5
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Oksida Besi dan Komposit Magnet Oksida besi dibuat menggunakan metode kopresipitasi pada suhu 70 oC, yaitu melalui pencampuran Fe3+ dan Fe2+ dengan penambahan larutan basa (NaOH) sehingga terbentuk Fe(OH)2 dan Fe(OH)3. Pemanasan pada suhu 70 oC menyebabkan proses pelepasan air atau hidrasi pada hidroksida besi sehingga terbentuk oksida besinya. Jumlah Fe3+ dan Fe2+ yang dicampurkan didasarkan pada nisbah mol 2:1. Nisbah mol Fe3+ dan Fe2+ (2:1) merupakan stoikiometri yang dibutuhkan untuk membentuk oksida besi dari fase magnetit atau Fe3O4. Pembuatan komposit oksida besi pada karbon aktif diawali dengan penjerapan ionion Fe2+ dan Fe3+ oleh karbon aktif. Ion-ion tersebut membentuk endapan hidroksida besi atau Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 lalu membentuk oksida besi karena proses hidrasi pada pemanasan di suhu 70 oC sehingga terbentuk
oksida besi yang terkomposit pada struktur karbon aktif. Fe2++ 2Fe3++ 8OHFe(OH)2 + 2Fe(OH)3 FeO.Fe2O3 atau Fe3O4 + 4H2O Pencirian Pencirian dengan XRD bertujuan menentukan fase oksida besi yang terbentuk pada sampel. Gambar 2 memperlihatkan pola difraksi sampel A, B, C, D, dan E. Pola XRD tersebut dapat dijelaskan dengan melihat puncak-puncak khas yang dihasilkan dari setiap sampel. Kemudian, puncak-puncak tersebut dibandingkan dengan puncak khas basis data program PCDFWIN versi 1.30 International Centre for Diffraction Data tahun 1997.
1600 1400 1200 A
1000 Intensitas
selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan dari sampel C, D, dan E dengan cara mendekatkan batang magnet permanen pada permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat ditentukan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (AAS). Ragam pH larutan dilakukan dengan cara menimbang sampel A, C, D, dan E masingmasing sebesar 0.05 g lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Sebanyak 50 ml larutan Cs+ dan Sr2+ 50 ppm ditambahkan lalu diatur pH 2-10. Setelah itu, penjerapan dilakukan dengan waktu kontak selama 24 jam lalu filtrat dipisahkan dari sampel C, D, dan E dengan cara mendekatkan batang magnet permanen pada permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat ditentukan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (AAS). Ragam konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+ dilakukan dengan menimbang masing-masing 0.05 g sampel A, C, D, dan E. Sebanyak 50 ml larutan Cs+ dan Sr2+ dengan variasi konsentrasi 10, 25, 50, 100, dan 200 ppm dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan penjerapan dilakukan dengan waktu kontak selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan dari sampel C, D, dan E dengan cara mendekatkan batang magnet permanen pada permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat ditentukan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (AAS).
800 B
600 400
C
200
D
0
E
0
20
40
60
80
100
2θ Gambar 2 Pola XRD pada sampel A, B, C, `D, dan E. Sampel A (karbon aktif) memiliki kesamaan puncak dengan basis data nomor arsip 02-0456 (Tabel 2). Nomor arsip tersebut merupakan puncak khas untuk pola
6
difraksi karbon (grafit) pada program PCDFWIN versi 1.30 (Lampiran 4). Tabel 2 Puncak XRD karbon aktif Sampel Puncak (2θ) Karbon (graphite) 26.506 PCPDFWIN 43.472 Nomor 02-0456 44.599 26.678 Sampel A 43.20 44.502 Oksida besi hasil sintesis pada penelitian ini (sampel B) memiliki kesamaan puncak dengan basis data nomor arsip 11-0614 (Lampiran 5) yang merupakan oksida besi dari fase magnetit atau Fe3O4 (Tabel 3). Tabel 3 Puncak XRD oksida besi Sampel Puncak (2θ) 18.277 30.105 Magnetit (Fe3O4) 35.451 PCPDFWIN 43.123 Nomor 11-0614 53.478 57.012 62.585 74.603 18.468 30.278 35.541 Sampel B 43.24 53.62 57.26 62.839 74.480 Kesamaan puncak ini menunjukkan bahwa sampel B merupakan magnetit. Selain itu, berdasarkan Oliviera et al. (2002), jarak bidang pendifraksi atau d = 2.50, 2.91, dan 1.60 Å menunjukkan keberadaan magnetit. Hal ini sesuai dengan jarak bidang pendifraksi yang didapat pada sampel B yaitu d = 2.52, 2.94, dan 1.60 Å. Gambar 2 juga menunjukkan kesamaan pola XRD sampel C, D, dan E dengan pola XRD sampel B. Hal ini menunjukkan terdapat magnetit pada sampel C, D, dan E. Kesamaan pola difraksi ketiga sampel tersebut dengan sampel B dapat diperjelas dengan melihat puncak-puncak khas yang dihasilkan dari setiap sampel (Lampiran 6). Keberadaan magnetit pada sampel C, D, dan E dibuktikan pula dengan melihat kesamaan puncak sampel-sampel tersebut dengan basis data nomor arsip 11-0614. Dengan demikian, dapat
dikatakan di dalam struktur karbon aktif telah terkomposit partikel magnetit. Namun, terjadi pelemahan pola difraksi sampel C, D, dan E seiring dengan berkurangnya fraksi oksida besi pada sampel (Gambar 2). Hal ini dikarenakan oksida besi yang terbentuk ditutupi keberadaannya oleh karbon aktif yang jumlahnya semakin meningkat. Selain itu, melemahnya pola XRD sampel C, D, dan E juga dapat disebabkan oleh terbentuknya fase oksida besi selain magnetit, yaitu hematit. Sampel C, D, dan E memiliki kesamaan puncak dengan basis data nomor arsip 13-0534 (Lampiran 7) yang menunjukkan fase oksida besi hematit atau αFe2O3 (Tabel 4). Menurut Oliveira et al. (2002), jarak bidang pendifraksi d = 2.70 Å menunjukkan keberadaan hematit. Hal ini sesuai dengan bidang pendifraksi yang dimiliki oleh sampel C, D, dan E masingmasing d = 2.66, 2.68, dan 2.69 Å. Tabel 4 Puncak XRD pada sampel C, D, E, dan hematit Sampel Puncak (2θ) Hematit (α-Fe2O3) PCPDFWIN 33.279 Nomor 13-0534 Sampel C 33.616 Sampel D 33.40 Sampel E 33.238 Melemahnya pola difraksi sampel C, D, dan E juga dibuktikan dengan hasil pencirian menggunakan VSM. VSM digunakan untuk mengukur nilai magnetisasi dan sifat magnet sampel. Sampel yang akan diukur diberikan medan magnet sebesar 1 Tesla dengan kecepatan tertentu. Jika sampel bersifat magnet, maka sampel akan mengalami magnetisasi sehingga menghasilkan momen magnet. Momen magnet yang dihasilkan akan menentukan sifat magnet dan nilai magnetisasi sampel. Hasil pencirian sampel B, C, D, dan E menggunakan VSM dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai magnetisasi paling besar dimiliki oleh sampel B yaitu 76.59 emu/g. Nilai magnetisasi yang besar pada sampel B sesuai dengan hasil pencirian dengan XRD sampel tersebut tersusun atas magnetit, fase oksida besi yang memiliki sifat magnet tertinggi (Sulungbudi et al. 2006). Magnetit termasuk bahan ferimagnetik, yang spin elektronnya tidak berpasangan memberikan medan magnet total yang besar.
7
100 80
B
Momen Magnet (emu/g)
60 40 C D E
20 0 -1
-0.5
0
0.5
1
-20 -40
Selain itu, lebih kecilnya nilai magnetisasi hasil VSM dari nilai yang seharusnya juga dikarenakan oleh adanya ion Fe2+ dan Fe3+ di dalam struktur karbon aktif yang masih berbentuk ion. Hal ini disebabkan oleh terhalangnya ion Fe2+ dan Fe3+ oleh oksida besi yang lebih dahulu terbentuk di dalam struktur pori berlapis karbon aktif. Pencirian menggunakan SEM bertujuan mengetahui perbedaan mikrostruktur permukaan oksida besi (sampel B), karbon aktif (sampel A), dan karbon aktif yang telah terkomposit oksida besi (sampel D). Keadaan struktur permukaan ketiga sampel tersebut dapat dilihat pada Gambar 4–6. Gambar 4 menunjukkan keadaan permukaan sampel B yang memperlihatkan bahwa sampel B terdiri dari partikel-partikel kecil oksida besi.
-60 -80 -100 Medan magnet (Tesla) Gambar 3 Hasil pencirian sampel B, C, D, ```````````````dan E menggunakan VSM. Sampel C, D, dan E berturut-turut memiliki nilai magnetisasi sebesar 26.5, 18.9, dan 11 emu/g. Nilai ini lebih kecil dari perhitungan yang didasarkan pada nilai magnetisasi sampel B per jumlah oksida besi pada setiap komposisi sampel C, D, dan E atau nilai yang seharusnya (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh terbentuknya fase oksida besi yang lain, yaitu hematit. Hematit merupakan fase oksida besi yang tidak memiliki sifat magnet sehingga jumlah Fe2+ atau Fe3+ yang merupakan prekusor pembentukan magnetit berkurang. Menurut Kahani et al. (2007), nilai magnetisasi sangat dipengaruhi oleh jumlah magnetit di dalam suatu sampel sehingga berkurangnya magnetit yang terbentuk akan berpengaruh pula pada nilai magnetisasinya.
Gambar 4 Foto SEM sampel B.
Gambar 5 Foto SEM sampel A.
Tabel 5 Nilai magnetisasi sampel A, C, D, `````````````dan E Sampel Hasil Hasil VSM seharusnya (emu/g) (emu/g) A 76.59 C 26.5 38.30 D 18.9 25.53 E 11 19.15 Gambar 6 Foto SEM sampel D.
8
Gambar 5 dan 6 juga menunjukkan secara jelas perbedaan struktur permukaan sampel A dengan D. Pori-pori sampel A terlihat lebih besar bila dibandingkan dengan sampel D. Selain itu, permukaan sampel D tampak lebih padat dibandingkan dengan sampel A. Hal ini dikarenakan sebagian permukaan karbon aktif pada sampel D dikelilingi dan ditutupi oleh partikel-partikel kecil oksida besi. Luas permukaan sampel A, B, C, D, dan E yang diukur menggunakan alat BET dapat dilihat pada Gambar 7.
Hasil pencirian dengan menggunakan XRD, VSM, dan SEM menunjukkan bahwa proses pengompositan partikel oksida besi (magnetit) pada karbon aktif menghasilkan suatu material baru yang dapat berperan sebagai penjerap dan juga bersifat magnet, yaitu komposit oksida besi-karbon aktif atau OB-KA. Sifat magnet yang dimiliki sampel ini akan memudahkan proses pemisahan karbon aktif dari medium berair. Hal ini dikarenakan komposit OB:KA dapat dikendalikan pergerakannya melalui tarikan oleh batang magnet permanen (Fisli et al. 2007) (Gambar 8).
1200.00 1057.00
Luas permukaan (m²/g) `````
1000.00
800.00
712.57 638.40
600.00
400.00 219.59 200.00 74.04 0.00 A
B
C Sampel
D
E
Gambar 7 Luas permukaan sampel A, B, C, `dan D Luas permukaan sampel A lebih besar daripada sampel C, D, dan E. Hal ini menunjukkan bahwa pengompositan partikel oksida besi ke dalam struktur karbon aktif akan menutupi permukaan karbon aktif dan karena itu, menurunkan luas permukaan (Tabel 6). Sampel E memiliki luas permukaan yang lebih besar daripada sampel C dan D. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sedikit jumlah oksida besi yang terkomposit, maka luas permukaan sampel akan semakin besar. Tabel 6 Penurunan luas permukaan sampel A, ```````````C, D, dan E Penurunan Luas luas Sampel permukaan permukaan 2 (m /g) (%) A 1057.00 C 219.59 79.23 D 638.40 39.60 E 712.57 32.59
Gambar 8 Sampel A, B, C, D, dan E yang `didekatkan dengan magnet `permanen. Uji Penjerapan Ragam Jumlah Adsorben Gambar 9 menunjukkan pengaruh jumlah adsorben terhadap penjerapan Cs+. Kapasitas penjerapan terbesar terjadi pada jumlah sampel A, C, D, dan E sebesar 0.0125 g, yaitu berturut-turut 42.19, 18.35, 18.31, dan 15.23 mg/g (Lampiran 8). Pengaruh jumlah adsorben terhadap kapasitas penjerapan Sr2+ dapat dilihat pada Gambar 10. Kapasitas penjerapan sampel A, C, D, dan E berturutturut sebesar 22.84, 22.44, 17.99, dan 20.34 mg/g (Lampiran 9). Kapasitas penjerapan terbesar ini juga terjadi pada jumlah sampel A, C, D, dan E sebesar 0.0125 g.
9
menurun karena semakin banyak.
45.0
jumlah
adsorben
yang
Kapasitas penjerapan (mg/g)``
40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 0
0.025
0.05 0.075 0.1 Jumlah adsorben (g)
Sampel A Sampel D
0.125
Sampel C Sampel E
Gambar 9 Pengaruh jumlah adsorben ````````````````````terhadap kapasitas ````````````````````penjerapan `Cs+.
25.0
Kapasitas penjerapan (mg/g)
20.0
15.0 10.0
5.0
0.0 0.000
Ragam Kondisi pH Larutan Komposit magnet oksida besi-karbon aktif yang digunakan pada uji penjerapan ragam pH larutan adalah OB:KA 1:2 (sampel D) dengan karbon aktif (sampel A) sebagai pembanding. Penggunaan sampel D dikarenakan sampel ini memiliki luas permukaan dan nilai magnetisasi yang besar bila dibandingkan dengan dua sampel lainnya. Pengaruh pH terhadap kapasitas penjerapan sampel A dan D dengan Cs+ sebagai adsorbat dapat dilihat pada Gambar 11. Kapasitas penjerapan sampel A dan D terhadap Cs+ semakin meningkat seiring peningkatan pH (Lampiran 10). Kapasitas penjerapan paling besar terjadi pada saat pH=5 dengan kapasitas penjerapan sebesar 6.55 mg/g. Namun, kapasitas penjerapan sampel A menurun pada pH=6. Penjerapan kembali meningkat pada pH 7-10, karena pada pH tersebut terbentuk endapan CsOH sehingga kapasitas penjerapan meningkat. Sementara itu, kapasitas penjerapan sampel D paling besar saat pH=7, yaitu sebesar 5.40 mg/g. Terjadi penurunan kapasitas penjerapan saat pH=8, namun meningkat kembali pada pH 9-10. Hal ini dikarenakan pada pH 9-10 terbentuk endapan CsOH sehingga kapasitas penjerapan meningkat. 12.0
0.025
0.050
0.075
0.100
0.125
Sampel A
Sampel C
Sampel D
Sampel E
Gambar 10 Pengaruh jumlah adsorben ````````````````terhadap kapasitas ``````````````````` `penjerapan Sr2+. Hasil uji penjerapan dengan ragam jumlah adsorben terhadap Cs+ dan Sr2+ menggambarkan bahwa kapasitas penjerapan menurun ketika jumlah adsorben ditingkatkan. Pada jumlah adsorben tertentu, adsorbat dan adsorben mengalami keadaan jenuh: tidak ada lagi adsorbat yang dapat terjerap pada adsorben. Dalam kondisi ini, peningkatan jumlah adsorben tidak akan berdampak pada peningkatan jumlah adsorbat yang terjerap (peningkatan kapasitas penjerapan). Sebaliknya, kapasitas penjerapan akan
Kapasitas penjerapan (mg/g)
10.0
Jumlah adsorben (g)
8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
pH Sampel A
Sampel D
Gambar 11 Pengaruh pH terhadap kapasitas `penjerapan Cs+. Gambar 12 memperlihatkan pengaruh pH terhadap penjerapan sampel A dan D dengan adsorbat Sr2+. Kapasitas penjerapan sampel A
10
dan D juga mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pH (Lampiran 11). Sampel A dan D memiliki kapasitas penjerapan paling besar pada pH=6, yaitu berturut-turut sebesar 11.28 dan 8.90 mg/g. Namun, kapasitas penjerapan sampel A menurun pada pH 7-8 dan meningkat kembali pada pH 9-10. Sedangkan, sampel D mengalami penurunan kapasitas penjerapan pada pH=7 dan meningkat kembali pada pH 8-10. Peningkatan kapasitas penjerapan sampel A dan D pada pH basa dikarenakan telah terbentuknya endapan Sr(OH)2.
(untuk Sr2+) (Lampiran 12 dan 13). Hal ini sesuai dengan pernyataan Qaiser et al. 2007 bahwa kapasitas penjerapan akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi awal ion logam. Kondisi ini terjadi karena semakin besar konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+ yang diberikan, akan semakin banyak pula Cs+ dan Sr2+ yang terjerap pada sampel. Hal ini terjadi bila keberadaan tapak aktif sampel masih memungkinkan untuk menjerap Cs+ dan Sr2+ yang konsentrasi atau jumlahnya semakin meningkat. 30.0 Kapasitas penjerapan (mg/g)
20.0
Kapasitas penjerapan (mg/g)
18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
4.0
0
2.0
50
100
150
200
250
Konsentrasi awal (ppm)
0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
Sampel A Sampel D
pH Sampel D
Gambar 12 Pengaruh pH terhadap kapasitas ```````` penjerapan Sr2+. Kapasitas penjerapan sampel A dan D terhadap Cs+ dan Sr2+ meningkat seiring dengan peningkatan pH. Hal ini dikarenakan pada pH asam terjadi kompetisi antara H+ dengan Cs+ dan Sr2+ untuk terjerap pada sampel (Qaiser et al. 2007) sehingga jumlah Cs+ dan Sr2+ yang terjerap sedikit. Seiring dengan peningkatan pH, jumlah H+ akan semakin sedikit sehingga kapasitas penjerapan akan meningkat. +
2+
Ragam Konsentrasi Awal Cs dan Sr Pengaruh ragam konsentrasi awal Cs+ dan 2+ Sr terhadap besarnya kapasitas penjerapan dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Gambar tersebut memperlihatkan peningkatan kapasitas penjerapan seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+. Kapasitas penjerapan sampel A, C, D, dan E terbesar terjadi pada konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+ sebesar 200 ppm, yaitu berturut-turut 23.95, 9.34, 12.06, dan 7.84 mg/g (untuk Cs +) serta 22.51, 23.94, 23.34, dan 16.26 mg/g
Gambar 13 Pengaruh konsentrasi awal Cs+ `````````````````terhadap kapasitas penjerapan `````````````````Cs+. 30.0 Kapasitas penjerapan (mg/g)
Sampel A
Sampel C Sampel E
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 0
50
100 150 200 Konsentrasi awal (ppm) Sampel A Sampel D
250
Sampel C Sampel E
Gambar 14 Pengaruh konsentrasi awal Sr2+ ````````````terhadap kapasitas penjerapan ```````````````` Sr2+.