1
Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar Segala puja hanya bagi Alloh, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu baik di langit, di bumi maupun diantara keduanya. Dan segala puji bagi Alloh Yang Maha Suci dari semua yang mempersekutukannya, Yang Maha Penyayang terhadap hamba-hambanya, dengan alam semesta sebagai tempat hidup umat manusia, tempat berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Maha Besar Alloh yang telah menyediakan segalanya sebagai ni‟mat untuk kemanfaatan bagi manusia.
Allohu Akbar, wa Lillahil hamd Pada pagi hari ini, ada ratusan juta wajah ceria dan hati berbahagia, serta ratusan juta lisan umat islam di seluruh penjuru dunia, mengumandangkan Tahmid, Takbir dan Taqdis sebagai pernyataan rasa syukur menyambut datangnya „iedul fithri, sekaligus keberhasilan menunaikan puasa ramadhan sebulan penuh. Memang „iedul fithri akan kehilangan semangat dan makna, tanpa bekas apa-apa bagi mereka yang tidak melaksanakan puasa ramadahan. Karena tanpa puasa ramadhan, tidak akan ada „iedul fithri. Keduanya terkait sangat erat, sangat intim, tidak dapat dipisahkan. „Iedul fithri merupakan hari berbahagia atas kemenangan, setelah sebulan lamanya berperang melawan hawa nafsu. Tidak makan, minum, ataupun melakukan aktifitas suami-istri selama siang hari. Pada pagi hari ini, kita diperintahkan untuk kembali berbuka seperti halnya kebiasaan sebelum ramadhan, sebagaimana akar katanya „aada, yang berarti kembali, dan fithri yang berarti berbuka. Makna ini sedikit berbeda dengan lazimnya orang memaknai „ied, sebagai saat untuk kembali suci seperti saat dilahirkan atau fithrah. Karena secara etimologis atau bahasa, fithri dan fithrah jauh berbeda. Satu Fathara (al-Fithru) dan satunya Fithrah, dengan ta‟ marbuthah.
2
Dalam
satu
riwayat
dari
Abu
Hurairah,
Rasulullah
SAW
menjelaskan, shaum adalah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri adalah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adha (yakni hari raya qurban) adalah pada hari kamu menyembelih hewan. Oleh karenanya, kita disunatkan untuk makan terlebih dahulu sebelum berangkat menunaikan sholat „ied. Sebagai pertanda bahwa ramadhan telah usai, dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama. Apapun tafsirannya, istilah „Iedul fithri pada prinsipnya merupakan ungkapan kegembiraan setelah sebulan berpuasa, dengan kemudian saling bermaaf-maafan. Di dalamnya terkandung makna penyucian hati, setelah melalui rangkaian tahapan puasa ramadhan dan zakat fithrah. Karena esensi puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga,
melainkan menahan diri
dari kata-kata tidak berguna
dan
menahan diri dari perbuatan tidak baik. Sedangkan esensi zakat sebagaimana dalam At Taubah 103 adalah , yaitu membersihkan dari kekikiran dan cinta berlebihan terhadap harta benda,
dan menyuburkan
kebaikan-kebaikan dalam hati. Sehingga esensi „iedul fithri melalui dua tahapan tersebut, lebih condong kepada makna fithrah. Melalui rangkaian ramadhan, zakat dan „iedul fithri, islam mengajarkan kepada umatnya tentang kesadaran toleransi dan nikmatnya kebersamaan, secara berulang-ulang setiap tahun. Karena „ied, dinamakan demikian sebab setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru. Hal ini senada dengan asal kemunculan „iedul fithri itu sendiri.
3
ِ صمَّى اهللُ َع مَع ْني ِه َعو َعسمَّ َعم ْنال َعم ِد ْنيَعةَع َعر ُس ْنو ُا اهلل َع
َعِد َعم:َع ْن َعَع ٍس َع َعا
َّ ُك: َعم َعه َعذا ِ ْنالَعي ْنو َعم ِ ؟ َع لُوا:َعولَع ُ ْنم َعي ْنو َعم ِ َعيْنم َع ُ ْنو َع ِ ْني ِ َعم ا َع َع َعا ِ ِِ ِ َع ْنم ِ ْني ِ م :صمَّى اهللُ َع مَع ْنيه َعو َعسمَّ َعم ْنال َع همَّية َع َع َعا َعر ُس ْنو ُا اهلل َع َع ُ َع ِ َّ اهللَع َع ْند َع ْن َعدلَع ُك ْنم ِ ِ َعم َع ْني ًرار ِم ْن ُ َعم ا َعي ْنوَعم ْنا َع ْن َع ى َعوَعي ْنوَعم ْنال ِ ْن ِر Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam berkata:
ان؟ ِ ان ْال َي ْو َم ِ َما َه َذ
“Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari
itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallllohu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ َّ اهللَع َع ْند َع ْن َعدلَع ُك ْنم ِ ِ َعم َع ْني ًرار ِم ْن ُ َعم ا َعي ْنوَعم ْنا َع ْن َع ى َعوَعي ْنوَعم ْنال ِ ْن ِر “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar Seperti halnya menyikapi perbedaan makna bahasa „iedul fithri, perbedaan hari raya pada tahun ini sebaiknya juga disikapi berdasarkan esensi makna yang terkandung di dalamnya, sesuai penggunaan dasar masing-masing pihak dengan tetap menghormati perbedaan yang ada. Yaitu tumbuh kembangnya nilai-nilai agama dalam jama‟ah melalui sarana ukhuwah islamiyah. Karena baik yang berhari raya Jum‟at maupun hari ini, semuanya adalah benar sesuai ijtihad masing-masing yang dilandaskan
4
pada hadits yang sama. Yang tidak benar dalam hal ini adalah mereka yang terus berpuasa dan sama sekali tidak berhari raya. Perbedaan Hari Raya jarang sekali bahkan hampir tidak ada di negara-negara di belahan dunia, selain Indonesia. Meskipun dikatakan penyebab perbedaan tersebut adalah cara pandang yang berbeda dalam menetapkan 1 Syawal, yaitu Ru‟yatul Hilal dan Hisab. Akan tetapi paling substansial
atau
terpenting
dikarenakan
banyaknya
Ormas
atau
organisasi Islam di Indonesia yang menetapkan lebaran dengan caranya sendiri-sendiri, sedangkan Pemerintah tidak memiliki legitimasi atau pengakuan yang cukup kuat dari ormas-ormas tersebut untuk menetapkan lebaran. Penentuan 1 syawal memang merupakan masalah ijtihadiyah. Namun karena menyangkut „ubudiyah, maka penentuan 1 syawal menjadi sangat penting karena kesalahan penetapan dapat menyebabkan umat meninggalkan ramadhan sebelum waktunya, atau berpuasa di hari tasyrik hingga menunaikan haji di tanggal yang salah. Hukum asal penetapan Hari Raya „Iedul Fithri pada awal bulan syawal adalah Ru‟yatul Hilal atau melihat bulan sabit. Ibnu „Umar meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda:
صو ُموا َح َّتى َت َر ُوا ا ْل ِهالَل َ َوالَ ُت ْفطِ ُروا َح َّتى َت َر ْوهُ َفإِن ُ الَ َت ُ ُ َُ َّ َ َ ْ ُ ْ َف ْا ُ ُروا ل Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya,.
ُ ُ َ َف ْا ُ ُروا لmaka kalian perkirakanlah.
Tampak dalam hadits tersebut 3 (tiga) cara dalam menentukan puasa dan „iedul fithri. Pertama, ru‟yatul hilal atau melihat bulan sabit dengan mata telanjang, selanjutnya jika tidak melihat sendiri maka cukup
5
dengan persaksian atau kabar tentang ru‟yatul hilal, dan jika tidak ada satupun yang melihat hilal maka cara ketiga adalah menyempurnakan bilangan ramadhan menjadi 30 (tiga puluh hari). Tidak ditemukan satupun hadits yang menerangkan penetapan puasa dan dua hari raya melalui metode penghitungan peredaran bulan dalam lingkaran tata surya alias hisab. Kelompok yang menggunakan hisab sebagai dasar penetapan lebaran, merujuk pada ketentuan Alloh dalam surat Yunus Ayat ke-5 untuk mempelajari astronomi, tapi tidak secara khusus untuk menetapkan awal puasa maupun hari raya.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Adapun penggunaan ru‟yat dalam menetapkan awal syawal, bukanlah karena pada waktu tersebut belum ada teropong canggih atau tidak dikuasainya ilmu astronomi yang tinggi oleh para shahabat seperti halnya sekarang. Melainkan lebih pada ketentuan syari‟at untuk mendahulukan perintah Alloh dan Rasul NYA sebelum pemakaian akal. Tidak menggunggulkan kemampuan akal dan pengetahuan melebihi sunnah Nabi, karena hal itu dapat berakibat munculnya sesuatu yang baru dalam agama atau bid‟ah. Namun dalam banyak hal, akal seringkali
6
berperan penting dalam mengukuhkan ayat-ayat Alloh maupun haditshadits Nabi SAW. Perbedaan yang ditimbulkan oleh hasil ru‟yat dan hilal semestinya menjadi motivasi, khususnya bagi pemerintah untuk melakukan unifikasi, penyatuan penetapan awal ramadhan dan awal hari raya sehingga umat tidak terpecah belah. Metode hisab dengan semua atribut peralatan canggihnya, seyogyanya digunakan untuk mendukung ru‟yat sehingga tidak terjadi kejadian “salah lihat” maupun “salah hitung”. Agar tercapai kesempurnaan dalam beragama dan ketaatan Kepada Alloh, Rasul NYA dan ulil amri atau pemerintah. Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar. Prinsip ukhuwah islamiyah memang harus diutamakan dalam menyikapi perbedaan lebaran, seperti halnya menyikapi perbedaan istilah „iedul fithri dan juga perbedaan-perbedaan lainnya dalam beragama. Sikap yang ekstrim dengan menganggap keputusannya paling tepat dan menuduh pihak yang tidak sependapat sebagai ahli bid‟ah, malah akan merusak ukhuwah dan memecah belah agama. Al Qur‟an menggariskan mereka sebagai bagian orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. Para ulama‟ manthiq atau ulama‟ ahli logika menganggap penilaian atas suatu perkara merupakan
bagian dari persepsi atau
cara
penggambaran tentang perkara itu sendiri. Sedangkan Islam adalah jalan tengah dalam segala hal, baik dalam hal konsep, akidah, ibadah, perilaku,
7
hubungan
dengan sesama manusia
maupun
dalam
hukum
dan
perundang-undangan. Sikap tengah atau moderat merupakan ciri khas Islam. Sikap ini merupakan salah satu di antara tonggak-tonggak, yang dengannya Alloh membedakan umat NYA dari yang lain, seperti ketika Alloh menjelaskan bahwa tidak akan menyia-nyiakan iman setiap orang atas ibadah yang dilakukan menurut ketentuan pada waktu tertentu.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Nash-nash Islam selalu menyeru kepada I‟tidal (moderat dengan beberapa toleransi tertentu), dan melarang sikap berlebih-lebihan antara lain, ghuluw (kelewat batas), tanatthu’ (sok pintar, sok konsekuen) serta tasydid (mempersulit) dan sebagainya. Sunnah Nabi SAW adalah jalan yang telah beliau rentangkan untuk memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama. Mengajarkan bagaimana berhubungan dengan Alloh, bagaimana memperlakukan diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitarnya, seraya memberikan kepada setiap orang akan haknya dengan seimbang dan lurus. Sikap ekstrim terhadap syari‟at sesungguhnya akan menyulitkan diri sendiri. Hal ini tidak terlepas dari fitrah manusia yang memiliki umur pendek dan sifat mudah bosan dengan segala keterbatasan kemampuannya. Tidaklah adil menuduh seseorang yang dalam beragama sematamata memilih pendapat fiqh yang agak keras (ketat) sebagai orang islam fanatik alias ekstrim, atau menganggap mereka yang suka menggunakan pendapat fiqh yang agak lemah sebagai orang yang menggampangkan
8
agama bahkan menudingnya sebagai ahli bid‟ah. Padahal diantara manusia ada yang suka mencari hal-hal ringan dalam beragama, seperti dicontohkan shahabat Ibnu „Abbas ra, namun ada juga yang cenderung memperberat dalam beragama (alias merdi-merdi dalam bahasa jawa), seperti halnya shahabat Ibnu „Umar ra. Karena Kadar keimanan dan kemampuan menjalankan syari‟at setiap pada hakekatnya berbeda-beda, sebagaimana manusia itu sendiri berbeda-beda dalam wujudnya. Perbedaan ini sangat mempengaruhi seseorang dalam menetapkan penilaian atas orang-orang lain, sebagai ekstrim, moderat ataupun menyia-nyiakan bahkan “menggampang”kan agama. Sebagai satu kasus yang saat ini sangat jamak berlaku di kalangan generasi muda Islam adalah sikap berlebih-lebihan dalam mengharamkan dan membid‟ahkan sesuatu hal. Seperti halnya “kewajiban” dalam tanda kutip, untuk memendekkan kain, baik sarung atau celana selain dalam urusan sholat, sehingga terkadang menyulitkan mereka dalam berinteraksi dengan sesamanya. Mereka beralasan bahwa memakai celana yang melebihi batas kedua mata kaki adalah haram, berdasarkan argumetasi hadits shahih :”Kain yang dikenakan lebih rendah dari kedua mata-kaki akan masuk neraka” serta hadits-hadits lain yang mengandung ancaman keras bagi mereka yang memanjangkan atau menjulurkan kain sarungnya. Padahal hadits-hadits „aam (umum) tersebut telah dikhususkan dengan hadits-hadits lain yang membatasi ancaman semacam itu hanya bagi yang melakukannya dengan maksud bermegah-megahan (riya‟) dan sombong. Mereka mengabaikan satu kejadian ketika Abu Bakar mengeluh kepada Nabi : “Seringkali kainku mengendur (turun ke bawah), kecuali bila aku
menaikkannnya
kembali.”
Kemudian
Rasulullah
menjawab;
”Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang melakukannya dengan kesombongan”.
9
Banyaknya urusan-urusan agama yang dalam pelaksanaannya kurang sesuai dengan syari‟at, membuat beberapa remaja Islam bersemangat, berkumpul dengan kawan-kawan sebaya dan sealiran, mengeluh dan mengungkapkan kekesalan hatinya berkenaan dengan keadaan buruk yang menimpa umat Islam. Kemudian, dengan khasanah pengetahuan
dari
buku-buku
agama
yang
dibaca,
mereka
mempersatukan diri dalam sebuah kelompok dengan tujuan memperbaiki apa yang telah rusak dan membangun kembali apa yang telah roboh. Mengira memiliki kemampuan untuk segera memenangkan yang haq dan mengalahkan yang bathil, serta menegakkan pemerintahan islam di muka bumi dalam tempo sesingkat-singkatnya. Menganggap sedikit halangan yang ada, padahal alangkah banyaknya dan membesarbesarkan kemampuan mereka, padahal alangkah kecilnya. Tanpa disadarinya mereka telah terjebak dalam angan-angan dan tertipu dalam ashobiyah, yaitu fanatisme berlebihan terhadap golongan sehingga segala pertimbangan dan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan golongannya itu. Na’udzubillahi mindzaalik.
Allohu Akbar wa Lillahil hamd, Kondisi semacam ini jika dibiarkan berlarut, maka sangatlah membahayakan persatuan umat islam. Lahirnya kelompok-kelompok Islam dengan gerakan-gerakan ekstrimnya yang mengatasnamakan Islam, merupakan dampak nyata yang sangat mengganggu stabilitas hidup beragama dalam negara, bahkan mengesankan Islam sebagai agama yang keras. Menegakkan syari‟at melalui dakwah adalah pekerjaan wajib yang mulia. Namun sebaik-baik dakwah adalah dengan perkataan baik, hikmah dan mujadalah yang baik pula. Sebab ada 2 sunnatullah yang kiranya banyak diabaikan para penegak purifikasi syari‟at atau gerakan pemurnian
10
islam saat ini, yaitu sunnah tadarruj dan sunnah yang berjangka waktu tertentu. Sunnah tadarruj adalah sunnatullah mengenai kejadian alamiah dan penetapan hukum syari‟at secara bertahap. Alloh berkuasa untuk menjadikan sesuatu seketika hanya dengan mengatakan “KUN!”, maka jadilah ia. Akan tetapi Alloh menciptakan Langit dan Bumi sebanyak tujuh lapis dalam enam masa. Demikian pula pada penciptaan manusia selama sembilan bulan lebih, tumbuhan, dan sebagainya. Karena kokohnya hasil sebuah dakwah bukanlah karena perjuangan sehari melainkan secara sabar terus-menerus. Sebagaimana pesan Shahabat Umar bin „Abdul „Azis, “aku khawatir bila memaksakan kebenaran atas manusia sekaligus, mereka mungkin akan meninggalkan kebenaran itu sekaligus pula sehingga timbul fitnah atau kekacauan. Adapun sunnah yang berjangka waktu tertentu, merupakan penyempurnaan atas peraturan (sunnatulah) terdahulu agar sesuatu mencapai kematangan dan kesempurnaan. Tindakan
melaknat
seseorang,
membid‟ah-bid‟ahkan
bahkan
mengkafir-kafirkan seseorang, terlebih sesama muslim, atau mengharamharamkan tradisi lokal yang telah mencengkeram kuat di masyarakat, pada akhirnya bukan membuat mereka menjadi lebih baik bahkan dapat lebih menjauhkan mereka dari kebenaran Islam. Rasululloh telah memberikan teladan dengan memberi sentuhan islam pada pesta-pesta jahiliyah seperti halnya proses Hari Raya „iedul fithri, dan beberapa tradisi hindu yang diberi nafas Islam oleh para wali songo. Sunnah di sini tidak hanya diartikan secara harfiah, tapi hendaknya dilihat juga proses dan esensi makna didalamnya. Sebagaimana sabda Nabi Ayyub dalam Surat Huud ayat 88 : Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. Melalui perayaan Hari Raya „Iedul Fithri tahun ini, dengan perbedaan yang ada, kita hayati benar-benar semua hikmah didalamnya.
11
Meningkatkan ukhuwah melalui silaturrahim yang lebih baik dengan keluarga, saudara dan tetangga. Dan berusaha memahami dengan baik segala perbedaan yang ada, serta mencoba meluruskan secara ma‟ruf kekeliruan yang timbul dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Semoga Alloh SWT menerima sholat kita, puasa kita, zakat kita, dan seluruh niatan baik dan ibadah kita, serta menjadikan kita semua sebagai umat yang satu, bersama-sama di bawah panji Muhammad pada hari kiamat. Amien.