--""
","
'"""
,"
MAJEtIS.HAKI~ {1<1'/>
DARI HAf<:IM TUNGGAL KE TELAAH ATAS TRANSFORMASI PRANATA HAKIM AGAMA 01 INDONESIA
Oleh Drs. M. Arskal Salim GP. M.Ag. NIP. 150277 615
FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1998
IVI.~.
v
//
DARI HAKIM TUNGGAL KE MAJELIS HAKIM: TELAAH ATAS TRANSFORMASI PRANATA HAKIM AGAMA DIINDONESIA
Olen Drs. M. Arskal Salim GP. M.Ag. NIP. 150277 615
Disetujui Olen Konsultan,
ardi Azra MA . 150221 183
KATA PENGANTAR
Bis m i1lah irrah man irrahi m Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., keluarga, dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga Hari Pembalasan kelak. Penelitian yang berjudul "Dari Hakim Tunggal ke Majelis Hakim: Telaah atas Transformasi
Pranata
Hakim Agama
di
Indonesia" akhirnya dapat diselesaikan,
walaupun mung kin agak terlambat. Dengan terus terang, harus diakui bahwa berbagai kendala dan hambatan membuat penelitian ini tidak dapat dikerjakan secara lebih sempurna. Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti berutang budi kepada berbagai pihak, terutama penyelenggara perpustakaan lAIN Jakarta. Sejumlah buku, referensi, dan bahan bacaan yang tersedia di ruang perpustakaan merupakan sumber data yang sangat bermanfaat bagi terlaksananya penelitian kepustakaan in!. Demikian pula, arahan dan dorongan dari berbagai pihak, khususnya konsultan penelitian ini, Prof.Dr.Azyumardi Azra,MA. dan Ketua Pusat Penelitian lAIN Jakarta, Dr.Dede Rosyada, MA. membuat pelaksanaan penelitian ini menjadi sangat lancar. Akhirnya, penelitian
yang
hidayah telah
dan
taufik
dilaksanakan
Allah ini
senantiasa
merupakan
kita ibadah
mohonkan.
Semoga
kepada-Nya
yang
mengantarkan kepada ridha-Nya. Amin. Bi//ahi Fi Sabi/i/ Haq
Jakarta, 12 Januari 1999
Drs.M.Arskal Salim GP,M.Ag.
DAFTAR 151
Halaman Pengesahan . Kata Pengantar................................................................................................. Daftar lsi.......................................................................................................... Abstrak............................................................................................................ BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................... • Perumusan dan Pembatasan Masalah.............................................. • Ruang Lingkup Penelitian,............................................................... • Tujuan Penelitian............................................................................ • Kegunaan Penelitian.......................................................................
iii iv v 1 5 5 6 6
BAB II
TElAAH KEPUSTAKAAN.........................................................................
7
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN....................................................................
9
BAB IV HA51L PENELITIAN............................................................................... A. Karakteristik Pranata Kadi di Masa Awal Islam.................................. B. Institusionalisasi Hukum Islam di Nusantara..................................... C. Pranata Kadi di Kesultanan Muslim Jawa.......................................... • Kesultanan Demak.................................................................... • Kesultanan Banten.................................................................... • Kesultanan Mataram.................................................................
11 11 15 18 18 19 23
BAB V
ANALl515 HA51L PENELITIAN................................................................
27
BAB VI
PENUTUP............................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA
..
42
Abstrak DARI HAKIM TUNGGAL KE MAJELIS HAKIM: TELAAH ATAS TRANSFORMASI PRANATA HAKIM AGAMA DI INDONESIA Drs. M. Arskal Salim GP. M.Ag.
Penelitian didorong oleh kenyataan bahwa hingga saat ini belum ada penjelasan yang cukup memuaskan mengenai alasan terjadinya transformasi pranata hakim agama di Indonesia; dari hakim tunggal ke majelis hakim. Pada umumnya, pranata hakim agama yang berbentuk majelis hakim itu diterima secara bulat (taken for granted) oleh umat Islam Indonesia sebagai tradisi yang berasal dari ajaran Islam. Padahal, sebenarnya, format majelis hakim seperti itu bukanlah tradisi orisinal Islam. HasH penelitian ini menunjukkan bahwa terbentuknya tradisi majelis hakim sedemikian itu bukanlah berasal dari Staatsblad nomor 152 tahun 1882 yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, melainkan bersumber dari kerajaan Muslim Mataram pada abad ke-17, persisnya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Terbentuknya tradisi majelis hakim itu merupakan hasil proses adopsi, adaptasi, dan modifikasi antara ketentuan hukum acara Islam dan warisan tradisi peradilan dari kerajaan Hindu Majapahit. Ada beberapa alasan yang dapat ditunjuk mengapa kerajaan Muslim Mataram menyimpang dari tradisi Islam, khususnya dalam hal format pranata hakim agama. Pertama, faktor proses pertumbuhan dan pembentukan kerajaan Muslim Mataram. Kedua, faktor geografis wilayah kerajaan Mataram. Ketiga, faktor konsepsi kekuasaan politik yang dominan berkembang dalam pondangan sultan-sultan Mataram.***
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam struktur pengadilan Islam manapun di berbagai belahan dunia Muslim, terdapat jabatan kadi (hakim tunggal) yang berkedudukan sebagai pimpinan pengadilan dan berfungsi memeriksa dan memutus perkara. Pada masa awal perkembangan Islam, pemeriksaan dan pemutusan perkara biasanya hanya dilakukan oleh seorang kadi. Tradisi ini dipercayai berasal dari zaman Nabi Muhammad saw. dan khulafa' al-rasyidin. Pranata hakim tunggal dalam sistem peradilan Islam yang masih amat sederhana muncul sejak Nabi Muhammad saw. diutus menjadi Rasul. Dilaporkan, Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah, menceritakan tentang kehadiran dua orang di hadapan Rasul yang memperselisihkan harta warisan. 1 Rasulullah menyelesaikan pemeriksaan perkara itu dan membuat keputusan atas perkara itu secara so liter, tanpa dibantu oleh sahabat. Akan tetapi, di Indonesia, di mana jabatan kadi lebih dikenal dengan sebutan hakim, setiap pemeriksaan dan pemutusan perkara selalu dilakukan oleh majelis hakim yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang, yaitu satu orang hakim ketua dan dua lainnya sebagai hakim anggota.2 Hingga saat ini, penjelasan yang memadai tentang terjadinya
1Uhat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Mesir: Matba' ah Musthafa al-Bab al-Halabi, Tth.), vol. II., h.271. 2U hat pasal 1S UU no. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sungguhpun terdapat perkara yang diperiksa oleh hakim tunggal, tetapi hal itu merupakan perkecualian karena kekurangan tenaga hakim.
ransformasi pranata hakim agama dari kadi tunggal menjadi berbentuk majelis hakim di Indonesia, sangat kurang jumlahnya, kalau tak dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Pada umumnya, pranata haklm agama yang berbentuk majelis hakim itu diterima secara bulat (taken for grantee/) oleh umat Islam Indonesia sebagai tradisi yang berasal dari ajaran
Islam. Padahal. sebenarnya, format majelis hakim seperti itu bukanlah tradisi orisinal Islam. Ada asumsi bahwa pemeriksaan dan pemutusan perkara oleh majelis hakim seperti itu hanya berlaku khusus di pulau Jawa, karena penduduk pulau Jawa sangat besar jumlahnya;
sehingga
dengan
demlkian
membutuhkan
perangkat
hakim
lebih
dari
seseorang. Kenyataan itu misalnya amat berbeda dengan pranata hakim agama yang terdapat di Kalimantan Selatan (biasa disebut Kerapatan Qadi), yang karena populasinya minim hanya terdlri dari seorang haklm. Dengan demikian, jika menglkuti asumsi ini, pemeriksaan dl pengadilan balk oleh majelis hakim ataupun oleh hakim tunggal tak lebih untuk memenuhi kepentingan praktis. Namun. hemat peneliti. jika semata-mata kuantitas penduduk yang dijadikan krlteria dalam menentukan pola hakim tunggal atau majelis hakim. maka konsistensi hal ini akan sulit dipertahankan. Mengapa, misalnya. di Aceh yang populasinya juga minim mempunyal pranata hakim yang berbentuk majelis?3
3U hat K.F.H. van Langen, nOe inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultdnaat", SKI, 5, !ll (l888), diterjemahkan oleh Aboe Bakar, Susunan PemerintahiJn Aceh Sem.ua Kesu!tanan, (Banda Aceh: PDIA, 1986), h. 48-59. Peradilan dl kesultanan Aceh sesungguhnya terdiri atas struktur yang cukup rum!t dan kompleks, karena terdiri at.as sejumlah strata yang tampaknya mengikuti hirarki kekuasaan dan ruang lingkup teritorial yang
ada pada mas-a
ItU,
mulal dari tingkat kampung yang lebih bersifat perwasitan atau Teungku, Pengadilan Keuchik.
Pengadilan Mukim, Pengadilan U1eeba/ang, Pengadilan Panglima Sagi hlngga ke tingkat wilayah kerajaan, yaitu
Mahkamah Agung Sulran. Proses peradilan pada '··--~'''' ....i nleh
pengadiJan Keuchik hingga ringkat M~1hkamah Agung Sultan
majells secara kolektif. dan bukannya secara solo.
Yang pasti, format pranata hakim agama yang berbentuk majelis hakim di puiau Jawa secara formai bersumber dari Staatsblad no 152 yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882, khususnya artikel 2 dan 3, Oi dalam artikel 2 itu disebutkan
bahwa" Raad-Agama itu terdiri atas seorang ketua, yaitu penghulu yang
diangkat oleh landraad, dan sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ahli agama Islam sebagai anggota yang semua diangkat dan diberhentikan oieh Gubernur Jenderal."
Selanjutnya,
dalam
artikel
(Pengadilan Agama)
baru boleh
memberi
3
dinyatakan
keputusan,
bahwa
"Raad Agama
bila banyaknya anggota yang
bersidang sekurang-kurangnya tiga orang, terhitung ketuanya,,4 Walau
begitu,
penting
digarisbawahi,
pemerintah
kolonial
Belanda
rnelalui
Staatsblad itu tak bermaksud merekayasa suatu sistem hukum yang baru bagi umat Islam di Jawa, melainkan lebih merupakan akreditasi terhadap status pengadilan agama yang keberadaannya memang telah eksis berbarengan dengan tumbuhnya entitas politik Muslim di Nusantara. Karena itu, format majelis hakim yang dlsebutkan di dalam Staatsblad itu sesungguhnya hanya merekam dan menjustifikasi pola
pemeriksaan perkara yang sudah
berlangsung sebelumnya. Hal itu terbukti dengan adanya kritik Snouck Hurgronje terhadap format majelis hakim seperti itu. Menurutnya, ketentuan dalam Staatsblad itu tidak sesuai dengan tradisi awal islam yang hanya mengenal format hakim tunggal. 5ebab, dalam Islam, seorang kadi dapat mengambil keputusan sendiri. Pengadilan dalam bentuk panitia atau "juri" masih
4Untuk mengetahui lebih lanjut isi StaatsbJad itu. silakan lihat Karel A. Steen brink, Beberapa Aspek Tenrang Is/am di Indonesia Abad ke-/9, Uakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 220-221.
asing dalam Islam. Walau begitu, Snouck mengakui bahwa dalam praktek memang sering diangkat penghulu yang mempunyai pengetahuan agama yang masih sangat dangkal; sehingga mereka memerlukan penasehat, yang diambil dari golongan ulama dan para kyai. Namun, penghulu masih tetap yang berwenang mengambil keputusan setelah meminta nasehat kepada anggota lain, dan seorang anggota tetap tidak bisa menjadi wakil atau pengganti penghulu kalau penghulu berhalangan hadir S
Dengan keterangan tersebut,
Snouck tampaknya ingin mengatakan bahwa isi Staatsblad itu telah keliru dalam menyerap fenomena pemeriksaan perkara oleh penghulu yang berlangsung dalam wilayah teritorial kerajaan Muslim Jawa saat itu. Kritik Snouck di atas, dari sudut teoritis pranata hakim menurut Islam, memang sudah pasti benar. Namun, fakta prosedur pemeriksaan dan pengambilan keputusan secara kolektif jauh sebelum terbitnya Staatsblad 1882 sulit diabaikan begitu saja. Lebih-Iebih jika kita mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh Thomas Stamford Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal di Jawa pad a tahun 1811-1816, "In every chief town there is a
high priest, who with the assistance of several inferior priest, holds an ecclesiastical courf'6
5 Uhat ibid.. h. 221-222. 6 Thomas Stamford Raffles, The History ofjava, (London: The Han. East-India Company, 18 J 7), voL 11., h. 3-4.
•
Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian terdahulu, masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana
sesungguhnya proses transformasi pranata hakim agama dari hakim tunggal menjadi majelis hakim berlangsung di Indonesia. Dari masalah pokok tersebut, muncul sejumlah pertanyaan penelitian yang perlu dijawab, yaitu: 1. Kapan dan di wilayah mana persisnya transformasi pranata hakim agama, dari hakim tunggal ke majlis hakim, itu berlangsung? 2.
Mengapa transformasi pranata hakim agama semacam itu dapat terjadi?
3.
Bagaimana
proses
pergeseran
pranata
hakim
tunggal
menjadi
majelis
hakim
berlangsung? 4.
Faktor-faktor apa yang mendorong terciptanya kemapanan pranata majelis hakim itu?
•
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kurun waktu abad ke-l 5 hingga abad ke-17,
khususnya masa-masa pertumbuhan dan perkembangan tiga entitas politik Muslim di pulau Jawa, yaitu Demak, Banten, dan Mataram. Kendati demikian, fokus penelitian ini akan lebih diarahkan pada fakta dan peristiwa sosial politik yang berkaitan dengan struktur kekuasaan dan pranata kehakiman di tlga kerajaan Muslim Jawa pada kurun waktu tersebut. •
Tujuan Penelitian 5ekurang-kurangnya ada tiga tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini
yaitu:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara persis kapan dan di wilayah mana transformasi pranata hakim agama itu berlangsung. 2. Penelitian ini pun bermaksud melacak bagaimana proses transformasi dari hakim tunggal menjadi majelis hakim itu berlangsung. 3. Selain itu, penelitian ini juga hendak mengidentifikasi sejumlah faktor-faktor yang berasal dari fakta sejarah, sosial politik, dan konsepsi pemerintahan yang berkembang pada
saat
itu,
yang
mung kin
memiliki
pengaruh
dan
kaitan
langsung
dalam
pembentukan tradisi majelis hakim. •
Kegunaan Penelitian Transformasi pranata hakim agama dari hakim tunggal menjadi majelis hakim yang
merupakan topik utama penelitian ini diharapkan dapat berg una untuk: 1. Menjelaskan alasan-alasan terjadinya transformasi pranata hakim agama dari hakim tunggal menjadi majelis hakim di Indonesia 2. Melakukan verifikasi dan klarifikasi bahwa terbentuknya tradisi majelis hakim di Indonesia bukan semata-mata bersumber dari ketentuan dalam Staatsblad tahun 1882. 3. Menunjukkan bahwa pembentukan tradisi Islam di bumi Indonesia terjadi secara gradual, akulturatif dan kohesif.
BAB II TElAAH KEPUSTAKAAN
Berdasarkan telaah yang
sudah
penellti
lakukan terhadap beberapa sumber
kepustakaan, penellti menemukan bahwa pranata hakim agama di kerajaan Muslim Demak dan di kesultanan Banten pada waktu permulaan berpola tunggal,7 sementara di kerajaan Muslim Mataram dan di kesultanan Banten pada waktu belakangan berpola majells,8 Tapi sayangnya, sumber-sumber tersebut tidak memberi penjelasan yang cukup memadai tentang alasan mengapa terdapat perbedaan pola pranata hakim agama di wilayah-wilayah kerajaan Muslim terse but. Penelitian yang cukup spesifik membahas pranata hakim agama di kerajaan Muslim Jawa dilakukan oleh Ibnu Qayim. 9 Hanya saja, studi yang dilakukan Qayim itu lebih memfokuskan pad a struktur dan institusi kapengulon di dalam kerajaan Muslim Mataram. Dan oleh karenanya, keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan format pranata
7periksa tulisan H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Uakarta: Grafiti Pers. 1985), h. 77; Martin van Bruinessen, "Qadhi. Tarekat dan Pesantren:
Tiga Lembaga Keagamaan di Kesultanan Banten" dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), eet. II, h. 253-254.. Bandingkan pula dengan studi yang dilakukan John Ball, Indonesian Legal History /602-1848. (Sydney: Oughtershaw Press, 1982), h. 50,61: dan R. Tresna, Peradilan Indonesia dari Abad ke Abad, Uakarta: Pradnya Paramita. 1978). eet. III.... h. 23-24. 8 John Ball, ibid., h. 45; R. Tresna, ibid. h.17-18; Bruinessen. ibid.
9 Uhat penelitian untuk Tesis S2 yang dilaksanakan Ibnu Qayim, "Penghulu di Jawa", (Yogjakarta: Universitas Gadjah Mada. 1991).
majelis hakim agama di kerajaan Muslim Mataram itu kurang digali dan dikembangkan oleh
Qayim. Dari semua keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa prosedur pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap perkara di kerajaan Muslim Jawa pada mulanya dilakukan secara soliter mengikuti tradisi Islam. Namun pada perkembangan berikutnya, pemeriksaan
dan pengambilan keputusan secara keseluruhan tidak lagi dilakukan secara sol iter, melainkan kolektif. Terjadinya perubahan tersebut didorong oleh sejumlah faktor sosial politik dan kebudayaan setempat yang akan dikaji melalui penelitian in!. Oleh karena itu, asumsi utama tulisan ini adalah bahwa di Mataram, yang masih kuat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, transformasi itu terjadi secara kasat mata. Sedangkan di Banten dan di Demak, yang tidak banyak dipengaruhi oleh elemen-elemen setempat, transformasi itu tidak terlihat secara nyata. Bahkan, masih memperlihatkan struktur kadi tunggal dalam bentuk aslinya seperti pada masa awal perkembangan Islam. Paling tidak, sebelum kekuasaan kolonial menancapkan pengaruhnya secara signifikan di Nusantara.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Sasaran utama penelitian ini adalah institusi kadi (hakiml. Dari segi bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian kasus. Karena itu, pendekatan yang paling relevan digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam realitas atau pola-pola. Dalam pendekatan kualitatif ini yang dianalisis adalah gejala-gejaia sosial untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. Dan, pola yang ditemukan tadi dianalisis /agi dengan menggunakan teori yang obyektif. 10 Untuk dapat memperoleh data mengenai po/a-pola yang ada, pendekatan kualitatif memer/ukan informasi yang se/engkap-Iengkapnya dan sedalam-dalamnya mengenai gejala-gejala sosial yang hendak diteliti itu. Karena itu, penelitian ini pun menggunakan metode penelitian deskriptif 11 dan metode penelitian historis.' 2
10parsudi SuparJan, "Pengantar Metode PeneJitian: Pendekatan Kualitatlf',
Makalah disampaikan dalam
'rogram Metode Penelitlan lImu-lImu Sosial Universitas Indonesia 19 sid 24 Januari 1986, h. 4-5. I 1 Metode penelitian deskriptif digunakan untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, dan Ikurat mengenai fakta-fakta, situasi atau kejadian. Lihat Uhat Sumadi Suryabrata, Metoda/og; Penelitian, Uakarta: ~ajawali
Pefs, 1991), cet. VI. h. 19. 12 Metode penelitian historis digunakan untuk membuat rekonstruksi rnasa lampau secara sistematis
Ian obyektif. dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti Intuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Lihat ibid., h. 16.
.,~
"-_
.10 ,'-'
C~~j'(
~"
f.11lv
Sebuah pendekatan lain yang akan digunakan pula untuk menyempUma dan metode interpretasi terhadap proses transformasi pranata hakim agama itu adalah pendekatan strukturalisme. 1 3 Penelitian ini dilakukan dengan mengandalkan sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari dokumen-dokumen dan catatan-catatan sejarah, sedangkan sumber data sekunder penelitian ini adalah seluruh karya tulis ilmiah yang relevan dengan topik penelitian in!. Data-data yang berkaitan dengan penelitian ini akan dikumpulkan melalui cara studi kepustakaan, yang meliputi penelusuran sejumlah sumber data atau literatur yang rei evan dan telaah dokumenter terhadap catatan-catatan sejarah yang relevan.
13 Menurut pandangan strukturalisme, sebuah struktur dapat mengalami perubahan bentuk karena ia memiliki sedikitnya riga sifar. yaitu (i) struktur bersifat totalitas, (ii) struktur memiliki kemampuan bertransformasi. dan {iiO struktur mempunyai sifar otoregulasi (pengaturan diri). Ketiga sifar struktur ini juga merupakan rangkaian fase perubahan sebuah struktur. Untuk bacaan sederhana mengenai pendekatan strukturalisme lebih lanjut baca Jean Paget, Strukturalisme, Uakarta: YOI, 1995), ,
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Pranata Kadi di Masa Awal Islam Sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Islam sejak awalnya telah diatur dan diarahkan oleh sosial yang tertib, lain. Apa yang
hukum
Islam untuk terciptanya
damai dan sejahtera. Namun
dicita-citakan oleh ajaran
Islam,
begltu,
suatu
tatanan
kehidupan
realitas seringkali berbicara
karena berbagai faktor dan lain hal,
tidak selamanya dapat terjelma dalam praktek kehidupan umat Islam. Untuk itulah, agar pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan yang
digariskan oleh nash, Islam menyediakan
berbagai perangkat pranata yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menangani persoalan-persoalan yang muncul di dalam hubungan sesama Muslim. Pranata-pranata itu antara lain adalah qadla (pengadilan),
tahkim (arbitrase), hisbah (inspektur pasar), dan
Wali al-Mazalim (Iembaga banding?), dan lain-lain. Kecuali entitas politik
tahkim, Muslim.
pranata-pranata
tersebut
Penanganan pranata-pranata
biasanya diselenggara-kan itu
oleh
oleh
pemerintahan Muslim
memang diperlukan, bukan saja agar hukum Islam emailiki daya paksa sehingga dapat dilaksanakan dengan
balk
bagi suatu kepastian hukum.
dl
tengah masyarakat, tetapi juga agar terwujudnya jaminan
kehakiman di bidang perdata dan pi dana, melainkan lebih dari itu, kadi pun turut mengurusi masalah harta anak yatim, wasiat, harta warisan, dan menjadi wali nikah. 1 5 Keterangan singkat di atas menunjukkan betapa kekuasaan yudikatif tidak hanya terkonsentrasi di tangan khalifah, tetapi pada saat yang bersamaan sejumlah sahabat, melalui pendelegasian dari khaHfah, juga menyandang kekuasaan yudikatif. Selain itu, kekuasaan yudikatif tampaknya juga dimiliki oleh para pejabat seperti gubernur propinsi dan komandan tentara. Berdasarkan kenyataan tersebut, agaknya kita tidak dapat secara serampangan menyimpulkan bahwa pemeriksaan dan pemutusan atas suatu perkara dilakukan secara kolektif. Akan tetapi, kiranya cukup pantas diasumsikan bahwa dengan mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw., para khalifah rasyidin, gubernur propinsi, komandan tentara, ataupun sahabat yang menjadi kadi pad a saat itu melakukan pemeriksaan dan pemutusan perkara secara soHter, berdasarkan ruang lingkup teritorial dan otoritas jurisdiksi masingmasing. Satu hal yang penting ditegaskan di sini, bahwa hingga zaman khaHfah rasyidin, kekuasaan yudikatif kadi betul-betul independen bebas dari campur tangan ataupun kontrol pengaruh politik dari para khaHfah. Setiap kadi dalam memutuskan suatu perkara bebas melakukan ijtihad tanpa harus merasa risih dengan berbagai macam kepentingan, sekalipun menyangkut diri khaHfah. Ada sebuah kasus yang patut diungkap di sini yaitu sebagai berikut:
IS/bid. h.221.
"Dilaporkan ketika Ali b. Abi Thalib bersengketa dengan seorang Nasrani dalam soal kepemilikan baju perang, yang memeriksa perkaranya pada saat itu adalah kadi Syuraih. Syuraih dengan tegas khalifah saat itu, mengeluarkan Nasrani. Aiasannya, barang bukti mengajukan bukti-bukti yang
dan berani, tanpa melihat kedudukan Ali sebagai putusan bahwa pemilik baju perang itu adalah si berada di tangan Nasrani itu, sementara Ali tak dapat lebih kuat yang dapat mendukung klaim hak
kepemilikannya itu."16 Tapi bagaimanapun, intervensi khalifah merupakan suatu hal yang tak terelakkan, khususnya dalam hal pelaksanaan peradilan secara prosedural (hukum acara). Instruksi khalifah 'Umar b. Khattab untuk Abu Musa al-Asy'ari yang menjabat kadi di Kufah kiranya merupakan bukti yang tegas mengenai realitas tersebut. 17 Sebagai tam bahan, catatan-catatan Abu 'Umar al-Kindi, a/-Wu/at wa a/-Qudat, tentang kadi di Mesir di bawah pemerintahan Bani Umayyah merupakan penjelasan yang sangat bagus tentang keberadaan kadi dalam bentuk hakim tunggal yang memeriksa dan memutuskan perkara. Nama-nama seperti kadi 'Iyadl, Khair b. Nu'aim. Ibnu HUjairah, dan Taubah b. Namir adalah contoh dari sekian jumlah kadi yang diangkat berg anti an di Mesir pada periode itu. 18 Demikianlah tradisi awal Islam menunjukkan betapa struktur kadi pada masa-masa tersebut hanya terdiri atas seorang diri, yang secara so liter melakukan pemeriksaan perkara dan mengeluarkan putusan mengenainya.
16 Lihat aJ-Baihaqi, Sunan al-Kubra. (Ttp.: Dar aJ-Fikr. Tth.) vol X" h. 136. 17 Instruksi ini sering disebut juga sebagai risalah al-QadJa. Selengkapnya dapat dilihat dalam ibid., h. 119; Lihat juga lbnu Khaldun, op.dt., h. 220-221. 18 Lihat Abu 'Umar al-Kindi, al-Wu/ar wa al-Qudat. (Ttp.: Mathba'ah ai-Aba' al-Yusu'iyin, 1908).
B. Institusionalisasi Hukum Islam Oi Nusantara Kehadiran Islam di Nusantara telah berhasil berasimilasi dengan struktur dan sistem sosial kehidupan lokal, meskipun dalam kurun waktu yang memakan proses cukup lama. Kontak Islam dengan penduduk lokal Nusantara pertama kali terjadi melalui interaksi dagang, hubungan perkawinan, dan sosial kemasyarakatan lainnya. Kontak itu mencapai puncaknya saat Islam dapat merengkuh kekuasaan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di beberapa wilayah Nusantara sejak abad ke-13. Oengan tumbuhnya sejumlah kesultanan Muslim yang tersebar dl Nusantara pad a saat itu, kedudukan Islam hampir-hampir merupakan suatu hal yang inheren dengan Nusantara. Catatan-catatan perjalanan yang dibuat oleh sekelompok pelancong dari Timur Tengah dan Eropa, semisal Ibnu Batutah, Marcopolo, dan Tom Pires kiranya merupakan indikasi kuat akan hal tersebut. Pembentukan tradisi Islam di Nusantara sesungguhnya hanya mendapat sedikit perhatian dari ahli sejarah. Yang menjadi perhatian utama mereka kebanyakan berkisar pada proses kedatangan Islam di Nusantara. Karena itulah. terdapat kesulitar. yang cukup
signifikan dalam hal menentukan secara pasti dalam bentuk apa Islam pertama kali
memberi pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Nusantara. Namun, karena hukum Islam atau fikih mengandung berbagai implikasi konkret
bagi tingkah laku keseharian individu maupun masyarakat; sehingga menjadikan posisinya
)egitu dominan dalam tubuh ajaran Isiam, maka dapat diduga bahwa tradisi Islam yang
mula-mula menyebar di Nusantara tak pelak mengikutsertakan unsur-unsur hukum Islam atau fikih. Akan tetapi, segera harus dicatat pula, masyarakat Islam Nusantara saat itu belum melakukan pembedaan yang tegas antara hukum Islam (fikih) dengan ajaran Islam lainnya, seperti akidah, akhlak, dan tasawuf. Dengan demikian, apapun bentuk tradisi dan ajaran Islam
yang terbentuk dalam pemahaman awal komunitas Muslim tempatan selalu dilihat
sebagai penetrasi agama Islam ke dalam kehidupan masyarakat di Nusantara saat itu. Walaupun bukanlah suatu hal yang mudah untuk mengidentifikasi dalam hal apa Islam pertama kali masuk menjadi bag ian dari tradisi lakal, kita dapat menduga bahwa dalam tingkat pergaulan kehidupan yang lebih praktls, sepertl cara berpakaian dan pola makanan, Islam tampak mempunyai pengaruh yang cukup besar. Reid memaparkan bahwa sebelum kedatangan Islam, di sebagian tempat di Nusantara penduduk wan ita pribumi pad a umumnya membiarkan bagian tubuh dari pinggang ke atas tidak berbusana, alias telanjang dada. Dengan datangnya Islam, wanita
Jawa misalnya, menambahkan sehelai pakaian lagi --di sam ping sarung yang menutupl bag ian bawah tubuh dan selendang yang diletakkan di atas dada dengan kedua ujungnya
dilepaskan di atas bahu-- yang dililitkan secara ketat sekitar dada, dan menutupi buah
dada mereka.1 9 Model pakaian seperti itu tentu saja belum sesuai dengan ajaran Islam yang
nenghendaki seluruh tubuh wan ita ditutup kecuali muka dan tapak tangan. Tapi,
16-] 02.
19Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Uakarta: Yayasan Obor, 1992), Jilid l. h.
kenyataan
ini
boleh
jadi
membuktikan
betapa
Islam
telah
melakukan
penetrasi
ajaran-ajarannya ke Nusantara secara adhesif dan gradual. Dalam hal makanan, pantang makan daging babi merupakan isyarat pertama yang paling mencolok di kalangan umat Islam Nusantara tentang ketaatan pada Islam. Hal ini tidak terlalu mengherankan karena Alquran secara tegas-tegas mengharamkan konsumsi daging babi. Dengan mengutip catatan Pigafetta (l 524), Reid menyebutkan bahwa Magellan dan pengikutnya saat berkunjung ke Tidore Maluku pada paruh pertama abad ke-16 diminta oleh raja Tidore untuk membunuh semua babi yang dibawa bersamanya di atas kapal, dan sebagai gantinya raja memberi kambing dan ayam dalam jumlah yang sama. 20 Begitulah, kenyataan-kenyataan itu secara jelas menunjukkan betapa pada saat itu, bahkan hingga dewasa ini sekalipun, cara hidup dan tindakan yang menjauhkan diri dari binatang babi merupakan pola pemahaman yang terbentuk pertama kali tentang konsepsi (hukum) Islam. Uraian sing kat di atas memperlihatkan kita bahwa Islam pada mulanya hadir di Nusantara dalam bentuk pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah direkam baik dalam benak pemeluk Islam awal di Nusantara maupun dalam sejumlah literatur keagamaan yang ada pada saat itu. Bahkan lebih dari itu, sebagian konsepsi-konsepsi tersebut, terutama menutup aurat dan menghindari konsumsi babi, telah tempatan. merupakan
Meski begitu, dalam keblasaan
20lbid., h. 41.
pra-Islam
diamalkan oleh umat Islam
hal konsumsi minuman keras dan tampaknya
belum
dapat
berjudi yang
ditinggalkan
secara
sungguh-sungguh.2 1 Hal ini menunjukkan tidak semua konsepsi islam di Nusantara saat itu telah mencapai tahap kognitif, lebih-Iebih tahap afektif. Realisasi ajaran Islam secara lebih konkret dalam kehidupan masyarakat Muslim di Nusantara, terutama aspek hukum, barangkali baru tampak secara jelas pad a saat berdirinya kerajaan Muslim di Nusantara, dan yang terlebih penting, dengan terbentuknya pranata kadi, mufti, dan pengadilan yang menangani perkara-perkara hukum Islam. Dasar asumsinya ialah bahwa karena perangkat-perangkat tersebut merupakan kelengkapan pelaksanaan hukum Islam, maka dapat dipastikan bahwa keberadaannya tak mungkin terwujud jika tidak terdapat komunitas yang secara ajek melakukan kegiatan, tindakan atau transaksi berdasarkan hukum Islam. Dengan demikian, kehadiran Islam memasuki tahap kedua, yaitu institusionalisasi, yang berbarengan dengan eksisnya entitas politik kesultanan Muslim di Nusantara. C. Pranata Kadi di Kesultanan Muslim Jawa Kesultanan Demak Dalam
perkembangan
awalnya,
pranata imam,
mufti ataupun
kadi
belumlah
mengalami diferensiasi seketat seperti dewasa ini. Saat itu, seseorang yang ahli agama slam, biasanya seorang sufi pengembara, telah bertindak multi-fungsi baik menjadi imam, (hatib, mufti maupun kadi, tergantung pada realitas yang dihadapinya. Karena itu, ;ebutan-sebutan seperti imam, mufti, dan kadi pad a masa itu lebih banyak dipahami dalam lengertian fungsi dan belum dalam bentuk kelembagaan seperti dewasa ini.
21 Unruk keterangan mengenai konsumsi minuman keras, lihat ibid, h. 46; Keterangan tentang perjudian hat misalnya Mattulada, "Islam di Sulawesi Selatan", dalam Taufik Abdullah (ed.), Islam dan Perubahan Sosial akarta: Rajawali Press. 1983). h. 234-235. '
Sunan Kudus, misalnya, pada mulanya adalah imam masjid Demak, Tapi sejak tahun 1S49, menurut de Graaf, gelar kadi disandang pula oleh Sunan Kudus. 22 Meskipun de Graaf tidak secara tegas mengaitkan gelar itu dengan tugas yang biasa dilakukan oleh kadi menurut hukum Islam, besar dugaan gelar kadi yang disandang Sunan Kudus tersebut merupakan suatu gelar yang ditambahkan pada profesinya sebagai imam masjid Demak. Sebab, seperti dinyatakan sendiri oleh de Graaf, jabatan pemangku hukum Islam dan fungsi pemimpin masjid (imam) di Jawa sejak permulaan zaman Islam sudah memiliki hubungan yang erato 23 Dengan demikian, mungkin saja jika Sunan Kudus adalah imam masjid sekaligus juga seorang kadi yang memeriksa dan memutus perkara-perkara hukum yang diajukan kepadanya, ataupun sebagai mufti yang mengeluarkan fatwa-fatwa hukum bagi yang membutuhkannya. Keterangan ini dengan jelas menunjukkan betapa reaJitas kadi di kesultanan Demak pada saat itu merupakan figur hakim seorang diri. Kesultanan Banten Keterangan tentang kadi di atas menjelaskan betapa realitas kadi Demak pad a saat itu
di kesultanan
masih merupakan flgur hakim seorang diri. Realitas yang sama
agaknya juga tampak di Banten. Tresna dan Ball menyebutkan bahwa dl Banten pad a abad ke-17
hanya ada satu macam pengadilan yang disusun
menurut pengertian Islam,
22 H .j. de Graaf, "Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18", dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektlf Islam di Asia Tenggara. Uakarta: Yayasan Obor, 1989). h, 25.
23 Uhat H.j. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dad Majapahit ke V1ataram, Uakarta: Grafiti Pefs. 1985), h. 77.
yaitu yang dipimpin oleh kadi sebagai hakim seorang diri,24 Kesimpulan Tresna dan Ball ini juga diperkuat oleh penjelasan van
Bruienessen,
yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di Banten tegak secara mandiri di iuar kelembagaan raja, yaitu di tangan kadi yang sejak tahun 1650 diberi gelar Pakih Najmuddin. Bahkan, lebih lanjut dikemukakan van Bruinessen, kadi di Banten pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memainkan peran kunci dalam konstelasi politik di Banten pada saat itu. 25 Lebih jauh, van Bruinessen mengemukakan sejumlah kasus yang menunjukkan betapa peran kadi tidak saja mengurusi persoalan hukum Islam, tetapi juga mempunyai kekuasaan
dalam
mengambil
keputusan
politik,
misalnya
wewenang
kadi
dalam
menentukan Maulana Muhammad sebagai pengganti Maulana Yusuf yang meninggal pada tahun 1580, yang berakibat tersingkirnya Pangeran Jepara, calon yang dijagokan oleh Patih Mangkubumi dan bangsawan istana pad a umumnya. 26 Dengan demikian, kiranya cukup jelas jika diasumsikan bahwa pranata kadi di kesultanan Banten pada saat itu merupakan jabatan yang hanya diisi oleh seseorang. Akan tetapi, dalam sumber lain, terdapat data sejarah yang menunjukkan kenyataan yang berbeda. Menurut catatan Lodewycksz (1589), kadi di Banten dalam melaksanakan pemeriksaan perkara tidak melakukannya seorang diri, melainkan bersama patih dan
24 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dad Abad ke Abad, Uakarta: Praclnya Paramita, 1978), cet. Ill. h. 23?4; John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848. (Sydney: Oughtershaw Press, 1982), h. SO, 61. 25 Martin van Bruinessen, "Qadhi, Tarekat dan Pesantren: Tiga Lembaga Keagamaan di Kesultanan ~anten" dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995),
:et. II, h. 253-254. 26 Ibid.
pejabat tinggi lainnya (kemungkinan jaksa, seperti yang diduga oleh Rouffaer, editor catatan perjalanan Lodewycksz itu).27 Betapapun demikian, fakta yang dikemukakan Lodewyxksz itu tidak lantas berarti bahwa bentuk baku pimpinan pengadilan di kesultanan Banten adalah majelis hakim. Sebab, hal itu akan memunculkan pertanyaan seperti; mengapa pimpinan pengadilan di Banten harus bersifat kolektif, padahal kadi sejak sebelum kedatangan Belanda telah memiliki kekuasaan yang dominan? Lagipula, apabila pimpinan pengadilan bersifat kolektif, maka bukankah itu tak lebih sebagai reduksi terhadap kekuasaan kadi yang nyata-nyata, seperti diungkapkan oleh van Bruinessen di atas, merupakan institusi yang mempunyai peran penting dan kewenangan amat luas hingga di bidang politik? Lebih dari itu, catatan yang dibuat oleh Lodewycksz itu semata-mata berdasarkan pengamatannya yang sing kat pad a saat kapal VOC Belanda berlabuh pertama kali di ban dar Banten. Kendati begitu, data yang diberikan Lodewycksz itu tidak dapat kita abaikan begitu saja. Boleh jadi pengamatan Lodewycksz pada saat itu terjadi bersamaan dengan mulai kian pudarnya popularitas dan otoritas kadi. Artinya, kekuasaan kadi mengaiami perkembangan anti-klimaks dari waktu ke waktu. Seperti dilaporkan dalam Sajarah Hanten, Sultan Abul alMafakhir Abd ai-Qadir (1596-1651), sejak seperempat kedua abad ke-17, secara teratur meminta
agar
diberi
informasi
tentang
masalah-masalah
yang
dibawa
ke
depan
3engadilan. Dalam sidang-sidang pengadilan yang tidak bisa diselesaikan oleh kadi,
27 Seperti dikutlp dar! Rouffaer dan Ijzerman (ed.), De Eerste Schipvaart... oleh van Bruinessen dalam
bid. h. 254.
Jiasanya Sultanlah yang mengambil keputusan. Demikian pula, perkara-perkara di antara
Jejabat istana diselesaikan oleh Sultan sendiri. 28 Berdasarkan keterangan di atas, cukup adil jika kita mencoba merekonstruksi fakta
Jahwa pad a masa awal pertumbuhan Islam dl Banten, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
<emudian mengalami reduksi dengan adanya intervensi yuridis yang dilakukan Sultan pada
nasa belakangan, terutama dalam hal memutuskan hukuman mati, mengadili perkara-
Jerkara yang tidak dapat diselesaikan kadi, dan mengadili persengketaan di antara pejabat stana. Darl sudut lain, kita meiihat kekuasaan Sultan Banten semacam itu agaknya lebih
nenyerupai kekuasaan wi/ayah a/-Maza/im di masa awal Islam, yang menangani pengaduan erhadap tingkah laku aparat pemerintah ataupun menangani prates ketidakpuasan erhadap
keputusan
yang
dikeluarkan
oleh
kadi.
Selain
itu,
fenomena
tersebut
nenggambarkan bahwa penguasa politik, dalam hal ini adalah Sultan, juga adalah
>emangku kekuasaan yudikatif tertinggi. Begitulah, berbarengan dengan penetrasi kolonial
voe
Belanda ke Banten, jabatan
:adi yang pad a mulanya memiliki kewenangan yang sangat luas hingga di bidang politik,
.ada akhirnya hanya memiliki peran yang lebih terbatas sebagai hakim yang memeriksa
.erkara dan kepala birakrasi agama yang mengurusi zakat, perkawinan, perceraian dan ebagainya.
28 Seperti dikutip dari Sajarah Banten oleh van Bruinessen dalam ibid.; Bandingkan dengan keterangan all, op. cit. , h. 50.
Kesultanan Mataram Kenyataan di dua kesultanan dl atas sungguh berbeda dengan di Mataram kurang
lebih seabad kemudian. Pada paruh pertama abad ke-17 di masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645), untuk pertama kalinya diadakan perubahan di dalam sistem peradilan. Perubahan itu pertama-tama diwujudkan dalam pengadilan Pradata yang diubah menjadi Pengadilan 5urambi. 29
Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan ini
dinamakan kisas. 5ementara, pimpinan pengadilan, sungguhpun pad a prinsipnya masih berada di tangan 5ultiln, telah dialihkan operasionalisasinya ke tang an penghulu yang dibantu dengan beberapa alim ulama sebagai anggota. Penghulu
dengan
dibantu
oleh
alim
ulama
melakukan
musyawarah
untuk
mengambil suatu keputusan atas perkara yang ditangani. Jadi, pimpinan pengadilan sesungguhnya merupakan suatu majelis hakim, di mana segala keputusan diambil dengan ialan musyawarah, dan hasil musyawarah majelis hakim itu selanjutnya merupakan nasehat kepada Sultan
di dalam
mengambil
keputusan
akhir atas
sebuah
perkara.
Dalam
prakteknya, Sultan Agung tidak pernah mengambil keputusan yang menyimpang atau bertentangan dengan nasehat penghulu Pengadilan Surambi. Hal ini sudah barang tentu menguatkan kedudukan dan menambah kewibawaan pengadilan Surambi di mata rakyat. 30 Jraian ini sangat jelas bagi kita bahwa di Mataram saat itu, proses peradilan dilakukan ;ecara kolektif dan bukannya secara soliter.
290isebut sebagai pengadilan Surambi karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat di 5itinggil :eraton seperti halnya pada pengadilan Pradata, pengadilan masa pra-Islam. melainkan di serambi masjid agung. 30 Uhat R. Tresna, Peradilan di Indonesia dar! Abad ke Abad, Uakarta: Pradnya Paramita, 1978), eet. Ill, h. 7- 18: John Ball. Indonesian Legal History J602-1848. (Sydney: Oughtershaw Press, 1982), h. 45.
Peneliti tak menjumpal catatan-catatan sejarah semasa sebagai bahan konfirmasi atas data di atas. Baik Tresna maupun Ball dalam menjelaskan kondisi obyektif pelaksanaan peradilan di kerajaan Mataram itu agaknya merujuk kepada sumber yang sama, yaitu tulisan Kern di awal abad ini. 31 Betapapun demikian, data terse but cukup akurat untuk diandalkan, terutama jika kita mempertimbangkan catatan seorang duta Belanda, Rijckloff van Goens, yang datang mengunjungi Mataram pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I sebanyak enam kali antara tahun 1648 hingga 1654. Van Goens mencatat bahwaAmangkurat I ketika naik tahta menggantikan Sultan Agung
segera saja menggusur Pengadilan Surambi dan
menghidupkan kembali Pengadilan Pradata, yang merupakan peradilan pra-lslam.3 2 Jika kewenangan pemeriksaan perkara dalam Pengadilan Surambi pada masa pemerintahan Sultan Agung diserahkan kepada penghulu dengan dibantu oleh ulama, maka Amangkurat I tidak lagi menyerahkan kewenangan yang sama kepada penghulu, melainkan ia sendiri lang sung turun tangan memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Walaupun demikian,
bukan
berarti
pemeriksaan
dan
proses
peradilan
secara
keseluruhan
dilakukannya secara sendirian. Van Goens mengungkapkan bahwa proses peradilan biasanya dilaksanakan setiap hari Kamis dengan bertempat di sitinggi!, tempat dahulu Pengadilan Pradata dilaksanakan. Dengan dikelilingi oleh pejabat-pejabat pembantunya, Amangkurat memulai
31 Lihat R.A. Kern, "Javaansche rechtsbedeeling. Een Bijdrage tot de kennis der geschiendenis van Java" Uavanese Administration of Justice. A Contribution to the Knowledge of the History of Java) dalam SKI. LXXXIII, 1\927), 32 Van Goens, javaense Reijse..... , seperti dikutip oleh Ball, loc.cit.
dapat dipertahankan. Sementara itu, di Mataram struktur kadi tunggal yang berasal dari tradisi awallslam itu mengalami transformasi menjadi majelis hakim. Bab yang akan datang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan ini.
BAB V ANALISIS HASll PENEllTIAN
Uraian tentang
pranata
hakim
di tiga
kerajaan
Muslim
di
pulau Jawa
nenimbulkan satu pertanyaan bagi kita; mengapa pranata hakim tunggal
itu
dijumpai di
<esultanan Demak dan di Banten, sementara pranata tersebut di kerajaan Muslim Mataram nengalami transformasi menjadi majelis hakim? Guna
menjawab pertanyaan ini, kiranya
:ukup penting untuk mengkaji secara sing kat fakta-fakta sejarah yang melatari timbulnya nasing-masing kerajaan Muslim itu. Sehubungan dengan hal itu, teori yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah, ahli ;ejarah Indonesia, tentang kelahiran dan pertumbuhan entitas politik Muslim di Nusantara nasih cukup relevan dalam menggambarkan fenomena tersebut. Menurutnya, sedikitnya lda tiga
model
pertumbuhan entitas politik Muslim di Nusantara, yaitu (l) Islam
nendorong pembentukan negara yang supra-desa, (2) Islam tampil sebagai kekuatan .posisi yang menantang dan menggantikan kekuasaan politik kafir, (3) konversi keraton ltau pusat-pusat kekuasaan politik ke dalam Islam. 34 Dengan meminjam teori tersebut, kesultanan Demak, misalnya, tak diragukan lagi erbentuk pertama kali sebagai kekuatan oposisi yang memberontak terhadap dominas;
34Taufik Abdullah, "Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan", alam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Uakarta: lP3ES, 1989)1 h. 62-99.
politik kafir, dalam hal ini Majapahit. Tampilnya kesultanan Demak sebagai pemegang hegemoni baru yang menggantikan posisi Majapahit sebagai keraton pusat tak pelak menghadapi tidak saja masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Sebab, tanpa legitimasi dan kontinuitas, kesultanan Muslim Demak akan sama saja halnya dengan keraton kecil lainnya yang lebih kuat, dan bukannya menjadi sebuah keraton pusat yang baru.3 5 Kesultanan Demak sebagai calon keraton pusat yang baru agaknya mengalami dilema kultural, antara keharusan mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh keraton pusat yang digantikannya dengan keharusan memenuhi tuntutan sebagai kesultanan Muslim yang pertama kali tumbuh di tanah Jawa dengan merepresentasikan sebuah entitas politik Muslim sejati. Tapi bagaimanapun, karena pertumbuhan kesultanan Demak sebagai entitas politik baru yang memberontak terhadap hegemoni kerajaan Majapahit, dapat diduga Demak kemudian cenderung terlihat kurang memperhatikan keharusan untuk menjaga kontinuitas dengan tradisi yang diwariskan oleh entitas politik sebelumnya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi ketiadaan legitimasi dan kontinuitas, Demak kemudian tampak kurang mampu dalam memantapkan kekuasaan politiknya secara menyeluruh di tanah Jawa. Eksesnya, Demak dalam jangka waktu kurang dari seabad sebagai keraton pusat yang menggantikan Majapahit, sejak awal abad ke-16 hingga paruh pertama abad itu, berhasil digeser posisinya oleh kerajaan Pajang sebelum kemudian
3S lbid., h. 74. 87,
kerajaan Mataram mengambil alih hegemoni politik di tanah jawa hingga masa kolonial Belanda. Fakta sejarah politik di atas bukan tidak mungkin turut mempengaruhi pranara hakim di Demak yang cenderung sang at bercirikan tradisi orisinal Islam. Walaupun de Graaf dan Pigeaud mengasumsikan bahwa kelembagaan peradilan di kesultanan Demak bukanlah sebuah struktur baru yang diperkenalkan berbarengan dengan kedatangan Islam di tanah jawa,
melainkan merupakan lnstitusi yang
berasal dari
masa pra-lslam,36 tetapi
sedikitpun tidak dijumpai suatu bentuk afinitas yang cukup signifikan di antara keduanya. justru sebaliknya terdapat distingsi yang cukup tegas, khususnya dalam hal pranata hakim di Demak yang berpola tunggal, sedang di zaman Majapahit mempunyai bentuk koiektif. Hal itu sudah barang tentu dapat menjadi bukti yang menunjukkan terjadinya diskontinuitas tradisi. Lagi pula, asumsi de Graaf dan Plgeaud baru mungkin dapat dikatakan valid apabila di dalam ajaran Islam sendiri tidak terdapat pranata peradilan. Dengan penjelasan fakta sejarah politik yang kurang lebih sama dengan Demak, kita dapat memahami pula mengapa di Banten terutama pada masa yang lebih awal, hanya dikenal haklm tunggal. 37 Seperti halnya kesultanan Demak yang melancarkan sikap oposisi
36de Graaf dan Pigeaud, op.dt., h. 76. Menurut mereka, dalam struktur peradilan pada zaman Majapahit, erdapat sekelompok pemlmpin rohani yang terdirf dar; Dharmadhyaksa dan Kertopapatriyang benugas sebagai lakim di mahkamah kerajaan. Sudah barang tentu, lanjut mereka, raja-raja Islam Demak mengambil alih lembaga nahkamah agung ftu dari kerajaan Majapahit.
37Tresna dan Ball menyebutkan bahwa dj Banten pada abad ke-17 hanya ada satu macam pengadilan ang disusun menurut pengertian Islam, yaitu yang dipimpin a/eh kadi sebagai hakim seorang diri. lihat R. Tresna, Ip.dt. h. 23-24; John Ball, op.cit. h. 50.61. Pernyataan Tresna dan Ball ini juga diperkuat oleh penjelasan van ruienessen, yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di Santen tegak seeara mandiri di luar kelembagaan 3.ja, yaitu di tangan kadi yang sejak 1650 diberi gelar Pakih Najmuddin. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab
'uning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), eeL II, h. 253-254.
melawan kerajaan kafir Majapahit, kesultanan Banten yang berdiri di perbatasan wilayah kultural kerajaan Pajajaran tampil pula sebagai kekuatan oposisi terhadap kerajaan kafir Pajajaran itu. Karena itu, tak terlalu mengherankan jika kita mellhat sedikit banyak keserupaan antara kesultanan Demak dan Banten, khususnya dalam bentuk pranata hakim yang tunggal. Lebih dari itu, Demak dan Banten yang sama-sama merupakan daerah pesisir di pantai utara pulau Jawa sering pula diramaikan oleh interaksi berbagai pelancong dari mancanegara; sehingga tak pelak menjadikannya wilayah yang kosmopollt. Dengan kondisi sosial
geografis
seperti
itu,
kedua
wilayah
itu
menjadi
lebih
terbuka
dengan
gagasan-gagasan baru yang datang dari luar, termasuk tradisi Islam. Bahkan, tak jarang tradisi setempat dicampakkan dan digantikan dengan hal yang baru, seperti pakaian gaya lawa yang diganti dengan pakaian gaya Mekah 38 , bila memang dianggap tidak layak lagi Jntuk dipertahankan. Berbeda dengan kesultanan Demak, kerajaan Muslim Mataram menjadi keraton )usat di tanah Jawa sebagai akibat keberhasilannya memenangkan perebutan kekuasaan di engah realitas poll-kraton di Jawa pasca kejatuhan Demak. Dalam proses memantapkan lirinya sebagai ,ksistensinya
pemegang melalui
hegemoni
serangkaian
kekuasaan yang penaklukan
baru,
militer
Mataram tidak
meneguhkan
saja
terhadap
',adipaten-kadipaten yang merupakan pusat perdagangan di pesisir, tetapi juga terhadap ,adipaten
Giri
yang
merupakan
pusat
islamisasi
wilayah
timur
Nusantara,
yang
-_._-----38 U hat A,C. Milner, "Islam and The Muslim State", dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in South-East Asia
.eiden: Ej. Brill. 198B) h. 26.
lipandangnya potensial menjadi oposan yang menantang kekuasaannya sebagai keraton )usat. 39 Dalam konteks seperti inilah, kita mellhat betapa Mataram berupaya menjelaskan iirinya sebagai pemegang hegemoni baru yang memperoleh legitimasi polltlknya dari keraton-keraton keeil. Bukan hanya klaim legitimasi. Mataram juga memenuhi panggilan kulturai untuk kontinuitas dengan mengidentifikasi dirinya sebagai keraton pusat yang berakar budaya pad a keraton pra-Islam. Majapahit. Walaupun Sultan Agung tam pi I sebagai penguasa entitas politik Muslim dengan gelar Sultan yang diperolehnya dari Mekah, tetapi dengan sadar ia menyambungkan dirinya kembali ke tradisipra-Islam. Pujangga-pujangganya disuruhnya untuk menulis sejarah Jawa (Babad Tanah JawI) dengan maksud untuk memperlihatkan dirinya sebegai penerus legitimasi keraton pusat Majapahit. 40 Berdasarkan semua hal di atas, kita dapat mengatakan bahwa Mataram merupakan entitas politik Muslim yang terbentuk melalui kategori ketiga seperti yang telah diteorikan oleh Taufik Abdullah di atas. Dengan begitu, tidak seperti halnya proses konversi kerajaan Malaka atau Gowa-Tallo yang terjadi seeara langsung dan mulus, Mataram bisa kita katakan --walaupun hal ini masih dapat diperdebatkan-- adalah sebuah hasil proses dikonversikannya keraton pusat Majapahit ke dalam Islam melalui proses yang jauh lebih rumit dan kompleks.
39 U hat Abdullah, op.cit.. h. 88-89.
40 Uhat Bernhard Vlekke. Nusantara. A History of Indonesia, (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1959), h. 175: Lihat juga Franz Magnis- Suseno, Erika Jawa: Sebuah Ana!isa Fa/safi tentang Kebijaksanaan Hidup lawa, Uakarta: Gramedia, 1991), cet. IV, h. 33.
Dengan
demikian,
karena
Mataram
merupakan
"mediator"
dikonversikanny"
Majapahit ke dalam Islam, maka bukan suatu hal yang ganjil apabila Mataram kemudian terlihat masih terus memelihara kontinultas tradisi dan pranata so sial yang berasal dar! masa kejayaan Majapahit. Pranata hakim yang terdiri lebih dari seorang (kolektif) tidak salah lagi merupakan warisan peninggalan zaman Majapahit. Kitab Nagara Kertagama, yang dipercayai berasal dari masa keemasan Majapahit di abad ke-14, menyebutkan bahwa dalam proses peradilan, raja biasanya didampingi oleh dua orang pemlmpin rohani yang sekaligus menjabat hakim kepaia (Dharmadhyaksa) , yang satu penganut Hindu Shiwa sedang lainnya penganut Budha. Kedua Dharmadhyaksa ini tidak berada di bawah struktur
Adhipati (Perdana Menteri), tetapi bertanggung jawab dan berada langsung di bawah struktur raja 41 Fakta di atas jelas menunjukkan betapa di dalam proses peradilan Majapahit berlangsung pemeriksaan perkara oleh majelis, dan bukannya oleh raja atau hakim secara soliter. Maka, tak ragu lagi, pranata dan sistem peradilan di kerajaan Muslim Mataram pasti mengadopsi dan mengadaptasi sistem peradilan Majapahit semacam itu. Dapat pula ditambahkan, di zaman Majapahit terdapat tiga jabatan penting yang sesungguhnya merefleksikan monopoli kekuasaan raja. Pertama, jabatan yang bertugas mengelola kegiatan birokrasi dan administrasi pemerintahan, yang pejabatnya biasa disebut Adhipati. pertahanan
Kedua, jabatan
keamanan.
Dan
yang
ketiga,
bertugas
jabatan
yang
mengurusi
angkatan
menangani
41 Seperti dikutip dari Negara Kertagama oleh Ball, op. cit. , h. 41.
perang
dan
persoalan- persoalan
administrasi
dan
keagamaan
peradilan,
yang
pejabatnya
dikenal
dengan
Dharmadhyaksa. 42 Eksisnya tiga jabatan penting itu bukan berarti raja dalam paham kekuasaan Jawa menyerahkan kekuasaannya kepada pejabat-pejabat terse but, tetapi harus dipahami sebagai semata-mata pendelegasian tugas operasionalisasi, sementara kekuasaan riel masih bertumpuk di tangan raja. Dengan demikian, pemisahan kekuasaan jelas tidak ada dalam konsepsi kekuasaan politik dan pemerintahan Jawa. Kalaupun ada, paling-paling hanyalah pembagian kekuasaan, di mana raja tetap merupakan pusat dan sumber segala kekuasaan itu. Karena Mataram merupakan "reinkarnasi" Majapahit, tak pelak kekuasaan yang mengakomodasi ketiga jabatan penting itu
diadopsi dan diadaptasi pula oleh kerajaan
Mataram. Hal itu sangat kentara sekali dalam gelar yang dipakai oleh para penguasa Mataram,
yaitu
"Prabu
Mangku-Rat
Senopati
Ingaloga
Ngabdu "-Rahman
Say/din
Panatagama Kallpatullah':43 Gelar ini jelas mencerminkan betapa raja-raja Mataram pun mempunyai
kekuasaan yang amat besar, yang
meliputi tidak saja sebagai
kepala
pemerintahan dan panglima perang tetapi juga sebagai pemimpin agama. Dan,
seperti
halnya
dengan
sistem
pemerintahan
Majapahit,
tugas-tugas
operasionalisasi kekuasaan itu didelegasikan pula kepada pejabat-pejabat penting lainnya
42 Ibid.. h. 40. 43Soemarsaid Moertono, Neg~1ra dan Usaha 8ina-Negara di Jawa Masil Lampau: Stud; tentang MaSil Mataram /I Abad XVI sampai XIX; Uakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 34.
seperti Pepatih Dalem yang mengelola bidang pemerintahan dan urusan pertahanan keamanan, dan Penghulu Ageng yang mengatur masalah-masalah keagamaan.
44
Selain karena faktor-faktor di atas, konsepsi kekuasaan politik dan pemerintahan Jawa agaknya juga mempunyai pengaruh dalam pembentukan tradisi majelis hakim. Dalam paham kekuasaan Jawa, kekuasaan dipandang sebagai ungkapan kekuatan kosmis yang dapat dibayangkan sebagai semacam fluidum (cairan dan gas) yang memenuhi seluruh kosmos. Karena itu, individu-individu atau kelompok yang memperoleh kekuasaan tak ubahnya sebagai wadah yang memuat sebagian dari flu/dum kekuatan kosmis itu. Orang yang dipenuhi oleh kekuatan itu disebut sekt/, sedang kekuatan yang membuat sakti itu disebut kasekten. Dalam kerangka seperti itu, seorang raja dapat dimengerti sebagai orang yang memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri, sebagai arang yang sakti sesakti-saktinya. Kasekten seorang raja diukur pad a besar kecilnya monopoli kekuasaan yang dipegangnya. Dengan demikian, kekuasaan raja merupakan hasil <emampuan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Sebaliknya,
44pernyataan ini mung kin agak berbeda dengan kesimpulan yang dibuat oleh Zaini Ahmad Noeh. yang nelihat bahwa tat a pemerintahan di kerajaan Mataram seperti di atas mendapat pengaruh dari teori fikih siyasah I-Mawardi, yang menegaskan adanya clua fungsi utama sebuah negara, yaltu siyasah al-dunya (pengaturan
!unia) dan hararsah aI-din (pemeliharaan agama), Uhat Noeh, "Bercermin dengan Flqh al-Mawardi", dalam
'esanrren 00.2 fyol.lI/1985. h. 56. Hemat penulis, kesimpulan Noeh terse but agak terburu-buru, mengingat kitab arangan al-Mawardi. al-Ahkam al-Sultaniyah, yang memuat tead tersebut sekalipun telah ditulis pada abad e-I
J
M. tetapi tidak pernah disebut-sebut telah beredar di Jawa dan Madura hingga abad ke-19. Uhat hasH
enelitian L.W.c. Van den Berg tentang kitab-kitab di pondok pesantren di Jawa yang dilakukannya pada 88G-an, dalam Karel Steenbrink. op. cit. , h. 154-158. Dengan demikian, pengaruh pernikiran al-Mawardi ~rhadap
sistem ketatanegaraan di kerajaan Mataram abad ke-17 jelas patut untuk dipertanyakan.
seorang raja dapat kehilangan kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan kekuatan kosmis itu. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi paham kekuasaan di atas, seorang raja mutlak mempertahankan
monopoii
kekuasaannya.
Dan
karena
itu
pula,
konsep
pluralitas
kekuasaan tidak pernah dapat diterima di dalam paham kekuasaan Jawa. Maka, tak ayal lagi seorang raja tak akan pernah membiarkan wilayah-wilayah yang dikuasainya tumbuh menjadi semi-otonom sekalipun. Sebab, konsentrasi kekuasaan di satu tempat dengan sendirinya berarti pengurangan kekuasaan di tempat-tempat lain. 45 Berdasarkan hal demikian itu, kita mudah mengerti mengapa Sultan Agung, kemudian oleh Amangkurat I dan Amangkurat II, melakukan serangkaian penaklukan militer tidak saja terhadap kadipaten-kadipaten yang merupakan pusat perdagangan di pesisir, tetapi juga terhadap kadipaten Giri yang merupakan daerah basis Islam sekalipun. Masih dengan penjelasan yang kurang lebih serupa dengan di atas, kita pun mudah memahami mengapa raja Mataram --Pangeran Rangsang yang lebih populer dengan sebutan Sultan Agung-- sejak awal berusaha memperoleh dan mengenakan gelar-gelar keagamaan,
seperti Susuhunan (1624) dan Sultan (1641). Gelar-gelar semacam itu
sesungguhnya mengandung makna sebagai sumber legitimasi kekuasaan baik di bidang <eagamaan maupun di bidang politik sekaligus. Dengan menggunakan gelar seperti itu, raja Mataram berusaha memegang kembali :ekuasaan politik-keagamaan, yang dalam masa peralihan Hindu ke Islam terlepas ke 4Ss epertl'd'k' ' S useno, op.cit., h. 98-1 '0, dari uraian Bennedict R.O.G. Anderson, "The Idea of r utlP Magnls-
ower in Javanese Culture" dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca: Cornell University, 972),
tang an para wali-wali penyebar Islam dl tanah Jawa (Wali Songo). Melalui gelar yang --dari sudut pandangan kemutlakan kosmos-- penting itu, kekuasaan sakral dan sekular (duniawi) terkumpul dalam satu tang an dan tldak dilepaskan lagi, sehingga para ulama kembali menjadi hanya bag ian dari pemerintahan raja. 46 Berdasarkan paham kekuasaan politik dan pemerintahan Jawa seperti yang telah digambarkan dl atas, kita kemudian menjadi lebih mengertl betapa raja-raja Mataram tak akan pernah membiarkan sebuah institusi tumbuh menjadi otonom dan memiliki jangkauan kekuasaan tersendiri. Dan karena itu pula, kita juga dapat mengerti mengapa di Mataram tak akan mungkin muncul sebuah pranata hakim tunggal yang berkuasa memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Bahkan, mungkin tak perlu dikomentari bahwa pranata hakim tunggal seperti di masa permulaan Islam yang memiliki jangkauan kewenangan yang amat luas; sehingga dapat mengadili perkara yang melibatkan pribadi khalifah sekalipun 47 , adalah sama sekali tidak relevan dengan konsepsi kekuasaan politik Jawa. Dengan demikian, pranata hakim dengan pola majelis, seperti yang tampak baik dalam Pengadilan Pradata maupun dalam pengadilan Surambi di atas, sesungguhnYa dimaksudkan untuk memelihara faham kedaulatan raja, yang berkuasa penuh mengambil keputusan. Sebab, dalam paham kekuasaan Jawa, segal a kekuasaan dan hukum mutlak berasal dari pribadi
raja. Dengan demikian, pemeriksaan perkara dan pertimbangan
hukum yang dilakukan oleh penghulu ataupun pejabat raja lainnya tak lebih sebagai
46Moertono, op.cit., h. 40-41.
47 U hat kembali uraian Bab IV di atas, khususnya h.l1-12.
sebuah realitas yang menggambarkan dilaksanakannya proses peradilan secara kolektif, sementara keputusan akhir tetap berada di tang an raja.
Dari uraian yang telah diutarakan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pranata hakim
di
kesultanan
Demak dan juga Banten tidak
mengalami
transformasi
leblh
disebabkan oleh fakta sejarah sosial dan politik bahwa kedua kesultanan itu berdiri sebagai oposan terhadap kekuasaan kafir di wilayahnya, dan karenanya. kedua kesultanan itu kurang memperhatikan masalah kontinuitas. Lagipula, karena letak geografis kedua kesultanan itu di pesisir pantai utara pulau Jawa menjadikannya lebih terbuka dengan gagasan-gagasan baru dan malah bila perlu menggeser tradisi lama. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian di Demak dan di Banten berlangsung proses peradilan yang ditangani oleh hanya seorang hakim tunggal. yang merupakan tradisi orisinal Islam. Akan halnya pranata hakim yang berbentuk majelis di Mataram terjadi akibat kerajaan terse but masih tetap menjaga kontinuitas tradisi dan pranata sosial yang berasal dari zaman Majapahit. Bukan hanya itu saja. konsepsi kekuasaan politik dan pemerintahan Jawa agaknya juga banyak mempengaruhi terbentuknya struktur majelis hakim itu. Sebetulnya. terjadinya transformasi hakim tunggal menjadi majelis hakim pada lembaga peradilan di kerajaan Muslim Mataram lebih merupakan sebuah hasil proses hubungan resiprokal antara ketentuan dalam peradilan Islam dengan adat atau kebudayaan
tempatan, yang pada akhirnya menciptakan sebuah asimilisasi dan akulturasi yang harmoni di antara keduanya. Pendekatan strukturalisme 48 mungkin akan lebih mudah menjelaskan proses transformasi terse but. Dalam hal ini, (l) pranata dan gelar kadi;
(2) ketentuan materiel
hukum Islam; dan (3) pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan secara so liter, merupakan unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam sebuah bangunan struktur peradilan Islam. Tentu saja, bangunan struktur ini adalah suatu totalitas ajaran Islam yang orisinal. Akan tetapi, pada saat penetrasi Islam ke Indonesia, persisnya pada masa kerajaan Mataram abad ke-l 7, struktur hakim seperti itu mengalami transformasi dari hakim tunggal menjadi majelis hakim. Demikian pula, gelar kadl beralih rupa menjadi penghulu. Transformasi itu berlangsung disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara struktur peradilan Islam dengan tradisi lokal dan konsepsi kekuasaan politik setempat. Perubahan yang terjadi pad a unsur struktur peradilan itu kemudian mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Dengan demikian, terjadi difusi di dalam struktur, yang selanjutnya secara otoregulatif memantapkan hubungan antara unsur-unsur baru dengan unsur-unsur yang tersisa, yang tldak ikut berubah, di dalam struktur orisinal. Maka, gelar penghulu, yang sekarang lebih dikenal dengan hakim, dan pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan secara kolektif oleh lebih dari satu orang hakim,
48Menurut pandangan strukturalisme, sebuah struktur dapat mengalami perubahan bentuk karena ia memiliki sedikitnya tiga sifat, yaitu 0) struktur bersifat totalitas. (ii) struktur memiliki kemampuan bertransformasi, dan (iii) struktur mempunyai sifat otoregulasi (pengaturan diri). Ketiga sifat struktur ini juga merupakan rangkaian
fase perubahan sebuah struktur. Untuk bacaan sederhana mengenai pendekatan strukturalisme. lebih lanjut baca Jean Paget. Strukturalisme, Uakarta: YOI, 1995).
adalah unsur-unsur baru yang masuk ke dalam struktur peradilan Islam, dan secara otoregulatif menjalin hubungan antarunsur dengan unsur yang tidak ikut berubah, yaitu ketentuan materiel hukum Islam. Hubungan antarunsur itu kemudian terus berkembang sehingga menjadi mapan dan menciptakan sebuah totalitas yang baru pula.
Dan akhirnya, totalltas struktur yang baru
itu, --yang terdiri dari unsur-unsur: (l) gelar penghulu kemudian diubah menjadi hakim; (2) pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan secara kolektif, biasanya oleh tiga orang hakim dengan satu hakim ketua dan dua orang hakim anggota; dan (3) ketentuan materiel hukum Islam--, kini diterima sebagai sebuah struktur baru. Dan bahkan, melalui Staatsblad tahun 1882 yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, ia ditetapkan secara resmi sebagai bag ian dari pengadilan agama, dan terus diakui keberlakuannya oleh perundang-undangan mutakhir di masa Indonesia modern ini sekalipun.
BAB VI PENUTUP
Uraian yang lalu memberi gambaran tentang bagaimana transformasi pranata hakim agama dari hakim tunggal ke majelis hakim terjadi di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu beberapa kesimpulan penelitian dapat diajukan di sini, yaitu: 1. Transformasi pranata hakim agama dari hakim tunggal ke majelis hakim terjadi di kerajaan Muslim Mataram, persisnya pada masa pemerintahan Sultan Agung (16131645). 2. Transformasi semacam itu dapat terjadi, karena kerajaan Muslim Mataram masih tetap mempertahankan tradisi kekuasaan politik yang diwarisinya dari kerajaan Majapahit. Hal itu bukan hanya karena Mataram ingin melanjutkan legitimasi politik Majapahit di pulau Jawa, lebih dari itu Mataram bermaksud memenuhi panggilan kultural untuk kontinuitas dengan mengidentifikasi diri sebagai keraton pusat yang berakar budaya pada Majapahit. 3. Transformasi pranata hakim agama tidak tampak secara signifikan di kesultanan Demak dan kesultanan Banten lebih karena kedua kerajaan itu mengidentifikasi diri sebagai kerajaan di pulau Jawa yang berkiblat ke dunia Muslim (Timur Tengah). Selain itu, kedua
kerajaan itu muneul sebagai oposisi terhadap kerajaan kafir sebeiumnya; sehlngga tidak ada keharusan untuk meneruskan kontinuitas tradisi kerajaan yang ditaklukkannya. 4.
Faktor geografis kiranya juga mempunyai peran dalam proses terjadi, atau tidak terjadinya, transformasi pranata hakim agama tersebut. Demak dan Banten yang berada di wilayah pesisir pantai utara pulau Jawa merupakan kawasan yang sering dikunjungi oleh berbagai pelaneong dari maneanegara, terutama pedagang Muslim. Akibatnya, interaksi yang intensif pun terjadi; sehingga tradisi dan budaya di kedua wilayah itu terbuka seluas-Iuasnya bagi pengaruh gagasan yang datang dari luar, termasuk Islam. Kerajaan Mataram yang karena letaknya di pedalaman pulau Jawa tidak mengalami realitas seperti di atas. Itu sebabnya wajar jika pengaruh unsur luas sangat keeil dan tidak terasa imbasnya.
S.
Terbentuknya pranata majelis hakim yang mulanya berasal dari pranata hakim tunggal jelas bukan semata-mata karena Staatsblad tahun 1882, melainkan lebih karena pengaruh dan interaksi tradisi dan ajaran Islam dengan budaya tempatan, khususnya di wilayah kerajaan Mataram. Namun, Staatsblad tahun 1882 mempunyai peran dalam mengukuhkan (legitim as i) dan memantapkan struktur pranata majelis hakim seperti itu hingga pada masa pasea UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6. Terjadinya transformasi pranata hakim agama dari hakim tunggal ke majlis hakim menunjukkan betapa struktur peradilan Islam bukanlah suatu yang statis, melainkan dinamis dan terbuka untuk menerima berbagai perubahan.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, "Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan", dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Uakarta: LP3 ES, 1989) Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Mesir: Matba' ah Musthafa al-Bab al-Halabi, Tth.), vol. II. Anderson, Bennedict R.O.G., ''The Idea of Power in Javanese Culture" dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University, 1972). al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (Ttp.: Dar al-Fikr, Tth.) vol X. Ball, John, Indonesian Legal History 1602-1848, (Sydney: Oughtershaw Press, 1982) Bruinessen, Martin van, "Qadhi, Tarekat dan Pesantren: Tiga Lembaga Keagamaan di Kesultanan Banten" dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), eel. II Graaf, H.J. de dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di jawa: Peralihan dari
Majapahit ke Mataram, Uakarta: Grafiti Pers, 1985) Graaf, H.J. de, "Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18", dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Uakarta: Yayasan Obor, 1989) Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Ttp.: Dar al-Fikr, Tth.) Kern, R.A., '~avaansche rechtsbedeeling. Een Bijdrage tot de kennis der geschiendenis van Java" Uavanese Administration of Justice. A Contribution to the Knowledge of the History of Java) dalam BKI, LXXXIII, (1927). al-Kindi, Abu 'Umar, al-Wulat wa al-Qudat, (Ttp,: Mathba'ah ai-Aba' al-Yusu'iyin, 1908). Langen, K.F.H. van, "De inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultanaat", BKI, 5, III (1888), diterjemahkan oleh Aboe Bakar, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, (Banda Aceh: PDIA, 1986)
Magnis-Suseno, Franz, Etika jawa: Sebuah Ana/isa Fa/safi tentang Kebijaksanaan Hidup jawa, Uakarta: Gramedia, 1991), eel. IV
Mattulada, "Islam di Sulawesi Selatan", dalam Taufik Abdullah (ed.), Islam dan Perubahan Sosial, Uakarta: Rajawali Press, 1983) Milner, A.C., "Islam and The Muslim State", dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in South-East Asia, (Leiden: E;J. Brill, 1988)
Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara dijawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram I! Abad XVI sampai XIX, Uakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985)
Noeh, Zaini Ahmad, "Bereermin dengan Fiqh al-Mawardi", dalam Pesantren no.2/vol.lI/ 1985 'aget, Jean, Strukturalisme, Uakarta: YOI, 1995). ~ayim, Ibnu, "Penghulu di Jawa", (Yogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1991).
,affles, Thomas Stamford, The History of java, (London: The Hon. East-India Company, 1817), vol. II. (eid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Uakarta: Yayasan Obor, 1992), Jilid I. ,teenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Uakarta: Bulan Bintang, 1984) 'resna, R., Peradi/an Indonesia dari Abad ke Abaci, Uakarta: Pradnya Paramita, 1978), eel. III IU no. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. 'Iekke, Bernhard, Nusantara. A History of Indonesia, (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1959)