Ct,g
C-tto)S,Sif orfrH1U m SirlJK;arreI aLP;e{,at "*h eng fu fulerr; ilr-UIIIN 5rurna n Kali'i; jas aaY
Yogyakarta, 28 Januari Z01Z Nomor
:
Lampiran
: 1 (satu) bende[
Hat
: Permohonan Narasumber
48 / D-3 / Pan. RCFH/2-A I I /
ZO|Z
Kepada
Yth. Heribertus jaka Triyana, S.H., LL.M. Di
Yogyakarta Assolamu' alai kum Wr, Wb. SIAMO TUTTI FRATELLI
Satam sejahtera kami sampaikan, semoga datam [indungan-Nya. Amien.
kita setatu diberi rahmat dan senantiasa
akan ditaksanakan kegiatan seminar Nasional Hukum Perikemanusiaan lnternasional (HPl)/ Hukum Humaniter lnternasional (HHl) sebagai satah satu rangkaian kegiatan Red Cross for Humanity yang insya Attah akan sehubungan
dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Sabtu, 25 Februari 2012 Tempat : Convention HaU UIN Sunan Katijaga yogyakarta Maka kami memohon kesediaan Bapak untuk menjadi Narasumber datam kegiatan tersebut. TOR kegiatan dan manual acara tertampir. Demjkian surat permohonan ini kami sampaikan, atas perhatjan dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu' alai kum Wr. Wb.
*.*rwt\* R*d f,r**s
f*r
f{lutrnaru*fy
K5E pi,qt 4_inir,TtrX Uti,t Srzn*ar Halijaga y*Egai.arta
*4*kttx
fu;krxtart*
Ali F{aribuan zur*.ffi.0e Saidiruq
Ft*a*tna
"uryl Wrprqlt N4, e,
w*tt vln
&,Lfule[fi, *4fi ffiA *{ } ?r{ffi 0FI e S,te LJll-'l Suma n,ffa{ijaga Yogya$,a rt a (;
z.
3fi7. fr 1
No*ng*rak*si' ltistr,
W
',.
"fiV "A5.,*1 .*4 "*7
tr litrlJ.a
''l}ffr Y {-t 't
&Y., Wpffd,{ijq@,l,,llesp**w rery" #./v&b}* 2w5fi1 2 tyJ?
?*ng*rux K5R Unit VII &Nfi {$ff.weq 6F{ip#fiH5t& Ary!fuWffidt i xsa Y rrys akarra qel
-.. Litll ,
Red Cross for Humanity i:'Ly. - \W$W Karps Sukarela Pa[ang Merah lndcnesia q W{ rY Unit Vll U!N Sunan Katijaga Yogyakanta 't
,,
Sekretariat: Jt. Marsda Adi Sucipto, Gd. Student Center (SC) Lantai Dasar No.1.12 UIN Sunan Ka[ijaga Yogyakarta 55281 Tetp. (0274) 3005415 Btog: redcrossforhumanity.wordpress.com E-mait:
[email protected]
TOR KEGIATAN SEM|NAR NASTONAL HUKUM PERKTMANUSTAAN TNTERNASIONAL (HPl) HUKUM HUMANTTER TNTERNASTONAL (HHl) t.
/
DASAR PEMIKIRAN
Patang Merah lndonesia (PMl) merupakan suatu organisasi sosial yang bergerak datam bidang kemanusiaan, dengan tujuan untuk meringankan penderitaan sesama, baik pada saat konfl.ik maupun damai dengan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar gotongan.
Nitai kemanusiaan yang membumi metintasi domain suku, agama, rasa, dan antar mati" bagi kehidupan bermasyarakat. Usaha-usaha penyebartuasan nitai-nilai kemanusiaan (sense of humanity) tetap harus ditakukan untuk mewujudkan kesadaran masyarakat akan nilai-nitai tersebut sehingga terbangun pemahaman utuh dan mampu menjetma datam kehidupan. Patang Merah lndonesia sebagai organisasi kemanusiaan yang tetah diakui keberadaannya, baik secara nasiona[ maupun internasionat, berusaha memberikan kontribusi positif kepada masyarakat metatui kegiatan kemanusiaan. Sebagai satah satu usaha mewujudkan misi kepatangmerahan, KSR PMI Unit Vll UIN Sunan Katijaga Yogyakarta mengemas datam wujud kegiatan Red Cross for Humanity untuk metaksanakan Prinsip-Prinsip Dasar Gerakan Patang Merah dan Butan Sabit Merah lnternasional. Hukum Perikemanusiaan lnternasional (HPl) i Hukum Humaniter lnternasional (HHl) merupakan satah satu rangkaian kegiatan dari kegiatan tersebut. Hukum Perikemanusiaan lnternasional adatah seperangkat aturan yang karena atasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata. Hukum ini metindungi mereka yang tidak atau tidak lagi tertibat datam pertikaian dan membatasi caracara dan metode peperangan. Hukum Perikemanusiaan lnternasional adatah istitah yang digunakan oteh Patang Merah lndonesia untuk Hukum Humaniter lnternasional (lnternational Humanitarian Law). lstitah [ain dari Hukum Humaniter lnternasiona[ ini adatah "Hukum Perang" (Low of War) dan "Hukum Konflik Bersenjata" (Law of Armed Conflict). Pertindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada saat peperangan juga menjadi bahasan datam Hukum lstam. Dan apabita Hukum Perrkemanusiaan lnternasional dan Hukum lstam dikomparasikan maka memitiki persamaan dan titik temu, yang mana kedua hukum tersebut sejatan datam memberikan perlindungan pada saat peperangan. Tragisnya contoh-contoh petanggaran hukum perikemanusiaan internasionaI tak terhitung tetah terjadi dalam pertikaian bersenjata di seturuh dunia. Bahkan korban yang meningkat datam peperangan adatah warga sipit. Namun, terdapat hat-hal. penting dimana hukum perikemanusiaan internasional tetah membuat suatu perbedaan datam metindungi warga sipit, tawanan, korban luka dan sakit serta dalam membatasi penggunaan senjata yang semena-mena. Bahwa hukum itu bertaku setama masa-masa traumatik, penerapan hukum perikemanusiaan internasional akan setatu menghadapi kesutitan-kesuUtan berat, penerapan efektif dari hukum itu setamanya akan tetap mendesak. Pemberian pengertian dan pemahaman terhadap mamsyarakat sipit tentang Hukum Perikemanusiaan lnternasionaI sangatlah penting, sehingga diharapkan denga adanya kegratan seminar nasionaI Hukum Perikemanusiaan lnternasionaI ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan yang tebih luas kepada masyarakat umum.
gotongan adatah "harga
il. LANDASAN KEGIATAN 1. AD/ART PMI Tahun 2009. 2. Pedoman Dasar KSR PMI Unit Vll UIN Sunan Katijaga Yogyakarta Tahun 2011. 3" GBPK UKM KSR PMI Unit Vll UIN Sunan Kal.ijaga Yogyakarta Tahun 2011. 4. Program Kerja UKM KSR PMI Unit Vll UIN Sunan Katijaga Yogyakarta Periode 2011t2012. 5. Surat Keputusan Rektor UIN Sunan KaLijaga Yogyakarta No. 168 B Tanggal 5 Agustus 2011.
z rf=
'""!1jt.
,' " ""AMLf Red Cross for Humanity * rzn "-' -'.
i, \\r*.Y..?*- {& W . wv e IWW ffiv:\f4 w"f g
Konps Sukarela Pa{ang
ffierah lndcs:csia
Unit Vll t"J lN Sunan KaXijaga Yogyakarta {J
re,ry
Sekretariat: Jt' Marsda Adi sucipto, Gd. Student center (Sc) Lantai Dasar No.1.12 UIN Sunan Katijaga yogyakarta 552g1 Ielp.(0274) {o)!-!ls- a\og; redcrossforhumanity.wordpress. com E-mait: redcrossforhumanitrbemait. com
NAMA KEGIATAN
/
Kegiatan ini bernama "seminar Nasional Hukum Perikemanusiaan lnternasiona[ (HPr) Hukum Humaniter lnternasionat (HHl),'.
IV. TEMA KEGIATAN Grand tema "Satu Negara, Satu Lambang, Satu Gerakan Patang Merah Indonesia". b. Sub tema.
a'
Uraian Materi / Topik
No
Konsep dan lmptementasi HPI datam Konteks Gerakan Patang Merah dan Butan Sabit Merah. Konsep dan lmptementasi HPI dan Kaitannya dengan Hukum Ptdana
1
2
Nara Sumber Rina Rusman
:
LegaI Advisor ICRC
Heribertus Jaka Trryana,
5.
H", LL.M.
lnternasional dan HAM. Koretasi antara HPI dengan Hukum lstam
3
datam Konsep dan lmplementasinya. Imptementasi HPI di lndonesia dan Koretasj dengan Lambang Gerakan. Moderator
4 5
V.
Prof. Dr. Yudian Wahyudi, MA, Ph.D. Muhammad Muaz, S.H.: PMI Pusat
Drs. Mochamad Sodik, S.Sos.,M.Si
HASIL YANG INGIN DICAPAI
1.
7. 3.
4.
Peserta mengetahui dan memahami konsep dan imptementasi HPI datam konteks
gerakan Patang Merah dan Butan Sabit Merah.
Peserta mengetahui dan memahami konsep dan imptementasj Hpl dan kaitannya
dengan hukum pidana internasionat dan HAM.
Peserta mengetahui dan memahami koretasi antara HPI dengan hukum istam datam konsep dan imptementasinya. Peserta mengetahui dan memahami rmptementasj HPI di Indonesta dan koretasi dengan lambang gerakan.
VI. TUJUAN KEGIATAN 1. Memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tentang Hukum Perikemanusiaan lnternasionat. 7. Mengenatkan dan menyebartuaskan peran UKM Korps Sukareta Patang Merah lndonesia (KSR PMI) Unit Vll UIN Sunan Katijaga Yogyakarta di katangan perguruan tinggi. 3. Memacu masyarakat akan kesadaran kemanusiaan. VII. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Waktu Sabtu, 25 Februari Z0l2 Z. Tempat Convention Hol/ UIN Sunan Katijaga yogyakarta.
VIII.
PESERTA
Kegiatan
dari
ini
direncanakan akan dihadiri oteh 250 orang sebagai peserta yang terdiri
:
1.
7. 3.
Mahasiswa Dosen dan Akademisi Umum.
IX. JENIS KEGIATAN
Jenis kegiatan seminar berupa pemberian teori dan forum tanya jawab di ruangan oteh tiga pembicara dan satu moderator.
Humanity Korps Sukar*ia Palanrg fu1erah lndanesia Unit Vll UIN Sunan Kalijaga Yogyakartm Sekretariat: Jt. Marsda Adi Sucipto, Gd. Student Center (SC) Lantai Dasar No.1.12 UIN Sunan Katijaga Yogyakarta 55281 Tetp.(0274) 3005415 Btog: redcrossforhumanity.wordpress.com E-mai[:
[email protected] ....................:?,h
,
x. PEMATERI 1. lnternational Committee of the Red Cross (ICRC).
2. Patang Merah lndonesia Pusat. 3. Pakar Hukum lnternasionat. 4. Pakar Hukum lstam.
xl.
PENUTUP
Demikian TOR ini kami sampaikan agar dapat dijadikan referensj dan pertimbangan serta bahan informasi bagi pihak-pihak terkait.
Yogyakarta, 19 November 2011
Pareitia H5fi
frd
p"h4l Unit. VEi
drass
f*r
l4unranity
ul!{ tunan btaZitrqa\qgakartx
Fmgw*ws l{5fl {"lnit V}l
., j, i
?lsiua Fanitl*
PA}-**W #EftAH I H DOfTESIA U6*&tai (atiiaEa Yogyakarta
,,"-
'.,''-l{etua
'lo,t^
4&L
sita ktriana
?41e."
fuidina &ii hlssitoa;am W."95"CI1,0..r.07.2992.S9 ?4*. A?"85"*1".&4.*7,?*5$.&E t*engetahui tu.t, Refrt*r
Fec'&bi,fla fcsfi. L$Bit Vll
Fernbantu H.rktor
PA1.aH& LIYH $wna,n
96ffis
Sifa'1,
hlasarupla
*[rP.
1986fl1
FeftSrunr5
awak.kr4r n erna
Y
tw*{dtq effiS*1 m7 Pgfl,gun s
PAt-Ail*e *&rfi,eH IHDrs*ffitA W,
Mrft}}t tl4froHf,5te ffi"ljaga Yryg*karta
W*kana
*9
5t.."eu,,Ahr.
Frnf,
DR,
Adi Hesu,-1, ldS.{,
*('H, ft{-Slf'fH,
?Wllq,
Y
',"
-
, *^"*.,
yu Red Cross
for Humanity
Korps Suk*rela Patang tux*rxh tndCIs:*sia '${;p'fu M'{ \ r i Unit Vil UIN Sunan Katijaga yagyakar-ta
Sekretariat: Jt. MarsdaAdi Sucipto, Gd. Student Center (SC) Lantai Dasar No.1.12 UtN Sunan Katijagayogyakarta 55281 Tetp.(0274) 300541 5 Blog: redcrossforhumanity.wordpress.com E-mai[:
[email protected]
MANUAL ACARA
Seminar Nasional Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPl)/ Hukum Humaniter lnternasional (HHl) Red Cross
for Humanity
KSR PMI
Unit Vll UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sabtu, 25 Februari 2012
No
Waktu
1
07.00 - 08.00
Daftar Utang Peserta
Att Panitia & Peserta
7
08.00 - 09.00
Pembukaan
Petugas
3
09.00 - 09.45
Konsep dan lmptementasi HPI datam
Rina Rusman
Konteks Gerakan Patang Merah dan
Lega[ Advisor ICRC
Kegiatan
Keterangan
:
Butan Sabit Merah. A
09.45
-
10.30
Konsep dan lmptementasi HPI dan
Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M.:
Kaitannya dengan Hukum Pidana
Pakar Hukum lnternasiona[
lnternasional dan HAM. 5
10.30
-
1
1.15
Korelasi antara HPI dengan Hukum
Prof. Dr. Yudian Wahyudi, lAA., Ph.D.:
lstam datam Konsep dan
Pakar Hukum lstam
lmptementasinya. 6
7
11
.15
12.00
-
12.00
12.45
Muhammad Muaz,
Koretasi dengan Lambang Gerakan.
PMI Pusat:
Diskusi panel
Drs. Mochamad Sodik, S.Sos.,M.Si.
Moderator 8
12.45
-
13.15
S.H.:
lmptementasi HPI di lndonesia dan
Penutupan
Petugas
l
Konsep Dan lmpleme:ntasi hlukum Humaniter Internasional dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana lnternasional Dan Hukum Hak
Asasi Manusia lnternasional * Oleh. Heribertus Jaka Triyana{ L Pengantar
Penegakan Hukum Humaniter lnternasional (HHl) dan Hukum Hak Asasi Manusia lnternasional (HAMI) harus dilaksanakan berdasarkan prinsip efektivitas. Prinsip ini menentukan bahwa negara wajib untuk mengakui, mengatur, menghormati, memajukan dan melindungi HHI dan HAMI diseluruh sendi-sendi penyelenggaraan negara. Pelaksanaan prinsip ini dapat diukur dari dua indikator yaitu pembentukan dan pelaksanaan instrumen hukum dan kelembagaan HAM baik dibidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Di lndonesia, prinsip ini diatur dan diakui keberadaanya dalam Pasal
71
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manuasia dan juga dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang ratifikasi lndonesia terhadap KonvensiKonvensi Jenewa 1949.
Negara adalah pihak utama yang berperan dan memiliki tanggungjawab untuk penegakan HHI dan HAMI, sehingga negara wajib melaksanakan standar-standar internasional yang berasal dari HHI dan HAMI terhadap penegakan hukum terhadap pelanggaran kedua jenis hukum tersebutl. Lebih khusus lagi, penegakan hukum Disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Perikemanusiaan lnternasional (HPl) KSR PMI UnitVll UIN Sunan Kalrjaga Yogyakarta, 25 Februari 2012 Staf Pengajar Hukum lnternasional FH UGM Yogyakarta: SH (UGM lndonesia, 1994-1998), LL M (Unimelb, Australia, 2002-2003), MA (Rijks-Universiteit Groningen, Belanda, 2007-2008); dan MSc (Ruhr
'
University
of
j_akalnya
Bochum, Jerman, 2008-2009) Korespondensi. email:
[email protected] atau
@ m
arl-ugm_aeld ata u te p. 08 1 802649293
na
I
Human Rights Committee. General Comment 3. Pasal 2, para 1, lmptementation at the national level (Thirteenth session, 198'1 ), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc HR1/GEN/1/Rev 1 at4 (1994), General Comment,, Pasal 1 of lhe European Conventiort for the Protection of Human Riqhts and Fundamental Freedoms 1g54 4 November 1950, berlaku 3 September 1953,213 UNTS 221, ETS 5 1 EYB 316; Pasal 3 cjan 4 Convention Relating 1o the Status of Refugees 1951 ,28 July 1951, berlaku 22 April 1954 189 UNTS 150, 1954ATS5; 1961 NZTS2, Preambleof theConventiononthePoliticat Rightsof Women., PrinsipTof the Declaration on the Granting of lndependence to Cotonial Countries and Peoples 7960, UNGA, 14 Desember 1960 GA Res 1514, uNGAoR, 15'h Sess, supp No 16, uN Docs. tu4684 (1961); Bagian European Social Charler 1961,1B October 1961, berlaku 26 February 1965 529 UNTS 89, ETS 35 9 EYB 247, Pasal 2 of the lnternational Convention on the Elimination of Att Forms of Raciat Discrimination 7966; Pasal 2 of the lnternational Covenant on Economic, Sociat and Cutturat Rights 1966, berlaku 3 January 1976; 993 UNTS 3, 1966 UNJYB 170, Pasal 2 of the lnternational Covenant on Civit and Political Rights 1966, lihat the American Convention on Human Rights 1969, entered into force 18 luly 1978, 1114 UNTS 123; OASTS No. 36, 9 ILM 673; Article 2 of the Conyention on the Etimination of All Forms of I
internasional mewajibkan negara-negara berperan aktif dalam hal penuntutan dan penghukuman bagi pelaku pelanggaran HHI di wilahnya2 atau yurisdiksinya3.
Penegakan hukum HHI secara lebih khusus menentukan bahwa semua pihak
wajib melaksanakan ketentuan yang ada didalamnya sehingga kewajiban ini menjadi suatu kewajiban internasional (internationat obligation) bagi semua pihaka. Pihak disini adalah semua subyek hukum hukum internasional, yaitu negara, individu, organisasi
internasional baik organisasi ineternasional publik maupun privat dan kesatuankeasatuan atau kelompok yang diakui oleh hukum internasional, seperti belligerent dan Discrimination against Women 7979, berlaku 3 September 1981 , 1249 UNTS 13 19Bg UKTS 2, 19 ILM 33; lihat African Chafter on Human and Peoples' Rights 1981 (Banlul Charter), berlaku 21 October 1986, 21 ILM 59 (1982); Pasal 4 of lhe Declaration of the Elimination of All Forms of lntolerance and of Discrimination basedon Religion and Belief 1987 UNGA GA Res 36/55, UNGAOR 36th Sess, Supp. No. 5'1 , UN Doc. 4/36/51 (1981),21 ILM 205 (1982); lihat the Slracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the lnternational Covenant on Civil and Political Rights 1984, UN Doc E:CN.4l1g14l4 (28 September 1984) 7 HRQ 3 (1985); Additional Protocol to the American Convention on
HumanRightsintheAreaof Economic,Social andCultural Rights1988,OASTSNo 69,28ILM(1989);
'
I
'
lihat Pasal seluruhnya Convention Against ToftLtre ancl Other Cruel lnhuman or Degrading Treatment or Punishment 7984, berlaku 26 Juni 1987, GA Res 39/46, UNGAOR 391h Sess, Supp. No. 5"1 , UN Doc A/39/51 (1985),23 ILM 1027; bandingkan dengan lhe lnter-American Convention to Prevent and Punish Torture 7985, berlaku 28 Februari 1987 OASTS No 67, OAS Doc OEA/SER P AG/DOC 2023185' 25 ILM 519 (1986); lnternational Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apaftheid, 30 November 1973, GA Res 3068 (XXVIl)(1973) 1015 UNTS 246,28 UNGAOR Supp(No 30), UN Doc A/Res/3068 (1973) 13 ILM 50 (1974) Human Rights Committee, General Comment 3, Article 2, para 1, lmplementation at the national level (Thirteenth session, 1981), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc HRl/GEN/1/Rev 1 at14 (1994) University of Minnesota Human Rights Library, http:/iiur'rw.l .urrn.edu/humani-ls-igencomm/hrcornl3 htm General Comment adalah suatu rnstitusi legal yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia internasional terhadap suatu penafsiran otentik dari suatu Pasal Konnvensi HAM dan General Comment adalah salah satu mekanisme penegakan HAM ditingkat internasional. Lihat yurisprudensi dari kasus Loizidou v Turkey (Preliminary Objections), European Court of Human Rights (1995) Series A.No.310, 23 February 1995, para.72, see also Velasquez-Rodriquez (Judgment) ZO Luty 1988, lnter American Court of Human Rights (1988) Series C. No.4, para 167, Artico v ltaly, European Court of Human Rights (1980) Series ANo. 37,16, A v UK (Application) No. 15599/1994, Report of 18 September 1997, para 48; see generally Human Rights Committee, General Comment No 16, ICESCR, Committee, General Comment, No.5, para 11 (1994) Lihat Pasal Kembar (Pasal 1) Pasal yang sama dari Konvensi Jenewa 1949, Pasal 8,9,'10,48,49 KJ yaitu Konvensi I tentang lhe Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Fietd, dibuka penendatangannya pada 12 Agustus 1949,6 UST 3114, TIAS No 3362,75UNTS31,Pasal B, 1O 45,49danSOKonvensi ll tentanglheConventionfortheAmeliorationof the Condition of the Wounded and Sick and Shipwrecked Members of the Armed Forces at Sea, dibuka penandatangannya pada 12 Agustus 1949, 6 UST 2317 TIAS No 3363 75 UNTS 85 Pasal B, 10, 128 dan 129 Konvensi lll tentang the Conyenfion Relative to the Protection to the Prisoner of War, dibuka penandatanganya pada 12 Agustus1949,6 UST 3316 TIAS No 3364,75 UNTS'1 35 dan Pasal 9, 1'1 145 dan Pasal 146 Konvensi Jenewa lV tentang the Conventlon Relative to the Protection of Civrlian Persons in Time of War, dibuka penendatangannya pada 12 August 1949 6 UST 3317 TIAS No 3365, 75 UNTS 287, Lihat juga lnternational Committee of the Red Cross, Ihe Geneva Conventrons of August 12 1g4g (1949), hal 44-5, 70-1, 132-3,212-3 Pasal 6 7 B BB Bg dan g0 dari Protokol Tambahan tahun I
,
1977 tentang Protocol Additional
to
Geneva Convention
of 12 August 1949, and relating to
the
Protections of victims of lnternational Armed Conflict, dibuka untuk penandatanganan pada, Desember 1977, 16 ILM 1391 dan pada pasal 90 Protokol Tambahan ll tentang Protocol Additional to Geneva
Convention of 12 August 1949, and retating to the Protections of Victims of Non lnternational Armed Conflict, dibuka untuk penandatanganan pada bulan Desember 1977,16 ILM 1442, lihat juga ICRC, Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (1977)
pergerakan nasionals. Akan tetapi, ada pendapat hukum yang menyatakan bahwa yang
bisa menjadi anggota Konvensi Jenewa hanyalah negara, maka negara sajalah yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya. Pada perkembangan saat sekarang
banyak pendapat hukum yang menyatakan bahwa selain negara, (organisasi internasional dan Lembaga swadaya internasional/LSM), harus dan dapat pula melaksanakan kewajiban seperti yang disyaratkan oleh Konvensi Jenewa, termasuk juga oleh Perserikatan Bangsa Bangsao
ll. Jenis dan Cara Penegakan HHI dan HAMI Penegakan HHI dan HAMI dapat diartikan secara khusus sebagai implementasi. lmplementasi HHI meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut, yaitu langkah-langkah
pencegahan (preventive measures), Iangkah-langkah pencegaha n (complience measures), langkah-lankag penegakan hukum (repressive measures) dan langkahlangkah lainnya (other measures)l
.
Pertama, preventive measu re s meliputi kegiatan penyebarluasan pengetahuan tentang hukum humaniter baik ditingkat internasional ataupun nasional, melaksanakan latihan-latihan untuk kader-kader profesional dan penyediaan fasilitas latihan kepada organ-organ negara seperti pada angkatan bersenjata, membuat peraturan-peraturan
hukum nasional yang berhubungan dengan Hukum Humaniter lnternasional dan menterjemahkan teks-teks yang berhubungan dengan Hukum Humaniter lnternasional.
Kedua, implementasi terhadap pengawasan pelaksanaan Hukum Humaniter selama masa konflik (compliance measures). Langkah ini dilaksanakan oleh Negara Pelindung atau negara yang dilindungi pada saat terjadi konflik dan pelaksanaan pengawasan serta aksi kemanusiaan oleh lnternational Committee of the Red Cross Lihat subyek-subyek hukum internasional pada M.N. Shaw, lnternational Law (3d edition, 1991) hal 135, 168, '1 70 dan 178, Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Material on lnternational Law, (2.d Ed 1995), hal 146, dan Tim Hillier, Sourcebook on public lnternationat Law, ( 1998), hal 181 Salah satunya adalah Timothy McCormack yang beranggapan bahwa globalisasi telah menyebabkan kelompok-kelompak organisasi internasional memiliki kapasitas untuk membuat dan melaksanakan keputusan dalam kerangka global dan meraka itu telah menjadi salah satu actor utama dari globalisasi, Timothy LH McCormack, "From Solferino to Sarajevo A Continuing Role for lnternational HLrmanitarian
Law", 21 Melbourne University Law Review(1997),
hal.
648; PBB dalam melakukan tugas{ugas
internasionalnya, yaitu dalam peace keeping operation, UN-controlled enforcement operations dan UNauthorized enforcement operations juga wajib melaksanakan ketentuan hukum perang dalam ketentuanketentuan Konvensi internasional yang ada Dasar dari ketentuan ini adalah pada the lggg UN Secretary General's Bulletin on Observance by United Nations Forces of lnternational Humanitarian Law, berlaku pada tanggal 12 Agustus'1999, UN Doc ST/SGB/1999/i3 38 tLM (1999) Fred Tanner, "Conflict prevention and Conflict Resolution Limits Multilateralism", 83 lnternational Review of the Red Cross (2000), hal. 547-56 dan lnternational Committee of the Red Cross, lnternational Humanitarian Law Answer to your Queslion, hal. 32-3
(ICRC)8. Sejak didirikan pada tahun 1863, ICRC berperan sebagai institusi netral dan
mandiri yang bergerak dibidang kemanusaian saat terjadi perang baik yang bersifat internasional ataupun non internasional (civit war alau internal armed conflict). Dengan
demikian, ICRC memiliki hak untuk melaksanakan semua aksi kemanusaiaan untuk menolong korban perange.
Ketiga, langkah-langkah penegakan hukum terhapap pelanggaran terhadap Hukum Humaniter lnternasional (represive measures). Langkah-langkah ini berdasarkan pada kewajiban negara-negara anggota Konvensi Jenewa 1949 dan ProtokolTambahan
1977 untuk mencegah dan menghukum pelanggaran terhadap Hukum Humaniter lnternasionalT0. Langkah-langkah represif tersebut meliputi kewajiban bagi negara anggota Konvensi Jenewa untuk mencegah dan menghukum pelaku pelanggar (war criminals) terhadap Konvensi. Dengan demikian, negara peserta harus menyediakan perangkat hukum nasional dan pengadilan nasional bagi pelanggaran berat (grave breaches) Konvensi Jenewa yang bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan perang (war crimes). Disamping itu, penghukuman terhadap pelanggaran berat Konvensi Jenewa dapat pula dilaksanakan oleh pengadilan Internasional, contohnya yaitu dibentuknya lnternational Criminal Tribunal for Former Yugoslavial' tahun 19g3 dan lnternational
Crimind Tribunal for Rwanda pada tahun
199412.
Disamping langkah-langkah tersebut di
atas, kerja sama antar negara untuk melakukan ekstradisi pada penuntutan pidana terhadap pelanggar Konvensi juga juga merupakan langkah represif,3
Keempat, langkah-langkah lainnya, yaitu langkah-langkah implementasi yang harus dilaksanakan bersama-sama dengan ketiga langkah tersebut di atas, seperti, dibentuknya prosedur penyidikan yang baku, kerjasama dengan Komisi lnternasional Pencari Fakta dan kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsala.
8
Pasal 126 Konvensi Jenewa lll dan Pasal 143 Konvensi Jenewa lV dan ICRC, Guide for National Red
Cross Socielles and Red Crescenl Socielies to Activities in the Event of Conflict (Geneva),
rcRC 1()
hal
17-20.
rbid
Pasal 1 (Common Afticles),49 KJ I 50 KJ ll 129 KJ lll dan Pasal 149 Konvensi Jenewa lV i949 dan Pasal 11 dan 85 Protokol I tahun 1977. Pasal tersebut menentukan bahwa "Para pihak dalam Konvensi Jenewa 1949 berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat terhadap Konvensi. Disamping itu para pihak dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 wajib mencari orang-orang yang disangka telah helakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi dan mengadili para tersangka
dengan tidak memandang kebangsaannya. Terjemahan dari Mochtar Kusumaatmadja. Konvensr-
Konvensi Palang Merah Tahun 1949 Mengenai Peilindungan Korban Perang, (Binacipta, 1986) Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827 (25 Mei 1993) UN Doc St257O4 (May 3 1993) 3 tLM 1159 t:l Resolusi Dewan Keamanan Nomor 955 (B November 1994), UN Doc sl1gg4l14o5. tl Pasal 88 Protokol I tahun 1977 t1 Pasal 89 dan 90, Ibid. ll
Langkah-langkah implementasi tersebut di atas merupakan langkah kumulatif yang harus dilaksanakan bersama-sama. Hal ini menjadi suatu keharusan karena dalam perkembangannya, Hukum Humaniter lnternasional mengalami evolusi, perubahan
sudut padang terhadap ketentuan-ketentuan normatif dan menghadapi tantangan perubahan yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Hal ini merupakan suatu keharusan
bagi negara untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut yang telah mereka terima melalui ratifikasi atau melalui mekanisme hukum kebiasaan internasional terhadap hukum hak asasi manusia internasional.
Hukum Humaniter lnternasional mengalami evolusi, perubahan sudut padang terhadap ketentuan-ketentuan normatif dan menghadapi tantangan perubahan yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Elliasl5 berargumentasi bahwa Hukum Humaniter lnternasional sedang menghadapi dua phenomena yaitu , peftama, kemajuan teknologi
yang berimbas kepada kemajuan sarana perang yang menyebabkan
ketentuan-
ketentuan normatif tentang perang dan perlindungan korban perang dalam Konvensi Jenewa 1949 dan peraturan tambahannya menjadi kurang atau tidak relevan dalam pelaksanaannya
hak
16.
Kedua, munculnya masalah internal yang memiliki dimensi internasional yaitu penentuan nasib sendiri (self-determination rights), yang pada gilirannya
meningkatkan perang sipil di dalam negeri suatu negara, perang gerilya dan timbulnya pergerakan-pergerakan perlawanan terhadap suatu negara. Lebih lanjut, akibat dari meningkatnya perang yang bersifat internal (non international armed conftict character)
menyebabkan tingginya perekrutan wanita,anak-anak
dan tentara
bayaran
(merceneries) didalam konflik tersebut.lT
Disamping perubahan faktual pelaku didalam konflik, perubahan ketentuanketentuan normatif didalam penegakan hukum humaniter juga muncul, peftama, ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter lnternasional menjadi berasimilasi dengan Hukum Hak Asasi Manusials yang harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan pokok di Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1g77 ketika terjadi konflik di dalam negeri. Dengan demikian, perubahan sifat konflik menyebabkan
't r' ''
To Ellias,
New Horizon in
lnternational Law(z,d ed. Martinus Nilhoff publisher, 1g92)
15.1
lbid lbid.
'n
Lihat uraian yang panjang mengenai hal ini oleh Theodore Meron, "The Humanization of Humanitarian
Law", 94 American Journal of lnternational Law 239 (2000), hal.243-244,2s6-zb7.
pelanggaran berat konvensi Jenewa bisa berlaku dikonflik internal berdasarkan alasan kebiasaan internasionalle. Kedua, berubahnya syarat penuntutan bagi kejahatan perang (threshold for the prosecution). Hal ini bisa diikuti dari jurisprudensi dari ICTY yaitu pada putusan kasus Aleksovski2o. Dalam kasus ini majelis hakim memutuskan bahwa pelanggaran berat
Konvensi Jenewa haruslah terjadi didalam konflik bersenjata internasional. Hasil putusan tersebut menyatakan bahwa Aleksovski terbukti tidak bersalah melakukan pelanggaran berat Konvensi karena situasi konflik bukanlah bersifat internasional, dan warga muslim Bosnia bukanlah orang yang dilindungi menurut Konvensi2l. Namun
demikian, pada kasus Prosecutor
v.
TadiczT,
syarat berbeda kewarganegaraan dan
terjadi pada saat sengketa bersenjata internasional untuk melakukan pelanggaran berat terhadap orang dan barang yang dilindungi menurut Konvensi tidak diperlukan lagi. Faktor yang mengganti adalah adanya keharusan memberikan perlindungan yang efektif dan dukungan terhadap orang dan barang yang dilindungi, serta penuntutan bisa terjadi pada konflik yang bersifat non-interasional yang terjadi didalam negeri suatu negara23. Ketiga, terjadinya kodifikasi dari prinsip-prinsip Nuremberg yang digunakan untuk
penuntutan dan digunakan sebagai alasan untuk menghindari dari dakwaan di muka pengadilan. Dengan kata lain, telah terjadi pembenaran terhadap prinsip-prinsip
Nuremberg untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional yang didasari pada asumsi pembena ran (opinio juris necesifafr,s) dan praktek internasiona I (p ractice)24. pri nsip-pri
l. ll. lll.
nsi p
tersebut adalah25;
Adanya tanggung jawab individu bagi kejahatan perang, Tanggung jawab individu tersebut berlaku juga pada hukum internasional; Kepala Negara tidak lagi kebal terhadap penuntutan terhadap kejahatan perang,
t''
Prosecutor v. Tadic, case No fi-g4-1-AR72, tanggal 2 oktober 1995 dicatat ulang di 16 HRLJ (1gg5). Yang Mulia Hakim George Abi-Saab dalam pendafit hukumnya menyatakan bahwa berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang berkembang saat ini, pelanggaran berat'Konvensi Jenewa (grave breaches) dapat dilaksanakan penuntutannya pada saat terjadi konflik internal yang terjadi di dalari wilayah suatu negara para 470. Lihat juga Hans-Peter Kaul dan Claus Kreb, "Jurisdiction and cooperation in the Statute of the lnternational Criminal Court: Principle and Compromises", 7999 yearbook of the lnternational Humanitarian Law (Vol.ll, 1999), hal 148. r" Press Release-Comm_unique de presse (Exclusively for the use of media. Not an official document), The Hague, 30 June 1999 cc/p.r.sr413-E,, diperoreh pada tanggar 2 Agustus 2002, 1 2 lbid, (berdasarkan pendapat maoritas dari hakim vohrah and Nieto-Navia)
" "
CaselT-94-1-A, |CTYAppealsChambers,(15Ju|y1999).bandingkanjugadengan prosecutorv.Tadic,
Op Cit, no. 16.
lbid,245-66,lihatjugaMarcoSassoli
danLauraM.olson,"TheJudgmentofthelcTyAppealschamber
on the Merits in the Tadic Case", 83 tnternationat Review of the Red Cross 233 (2000), hal 743-744 tu Steven R. Ratner and Jason S Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in lnternationat Law .. beyond the Nuremberg Legacy (2''d ecr, 2oo'r . oxford university press), har 7 Howard Ball, Prosecuting War Crimes and Genocicle, the Twentieth Century Experience, (i9g9) hal 87
:i
Perintah atasan atau jabatan tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan pembenar untuk mealukan kejahatan perang,
Terdakwa pelaku kejahatan perang memiliki hak untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair;
Vl.
Keikutsertaan dalam kejahatan perang termasuk juga dalam kategori kejahatan berdasar hukum internasronal.
Kodifikasi tersebut menyebabkan semakin diterimanya jurisprudensi terhadap tanggung
jawab individu, penerapan asas retroaktif dan penerapan asas yurisdiksi universal terhadap penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang26. prinsip ini secara tidak langsung menjadi landasan hukum bagi penegakan hukum terhadap kejahatankelahatan internasional yang lain27. Akhirnya kejahatan perang menjadi salah satu keja hata n internasional28 dan bersifat 7us coge n s2s .
Perkembangan
dan perubahan tersebut lebih menambah khasanah
bagi
penegakan hukum humaniter yang sering ditemui, tidak terkecuali di lndonesia. Khasanah tersebut adalah ditemukanya faktor-faktor penghambat penegakan hukum humniter baik ditingkat internasional amupun nasional. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kesengajaan untuk tidak mematuhi hukum humaniter dari subyek hukum internasional, faktor rasa pesimisme dan sinisme yang didasari pandangan bahwa kepatuhan pada aturan hukum humaniter dan penuntutan terhadap pelanggaran hukum humaniter kurang dapat dilaksanakan pada kenyataannya. Faktor selanjutnya adalah kurangnya kontrol efektif dan kurangnya mekanisme penyelesaian pelanggaran hukum humaniter3o. Ketiga faktor penghambat terselrut akan berimbas kepada terbentuknya efektivitas kerangka normatif, kerangka prosedural dan kerangka operasional dilevel 2'' JPritchard,"Thelnternational MilitaryTribunal fortheFarEastandltsContemporaryResonances",l4g Military Law Review 25, (1995), hat 33 t' Lihat Report of the lnternational Law Commission on the Work of its forty-eight session, GAOR 51,,sess, No. 10 (tu51/1 0) Bagian I pasal 2 Komentar (1) hat t9 -t' Supp M. C Bassiouni, lnternational Criminal Law, Crimes (Vol I 1986) 147-8. Menurut Bassjounr berdasarkan Konvensi dan perjanjian internasional yang mengkriminalisasi kejahatan-kejahatn internasional, maka ada 22 jenis kejahatan internasional yaitu agressi, kejahatan peraig, pengunaan senjata illegal, kejahatan terhadap kemanusiaan, genocida, diskriminasi ras dan apartheid, perdudakan oan t<elarritan lain yang terkait dengan perbudakan, penyiksaan, percobaan illegal terhadap manusia, p"rorpak"n di laut lepas
pembajakan pesawat terbang, ancaman terhadap oiang yang dilindungi oleh h'ukum internasional, penyanderaan terhadap penduduk srp/, perdagangnan obat-obat terlaiang, penyebarluasan illegal terhadap karya tulis, penghancuran dan pencurian hirta kekayaan suatu Neglra, perlindungn terhadip lingkungan hidup, pencurian bahan-bahan nuklir, pengunaan surat menurat yang tidak sah, menganngu kabel-kabel dibawah laut, penyuapan terhadap peliOat publik asing, hal- l3-5 (kursif penuls yang berkartan kejahatan perang). Bandingkan dengan Rao L P"enna, "The lnternational Criminal -dengan court", 1 singapore Journal of lnternationat and comparitive Law (1997) hal 246 -.. "' M C Bassiouni, "lnternational Crimes: Jus Cogens and Obtigatio Erga Omnes"(1996) 59(4) Law and Contemporary Problems 63, hal. 67, seperti dikutip oleh Andrew o vitcrrett, "Genocide, Human Rights lmplementation and the Relationship between lnternational and Domestic Law. Nulyarimma v Thompstn",
24 Melbourne University Law Review (2000) 19.
strategis, operasional dan taktis yang harus dijalankan oleh negara, c.q. aparatur negara lndonesia, tak terkecuali TNI AU.
lll'
Langkah-langkap Penegakan Hukum Terhadap pelanggaran Berat HHI dan HAM
Pelanggaran berat Hukum Humaniter lnternasional (HHl) adalah bagian dari kejahatan perang dalam artian yang luas (artian rni mancakup kejahatan perang dalam arti sempit, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida). Kejahatan perang adalah pelangaran-pelanggaran serius terhadap hukum perang, baik yang berasal dari konvensi-konvensi internasional ataupun dari kebiasaan, yang dilakukan dalam situasi pertikaian bersenjata dimana pertanggungiawaban pidana berlaku sesuai dengan yang ditentukan dalam aturan-aturan tersebut3l Pengakuan internasional terhadap arti dan makna kejahatan perang dalam konteks ini diberikan oleh Komisi Hukum lnternasional pada tahun 195032 Komisi tersebut ditugaskan oleh Majelis Umum perserikatan Bangsa Bangsa berdasarkan Resolusi Nomor 177 (ll) tahun 1950 untuk memformulasikan dan mengkodifikasikan prinsip-prinsip dari Mahkamah Nuremberg bagi perkembangan hukum lnternasionar, terutama hukum pidana internasionar33. Pengakuan yang kedua adalah diterimanya the Convention on the Nonapplicability of statutory Limitations to war crimes and carime.s agalnsf Humanitytahun 196834' Konvensi tersebut mengakui adanya tiada batasan interpretasi bagi penegakan hukum terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan3s. Lebih lanjut, negera-negara peserta wa.1ib membuat dan melaksanakan semua langkah-langkah berdasarkan hukum nasionalnya, untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang termaktub dalam
30
-ll
.t2
tl
3i
George H Aldrich, "The Law of War on Land", 94 American Journal of lnternationa I Law 42 (2000) 54 George H Aldrich, "compliance with lnternational Humanitarian Law", 282 tnternational Review of the Red Cross (Mei-Juni 1991),294 dan McCormack, Op.Cit No. 3, hal, Aqi Lihat seluruhnya dalam Theodore Meron, "The Humanization of Humanitarian Law,,, g4 Ameilcan Journat of lnternational Law 239 (2000). Lihat Yearbook of the rnternationar Law commission (vot r, 1gs0), har.374-378 Ratner dan Abrams berargumentasr bahwa yurisprudensi dari Mahkamah Nuremberg menghasilkan, menegaskan dan mempertajam pengertian dari Hukum Hak Asasi Manusia (lnternational Human Rights Law)' Hukum Humaniter lnternas"ional (lnternastional Humanitarian Law), Hukum lnternasional (lnternational Law) dan Hukum Pidana lnternasional (lnternational Criminat Law), lihat juga steven R. Ratner and Jason S Abrams, Accountability tir-uumai Rights Atricities'in tnternational Law beyond the Nuremberg Legacy (2nd ed, 200.1) hal 10 Dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 2391 (XXlll) pada tanggar26 November 1968, rLM 1969 har69 23 UN GAOR Supp ilro ielat.re, UN Doc Ar7342(1968) Pasal 1, ibid
Piagam Nuremberg36. Kedua instrumen internasional tersebut menyebabkan luasnya arti
perkembangan kejahatan perang yang sudah menjadi kosakata umum dalam penegakan hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia. Atau dengan kata lain, kejahatan perang dalam Konevensi ini adalah setiap pelanggaran hukum dan kebisaan perang
Penegakan pelanggaran berat HHI dan HAMI bisa dilaksanakan melalui instrumen pengadilan nasional, regional dan internasional. Mekanisme tersebut dapat bersifat langsung, yaitu melalui sistem hukum internasional seperti pada Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk bekas Negara yugoslavia (lcry), Mahkamah pidana Ad Hoc untuk Rwanda (lcrR) yang dibentuk oleh resolusi Dewan Keamanan pBB dan melalui mekanisme the lnternationat Criminal Courr (lCC)3?, melaui mekanisme tidak langsung yang dilaksanakan oleh pengadilan nasional negara-negara atau melalui mekanisme campuran diantara keduanya (hybrid courts) seperti yang pada mahkamah camuran di Siera Leone, Afghanistan, Lebanon dan Kamboja (direct, indirect or hybrid enorcemenls) Model-model model peradilan tersebut dapat bersiat sementara atau
tetap (ad hoc or permanent). Pada tingkat internasional, peradilan terhadap pelanggaran berat HHI contohnya
adalah jurisprudensi dari lnternationat Military Tribunat Nuremberg, Mahkamah Tokyo, ICTY dan ICTR. Pada tingkat nasional diwakili oleh kasus-kasus yang diputuskan oleh pengadilan nasional suatu Negara yaitu Attorney General of lsrael v Eichmansa di lsrael, Filartiga v Pena lrala,3s di Amerika, lvan Potyukovich v Commonweatth of Austratia and other,a, di Australia dan kasus Regina v. Raucauoldi Kanada, Sfanls/aus Krofan & Anor v' Public Prosecutol2, Pubtic Prosecutorv. oie Hee Kof3, oleh Malaysia yang mengadili
warga lndonesia selama konfrontasi Dalam hubungan ini, pengadilan nasional memberikan kontribusi pada penuntutan penjahat-penjahat perang untuk dan atas nama
r(' Pasal 4,
" .il
l() 4t
l2 .li
ibid.
Statuta Roma, Rome Statute of the lnternationar criminat court, opened forsignature 17 Jury 19gg,37 ILM 999, berlaku efektif mulai tanggal 1 Juti 2002. (1961) 36 tLR 5 (1e80)630 F.2d 876 (2d Cir. 1980) (1991) 172 CLR 520 41 OR (2d) 225. (1967) 1 Matayan Law Journal 133 [1968] I All ER 4'19; tj968l AC 829; [197i] 42 tLR 441, diambil dari Marco Sassoli and Antoine Bouvier, How Does Law protect in War, Cases, Doiumenls and Teaching Material an Contemporary Practice rn nte rn ation al H u manitaria n Law (199g), 764 I
kepentingan Negara masing-masing, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat internasionalaa.
Ketiga sistem peradilan tersebut melaksanakan fungsi masing-masing dengan mempraktekkan beberapa prinsip dan asas-asas dasar dari penuntutan kejahatan perang seperti adanya pertanggungjawaban individu, pemberlakuan asas retroaktif dan pemberlakuan asas yurisdiksi universal. Pemberlakuan dari asas-asas dan prinsip-
prinsip tersebut, berdasarkan banyak pertimbangana5, seperti pertimbangan hukum,
politik dan sosial. Jika dilihat dari segi waktu, keputusan terhadap pertimbanganpertimbangan hukum mengenai pemberlakuan asas universalitas, pertanggungjawaban
oleh individu dan pemberlakuan asas retroaktif memperlihatkan adanya konsistensi keputusan, walaupun kadang-kadang pertimbangan politik membelokkan konsistensi keputusan tersebuta6. Peradilan internasional terhadap pelanggaran berat HHI dan HAMI menghasilkan
beberapa praktek kontemporer yaitu, pertama, ketentuan-ketentuan HHI menladi berasimilasi dengan Hukum Hak Asasi Manusia lnternasionalaT yang harus disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan pokok di Konvensi Jenewa '1949 dan Protokol Tambahan
tahun 1977 ketika terjadi konflik di dalam negeri. Dengan demikran, perubahan sifat konflik menyebabkan pelanggaran berat konvensi Jenewa bisa berlaku dikonflik internal berdasarkan alasan kebiasaan internasionala8.
Kedua, berubahnya syarat penuntutan bagi kejahatan perang (threshold for the prosecution). Hal ini bisa diikuti dari jurisprudensi dari lnternational Criminal Tribunal for
Former Yugoslavia (ICTY) yaitu pada putusan kasus Aleksovskias. Dalam kasus ini Majelis Hakim memutuskan bahwa pelanggaran berat Konvensi Jenewa haruslah terjadi
didalam konflik bersenjata internasional. Hasil putusan tersebut menyatakan bahwa Aleksovski terbukti tidak bersalah melakukan pelanggaran berat Konvensi karena situasi
konflik bukanlah bersifat internasional dan warga muslim Bosnia bukanlah orang yang
" "
Timothy LH MacCormack and Gerry
J Simpson
(editor), The Law of War Crimes Nationat
ancl
lnternational Approaches (1997) hal 187 Mark E Villiger, Customary lnternational Law andTreattes (2'd ed, 1997), hai 29 M C Bassiouni, Op.Cit, No 25, hal 474
Lihaturaianyangpanjangmengenai hal ini olehTheodoreMeron,OpCit,No 1,hal 243-244,256-257 Prosecutor v. Tadic, Case No. lT-94-1-AR72, tanggal 2 Oktober 1995 dicatat ulang di 16 HRLJ (1995) Yang Mulia Hakim George Abi-Saab dalam pendapat hukumnya menyatakan bahwa berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang berkembang saat ini, pelanggaran berat Konvensi Jenewa (grave breaches) dapat dilaksanakan penuntutannya pada saat terjadi konflik internal yang terjadi di dalam wilayah suatu negara. para470. Lihat juga Hans-Peter Kaul dan Claus Kreb, "Jurisdiction and cooperation in the Statute of the lnternational Criminal Court: Principle and Compromises", 7999 Yearbook of the lnternational Humanitarian Law(Vol ll, 1999) hal 148 Press Release-Communique de presse (Exclusively for the use of media Not an official document), The Hague, 30 June 1999 CC/P I S1413-E,, diperoleh pada tanggal 2 Agustus 2002, I
'10
dilindungi menurut Konvensiso. Namun demikian, pada kasus prosecutor v. Tadic51, syarat berbeda kewarganegaraan dan terjadi pada saat sengketa bersenlata internasional untuk melakukan pelanggaran berat terhadap orang dan barang yang dilindungi menurut Konvensi tidak diperlukan lagi. Faktor yang mengganti adalah adanya keharusan memberikan perlindungan yang efektif dan dukungan terhadap orang dan barang yang dilindungi, serta penuntutan bisa terjadi pada konflik yang bersifat non-
interasional yang terjadi didalam negeri suatu negara52.
Ketiga, terjadinya kodifikasi dari prinsip-prinsip Nuremberg yang digunakan untuk penuntutan dan digunakan sebagai alasan untuk menghindari dari dakwaan di muka pengadilan terhadap pelanggaran berat HHl. Dengan kata lain, telah terjadi pembenaran terhadap prinsip-prinsip Nuremberg untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran HHI yang didasari pada asumsi pembenaran (opinio juris neceslfa/rs) dan praktek internasiona I (p ractice)s3. prinsip-prinsip tersebut adalahsa; l. Adanya tanggung jawab individu bagi kejahatan perang;
ll. lll.
Tanggung jawab individu tersebut berlaku juga pada hukum internasional; Kepala Negara tidak lagi kebal terhadap penuntutan terhadap kejahatan perang;
lV. Perintah atasan atau jabatan tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan pembenar untuk mealukan kejahatan perang;
Terdakwa pelaku kejahatan perang memiliki hak untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair, vt. Keikutsertaan dalam kejahatan perang termasuk juga dalam kategori kejahatan berdasar hukum internasional. Kodifikasi tersebut menyebabkan semakin diterimanya jurisprudensi terhadap tanggung jawab individu, penerapan asas retroaktif dan penerapan asas yurisdiksi universal terhadap penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida55. Prinsip ini secara tidak langsung menjadi landasan hukum bagi penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan internasional
t" lbid
(berdasarkan pendapat mayoritas darr hakim Vohrah and Nieto-Navia).
' CaselT-94-1-A, lCTYAppealsChambers,('1 5July1999) bandingkanjugadengan prosecutorv.Tadic " lbid, 2!5 66,lihat juga Marco sassoli dan Laura M olson, "The Judgment of the lcTy Appeals chamber the Merits in the Tadic Case", 83 lnternationat Review of the Red 6ross 233 (2000), hal 743-744 tt onSteven R Ratner and Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in lnternational Law . beyond the Nuremberg Legacy (2nd ed, 200i), hal. 7 5a Ball, Prosecuting War Crimes and Genocide, the Twentieth Century Experience, (1ggg), hal 87. ji Howard JPritchard,"Thelnternational MilitaryTribunal fortheFarEastandltsContemporaryResonances,,,l49
Military Law Review (1995), hal. 33.
11
yang lain56, yang akhirnya ketiga jenis kejahatan tersebut menjadi salah satu kejahatan internasional5T dan bersifatius cogensus.
lv. lcc dan Penegakan Hukum peranggaran Berat HHr dan HAM| Statuta Romase atau the Rome Statute adalah constituent instrument bagi berlakunya lnternationat Criminal Courl (lCC) atau Mahkamah pidana lnternasional
(MPl) yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Juli ZooZ setelah Senegat meratifikasinya pada tanggal 1 Juli 2001. Mahkamah Pidana lnternasional adalah sebuah organisasi internasional yang sedang membuat dirinya diterima sebagai salah satu subyek hukum internasional6o. Alat kelengkapan sebagai organisasi internasional sedang dipenuhi disamping pemenuhan dasar substansi. Mpl memiliki 5 (lima) prinsip pokok atau dasar, yaitu: 61 l
' Mahkamah menlaksanakan langkah-langkah hukum terhadap kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi Mahkamah dengan menerima hal-hal fundamental (elements of crimes) dari kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
genosida dengan orientasi ke depan dan menekankan aspek kontemporer dari ketiga jenis kejahatan tersebut. 2' Asas yurisdiksi pelengkap terhadap yurisdiksi pengadilan nasional suatu negara (komplemen) berdasarkan aplikasi ketentua n unable dan unwilting dari suatu tn LihatReportofthelnternational Lawcommrssionontheworkofitsforty-eightsession,GAoR5l.rsess, No. 10 (A/51/10). Bagian I pasat 2 Komentar (1) hat 19 ., lYpp" M C Bassiouni, tnternationar criminat Law, crimes (vor. r 19g6), har 147-B; Jordan J poust, et ail, lnternational criminal Law cases and Materiats (1996) hal '10-11. Menurut Bassiounr berdasarkan
Konvensi dan perjanjian inte.rnasional yang mengkriminalisasi kejahatan-kelahatn internasional, maka ada 24 jenis keiahatan internasional yaitu agressi -keiahatan p"rrrg, t"ntrrc bayaran, pengunaan senJata illegal, penempatan senjata illegal, keja-hatan terhadap kemanlsiaan, genocida, diskriminasi ras dan apartheid' perbudakan dan kejahatan lain yang terkait dengan p"rurortln, penyiksaan, percobaan ittegat terhadap manusia, perompakan di laut lepasl pembajaka-n pesawat teroang, ancaman terhadap orang yang dilindungi oleh huk.um internasional, penyanderaan terhadap pendudik srpll, perdagangnan obatobat terlarang, penyebarluasan illegal terhadapkarya tulis, p"ngn;nirrrn dan pencurian harta kekayaan suatu Negara, perlindungan terhadap lingkungan hidup pencurian bahan-bahan nuklir, pengunaan surat menurat yang tidak sah, menganngu kabel-kabel dibawah taut penyuapan terhadap pejabat publik asrng, hal 135 (kursif penulis yang berkaitan dengan kelahatan purrngi Bandingkan dengan Rao L penna, "The lnternational Criminal Court", 7 Singapire Journal of tnternaiional and comparative Law(1g97) hal
j' 246. M C Bassiouni, "lnternational
Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes' (1996) 59(4) Law and Contemporary Problems 63, hal 67, seperti dikutip oleh Andrew D Mitchell, "Genocide, Human Rights lmplementation and the Relationship between lnternational and Domestic Law: Nulyarimma v Thompson,,, 24 Melbourne lJniversity Law Revie,w (2000), hal. 19 Statuta Roma, Rome Statute of the lnternational Criminal Courl, opened for signature 17 July 1ggg, 37 ILM 999, berlaku efektif mulai tanggal 1 Juli2OO2. Ktrsch Phillip, "Keynote Address", 32 cornetl tnternational Law 1gg9, pada edisi ini clLJ mendedikasikan tulisannya mengenai segala aspek mengenai lCC. lbid. hlm. 438
12
negara untuk melakukan upaya penuntutan dan penghukuman pelaku kejahatan internasional yang tunduk pada yurisdiksi Mpl; 3' Yurisdiksi otomatis dari Mahkamah yaitu prinsip yang menyatakan bahwa Negara Peserta Statuta Roma secara otomatis menerima yurisdiksi terhadap penuntutan dan penghukuman kejahatan yang tunduk pada Mahkamah walaupun kelahatan
tersebut secara de facto dan de jure tidak merupakan kejahatan Peserta yang bersangkutan;
di
Negara
4' Asas legalitas Mahkamah dan Penerimaan Yurisdiksi Mahkamah yaitu prinsip
yang mengharuskan bahwa Mahkamah bisa melaksanakan
yurisdiksinya
terhadap kejahatan yang dilakukan setelah Statuta Roma belaku efektif (raflo tempus delicti),dan Mahkamah bisa melaksanakan yurisdiksinya bagi negara yang telah meratifikasi Statuta dan/atau negara dari pelaku kejahatan telah meratifikasi Statuta (ratio locus and personae deticti); 5' Teknis Pemicu yurisdiski Mahkamah (triggering mechanisms,) yaitu siapakah yang bisa mulai mengaktifkan terhadap upaya hukum terhadap pelaku di Mahkamah Faktor pemicu tersebut adalah Negara Peserta Stauta Roma, Dewan Keamanan dan dari Penuntut Umum Mahkamah. Pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah tergantung dengan aplikasi prinsip pelengkap bagi Mahkamah, faktor pemicu dan interpretasi dari ketentuan tidak mau dan tidak mampu dari Negara Peserta Statuta Catatan-catatn hukum bagi penuntutan dan penegaka hukum terhadap kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi Mahkamah adalah:
l. Pada penuntukan dan penegakan hukum bagi kejahatan perang, faktor penghambat muncul sebagai titik lemah upaya hukum bagi Mahkamah dalam hubungannya dengan Negara Pseserta. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kesengajaan untuk tidak mematuhi hukum humaniter dari subyek
hukum internasional, faktor rasa pesimisme dan sinisme yang didasari pandangan bahwa
kepatuhan pada aturan hukum humaniter dan penuntutan terhadap pelanggaran hukum humaniter kurang dapat dilaksanakan pada kenyataannya. Selanjutnya adalah faktor kurangnya kontrol efektif dan kurangnya mekanisme penyelesaian pelanggaran hukum humaniter pada tingkat nasiona162;
"2 George H Aldrich, "The Law of War on Land", 94 American Journal of lnternationa I Law 42(2000), hal 54, George H Aldrich, "Compliance with lnternational Humanitarian Law", 282 tnternational Review of the Red cross (Mei-Juni 1991) hal 294 dan Mccormack, op.cit No. 7, hat,642 dan Marco sassoti and Antoine Bouvier, How Does Law Protect in war? Cases, Docu melnts and Teaching Materials on contemporary Practice in lnternational Humanitarian raw(lcRC, rs99l,
nrm
256-2s7
13
2.
Bagi penuntutan terhadap kejahatan kemanusiaan, Dari perubahan
dan
perkembangan kriminalisasi kejahatan terhadap kemanusiaan memunculkan beberapa pertanyaan yuridis sebagai berikut. peftama, bagaimana praktek_ praktek negara terhadap penegakan hukum terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan, sementara mereka telah memiliki hukum nasional yang meraka adopsi dari prinsip-prinsip dasar dari yurisprudensi Mahkamah Nuremberg. Disisi lain' didalam ketentuan Statuta Roma terdapat ketentuan yang bersifat ambivalen;
statuta Roma mengakui superioritas hukum nasional suatu negara dengan asas komplementaritasnya63, akan tetapi, statuta Roma juga menentukan kriteria tidak mau dan tidak mampu dari suatu negara terhadap penuntutan kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Mahkamah. Dengan demikian, dari ketentuan tersebut akan memuncurkan eraborasi terhadap doktrin kedauratan negara yang akan menjadi isu dan perdebatan hukum kelak dikemudian hari. Akibat lebih lanjut adalah suatu negara harus memiliki suatu kerangka yuridis yang efektif terhadap pelaksanaan penuntutan kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Mahkamah di negaranya karena kriteria tersebut sangat elastis penerapannya.
Kedua, bagaimanakah penerapan asas-asas hukum dan prinsip-prinsip hukum pidana dalam penuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan kelak dikemudian hari
seperti adannya kemungkinan pelanggaran terhadap asas
ne bis in idem.
penghukuman ganda dan pelaksanaan asas yurisdiksi universal;
3' Bagi penuntutan Kejahatn terhadap Genosida anomali penuntutan kejahatan genosida muncul sebagai aktualisasi beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya faktor internal dalam kriminalisasi kejahatan genosida. pemenuhan faktor
adanya kehendak untuk melakukan genosida (intent to destroy) baik untuk seluruhnya atau sebagian terhadap suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, telah menjadi faktor penghambat utama dalam penuntutan kejahatan
genosida' Kelemahan tersebut muncul karena elastisitas elemen penuntutan terhadap orang yang menuntut genosida dengan pihak yang dituntut yang terah melakukan genosida karena adanya perbedaan sudut pandang pembenaran6a. Pemenuhan adanya unsur kehendak tersebut juga menjadi perdebatan hukum yang berkepanjangan pada pertanyaan apakah unsur kehendak tersebut
63 Pasal 17 Statuta Roma. 6a
Leo Kuper, rnternationar Action against Genocide,Report No. 53 (19g4), hrm. 5
hanyalah kehendak yang bersifat khusus atau kehendak yang bersifat umum65. Pada kenyataannya kehendak yang bersifat umum untuk melakukan genosida
dapat diukur dari adanya bukti bahwa perbuatan tersebut mengakibatkan kehancuran pada suatu kelompok tertentu66. Dalam yurisprudensi terakhir, kehendak yang bersifat khusus atau dolus specra/is untuk melakukan genosida harus dipenuhi yaitu bahwa pelaku benar-benar menginginkan atau menghendaki adanya perbuatan yang telah dilakukannya6T. Faktor internal yang kedua adalah dalam definisi genosida yang tidak mencantumkan pembinasaan kebudayaan (cultural genocide)G9. lsu kelemahan kriminalisasi tersebut telah mendapat banyak
tanggapan hukum dari beberapa kasus yang menyangkut genosida di negera_ negara tertentu seperti di Australia6e dan di AfganistanT0. pembinasaan kebudayaan dapat diartikan suatu perbuatan pengancuran yang merusak cara hidup, adat istiadat melalui relokasi, pengurangan bantuan atau penghancuran secara nyata terhadap naskah-naskah, buku-buku, kitap-kitap dan monumen_ monumen masyarakat tertentu, pengurangan pendidikan terhadap anak-anak pada bahasa aslinya atau melaksanakan asimilasi-asimilasi budaya lainnyaTl. Faktor kedua terhadap anomali penuntutan kejahatan genosida adalah lemahnya dukungan politik dari pemerintah-pemerintah tertentu yang berkuasa atas
penduduk
atau
kelompok-kelompok tertentu yang mengajukan tuntutan genosidaT2 Faktor kedua adalah lemahnya posisi tawar dari negara-negara
"t
Lawrence LeBlanc, "The lntent to Destroy Groups in the Genocide Conventjon. The proposed US Understandings" 78 American Journal of lnternational Law (1984), hal 369; CC Joyner, ,,The United States and the Genocide 27 tncligenous Journai of tniternational Law (1g'87), hal 442-444, ^Convention", dan lihat luga"Genocide Convention. united Siates of America Reseruation and understandings,,28 ILM 782 (1e89) Leo Kuper, The Prevention of Genocide (1985), hml 12_13. Prosecutorv. Akayesu, case No. lcrR -96-4-T 2 september 1998,37 ILIVI 140,1, para. 1406 Josef Kunz, "The United Nations Convention on Genocide" 43 American Journal , of lnternationat Law (1949) htm.742
"'' Krugerv.Commonwealth(1997) 190CLR 1,hal 72(Dawson J),NutyarimmavThompson(1999)165 ALR 621, 631 (Wilcox l)' 938 (Whitlam J) dan Thorpe v Kennett 1t'oool vSc 442 (tidak ditaporkan,
'''
Supreme Court of Victoria, Warren J, 15 November I OOO; Walupun masih meniadi perdebatan disurat-surat kabar dan perdebatan akademis di kelas-kelas hukum pidana internasional tentang pengulingan rezim garis keras Taliban berdasarkan syariat lslam yang berkuasa atas Aganistan oleh tentara Amerika dan Sekutu-sekutunya. perdebatan teriebut pada rntinya
menyoal tentang pengulingan kelompok agama tertentu yang berkuasa atas suatu wilayah dengan kekuatan bersenjata untuk menghancurkin apakah bisa dikualifikasikan sebagai [embunuhan (cultural genocide) Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Gerry J Simp"son dalam kuliah fgbudavggn Hukum Pidana lnternasional di University of Melbourne menyoroti beberapa surat kabar lnggris dan Australia mengenai hal tersebut; lihat luga Marco Sassoli, "State Responsibility for VioLiions of lnternatioal Humanitarian Law", lnternational Review of the Red Cross (No 846, Juni 2002, Vol. 84, 2OO2) hlm 409.
'r -r Lyal Sunga,
the Emerging Norm of lnternational criminal Law, Kluwer Law,2oo2, LongWatk The Navajo-Hopi land Dlspute (1980), lihat juga Robart Davis and Mark Zannis, The Genocide Machine in Canada The pafticipation of the Lyal Sunga,lbid, hlm 109; Jerry Kammer, The Second
15
tertentu terhadap negara-negara adidaya seperti Amerika dan Kanada dalam merumuskan elemen-elemen kejahatan Genosida baik dalam Konvensi Genosida
1948 ataupun dalam Statuta Roma. Kedua faktor yang menyebabkan anomali terhadap penegakan hukum kejahatan genosida tentu akan berimbas pada penununtutan kejahatan genosida kelak dikemudian hari. Hal ini disebabkan karena kriminalisasi dalam Pasal 6 Statuta Roma mengadopsi ketentuan dalam Konvensi Genosida 1948 yang memiliki beberapa kelemahan dan pertanyaan menadasar dalam penuntutannya. Masalah-masalah tersebut, terutama rintangan dari aspek kepentingan politik domestik suatu negara, pasti dan akan ditemui dalam penuntutan genosida baik ditingkat nasional ataupun internasional
Dengan demikian, efektivitas ICC dalam penegakan hukum pelanggaran berat HHI dan HAMI terletak pada efektivitas keryasama antara negara seperti yang ditentukan dan diatur pada bagian g Statuta Roma. Pasal 86 Statuta Roma menentukan bahwa Negara Peserta ICC wajib bekerjasama secara maksimal dan utuh terhadap upaya
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh lCC. Disamping itu, ICC dapat meminta kerjasama efektif dari Negara-negara bukan peserta Statuta Roma untuk kedua langkah
penegakan hukum tersebut berdasarkan pada kesepakatan semetara atau pada kesepakatan Iain yang disetujui. Sebagai akibatnya, ICC bisa mengeluarkan surat perintah penahanan kepada orang yang disangka melakukan pelanggaran berat HHI dan HAMI yang berada diwilayah atau yurisdiksi negara-negara tersebut dan meminta penyerahannya
Disamping itu, negara-negara tersebut wajib hukumnya untuk memberikan bantuan hukum kepada ICC bedasar ketentuan Pasal 91 dan 92 Statuta Roma dalam hal:
1.
informasi mengenai keberadaan tersangka; pengambilan dan penentuan alat bukti dan saksi dibawah sumpah; pemeriksaan tersangka atau saksi;
2. 3. 4. penyediaan dokumen termasuk dokumen yang berupa keputusan pengadilan; 5. penyediaan bantuan terhadap perlindungan saksi dan saksi ahli di lcc;
6'
pemindahan sementara terhadap tersangka, saksi atau saksi ahli seperti yang diatur dalam Pasal 93 Statuta Roma;
7.
penyidikan lapangan termasuk pembongkaran tempat pelanggaran berat HHI dan HAMI termasuk penentuan lokasinya;
North (1973)
16
pelaksanaan penangkapan dan penahanan; 9. ketentuan mengenai pemberkasan dan dokumentasi arat bukti; 10 perlindungan korban dan saksi termasuk pemeliharaan dan penjagaan alat B.
bukti; 11. pencegahan tindakan pemalsuan alat bukti;
12' dan segala bentuk bantuan yang diperlukan dalam proses penuntutan dan penghukuman di lCC. Pasal BB Statuta Roma dengan tegas menentukan bahwa negara-negara tersebut
harus menjamin bahwa didalam sistem hukum pidana nasionalnya terdapat hukum acara pidana yang menjamin terlaksananya ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Jika suatu negara membutuhkan bantuan dalam hal bimbingan teknis, lcc
walib
memberikan bantuan untuk penegakan. peranggaran berat HHr dan HAMr kepada negara tersebut. Disamping itu, lcc juga dapat meminta kepada organisasi internasional ataupun LSM internasional informasi ataupun keterangan yang diperlukan,
dokumen ataupun bantuan-bantuan lainnya yang diperlukan dalam menjalankan tugasnya.
V. Penutup Efektivitas penegakan hukum terhadap pelanggaran berat HHI dan HAMI sekali lagi tergantung dari kemauan dan kemampuan suatu negara. Kedua indikator ini memunculkan hambatan-hambatan teknis dan substansi seperti kurangnya pengertian
dan pemahaman mengenai elemen kriminalisasi dan prosedur beracara pada penegakan hukum HHI dan HAMI
selain itu, peran negara sebagai peraksana dan penanggunglawab
atas pelaksanaan penegakan hukum menjadi kendala utama selanjutya dengan munculnya indikator ketidakmauan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unablity). Maukah negara dan aparatur negara mengakui, mengurangi dan berbuat secara kongkrit untuk mereduksi hambatan-hambatan ini? Semoga.
Vl. Daftar Pustaka
17
Human Rights Committee, General Comment 3, Pasal 2, para 1, tmplementation at the national /evel (Thirteenth session, 198'1), Compitation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc. HRIiGEN/1iRev.1 at 4 (1994); General comment,; Pasal 1 of the European convention for the protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1gs4, 4 November 1g50, berlaku 3 September 1953.,2113 UNTS 221, ETS 5, 1 EyB 316; Human Rights Committee, General Comment 3, Article 2, para 1, tmplementation at the national ievel (Thirteenth session, 1981), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc. HRI/GEN/'1iRev.1 al 14 (1994), University of Minnesota Human Rights Library, Loizidou v Turkey (Preliminary Objections;, frro-pean C.ourt of HJrnan Rights (19g5) Series A No.310,23 February 1995, para.72., Velasquez-Rodriquez (Judgment), 29 July 1988, lnter American Court of Human Rights (1988) Series C. No 4. para 167. Artico v ltaly, European court of Human Rights (1g80) Series A.No. 37, 16; A v UK (Application) No. 15599/1994, Report of 1B September 1997 para 48; , Konvensi Jenewa 1949 Konvensi I tentang the Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Fieid, dibuka penendatangannya pada 12 Agustus 1949,6 usr 3114, T|AS No. 3362, 75 UNTS 31; Konvensi ll tentang the convention for the Amelioration of the conclition of the wounded and Sick and Shipwrecked Members of the Armed Forces af Sea, dibuka penandatangannya pada 12 Agustus 1949,6 usr 2317, TIAS No.3363,75 UNTS 85; Konvensi lll tentang the Convention Relative to the Protection to the prisoner of War, dibuka penandatanganya pada 12 Agustus194g,6 usr 3316, TIAS No. 3364, 75 UNTS 135; Konvensi Jenewa lV tentang lhe Convention Retative to the protection of Civitian Persons in Time of war, dibuka penendatangannya pada i2 August 1g4g, 6 UST 3317, T|AS No. 3365, 75 UNTS 287, M.N. Shaw, lnternational Law (3d edition 1991); Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Material on lnternational Law, (2nd Ed,1995); Tim Hillier, Sourcebook on public lnternational Law, ( igg8); Timothy LH McCormack, "From Solferino to Saralevo: A Continuing Role for International Humanitarian Law", 21 Melbourne tJniversity Law Revlew(1gg7), Fred Tanner, "Conflict prevention and Conflict Resolution: Limits Multilateralism,,, B3 lnternational Review of the Red Cross (2000); lnternational Committee of the Red Cross, lnternationat Humanitarian Law Answer to your euestion: ICRC, Guide for National ReclCross Socielies and Red Crescent Sociefies to Activities in the Event of Conflict (Geneva), hal. 17_20. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Patang Merah Tahun 1g4g Mengenai Perlindungan Korban perang, (Binacipta, t gB-O); Resolusi Dewan Keamanan Nomor B2z (zs Mei 1993),'UN Doc stzs1o4 (May 3, 1993), 3 tLM 1159 Resolusi Dewan Keamanan Nomor g55 (B November 1gg4), uN Doc sl1gg4l14o5. TO Ellias, New Horizon in lnternationat Law (2'd ed, Martinus Nijhoff publisher, lgg1).,
1B
Theodore Meron, "The Humanization of Humanitarian Law", 94 American Journal of lnternatronal Law 239 (2000), Prosecutorv. Tadic, Case No. lT-94-1-AR72, tanggal 2 Oktober igg5; Hans-Peter Kaul dan Claus Kreb, "Jurisdiction and cooperation in the Statute of the lnternational Criminal Court: Principle and Compromises", 1999 Yearbook of the lnternational Humanitarian Law (Vol.ll, 1 999); Press Release-Communique de presse (Exclusively for the use of media. Not an official document), The Hague, 30 June'1999 CC/P.l.S/413-E; Case lT-94-1-A, ICTY Appeals Chambers, ('15 July 1999), Marco Sassoli dan Laura M. Olson, "The Judgment of the ICTY Appeals Chamber on the Merits in the Tadic Case", 83 lnternational Review of the Red Cross 233 (2000); Steven R. Ratner and Jason S. Abrams, Accountability for Human Rlghfs Atrocities in lnternational Law beyond the Nuremberg Legacy (2'd ed, 2001, Oxford University Press); Howard Ball, Prosecuting War Crimes and Genocide, the Twentieth Century Experience, /.1! ooo\ \ wrUl. J Pritchard, "The lnternational Military Tribunal for the Far East and lts Contemporary Resonances" , 149 Military Law Review 25 (1995), Report of the lnternational Law Commission on the Work of its forty-eight session, GAOR 51'tsess, Supp No. 10 (A151110). Bagian I Pasal 2 Komentar (1); M. C. Bassiouni, lnternational Criminal Law, Crimes (Vol. l, 19BO); Rao L. Penna, "The International Criminal Court", 1 Singapore Journal of lnternational and Comparative Law (1997); M C Bassiouni, "lnternational Crimes: Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes"(1996) 59(4) Law and Contemporary Problems 63: Andrew D Mitchell, "Genocide, Human Rights lmplementation and the Relationship between lnternational and Domestic Law: Nulyarimma v Thompson", 24 Melbourne University Law Review (2000); George H. Aldrich, "The Law of War on Land", 94 American Journal of lnternational Law 42 (2000), George H. AIdrich, "Compliance with lnternational Humanitarian Law", 282 lnternational Review of the Red Cross (Mei-Juni 1991); Theodore Meron, "The Humanization of Humanitarian Law", 94 American Journal of lnternational Law 239 (2000), Yearbook of the lnternational Law Commlssion (Vol ll, 1950), Timothy LH MacCormack and Gerry J Simpson (editor), The Law of War Crimes. National and lnternational Approaches (1997), hal. 187. Mark E. Villiger, Customary lnternational Law and Treaties (2'd ed, 1997), Howard Ball, Prosecuting War Crimes and Genocide, the Twentieth Century Experience, (1
eee);
J Pritchard, "The lnternatlonal Military Tribunal for the Far East and lts
Contemporary Resonances", 149 Military Law Review (1995), hal. 33. M. C. Bassiouni, lnternational Criminal Law, Crimes (Vol. l, 1986); Jordan J. Poust, et.all, lnternational CriminalLayy Cases and Materials (1996); Rao L. Penna, "The lnternational Criminal Court", 1 Singapore Journal of lnternational and Comparative Law (1997); Kirsch, Phillip, "Keynote Address", 32 Cornell lnternational Law 1999', George H. Aldrich, "The Law of War on Land", 94 American Journal of lnternational Law 42 (2000),
19
George H. Aldrich, "Compliance with lnternational Humanitarian Law", 282 lnternational Review of the Red Cross (Mei-Juni 1991); Marco Sassoli and Antoine Bouvier, How Does Law Protect in War? Cases, Documents and Teaching Materiats on Contemporary Practice in lnternational Humanitarian Law,(lCRC, 1 999); Leo Kuper, lnternationat Action against Genocide, Report No. 53 (1984); Lawrence LeBlanc, "The lntent to Destroy Groups in the Genocide Convention: The Proposed US Understandings" 7B American Journal of lnternational Law (1 e8a); CC Joyner, "The United States and the Genocide Convention", 27 lndigenous Journal of lnternational Law (1987); Prosecutorv. Akayesu, Case No. ICTR -96-4-T, 2 September 1998, 37 ILM 1401 Josef Kunz, "The United Nations Convention on Genocide",43 American Journal of I nternational Law (1949)', Lyal Sunga, the Emerging Norm of lnternational Criminal Law, Kluwer Law, 2002; Jerry Kamm er, The Second Long Watk: The Navaio-Hopi land Dispute (1980); Robart Davis and Mark Zannis, Ihe Genocide Machine in Canada. The Participation of the Nofth (1973). :
20