Ⅰ. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Sejak zaman kuno, tumbuhan-tumbuhan memasok berbagai kegunaan kepada manusia. Pada awalnya, buah, daun, atau cabang dari spesies tumbuhan liar dikumpulkan di hutan dan dikonsumsi sendiri atau dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau bahan bakar. Spesies berguna atau spesies yang menghasilkan produk berkualitas tinggi dipilih dan biji disisakan untuk ditanam di sekitar pemukiman. Individu yang bagus dipilih, diberikan atau dijual kepada tetangga, ditukar dengan individu yang bagus dari daerah yang lain, dan terserbuki, sehingga menghasilkan keanekaragaman baru. Dengan mengulangi pemilihan dan pemindahan oleh manusia, spesies yang didomestikasi dan ditanam kini telah berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia. Terkini, sebagian besar dari kultivar berguna diperbanyakkan dengan cara vegetatif supaya karakteristik tumbuhan tersebut tetap terjaga. Namun demikian, masih terdapat beberapa spesies yang biasanya diperbanyakkan dengan biji dikarenakan kesulitan dalam propagasi vegetatif atau kekurangan pengetahuan. Namun terdapat banyak kasus keberhasilan untuk propagasi vegetatif (Mowry et al., 1941; Morton, 1965; Manner et al., 2006; SCUC, 2006; Abd El-Zaher, 2008), nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) biasanya masih diperbanyakkan dengan biji yaitu, hasil dari peneyerbukan silang secara bebas (Ruby et al., 2010; Azad et al., 2007; Jagadeesh et al., 2007). Semai yang bertumbuh dari biji memiliki ciri-ciri yang diwariskan dari propagasi generatif (Purseglove, 1968). Karena penyerbukan silang secara alami, propagasi dengan biji, dan protandri, pohon nangka menunjukkan tingkat variabilitas tinggi untuk berbagai karakteristik. Selain dikarenakan penyerbukan silang dan propagasi generatif, keanekaragaman spesies ini juga disebabkan dari sistem
1
pembiakan dan seleksi alam berhubungan dengan adaptasi terhadap perbedaan lingkungan lokal atau dari seleksi oleh manusia yang didominasi oleh kesukaan penduduk lokal yang memilih dan menanamnya. Dalam arti bahwa masih terdapat hanya sedikit penanaman mono-kultur, dapat dikatakan bahwa nangka terluput dari seleksi dan penanaman secara intensif. Oleh karena hal-hal tersebut, dapat ditemukan variasi genetik dan morfologi yang tinggi di dalam satu spesies. Sumber Daya Tumbuhan (SDT) adalah bahan baku yang digunakan oleh petani dan pembiak tanaman untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tanamannya dan juga dapat digunakan untuk tujuan konservasi. SDT menarik perhatian dari seruluh dunia karena kehilangan keanekaragaman yang makin bertambah, khususnya untuk tanaman yang kurang termanfaatkan (Williams dan Haq 2002). Penyebab utama untuk peristiwa tersebut adalah penggantian ras lokal beragam dan bervariasi dengan varietas modern yang seragam (Brush 1991; NRC 1993). Akan tetapi, dalam kasus untuk tanaman yang kurang termanfaatkan seperti nangka, peristiwa-peristiwa tersebut terabaikan oleh ilmuwan, mungkin karena kekurangan pengetahuan tentang tumbuhan nangka, atau teralpakan dan kurang termanfaatkan. Keanekaragaman tumbuhan nangka di dunia masih kurang teridentifikasi. Nangka merupakan jenis tanaman yang sebagian besarnya hanya dapat ditemukan di bawah penanaman. Karena sudah lama setelah jenis ini tersebar di daerah Asia yang sangat luas, maka penilaian keanekaragaman yang terdapat sekarang sangat penting supaya sumber daya alam dapat diidentifikasi untuk konservasi dan pengembangannya. Untuk pemanfaatan berkelanjutan, keanekaragaman nangka merupakan sumber daya alam yang bernilai tinggi untuk baik sekarang maupun masa mendatang. Oleh karena itu, dokumentasi sumber daya alam nangka diperlukan (APAARI, 2012). Tetapi penelitian mengenai
2
keanekaragaman tumbuhan nangka berskala besar di Indonesia masih kurang, walaupun terdapat kemungkinan bahwa terdapat keanekaragaman yang kaya karena sudah melewati lebih dari 2000 tahun setelah diintroduksi ke Pulau Jawa dan juga karena penyerbukan silang dengan A. integer yang berasal dari Malaysia dan Indonesia. Pengetahuan manusia tentang keanekaragaman tumbuhan beragam karena terpengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; masyarakat yang berbeda; pekerjaan dan rutin sehari-hari yang berbeda; kebutuhan perseorangan dan sosial yang berbeda untuk makanan, obat, dan kepercayaan masing-masing; peternakan yang berbeda; pengetahuan yang berbeda tentang fenomena alam. Aspek dari dimensi manusia yang menarik dan bermanfaat tentang keanekaragaman tumbuhan merupakan sifat pengetahuan tersebut dan practek antar grup etnis yang berbeda. Secara umum, orang menyukai karakteristik pangan atau tanaman yang dapat dimakan sebagai berikut; buah, butiran (grains), umbi, akar, dan biji yang berukuran besar; variabilitas untuk pilihan yang luas; adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang bervariasi; karakteristik untuk menjaga sendiri yang dikurangi seperti duri, racun, dan kepahitan; dan bisa tidaknya perbanyakan vegetatif atau penyerbukan diri. Di seruluh kondisi budaya, kesukaan atau keinginan memiliki pengaruh terhadap keanekaragaman antar spesies, di dalam satu spesies, atau sampai level genetik. Sebagai contoh, aktivitas seleksi oleh manusia di India menghasilkan ketimun (Cucumis sativus L.) yang tidak pahit, Bottle-gourd (Lagenaria siceraria (Mol.) Standl.), dan Luffa (Luffa acutangula (L.) Roxb.). Masyarakat desa sering tetap menanam kultivar yang tradisional namun kurang produktif, dan kerabat liar, dan menjaga keanekaragamannya. Sebagai contoh, berbagai tipe beras ditanam, dan dilestarikan di dalam grup etnis Mizoram dan
3
Arunachal di India northeast India timur laut (Jain, 2000). Di Pulau Jawa terdapat beberapa suku secara umum antara lain yaitu, suku Jawa, suku Sunda, suku Banten, suku Madura yang memiliki bahasa dan adat masing-masing namun terdapat kesamaan. Makin konsumen menjadi lebih canggih, makin tinggi permintaan terhadap kultivar spesifik untuk baik produksi monokultur secara komersial maupun produksi di pekarangan, sehingga pohon yang dicangkokkan akan diadopsi (Campbell dan Noris, 2003). Banyak penelitian telah dilaksanakan untuk pengembangan kultivar komersial, khususnya di Bangladesh, India, dan Amerika Serikat. Program pengembangan tanaman koperatif untuk nangka telah dimulai di daerah Asia Pasifik seperti Bangladesh, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam di bawah proyek internasional dengan tujuan untuk menciptakan kultivar nangka unggul untuk produksi secara komersial (APAARI, 2012; Azad et al., 2007; Jagadeesh et al., 2007; Wasielewski dan Campbell, 1999). Khan (2008) melapor bahwa erosi genetik terhadap keanekaragaman nangka telah terjadi di Bangladesh. Selain pengurangan pohon nangka disebabkan oleh penebangan atau pembukaan lahan untuk memenuhi permintaan terhadap kayu, pertanian, atau pemukiman, permintaan pasar terhadap nangka mendorong penggantian keanekaragaman lokal dengan jenis unggul yang seragam dan juga penggantian pemasaran lokal berskala kecil dengan perdagangan berskala besar ke pasar kota besar. Untuk saat ini, belum terdapat laporan yang menyatakan terjadinya erosi genetik terhadap keanekaragaman nangka di Indonesia, akan tetapi situasi yang nangka Indonesia hadapi dapat diprakirakan tidak berbeda jauh dengan situasi di Bangladesh tersebut dengan penyebab yang sama. Pohon nangka merupakan pohon serba guna (multi-purpose tree) dan produk
4
memenuhi berbagai permintaan dalam bentuk baik makanan maupun selain makanan di dalam kehidupan penduduk desa. Penggunaan tradisional tersebut dan pengetahuan diduga akan punah disebabkan oleh kemajuan urbanisasi yang makin cepat. Urbanisasi di Indonesia sedang mengalami kemajuan dengan cepat, terutama di Pulau Jawa dimana Jakarta, ibu kota Indonesia terletak dan mengandung jumlah penduduk lebih dari 130 juta, ± 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2010). Arifin et al., (1998) melapor bahwa ketingkatan urbanisasi ditandai oleh penurunan rerata ukuran pekarangan. Fungsi untuk produksi, sistem daur ulang, fasilitas umum, dan suasana yang ramah terhadap pekarangan masih terdapat dengan konstan di daerah yang belum mengalami urbanisasi, sebaliknya fungsi-fungsi tersebut sebagai agroforestri menghilang disebabkan oleh urbanisasi di Pulau Jawa. Makin urbanisasi berlanjut, terdapat kemungkinan makin besar bahwa pengetahuan tentang penggunaan tumbuhan secara tradisional akan terancam dan variasi penggunaan juga akan menurun. Oleh karena tumbuhan nangka dipilih dan ditanami oleh masyarakat lokal, karakteristik morfologi memiliki kepentingan untuk memahami hubungan antar arah pemilihan tumbuhan nangka oleh masyarakat dan karakteristik morfologi yang dapat diamati oleh masyarakat lokal. Sebagai tahapan pertama untuk mengembangkan pendekatan metode konservasi sumber daya tumbuhan nangka dan untuk mengembangkan metode pengamatan individu yang memiliki karakteristik yang unik, terdapat kepentingan untuk menyelidiki informasi morfologi dan distribusi geografi dari variasi tumbuhan nangka yang berada di Pulau Jawa. Salah satu aspek yang penting untuk mengetahui suatu tumbuhan adalah kualitas produk terakhir yaitu, buah matang yang segar yang didapatkan dari pohon, dalam kasus untuk nangka. Rasa nangka terdiri dari berbagai atribut seperti kemanisan,
5
tekstur, keharuman, kandungan air, crunchiness dsb. Hasil dari uji sensoris juga dapat menjadi salah satu kriteria dalam seleksi (Diane dan Catherine, 2006; Assesmat et al., 2005). Namun kualitas buah nangka tidak hanya yang dapat dinilai dengan peralatan laboratorium seperti TSS (Total Soluble Solid) tetapi juga terdapat yang hanya dapat dinilai dengan alat indera seperti tekstur dan keharuman lewat mulut, sampai saat ini belum terdapat penelitian sebelumnya yang menggunakan uji sensoris untuk buah nangka matang. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian secara morfologi dan kimia telah dilaksanakan di India dan Bangladesh, namun penelitian tersebut bertujuan untuk pengembangan kultivar unggul dan belum terdapat penelitian yang menggunakan uji sensoris untuk menilai kualitas buah nangka. Jagadeesh et al. (2007) memilih 95 tipe nangka dari daerah berbukit (65 tipe) dan dari daerah pantai (30 tipe) di Karnataka, Western Ghats, India, sedangkan nangka tersebut dikategorikan di kluster secara statisitk berdasarkan 15 parameter fisik (berat buah, panjang buah, lebar buah, tebal kulit buah, berat kulit buah, berat ati (rachis), berat bulb (terdiri dari daging buah, biji, dan kulit biji), berat satu bulb, panjang bulb, lebar bulb, berat daging buah, tebal daging, persen bagian yang dapat dimakan, jumlah biji, berat biji) dan 7 parameter kimia (TSS, titratable acidity, rasio TSS: Acid, jumlah kandungan gula, gula reduksi, pati, karotenoid). Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas dari seleksi tersebut (91) dikategorikan di dalam satu kluster dan 4 tipe yang tersisa masing-masing dikategorikan di dalam 4 kluster yang berbeda. Ruby et al. (2010) melakukan penyelidikan di sembilan desa di Bangladesh Tengah, dengan menggunakan 900 pohon nangka, 300 pohon masing-masing di
6
sekitar pemukiman, lahan umum, hutan atau tanah bera. Di dalam daerah yang terpilih, 120 penduduk desa (laki-laki dan perempuan yang berbagai umur) ditanyakan dengan wawancara tak berstruktur tentang sejarah dan asal-usul pohon nangka yang berada di tanah privat, sekitar tanah privat, tanah bera, dan di dalam hutan. 20 karakteristik kualitatif (vigor pohon, umur pohon, struktur tajuk pohon, kepadatan cabang, tipe percabangan, permukaan batang, pola percabangan, bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, tekstur permukaan daun, warna daun, posisi buah di pohon, bentuk buah, bentuk penempelan tangkai buah, warna kulit buah, permukaan buah, bentuk duri, kepadatan duri, daya tarik buah) dan 8 karakteristik kuantitatif (dbh, panjang daun, lebar daun, panjang ujung daun, panjang tangkai buah, diameter tangkai buah, panjang buah, diameter buah) dinilai dan diukur. Karakteristik kuantitatif tersebut dianalisis dengan one-way ANOVA dan Principle Component Analysis (PCA), dengan mengecualikan dbh yang mengindikasi umur pohon untuk PCA. Data kualitatif dianalisis dengan frequency distribution analyses dan chi-square tests. Di antara 8 karakteristik kuantitatif, 7 karakteristik menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara kategori, dengan pengecualian panjang daun. Dari hasil PCA, terdapat kecendurungan yang jelas dari hutan/ tanah bera, desa, ke sekitar pemukiman dengan panjang buah dan diameter buah yang menjelaskan 93.6% dan 5.8% masing-masing di asosiasi tersebut. Apabila panjang buah dihilangkan dari PCA, hasil dari analisis tersebut sama dengan hasil dari analisis yang termasuk panjang buah, oleh karena itu, masih terdapat kecendurungan yang jelas dari hutan/ tanah bera, desa, ke sekitar pemukiman. Tetapi panjang buah menjelaskan mayoritas dari asosiasi tersebut, diameter tangkai buah dan lebar daun menjelaskan 31.2% dan 20.7% masing-masing. Sebaliknya, sebagian besar karakteristik kualitatif mirip di antara kategori tumbuhan
7
dan tidak terdapat tren yang jelas. Namun demikian daya tarik buah dan vigor pohon mununjukkan perbedaan yang signifikan di antara kategori. Untuk vigor pohon, pohon yang ada di hutan/ tanah bera lebih kuat secara signifikan daripada pohon dari kedua kategori tersebut. Untuk daya tarik buah, pohon yang ada di sekitar pemukiman lebih menarik secara signifikan daripada pohon dari kedua kategori yang lain. Azad et al. (2007) melaksanakan penyelidikan di 164 pekarangan yang terpilih secara acak dimana terdapat 2-5 pohon nangka di lima daerah agro-ekologi yang berbeda di Bangladesh, termasuk berbagai pola curah hujan: curah hujan yang sedikit, curah hujan yang medium, curah hujan yang banyak, dan juga daerah salinitas tinggi, dan daerah berbukit (dengan curah hujan yang banyak). Survei pertama dilaksanakan untuk mendapatkan informasi tentang kesukaan petani terhadap karakteristik unggul nangka yang berpotensi. Berdasarkan karakteristik yang diharapkan oleh petani, 70 pohon nangka dipilih dari 164 pekarangan tersebut. Karakteristik kuantitatif (berat buah, panajang buah, diameter buah, keliling buah, jumlah bulb, dan TSS, persentase daging buah, biji, ati, dan kulit buah) dan karakteristik kualitatif (bentuk buah, warna buah, keharuman daging buah, tekstur daging buah, banyak serat, kandungan air di daging buah, bentuk biji, bentuk daun) diukur dan direcord, sedangkan dianalisis dengan PCA. Berdasarkan hasil dari PCA, 70 individu dikategorikan dengan hierarchical cluster analysis (HCA). Dari 70 pohon yang terpilih berdasarkan kesukaan petani dan dari pengelompokan kluster dengan penyelidikan morfo-agronomik, 50 aksesi dikarakterisasi dengan menggunakan isoenzime. Berdasarkan hasil, musim buah, warna daging buah, tekstur, kemanisan, dan kesukaan petani, 10 pohon telah dipilih. Korelasi di antara data lingkungan, yaitu, suhu udara, curah hujan, bahan organik, nitrogen, fosfor, kalium, pH dan salinitas, dan
8
data kuantitatif dianalisis. Dalam sebagian besar pengelompokan aksesi, hasilnya tidak sesuai di antara kesukaan petani, penyelidikan morfo-agronomik, dan penyelidikan isoenzime. Tidak terdapat korelasi yang signifikan di antara data lingkungan dan beberapa karakteristik kuantitatif (panjang buah, diameter buah, keliling buah, jumlah bulb, persentase daging buah, persentase kulit buah), dengan menunjukkan bahwa kerakteristik tersebut terkendalikan secara genetik. Karakteristik yang lain seperti berat biji, berat bulb, dan TSS tampaknya terdominasi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Penelitian sejenis penelitian tersebut belum banyak dilakukan di Indonesia termasuk penelitian yang mengfokus ke populasi tumbuhan nangka di Pulau Jawa bahkan populasi tumbuhan nangka di Pulau Jawa dapat diduga dibudidayakan sejak jaman dahulu, berkontribusi di dalam kehidupan masyarakat desa, dan berpotensi tinggi sebagai sumber daya alam. Belum terdapat juga penelitian yang membahas hubungan antar morfologi, penggunaan lokal, serta sifat sensoris. 1.3
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana keanekaragaman morfologi tumbuhan nangka di Pulau Jawa? 2. Bagaimana penggunaan tumbuhan beserta buah nangka di Pulau Jawa? 3. Bagaimana sifat sensoris buah nangka di Pulau Jawa? 4. Bagaimana penyebaran pohon nangka yang menghasilakn buah berkualitas tinggi? 1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah memperoleh pemetaan/ mapping penyebaran
9
tumbuhan nangka di Pulau Jawa. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah, 1. Untuk mengetahui keanekaragaman morfologi tumbuhan nangka di Pulau Jawa. 2. Untuk mengetahui penggunaan tumbuhan beserta buah nangka di Pulau Jawa. 3. Untuk mengetahui sifat sensoris buah nangka di Pulau Jawa. 4. Untuk seleksi pohon nangka yang menghasilkan buah berkualitas tinggi dan memberi saran untuk penanam nangka baru. 1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memberi informasi tentang keanekaragaman morfologi tumbuhan nangka di Pulau Jawa. 2. Memberi informasi tentang penggunaan tumbuhan beserta buah nangka di Pulau Jawa. 3. Memberi informasi tentang sifat sensoris buah nangka di Pulau Jawa. 4. Memberi informasi seleksi tumbuhan nangka yang menghasilkan buah berkualitas tinggi.
10