l2ork
| .:i,l
Ih-Il'z€f ^\tzl \!
D,/-Wr g aw\ --tt :w
-
Y
N--
LabSosio FISIP-UI
BAPPENAS
PENYUSTNAN
INDIKATOR DEMOKRASI (REKOMONDASI KEBIJAKAN BAGI PENINGKATAI{ DEMOKRASI)
DOKUMEN'i.At.,i
& AiiSIP
BAPPEi{AS -?ay Acc. C
7?V(/ : .'..1'-{.#;(i
No.'
iass
-...1..V;
..-..y'
-
'
LAPORAN AICIIR
KERJASAMA ANTARA
DIREKTORAT POLITIK. KOMUNIKASI DAN INF'ORMASI, BAPPENAS DENGAN Lab,Sosio FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
MARET
2OO4
Inporan Al&ir penywsunan lndikator Demokrasi 2004
KATA PENGANTAR Kajian Penyusunan Indikator Demokrasi ini merupakan studi awal yang bertujuan terutama menyusun indikator demokrasi yang memenuhi aspek baku (intemasional) dan sekaligus sensitif pada konteks sejarah masyarakat Indonesia. Secara lebih khusus studi awal ini mencoba menganalisis derajat demokasi di Indonesia terutama aspek akuntabilitas anggota DPR pada konstituennya. Hal ini
dilengkapi pula dengan rekomendasi kebijakan untuk mendukung konsolidasi demokrasi.
Kami
dari Labsosio FISIP
Universitas Indonesia mengucapkan terimakasih
kepada para pembahas dalam seminar penelitian ini yakni Prof. Dr. Maswadi Rauf dan
Dr. J. Kristiadi. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Direktur politik,
Komunikasi dan Informasi, Bappenas dan segenap stafnya yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melakukan kajian mengenai demokrasi
selain
itu kami juga berterimakasih pada pemimpin
proyek
di
Indonesia.
,.pengembangan
Kelembagaan Perencanaan" Bappenas yang telah membantu pelaksanaan studi ini. Terimakasih juga kami sampaikan kepada Ketua Tim peneliti beserta anggotanya yang
telah menyelesaikan kajian ini. Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pihakpihak yang berkepentingan.
Kami mengharapkan agar penelitian ini dapat dikembangkan lagi menganalisis dan mendukung demokratisasi di Indonesia.
Depok, Maret 2004 LabSosio FISIP-UI Ketua,
Dr. Rochman Achwan
untuk
Indikator Akuntabilitas
Daftar Isi
D emolcrasi,
2004
:
Daftar Isi
l. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Tujuan Studi Kerangka Analisis Studi Metode dan Subyek Studi Konsep-KonsepKunci Pembatasan dan Keterbatasan Studi
2 2.1 2.2
Review Studi Demokrasi di Indonesia Studi Demokrasi Orde Baru Studi Demokrasi Pasca Orde Baru
3.
Studi Indikator Demokrasi
Pengantar Dasar Pemikiran Pokok Permasal4han
3.1. Pengukuran Demokrasi 3.2. Studi Indikator Demokrasi di Indonesia 3.3. Indikator Freedom House
I I 2 J J
6 6 7 8 8 16
22 22 27 30
4 Konstruksi dan Aplikasi Indikator Akuntabilitas 4.1 Konstruksi Indikator Akuntabilitas 4.2 Aplikasi IndikatorAkuntabilitas 4.3 Penyebab Akuntabilitas yang Rendah
47
V.
50
RekomendasiKebijakan
Bibliografi
39 39
4l
53
Indilator Akuntabilitas 1.
D
emalcrasi, 2004
PENGANTAR
1.1. Dasar Pemikiran Masalah pembangunan politik (demokrasi) seringkali tidak dimasukkan dalam perencanaan nasional dengan alasan bahwa hal tersebut lebih baik diserahkan pada
"p1*
politik" yang terdiri dari parpol dan publik dan berlangsung melalui pemilu.
Namun dilain pihak, seringkali publik kecewa dan malah terhadap sistem politik yang dianggap tidak responsif bahkan korup dimana agenda politik yang terjadi lebih bersifat
elitis dan dapat destruktif dengan melibatkan massa dalam pergulatan politik elit. Praktek
politik yang elitis ini tidak hanya mencegah partisipasi oleh publik melainkan juga berdampak negatif pada pembangunan ekonomi dimana pelaksanaan pembangunan
ekonomi menjadi terganggu
oleh praktek politik yakni persiapan pemilu yang akan
datang.
Masalah kacaunya pembangunan politik ini terjadi karena lemahnya infrastruktur
politik
sehingga pihak yang mempunyai kekuasaan politik tidak mendapat kontrol yang
ini menghasilkan situasi penyelewengan kekuasaan sesuai dengan dalil Lord Acton:"Power tends to comrpt and absolute power comtpts absolutely." memadai. Keadaan
Pembangunan
dimana
politik yang berarti pembangunan demokrasi tidak mengalami kemajuan
sistem demokrasi belum berkembang dari "Electoral Democracy" ke
"Representative Demo cracy" dan "Participaptory Democracy."
Dalam "Electoral Democracy", infrastruktur politik lebih diutamakan pada Pemilu yang "Jurdil" ("Free and Fair") dan hal ini merupakan tujuan dan sekaligus cara
("input") untuk "Representative Democracy" dimana para wakil rakyat melaksanakan prinsip akuntabilitas dengan melakukan komunikasi dengan publik di konstituensi yang
wakili. Singkatnya,
aktif melayani publik merupakan ciri "Representative Democracy" yang berjalan baik sementara jika publik menjadi sangat mereka
aktif maka hal
ini
para wakil rakyat yang
tercermin dalam "Participatory Democracy." Keadaan pembangunan
politik (demokrasi) di Indonesia masih berada dalam paradigma "Electoral Democracy" dimana pemilu yang sukses (seperti tahun 1999) seolah merupakan pesta dan puncak demokrasi.
I
r
ulikn tor Ak
Pembahasan dan pengukuran dinamika demokrasi
u t t trh iI i t ns
Dt t rokrnsi. 2004 r
di Indonesia relatif tertinggal
dibandingkan dengan bidang lain seperti ekonomi dan kependudukan. Data dinamika
kedua bidang tersebut sangat berguna bagi perencanaan kebijakan secara sektoral
maupun regional. Selama ini keadaan demokrasi di Indonesia telah diukur
dengan
berbagai indikator, misalnya indikator demokrasi dari Freedom House. Namun berbagai
indikator demokrasi tersebut kurang mendapat perhatian dari publik serta seperti terlepas dari
indikator di bidang-bidang lainnya.
Keberadaan indikator demokrasi yang tepat dapat menjadi "pintu masuk" (entry
point) bagi perencanaan untuk mendukung konsolidasi demokrasi. Indikator yang tepat akan dapat menghasilkan peta dinamika demokrasi Indonesia dilihat
dari
pentahapan
sejarahryakni:
o o o o
Demokrasi Liberal (1945-1959) Demokrasi Terpimpin (1959-1966) Demokrasi "Pancasila" (Orde Baru) (1966-1998) Demokrasi Pasca Orde Baru (1998-..)
1.2. Pokok Permasalahan
Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa permasalahan utama dalam kajian
demokrasi di Indonesia adalah kurangnya pengukuran dinamika demokrasi. Berbagai analisis demokrasi dari berbagai perspektif seringkali hanya berhenti pada deskripsi dan
eksplanasi demokrasi secara konseptual. Selama
ini tidak
terdapat analisis rutin
dinamika demokrasi Indonesia seperti misalnya dinamika pertumbuhan ekonomi atau perubahan dan mobilitas penduduk. Publik tidak mengetahui dengan jelas bagaimana
naik-turunnya atau "derajat" demokrasi dalam sejarah Indonesia. Demikian pula tidak 1
Lihat Kelompok Kerja
Bidang Politik, Bappenas. Pembangunan Politik: Konsolidasi Demolcrasi. Draft "Background study: Rencana PIP-Bidang Politik:2005-2025.]akarta: Bappenas, Desember 2002.
-
lndikator Ahtntabilitas Demokrasi, 2004
diketahiri bagaimana keadaan berbagai dimensi demokrasi (kompetisi, partisipasi dan akuntabilitas) dalam setiap tahap demokrasi lndonesia.
Kelemahan indikator demokrasi
yang
mempunyai aspek metodologis ini
berkaitan dengan analisis demokrasi yang akhirnya menjadi tidak jelas terutama demokrasi dalam perkembangan sejarah Indonesia. Selain itu lemahnya indikator dan pengukuran demokrasi rekomendasi kebijakan
ini berdampak pada lemahnya atau kurang diperhatikannya bagi pengembangan demokrasi. Dengan kata lain "naskah
akademik" peningkatan demokrasi
di Indonesia yang lemah
menghasilkan pula
"rekomendasi kebijakan yang kurang meyakinkan" bagi pihak pengambil keputusan dan publik.
1.3. Tujuan Studi Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka kajian
l.
ini bertujuan:
Menyusun indikator demokrasi, terutama aspek akuntabilitas dengan fokus pada
akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya. Tingkat akuntabilitas tersebut merupakan
hal yang penting dan dapat menjadi "entry point"
pengembangan demokrasi yang sesungguhnya. Indikator
bagi
ini diharapkan dapat
melengkapi indikator yang ada sehingga gejala demokrasi dapat diketahui secara
lebih komprehensif.
2.
Menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas
wakil rakyat pada
konstituennya.
3.
Mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas demokrasi.
1.4. Kerangka Analisis Studi2
Konstruksi Indikator demokrasi perlu dimulai dengan redefinisi demokrasi dengan melihat gejala yang nnenonjol Dalam berbagai demokrasi
2
di dunia
yakni
lemahnya demokrasi setelah pemilu.
lemahnya demokrasi pasca pemilu
Pembahasan bagian ini didasarkan pada Sujatmiko, 2002
ini
telah
lndilator Akuntabilitas Demokrasi, 2004 menghasilkan demokrasi yang elitis-oligarkis dan bersifat temporer. peringatan dan kekhawatiran seperti ini telah dikemukakan oleh J.J. Rousseau-pemikir klasik
demokrasi-{alam
The Social Contract ]196gl
17
62:
14 I
l:
"Sovereignty cannot be represented....Thus the people's deputies could not and should not be its representatives; they are merely its agents....fn" English people believe itself to be free, it is gravely mistaken; it is free only during the elections of Uembers of Parliament; as soon as the Members are elected, the people I enslaved; it is nothing."
Rousseau kurang mendukung demokrasi perwakilan dan lebih suka dengan demokrasi langsung yang dianggapnya bersifat populis ("direct democracy',). Dalam prakteknya demokrasi perwakilan ("representative democracy") tak terhindarkan karena semakin besarnya komunitas serta kompleksnya struktur dan dinamika masyarakat.
Dalam praktiknya kekhawatiran Rousseau seringkali terbukti dimana para wakil rakyat seringkali melupakan dan merugikan rakyat sebagai "pemegang saham" demokrasi.
Analisis atau prediksi Rousseau ini seringkali terjadi berulang kali dalam sejarah di banyak negara termasuk di Indonesia pada akhir-akhir ini. Analisis yang mirip dengan analisis Rousseau dikemukakan oleh Barber yang membahas Robert Michels yang terkenal dengan "lron Law of Oligarchy" (Barber dalam Axtmann, 2001: 297):
"....from the moment a democratic electorate chose a delegate, the delegate would increasingly distanced from his constituents. The gap grows und gro*s until, in the course of the representative's tenure, he is perceived -as (and tJ some degree becomes) one more oligarch from whom constituents can only feel aiienated." Kedua analisis diatas menunjukkan keadaan dimana demokrasi semakin kabur dan menghilang setelah berlangsungnya pemilu. Dalam pandangan publik luas maupun
analisis demokrasi terdapat suatu kecenderungan untuk mensinonimkan demokrasi dengan pemilu serta melihat "pesta demokrasi" hanya pada saat pemilu ketika rakyat berdaulat menentukan pilihan politik mereka. Pendapat yang menyatakan bahwa pemilu merupakan syarat "cukup" bagi demokrasi disebut "Electoralist falla cy', (Linz dan Stepan, 1996:4). Mereka berpendapat bahwa pemilu bukanlah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi.
lndikntor Akuntabilitas
D emobasi, 20 0 4
Berkaitan dengan hal diatas terlihatlah bahwi dinamika proses demokrasi hanya dapat ditelaah secara lebih realistik jika tersedia indikator-indikator demokrasi. Selama
ini daftar/perangkat indikator demokrasi yang ada seringkali hanya mengukur salah satu dimensi demokrasi, misalnya tentang pemilu sebagai kompetisi dalam demokrasi.
Indikator demokrasi yang komprehensif haruslah dapat mengukur dengan baik tiga substansi demokrasi yakni "persaingan kekuasaan" (contestation of power); ,.partisipasi
rakyat," Qtarticipation (accountab
of
peopte) dan "pertanggungiawaban yang berkuasa"
ility of t he pow e rful) (UNDP, 2002: 5 8).
Analisis kajian
ini
diarahkan untuk pembuatan indikator demokrasi yang dapat
memperjelas dinamika demokrasi
di
Indonesia serta memberikan arah bagi kebijakan
peningkatan demokrasi. Kerangka analisis akan dimulai dengan telaah kritis mengenai
definisi konseptual demokrasi serta indikator atau definisi operasional sehingga dapat dipetakan dimensi-dimensi dalam demokrasi. Fokus kajian ini akan dimulai pada pemetaan beberapa indikator demokrasi yang sering digunakan secara internasional,
terutama Indikator Freedom House. Berdasarkan dimensi demokrasi dalam berbagai indikator ini akan dilihat dimensi yang belum terbahas sehingga dilakukan upaya untuk mengintegrasikan dimensi tersebut dalam indikator yang akan dikontruksi. Sejalan dengan
kajian untuk menyusun indikator
tentang berbagai studi tentang demokrasi
di
demokrasi
maka telaah kritis
Indonesia akan dilakukan untuk melihat
sejauh mana hasil mereka dapat menjelaskan dinamika demokrasi di Indonesia. Selain
itu akan dianalisis bagaimana penggunaan indikator dalam studi demokrasi di Indonesia sehingga dapat dipetakan apakah indikator yang ada telah dapat menambah pemahaman kita serta menghasilkan rekomendasi yang tepat. Konstruksi indikator ini tidak dimaksudkan untuk mengganti atau merevisi total
indikator yang sudah ada namun indikator yang
ada.
Selain
itu
lebih
pada pembuatan indikator sebagai pelengkap
indikator ini akan dikaitkan dengan berbagai kebijakan
politik yang ada (dalam UUD, UU atau PP) sehingga dapat terlihat dcngan jelas keterkaitan dimensi dalam indikator dengan solusi atau rekomendasi yang ditawarkan.
Indikator Akun
1.5. Metode dan
tab
ilitas
D
emokr asi, 200 4
Subyek Studi
Metode dan subyek kajian terdiri dari:
1.
Studi kepustakaan dimana dilakukan telaah kritis terhadap berbagai studi dan
berbagai
indikator
demokrasi yang sering digunakan dan studi dinamika
demokrasi di Indonesia.
2.
Studi kepustakaan mengenai kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia, terutama yang terdapat dalam UUD dan UU Politik maupun dalam Anggaran Negara.
3.
Pengumpulan data primer melalui wawancara dengan
9 narasumber dilengkapi
dengan survey awal terhadap 57 mahasiswa.
1.6 Konsep-Konsep
Kunci
Dalam studi ini digunakan berbagai konsep kunci yakni:
Demokrasi: suatu sistem dimana "rakyatlah yang berdaulat" dalam studi ini difokuskan pada legislatif dan dilakukan melalui perwakilan yang pada tingkat nasional dilakukan oleh lembaga DPR.
Demokrasi Politik dalam studi ini demokrasi dibatasi pada "demokrasi politik"
yakni
sistem
dimana terdapat infrastruktur untuk "partisipasi"
(a.1. kebebasan
berparpol); "kompetisi" (a.1. mekanisme pemilu) serta "akuntabilitas" (pertanggung jawaban pada pemilik mandat). Dengan kata lain dalam studi ini tidak akan dibahas demokrasi dalam
arti luas yang seringkali
mencakup "demokrasi ekonomi" atau
"demokrasi hukum" (penegakan "rule of law").
Akuntabilitas: konstruksi indikator dalam studi ini dibatasi pada dimensi "akuntabilitas" yakni mekanisme dimana "pihak yang dititipi kedaulatan/mandat dapat
dimintai pertanggung jawaban (pertanggung-gugatan) oleh pemilik mandat." Dengan kata lain studi ini tidak akan membahas dimensi "partisipasi" dan "kompetisi" yang telah dibahas oleh Indikator yang ada seperti Indikator "Freedom House." Akuntabilitas dalam
studi ini adalah akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya. Dalam studi ini akan dibahas akuntabilitas wakil rakyat dilihat dari persepsi warga. Studi awal
ini
akan
Indikator Akuntabilitas
D emokrasi,
2004
merancang instrumen akuntabilitas dalam aspek representasi (memenuhi aspirasi warga konstituensi).
Indikator: suatu instrumen untuk mengidentifikasi dan memposisikan suatu gejala dengan menganalisis kegiatan nyata (misalnya, kunjungan ke konstituen) ataupun melalui
pendapat pakar baik secara kualitatif ("akuntabilitas rendah") maupun kuantitatif atau
survey ("80 persen setuju bahwa wakil rakyat lebih mementingkan parpol dan dirinya, bukan k6nstituennya").
1.7 Pembatasan dan Keterbatasan Studi
Studi mengenai indikator akuntabilitas demokrasi
ini
dibatasi pada indikator tingkat
nasional sehingga kurang dapat mengukur demokrasi pada tingkat propinsi, kabupaten dan desa. Namun berbagai prinsip dalam indikator
non-nasional. Demikian pula studi
ini dapat dikembangkan untuk tingkat
ini lebih memfokuskan
pada akuntabilitas wakil
rakyat walaupun dalam pembahasannya akan dibahas pula secara umum akuntabilitas
eksekutif (Presiden). Selain itu studi indikator demokrasi ini memerlukan lebih banyak data primer yang
seringkali tidak tercatat dengan baik atau tidak tersedia, misalnya
data
rentang
penggunaan anggaran dalam komunikasi antara wakil rakyat dengan konstituennya.
lndilator Akuntabilitas
D emokrasi.
2004
2. REVIEW STUDI DEMOKRASI DI INDONESIA
.
Secara umum dapat dikatakan bahwa berbagai studi demokrasi dengan
menggunakan beragam perspektif mengenai masa Orde
Baru mempunyai kesimpulan
yang relatif sama. Perspektif yang beraliran liberal atau Marxian mempunyai kesimpulan yang sama-walaupun dengan penjelasan yang berbeda-- bahwa demokrasi pada periode
tersebut berada dalam keadaan yang lemah. Persamaan lain dari perspektif tersebut adalah dari segi metodologis dimana analisis mereka lebih bersifat kualitatif dan tidak menggunakan data kuantitatif.
2.1. Studi Demokrasi Orde Baru Studi politik tentang demokrasi
di Indonesia
pada era Orde Baru sebenamya
menunjukkan betapa tidak demokratisnya rezim yang berkuasa pada era ini. Sehingga yang digambarkan oleh para ahli politik adalah kebijakan-kebijakan rezimyang dianggap
bertentangan dengan demolaasi. Namun, yang menarik adalah rezim Orde Baru
mengklaim bahwa lndonesia mengembangkan demokrasi yang berlandaskan ideologi Pancasila, sehingga disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Menurut William Liddle penggunaan kata demokrasi pada Demokrasi Pancasila merupakan suatu tipu muslihat
untuk menutupi politik otoriter dari rezim Orde Baru. Liddle menegaskan:
"...
their use
of democracy amounted to an Orwelian deception. In fact the regime was a complex hierarchy of authoritarian institutions designed to curtail political participation and enable Suharto and the military to control society"(1999:40).
Selanjutnya Lidlle menggambarkan Demokrasi Pancasila dilihat dari kebijakankebijakan politik dari rezim Orde Baru. Pertama, sistim kepartaian dan pemilu. Sejak 1974,hanya tiga partai politik yang diperkenankan hidup yaitu Golongan Karya (Golkar),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam wacana politik pada era ini, partai pemerintah Golkar menolak menyebut dirinya sebagai
partai politik, para pemimpinnya termasuk Prsiden Suharto menyebut Golkar sebagai "organisasi peserta pemilu". Alasannya adalah partai-partai hanya mewakili sebagian dari
lndilutor Akuntabilitas Demakrasi, 2004
bangsa dan oleh karena
itu
terpecah-pecah, sedangkan Golkar mewakili seluruh
komponen masyarakat Indonesia (Liddle, 2000: 60).
Kedua partai politik lainnya, PDI dan PPP, merupakan hasil fusi partai politik yang dipaksakan oleh rezim terhadap partai-partai yang sudah ada sejak 1950'an. PDI merupakan gabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), yang memiliki kaitan yang
erat dengan Presiden Sukarno yang mendapatkan suara terbanyak yakni 23 %o dari seluruh suara pada Pemilu 1955 yang dianggap sangat demokratis, dengan dua partai
kecil kaum nasionalis serta partai-partai berbasis agama dari umat Protestan dan Katolik. Sedangkan PPP merupakan gabungan dua partai Islam yang besar
di
Indonesia,
Nahdhlatul Ulama (NU) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dengan dua partai
kecil yang juga berazaskan Islam. Perlu diingatkan bahwa NU meraih 18 o/o suara pada Pemilu 1955 dan Parmusi merupakan kelanjutan dari Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) yang memperoleh suara lebih tinggi dari NU yaitu sebanyak2l
o/o
suara. Dengan melihat
hasil perolehan suara dari PNI, Masyumi, dan NU di dalam Pemilu 1955, maka ketiga partai politik ini merupakan partai-partai besar yang memiliki pendukung yang luas di dalam kehidupan politik di Indonesia. Selama era Orde Baru, PPP dan PDI mengalami kemunduran akibat kebijakan
politik dan bahkan intervensi dari rezim ke dalam organisasi partai-partai tersebut. Dikatakan oleh Liddle: "Neither PDI nor PPP was allowed to have branches below the
district level, while Golkar existed wherever there was a goverrrment office, which included every village in the country"
(999:43). Untuk
mendapatkan loyalitas yang
tinggi dari anggota Golkar, maka pada awal Orde Baru sebagian besar pimpinannya
mulai dari tingkat nasional sampai tingkat desa adalah anggota ABzu dan para purnawirawan ABRI. Para pimpinan PPP dan PDI adalah mereka yang dipilih berdasarkan persetujuan atau pilihan penguasa. Hanya pada pemilihan Megawati Sukarnoputri pada 1993 sebagai ketua umum PDI, pemerintah tidak dapat memaksakan calonnya. Tetapi menjelang pemilu 1997, kedudukan Megawati sebagai ketua umum PDI berhasil digoyang oleh pemerintah sehingga Megawati digantikan oleh Suryadi.
lndilutor Akuntabilitas Demolcrasi, 2004 Sejak 1971, dalam menghadapi pemilu, para calon legislative di tingkat nasional,
propinsi, kabupaten, dan kotamadya harus lulus. screening dari kemungkinan bahwa mereka terkait dengan ekstrem
kiri (komunis) atau ekstrem kanan (Islam militan) yang
dimusuhi oleh penguasa. Para kandidat yang dianggap vokal terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah umumnya tidak lulus dari screening, sehingga yang berhasil menjadi anggota legislative adalah para pendukung-rezim Orde
Baru. Hal ini sangat menonjol pada pengangkatan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tugasnya antara lain adalah memilih presiden dan wakil presiden. Dikatakan oleh Liddle: "Komponen penting lainnya dari Demokrasi Pancasila adalah pengangkatan
500 orang anggota MPR yang prosesnya dikontrol baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh Suharto" (2000:
6l). Di samping itu, bila didapatkan anggota DPR, DPRD,
dan MPR yang vokal maka dia akan ditarik dari lembaga yang bersangkutan dengan tindakan yang disebut recall. Tindakan ini merupakan salah satu bentuk kebijakan rezim Orde Baru untuk meredam oposisi.
Kampanye hanya berlangsung satu periode selama kurang dari satu bulan menjelang pemilu. Selama kampanye, para para pemimpin partai dari PPP dan PDI sangat mungkin dilecehkan, tidak diizinkan mengadakan pertemuan-pertemuan dan arakan-arakan, ditangkap dengan tuduhan palsu. Tindakan represif juga dilakukan oleh
aparat keamanan terhadap massa pendukung PPP dan
PDI,
sehingga tidak
mencengangkan bila Golkar selalu memenangkan lebih dari 60 %o suara, bahkan lebih
dari 70
o/o
suara pada Pemilu 1987 dan 1997 (Liddle,
2000: 60). Sedangkan PPP selalu
menempati umtan kedua dan PDI pada urutan ketiga. Dengan demikian, Golkar merupakan mayoritas di dalam DPRD, DPR, dan MPR. Ditambah dengan unsur ABzu dan Utusan Daerah yang pro rezim dan tidak adanya calon altematif selain Suharto dalam
pemilihan Presiden, maka tentu saja Suharto selalu dipilih sebagai Presiden selama era Demokrasi Pancasila.
Kedua, adanya dukungan militer terutama Angkatan Darat (AD) terhadap rezim Orde Baru. Dikatakan oleh Liddle bahwa: "Selama 32 tahun, dari 1966 sampai 1998, AD
tetap merupakan basis kekuatan utama Suharto" (2000: 54). Suharto berhasil dalam
lndikator Akuntabilitas
D emokrasi,
2004
meldkukan kontrol terhadap militer Indonesia dengan menempatkan orang-orang kepercayaarnnya pada posisi strategis
di jajaran ABRI. Tokoh-tokoh .militer
yang
menentangnya mendapatkan sangsi mulai dari penugasan keluar negeri sebagai duta
besar sampai dihukum penjara sebagaimana dialami oleh mantan Panglima Divisi Siliwangi H.R Dharsono.
Melalui penerapan konsep Dwi Fungsi ABRI, maka rezim mengangkat personil militer pada pelbagai lembaga yang dianggap penting untuk mempertahankan status quo. Mengenai hal
ini, Liddle menunujukkan bahwa: "The armed forces implemented
the
interventionist dual-function doctrine by placing active and retired military personnel in the assembly, parliament, and provincial and district legislatures; in executive and staff positions in central, provincial, and district administration; in positions of formal and
informal authority over Golkar; and by keeping the population under surveilance through territorial commands that covered the country from Jakarta to the outermost islands and down to every village" (1999: 44-45). Hasil observasi ini menunjukkan betapa luasnya dominasi militer di dalam kehidupan politik lndonesia pada era Orde Baru, kendatipun
militer tidak ikut memberikan suara pada setiap pemilu. Ketiga, adalah monoloyalitas pegawai negeri terhadap rezim Orde Baru. Sejak awal Orde Baru, penguasa melakukan pembersihan terhadap para pegawai negeri yang
terkait dengan partai-partai politik. Bagi mereka yang ingin tetap menjadi pegawai negeri, maka mereka dilarang melakukan aktivitas yang mendukung partai-partai politik
selain Golkar. Dikemukan oleh Liddle bahwa:
"At
goverrlment ministeries required their subordinates to
president's direction, most
join and support Golkar"(1999:
45). Dimotori oleh Departemen Dalam Negeri yang mengontrol jajarannya sampai ke tingkat desa, maka seluruh pegawai negeri berhimpun pada Korps Pegawai Negeri
Republik Indonesia (Korpri). Organisasi
ini
menjadi salah satu pilar atau tulang
punggung rezim Orde Baru dalam mempertahankan kemenangan Golkar di dalam setiap
pemilu dan pembangunan nasional. Keempat, melakukan kontrol terhadap media-massa. Walaupun tidak ada undangundang tentang sensor terhadap media-massa, namun pemerintah tidak ragu-ragu untuk
lndikator Akuntabilitas
D e mokrasi,
2004
menutup kegiatan media-massa yang dianggap menentang rezim orde Baru. Menurut Liddle: "There was no press censorship in Indonesia, according to law, but the
govenrment could issue, or retract, a publishing license. tn 1994, to cite a notorious example, the govemnrent withdrew at a single stroke the licenses of three major newsweeklies. one of these was Tempo, the prestigious 23-year-old equivalent of Time or Newsweek in the United States" (1999: 43). Hal ini rnenunjukkan bahwa rezim tidak memperkenankan berita-berita yang mencemarkan nama baik penguasa karena dapat menimbulkan opini yang merusak legitimasi rezim orde Baru.
Kelima, kontrol terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan. Untuk meredam kritik atau perlawanan dari warga masyarakat yang berasal dari pelbagai kategori sosial dan profesi, maka penguasa mengkooptasi mereka ke dalam organsiasai-organisasi yang dikontrol oleh penguasa. Ditunjukkan oleh Liddle bahwa: "Nationwide there was only
one legal labor union, the government-sanctioned Pan Indonesian Workerws, Union (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, or SPSI), and only one Chamber
of Commerce and Industry (Kamar Dagang dan Industri, or Kadin). Women, youth, the professions, and other social categories were organized in the same way" (1999: 43). Termasuk yang juga dikendalikan oleh penguasa adalah para wartawan yang hanya diperkenankan untuk berhimpun ke dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (pWI) yang pimpinannya selalu ditentukan oleh pihak penguasa. Bahkan kemudian, mantan pimpinannya yaitu Harmoko, dalam perjalanan karirnya menjadi salah satu orang dekat presiden Suharto
dimana Harmoko diangkat sebagai Menteri Penerangan, Ketua Golkar, dan terakhir sebagai Ketua MPR. Fenomena ini menunjukkan bahwa mereka yang loyal terhadap penguasa akan mendapatkan imbalan berupa kedudukan
politik yang prestisius di dalam
sistim politik Demokrasi pancasila.
Keenam, penetapan Pancasila sebagai azas tunggal untuk seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan. Kebijakan ini dikemukakan oleh presiden Suharto pada pertengahan 1980'an dalam rangka menolak konflik dikemudian hari baik itu yang berasal dari kelompok militan Islam yang mengiginkan terbentukn),a negara Islam maupun pengaruh ideologi Marxist ke dalam masyarakat. Berkenaan dengan cita-cita
Indilcator Akuntabilitas Demokrasi, 2004
dari militan Islam, Liddle mengambil pendapat seorang'tokoh intelektual Islam, M. Syafi'I Anwar bahwa: "Banyak musuh lama rezim, anggota-anggota Islam sayap kanan, diperkenankan berpartisipasi di dalam ICMI, dan sebagai imbalannya mereka melepaskan
sikap oposisi anti pemerintah" (2000: 59). Fenomena ini menunujukkan bahwa ketika Presiden Suharto mulai berdekatan dengan pihak Islam, dia tetap menolak adanya cita-
cita ataupun upaya untuk menegakkan negara Islam di Indonesia. Presiden Suharto pun menerima kehadiran ICMI tidak hanya karena organisasi ini dipimpin oleh salah satu orang kepercayaannya, Habibie, tetapi terutama karena
ICMI memberikan contoh sebagai
organisasi Islam yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya prinsip
di
dalam
kehidupan politik Indonesia.
Ketujuh, berkaitan dengan tingginya pluralitas (kemajemukan) masyarakat Indonesia, Liddle berpendapat bahwa: "secara budaya, Indonesia adalah negara multietnik, yang pada umumnya dipandang sebagi faktor yang tidak menguntungkan bagi demokrasi" (2000: 52).Ia melihat bahwa mayoritas Muslim teqpisah kedalam kelompok
tradisionalis dan modernis, dan terdapat minoritas umat Keristen, Hindu dan agama lainnya yang cukup kuat. Karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah orang Jawa, maka yang menonjol adalah budaya Jawa yang hierarkis, aristokratis, menaruh hormat kepada yang lebih tua, merupakan budaya yang tidak cocok bagi suatu pemerintahan
yang demokratis (2000: 53). Dengan demikian, Liddle beranggapan kemajemukan masyarakat yang begitu tinggi dan budaya yang feodalistik merupakan faktor-faktor yang dapat menghalangi proses demokratisasi politik di Indonesia.
Kedelapan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa disertai distribusi hasil-hasil pembangunan yang dianggap adil oleh masyarakat ternyata tidak mendukung kepada proses demokratisasi (Liddle, 2000: 5l-52).Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi yaitu rata-rata lebih dari
6
Yo per tahun, tetapi Indonesia tetap
merupakan negara yang relatif miskin dibandingkan dengan negara-negara di Asia yang
sudah mulai demokratisasi seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand. IIasil pembangunan secara regional terutama berada di Indonesia Barat, khususnya di kota-kota
besar di Jawa, dan di tangan sekelompok elit pengusaha keturunan Cina (Liddle, 2000:
rd
Indilator Akuntabilitas
5l).
Sehingga sebagian besar rakyat lndonesia masih berada
di dalam
D emokrasi,
2004
keadhan miskin
yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketegangan politik antara pribumi dengan etnis
Cina. Namun, diakui oleh Liddle bahwa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi itu di lain pihak berfungsi untuk mempertahankan legitimasi pemerintahan rezim Suharto. Para ahli
politik lainnya membahas tentang pelbagai aspek dari politik Orde Baru,
seperti Harold Crouch menulis tentang peran militer Indonesia (197g), Ben Anderson tentang konsep "negara" orde Baru (1983), Karl D. Jackson tentang ..bureaucratic
polity", dan Richard Robison tentang bangkitnya kelompok kapitalis yang difasilitasi oleh elit politik Indonesia (1986). Namun, nrlisan mereka menunjukkan betapa otoriternya rezim Orde Baru sebagaimana dilakukan oleh Liddle. Kelebihan tulisan Liddle adalah lebih komprehensif dan mencoba mengkaitkan kebijakan-kebijakan politik
rezim Orde Baru dan kondisi masyarakat Indonesia sebagai faktor-faktor yang berlawanan dengan ide demokrasi, meskipun rezim Orde Baru mengklaim bahwa sistim
politik Indonesia berdasarkan Demokrasi pancasila. Pada akhir dekade 1980'an, rezim Orde Baru melakukan kebijakan-kebijakan
politik yang menarik perhatian para ahli politik tentang Indonesia karena ada
kesan
bahwa rezim Orde Baru akan melakukan demokratisasi. Menurut Jacques Bertrand: "From the end of 1989 to the summer 1994, Indonesia experienced a period of greater political openness (keterbuka an)" (1996: 325).
Dalam masa singkat keterbukaan ini, rezim Orde Baru melakukan pelbagai tindakan liberalisasi politik seperti: melonggarkan pengawasan terhadap media-massa, pembebasan terhadap beberapa tahanan
politik, mentolerir kritik, demonstrasi dan protes
terhadap kebijakan rezim, serta pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan PTUN. Namun, liberalisasi politik dilakukan dalam kendali rezim dan ketika rezim merasakan keterbukaan politik mulai menyulitkan kedudukan rezim,
maka rezim kembali berusaha untuk mengetatkan kontrol terhadap pelbagai manuver
politik yang menentang rezim. Sehingga Bertrand berpendapat bahwa: "By allowing keterbukaar, Suharto did not intend to follow a path of democratization" (1996:325).
ir
Indilcator Akuntabilitas De molcrasi, 2004
Seorang analis
politik Indonesia lainnya, Leo Suryadinata, juga melihat fenomena
ini dan adanya kebijakan demiliterisasi yang dilakukan oleh Suharto pada posisi pimpinan Golkar dan lembaga eksekutif (1997). Leo berpendapat bahwa keterbukaan
keterbukaan dilakukan oleh Suharto sepanjang tidak menggoyahkan kekuasaannya. Dengan lain perkataan, Leo menegaskan bahwa:
"
Suharto is not ready for genuine
democracy, and the so-called democratization process is allowed as long as it does not 'affect his power" (1997: 277). Kendati pun terjadi demiliterisasi, namun rczimOrde Baru tetap mempertahankan doktrin Dwi Fungsi ABzu yang dapat digunakan oleh rezim untuk
menghalangi demokratisasi. Sehingga
Leo
berkesimpulan bahwa: "Thus, real
democratization may come only in the post-Suharto era" (1997 280).
Kedua ahli politik Indonesia
ini,
Jacques Bertrand dan
Leo
Suryadinata,
menunjukkan kesimpulan yang sama bahwa keterbukaan merupakan indikator dari adanya liberalisasi politik, tetapi tetap dikendalikan oleh rezim Orde Baru. Sehingga
liberalisasi politik yang tidak diikuti oleh kebijakan-kebijakan politik lainnya yang mengarah pada transisi demokrasi, tidak akan merubah sistim
politik
menjadi
demokratik. Fenomena liberalisasi politik ini juga terdapat pada negara-negara lainnya dengan sistim politik yang otoriter. Sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Huntington:
"Liberalization may or may not lead to full-scale democratization" (1991:9). Dengan demikian, terhentinya liberalisasi politik pada 1994 mengisyaratkan kembalinya sistim
politik ke arah otoriter. Namun, pengalaman keterbukaan politik dan masih eksisnya lembaga PTUN dan Komnas HAM memberikan motivasi dan peluang bagi para pendukung demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Dalam melihat rezim Orde Baru memasuki 1990-an, seorang ahli ilmu politik dari Indonesia, Afan Gafar menyatakan bahwa: "Kekuasaan Kepresidenan merupakan pusat
dari seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia. Lembaga tersebut merupakan pembentuk dan penentu agenda sosial, ekonomi, dan politik nasional. Kekuasaan presiden demikian besarnya, karena presiden mampu mengontrol rekruitmen politik dan
memiliki sumber daya keuangan yang tidak terbatas" (1999: 3l). Menguatnya lembaga kepresidenan tampaknya lebih karena kesinambungan Suharto dalam menduduki iabatan
lndilutor Akuntabilitas
D
emakrasi, 2004
sebagai kepala negara selama tiga dekade sejak akhir 1960-an. Dengan masa jabatan
presiden yang begitu lama dipegangnya, Suharto bertambah kuat posisinya dalam mentukan kebijakan-kebijakan negara. Hal
ini
karena dia mampu menguasai jajaran
militer dan birokrasi pemerintah.
2.2. Studi Demokrasi Pasca Orde Baru
Studi demokrasi pada periode ini belum banyak dilakukan oleh para ahli politik lndonesia. Sehingga sulit untuk mendapatkan studi yang komprehensif tentang Indonesia
yang dilakukan oleh para ahli politik Indonesia. Pada bagian pelbagai tulisan dari mereka yang mengamati perubahan
ini akan memadukan politik di Indonesia setelah
turunnya Presiden Suharto pada akhir Mei 1998. Setelah lengsernya Presiden Suharto, maka naiklah Habibie dari kedudukan Wakil
Presiden menjadi orang nomor satu di Indonesia. Bab
III, Pasal 8 dari Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa bila presiden wafat, mengundurkan diri atau tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya selama masa jabatannya, dia digantikan oleh
wakil presiden sampai masa jabatannya berakhir. Para ahli politik
Indonesia
memperkirakan bahwa masa jabatan Habibie akan singkat karena para pendukung reformasi akan menjatuhkannya sesegera mungkin agar perubahan politik ke arah sistim
politik yang demokratik dapat berjalan lebih cepat. Banyak orang berpendapat bahwa Habibie sebagai pewaris Orde Baru akan menghambat jalannya proses demokratisasi.
Namun, kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Habibie justru mendukung proses demokratisasi atau dapat pula hanya merupakan strategi untuk mencari dan membangun dukungan kekuasaan ("power base"). Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:
Pertama, kebebasan pers di Indonesia. Habibie membebaskan pers dari kendalakendala peraturan-peraturan yang ketat yang telah menghalangi para insan pers untuk memberitakan kesalahan-kesalahan Orde Baru, dan mengumumkan bahwa surat-surat kabar dan majalah-majalah yang dahulu dilarang akan diizinkan terbir kembali (Liddle, 2000: 57). Kebijakan ini penting karena pers yang bebas dari tekanan atau sensor dari
Indikator Akuntabilitas
D emolcrasi,
2004
rezim yang berkuasa merupakan salah satu pilar dari demokrasi. Tanpa adanyakebebasan
pers, sulit bagi warga negara dan kelompok oposisi untuk menyuarakan kritik dan kepentingan mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Donnald K. Emmerson : ..He
(Habibie) relaxed restrictions on expression, more than doubling the number of publishing permits and allowing media criticism to flourish" (1999:336). Jadi peran yang hakiki adalah, kebebasan pers memungkinkan insan pers dan warga negara untuk dapat mengontrot peri tat
Kedua,jumlah partai politik tidak lagi dibatasi oleh Undang-Undang hanya dua, PDI dan PPP, serta partai pemerintah Golkar. Hal ini menandai berakhirnya sistim partai tunggal yang didominasi oleh Golkar selama Orde Baru dan kembalinya sistim multi partai seperti awal Orde Baru atau sebelum adanya Undang-Undang tentang fusi partai
politik. Akibatnya adalah orang-orang begitu berminat untuk mendirikan partai politik dan begitu banyak partai politik yang ikut serta pada Pemilu 1999. Walaupun sistim multi partai
di lain
negara seperti Malaysia dan Singapura tidak menunjukkan demokrasi
politik sepenuhnya, namun untuk Indonesia mempunyai pengaruh yang besar dalam proses demokratisasi.
Sistim multi partai membebaskan para warga negara untuk tidak lagi dipaksa memilih Golkar dan Golkar tidak mempunyai hak-hak istimewa sebagaimana era Orde Baru. Semua partai politik mempunyai hak yang sama untuk mendirikan perwakilan mereka hingga tingkat desa, tidak hanya Golkar. Partai-partai diizinkan untuk melakukan
kegiatan politik sebelum dan sesudah Pemilu. Sehingga para pengamat politik sudah memperkirakan kekalahan Golkar pada Pemilu 1999,
di
mana PDI-P meraih suara
terbanyak dalam Pemilu 1999. Dengan sistim multi partai didapatkan tingkat representasi yang lebih tinggi yang
ditunjukkan oleh beragamnya wakil partai yang duduk Beragamnya wakil partai
di
di DPRD, DpR, dan MpR.
parlemen menandakan para pemilih memberikan suara
kepada partai-partai yang mereka harapkan dapat mewakili kepentingan mereka di parlemen. Namun, belakangan ini kekecewaan rakyat terhadap partai-partai meningkat karena aspirasi dan tuntutan rakyat justru terbentur oleh kekuasan partai-partai yang
Indilutor Akuntabilitas Demokrasi, 2004 menguasai lembaga eksekutif dan legislatif. Beberapa kasus money politics terungkap
dalam proses pemilihan kepala daerah, pertanggung jawaban kepala daerah terhadap DPRD, dan dalam pembuatan Undang-Undang. Ketiga, penyelenggaraan Pemilu 1999 yang demokratik. Bila sebelum pemilu, para pengamat politik dan bahkan rakyat mengkhawatirkan terjadinya kekerasan dan
tingkat kecurangan yang tinggi dalam Pemilu 1999. Maka perkiraan itu tidak terwujud karena pelbagai pihak termasuk para pengamat Internasional menilai penyelenggaraan Pemilu 1999 berjalan secara demokratik. Salah seorang ahli politik yang menyaksikan Pemilu 1999 secara langsung menyatakan: "But the elections did at least show that, for all their differences, Indonesia could campaign and vote for political office peacefully on a national scale" (Emmerson, 1999 : 360). Dengan penyelenggaraan pemilu yang demokratik, maka Indonesia telah menyemaikan benih demokrasi
di dalam
kehidupan
politik. Sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington: "Elections, open, free, and fair, are the essence of democracy, the inescapable sine qua non"
(1991: 9).
Dengan berlakunya sistim multi partai, maka pengaruhnya secara langsung adalah
pada banyaknya calon Presiden yang diajukan pada sidang MPR setelah pemilu 1999.
Hal ini sangat berbeda dengan pencalonan Presiden pada masa Orde Baru yang hanya mempunyai calon tunggal, yaitu Suharto, pada setiap pemilihan Presiden yang tidak memungkinkan adanya pergantian penguasa. Sehingga yang terjadi adalah pelbagai upaya yang dilakukan oleh Suharto untuk terus mempertahankan kekuasaannya. Dengan
calon presiden lebih dari satu dan dirubahnya pasal tentang masa jabatan presiden menjadi dibolehkan hanya dua kali, maka tidak mungkin lagi adanya penguasa yang berkuasa begitu lama
di dalam sistim politik Indonesia. Pelaksanaan pemilihan presiden
pun berlangsung secara terbuka dan demokratik yang dimenangkan oleh Abdurachman Wahid.
Selama puluhan tahun pemerintahan otoriter telah membungkam demokrasi. sehingga stabilitas politik dan ekonomi yang ditata oleh Orde Baru bersifat semu. Ditengah krisis ekonomi dan ketegangan politik, maka penyelenggaraan Pemilu 1999 dan
pemilihan presiden adalah suatu keniscayaan. Sehingga keberhasilan Indonesia dalam
r
lndilator Akuntabilitas
D emolcrasi,
2004
penyelenggaraan Pemilu 1999 dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merefleksikan betapa kuatnya tekad para pendukung demokrasi untuk melakukan perubahan politik.
Keempat, adalah upaya menarik militer dari politik secara bertahap (Liddle, 2000: 71). Para pendukung demokrasi sangat sadar bahwa tulang punggung rezimotoriter Orde Baru adalah militer Indonesia yang mendominasi sistim politik lndonesia yang disyahkan
oleh Undang-Undang. Maka menjelang Pemilu l9gg, dilakukanlah upaya untuk mengurangi peran politik militer Indonesia dengan menetapkan wakil ABRI di parlemen
dikurangi- Di samping itu, Golkar sendiri melakukan demiliterisasi yang mengakibatkan keluarnya sebagian besar personil militer dan purnawirawan dari keanggotaan Golkar. Penarikan militer dari politik merupakan upaya yang sangat penting dalarn proses demokratisasi- Selama era Orde Baru, personil militer dan purnawirawan tidak han1,g berada di lembaga eksekutif, tetapi juga pada lembaga legislatif dan Kejaksaan Agung. Sehingga tidak mungkin mengharapkan penegakkan hukum secara adil dalam rangka
membangun negara hukum yang demokratik,
di
mana semua warga negara sama
kedudukannya dihadapan hukum.
Kelima, desentralisasi melalui pembuatan Undang-Undang tentang otonomi daerah yang baru (Emmerson, 1999: 360). walaupun undang-undang 22llggg dijadwalkan untuk diberlakukan pada Januari 2001, beberapa DpRD Kabupaten telah merujuknya dalam pemilihan bupati seperti di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Musirawas pada awal 2000. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat
lokal tidak ingin lagi didikte oleh pemerintah pusat ataupun propinsi dalarn mengarur daerah mereka.
Keenam, pelepasan tahanan politik yang selama ini disekap oleh rezimOrde Baru (Emmerson,1999: p. 336). Para tapol yang dilepaskan antara lain adalah mereka yang
terlibat peristiwa Gerakan 30 September, kasus 27 Juli, dan separatis Timor Timur, seperti Latief, Budiman Sujatmiko, dan Xanana. Dengan melepaskan pan tapol, diharapkan nama Indonesia dalam masalah pelanggaran HAM akan menjadi lebih baik.
Tetapi sayangnya hasil dari Pengadilan Ad Hoc HAM masih mendapat kecaman dari pihak pengamat hukum.
TI
lndikatar Akuntabilitas Demolcrasi, 2004
'Ketuiuh, bangkitnya kelompok Islam yang demokratik (Robert Hefner, 2000). Menurut Hefner kebangkitan kelompok Muslim yang demokratik ini dimotori oleh para intelektual Muslim seperti Nurcholis Madjid dan Abdurachman Wahid sejak 1980'an. Peran kelompok Muslim demokratis
ini
bahkan terlihat dalam penumbangan rezim
Suharto. Dikatakan oleh Hefner: "The subsequent failure of Soeharto's efforts, and the role of democratic Muslims in the overthrow of Soeharto, stand as remarkable democratic achievements in their own right" (2000:
xviii). Di lain pihak Hefner mengakui bahwa
Muslim Indonesia beragam, di mana ada kelompok Muslim yang konservative. Namun
dia optimis bahwa kelompok Muslim demokratis akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Muslim demokrat menolak pembentukan negara Islam, dan mereka menekankan terbentuknya masyarakat madani yang toleran dan kritis terhadap perilaku negara. Di lain pihak, dibutuhkan suatu negara yang menghormati rule of law, karena masyarakat madani dan budaya demokratik tidak akan berkembang tanpa lindungan payung hukum yang berkeadilan (Hefner, 2000: 13).
Bila Indonesia bertambah demokatis kehidupan politiknya di kemudian hari, maka negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam
ini akan menjadi eksemplar dari
hubungan yang positif antara Islam dan demokrasi.
Kedelapon, perana NGO dalam proses demokratisasi (Afan Gaffar,l999: 200) di
Indonesia amat krusial dalam memacu lebih jauh demokratisasi politik
di
Indonesia.
Dalam hubungannya dengan pembentukan masyarakat madani, NGO berperan dalam pemberdayaan kelompok-kelompok marginal.
Di lain
pihak, NGO berperan dalam
melakukan kontrol terhadap perilaku pemerintah dan pelbagai jajarannya. Perannya ini
seringkali dianggap ancaman terhadap kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah, sehingga hubungan antara NGO dengan pemerintah bersifat antagonistik. Pada hal dalam upaya pembangunan sistim politik yang demokratis diperlukan adanya
peningkatan partisipasi
dari pelbagai kelompok dalam masyarakat. Dengan
lain
perkataan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak responsif terhadap kepentingan,
tuntutan dan kritik dari warga negaranya merupakan cerminan tertutupnya mang politik warga negara untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan negara.
t4
Indikator Ahtntab ilitas
Belakangan
irii
D emolvasi, 200 4
sejumlah NGO rnengalami kesulitan dalam melakukan tugas
operasionalnya karena kesulitan dana. Hal ini disebabkan kurang mandirinya NGO yang sebagian besar dananya berasal dari funding agency yang berasal dari negara-negara
industri maju. Bila agenda kerja funding agency itu berubah maka NGO itu akan ditinggalkan oleh pemberi donor yang selama ini mendukung pembiayaan operasional
dari NGO yang bersangkutan. Akibatnya NGO tidak hanya mengurangi kegiatan operasionalnya, bahkan mereka secara terpaksa memutuskan hubungan kerja para operatornyayang selama ini bekerja sebagai aktivis NGO.
Dari uraian di atas tentang kedua studi demokrasi Indonesia, tampak kurangnya analisis untuk menilai tingkat demokrasi sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga "Freedom House." Penjelasan mereka tentang politik Indonesia bersifat kualitatif dari data primer maupun sekunder yang mereka kumpulkan. Sudah tentu analisa mereka sangat berguna untuk memahami kehidupan
politik di Indonesia. Namun, kita tidak tahu
tingkat demokrasi dari sistim politik Indonesia karena tidak ada indikator-indikator yang dapat diukur secara kwantitatif untuk mengetahui secara lebih akurat tentang politik di lndonesia.
Deskipsi ataupun eksplanasi yang telah disuguhkan oleh para ahli politik Indonesia secara kualitatif tentang politik di Indonesia akan memudahkan tim peneliti dalam pembuatan indikator-indikator karena berkaitan dengan proses demokratisasi.
Namun seringkali fokus mereka lebih menekankan aspek kompetisi dan partisipasi karena hal ini sangat dibatasi pada periode
itu.
Sementara
itu aspek akuntabilitas yang
berkaitan dengan kontak, komunikasi dan tanggung jawab eksekutif dan legislatif kurang
banyak dibahas secara sistematik. Suatu membahas akuntabilitas
MPR,
studi
yang dilakukan Miriam Budiardjo
eksekutif-legislaltif, badan peradilan dan parlemen
(dalam proses pembuatan UU) (1993: 103-157). Selain itu terdapat pula analisis yang menyatakan bahwa akuntabilitas bahwa akuntabilitas presiden pada MPR pasca reformasi relatif tinggi sedangkan akuntabilitas wakil rakyat pada pemilih tidak berarti (Rauf:2002).
E
Indilator Akunt ab ilitas
D
emokrasi, 2004
3. STUDI INDIKATOR DEMOKRASI
3.1. Pengukuran Demokrasi
Menurut Kenneth Bollen: "The starting point
in
evaluating the validity of
political democracy measures is the theoretical definition of the concept" (1993: 5). Pendefinisian konsep demokrasi politik harus dapat dijabarkan sedemikian rupa sehingga didapat dimensi-dimensi dari konsep demokrasi politik. Kemudian dari setiap dimensi dibangun indikator-indikator yang dapat diukur secara empirik. Bollen mengemukakan:
"I define political democracy as the extent to which the political power of the elites is minimized and that of the non-elites is maximized. By politicai power I am referring to the ability to control the national governing system. The elitis are those members of a society who hold a disproportionate amount of the political power. These include the members of the executive, judicial, and legislatlve branches of the government as well as leaders of political parties, local governments, businesses, labor unions, professional associations, or religious bodies" (1993: 5). Definisi
di
atas menunjukkan bahwa demokrasi bertujuan untuk membatasi
kekuasaan elite agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang, baik itu pada tingkat nasional maupun pada tingkat lokal.
Di samping itu, kekuasaan pun tersebar
ke berbagai lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan. Sehingga demokrasi politik menumbuhkembangkan pluralisme politik atau "polyarchy" yang memberi tempat dan peran yang penting bagi munculnya oposisi dan kontrol terhadap elite pemerintahan.
Sedangkan Bollen menekankan pentingnya kontrol terhadap
elite sebagai berikut:
"Where the non-elites have little control over the elites, political democracy is low. When the elites are accountable to the non-elites, political democracy is higher" (Bollen, 1993:
5). Dengan perkataan lain, kontrol terhadap perilaku elite amat penting dalam upaya menegakkan demokrasi politik. Dalam hal ini, akuntabilitas merupakan suatu mekanisme kontrol terhadap perilaku elite di dalam sistim politik yang demokratik dengan meminta pertanggung jawaban mereka atas penggunaan public resources dan aktivitas politik
mereka. Namun, kontrol dapat dilakukan oleh non-elite sepanjang warganegara mempunyai hak untuk menyatakan pendapat termasuk kritik terhadap rezim atau pemerintah. Sebagaimana dinyatakan oleh Robert Dahl di dalam bukunya yang bejudul
ttr L:11
lndilutor Akuntabilitas Demokrasi, 2004 Dilemmas of Pluralist Democracy: "Citizens have a right to express themselves without the danger of severe punishment on political matters broadly defined, including criticism
of officials, the government, the regime, the socio-economic order, and the prevailing ideology"(I982: I l). Pada tahap selanjutnya, Bollen membuat dua dimensi dari demokrasi
politik yaitu
hak politik ("political rights") dan kebebasan politik ("political liberties"). Dua dimensi ini didapat oleh Bollen dengan mengacu pada pendapat Robert Dahl tentang dimensi
demokrasi yaitu hak
politik ("political rights") dan kebebasan politik
(.,political
liberties"). Namun, Dahl memberikan lima indikator untuk dimensi hak politik yaitu hak untuk memberikan suara, hak untuk memperebutkan jabatan publik, hak berkompetisi
dalam merebut suara, pemilihan yang bebas dan adil, dan pembuatan kebijakan pemerintah berdasarkan suara atau pilihan publik; dan tiga indikator untuk dimensi politik yaitu: kebebasan untuk membentuk dan bergabung dengan organisasiorganisasi, kebebasan untuk menyatakan pendapat, dan adanya alternative sumber kebebasan
informasi (dalam Bollen, 1993 7). Sedangkan Bollen menyatakan:
"As I have argued elsewhere, political rights and political liberties reflect the political power of these two groups (elites and non elites). Political rights and liberties are two dimensions of political democracy. Political rights exist to the extent that the national goverrlment is accountable to the general population and each individual is entitled to participate in the government directly or through representatives. Political liberties exist to the extent that the people of a country have the freedom to express any political opinions in any media and the freedom to form or to participate in any politicui group" (1993:6).
Berdasarkan uraian tentang hak
politik dan kebebasan politik di atas, Bollen
memberikan tiga indikator untuk setiap dimensi sebagai berikut:
"In my work I use three indicators each for the political liberties and for the political
rights dimensions to measure political democracy. The indicators of political liberties are subjective ratings of press freedoms, the freedom that political parties have to organize and oppose the government, and the extent of government sanctions imposed on individuals or groups. The three measures of political rights are the faimess of elections, whether the chief executive came to office via an election, and the effectiveness and elective/non elective nature of the national legislative body"(1993: l0).
Indilator Ahtntabilitas
D emokrasi, 200 4
Untuk mengukur tingkat demokrasi politik suatu negara, maka enam indikator tersebut diformulasikan menjadi satu indeks.
Nilai indeks demokrasi politik dari
suatu
negara merupakan rata-rata dari enam indikator ("the average of six indicators"). Kisaran
dari nilai indeks adalah dari 0 sampai 100.
Dua dimensi demokrasi politik
ini
saling mempengaruhi, sehingga menurut
Bollen: "That is, it is difficult for a system to maintain political liberties without political rights being in place and vice versa. This suggests a positive feedback relation linking the
two dimensions" (1993: 8). Konsekuensinya adalah tingkat demokrasi negara ditentukan oleh
politik
suatu
nilai dari indeks yang mencerminkan hak politik dan kebebasan
politik di dalam negara yang bersangkutan. Di samping itu, tampak dari enam indikator
di atas, hal yang berkaitan dengan pemilihan umum hanya diwakili oleh tiga indikator dari dimensi hak politik. Secara teoritis, bila hasil pengukuran dari enam indikator mendapatkan nilai yang tinggi pada suatu negara, akan didapatkan tingkatan demokrasi
politik yang melampaui tingkat "electoral democracy" karena tiga indikator dari dimensi kebebasan
politik merupakan praktek-praktek politik yang tidak berkaitan
dengan
pemilihan elite eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, model pengukuran demokrasi
politik yang dikemukakan oleh Kenneth Bollen mencakup kegiatan-kegiatan
yang
berkaitan dengan pemilihan umum (eksekutif dan legislatif) dan kegitan-kegiatan politik lainnya.
Dari uraian di atas tentang pengukuran tingkat demokrasi politik
yang
dikemukakan oleh Bollen, pemberian definisi terhadap konsep demokrasi merupakan
langkah awal yang sangat penting dalam menentukan dimensi dan indikator dari demokrasi politik. Hal ini perlu dikemukakan karena didapatkan berbagai definisi untuk konsep demokrasi
di dalam khasanah ilmu sosial dan politik. Salah satu definisi yang
sering kali dikutip oleh para ahli ilmu politik adalah yang dikemukakan oleh Joseph Schumpeter: "The democratic method
is the institutional arrangement for aniving
political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of competitive struggle for the people's vote" (dalam Huntington,
i99l:
6).
at a
Indilutor Akuntabilitas
D emolcrasi,
2004
Menurut Huntington, bila mengikuti tradisi Schumpeterian, maka suatu negara dianggap demokratik sepanjang para pembuat keputusan negara dipilih melalui pemilihan
umum yang jujur, adil, dan terbuka yang dilakukan secara periodik,
di
mana para
kandidat secara bebas berkompetisi untuk merebut suara rakyat dan semua penduduk usia
dewasa diperkenankan untuk memilih atau memberikan suara. Definisi yang dikemukakan oleh Schumpeter mencakup dua dimensi dari demokrasi yaitu persaingan ("contestation") dan partisipasi (Huntington,
l99l: 7).
Bila kita menggunakan definisi ini untuk mengukur tingkat demokrasi
suatu
negarA maka yang diukur sebenarnya adalah "electoral democracy" karena definisi ini menekankan kegiatan politik yang berkaitan hanya dengan pemilihan umum. Dikemukan
oleh Huntington bahwa definisi demokrasi oleh Schumpeter yang menekankan aspek pemilihan umum merupakan definisi yang minimal. Namun Huntington menegaskan: "Elections, open, free, and fair, are the essence of democracy, the inescapable sine qua
non" (Huntington,
l99l:
9). Dengan demikian, bila kita menggunakan definisi konsep
demokrasi yang dikemukakan oleh Schumpeter, maka hasil pemilihan umum 1999 di Indonesia yang dianggap demokratik dapat meningkatkan peringkat demokrasi untuk Indonesia paska Orde Baru. Namun, memperhatikan fenomena politik pasca pemilu 1999 yang mengecewakan rakyat, maka diperlukan definisi, dimensi, dan indikator demokrasi
yang lebih luas dari sekedar kegiatan pemilihan umum agar didapatkan gambaran yang
lebih komprehensif tentang dinamika politik di Indonesia, terutama tentang demokrasi
politik di Indonesia.
Sejalan dengan konseptualisasi demokrasi yang terfokus pada pemilu maka
berbagai indikator mengenai demokrasipun seringkali kurang memperhatikan atau mengukur proses pasca pemilu yakni akuntabilitas para wakil rakyat. Pembahasan BergSchlosser mengenai tiga indikator demokrasi (Freedom House; Tatu Vanhanen; dan Ted
Gun)
menunjukkan bahwa pengukuran mengenai pemilu sangat dominan sementara
pasca pemilu atau masalah akuntabilitas sangat kurang bahkan tidak ada. Sebagai contoh,
Indikator "Freedom House" yang mengukur
kebebasan
E?] | -"
I
politik
digunakan juga untuk
lndilator Ahtntabilitas Demokrasi, 2004 mengukur tingkat demokrasi padahal merkea lebih mengukur hak politik ("political
rights", sebelas butir) dan kebebasan sipil ("civil liberties," l4 butir) (Lihat Gastil, 1993: 26- 32-33). Karena mereka lebih mengukur persiapan dan pelaksanaan pemilu maka gejala demokrasi pasca pemilu menjadi tidak terukur dengan baik.
Indikator lainnya yaitu dikonstruksi
oleh
Tatu Vanhanen yang mengukur
demokrasi dengan partisipasi (diukur dari partisipasi dalam pemilu)
dan
kompetisi
(persentase partai terbesar dalam parlemen). Lalu partisipasi dikali dengan kompetisi dan
dibagi seratus sehingga terdapat Indeks dengan kisaran 0 sampai 100. Jelaslah indikator demokrasi
ini tidak dapat mengukur demokrasi
pasca
pemilu.
Indikator demokrasi
ketiga dibuat oleh Ted Gurr dan rekan-rekan yang memfokuskan pada kompetisi politik yang kempetitif, keterbukaan dalam rekrutmen eksekutif dan hambatan dari kepala eksekutif. Seperti indikator "Freedom House" dan Vanhanen, pengukuran inipun tidak sensitif pada kegiatan politik pasca pemilu.
Demikian pula Indikator Demokrasi Subyektif dan Obyektif yang digunakan dan disebarluaskan oleh
ttNDP (Human Development Report 2002) masih sangat perlu
menambah pembahasan demokrasi pasca pemilu. Indikator
yang lebih relevan haruslah
mengukur kinerja demokrasi pasca pemilu seperti "Democratic
Audit" oleh
David
Beetham yang melihat masalah pasca pemilu seperti "accountability"
dan
"responsiveness"(lihat Beetham, 1994) "Democratic Audit" tahunan ini telah dilakukan
oleh Inggris, Swedia dan Australia dalam mengukur dan mengembangkan demokrasi, termasuk kegiatan publik pasca pemilu. Pembahasan mengenai berbagai indikator demokrasi terdahulu menunjukkan
bahwa masih adanya satu dimensi demokrasi, yakni akuntabilitas, yang masih belum terbahas dengan baik. Untuk mengatasi hal
ini maka akan dibuat Indikator Akuntabilitas
yang didasarkan dengan pola Indikator "Freedom House" yang telah digunakan secara meluas. Indikator Akuntabilitas Demokrasi
ini
dapat digabungkan atau ditambahkan
pada Indikator "Freedom House" sehingga kita dapat memperoleh gambaran keadaan demokrasi yang lebih utuh.
@
lndilator Aktntabilitas Demolqasi, 2004 3.2. Studi Indikator Demokrasi di Indonesia
.
Pembahasan dalam bagian terdahulu menunjukkan bahwa analisis demokrasi di
lndonesia mayoritas menggunakan perspektif historis, budaya ataupun politk. Hasil studi tersebut baik yang bersifat deskriptif maupun eksplanatif serta kritis dan mengusulkan
rekomendasi seringkali
tidak didasarkan pada keadaan demokrasi ("state of
democracy"). Dengan kata lain pengukuran demokrasi
di
Indonesia lebih bersifat
kualitatif dimana posisi Indonesia seringkali dinyatakan sebagai "otoritarian,"..represif,,, atau "birokratis-militeristik." Demikian pula pengukuran demokrasi sering terdapat dalam sektor
politik yang bersifat
secara umum.
Pemerintah (BPS dan BP7) belum secara sistematik mengembangkan indikator
demokrasi' Tanpa indikator ini sangatlah sulit untuk mengukur pelaksanaan demokrasi sebagaimana yang tercantum dalam ideologi Pancasila (Sila Keempat). Akhirnya demokrasi versi pemerintah lebih bersifat retorika dan menghindar dari pengukuran
empirik ("Demokrasi Pancasila"). Namun terdapat pula upaya untuk melihat demokrasi sebagai salah satu indikator
dalam sektor pembangunan sosial budaya yang umum.
Dalam perkembangannya kemudian Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta, mulai
menggunakan pula apa yang disebut "lndikator Sektor Pembangunan DKI Jakarta" (BPS, 1999) yang terdiri dari 1l (sebelas) sektor mencakup :
(l) (2)
Sektor tenaga kerja
Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi.
(3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Sektor pembangunan daerah dan permukiman Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olah raga Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja Sektor agama Sektor hukum Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan Sektor politik, penerangan, komunikasi dan media massa
lndikntor Akuntabilitas Demolcrasi, 2004
(l
l)
Sektor keamanan dan ketertiban umum.
Sedangkan ke 18 (delapan belas) subsektor mencakup
(l)
:
Sub sektor tenaga kerja
(2) Sub sektor keuangan daerah (3) Sub sektor pembangunan masyarakat kelurahan (4) Sub sektqr pendidikan (5) Sub sektor kebudayaan daerah (6) Sub sektor pemuda dan olah raga (7) Sub sektor kependudukan dan keluarga berencana (8) Sub sektor kesehatan (9) Sub sektor kesejahteraan sosial (10) Sub sektor peranan wanita, anak dan remaja
(l l)
Sub sektor pelayanan kehidupan beragama
(12) Sub sektor pembinaan kehidupan beragama (13) Sub sektor hukum
(la)
Sub sektor aparatur pemerintah daerah
(15) Sub sektor pengawasan (16) Sub sektor politik (17) Sub sektor penerangan, komunikasi dan media massa (
l8) Sub sektor keamanan dan ketertiban umum.
Kelemahan indikator diatas ("sub sektor politik") adalah masih menekankan pada
aspek politik dilihat dari aspek pemerintah dan pembagian anggaran (misalnya, anggaran untuk sosialisasi politik). Selain itu dalam indikator yang penting yang berkaitan dengan keberhasilan pembangunan suatu daerah, indikator mengenai demokrasi tidak mendapat pertimbangan.
Hal ini dapat dilihat dalam Indikator pertanggungjawaban yang disebut dengan "indikator pembangunan" (Ridwan, 2001) yang terdiri dari ; (l) pertumbuhan ekonomi dan pendapatan regional perkapita, (2) realisasi APBD, (3) pengaduan masyarakat, (4) penanganan kasus
KKN, dan (5)
penghematan anggaran. Berdasarkan indikator ini
ln dilator
Ahtntabilitas
D emokr asi, 200 4
Ridwan menyatakan bahwa Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah DKI telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, karena terjadi. peningkatan-peningkatan sebagai berikut
:
Tabel3.l Indikator Pembangunan Indikator*
No.
1999
Pertumbuhan ekonomi. dan
l,zgoh
2000
Keterangan
3,67Yo
Kenaikan lebih
dari
t00%
pendapatan
regional
juta
6,06 juta
2,490
4,994
trilyun
trilyun
6t3 kasus
363 kasus
7,4yo
19,70h
5,20
Kenaikan 16,52%
perkapita 2.
RealisasiAPBD
3.
Pengaduan masyarakat
4.
Penanganan
KKN
Kenaikan lebih Penurunan hingga
Penghematan anggaran
3,8 milyar
59%o
Kenaikan keberhasilan penanganan
5.
dari
t20%
KKN
Dibandingkan dengan sisa anggaran DPR
Selain itu terdapat pula upaya analisis yang bersifat kuantitaif yang mencoba memposisikan keadaan demokrasi
di
Indonesia seperti yang dilakukan oleh Axel
Hadenius (1995). Menurut indikator demokrasi versinya maka Indonesia (tahun 1988) mempunyai
skor 1.8 dari kisaran 0 (rendah) sampai l0 (tinggi)
yang berarti tidak
demokratis (1995: 62). Demikian pula upaya pengukuran telah dilakukan oleh Clark D. Neher dan Ross Marlay (1995). Temuan mereka menunjukkan bahwa Indonesia periode
1960 sampai 1995 mempunyai
skor
bervariasi antara
8,9 dan l0
yang merupakan
negara "Semiauthoritarian" (l 995 : I 94- I 95). Pembahasan diatas jelaslah menunjukkan bahwa keadaan demokrasi
di Indonesia
yang diukur secara komprehensif dari waktu ke waktu belumlah dilakukan. Hal ini berbeda dengan dinamika kependudukan dan ekonomi yang seringkali dijelaskan dengan
berbagai indikator yang realtif baku dan diketahui (serta diperhatikan) oleh publik.
@
lndilator Akuntabilitas Demolcrasi, 2004 3.3. Indikator'Freedom House Pembahasan secara agak rinci mengenai pembahasan Indikator "Freedom House,,
(IFH) yang menekankan Partisipasi dan Kompetisi akan menunjukkan masih terbukanya dimensi akuntabilitas untuk diukur. Indikator FH mencakup dua dimensi yakni .,political Rights" dan "civil Liberty" (Lihat Gastil l9g3 dan Fredom House 2003). "Political Rights" sebenamya merupakan indikator demokrasi politik yang cukup lengkap dan mencakup "partisipasi" dan "kompetisi." Dimensi ini mencakup I I butir yakni:
l.
Pemilihan kepala negara
2. Pemilihan Legislatif 3. Peraturan Pemilu yang adil, kesempatan kampanye, perhitungan dan tabulasi 4. Parlemen yang mempunyai kekuasaan yang efektif 5. Partai politik yang majemuk 6. Pergantian kekuasaan melalui pemilu 7. Suara oposisi yang cukup signifikan (nyata) 8. Bebas dari kontrol militer atau kekuasaan asing 9. Kelompok (kelompok) besar yang dapat menetukan nasib sendiri politik yang terdesentralisasi
10. Kekuasaan
I
l.
Konsensus informal atau kekuasaan oposisi yang nyata
Sementara
itu dimensi "Civil Liberty," yang erat dengan
partisipasi dalam
kehidupan sosial diukur dengan l4 butir yakni: 12. Media bebas dari sensor 13. Adanya diskusi
politik
publik yang terbuka
14. Kebebasan berserikat dan berdemonstrasi 15. Kebebasan bagi organisasi quasipolitik 16. Penegakan hukum yang tidak berpihak dalam kasus-kasus 17. Kebebasan
politik
dari teror politik yang sewenang-wenang atau penahanan
18. Kebebasan bagi serikat pekerja, petani dan yang sejenis 19. Kebebasan bagi kelompok usaha dan koperasi
E
lndilutor Akuntabilitas
D emolerasi,
2004
22.Hak pribadi seperti kepemilikan, perjalanan, tempat tinggal, perkawinan
dan
20. Kebebasan bagi organisasi profesional dan organisasi privat 21. Kebebasan bagi institusi keagamaan
keluarga 23. Hak Sosio-ekonomi seperti kebeasan dari tuantanah, pimpinan serikat buruh, atau
birokrat 24. Kebebasan dari ketidakadilan ekonomi yang besar 25. Kebebasan dari ketidakpedulian pemerintah atau korupsi
Berdasarkan ke 25 butir diatas maka "Freedom House" meminta pendapat para
ahli suatu negara tertentu (panel of experts) untuk membuat "rating" mengenai hal tersebut. Pedoman mengenai "Political Rights" dapat dilihat dalam tabel berikut:
3.l.Political Rights Versi Freedom House Total Raw Score 36-40
PR Ratine
30-35
6
24-29
5
t8-23
4
7
12-17
J
6-l I
2
0-5 Sumber: Freedom House. 2003
Tabel diatas menunjukkan bahwa hasil "raw score" dalam aspek "Political Rights" perlu dikonversi sehingga dapat diketahui apakah posisi suatu negara dalam suatu tahun tertentu.
Demikian pula "raw score" dalam "Civil Liberties", yang agak berbeda dengan "Political Liberties" perlu pula dikonversi sehingga suatu negara dapat mempunyai skor diantara
I
sampai 7.
lndilutor Akuntabilitas Demokrasi, 2004
Tabel3.2 Political Liberties Versi Freedom House Total Raw Score CL Ratins s3-60 44-52 35-43 26-34 t7-25 8-16 0-7
7
6 5
4 J 2
I
Sumber: Freedom House. 2003
Untuk mengentahui posisi gabungan antara "Political Rights" dan "Civil Liberties" maka keduanya ditambahkan dan dibagi dua. Dalam hal ini pembobotan skor
"Political Rights" dan "Civil Liberties" adalah sama atau masing-masing sebesar 50 persen.
Table 3.3 Political Rishts and Civil Liberties Combined Average of the Countrv Status PR and CL I to 2.5 Free Partlv Free 3 to 5.5 5.5. to 7 Not Free Sumber: Freedom Hottse. 2003
Dari hasil akhir dapat diketahui bahwa nilai antara I sampai 7 tersebut dibagi menjadi tiga kategori yakni "Free." "Partly Free," dan "Not Free." Menurut Gastil. pembuat indikator IFH, sebenarnya IFH tersebut mengukur tingkat demokrasi. Jadi kategori "Free" dapat disebut juga "demokratis" dan "Not Free", "tidak demokratis" atau
"otoriter." Namun kategori "Partly Free" sebaiknya dibagi menjadi dua sehingga lebih sensitif
yakni 4.5 sampai 5 dapat disebut "Semi Otoriter"
dan 2.5 sampai 4, "Semi
Demokratis." Dengan empat kategori ini maka perubahan dari "Semi-Otoriter" ke "Semi-
Dernokratis" dapat terlihat. Situasi
ini berlaku untuk Indonesia yang bergeser
periode Orde Baru ke Pasca Orde Baru.
dari
Indikator Akuntabilitas
D emokrasi,
2004
Berdasarkan kategori IFH maka setiap angka dalam IFH menunjukan ciri-ciri negara dalam bidang demokrasi yakni:
Angka atau "rating" 1 (satu) berarti keadaan negara mendekati kondisi ideal dalam kegiatan politik yang dimulai dengan pemilu yang bebas dan adil, serta kompetisi
politik yang sehat dan plural dan oposisi mempunyai kekuaan yang siginifikan. Selain itu kerlompok minoritas mempunyai kekuasaan untuk "self-govemment" dan dapat berpartisipasi melalui konsensus informal. Demikian pula dalam aspek negara yang bersangkutan mengalami kebebasan
sipil
"Civil liberty"
termasuk kebebasan berekspresi,
berkumpul, berserikat, berpendidikan dan beragama. Ciri menonojol lainnya adalah mantapnnya sistem penegakan hukum ("rule
of law"). Negara
dengan "rating"
I
ini
mempunyai sistem perekonomian bebas dan cenderung mempunyai upaya untuk meningkatkan persamaan kesempatan.
Angka
2
(dua) menunjukkan negara yang relatif bebas namun mengalami
berbagai kelemahan seperti adanya korupsi politik, kekerasan, diskriminasi terhadap minoritas, serta adanya pengaruh militer atau negara asing dalam
politik.
Demikian pula
dalam kebebasan sipil negara tersebut mengalami kekurangan dalam tiga atau empat aspek.
Angka atau
"rating" 3,4, dan 5
bersangkutan dalam kelompok
ini
merupakan kategori dimana negara yang
warga masih mengalami beberapa kebebasan
berorganisasi oraganisasi kuasipolitik dan dapat mempengaruhi pemerintah. Demikian
juga kebebasan sipil masih terjadi dalam kadar yang lebih rendah dari negara dengan skor
"2." Namun dalam kebebasan sipil terjadi sensor, teror politk dan upaya
mencegah
pengorganisasian.
"Rating" bemilai "6" menunjukkan suatu negarayang dikuasai oleh junta militer, diktator dengan satu partai, hirarki keagamaan atau otokrasi. Dalam negara tersebut para warga mengalami pembatasan hak dalam berkumpul dan berekspresi dan hanya sedikit hak-hak politik, ekonomi dan agama yang dijamin. Demikian pula kebebasan dalam kegiatan ekonomi sangat dibatasi.
lndilator Akuntabilitas Demoktasi, 2004 Negara yang mempunyai "rating"
7
ditandai dengan absennya hak-hak politik
dibawah rejim yang sangat represif yang dapat dikombinasi dengan perang saudara. Negara dengan pola ini juga biasanya tidak menjamin kebebasan sipil para warganya.
Konstruksi indikator tentang demokrasi memerlukan pembahasan dari IDH yang
telah berupaya menggambarkan demokrasi suatu negara ("Political Right," "Civil Liberty" dan gabungan "Freedom") secara mendalam setiap tahun. Dalam grafik berikut tersaji dinamika "Political Right" Indonesia yang dimulai sejak tahun 1972.
Grafik 3.1 Political Rights di Indonesia 1972-2002 Versi Freedom House
E
7
0
I 3 2
1i
el
.{*.\".\t\*t*t+{.us\"s{$."\{,\.$$.'."\*
Sumber: Freedom House. 2003
Secara umum grafik diatas menunjukkan
mengalami kondisi yang
stabil
bahwa "Politcal Right"
Indonesia
sampai tahun 1991 dan berada dalam bidang "Partly
Free" walaupun dekat garis "Not Free". Pada tahun 1992 sampai 1999, tingkat "Political
Right" memburuk dan meningkat menjadi "Not Free." Namun sejak 1999 dan 2000 membaik cukup
tajam mendekati garis "Free."
Perubahan
ini terjadi karena adanya
Reformasi 1998 dan Pemilu 1999 yang berjalan dengan bebas dan adil.
Indikntor Akuntabilitas Demokrasi, 2004
Pola serupa terjadi pula dalam dinamika "Civil Liberty" seperti yang terlihat dalam grafik berikut:
Grafik 3.2 Civil Liberty di Indonesia tahun 1972-2002 Versi Freedom House CMIL LIBERTY
.*tsdS"..0"."**."n*"*n*".$."*-."*u."""n."*{.**u6t$ 12.5
= Free
$5,5 = Partly Free = Not Free
Sumber: Freedom House, 2003
Namun dalam gafik diatas terlihat pada periode 1984-1989 terjadi keadaan "Civil
liberties" yang memburuk. Demikian juga setelah Reformasi 1989 dan Pemilu 1999 skomya hanya mencapai 4, bukan 3 seperti "Political Liberty." Hal
ini menunjukkan
bahwa terdapat hal-hal yang membuat nilai ini buruk dalam kebebasan beragama atau kebebasan pers.
Dalam grafik berikutnya terlihat nilai gabungan "Poltical Right" dan "Civil
Liberty" yang secara umum menunjukkan bah'uva periode 1993-1998
memang
Indikator Akuntabilitas
D e mokrasi,
2004
menunjukkan skor dan kondisi yang memburuk. Setelah itu baru pada tahun 1999 (setelah pemilu)
nilai
gabungan tersebut membaik.
Grafik
3.3
Gabungan Political Rights dan Civil Liberties di Indonesia Tahun 1972-2002 Versi Freedom Holrse FREEDOI\4
------------'.i
k\i ----j \---i
.*+$i{A<\\*\$s$.s\\"\"{+*s{*s..s."s+$+
Namun grafik gabungan ini masih terlalu "kasar" artinya perubahan dalam bidang
"Partly Free" kurang dapat dijelaskan secara baik. Dengan kata lain suatu negara yang
dekat "Not Free" dan berubah mendekati "Free" masih dianggap berada dalam satu bidang yakni "Partly Free." Berdasarkan hal ini perlu modifikasi ketiga bidang berada
sehingga mereka dipecah menjadi empat dimana bidang "Partly Free" dibagi dua menjadi
"Semi-Demokratis" dan "Semi Otoriter." Penggantian kata "Free" menjadi "Demokratis"
Indilator Akuntabilitas merupakan
hal
yang penting dan ini disadari
oleh
D emolcrasi,
2004
Gastil yang menyatakan bahwa
indikatornya (IFH) sebenarnya memang mengukur demokrasi.
Grafik 3.4 Modifikasi Gabungan 66Political Rights" dan "Civil Liberties" di Indonesia --'fndikator
f-
Freedom House: Indonesia: 1gl2 - 2OOg
I I
I
I
5.5
1
^f
t9'
^f 1-2,5= ^"f ^.^" str ."f --tr ""$ C *n "p* "f Demokratis 2,5
-
4 = Semi- Demokratis
d"$
""f "'*
Sumber.' Freedom House. 2004
Grafik diatas menggambarkan dengan lebih jelas dinamika demokrasi di Indonesia karena membagi bidang "Partly Free" menjadi dua yakni "Semi-Otoriter" dan
"Semi-Demoktasi." Dengan pembagian menjadi berada
ini terlihat
dinamika demokrasi Indonesia
lebih tajam.
di
Pada periode Orde Baru, tingkat demokrasi secara mayoritas "Semi-Otoriter" walaupun pernah juga mengalami "Otoriter" pada periode
1993-98. Jadi dilihat dari aspek "Political Rights" dan "Civil Liberty" Indonesia pada pasca orde Baru telah memasuki kategori baru yakni .,Semi-Demokrasi." Pada grafik berikut terlihat bahwa demokrasi Indonesia mengalami perbaikan mendekati tingkat Thailand dan Filipina. Keadaan ini lebih baik dibanding Malaysia dan Singapura yang sebelum reformasi 1998 dan pemilu 1999 berada dalam kategori yang sama dengan Indonesia.
t-;;r IJI
i
t
lndikator Akuntabilitas
D
emolcrasi, 2004
Grafik 3. 5 Perbandingan Demokrasi di Indonesia dengan Demokrasi di Malaysia, Philipina, dan Singapore tahun 1972-2001
(.) rf, O)OOrOtOtO oN$(o@o oro)o)oto)o
('trOFO)(')|r)F-O) lsNF-F-cO@@@qt otst@@o(\ltc(oA FF-t-t"-@@@@@ o)
F-
O)
Sumber Freedom House, 2003
Namun grafik diatas hanya menjelaskan "Political Right" dan "Civil Liebrty"
tanpa mengukur akuntabilitas. Terdapat kemungkinan bahwa Malaysia Siangapura yang mendapat
nilai rendah dalam Indikator "Freedom
dan
House"
mempunyai skor cukup baik dalam akuntabilitas anggota legislatif (parlemen) karena
dilakukannya sistem distrik. Para anggota parlemen harus responsif pada konstituensinya karena berikutnya.
jika tidak mereka tidak dapat terpilih dalam pemilu
Indikator Ahtntabilitas
D
emolcrasi, 2004
4. KONSTRUKSI DAN APLIKASI INDIKATOR AKUNTABILITAS
Pembuatan indikator demokrasi haruslah memperhatikan syarat-syarat berikut:
(Bollen, 1993: 15-16)
l.
provide a political definition of democracy,
2. identiS its major dimensions, 3. measure each dimension with several indicators, 4. explain how the indicators were created and how to replicate them. Berdasarkan pembahasan diatas terlihat bahwa tahap pertama pembuatan
indikator demokrasi (politk) adalah mendefinisikan dimensi-dimensi yang
ada.
Berdasarkan studi yang ada maka dimensi demokrasi dapat dibagi menjadi tiga yakni: partisipasi, kompetisi dan akuntabilitas. Dalam dimensi partisipasi dapat dimasukkan berbagai prasyarat dalam kegiatan berpolitik yakni kebebasan mendirikan partai politik, kebeasana dari sensor dan penahanan. Selain
itu
partisipasi politik juga terkait dengan
kebebasan sipil seperti kebebasan untuk beragama, bertempat tinggal maupun kebebasan
pers. Dimensi kedua terfokus pada pemilihan umum baik untuk legislatif maupun eksetutif. Pelaksanaan kompetisi
ini
merupakan hal yang penting dalam demokrasi
karena selain untuk memilih wakil dan partai politik, pemilu juga berarti kesempatan
untuk mengganti pimpinan politik dengan cara damai. Dimensi partisipasi dan kompetisi
ini telah dapat diwakili secara relatif lengkap dengan indikator demokrasi "Freedom House" seperti yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya.
4. 1. Konstruksi indikator akuntabilitas Dalam bab ini akan dibahas pembuatan Indikator Akuntabilitas Demokrasi (lAD) yang dilakukan berdasarkan prinsip yang mirip dengan Indikator Freedom House (FH).
IAD akan mencakup dimensi demokrasi yang belum terbahas dalam IFH yakni dimensi akuntabilitas, khususnya akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituensi mereka. Namun
IAD dapat berfungsi sebagai pelengkap atau bahkan digabungkan dengan IFH sehingga
kita akan mendapat indikator demokasi yang agak lengkap sehingga dapat diketahui posisi demokrasi suatu negara dalam tahun tertentu.
E
Indikator Alatntabilitas Demolcrasi, 2004
IAD ini mencakup aspek "Representasi" (yang diukur dengan kunjungan maupgn pelaksanaan aspirasi warga). Aspek
ini belum tercakup dalam UU yang sedang berlaku
(UU No. 2212003).
Dalam pembahasan berikut akan dikonstruksi
IAD
"Representasi" yang
menghasilkan skor yang mirip IFH yang diperoleh dari pengumpulan data berikut:
l.
Kegiatan para wakil rakyat, apakah mereka secara rutin mengunjungi konstituensi mereka; melakukan kontak (leaflet; e-mail; telgram); dan apakah mereka membuat laporan pertanggung jawaban (tahunan dan akhir jabatan).
Frekuensi kunjungan dan pembuatan
laporan ini dapat
"Tinggi" (Sangat Akuntabel) jika dilakukan oleh lebih dari
"cukup Tinggi" ("Akuntabel") jika antara s0% ("Kurang Akuntabel")
jika antara 25% -
-
dikategorikan
75Yo wakil rakyat;
75yo; "cukup Rendah"
50%o; dan
"Rendah" ("Tidak
Akuntabel") j ika dibaw ah 25o/o.
2. Analisis para pakar sebagai informan mengenai
keadaan akuntabilitas wakil
rakyat terhadap konstituen mereka. Biasanya mereka mengkategorikan dengan:
"Tinggi," "Sedang/Cukup" atau "Rendah"/,Tidak ada.,'
3. Data survey yang berkaitan dengan akuntabilitas seperti tingkat kepercayaan
("trust") atau tingkat kinerja tokoh atau lembaga politik. Jawaban sumber informasi mengenai Akuntabilitas Wakil rakyat pada konstituennya jika ditanyakan dalam survey dapat menggunakan "rating" mirip
tersebut berkisar
dari I
(akuntabilitas tinggi) sampai
IFH. Nilai "rating"
7 (akuntabilitas
sehingga dapat dibuat pengelompokkan derajat akuntabilitas, yakni:
|
-2.5
Akuntabilitas Tinggi (Akuntabel)
2.6-4
Akuntabilitas Cukup (Semi-Akuntabel)
4
Akuntabilitas Rendah
-5.s
5.6-
7
Akuntabilitas Rendah Sekali (Non-Akuntabel)
rendah)
lnilikatar Ahmtabilitas
D emolcrasi,
2004
dengan pola ieperti ini akuntabilitas anggota DPR pada pemilih sangat rendah dan secara
logis mereka lebih akuntabel pada pimpinan parpol yang dapat memberi mereka "nomor jadi" atau me "recall" mereka. Pengukuran Akuntabilitas dapat dilakukan dengan menganalisis perundang-undangan maupun polling. Selain itu dapat pula ditanyakan pada informan dimana mereka diminta melakukan "rating" terhadap beberapa butir yang berkaitan
akuntabilitas. lengan Dalam grafik berikut terlihat bagaimana akuntabilitas DPR pada pemilih (konstituen):
(para informan (mahasiswa) hanya diminta
untuk
melakukan "rating" pada masa pasca
Reformasi karena mereka tidak mengalami masa pra-reformasi dengan baik).
Grafik
4.1.
Akuntabilitas menurut "Political Rights" FH dan Pendapat Responden (Pasca Reformasi)
Political right & Akuntabilitas DPR Pasca ORBA
5.5
c{F=fl
4 2.5 I
.orzl^leraxlo"tln
."l"".'{"ur{.u^u^?"uu'{.uu'ol".o"lrd}s"rot^1"""'{rr*-"1.o$
+
Pol.rignt
+-
OFn-Konstituen
-+
Opn-puOtik
Data diatas menunjukkan bahwa "rating" responden adalah
5 atau berada di
antara angka 4 dan 5.5 atau kategori "Kurang Akuntabel." Sementara grafik yang lengkap
berasal dari Freedom House yang mengukur "Political Rights." Pada masa pasca Reformasi skor "Political Rights" cukup baik yakni 3 atau "semi-Demokratis." Data juga
Indilator Akuntabilitas Demolcrasi, 2004 menunjukkan bahwa "Akuntabilitas" Pasca Reformasi berada dalam kategori yang lebih buruk dibandingkan dengan keadaan ..political Rights.,' Selain data survey, maka informan juga menyatakan bahwa tingkat akuntabilitas rendah baik pada periode sebelum maupun sesudah reformasi.a Demikian pula ada pendapat yang menyatakan bahwa akuntabilitas DPR yang rendah yang cenderung menghasilkan politisi busuk perlu diatasi dengan penyederha naan partai dan pelaksanaan sistem distrik. Selain itu diperlukan pula elemen "civil society" yang aktif dan kritis.5 Selain itu terdapat pula pendapat bahwa akuntabilitas DpR pada masa Orde Baru ditentukan dan ditujukan pada penguasa sedangkan pada masa pasca Orde Baru lebih merupakan masalah tarik-menarik antara pemain politik.6 Dengan kata lain, akuntabilitas
pada publik, khususnya pemilih dan konstituen berada dalam kategori ..Rendah.,, Berbagai data yang ada tersebut jika dikategorikan dapat menunjukkan lemahnya tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya. Jika keadaan ini dikonversi ke peta
akuntabilitas dalam kategori akuntabilitas yang "sangat Rendah,, atau o.Tidak Ada Akuntabilitas." Kategori ini mempunyai skor antara 5.5. sampai 7 dan jika diambil nilai
tengahnya maka akan didapat nilai 6.3, seperti yang terlihat dalam grafik berikut
Grafik 4.2. Akuntabilitas DpR pada Konstituen Akuntabilitas DPR pada Konstituen 7
5.5 4 2.5 'l
..f
^"f ^J ^ft
""'"
onf
""'* *$
o|
o$
*"* qs'- e'
""*
..'4
crg
qru-
s'"
1-- 2'5=Akuntabel 2.5--4 =CukupAkuntabel 4.5-- 5 = KurangAkuntabel s.5-z=TrdakAkuntabel
a
Menurut analisis Informan l. Pendapat ini diberikan oleh Informan 2. " Analisis ini dikemukakan oleh Informan 3. s
"""-
lndikator Aluntabilitas
D emolcrasi, 200 4
Grafik diatas menggambarkan betapa rendahnya tingkat Akuntabilitas wakil rakyat pada konstituen yang tidak berbeda signifikan baik pada masa sebelum dan sesudah reformasi.
Grafik
4.3.
Perbandingan Akuntabilitas FH,Indikator Akuntabilitas dan Indikator Gabungan -t
Indik. FH & Indik.Akuntabilitas & Indik.Gabungan
c
^"^o
^"f ^J'
ss
o"*
^gq
""tr ""$
$p
ol qreY-
^f
qv
""f
C
"- ".-r"".
Grafik diatas menunjukkan bahwa keadaan akuntabilitas wakil pada rakyatnya (kotak putih) relatif tinggi. Sementara itu Indikator FH (Partisipasi dan Kompetisi, "bulatan hitam") menunjukkan tren yang membaik dimana pada masa Orde Baru berada
di
kategori "Semi Otoriter" namun pada masa Pasca Reformasi berada pada kategori
"Semi-Demokratis." Seandainya kita menggabungkan kedua indikator tersebut (dimensi
"Partisipasi"-"Kompetisi" dengan dimensi "Akuntabilitas Wakil ke Konstituen',) maka akan terdapat Indikator Gabungan ("tanda kali")yang pada periode pasca Reformasi berada dalam kategori "Semi-Otoriter." Dengan kata lain, keadaan demokrasi pasca Reformasi masih berada dalam kategori "Semi-Otoriter" (Oligarki), bukan dalam semi demokrasi (yang hanya berlaku untuk dimensi partisipasi dan Kompetisi).
Indilator Akuntabilitas
D emolcrasi,
2004
4.3. Penyebab Akuntabilitas yang Rendah
Penyebab rendahnya akuntabilitas para wakil rakyat pada konstituen/warga pemilihnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 4.3.1. Perundangan-undangan
Akuntabilitas anggota DPR pada pemilihnya dapat dikatakan rendah baik pada masa orde Baru maupun Pasca orde Baru. Hal ini diakibatkan oleh perundang-undangan (UUD; UU) yang tidak secara tegas dan jelas menugaskan agar anggota DpR melakukan kontak dan komunikasi serta melakukan fungsi perwakilan dengan baik. Dalam UUD tugas DPR adalah legislasi, pengawasan dan anggaran sementara tugas ..Representasi,, (melaksanakan aspirasi konsituen) tidak dicantumkan secara tegas. Dalam dinyatakan bahwa wakil rakyat akan datang ke daerah pemilihan
uu
Susduk
dalam masa reses
namun tidak terdapat mekanisme yang jelas mengenai kewajiban mereka.
Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen tidak tercantum kewajiban para wakil rakyat untuk akuntabel dan responsif pada rakyat.T para wakil rakyat di DpR hanya mempunyai hak seperti interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, dan imunitas seperti yang tercantum dalam pasal 20A (Amandemen UUD 1945:29): (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Demikian pula dalam UU Susduk No 22 tahun 2003 disebutkan dalam pasal29: "Anggota DPR mempunyai kewajiban": yang dalam ayat h. tertulis:,,memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.,,
Pasal
ini tidak dirinci lebih jauh dan dalam bagian "penjelasan,,
' Masalah ini telah dibahas dalam Suiarmiko: 2002.
disebutkan:
Indikntor Ahtntabilitas Demokrasi, 2004
"Pertanggung jawaban secara moral dan politis disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih
di daerah pemilihannya." Hal ini tidak dilengkapi bagaimana format atau sanksi yang akan diberikan jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa masalah akuntabilitas dalam UU Susduk masih bersifat retorika dan belum operasional serta terukur.
Selain itu publik atau warga di konstituensi tidak mempunyai kekuasaan untuk mengganti wakil mereka yang tidak aspiratif. Pola yang dimungkinkan adalah adanya
sejumlah tanda tangan yang merupakan bentuk mosi tidak percaya atau semacam referendum untuk meng"impeach" mereka. Pola yang ada selama
ini lebih merupakan
usulan pimpinan parpol untuk melakukan "recall" terhadap anggota mereka yang ada di
DPR (Pasal 85 ayat
I
c). Sementara itu kepuusan untuk memberhentikannya masih
tergantung pada Badan Kehormatan DPR yang tentu saja dapat bersifat subyektif dan partisan (pasal 85 ayat 2c).
4.3.2. Anggaran
Selain itu dukungan anggaran untuk hal ini sangat rendah, sebagai contoh dalam anggaran Sub Sektor Politik Dalam Negeri dalam tahun 2002 adalah 87 milyar rupiah;
tahun 2003,94 milyar rupiah dan dalam RUU tahun 2004 hanya tersedia sekitar 132 milyar rupiah yang sangat tidak mendukung proses akuntabilitas wakil rakyat. Selain sebesar 3
itu dalam anggaran DPR (2002)
sebenamya tersedia "dana komunikasi"
juta rupiah perbulan serta dana reses. Namun dalam prakteknya mereka tidak
mempunyai rencana kerja dan pertanggung jawaban yang jelas berkaitan dengan kontak
dan komunikasi dengan konstituen. Demikian pula publik tidak dapat bagaimana penggunaan anggaran tersebut
dan
mengakses
kegunaannya dalam kerangka
akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya. 4.3.3. Tekanan Publik
Faktor lain yang berperan adalah kurangnya tekanan publik dari pers, universitas, dan ormas pada anggota DPR (dan parlemen serta parpol) agar mereka menjadi lebih
aspiratif dan responsif pada konstituennya. Berbagai kritik yang ada lebih bersifat
lndilutor Ahtntabilitas
sporadis, individual
dan tidak
D emolcrasi,
2004
berkesinambungan. Misalnya, universitas tidak
mengintegrasikan masalah pemantauan dan evaluasi kinerja DPR dalam kurikulum yang
melibatkan dosen dan mahasiswa. Selain
itu pers tidak
merencanakan dan
mengalokasikan waktu dan tempat yang cukup dan terencana untuk mengawasi kinerja DPR dan demokrasi. Evaluasi kinerja anggota DPR tanpa indikator dan data yang jelas-
seperti tuduhan Politisi Busuk-terbukti tidak efektif. Stigmatisasi politisi busuk ini mendapat tentangan hukum dari mereka yang dituduh sehingga gerakan
ini menjadi tidak
efektif.
Dengan tekanan publik yang berkesinambungan maka dapat diatasi berbagai masalah pelanggaran HAM (Marsinah, Udin) yang selama ini tidak diperjuangkan oleh
wakil dari konstituen yang terkait. Demikian pula masalah bencana alam maupun sosial (darurat militer dan konflik, kerusuhan SARA) sepertinya bukanlah "issu" penting bagi
wakil rakyat di konstituen tersebut. 4.3.4. Sejarah
Kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak merupakan bagian yang menonjol dalam sejarah politik Indonesia. Kalaupun ada, kontak yang terjadi lebih bersifat mobilisasi dan menjelang pemilu (kampanye). Selain itu materi
dalam kontak tidak bersifat program yang jelas dan terukur melainkan lebih merupakan retorika. 4.3.5. Sistem Pemilu
Faktor lain yang berperan dalam rendahnya akuntabilitas disebabkan oleh sitem
pemilu yang memilih tanda gambar fiaman Orde Baru). Keadaan ini menghasilkan gambaran yang abstrak (tanda gambar) atau DPP dimana figur wakil tidak perlu mengakar. Selain
itu
DPP/DPD menjadi (konstituensi).
DPP/DPD yang dominan membuat masalah akuntabilitas pada
lebih penting ("partycracy") dibandingkan pada pemilih
lndikator Ahtntabilitas
D emolsasi,
2004
5. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pembahasan mengenai akuntabilitas demokrasi pada periode Orde Baru dan Pasca Orde
Baru
masih tertinggal dengan perbaikan dalam aspek "kompetisi" dan
"partisipasi" yang diukur oleh indikator "Freedom House." Peningkatan akuntabilitas perlu diprioritaskan 'melalui dimensi pengukuran sehingga dapat diusulkan perbaikan yang dapat memperbaiki skor IAD.8 5. 1.
Perundang-undangan
Kurang terbahasnya masalah akuntabilitas atau kedaulatan rakyat pasca pemilu
ini tercermin pula dalam berbagai konstitusi maupun UU. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen tidak tercantum kewajiban para wakil rakyat untuk akuntabel dan
ini perlu pencatuman secara eksplisit (dalam wakil rakyat mempunyai kewajiban seperti melakukan
responsif pada rakyat. Untuk mengatasi hal
suatu pasal atau ayat) bahwa
kontak dan melaporkan kegiatannya pada pemilihnya. Selain
itu mereka perlu
mempelihatkan kinerjanya terutama berkaitan dengan pemenuhan aspirasi; pemberian
bantuan (dalam bencana alam atau konstituennya. Secara
sosial) dan penyelesaian kasus yang ada
di
lebih khusus mereka diminta menjaga HAM warga di
konstituensinya sehingga terhindar dari tindakan sewenang-wenang aparat atau pihak lain. Demikian pula perlu ada peraturan yang menjamin hak dari warga di konstituensi untuk memecat wakil rakyat pada tingkat lokal yang melakukan kesalahan. Di Filipina hal ini telah diberlakukan
melalui
peraturan pemerintah
lokal yang diamanatkan oleh
konstitusi 1987 Filipina (Hernandez, 1999 320-323). Selain
itu
akuntabilitas yang
rendah ini tercermin pula dalam UU Politik (Susunan dan Kedudukan DPR/D) dimana masalah akuntabilitas wakil rakyat pasca
pemilu tidak dibahas secara komprehensif.
Keadaan ini sebenarnya dimungkinkan terlepas apakah sistem pemilu yang digunakan adalah sistem distrik atau proporsional terbuka ataupun tertutup.
8
Didasarkan atas pembahasan dalam Sujatmiko, 2002.
Indikator Akuntabilitas Demokrasi, 2004 5.2. Anggaran
Hal ini berkaitan dengan program ,,operation and. Maintenance,, (o & M) Demokrasi yang perlu dianggarkan secara rutin oleh negara (seperti layaknya pembangunan l
'
fisik). Dengan kata lain anggaran
anggota DPR perlu ditingkatkan untuk:
Kunjungan ke konstituen (setidaknya setahun dua kali dengan disertai tim atau asisten, sehingga dapat mengidentifikasi aspirasi publik dan menjelaskan pencapaiannya padamereka dalam masa yang akan datang).
2'
Pembuatan Laporan Tahunan (setidaknya setahun sekali dimana dijelaskan berbagai kegiatan yang telah dilakukan untuk daerah pemilihannya).
3'
Dukungan staf profesional dan Administratif (dapat berada di Jakarta maupun di daerah pemilihan sesuai dengan kebutuhan).
Selain itu perlu pula anggaran bagi Bidang Politik Dalam Negeri dimana warga mendapat kemudahan untuk mengkontak wakil rakyat (Surat Bebas dari Bea), dan
tersedianya dana untuk pertemuan rutin dengan wakil rakyat. Tanpa pembuatan 'Jembatan" antara wakil dan warga maka demokrasi akan terbatas pada kelompok elit atau oligarki saja. S.3.Pengorganisasian dan Tekanan publik Pengorganisasian
ini meliputi optimalisasi lembaga Komisi pemilihan
Umum
(KPU/D) untuk membantu pelaksanaan demokrasi pasca pemilu. Mereka diharapkan mempunyai data tentang rencana kerja anggota DPR/D dan parpol sehingga dapat
diakses dan dievaluasi oleh publik. Selain organisasi komunitas, organisasi massa,
itu perlu pula peran aktif berbagai pers, perguruan tinggi, parpol maupun
organisasi okupasi (asosiasi profesi, pekerja, petani dan sektor informal). Beberapa lembaga seperti Pers dan Universitas perlu untuk selalu melaporkan kegiatan monitoring demokrasi. Lembaga-lembaga tersebut diminta untuk membuat laporan
tahunan keadaan demokrasi sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan intelektual ("moral and intellectual accountability report"). Sebaiknya lembaga tersebut mempunyai "Ombudsman" independen yang memantau (dan membuat
lndilcator Alcuntabilitas D emolerasi, 200 4
laporan/audit setiap alihir tahun). Dengan pola
ini dapat diketahui apakah
mereka
telah cukup aktif atau tidak dalam memantau DPR dan demokrasi di Indonesia. 5.4. Sistem Pemilu Perubahan pada sistem pemilu yang menekankan figur (memilih wakil)
baik dalam
sistem distrik atau sistem proporsional terbuka akan mendukung akuntabilitas jika dilengkapi dengan mekanisme lain seperti kunjungan dan pelaporan kegiatan wakil rakyat. Dalam format pemilu 2004,
tidak mencoblos tanda
parpol
jika
pemilih hanya mencoblos orang namun maka hal ini dianggap tidak sah. Seharusnya yang
berlaku adalah sebaliknya yakni mencoblos tanda gambar tanpa orang
justru dianggap
tidak sah dan jika hanya mencoblos orang tanpa tanda gambar dianggap sah.
Berbagai rekomendasi kebijakan diatas jika dilakukan secara komprehensif akan memaksa para wakil rakyat lebih akuntabel sehingga menghasilkan skor yang tinggi
dalam Indeks Akuntabilitas Demokrasi. Tingginya Indeks Akuntabilitas ini akan meningkatkan pula Indikator Demokrasi dalam dimensi lain yakni "partisipasi,, dan "Kompetsisi" seperti yang telah diukur dalam Indikator Freedom House. Keadaan ini akan mengubah demokrasi di Indonesia dari hanya sekedar "Demokrasi pemilu" menjadi "Demoktasi Perwakilan yang Responsif' dan sekaligus warga negara yang
aktif menuntut akuntabilitas dari wakil mereka.
lndilstor Alcuntabilitas
D emokrasi,
2004
DAFTAR KEPUSTAKAAN -----. Amandemen Undang Undang Dasara 1945. Perubahan Pertama, Kedua, Ke t i ga. dan Ke e mpaf
.
Interaksara.
Akuntabilitas Pelaksanaan Demolvasf, Rangkuman Diskusi sehari kerjasama antara direktorat Politik Komunikasi dan Informasi dengan Fakultas llmu sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2002.
Anwar, Syafii (Ed.). Menggapai Kedaulatan Ralcyat: 75 Tahun prof, Miriam Budiardjo. Bandung: Mizan, 1998. Barber, Benjamin. "Challenges to Democracy in An Age of Globalization,, in Axtmann, Roland (Editor). Balancing Democracy. Continuum: London and New york.
200t. Berk-Schlosser' "Indicators
of Democratization and Governance-strengths and
Weaknesses.
Beetham, David. "Defining and Measuring democracy,,' vol. 36. sage modern political series., London: Sage publications, 1994.
Bollen, Kenneth A. "Political Democracy: Conceptual and Measurement-Traps,,
dalam Alex Inkeles (ed.).
on
Measuring Democracy;
lts
Consequences and
concomitarrs. New Brunswick: Transaction publishers, I 993.
Budiarjo, Miriam. Masalah Accountability Dalam Ilmu Politik, Pidato Penganugerahan Gelar Doktor kehormatan dalam Ilmu politik Universitas lndonesia. t997.
Da Cunha, Derek. The Price of Victory: The 1997 Singapore General Election and Beyond. Singapore: ISEAS, 1997.
Dahl, Robert. Dilemmas Of Pluralist Democracy. Ncw Haven, Conn: yale University Press, 1982.
lndilcator Ahtntabilitas Demokrasi, 2004
Emmerson, Donald.
1999".
Di
dalam Donald
K. "Voting and Violence:
K.
Indbnesia and East Timor in
Emmerson (ed). Indonesia Beyond Suharto: Polity,
Economy, Society, Transition. Armonk, New York: M. E. Sharpe, 1999. Freedom House. Freedom in the World Country Ratings. 1972-73 to 2001-2002.
New York: Freedom House, 2003. Gastil, Raymod Dungan."The Comparative Survey of Freedom: Experiences and
Suggestions." Alex Inkeles (ed.) On Measuring Democracy: Its Consequences and Concomitanls. New Brunswick, 1993. Hadenius, Axel. Democracy and Development. Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
Hefner, Robert. Civil Islam: Muslims and Democratization
in
Indonesia.
Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2000.
Hernande4 Caroline G."Governance,
Civil Society and Democracy"
The
Indonesian Quarterly, Vol XXVII, No.4, Fourth Quarter, 1999.
Huntington, Samuel P., and Joan
K.
Nelson. No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries. Cambridge, Mass: Harvard University
Press,
t976. Huntington, Samuel P. The Third l{ave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press, l99l
.
Kompas, l0 Juni 2002
Liddle, R. William dan Saiful Mujani. "Islam, Kultur Politik, dan Demokratisasi."
Jurnal Demokrasi dan Ham. Vol l. No.1. Mei-Agustus 2000.
Liddle, William R. "Langkah-Langkah Baru Demokratisasi
di
Indonesia". Di
dalam Memastikan Arah Baru Demolcrasi (Jakarta: Lab. Ilmu Politik FISIP-UI dan Mizan Pustaka, 2000).
"Regime: The New Order". Di dalam Donald K. Emmerson (ed). Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy, Society, Transition. Armonk, |Jew York: M.E. Sharpe, 1999.
Indilutor Akuntabilitas
D emobasi,
2004
Linz, Juan J. dan Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and PoshCommunist Europe. Baltimore and London: The John Hopkins university press, 1996.
Malley, Michael. "Regions: Centralization and Resistance". Di dalam Donald K. Emmerson (ed). Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy, Society, Transition. Armonk, New York: M. E. Sharpe, 1999. Neher, Charles D. and Ross Marlay. Democracy and Development in Southeast Asia: The winds of change. Boulder, co.: west view press, 1995. Pembangunan Politik Konsolidasi Demolvasi, Draft Bckground Sudy Rncana PJP- Bdang Politik 2005-2025, Kelompok Keda Bidang Politik Badan perencanan Pembangunan Nasional, 2002
Rauf, Maswadi. "Akuntabilitas Pelaksanaan Demokrasi." Makalah disajikan dalam Diskusi "Akuntabilitas pelaksanaan Demoklasi." Jakarta 2002. Rousseau, J.J. The Social Contract, with Geneva Manuscript and political Economy. ed. R.D. Masters. New york: St. Martin's, l96g [1762). Suara Ralcyat untuk t{akil Ratqtat Laporan Akhir Survei Nasional Tentang
Masalah Politik. Jakarta: Konsorsium Lembaga pengumpul pendapat umum bekerjasama dengan sekretariat MpR, Sekretariat DpR, cssp, 2000. Sujatmiko, Iwan Gardono."Demokrasi Pasca Pemilu" Masyarakal Undang-Undang SUSDUK.
No
1
l.
2002.
UU No, 22 tahun 2003. Dengan Penjelasannya.
Bandung:Fokusmedia, 2003. Verba, Sidney, Norman H. Nie, and Jae-on Kim. Participation and Political Equality: A Seven-Nation Comparison. Cambridge: Cambridge University press, 197g.
TNTRODUCTION
Freedom in the World 2003: Survey Methodology
The Freedom. in the World survey provides an annual evaluation of the state of global freedom. The survey' which includes both analytical reports and numerical ratings of countries and select territories. measures freedom by assessing two broad.categories: political righls and civil liberties. political rights enable people to participate freely in the political pro"ess. This inJudes the right to vote and compete for public office and to elect representatives who have a decisive vote on public policies. Civil liberties include the freedom to develop opinions, institutions, and personal autonomy without interference from the state.Freedom House assigns each country a'nd territory a political rights and civil liberties rating, along with a corresponding status designation of Free, Partly Free, or Not Frei. The survey does not rate governments or government performance per se, but rather the real-world rights and freedoms enjoyed by individuals as the result of actions by both state and nongovernmental actorJ. The survey team does noi base its judgment solely on the political conditions in a country or territory (e.g., war, terrorism), but on the effect that these
conditions have on freedom.
Freedom House does not maintain a culture-bound view of freedom. The methodology of the survey established basic standards drawn from the Universal Declaration of Human Rights. theseiiandards appli to all countries and territories, irrespective of geographicat location, ethnic o."r"ligiou, composition, and level of economic development.
For the purposes of the survey, countries are defined as internationally recognized independent
states whose governments reside within their officially claimed borders. In the case of Lyprus, two sets of ratings are provided, as there are two governments on that divided island; however, this does not imply that
Freedom House endorses Cypriot division. Freedom House divides territories into two categories: related tenitories and disputed territories. Related territories consist mostly of colonies, protectorates, and island dependencies of sovereign states that are in some relation of dependincy to that statf and whose relationship is not currently in serious legal or political dispute. Disputed territories are areas within internationally recognized sovereign states whose status is in serious political or violent dispute and that often are dominated by a minority ethnic group. This group also inciudes territories whose incorporation into nationstates is not universally recognized. In some cases, the issue of dispute is the desire oi the majority of the population of that territory to secede from the sovereign state and either form an independeni country or become part of a neighboring state.
HISTORY OF THE SURVEY Freedom House's first year-end reviews of freedom began in the 1950s as the Balance Sheet of Freedom. This modest report provided assessments of political tiends and their implications for individual freedom. ln 1972, Freedom House launched a new, more comprehensive annuat ituay or freedom called "Freedom in the World." Raymond Gastil, a Harvard-trained specialist in regional studies from the University of Washington at Seaftle, developed the survey's methodology, which asligned countries political rights and civil liberties ratings and categorized them as Free, Partly Free, or N-ot Free. The hndings appeared each year in Freedom House's Freedom at Issue bimonthly journal (latertitled Freedom Review:). Having served as a consultant to Freedom House, Gastil later moved to New york and became the full-time of the survey. Th-e survey first appeared in book form in 1978 and continued to be produced {irec.t9r by Gastil, with essays by leading scholars on related issues, until 1989, when a larger team of in-house survey
analysts was established. Subsequent editions essentially the same format.
of the survey, including the 2003 edition, have followed
OVERVIEW OF CURRENT RESEARCA ENO RATINGS REVIEW PROCESS This year's survey covers developments in 192 countries and l8 territories. The research and ratings process involved over 30 analyst/writers and senior-level academic advisors. The seven members of the coie research team headquartered in New York, along with nine outside consultant writers, prepared the country and territory reports. To reach its conclusions, the analysts used a broad range of sources of information, including foreign and domestic news reports, nongovernmental organization publications, think tank and academic analyses, individual professional contacts, and visits to the region in preparing their reports. The country and territory ratings, which were proposed by the writers of each rlport, were reviewed on a comparative basis in a series of regional discussions involving the analysts and regional academic experts. These reviews were followed by cross-regional assessments in which efforts were made to ensure comparability and consistency in the findings. The ratings were atso compared to the previous year's findings and any major numerical shifu or category changes were subjected to more intensive scrutiny. Some of the country essays were also reviewed by the regional academic advisors. The survey's methodolory is reviewed by an advisory committee on methodological issues. This year's committee included Joshua Muravchik, American Enterprise Institute; Larry Diamond, Joumut of Democracy; Kenneth Bollen, University of North Carolina; Jack Snyder, Columbia University; and Jeane Kirkpatrick, American Enterprise Institute. Over the years, the committee has made a number of modest methodological changes to adapt to evolving ideas about political change and civil liberties. At the same time, the time series data are not revised retroactively and any changes to the methodology are introduced incrementally in order to ensure the comparability of the ratings from year to year. RATINGS PROCESS Summary of the ratings process Each country and territory is awarded from 0 to 4 raw points for each of l0 questions grouped into three subcategories in a political rights checklist, and for each of 15 questions g.ouped into four subcategories in a civil liberties checklist. The total raw points in each checklist correspond to two final numerical ratings of I to 7. These two ratings are then averaged to determine a status category of "Free," "Partly Free," or "Not Free." (NOTE: see the full checklists and keys to political rights and civil liberties ratings and status at the end of the methodology essay) Steps in the ratings process
Awarding of raw scores-Each question in both the political rights and civil liberties checklists is awarded from 0 to 4 raw points per checklist item, depending on the comparative rights or liberties present. In both checklists,0 represents the smallest degree and 4 the greatest degree of rights or liberties prisent as specified in each question. The only exception to the addition of 0 to 4 raw points per checklist item is
Additional Discretionary Question B in the Political Rights Checklist, for which I to 4 raw points are subtracted depending on the severity of the situation. The highest possible total score for political rights is 40 points, representing a total of up to 4 points for each of l0 questions. The highest possible total score for civil liberties is 60 points, representing a total of up to 4 points for each of l5 questions. To answer the political rights questions, Freedom House considers to what extent the system offers voters the opportunity to choose freely from among candidates and to what extent the candidates are chosen independently of the state. However, formal electoral procedures are not the only factors that determine the a
real distribution of power. [n many countries, the military retains a significant political role, while in others, the king maintains considerable power over the elected politicians.
In answering the civil liberties questions, Freedom House does not equate constitutional guarantees of human rights with the on-the-ground fulfillment of these rights. For states and territories with small
populations, particularly tiny island nations, the absence of trade unions and other forms of association is not
necessarily viewed as a negative situation unless the government deliberately blocking their establishment or operation.
or other centers of domination
are
Calculation of political rights and civil liberties ratings-A country or territory is assigned a numericalrating on a scale of I to 7 based on the total number of raw points awarded to the political rights and civil liberties checklist questions. For both checklists, I represents the most free and 7 the least free; each I to 7 rating corresponds to a range oftotal raw scores (see Tabtes I and 2). Assigning of the status of Free, Partly Free, Not Free-Each pair of political rights and civil liberties ratings is averaged to determine an overall status of "Free," "Partly Free," or "Not Free." Those whose ratings uu"iug" l-2.5 arc considered Free, 3-5.5 Partly Free, and 5.5-7 Not Free (see Table 3). The dividing lini betrvein Partly Free and Not Free falls at 5.5. For example, countries that receive a rating of 6 for political rights and 5 for civil liberties, or a 5 for political rights and a 6 for civil liberties, could be either Partly Free or Not Free. The total number of raw points is the definitive factor that determines the final status. Countries and territories with combined raw scores of 0-33 points are Not Free,34-67 points are Partly Free, and 68-100 are Free.
The designations of Free, Partly Free, and Not Free each cover a broad third of the available raw points. Therefore, countries and territories within any one category, especially those at either end of the category, can have quite different human rights situations. In order to see the distinctions within each category, a country or territory's political rights and civil liberties ratings should be examined. For example, countries at the lowest end of the Free category (2 in political rights and 3 in civil liberties, or 3 in political rights and 2 in civil liberties) differ from those at the upper end of the Free group (l for both potiticil rights and civil liberties). Also, a designation of Free does not mean that a country enjoys perfect freedom or lacks serious problems, only that it enjoys comparably more freedom than Partly Free or Not Free (or some other Free) countries.
Indications of ratings and/or status changes-Each country or territory's political rights rating, civil liberties rating, and status is included in the statistics section that precedes each country or territory report. A change in a political rights or civil liberties rating since the previous survey edition is indicated with an asterisk next to the rating that has changed. A brief ratings change explanation is included in the statistics section.
Assigning of trend arrows-Upward or downward trend arrows may be assigned to countries and territories. Trend arrows indicate general positive or negative trends since the previous survey that are not necessarily reflected in the raw points and do not warrant a ratings change. A country cannot receive both a numerical ratings change and a trend arrow in the same year, nor can it receive trend arows in the same direction in two successive years. A trend arrow is indicated rvith an arrow next to the name of the country or territory that appears at the top of each country or territory report. GENERAL CHARACTERISTICS OF EACH POLITICAL RIGHTS AND CIVIL LIBERTIES RATING Political Rights J
Rating of l-Countries and territories that receive a rating of I for political rights come closest to the ideals suggested by the checklist questions, beginning with free and fair elections. Those who are elected rule, there are competitive parties or other political groupings, and the opposition plays an important role
and has actual power. Minority groups have reasonable self-government
or can participate in
the
government through informal consensus.
Rating of 2-Countries and territories rated2 in political rights are less free than those rated l. Such factors as political comrption, violence, political discrimination against minorities, and foreign or military influence on politics may be present and weaken the quality of freedom. Ratings of 3, 4,5-The same conditions that undermine freedom in countries and territories with a rating of 2 may also weaken political rights in those with a rating of 3, 4, or 5. Other damaging elements can include civil war, heavy military involvement in politics, lingering royal power, unfair elections, and one-
party dominance. However, states and territories in these categories may still enjoy some elements of political rights, including the freedom to organize quasi-political groups, reasonably free referenda, or other significant means of popular influence on government. Rating of 6-Countries and tenitories with political rights rated 6 have systems ruled by military juntas, one-party dictatorships, religious hierarchies, or autocrats. These regimes may allow only a minimal manifestation of political rights, such as some degree of representation or autonomy for minorities. A few states are naditional monarchies that mitigate their relative lack of political rights through the use of consultation with their subjects, tolerance of political discussion, and acceptance of public petitions. Rating of 7-For countries and territories with a rating of 7, political rights are absent or virtually nonexistent as a result of the extremely oppressive nature of the regime or severe oppression in combination with civil war. States and territories in this group may also be marked by extreme violence or warlord rule that dominates political power in the absence of an authoritative, functioning central government.
Civil Liberties Rating of l-Countries and territories that receive a rating of I come closest to the ideals expressed in civil liberties checklist, including freedom of expression, assembly, association, education, and religion. They are distinguished by an established and generally equitable system of rule of law. Countries and
the
territories with this rating enjoy free economic activity and tend to strive for equality of opportunity. Rating of 2-States and territories with a rating of 2 have deficiencies in three or four aspects of civil liberties, but are still relatively free. Ratings of 3,4,5-Countries and territories that have received a rating of 3,4, or 5 range from those that are in at least partial compliance with virtually all checklist standards to those with a combination of high or medium scores for some questions and low or very low scores on other questions. The level of oppression increases at each successive rating level, particularly in the areas of censorship, political terror, and the prevention of free association. There are also many cases in which groups opposed to the state engage in political terror that undermines other freecioms. Therefore, a poor rating for a country is not necessarily a comment on the intentions of the government, but may reflect real restrictions on liberfy caused by nongovernmental actors.
Rating of 6-People in countries and territories with a rating of 6 experience severely restricted rights
of expression and association, and there are almost always political prisoners and other manifestations of political terror. These countries may be characterized by a few partial rights, such as some religious and social freedoms, some highly restricted private business activity, and relatively free private discussion. Rating of 7-States and territories with a rating of 7 have virtually no freedom. An overwhelming and justifi ed fear of repression characterizes these societies.
Countries and territories generally have ratings in political rights and civil liberties that are within two ratings numbers of each other. Without a well-developed civil society, it is difficult, if not impossible,'to have an atmosphere supportive of political rights. Consequently, there is no country in the survey with a rating of 6 or 7 for civil liberties and, at the same time, a rating of I or 2 for political rights. CHANGES TO THE
2OO3
SURVEY METHODOLOGY
For the 2003 edition of the survey, several modest changes were made to the methodolory. The political rights checklist has been divided into three subcategories: political process, political pluralism and participation, and functioning of government. A question on academic freedom (question 43) was added to the civil liberties checklist. A question on government accountability to the electorate and government openness and transparency (question C3) was added to the political rights checklist. A question on government corruption was moved from the civil liberties to the political rights checklist (question C2). In the civil liberties checklist, the question, "ls the population treated equally under the law?" was separated from question C2 and made a separate question (question C4). In addition, a few questions were reworded slightly or moved within each checklist for the sake of greater clarity. ELECTORAL DEMOCRACY DESIGNATION
In addition to providing numerical ratings, the survey assigns the designation "electoral democracy" to countries that have met certain minimum standards. Among the basic criteria for designating a country as an electoral democracy are that voters can choose their authoritative leaders freely from among competing groups and individuals not designated by the government; voters have access to information about candidates and their platforms; voters can vote without undue pressure from the authorities; and candidates can campaign free from intimidation. The presence of certain irregularities during the electoral process does not automatically disqualifo a country from being designated an electoral democracy. Freedom House's term "electoral democracy" differs from "liberal democracy" in that the lafter also implies the presence of a substantial array of civil liberties. In the survey, all Free countries qualifu as both elecioral and liberal democracies. By contrast, some Partly Free countries qualifu as electoral, but not liberal, democracies.
POLITICAL zuGHTS AND CIVIL LIBERTIES CHECKLIST Political Rights Checklist A. Electoral Process I . Is the head of state and/or head of government or other chief authority elected through free and fair elections? 2. Are the legislative representatives elected through free and fair elections?
3. Are there fair electoral laws, equal campaigning opportunities, fair polling,'and honest tabulation of ballots?
B. Political Pluralism and Participation
l.
Do the people have the right to organize in different political parties or other competitive political of their choice, and is the system open to the rise and fall of these competing parties or
groupings
groupings?
2. Is there a significant opposition vote, de facto opposition power, and a reatistic possibility for
the
opposition to increase its support or gain power through elections?
3. Are the people's political choices free fiom domination by the military, foreign powers, totalitarian parties, religious hierarchies, economic oligarchies, or any other powerful group?
4. Do cultural, ethnic, religious, and other minority groups have
reasonable self-determination, self-
government, autonomy, or participation through informal consensus in the decision-making process? C. Functioning of Government
l. Do freely elected representatives determine the policies of the government? 2. Is the government free from pervasive corruption? 3. Is the government accountable to the electorate between elections, and does it operate with openness and transparency? Additional discretionary Political Rights questions:
A. For traditional
monarchies that have no parties
or electoral
process, does the system provide for
consultation with the people, encourage discussion of policy, and allow the right to petition the ruler?
B. Is the government or occupying power deliberately changing the ethnic composition of a country or tenitory so as to destroy a culture or tip the political balance in favor of another group? (NOTE: For each political rights and civil liberties checklist question, 0 to 4 points are added, depending on the comparative rights and liberties present [0 represents the least,4 represents the most]. However, for additional discretionary question B only, I to 4 points are subtracted, as necessary.)
Civil Liberties Checklist A. Freedom of Expression and Belief I . Are there free and independent media and other forms of cultural expression? (Note: in cases where the media are state-controlled but offer pluralistic points of view, the survey gives the system credit.) 2. Are there free religious institutions, and is there free private and pubtic religious expression? 3. Is there academic freedom, and is the educational system free of extensive political indoctrination? 4. Is there open and free private discussion?
B. Associational and Organizational Rights
L Is there freedom of assembly, demorrstration,
and open public discussion?
2. Is there freedom of political or quasi-political organization? (Note: this includes political parties, civic organizations, ad hoc issue groups, etc.) 3. Are there free trade unions and peasant organizations or equivalents, and is there effective collective bargaining? Are there free professional and other private organizations? C. Rule of Law
l. Is there an independent judiciary? 2. Does the rule of law prevail in civil and criminat matters? Are police under direct civilian control? 3. Is the-re protection from police terror, unjustified imprisonment, exile,-or torture, whether by groups that support or oppose the system? Is there freedom from war and insurgencies? 4. Is the population treated equally under the law? D. Personal Autonomy and Individual Rights
l. Is there personal autonomy? Does the state control travel, choice of residence, or choice of employment? Is there freedom from indoctrination and excessive dependency on the state?
2. Do citizens have the right to own properfy and establish private businesses? Is private business activity unduly influenced by government officials, the securi{ forces, or organized crime? 3. Are there personal social freedoms, including gender equality, choice of marriage partners, and size of family? 4. Is there equality of opportunity and the absence of economic exploitation KEY TO RAW SCORES, POLITICAL RIGHTS AND CIVIL LIBERTIES RATINGS. STATUS POLITICAL RIGHTS (PR): TotalRaw Scores PR Rating
36-40:7 30-35: 6
24-29:5 18-23:4 12-17:3
6-l
l:
2
0-5:::
I
CNIL LIBERTIES (CL): Total Raw Scores CL Rating 53-60:7 44-52:6 35-43:5 26-34:4 17-25:3
8-16:2
0-7:
I
lndilator Akuntabilitas
Selain
D
emolcrasi, 2004
itu dapat dikonstruksi pula Indikator yang berkaitan dengan legislasi;
anggaran dan pengawasan (UU No.2212003; pasal 25).3
Untuk IADlegislasi dapat dihitung baik secara kuantitatif (umlah rata-rata pertahun UU yang dihasilkan) maupun secara kualitatif (relevansi bagi konstituen). secara lebih rinci dapat diukur apakah uU tersebut merupakan inisiatif dari DpR atau pemerintah.
Untuk IAD Anggaran dapat diukur sejauhmana anggaran tersebut bermanfaat bagi kelompok atau daerah tertentu. Rendahnya anggaran bagi kelompok yang membutuhkan (kelompok miskin dan rentan) merupakan indikator bahwa akuntabilitas anggaran adalah rendah. Selain itu dalam anggaran dapat pula diketahui penghematan maupun realisasinya (lihat pula Ridwan, 2001).
Untuk IAD Pengawasan dapat diukur sejauhmana lembaga DpR telah melakukan koreksi pada eksekutif baik melalui interpelasi; angkat; menyatakan pendapat (pasal 27) maupun mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat (pasal 2g). 4.2.
Aplikasi Indikator Akuntabilitas (..Representasi")
Instrumen untuk mengukur Akuntabilitas ini pertama kali akan diterapkan untuk mengetahui apakah para wakil rakyat secara rutin mengunjungi konstituennya atau tidak.
Tabel4.1 Kunjungan ke Konstituen Pernah dihubungi DPR/D
Tidak Dihubungi Tidak Tahu Tidak Menjawab Media Indonesia 6 Februari
2oM
Tabel diatas menunjukkan bahwa kunjungan anggota DPR/D menurut responden adalah sangat rendah' Data diatas menunjukkan bahwa tingkar akuntabilitas wakil rakvat
3
Pembahasan ketiga aspek
selanjutnya.
ini
Legislasi; Anggaran dan pengawasan akan dilakukan dalam studi
E
Indilator Akuntabilitas
D
emolcrasi, 2004
"Sangat Rendah" dan dapat dikatakan bahwa mereka tidak akuntabel pada konstituen mereka.
Selain
itu
terdapat informasi tambahan mengenai kinerja mereka menurut berbagai polling. Sebagai contoh data dalam tabel2.2 menunjukkan statistik demokrasi mengenai pandangan publik terhadap anggota DpR/D:
Tabel4.2 a
PANDANGAN TERHADAT ANGGOTA DPR
D R/I)
PANDANGAN TERHADAf
PANDANGAN
{NGGOTA DPRD I
TERHADAP ANGGOTA )PRD II
Sudah mewakili
22%
Sudah mewakili
2s%
Sudah mewakili
34%
Kurang mewakili
3s%
Kurang mewakili
3l%
Kurang mewakili
28%
Tidak mewakili
t5%
Tidak mewakili
t2%
Tidak mewakili
llol
Tidak tahu
26%
Tidak tahu
29%
Tidak tahu
2s%
Tidak menjawab
3%
Tidak menjawab
2%
Tidak menjawab
2%
Sumber: 'Suara Rakyat untuk W
mewakili, kurang rngJval
masyarakat
ai
oo kabupaten/kotamadya di 20 propinsi. informasi lainnya tentang responden adalah: usia lg tahun keatas atau sudah menikah. Slnpling error polling adalah zu" iengin tingkat kepercayaan 95%. Untuk lengkapnya lihat Suara Rakyar untuk wakir {akyat....(2000: L-r dan L-2).
*
Survey diatas dilakukan pada tahun 2000
dan
mengevaluasi anggota DpRD hasil pemilu 1999 yang dianggap'Jurdil" baik oleh kalangan dalam negeri maupun luar
negeri' Keadaan
ini
menunjukkan bahwa suksesnya suatu pemilu (.,Electoral
Democracy") tidak menjamin tingginya rasa keterwakilan rakyat. Hal diatas disebabkan tidak diberlakukannya sistem pemilu yang memberi kesempatan pada publik untuk memilih wakilnya (sistem proporsional terbuka dan sistem distrik). Selain itu hal tersebut terjadi karena tidak adanya mekanisme kontrol pasca pemilu sehingga wakil rakyat tidak merasa perlu untuk akuntabel bahkan memperkenalkan dirinya (mengunjungi) rakyat di daerah pemilihannya. Tabel juga menunjukkan
bahwa
umum pandangan reponden tentang anggota DPR tidak jauh berbeda dengan pandangan mereka terhadap DPRDI dan II. Secara jelas terlihat bahwa hanya 22%o responden yang menganggap secara
lndilutor Akuntabilitas
D emolcrasi, 2004
bahwa anggota DPR telah mewakili mereka. Selebihnya menyatakan "Kurang Mewakili,, (3 5%) ; " Ti dak Mewaki I i " (l 5%) ;,. Tidak T ahu",(2 6yo).
Data lain menunjukkan buruknya citra DPR terlihat dalam dua tabel berikut: (Polling Kompas,l0 Juni 2002. Responden berusia minimal l7 tahun dan berdomisili di Jakarta Yogyakarta, Surabay4 Medan, Palembang, Samarinda, Makassar dan Manado. Tingkat kepercayaan 95% dan sampling error *l- 3.4%.)
Tabel4.3 Citra DPR "Menurut Anda. baik atau burukkahlito npil 24-25 Oktober2002
(n:
Baik Buruk Tidak
l3-14 Februari2002
(n:866)
802)
30.0% 59.6% r0.4%
Tahu/Jawab
t
i')
30-31 Mei 2002
(n
:830)
16.4% 69.6%
18.3 % 77.0 %
13.0 %
4.7 %
Tabel diatas juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden menganggap Citra DPR sebagai "Buruk." Buruknya citra DPR tersebut diperjelas dengan pandangan
publik tentang apakah anggota DPR mengutamakan kepentingan rakyat, partai atau pribadi seperti terlihat dalam tabel4.4
Priori
as
:
Tabel4.4 Perhatian t ta DPR
"Menurut penilaian Anda, apakah p lebih memperhatikan kepentingan rakyat, partai atau pribadi?" 24-25 Oktober 2002 30-31 Janttrrri2002 30-31 Mei 2002
(n:
Rakyat Partai Pribadi Tidak Tahu/Jawab
802) % 5s.t % 27.9 % 5.3 %
tt.7
(n:
877) 6.4 % 42,5 o/o 43.8 % 7.3 %
(n:830) rt.0 % 61.6% 24.5 % 2.9 %
Tabel diatas menunjukkan bahwan kurang dari 25o/o responden yang menganggap perhatian anggota DPR lebih kepada rakyat. Selebihnya menganggap bahwa perhatian ("Konstituen") DPR adalah "Partai" dan "Diri Mereka Sendiri." Hal ini menunjukkan menonjolnya gejala "partycracy" seperti yang dikemukakan oleh para responden. Jelaslah
COLTNTRY STATUS: Combined Average of the PR and CL Ratings
Country Status
I to 2.5 : Free 3 to 5.5 : Partly Free 5.5 to
7 : Not Free