perempuan Perkasa”. Laki-laki berambut gondrong yang sehari-hari berprofresi sebagi tukang sol sepatu ini berkata lantang di tengah penonton dengan berucap bahwa musuh utama yang dipelihara oleh kita adalah ketakutan. Dengan gesture yang kerap mengepalkan tangan, Wage mengisahkan lima perempuan yang melakukan aksi mogok makan di malam natal sebagai bentuk protes terhadap merajalelanya kelaparan di Bolivia. Aksi ini menginsiprasi ribuan rakyat Bolivia untuk melakukan aksi serupa yang berkembanag sebagai aksi mogok kerja yang melakukan protes turun ke jalan. Di akhir pembacaan, di tengah penonton Wage dengan ucapan yang tegas mengucapkan ending yang menjelaskan bahwa lima perempuan itu berhasil menjatuhkan rejim dictator Bolivia. Wage merepetisi ending ini dengan mengacak penonton untuk ikut mengucapkan mungkin untuk menyebarkan sugesti bahwa gerakan massa yang marah dan lapar tak akan dapat dibendung oleh rejim sekuat apapun. Metode pembacaan yang dilakukan Wage secara bergiliran dengan penonton ini saya kira menghadirkan apa yang disebut Konstantin Stanilavsky dengan the Feeling of true Measure, dimana teks didramatisasikan dengan kadar atau takaran yang benar sebab teks yang memuat pergerakan perlawanan massal ini juga dibaca dengan kemungkinan untuk dibaca secara massal dengan melibatkan suara, emosi penonton.
II
Setelah pembacaan esai, Halim HD dalam sesi diskusi memperkenalkan riwayat Eduardo sebagai jurnalis kelahiran Montevideo, Uruguay, 3 september 1940 yang menulis dalam berbagi
3/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
bentuk, seperti esai, novel, laporan, maupun kritik. Dalam esai pengantar diskusi yang ditulis Halim HD berjudul “Eduardo Galeano: Pelacak Sejarah, Penguak Masa Depan Amerika Latina” dijelaskan bahwa Edu memposisikan serta memfungsikan tulisannya untuk melacak dan membongkar kontruksi sejarah sosial bentukan sisitem kolonialis-imperialisme yang eksploitatif dan telah memusnahkan akar kebudayaan amerika latin. Dengan kerja pembongkaran sejarah sosial inilah dimungkinkan akar sejarah akan teringat kembali, dan untuk merealisasikannya seorang jurnalis harus melakukan pemihakan pada kaum tertindas, tak bisa netral atau dengan kata lain memilih bahasa yang berpihak.
Secara nyata idealisme Eduardo Galeano, seperti dikemukakan oleh Halim HD telah menginspirasi berbagai tokoh di Amerika Latin, dalam bidang politik semisal pentingnya pembongkaran sistem eksploitatif kolinialis-imperialis telah menginspirasi spirit dan gagasan revolusioner Chaves dan Morales untuk melakukan perlawanan terhadap kepentingan politik ekonomi Amerika Serikat. Dalam musik,wacana-wacana pemihakan pada kaum tertindas yang ditulis oleh Edu menginspirasi grup musik punk Los Dorades dan grup musik rock-ska argentina los Fabulosos Cadillacs.
Sedang dalam bidang sastra, seperti dapat kita baca dalam pengantar buku Open Veins of Amerika Latina (terj. Cendric Belfrage, Monthly Review Press. 1997) yang ditulis oleh Isabel Allende, novelis perempuan kelahiran Peru ini mengenang bahwa Open Veins of Latin America adalah salah satu buku yang menjadi bacaannya ketika pada tahun 1973 ia mesti mengungsi karena terjadi kudeta militer di Chile (dan pada tahun 1974, Presiden Salvador Allende, paman Isabel terbunuh). Buku inilah, yang dalam pengungsiannya akan terus ia simpan lebih dari dua puluh tahun kemudian, dan diakui oleh Isabel telah membentuk kesadarannya bahwa warga amerika latin berasal dari ras yang sama yaitu sebagai kaum tertindas dan tugas penulis adalah melakukan pemihakan terhadap mereka (h.7-11).
Pada akhirnya, usaha-usaha Eduardo Galeano untuk melacak sejarah masa silam, dan menguak masa depan Amerika Latin idealnya dapat dijadikan rujukan untuk memaknai kembali akar sejarah Indonesia yang dimasa silam mengalami praktek kolonialisme selama beberapa abad, lalu di masa pasca merdeka beberapa puluh tahun Indonesia berada di bawah kekuasan rejim militer dan di masa kini sistem politik dipenuhi koruptor, partai-partai jejadian, dikangkangi calo pembangunan dan rakyat diselimuti amnesia sejarah.
Kerja melacak sejarah yang dilakukan Eduardo ini mengingatkan Halim pada sosok Pramoedya Ananta Toer yang menuliskan cikalbakal nation di Indonesia lewat tetralogi pulau buruhnya
4/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
yang terdiri dari: roman Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang mendekripsikan perjuangan Minke dalam menyebarkan gagasan pentingnya persatuan lewat pembentukan organisasi dan media informasi semacam koran Medan Prijaji . Sedang saya, yang duduk di samping Halim HD malam itu teringat pada kerja Pramoedya yang banyak membahas karya Mas Marco Kartodikromo yang dinilainya sebagai pengarang Realisme-Sosialisme taraf pertama yang meletakkan karyanya untuk membangkitkan pengertian rakyat akan asal muasal jajahan dan juga kritik Pramoedya pada Balai Pustaka sebagai penerbit yang dikelola pihak penjajah yang telah mengubah 90 persen naskah sastra dari warga Indonesia sebelum dibaca oleh masyarakat seperti yang terjadi pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Pengingatan ini terasa menegaskan kembali peringatan Pramoedya yang dituliskannya sebagai penutup buku Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Lentera Dipantara, 2003) yang berkata begini:
…Generasi yang tidak teracuni paru-parunya oleh pengalaman penjajahan asing telah muncul, dengan ukuran-ukuran dan latarbelakang historic yang berlainan daripada generasi-generasi yang lebih tua. Jangan beri generasi baru ini infeksi-infeksi tanpa guna yang berasal dari sentiment-sentimen melankolik masa penjajahan. Mereka berhak bicara atas nama hari depannya sendiri! [Jakarta: Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, 2003, h. 160-161)
Generasi penulis yang berani bicara mengkritisi situasi sosial politik Indonesia ketika rejim militer Soeharto masih berkuasa disingung oleh Halim dengan menyebut nama Wiji Thukul, penyair dengan kredo Hanya ada satu kata: Lawan!” yang menjadi salah satu korban penghilangan orang/aktivitis yang kerp dilakukan di masa Orde Baru. Lewat pembacaan puisi dan aksi turun ke jalan Wiji telah merperjuangkan penyadaran tentang kehidupan rakyat miskin yang tak mendapat keberpihakan dari kekuatan-kekuatan politik dalam negeri, simak potongan puisi berjudul “Hari Ini Aku Akan Bersiul-siul” (terkumpul dalam Aku Ingin jadi peluru. Indonesiatera, 200. h.187-188) ini:
5/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
pada hari coblosan nanti
aku akan masuk ke dapur
akan kujumlah gelas dan sendokku
apakah jumlahnya bertambah
setelah pemilu bubar?
….
pemilu
o pilu pilu
sambel bawang dan ikan asin
6/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
Sedang dalam kondisi politik di mana puluhan partai tumbuh dan hilang dalam kuantitas puluhan dengan kulalitas meragukan, puisi tak lepas untuk dimanfaatkan seorang politisi untuk mempopulerkan namanya pada masyarakat. Kredo puisi semisal yang dituls Chairil Anwar ini “Sekali berarti sudah itu mati” tak hanya terpampang pada spanduk-spanduk di tepi jalan atau surat kabar harian, namun juga berkali-kali tampil di layar televisi. Baris yang dikutip dari puisi “Diponegoro” ini (ditulis oleh Chairil pada Februari 1943), ketika diambil alih guna mendongkrak citra diri politisi sebagai pembentuk imaji personal tak lagi berbicara tentang posisi kemerdekaan yang lebih tingi dari kehidupan yang berada di tengah keterjajahan tapi lebih tampil sebagi media kampanye demi kepopulisan/kepentingan individual. Makna aktual puisi pun lalu mengalami pembelotan yang dijalankan secara sistematis oleh partai ?teks yang pada mulanya difungsikan untuk memobilisasi kesadaran massa digubah menjadi mobilisasi pencitraan kekuasaan? dalam kemasan jalinan virtual semenarik mungkin, sehingga ujungnya publik yang membaca baris itu lebih tampil sebagai subjek yang tidak lagi terkait-lupa dengan kenyataan aktual puisi.
Pentingnya melacak sejarah dan menguak masa depan inilah yang di satu sisi memungkinkan masyarakat menjadi tersadar dari amnesia sejarah dan memaknai kembali berbagai kepentingan politik masa kini. Sedang di sisi lain landasan gagasan Eduardo ini juga dapat dimaknai sebagai gugatan untuk mempertanyakan kembali di mana posisi-fungsi kaum penulis Indonesia hari ini?
Abdul Aziz Rasjid, Pemenang III Sayembara Esai Sastra Bulan Bahasa 2010, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Aktif menulis esai dan kritik sastra. Beberapa tulisannya dimuat di majalah BASIS, Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), koran Kom pas (edisi Jateng) , Jawa Pos, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Lampung Post, Radar Tasikmalaya, Radar Banyumas, Jurnal Yin-Yang, Buletin Sastra Pawon, dan lain-lain. Di samping itu, esai dan kritiknya juga terhimpun dalam antologi bersama semisal kumpulan esai Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, 2010) juga menulis kata penutup buku sastra semisal buku sajak Yang ,
7/8
Melacak Sejarah Menguak Masa Depan - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Aziz Rasjid Senin, 21 Mei 2012 12:48 -
Kumpulan Sajak 2003-2010 (Abdul Wachid B.S., Cinta Buku, 2011). Ia menjadi pengajar di Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto (2010-sekarang), sembari bergiat di Komunitas Sastra Beranda Budaya. Joomla SEO by AceSEF
8/8