Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Pendaftaran Tanah dan Penerbitan Sertipikat Dalam Perspektif Free Trade Zone (FTZ) diKampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau Idham Dosen Program S2 Magister Kenotariatan Universitas Batam Email:
[email protected] dan
[email protected]
Naskah tulisan ini berjudul, pendaftaran tanah dan penerbitan sertipikat dalam perspektifFree Trade Zone (FTZ) di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, dengan konstruksi permasalahan: Bagaimana pengaturan hukum pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif Free Trade Zone (FTZ) di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam?; -Bagaimana implementasi pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif Free Trade Zone(FTZ) di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam?; -Faktor apa saja yang menjadi kendala sekaligus solusi pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif Free Trade Zone(FTZ) di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam? Sedangkan kualifikasi/jenis penulisan jurnal ini menggunakan jenis penulisan hukum normatif, dan untuk selanjutnya sekaligus mengintegrasikannya dengan penulisan hukum yang bersifat sosiologis/empiris, untuk menganalisis beberapa permasalahan dalam jurnal ini digunakan teori besar (grand theory)Jeremy Bentham, teori tengah (middle theory)W. Friedmann, sedangkan teori aplikasi (aplied theory) Friedrich Karl von Savigny. Dari hasil penulisan jurnal ini ternyata pengaturan hukum mengenai pendaftaran tanah dalam persfektif FTZ di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena sebagian hak atas tanah di wilayah tersebut masih berstatus Hak Pengelolaan yang dikuasai dan terdaftar atas nama Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Pada sisi lain pendaftaran tanah dimaksud belum dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disingkat UUPA; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, danUndang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya faktor penghambat lainnya yaitu akibat penerapan kebijakan Otonomi Daerah dan kebijakan FTZ di Kota Batam serta minimnya dukungan politik anggaran. Atas hasil penulisan jurnal ini,penulis memberikan saran dan rekomendasi kepada semua pihak, untuk menyelesaikan permasalahan dimaksud yang menghambat pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah tersebut, direkomendasikan agar menggunakan pendekatan teori besar (grand theory)Jeremy Bentham, teori tengah (middle theory)W. Friedmann, dan teori aplikasi (aplied theory) Friedrich Karl von Savigny sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam jurnal ini. Kata kunci: Pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua; Hak Pengelolaan oleh Badan Pengusahaan Batam (BP Batam); dan Sertipikat.
Berbagai permasalahan di bidang hukum pertanahan dan/atau di bidang hukum keagrariaan yang sering muncul di lapangan, sangat patut diduga sebagian besar persoalan dan/atau sengketa hukum yang terjadi di bidang pertanahan tersebut, satu diantara faktor penyebabnya yaitu belum terlaksananya salah satu politik hukum agraria khususnya yang terkait dengan pelaksanaan dan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia1 sebagaimana mestinya.i Berkenaan dengan hal dimaksud, terutama dari sisi pendekatan hukum positif bahwa seharusnya pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia khususnya di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa,
Kota Batam, dilaksanakan oleh pemerintah berdasarkan perintah dan amanat peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dalam berbagai produk peraturan perundangundangan dalam hal ini khususnya perintah dan amanat sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lazimnya disingkat dan disebut UUPA,2 khususnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19yang lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian di bawah ini. Dalam pendekatan sistem guna melaksanakan politik keagrariaan itu, terutama dalam perspektif untuk mendapatkan dan sekaligus memberikan alat bukti yang kuat 1
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
berupa sertipikat3 atas suatu bukti hak kemilikan tanah kepada seluruh masyarakat, adalah merupakan suatu hal yang penting dan dominan, baik hal itu dianalisis dari sisi hukum maupun aspek ekonomi. Dari sisi hukum, tanah yang telah bersertipikat akan memberikan kepastian hukum kepada pemiliknya, sedangkan dari sisi ekonomi tanah yang telah bersertipikat akan memberikan nilai tambah secara ekonomis.4 Rangkaian proses kegiatan pendaftaran tanah dimaksud produk akhirnya adalah penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) kepemilikan atas suatu bidang hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, dan hal ini sekaligus secara aksiologis sertipikat hak atas tanah dimaksud akan mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemiliknya sebagai tanda bukti hak5 yang kuat dan terpenuh dalam konteks hukum pembuktian. Dalam pendekatan lain, bahwa pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dimaksud diharapkan mampu memberikan kontribusi penguatan dan percepatan peningkatan taraf kehidupan ekonomi bagi pemiliknya. Hal ini dimaksudkan bahwa terhadap suatu bidang hak atas tanah yang telah bersertipikat nilai ekonomis dari bidang tanah tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan bidang tanah yang belum memiliki sertipikat, dengan demikian terhadap satuan bidang tanah yang telah bersertipikat secara nasional dalam tatanan mempercepat pertumbuhan iklim perekonomian, diharapkan dapat dan sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Dalam pada itu, situasi dan keadaan yang demikian sekaligus akan menjadi salah satu pondasi yang dominan dalam perspektif penguatan permodalan untuk melaksanakan suatu kegiatan usaha dan perdagangan, terutama dalam perspektif pelaksanaan kebijakan6 otonomi daerah.7 Analisis dalam pendekatan hukum positif, yang merupakan salah satu pondasi dasar8 untuk pemberlakuan pengaturan pendaftaran tanah di Indonesia adalah merujuk kepada UndangUndang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagaimana yang telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Keberadaan Undang-Undang ini, dalam pendekatan praktis operasional selama ini merupakan acuan dasar secara paradigmatik hukum positif yang berlaku di lapangan,
terutama dalam menjalankan berbagai kebijakan dan politik hukum tentang pendaftaran tanah di Indonesia. Dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria ini, secara eksplisit sekaligus telah menegaskan pula mengenai politik hukum Pendaftaran Tanah yang wajib dilaksanakan oleh Negara Indonesia, yang secara lebih jelas substansi tentang pendaftaran tanah yang diatur dan ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yang lazimnya disingkat dengan UUPA dimaksud. Atas dasar amanat Pasal 19 ini, untuk selanjutnya diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun1997 tentang Pendaftaran Tanah di Indonesia. Konstruksi9 norma hukum yang telah ditegaskan dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 khususnya tentang pendaftaran tanah di Indonesia itu, sebenarnya sudah cukup memiliki kebermaknaan yang jelas dan tegas. Ketegasan kebermaknaan secara paradigmatik dimaksudkan, bahwa amanat yang diperintahkan sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut khusunya tentang Pendaftaran Tanah10 di Indonesia dimaksud, sesungguhnya jika dianalisis dari perspektif kemauan politik negara, sudah memperlihatkan kehendak yang sangat baik dan positif terutama guna melaksanakan secara konkrit makna kedaulatan rakyat khususnya di bidang pendaftaran tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, guna meneguhkan positivisme yuridis.11 Dalam perspektif lain, terutama dalam pendekatan filsafat ilmu yaitu dari aspek aksiologis, bahwa negara sudah memposisikan dirinya berada pada garis dan garda terdepan dalam mewujudkan kebermanfaatannya sebagai negara, yang mempunyai salah satu tugas pokok, dalam rangka untuk melaksanakan tugas dan fungsinya guna menunaikan secara konkrit di lapangan tentang kedaulatan rakyat12 dimaksud, khususnya mengenai pendaftaran tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang dimaksudkan pada bagian di atas sekaligus secara paradigmatik konstitusional13 sudah sejalan dengan hal-hal yang sangat fundamental sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam Konstitusi Negara dan 2
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia,17dan sekaligus untuk mengantisipasi keadaan dan perkembangan ini, pemerintah telah menerbitkan peraturan perubahan tentang kegiatan pendaftaran tanah tersebut, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah. Jika dianalisis dari keberadaan hukum positif mengenai peraturan dan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tersebut di atas, sesungguhnya dari sisi aturan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan mengenai kegiatan pendaftaran tanah tersebut dinilai cukup memadai. Namun dalam pelaksanaannya untuk melakukan program kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia masih ditemukan beberapa kendala18 yang sifatnya sangat kondisional dan struktural dan sangat dipengaruhi berbagai oleh berbagai faktor perkembangan politik dan sistem pemerintahan.19
Bangsa Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jika dianalisis dalam perspektif paradigmatik makna yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama dalam hubungannya dengan pelaksanaan dan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, khususnya di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam sesuai dengan judul jurnal ini, adalah mengandung makna yang sangat dalam dari sisi pendekatan filsafat hukum. Artinya melalui pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud, secara konkrit negara telah menunaikan salah satu kewajibannya untuk memberikan jaminan sekaligus meneguhkan untuk terlaksananya prinsip kedaulatan rakyat14 sebagaimana mestinya. Dalam perkembangannya di lapangan, yaitu sepanjang Bangsa dan Negara Indonesia ini menikmati kemerdekaannya, bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia itu belum sepenuhnya dilaksanakan oleh negara sebagaimana mestinya, guna memenuhi hak rakyat dan Warga Negara Indonesia dalam hal Pendaftaran Tanah, karena secara masif masih banyak satuan Wilayah Negara Indonesia ini, baik itu di daerah-daerah perdesaan maupun perkotaan belum dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah guna memberikan kepastian hukum15 bagi para pemilik dan/atau pemegang haknya. Untuk selanjutnya terutama dalam tataran yang lebih praktis operasional,16 bahwa mengenai pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia tersebut, yaitu dengan melakukan derivasi atas perintah dan amanat Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sebagaimana dimaksud, bahwa Pemerintah pada tahun 1961 telah menerbitkan peraturan pelaksanaan yang lebih teknis tentang pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961tentang Pendaftaran Tanah. Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan peningkatan untuk percepatan dan perluasan
Kebijakan Otonomi Daerah Berbagai persoalan lain sering timbul masalah di lapangan terkait dengan pelaksanaan dan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, terutama pasca diberlakukannya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir Undang-Undang ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, terutama dalam pendekatan praktis operasional di lapangan yaitu dari aspek sistem dan manajemen pemerintahan, bahwa keberadaan Undang-Undang dimaksud, sudah akrab ditelinga publik dengan sebutan Otonomi Daerah dan disingkat Otda.20 Dalam perspektif Otonomi Daerah, bahwa tentang pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut acap kali muncul berbagai persoalan di lapangan. Salah satu faktor penyebab yang mengakibatkan munculnya permasalahan itu, adalah disebabkan belum dituntaskannya pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penataan Ruang Kabupaten/Kota sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.21 3
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Sejalan dengan berbagai persoalan dan masalah tersebut, yang sekaligus memberikan dampak negatif yaitu masih rendahnya tingkat keberhasilan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, ada juga permasalahan lain yang muncul di lapangan, yaitu adanya kontribusi permasalahan yang datangnya dari persoalan penataan dan perlindungan kawasan hutan lindung22 yang secara teknis ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Permasalahan di atas sering muncul di lapangan, yaitu masih belum tuntasnya pemetaan tentang peta padu serasi dalam hal pemanfaatan dan penatagunaan hak atas kawasan tanah tertentu 23 di daerah Kabupaten/Kota, antara pihak Kementerian Kehutanan di satu sisi dengan Kementerian Dalam Negeri di sisi lain. Seharusnya substansi mengenai hal ini sudah dapat diselesaikan diantara kedua kementerian dimaksud yaitu untuk memenuhi amanat dan perintah UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tersebut. Berlarut-larutnya penyelesaian dalam hal penetapan peta padu serasi24 tersebut, dalam pendekatan praktis operasional sudah tentu akan memberikan kontribusi permasalahan yang mendasar dan sekaligus memberikan kontribusiperlambatan dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di daerah yang sekaligus akan menghambat percepatan untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, karena dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, bahwa salah satu dokumen dasar yang wajib digunakan sebagai dasar dan rujukan pelaksanaannya adalah Peraturan Daerah (Perda) tentang Penataan Ruang Kabupaten/Kota di masing-masing daerah yang bersangkutan. Demikian pula terjadinya perlambatan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kelurahan Batu Besar, Kota Batam disinyalir bahwa Peraturan Daerah tentang Penataan Ruang Pemerintah Kota Batam belum dituntaskan secara komprehensif yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan dan tata permukiman serta fungsi kemampuan lingkungan hidup25masyarakat tersebut secara faktual di lapangan. Persoalan lain yang sering muncul di lapangan terkait dengan pelaksanaan kegiatan
pendaftaran tanah tersebut, adalah permasalahan masih rendahnya tingkat koordinasi yang terintegratif26 antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di masing-masing Kabupaten/Kota dengan Kantor Pertanahan setempat. Keadaan ini di lapangan masih terus berlangsung, karena dalam pendekatan struktural kelembagaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dan/atau untuk tingkat Kabupaten/Kota disebut Kepala KantorPertanahan, bahwa kenyataannya di lapangan tidak bertanggung jawab secara struktural kepada pihak kantor pemerintahan di masing-masing Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, melainkan pertanggung jawabannya langsung secara vertikal kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di tingkat Provinsi dan selanjutnya kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berbagai persoalan lain juga sering timbul di lapangan berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah27 tersebut, satu diantaranya adalah belum terlaksananya koordinasi yang terintegratif dalam hal penerapan dan pelaksanaan atas diberlakukannya UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Dalam konteks pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang ditegaskan dalam Undang-Undang itu telah menerapkan prinsip otonomi yang dilaksanakan sepenuhnya dan telah dilimpahkan secara mutlak28 untuk penetapan, dan pemungutannya kepada Bupati/Walikota di Daerah melalui masing-masing Dinas Pendapatan Daerah. Pelaksanaan prinsip otonomi ini sepenuhnya belum berjalan lancar sebagaimana mestinya, karena antara petugas pelaksana di Kantor Bupati/Walikota di satu sisi dengan petugas pelaksana di Kantor Pertanahan masing-masing Kabupaten/Kota tersebut disisi lain, pada kenyataannya untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing pihak belum terlaksana secara harmonis, terutama dalam memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat dalam hal yang akan mengurus permohonan hak atas tanahnya dalam rangka 4
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
mendapatkan sertipikat yaitu satu diantara persyaratan yang harus dipenuhiseperti Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sering mengalami keterlambatan. Dari sisi peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan proses kegiatan pendaftaran tanah, bahwa pemenuhan kewajiban dari pemohon untuk melunasi pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut, adalah merupakan persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh masing-masing pemohon29 dalam pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertipikat (tanda bukti hak) hak atas satuan bidang tanah dan satuan rumah susun yang dimohonkan oleh masyarakat melalui Kantor Pertanahan masing-masing Kabupaten/Kota setempat.
Kepulauan Riau khususnya Kota Batam secara geografis, dan demografis memiliki potensi sebagai kawasan yang paling terdepan dengan negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia, diharapkan dapat melaksanakan kiprahnya dalam bidang perdagangan internasional, yang pada akhirnya sasaran yang akan dicapai adalah dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan kehidupan31 bagi seluruh rakyat dan masyarakat di provinsi Kepulauan Riau dan lebih khusus lagi untuk rakyat dan masyarakat di Kota Batam. Pada sisi lain, terutama dalam pendekatan praktis operasional bahwa dengan diberlakukannya kebijakan publik yang memiliki makna kekhususan Kota Batam tersebut, kenyataannya secara empiris di lapangan telah melahirkan berbagai persoalan hukum terutama dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah khususnya di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar,Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Berbagai persoalan dan permasalahan itu terutama yang ada hubungannya dengan kegiatan pendaftaran tanah, berdasarkan hasil verifikasi di lapangan sudah mencapai stadium dan/atau peringkat yang signifikan dan mengkhawatirkan,32 yang telah memberikan kontribusi kepada perlambatan dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah khusunya di Kota Batam. Dari hasil verifikasi di lapangan, diasumsikan masih banyak berbagai persoalan yang timbul dalam konteks pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam tersebut, memang mengandung persoalan hukum yang sangat kompleks. Penumpukan berbagai persoalan itu satu diantaranya belum dituntaskannya33 Peraturan Daerah Pemerintah Kota Batam terkait dengan Penataan Ruang dan peta padu serasi yang harus mendapatkan persetujuan dari berbagai lembaga teknis seperti pihak Kementerian Kehutanan dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), dan selanjutnya Peraturan Daerah dimaksud harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara karena kedudukan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dalam pendekatan struktural adalah di bawah kendali dan naungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Kebijakan Free Trade Zone (FTZ) Konstruksi analisis terhadap berbagai persoalan faktual yang menghambat pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah terutama dalam perspektifFTZ tersebut, analisis yang akan dibentangkan pada bagian dibawah ini, akan dikaitkan pula sering munculnya berbagai persoalan akibat adanya kebijakan yang sifatnya sangat khusus di Kota Batam.Hal ini dimaksudkan, terkait dengan adanya institusi dan/atau lembaga lain yaitu atas keberadaan lembaga Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) yang dahulu disebut dengan Badan Otorita Batam yang sangat berperan dan menentukan proses dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah khususnya di Kota Batam. Dalam pendekatan politik hukum dan kebijakan publik, secara paradigmatik dan kefilsafatan terutama dari perspektif aksiologis sesungguhnya atas diberlakukannya UndangUndang tentang Free Trade Zone (FTZ) dan pemberlakuan serta penerapan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) tersebut, memiliki makna yang sangat fundamental dan strategis.30 Kebermaknaan dimaksud, dapat ditelisik dalam pendekatan teori hukum (legal theory) sebagaimana termaktub di dalam konsiderans menimbang dari berbagai produk peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan hal tersebut. Dengan mempertimbangkan bahwa Provinsi 5
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Pada sisi lain dalam pendekatan sistem pemerintahan,34 terutama dalam konteks pelaksanaan Otonomi Daerah bahwa sejalan dengan pelaksanaan proses pembentukan Peraturan Daerah Kota Batam tentang Penataan Ruang tersebut sebelumnya harus pula mendapatkan keputusan politik dari jajaran internal yaitu dari pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan sekaligus adanya persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta. Dalam pada itu, terutama dalam hal pemenuhan dari sisi sistem dan prosedur yang harus diselesaikan berdasarkan proses pembentukan terhadap Peraturan Daerah (law making process) tentang Penataan Ruang ini, harus pula memenuhi standar sistem dan prosedur sebagaimana termaktub dan yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.35 Berdasarkan penjelasan di atas dan disesuaikan dengan beberapa variabel penting sebagaimana yang tercantum dalam judul jurnal ini, maka untuk selanjutnya akan dijelaskan mengenai konstruksi permasalahan yaitu sebagai berikut: -Bagaimana pengaturan hukum pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif Free Trade Zone (FTZ) di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam?; Bagaimana implementasi pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif Free Trade Zone (FTZ) di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam?; -Faktor apa saja yang menjadi kendala sekaligus solusi pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif Free Trade Zone (FTZ) di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam? Sebelum menjelaskan lebih lanjut dalam pendekatan analisis yang lebih rinci atas ketiga permasalahan dimaksud, pada bagian di bawah ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai beberapa aspek yang berhubungan dengan metodologi penulisan dalam jurnal ini.
yang fundamental. Hal yang dimaksud adalah, dalam bagian ini akan mengetengahkan dan sekaligus menjelaskan hal-hal yang berkaitan mengenai kerangka teori dan kerangka konsep.36 Melalui kerangka teori dan kerangka konsep sebagaimana dimaksud, untuk selanjutnya akan digunakan oleh penulis sebagai pisau analisis dan kerangka dasar serta acuan guna membahas/melakukan analisis terhadap permasalahan yang diketengahkan oleh penulis dalam konteks menuntaskan sekaligus menemukan solusi/penyelesaian terhadap permasalahan yang diteliti, yang lebih lanjut kerangka teori dan kerangka konsep tersebut sebagaimana diuraikan di bawah ini, danuntuk itu sangat dipandang perlu meneguhkan dari awal dalam bagian/substansi tentang penegasan dan/atau penggunaan kerangka teori dan konsep37 sebagai pisau analisis terhadap permasalahan yang dibentangkan dalam jurnal ini. Berdasarkan uraian sebagaimana diterangkan di atas, maka dalam melaksanakan rangkaian penulisan jurnal ini, kerangka teori dan konsep yang digunakan sebagai acuan dan pedoman dasar merupakan postulat pemikiran penting dalam perspektif yang paradigmatik, adalah merujuk kepada teori besar (grand theory)38 atas pendapat yang telah dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Konstruksi grand theory yang telah dibentangkan oleh Jeremy Bentham menyebutkan bahwa segala bentuk peraturan perundang-undangan tidak akan memberikan kebermanfaatan secara aksiologis, apabila dari hasil pelaksanaan peraturan perundangundangan itu tidak memberikan jaminan dan/atau kepastian untuk memperoleh adanya suatu kebahagiaan bagi masyarakatnya (utilitarianisme). Hal ini dimaksudkan bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah tersebut dari hasil pelaksanaannya harus memberikan jaminan kepada masyarakat untuk memperoleh suatu rasa ketentraman dan kebahagiaan dalam perspektif aksiologis.39 Menelisik atas pendapat besar yang merupakan grand theory dari Jeremy Bentham40 sebagaimana yang disebutkan pada bagian di atas, hal itu sesungguhnya secara paradigmatik dalam perspektif hukum positif yang diberlakukan di Indonesia dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah,
KerangkaTeoretis Konseptual dan Metodologi Dalam bagian ini akan dianalisis berkenaan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya akan dibentangkan mengenai hal-hal 6
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
khususnya sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sejatinya sedemikian rupa sudah dikonstruksikan dalam asas dan norma hukum pada konsiderans menimbang. Konstruksi asas dan norma hukum yang telah ditegaskan secara paradigmatik atas pemikiran besar dari Jeremy Bentham itu yang sudah diimplementasikan oleh pembuat UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut, lebih lanjut menegaskan dalam konsiderans menimbang yaitu: dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi dan amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.41 Sajalan dengan hal-hal yang sangat paradigmatik tersebut, utamanya terhadap konstruksi pada bagian kalimat akhir yang tercantum dalam konsiderans menimbang pada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dimaksud yaitu dengan susunan kalimat: untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, sesungguhnya dalam pendekatan dan implementasi filsafat keilmuan42 dan sekaligus jika diintegrasikan dengan grand theory yang telah dikemukakan oleh Jeremy Bentham tersebut, memang secara nyata telah ditegaskan oleh pembuat UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dimaksud. Analisis hukum yang dapat dikonklusikan dalam perspektif yang paradigmatik dan dihubungkan dengan konstruksigrand theory43 sebagaimana yang dibentangkan oleh Jeremy Bentham tersebut, utamanya atas konstruksi kalimat yang sudah ditegaskan dalam konsiderans UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sebagaimana dimaksudkan di atas, paling tidak dapat dikemukakan beberapa konklusi dengan penjelasan sebagaimana diuraikan yaitu: Pertama, kalimat dengan susunan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, sejatinya sudah mencerminkan nilai-nilai grand theory yang telah dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang menegaskan suatu produk peraturan perundang-undangan dibentuk adalah harus memberikan jaminan kepada masyarakatnya untuk memperoleh suatu rasa dan keadaan yang bahagia. Kedua, susunan
kalimat yang menegaskan bahwa menyelesaikan revolusi nasional44 sekarang ini serta pembangunan semesta, juga sudah dapat dinilai secara paradigmatik, bahwa konstruksi kalimat dimaksud sudah mengaktualisasikan nilai grand theory sebagaimana yang dibentangkan oleh Jeremy Bentham tersebut. Khusus mengenai data sekunder yang akan dijadikan dasar analisis secara normatif, dan akan disebutkan dalam penulisan ini, yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier menurut pendapat penulis pada intinya mempunyai suatu tujuan yang mulia yaitu guna mewujudkan rasa kebahagiaan bagi seluruh masyarakat (utilitiarisme).45 Dalam aspek pemberdayaan dan kemampuan lingkungan hidup untuk mewujudkan rasa kebahagiaan bagi masyarakat, bahwa dalam pelaksanaannya seluruh rangkaian dan proses kegiatan pendaftaran tanah tersebut wajib diintegrasikan sedemikian rupa dengan pendekatan yang komprehensif dari aspek hukum perlindungan dan pengelolaan, fungsi dan kemampuan serta keberlangsungan seluruh sumber daya dan potensi dalam lingkup lingkungan hidup di Indonesia.46 Pada bagian berikutnya, khususnya masih terkait dengan substansi kerangka teori dan konsep yang menjadi dasar pijakan berpikir dalam melaksanakan rangkaian analisis terhadap beberapa permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian di atas, untuk selanjutnya akan digunakan pula teori tengah (middle theory). Terkait dengan penggunaan pisau analisis47 untuk membahas permasalahan yang dibentangkan dalam jurnal ini, maka sebagai teori tengah yang akan digunakan sebagai pijakan analisis adalah berdasarkan pendapat yang dikemukan oleh W. Friedmann. Pendapat W. Friedmann yang digunakan sebagai teori tengah dalam melaksanakan analisis permasalahan yang dibentangkan dalam jurnal ini menurut pendapat penulis adalah sangat relevan dalam perspektif filsafat ilmu. W. Friedmann dalam teorinya, telah menegaskan bahwa untuk mempercepat terwujudnya rasa kebahagiaan dan kemakmuran48 bagi masyarakat atas diberlakukannya suatu produk peraturan perundang-undangan tidak terkecuali terhadap segala bentuk peraturan perundang-udangan di bidang pendaftaran tanah, sangat tergantung 7
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
bagaimana Pemerintah atau Negara mempersiapkan hal-hal pokok mendasar terutama dalam penegakan hukum (law enforcement) dari segala bentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam pendekatan teori W. Friedmann dimaksud terutama dalam penegakan hukum (law enforcement) dari semua peraturan perundang-undangan yang ada, harus dipenuhi tiga pilar/jangkar yang penting, yaitu: Pertama, konstruksi substansi asas, dan norma hukum49 yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan itu harus sesuai dengan jati diri masyarakat dan bangsa serta sesuai dengan citacita Nasional suatu bangsa. Kedua, harus disiapkan struktur kelembagaan pelaksana peraturan perundang-undangan itu secara profesional, berkualitas, bermoral, jujur, bertanggung jawab dan transparan serta harus pula disiapkan segala infrastruktur dan peralatan operasional kerja dengan dukungan anggaran dan/atau pembiayaan yang cukup, termasuk juga dukungan dan jaminan kesejahteraaan bagi aparatur pelaksananya. Ketiga, harus ada dukungan yang sinergis dari seluruh lapisan masyarakat untuk terwujudnya budaya hukum (legal culture) yang baik dan beradab sesuai dengan jiwa dan kepribadian dan jati diri bangsa50 yang telah diamanatkan dalam Konstitusi Negara, dan bagi bangsa serta Negara Indonesia legal culture yang harus diwujudkan oleh seluruh lapisan masyarakat tersebut, haruslah sesuai dengan hal-hal yang telah diamanatkan dalam Pancasila (philosophy of paradigm), dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (constitutional of paradigm).51 Artinya dalam konteks ini sesungguhnya masyarakat tidak ambil peduli52 lagi bagaimana sesungguh peraturan perundang-undangan itu pada saat dibentuk oleh wakil-wakil rakyat dengan pemerintah, melainkan harapan masyarakat menuntut kepada pemerintah bagaimana caranya pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan itu khususnya yang ada keterkaitannya dengan bidang pendaftaran tanah, mampu memberikan kontribusi kepada percepatan untuk terwujudnya rasa kebahagiaan bagi masyarakat.53 Dengan demikian menurut pendapat penulis, dalam konteks penulisan jurnal ini atas penggunaan grand theory (teori
besar) yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan middle theory (teori tengah) yang dikemukakan oleh W. Friedmann sudah dipandang sesuai dan tepat dalam pendekatan dan melaksanakan metode penulisan jurnal ini. Kerangka teori yang akan digunakan sebagai dasar pijakan dan landasan berpikir guna melakukan analisis terhadap permasalahan yang sudah dipaparkan pada bagian permasalahan tersebut, untuk selanjutnya akan digunakan landasan teori aplikatif (aplied theory) yang sifatnya lebih praktis operasional. Sejalan dengan konstruksi permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan jurnal ini, maka landasan teori yang sifatnya aplikatif adalah merujuk dan berdasarkan kepada pendapat dan teori sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Friedrich Karl von Savigny. Dalam pada itu pandangan von Savigny berpangkal54 kepada bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu Volkgeistjiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun menurut tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbedabeda ini tampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Karenanya, demikian von Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Demikian juga halnya yang menyangkut dengan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam dalam perspektif pelaksanaan kebijakan Free Trade Zone (FTZ), tidaklah akan berhasil memenuhi harapan masyarakat yaitu untuk terwujudnya rasa kebahagiaan, keadilan, kemakmuran dan kepastian hukum, apabila dalam pelaksanaannya semua jajaran kelembagaan dan aparatur pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah tersebut tidak mengindahkan dan merujuk kepada jiwa rakyat55 di Kampung Tua tersebut. Dengan pendekatan dan penggunaan teori serta pendapat Friedrich Karl von Savigny 8
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
sebagai landasan teori yang sifatnya aplikatif, maka menurut pendapat penulis penggunaan teori dimaksud sudah tepat, benar untuk memenuhi kaidah-kaidah metode penulisan jurnal secara ilmiah.56 Beranjak dari segala hal yang diuraikan pada bagian di atas, maka dalam melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan penulisan jurnal ini dapat dikonstruksikan beberapa defenisi yang sifatnya operasional dari variabel yang tercantum dalam judul jurnal ini, dan mengenai pengertian dari masing-masing variabel dimaksud sesungguhnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Dapat dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas. Yang dimaksud dengan pengertian tanah Negara atau tanah yang langsung dikuasai oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan hak pengelolahan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenagan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Untuk selanjutnya yang dimaksud dengan hak tanah adalah hak sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA.57 Yang dimaksud dengan data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian-bagian di atasnya. Yang dimaksud dengan pengertian data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Yang dimaksud dengan pengertian Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.58 Pada bagian ini dijelaskan pula, yang dimaksud dengan pengertian pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar bedasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). Sedangkan pengertian pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Yang dimaksud dengan pengertian pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Yang dimaksud dengan pengertian pemeliharan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahanperubahan yang terjadi kemudian. Dalam pada itu, untuk selanjutnya dijelaskan yang dimaksud dengan buku tanah59 adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Lokasi penulisan jurnal ini yaitu di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, dan penulisan jurnal ini, bersifat hukum normatif60 dan didukung penulisan yang bersifat empiris. Penulisan jurnal hukum normatif pada hakekatnya meliputi: penulisan jurnal terhadap asas-asas hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Tiga komponen penting dalam penulisan jurnal hukum normatif itu dalam bagian analisis akan diintegrasikan61 dengan beberapa permasalahan sebagaimana telah diuraikan pada bagian diatas untuk menemukan 9
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
solusi dan jalan penyelesaiannya. Pada sisi lain penulisan jurnal hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturanaturan hukum dalam bidang pendafataran tanah terutama dalam persfektif pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kota Batam, yang berpedoman kepada tatanan hukum positif di bidang pertanahan/keagrariaan khususnya yang berhubungan dengan kegiatan dan pelaksanaan pendaftaran tanah. Dalam pelaksanaan penulisan jurnal hukum normatif sebagaimana yang dimaksudkan diatas pada dasarnya menitik beratkan pada studi kepustakaan,62 sehingga dalam melaksanakan analisis terhadap permasalahan yang telah dibentangkan rujukannya adalah bersumber kepada data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan daripada data primer. Untuk mendukung akurasi data yang diperoleh, mengenai lokasi penulisan jurnal ini juga dilakukan di Kantor Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), dengan pertimbangan bahwa judul penulisan jurnal ini mempunyai korelasi dengan pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) yang secara struktural merupakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan Kantor Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).63 Sedangkan populasi dalam penulisan jurnal ini yaitu pejabat struktural di Kantor Pertanahan Kota Batam dan di Kantor Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menangani pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah di Kota Batam. Untuk penetapan sampel yang akan dijadikan responden dalam penulisan jurnal ini yaitu pejabat struktural yang menangani kegiatan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan Kota Batam dan pejabat struktural yang menangani kegiatan pendaftaran tanah di Kantor Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) serta dilakukan juga wawancara secara mendalam yang mewakili responden yaitu salah seorang Ketua Rukun Warga yaitu Pejabat Rukun Warga 01 di wilayah Kampung Tua,64Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Sedangkan mengenai teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah dilakukan dengan cara melaksanakan studi penulisan jurnal kepustakaan (library research), yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan
yang berhubungan dengan topik dalam jurnal ini, seperti buku-buku hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusanputusan pengadilan yang mempunyai relevansi dengan penulisan jurnal ini, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan substansi tersebut. Berkaitan dengan hal yang dimaksudkan pada bagian di atas, maka sumber data65 yang akan digunakan untuk proses pengerjaannya setelah dilakukannya penghimpunan data sekunder. Dalam pendekatan praktis operasional secara empiris pelaksanaan penghimpunan data sekunder itu akan diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dengan penjelasan yaitu sebagai berikut: 1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya diperoleh dari badan dan/atau lembaga Negara yang memiliki orotitas tentang hal dimaksud. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat dari berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan. Relevan dengan judul penulisan jurnal ini bahan hukum primer yang diperlukan antara lain: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) khususnya mengenai peneguhan paham kedaulatan rakyat dan Pasal 18B mengenai peneguhan dan pengakuan masyarakat adat khususnya yang berkenaan dengan pengakuan masyarakat adat terkait dengan hak kepemilikan tanah masyarakat adat; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diperbaharui melalui UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 200 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang10
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Undang; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bukubuku dalam ranah dan bidang Ilmu Hukum, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah secara akademik yang ada relevansinya dengan kegiatan penulisan jurnal ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan penulisan jurnal ini. 3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum yang sifatnyapenunjang, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, dan bahan-bahan lainnya di luar ranah bidang hukum yang mempunyai relevansi dan dapat dipergunakan guna melengkapi hasil penulisan jurnal ini. Dalam pendekatan praktis operasional terutama dalam melaksanakan metode penulisan jurnal, bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan analisis data66 sangat perlu dan penting dikerjakan. Hal ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan kegiatan analisis dari beberapa asas, norma yang diperoleh dari semua aspek sumber data tersebut tidak menimbulkan pergeseran dengan substansi permasalahan67 yang akan dianalisis dalam penulisan jurnal ini.
Menurut hemat penulis upaya untuk melakukan analisis yang berkenaan dengan pengaturan hukum dalam hal melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud adalah merupakan suatu tindakan yang penting dan strategis dalam menuntaskan penulisan jurnal ini, karena hal itu adalah dalam rangka mewujudkan sekaligus meneguhkan bahwa sesungguhnya bangsa dan negara Indonesia menjunjung tinggi suatu prinsip hukum yaitu untuk mewujudkan eksistensi asas legalitas dan sekaligus dengan mengedepankan negara yang mengutamakan penegakan paham positivistik dan/atau negara yang mengedepankan prinsip hukum positif dalam melaksanakan penegakan hukum (law enforcement). Salah satu persoalan dalam hal pelaksanaan pengaturan hukum dalam berbagai produk pengaturan perundang-undangan dalam aspek politik hukum agraria/hukum pertanahan di Indonesia khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan pengaturan hukum di bidang pendaftaran tanah tidak terkecuali dalam hal melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, bahwa pendaftaran tanah dimaksud sampai saat ini masih tersumbat salah satu penyebabnya adalah adanya tekanan dalam spektrum politis yang berkaitan dengan masih terjadinya desentralisasi kekuasaan. Pelaksanaan kekuasaan di lingkungan Pemerintah Kota Batam menurut pendapat penulis masih terdapat tekanan dari Pemerintah Pusat karena adanya sistem manajemen pengelolaan pemerintahan yaitu dengan adanya pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dalam perspektif untuk melaksanakan seluruh rangkaian kebijakan politik hukum mengenai Free Trade Zone (FTZ), dimana salah satu kawasan yang ditetapkan sebagai wilayah FTZ termasuk Kota Batam selain Kabupaten Karimun dan Kabupaten Bintan. Sejalan dengan hal dimaksud, memang secara kasat mata otorisasi pelaksanaan kekuasaan birokrasi pemerintah selama ini masih berjalan secara sentralistis dan eksesif. Artinya masih saja terjadi suatu perilaku yang bersifat egosentris baik itu antar Kementerian di lingkungan pemerintah pusat, demikian juga di lingkungan Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten Kota, hal ini dalam
Pengaturan Hukum Pendaftaran Tanah Konstruksi permasalahan pertama akan dianalisis hal-hal yang berkenaan dengan pengaturan hukum dalam perspektif penegasan dan pemberlakuan hukum positif. Dalam konteks ini tentu akan dijelaskan lebih jauh mengenai sumber hukum positif yang digunakan sebagai rujukan, pedoman dan/atau dasar atas pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. 11
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
pelaksaannya berkenaan dengan pelaksanaan sistem manajemen pemerintahan dimaksud sekaligus mempunyai korelasi dengan tingkat jabatan suatu pejabat publik dalam lingkup sistem manajemen pemerintahan. Hal ini dimaksudkan semakin tinggi layer atau lapis hierarki jabatan seseorang dalam birokrasi pemerintahan maka dalam pelaksanaannya semakin besar pula lingkup kewenangan dan kekuasaannya, sebaliknya seseorang yang mempunyai jabatan yang rendah dan dalam hal ini termasuk pihak-pihak yang berada di luar pemerintahan seperti masyarakat Kampung Tua,Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam semakin rendah pula kekuasaan dan kewenangannya dalam menghadapi kekuatan dari sektor pejabat birokrasi yang melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan di bidang pemerintahan. Relevan dengan penjelasan di atas seharusnya keberadaan masyarakat Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, dalam hal mendapatkan pelayanan publik untuk dilakukannya pendaftaran tanah atas satuan bidang tanah yang dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat Kampung Tua dimaksud haruslah mendapatkan pelayanan dari birokrasi Pemerintah Kota Batam sebagaimana mestinya dan dilaksanakan dengan mengedepankan pengaturan hukum di bidang pendaftaraan tanah dalam rangka meneguhkan paham kedaulatan rakyat, paham negara hukum dan sekaligus untuk mewujudkan rasa kebahagiaan bagi masyarakat karena hak atas tanah di wilayah Kampung Tua dimaksud telah diterbitkan sertipikat (tanda bukti hak) untuk memberikan jaminan mengenai kepastian hukum terhadap hak kepemilikan tanah dimaksud. Berkenaan dengan hal ini menurut pendapat penulis jangan sempat terjadi rakyat yang memberikan pelayanan kepada pejabat publik, namun sesungguhnya berdasarkan asas kepemerintahan yang baik bahwa pejabat birokrasi pemerintah yang semestinya memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Dengan kata lain birokrasi pemerintah tidak diperkenankan mendominasi melalui kekuasaannya untuk menyandera dan tidak melaksanakan pelayanan publik kepada masyarakat, dan apabila hal ini terjadi di lapangan, maka akan terwujud ketidakseimbangan (unequal relationship)
antara unjuk kerja yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah dengan rakyat yang harus dilayaninya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa keadaan seperti di atas akan membuat birokrasi tidak memiliki akuntabilitas kepada rakyat dan masyarakat, khususnya terhadap masyarakat di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat. Fenomena lain masih terjadi dan sangat menonjol yaitu masih terdapat perilaku penguatan kewajiban untuk melakukan responsibilitas terhadap pejabat pada hierarki yang di atas. Dalam hal ini pejabat birokrasi pada umumnya diangkat oleh pejabat yang berkuasa pada hierarki tertinggi dalam suatu tatanan dan lingkup lembaga tertentu. Dalam pada itu pemahaman ditengah kehidupan masyarakat khususnya yang berkenaan dengan peranan rakyat terhadap eksistensi birokrasi selama ini, masih kurang memperoleh perhatian dan sekaligus penekanan dalam pola kehidupan dan sistem manajemen pemerintahan utamanya yang berhubungan dengan birokrasi publik dalam teori elit sebagaimana dimaksudkan tidak hanya satusatunya solusi dalam konteks mencairkan kewenangan dalam jajaran birokrasi pemerintahan. Oleh karenanya untuk mewujudkan percepatan pendaftaran tanah dimakusd, maka kepada semua pihak yang terlibat untuk dan guna melaksanakan pekerjaan tersebut haruslah secara konsisten melaksanakan seperangkat pengaturan hukum di bidang pendaftaran tanah dengan menanggalkan perilaku egosentris di lingkungan pejabat birokrasi pemerintah demi mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Bangsa dan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya terhadap masyarakat Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam guna mendapatkan sertipikat (tanda bukti hak) atas tanah yang telah dikuasainya secara turuntemurun. Substansi penting lainnya yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam, 12
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan Kantor Pertanahan Kota Batam dalam konteks melaksanakan pendaftaran tanah di Kampung Tua dimaksud seharusnya memberikan penekanan untuk mewujudkan fungsi hukum dari semua peraturan perundangundangan pendaftaran tanah tersebut. Sejalan dengan hal ini dapat ditegaskan bahwa hasil akhir atas pelaksanaan peraturan perundangundangan itu terutama dalam pendekatan sistem hukum sesungguhnyaa harus mampu merespon atas segala kegelisahan dan kerisauan masyarakat terhadap belum diterbitkannya sertipikat hak atas tanah di wilayah Kampung Tua tersebut,maka dalam prosesnya seharusnya dari tahap awal semua kegelisahan, kerisauan dan sekaligus tuntutan dari masyarakat Kampung Tua untuk segera dilakukannya pendaftaran tanah dimaksud, sudah direspon sedemikian rupa oleh Pemerintah Kota Batam bersama para wakil rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam dengan melibatkan secara aktif seluruh pihak terkait satu diantaranya yang penting adalah pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sebagai pemegang hak pengelolaan atas tanah di wilayah Kota Batam, serta pihak Kantor Pertanahan Kota Batam, guna merumuskan program kerja dan anggaran yang dituangkan/ditetapkan dalam Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Batam secara permanen dan berkelanjutan. Dalam perspektif pelaksanaan politik anggaran,jika potensi sumber pembiayaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Batam ternyata belum cukup untuk membiayai pelaksanaan dan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua dimaksud, menurut hemat penulis pihak Pemerintah Kota Batam harus melibatkan secara aktif peranan dari Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) untuk mendapatkan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dari Kementerian Agraria Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Dalam pada itu tatanan peraturan perundangundangan yang berkenaan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua
sebagaimana dimaksud juga harus dilaksanakan oleh pihak eksekutif tentunya dalam hal ini pihak Pemerintah Kota Batam dan semua pihak yang terlibat dan sudah dijelaskan pada bagian di atas menurut hemat peneliti semua rumusan norma hukum yang termaktub di dalam undangundang dimaksud harus dilaksanakan dalam perspektif pelaksanaan hukum Administrasi Negara. Hal dimaksud memberikan makna secara epistimologis dan aksiologis bahwa peraturan perundang-undangan dimaksud harus memberikan penguatan terhadap hukum itu sendiri, yang akan menjadi alat untuk dan kepentingan bagi Negara yaitu guna melaksanakan segala bentuk sistem pemerintahan sekaligus dalam hal melaksanakan Administerasi Negara terutama dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut. Sejalan dengan uraian di atas dalam perspektif ilmu hukum administrasi Negara adalah pengetahuan tentang hukum administrasi Negara dengan sifat yang eksplisit, yang diperoleh melalui metode keilmuan hukum Administrasi Negara tertentu, tersusun secara logis dan sistematis serta koheren dalam suatu sistematika keilmuan hukum administrasi negara tertentu, kebenaranya teruji secara empirik dan sebagai sumber pengetahuan hukum Administrasi Negara berfungsi memberi penjelasan eksistensi dari hukum Administrasi Negara dan problematikanya sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia sesuai kepentingan dan tujuannya. Berkenaan dengan uraian ini maka unsurterpenting yang dimaksudkan terutama terkait dengan pengaturan hukum di bidang pendaftaran tanah yang menjadi postulat dan/atau dasar pelaksanaannya dilapangan harus dilaksanakan secara konsisten, fokus dan berkelanjutan oleh pihak Pemerintah Kota Batam berserta pihak lain yang terkait yaitu dalam rangka menjawab problematika seluruh masyarakat di Kampung Tua yang selama ini pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat tanah (tanda bukti hak) yang sampai saat ini belum tuntas dilaksanakan secara konkrit di lapangan. Dalam pada itu untuk selanjutnya dapat dijelaskan terutama dari aspek pendekatan ilmu hukum sesungguhnya permasalahan yang berkenaan dengan efektivitas dan efisiensi atas tersumbatnya pelaksanaan pendaftaran tanah di 13
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
wilayah Kampung Tua sebagaimana dimaksud dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, untuk hal ini sesungguhnya merupakan permasalahan yang harus didekati dengan menggunakan tindakan konkrit, sehingga penyelesaiannya harus diselesaikan dengan menggunakan disiplin ilmu yang dijadikan objek guna mendapatkan penyelasaian secara komprehensif baik itu dalam perspektif hukum Administrasi Negara dan Ilmu Ekonomi yaitu dalam rangka mewujudkan rasa kebahagiaan dan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah Kampung Tua tersebut. Relevan dengan hal ini ilmuan hukum administrasi negara yang baik seharusnya mengetahui batas kekuatan pengetahuan keilmuannya dalam mengatasi permasalahan hukum Administarasi Negara. Contoh faktual berkenaan dengan hal ini seharusnya pihak Pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang terkait secara psikologis harus memahami kemauan dan keinginan yang mendesak dari masyarakat Kampung Tua untuk segera dilakukannya kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) guna memberikan jaminan kepastian hukum dan rasa kebahagiaan serta dalam rangka mempercepat terwujudnya tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah Kampung Tua. Pada bagian ini untuk selanjutnya dijelaskan berkenaan dengan eksistensi hukum atas keberadaan peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah khususnya di wilayah Kampung Tua tersebut yang diintegrasikan dengan peranan hukum ekonomi dalam pembangunan. Menurut pendapat penulis pelaksanaan pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat hak atas tanah di wilayah Kampung Tua dimaksud secara eksplisit mempunyai korelasi dengan peranan hukum ekonomi. Hal ini dimaksudkan dengan dilaksanakannya kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud secara aksiologis akan memberikan kontribusi kepada peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kampung Tua, tentu hal ini mempunyai kaitan dalam aspek ekonomi dalam kehidupan masyarakat Kampung Tua. Berkenaan dengan hal dimaksud dalam pendekatan ilmu hukum dapat dijelaskan bahwa sampai sekarang belum ada kesepahaman pendapat para ahli hukum yang memberikan
defenisi tentang hukum. Perbedaan itu terjadi karena disebabkan para ahli hukum dalam memberikan defenisi tentang hukum bergerak dari sudut pandang yang berlainan dan titik serta substansi analisis yang berbeda. Persepsi kebanyakan orang tentang hukum itu beraneka ragam coraknya, tergantung dari sudut mana mereka memberikan pandangan, sebagai contoh seorang hakim memandang hukum itu sesuai dengan profesi yang diembannya, disisi lain kalangan ilmuan memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya, sedangkan bagi kebanyakan rakyat dari lapisan rakyat kecil memandang hukum itu dari sudut pandang apa yang mereka lakukan sehari-hari yang sudah merupakan adat dan kebiasaan-kebiasaan. Relevan dengan hal dimaksud, menurut pendapat penulis untuk terwujudnya percepatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, seharusnya segera dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam dengan mengikut sertakan secara aktif pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) terutama dalam persfektif pelaksanaan kebijakan politik hukum Free Trade Zone (FTZ) dimana pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dalam hal ini sebagai pemegang Hak Pengelolaan tanah di wilayah Kota Batam termasuk wilayah Kampung Tua, dan Juga mengikutkan secara aktif pihak Kantor Pertanahan Kota Batam sebagai instansi tunggal yang mempunyai kewenangan menerbitkan sertipikat (tanda bukti hak), yang pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud harus dilakukan dengan mengedepankan peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah dan sekaligus memberikan penguatan dalam pelaksanaannya yang memberikan porsi dominan terhadap hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan pranata sosial masyarakat di Kampung Tua dimaksud. Pada sisi lain analisis yang berkenaan dengan pengaturan hukum di bidang pendaftaran tanah khususnya dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, utamanya di Kelurahan Batu Besar juga mengandung makna hal itu dalam rangka mewujudkan prinsip dan ciri negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Berkenaan dengan hal ini, jika dianalisissecara paradigmatik filosofis dalam konstitusi ini, bahwa dasar hukum pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut terutama dalam pendekatan hukum positif sesungguhnya juga telah diatur dan ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2). Norma hukum yang dikonstruksikan dalam Pasal 1 ayat (2) ini, sejatinya negara ingin meneguhkan prinsip-prinsip paham kedaulatan rakyat. Dalam pada itu untuk selanjutnya dasar hukum positif pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut juga dapat diperhatikansebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) yang secara konkrit telah memformulasikan norma hukum yang tegas yaitu Indonesia adalah negara hukum. Norma hukum ini tentu sangat memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam pendekatan paradigmatik konstitusional (constitutional of paradigm) dengan pelaksanaan pendaftaran tanah68 itu sendiri. Hal ini lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa aspek kepastian hukum tersebut sesungguhnya telah memberikan suasana kententeraman dan kebahagiaan bagi masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dimaksud. Jika hal ini terjadi sesungguhnya grand theory sebagaimana diketengahkan oleh Jeremy Bentham, bahwa atas diterapkannya suatu produk peraturan perudang-undangan seharusnya dapat memberikan jaminan rasa kebahagian bagi masyarakat (utilitarianisme)69 sudah terlaksana. Dalam aspek yang lebih fundamental bahwa terhadap pemberlakuan pengaturan hukum di bidang pendaftaran tanah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta produk peraturan perundangundangan lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan substansi pendaftaran tanah di Indonesia, sesungguhnya norma hukum yang telah dikonstatir dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan itu juga dalam rangka ingin meneguhkan terwujudnya paham kedaulatan rakyat dan sekaligus guna mewujudkan rasa kebahagian bagi seluruh rakyat. Menurut hemat penulis untuk menegakan dan sekaligus meneguhkan paham kedaulatan rakyat tersebut, sejatinya Negara/Pemerintah harus melakukan langkah dan kebijakan publik yang proaktif dan agresif untuk melakukan pelayanan publik satu diantaranya adalah melakukan kegiatan
pendaftaran tanah khususnya di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, karena di daerah ini sebagian besar status dan keberadaan hak atas tanah masyarakat masih berstatus tanah negara dan atau tanah yang belum memiliki sertipikat (tanda bukti hak). Perlu dijelaskan dari hasil verifikasi di lapangan masyarakat yang tinggal dan terdapat di Kampung Tua ini telah bermukim turun-temurun yang sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 1938,70 yaitu sejak pertama kali suku masyarakat Bugisdari Provinsi Sulawesi Selatan sebagai masyarakat yang berjiwa pelaut merantau sekaligus berjuang untuk membangun wilayah permukiman baru yang tersebar sebagian besar di wilayah Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya saat ini warga masyarakat keturunan Bugis dimaksud menetap dan bermukim serta bertempat tinggal permanen di wilayah Kelurahan Batu Besar yang disebut sebagai bagian yang dominan dari masyarakat Kampung Tua. Memperhatikan kondisi faktual di lapangan bahwa kenyataannya sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di Kampung Tua tersebut, sampai saat ini hak atas tanahnya belum memiliki sertipikat. Menurut hemat penulis karena masyarakat tersebut adalah sebagai Warga Negera Indonesia yang sah dan telah menunaikan segala bentuk hak dan kewajibannya sebagai warga negara seharusnya dengan makna kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia, untuk itu Negara/Pemerintah harus segera hadir secara proaktif dan progresif untuk melakukan kegiatan pendaftaran tanah atas seluruh satuan bidang tanah hak milik masyarakat di Kampung Tua tersebut guna dan untuk secepatnya melakukan kegiatan pendaftaran tanah dengan menerbitkan sertipikat (tanda bukti hak), agar seluruh warga dan masyarakat yang tinggal di Kampung Tua tersebut memperoleh kepastian hukum sekaligus rasa kebahagiaan terhadap hak atas tanah yang dimilikinya. Pada sisi lain, tindakan pemerintah untuk melakukan percepatan pendaftaran hak atas tanah guna penerbitan sertipikat sebagaimana dimaksud sesungguhnya akan memberikan manfaat secara konkrit kepada masyarakat utamanya yang berhubungan dengan aspek ekonomi, karena hak atas tanah yang telah 15
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
bersertipikat tentu mempunyai nilai yang tinggi sebagai kolateral dan/atau jaminan yang dapat diagunkan kepada bank pemberi kredit untuk dan guna mendapatkan pinjaman kredit modal kerja, yang sudah tentu hal ini sekaligus akan meningkatkan kehidupan perekonomian rakyat di wilayah Kampung Tua tersebut, yaitu dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidupnya dan sekaligus hal ini akan melahirkan suatu rasa kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berada di Kampung Tua dimaksud (utilitarianisme). Pada bagian lain dapat pula dijelaskan bahwa yang merupakan bagian penting berkenaan dengan pengaturan hukum khususnya mengenai pendafataran tanah di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kelurahan Batu Besar, Kota Batam, pemerintah beserta pihak lainnya harus secara sinergis memperhatikan beberapa amanat dan perintah, antara lain: UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) khususnya mengenai peneguhan paham kedaulatan rakyat dan Pasal 18B mengenai peneguhan dan pengakuan masyarakat adat khususnya yang berkenaan dengan pengakuan masyarakat adat terkait dengan hak kepemilikan tanah masyarakat adat dan undang-undang lainnya yang secara substansial berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud, yang secara khusus akan diintegrasikan pula dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.71 Berkenaan dengan hal dimaksud, terutama dalam pendekatan praktis operasional untuk melaksanakan pendaftaran tanah tersebut, untuk tahap awal Pemerintah Kota Batam harus segera menuntaskan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penataan Ruang, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang. Perintah dan amanat undang-undang ini pada prinsipnya dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah bahwa Pemerintah Kota Batam harus sesegera mungkin menerbitkan Peraturan Daerah mengenai Tata Ruang, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Prinsip yang harus dikedepankan dalam menetapkan substansinorma hukum, dalam Perda Tata Ruang72 ini, para pembuat undang-undang harus mengutamakan pendekatan sistem secara komprehensif dengan memperhatikan semua aspek dan bidang kehidupan masyarakat terutama terhadap masyarakat yang tinggal dan bermukim di wilayah Kampung Tua tersebut. Dengan kata lain Perda Tata Ruang dimaksud harus mampu mengakselerasi seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat tersebut utamanya untuk mendapatkan suatu perlindungan dari negara dari aspek keberlangsungan kemampuan fungsi lingkungan hidup73 untuk dan guna mendapatkan suatu tatanan tata permukiman dan perumahan yang asri dan sehat untuk mewujudkan rasa kebahagiaan yang sesungguhnya. Pada sisi lain, pengaturan hukum yang perlu disinergikan dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua tersebut, seharusnya pemerintah segera menuntaskan koordinasi teknis yang progresif dengan Kementerian Kehutanan berkenaan dengan penataan kawasan hutan lindung, dan sejalan dengan itu Pemerintah Kota Batam juga harus melakukan koordinasi teknis yang terkoordinatif dengan pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), guna mendukung pelaksanaan kebijakan politik hukumFree Trade Zone (FTZ) sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi UndangUndang. Lebih lanjut dapat dijelaskan masih berhubungan dengan persoalan mengenai peraturan hukum untuk pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua tersebut Pemerintah Kota Batam harus segera melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam hal melakukan tindakan pengukuran secara fisik terhadap masing-masing satuan bidang tanah yang dimiliki masyarakat terutama dalam konteks penetapan tanda batas dan ukuran yang jelas dalam hal penerbitan Surat Pemberitahuan 16
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Pajak Terhutang (SPPT PBB). Tindakan ini menurut hemat penulis sangat penting dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam yaitu dalam rangka memenuhi perintah dan amanat UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam rezim undang-undang ini kepada pemerintah Kabupaten/Kota tentu dalam hal ini kepada Pemerintah Kota Batam sudah memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan pendataan, dan sekaligus pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan secara sentralistik untuk dan demi kepentingan Pemerintah Kota Batam. Dalam pada itu upaya untuk penerbitan SPPT PBB dimaksud menurut hemat penulis juga sangat penting dalam pendekatan praktis operasional bagi masyarakat di Kampung Tua, karena salah satu persyaratan yang harus dilengkapi oleh pemohon untuk mendapatkan sertipikat atas hak tanahnya harus melengkapi salah satu persyaratan, diantaranya harus melengkapi SPPT PBB dan dokumen SPPT PBB dimaksud untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang wajib dibayar pemohon ketika melakukan pendaftaran hak atas tanah dimaksud yang penetapan besarnya biaya BPHTB tersebut wajib disetorkan kepada kas negara sebelum diterbitkannya surat keputusan pemberian hak atas satuan bidang tanah yang dimohonkan sertipikatnya oleh masyarakat di Kampung Tua tersebut. Untuk selanjutnya pada bagian ini dijelaskan pula berkenaan dengan pengaturan hukum mengenai pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Pemerintah Kota Batam harus melakukan langkah koordinasi yang progresif terutama dengan pihak Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam, guna melaksanakan amanat dan perintah sebagaimana yang telah diatur dan ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Artinya, untuk mendapatkan hasil yang konkrit dari tindakan koordinasi ini seharusnya Pemerintah Kota Batam membentuk satu tim kerja khusus yang terpadu, yaitu antara Pemerintah Kota Batam, Kantor Pertanahan Kota Batam dan pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) serta Kantor Dinas Kehutanan.
Salah satu tugas pokok dan fungsi yang harus dikerjakan oleh tim kerja terpadu tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus mampu melahirkan suatu peta bidang padu serasi khususnya di zona dan area wilayah Kampung Tua yang memberikan penjelasan secara komprehensif tentang alokasi peruntukan dan sekaligus memberikan perlindungan tentang keberadaan wilayah Kampung Tua yang ditetapkan sebagai daerah permukiman dan tempat tinggal warga masyarakat secara permanen dan berkelanjutan. Di dalam peta bidang tanah padu serasi74 tersebut juga harus melibatkan secara aktif dari seluruh perwakilan warga masyarakat Kampung Tua untuk memberikan persetujuan atas satuan bidang tanah yang ditetapkan dalam peta bidang tersebut. Menurut pendapat penulis berdasarkan peta bidang tanah padu serasi yang telah disepakati bersama sebagaimana dimaksud, agar memperoleh legitimasi secara hukum harus ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah Kota Batam. Memperhatikan analisis di atas agar supaya pengaturan hukum di bidang pendaftaran tanah tersebut dapat dilaksanakan guna mewujudkan fungsi hukum, maka menurut hemat penulis semua pemangku kepentingan tentu dalam hal ini Pemerintah Kota Batam dan semua pihak terkait haruslah menerapkan dari beberapa teori yang telah dikonstruksikan oleh penulis dalam jurnal ini, yaitu dengan menerapkan teori Jeremy Bentham sebagai grand theory, teori W. Friedmann sebagai middle theory, dan teori Friedrich Karl von Savigny sebagai teori aplikasi (aplied theory). Implementasi Pendaftaran Tanah Secara praktis operasional bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam dalam pendekatan epistimologis dan aksiologis memang selama ini ditunggu kehadirannya oleh masyarakat. Tindakan konkrit dari Pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang terkait dalam hal pelaksanaan pendaftaran itu, berdasarkan hasil verifikasi penulis di lapangan sampai saat ini belum juga dilaksanakan, karena secara fokus dan berkelanjutan yang disebabkan adanya berbagai faktor yang menjadi penghambatnya sebagaimana lebih rinci akan 17
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
dijelaskan penulis dalam bagian dan/atau substansi faktor kendala di bawah ini. Relevan dengan tindakan konkrit yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam berkenaan dengan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada bagian awal dalam substansi ini, untuk selanjutnya akan dijelaskan beberapa hal pokok mengenai kiat dan strateginya, yang sudah tentu dalam penjelasannya akan menggunakan pendekatan sistem dan pendekatan secara teoretis dan konseptual serta harus disesuaikan pula dengan situasi dan kondisi perkembangan hukum terutama yang berhubungan dengan implementasi atas pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud. Berkenaan dengan hal dimaksud bahwa perkembangan hukum di Indonesia, sangat terasa berbeda dengan perkembangan ekonomi dan politik secara faktual di lapangan. Dalam hal ini dimaksudkan sejak kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum sangat terbelakang jika dibandingkan dengan kedua bidang tersebut yaitu di bidang ekonomi dan politik. Situasi dan kondisi ini terjadi, karena sejak awal kemerdekaan sampai dengan tahun pertama dan tahun kelima, pada saat itu keadaan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia masih penuh diwarnai dengan gejolak dan/atau guncangan kehidupan dalam ranah politik baik hal itu yang terjadi di dalam maupun di luar Negeri. Secara kasat mata pada saat itu dapat disaksikan bersama, situasi dunia perpolitikan di dalam negeri secara empiris sedemikian banyak bermunculan partai politik, dan keadaan ini tidak berlangsung lama, karena dalam masa kepemimpinan dibawah rezim orde baru partai politik yang banyak tersebut diamputasi satupersatu dan dikonsolidasikan manjadi tiga partai di bawah kendali sistem pemerintahan yang sangat otoriter dan pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi yang semu, tidak transparan dan tidak akuntabel. Dalam implementasi kehidupan perpolitikan terutama dalam konteks melaksanakan sistem dan manajemen kehidupan bangsa, bahwa keberadaan politik sepenuhnya menjadi panglima dan raja, demikianlah secara faktual hasil pengamatan dan verifikasi dari para ahli hukum Tata Negara yang menyaksikan peta,
keadaan dan situasi kehidupan perpolitikan dalam ranah sistem dan manajemen kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang melanda semua sendi-sendi kehidupan bangsa dalam sistem pembangunan nasional baik itu dalam bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan Nasional (Ipoleksosbud Hankamnas). Dalam konteks ini bahwa perekonomian dan perpolitikan menjadi rujukan dan sekaligus tolok ukur terhadap kemajuan peradaban bangsa dan negara Indonesia jika dibandingkan dengan hukum, kenyataannya pada saat itu keberadaan hukum hanya dijadikan tameng dan/atau topeng yang hanya diperlakukan sebatas alat politik semata oleh penguasa. Iklim dan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara pelaksanaan demokrasi hanya dilaksanakan untuk memenuhi aspek prosedural, dan meninggalkan substansi penting atas hakikat demokrasi itu sendiri yaitu untuk meneguhkan tegaknya prinsip transparansi, bertanggung jawab dan akuntabel dalam melaksanakan amanat dan kepercayaan atas mandat yang telah diberikan oleh seluruh rakyat kepada pemimpinnya. Berdasarkan uraian di atas, memang secara empiris perkembangan hukum di Indonesia jika diperbandingkan dengan perkembangan politik dan ekonomi sangatlah ketinggalan dalam konteks pelaksanaan sistem dan manajemen pemerintahan dalam ranah melaksanakan sistem pembangunan nasional di negara ini. Menurut pendapat penulis situasi dan keadaan ini harus menjadi pelajaran berharga bagi anak bangsa dalam rangka mempertanggung jawabkan hakikat kemerdekaan, karena salah satu esensi yang paling hakiki dari sebuah kemerdekaan itu sesungguhnya dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap tegaknya pelaksanaan hak asasi manusia dan sekaligus makna kemerdekaan itu sejatinya diabdikan negara untuk dan demi melindungi manusia dan kemanusiaan dari semua aspek kehidupannya baik sabagi rakyat, masyakrakat dan bangsa dalamwadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini penulis berbendapat bahwa unjuk kerja negara dalam memberikan pelayanan publik yaitu ditujukan kepada Pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang terkait, berupa bentuk konkrit atas dilaksanakannya kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, 18
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Kecamatan Nongsa, Kota Batam terutama terhadap satuan bidang tanah milik komunal masyakarat di wilayah Kampung Tua itu dalam kesempatan pertama harus dilaksanakan fokus dan berkelanjutan, semuanya itu harus dipersembahkan untuk kepentingan masyarakat Kampung Tua, yaitu dalam rangka memberikan jaminan dan sekaligus perlindungan untuk tetap tegaknya hak asasi manusia dan sekaligus hal itu akan memberikan kontribusi yang konkrit untuk memberikan hak perlindungan demi manusia dan kemanusiaan khususnya untuk saudara-saudara kita masyarakat di wilayah Kampung Tua, yang salah satu sasaran akhir atas terlaksananya pendaftaran tanah itu untuk penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) hal itu sekaligus akan mampu memberikan makna kepastian hukum bagi pemegang haknya, dan sekaligus hal itu juga dapat mewujudkan rasa kebahagiaan bagi masyarakat Kampung Tua, serta keadaan ini akan mampu memberikan kontribusi konkrit untuk mewujudkan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah Kampung Tua itu sendiri. Relevan dengan hal yang telah dikemukan penulis dalam paragrap awal dalam substansi ini, maka untuk selanjutnya akan dijelaskan mengenai format, bentuk dan konstruksi khusus yang berkaitan dengan cara, kiat dan strategi guna melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) terhadap satuan bidang tanah komunal milik masyarakat di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa Kota Batam. Hal ini dimaksudkan penulis bahwa pihak Pemerintah Kota Batam, pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), pihak Kantor Pertanahan Kota Batam terutama dalam hal melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua tersebut haruslah mampu merumuskan kesepakatan bersama berupa Standar Operasional Prosedur (SOP) yang disepakati bersama, yang untuk selanjutnya SOP dimaksud dijadikan dasar dan/atau pedoman dalam pelaksanannya. Dalam SOP dimaksud harus dirumuskan norma hukum yang konkrit dengan merujuk kepada semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pendaftaran tanah, utamanya terhadap semua produk peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan penulis pada bagian
sebelumnya yang terangkum dalam data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengaturan hukum konkrit sebagaimana yang dirumuskan dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) tersebut, agar dalam melaksanakan seluruh rangkaian proses pendaftaran hak atas tanah di wilayah Kampung Tua itu lancer dan berhasil, menurut hemat penulis harus disepakati lebih dahulu mengenai kiat, dan strateginya. Salah satu kiat dan strategi yang ditawarkan penulis untuk implementasi dan pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah di wilayah Kampung Tua itu adalah dengan menerapkan pendapat Romli Atmasasmita yaitu Teori Hukum Integratif.75 Menurut pendapat penulis Teori Hukum Integratif ini sangat tepat untuk dilaksanakan, yang keberadaannya diharapkan akan menjadi alat penganyam dan/atau penyambung dari teori Jeremy Bentham yang diposisikan penulis sebagai grand theory, teori W.Friedmann sebagai middle theory dan teori Friedrich Karl von Savigny sebagai aplied theory. Berkenaan dengan hal ini, lebih lanjut penulis memberikan pendapat bahwa dalam implementasinya untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua dimaksud sangatlah tepat jika para pihak yang terlibat di lapangan juga sekaligus menerapkan Teori Pembangunan Hukumoleh Mochtar Kusumaatmadja dan dengan mengedepankan kiat dan strategi yang bergerak dari satu postulat dasaryaitu revolusi moral dan mental yang berintegritas untuk memberikan perlindungan dan sekaligus jaminan terhadap kerisauan dan kegelisahan hati masyarakat khususnya di wilayah Kampung Tua, karena selama ini hak atas tanah komunalnya belum dilakukan pendaftaran hak atas tanah oleh Pemerintah Kota Batam guna mendapatkan sertipikat (tanda bukti hak) atas tanah demi terwujudnya rasa kebahagian, kepastian hukum dan peningkatan kesejahteraan kehidupan ekonomi dan sosialnya. Konstruksi teori hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar itu dalam perspektif teori hukum, sesungguhnya memantulkan dan sekaligus mencerminkan suatu pemikiran tentang hukum itu sendiri, yang memuat sendisendi fundamentum sebagai berikut: Pertama, hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat, berbeda dengan 19
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
pemikiran Savigny, bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum dimaksud sejalan dengan pandangan aliran sociological jurisprudence, yaitu satu-satunya cerminan perkembangan masyarakat hanya terdapat pada putusan pengadilan dengan asumsi bahwa putusan pengadilan selalu mengandung nilai-nilai kebenaran yang diakui masyarakat di mana hukum itu hidup dan berkembang. Kedua, Mochtar menambahkan karena alasan historis sistem hukum di Indonesia bahwa perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangan masyarakat juga dapat diciptakan melalui pembentukan perundangundangan, tidak hanya putusan pengadilan. Masalah kursial dalam sistem hukum Indonesia yang mengutamakan undang-undang sebagai sumber hukum daripada yurisprudensi adalah setiap produk undang-undang merupakan produk politik yang tidak terlepas dari kepentingan pengaruh kekuasaan. Atas dasar alasan tersebut, maka John Rawls, menengahi perbedaan sudut padang ini dengan menegaskan bahwa keadilan yang diciptakan oleh hukum itu harus dilandaskan pada nilai-nilai yang “fair”. Konsep keadilan (hukum) dari Rawls dilatarbelakangi oleh paham liberalisme yang memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami jika keadilan itu merupakan konsep politik. Keadilan sebagai konsep politik hanya dapat dibenarkan dengan nilai-nilai politik (political values) dan bukan dilihat dari doktrin moral, agama dan filosofi. Ketiga, Mochtar mengemukakan hukum sebagai sarana dalam pembangunan bukan alat (tools) agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur; hukum sedemikian itu hanya dapat berfungsi jika hukum itu sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pandangan tersebut dalam kenyataan tidak selalu demikian karena barbagai kepentingan partai politik di DPR-RI masih sangat kuat dibandingkan dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat luas. Atas dasar kenyataan ini, maka hukum dalam arti yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan menjadi sangat penting dan strategis dalam memfungsikan hukum sebagai sarana pembangunan (pembaharuan masyarakat). Seharusnya sistem hukum Indonesia dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan yurisprudensi termasuk ke dalam hirarki perundang-undangan. Keempat, bahwa kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan, melainkan harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat. Teori Hukum Pembangunan (Nasional) menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak meninggalkan sepenuhnya pandangan aliran analytical jurisprudence, bahkan “merangkul” aliran “analytical jurisprudence”, aliran “sociological jurisprudence” dalam aliran “pragmatic legal realism”. Bertolak dari ketiga aliran teori hukum tersebut, penerapan Teori Hukum Pembangunan dalam praktik hanya dapat dilakukan melalui cara pembentukan perundang-undangan atau melalui keputusan pengadilan atau melalui kedua-duanya. Berkenaan dengan hal itu, untuk selanjutnya Pound telah mengemukakan ada dua belas makna hukum yang dijelaskannya, yaitu sebagai berikut: hukum Hamurabi; hukum tradisonal yang dilandaskan pada tradisi tua; hukum sebagai kitab tentang kebijakan manusia; hukum sebagai filosofi yang mengungkapkan sistem prinsip-prinsip tentang hal yang bersifat alamiah; hukum sebagai suatu keyakinan dan pernyataan tentang ketentuan moral yang abadi dan tidak tergoyahkan; hukum sebagai tanda kesepakatan dari manusia yang terorganisasi secara politis; hukum sebagai refleksi keabadian yang mengatur alam semesta suatu refleksi dari “yang seharusnya” dan ditujukan kepada umat manusia; hukum sebagai perintah dari penguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik; konsep hukum sebagai suatu sistem yang dihasilkan dari pengalaman manusia di mana manusia memiliki kemerdekaan penuh untuk menyampaikan ide dan gagasannya; hukum sebagai sistem dari asas-asas ditemukan melalui filosofi dan dikembangkan dalam tulisan para ahli hukum dan putusan pengadilan; hukum sebagai perangkat sistem norma yang diberlakukan terhadap manusia dalam masyarakat oleh kelas masyarakat yang berkuasa untuk kepentingan kelas yang sama; dan hukum dibuat sebagai jawaban atas tuntutan hukum ekonomi dan 20
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
hukum sosial yang menghargai seseorang dalam masyarakatnya. Masih berkaitan dengan hal yang di atas, lebih lanjut dijelaskan Mochtar bahwa konstruksi makna hukum yang terakhir adalah merupakan acuan Pound dalam menyikapi bagaimana fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat. Pound telah dipengaruhi aliran instrumentalisme hukum dan menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim adalah tekanan sosial (social pressures), faktor politik (political factor) atau tekanan ekonomi. Pendekatan instrumentalis dari Pound tampak ketika ia mempertahankan pendapatnya bahwa ilmu-ilmu sosial merupakan ilmu yang membantu perkembangan hukum. Melalui pernyataan ini, Pound menegaskan bahwa tugas hukum (law’s task) adalah “social engineering”. Pandangan Pound tentang hukum sebagai “social engineering” (pembaharuan masyarakat, Mochtar), dilandaskan instrumentalisme hukum yang mengemukakan pandangan organistik dengan ide sebagai berikut: Hukum memuat dalam dirinya sumber doktrinal dalam bentuk nilai-nilai dan asas-asas yang memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum; Hukum merupakan momentum perubahan secara alamiah selalu dalam keadaan berkembang (bersifat dinamis tidak statis); Perkembangan hukum merupakan perubahan yang teratur dalam suatu sistem hukum untuk menghadapi tuntutan manusia melalui penasehat hukum dan hakim; dan Tugas hukum adalah memelihara dan menjaga agar proses perkembangan hukum teratur dan bekerja secara bebas. Perkembangan pandangan “sociological jurisprudence” dengan merujuk pada pandangan Pound tentang konsep hukum dan fungsi hukum, sekalipun ditujukan terhadap keperluan reformasi sistem peradilan di Amerika Serikat, ternyata Mochtar dengan tepat menggunakan pendekatan tersebut di dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia. Hasil rekayasa pemikiran Pound oleh Mochtar kemudian diberi nama “teori pembangunan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat”. Di sisi lain, Teori Hukum Pembangunan yang telah dinyatakan sebagai Kebijakan Hukum dalam Pembangunan Nasional (GBHN Bab 27 Tahun 1973) ketika itu belum termasuk mempertimbangkan sistem politik, sistem
birokrasi dan prinsip-prinsip “good governance” yang tidak sebesar saat ini gaungnya dalam birokrasi. Kenyataan yang terjadi dalam praktik pembangunan hukum (pembentukan hukum dan penegakan hukum) sejak awal Orde Baru sampai saat ini (Orde Reformasi), bahwa perkembangan masyarakat Indonesia belum selesai menjalani masa transisi, yaitu transisi sistem politik otoritarian kepada sistem demokrasi; dari sistem yang berpola pada “patron-client relationship” kepada sistem hukum yang terbebas dari intervensi kekuasaan dan kepentingan kelompok; dari sistem sosial ekonomi yang mementingkan nepotisme dan kolusi kepada sistem ekonomi pasar, profesionalisme, dan berpihak pada kerakyatan. Keadaan sosial, ekonomi, politik dan hukum yang berada di persimpangan jalan ini “dipengaruhi” oleh suasana perkembangan internasional di hampir seluruh bidang kehidupan yang meneguhkan bahwa globalisasi abad ke-21 bukan lagi semata-mata sebagai proses atau sebagai suatu sistem yang harus dijalankan, melainkan telah dikukuhkan sebagai suatu ideologi masyarakat internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukan ke dalam sistem hukum; Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu; dan Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law a process, law in the making). Beranjak atas kedua pemikiran yang sudah merupakan teori hukum, baik itu yang dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja terkenal dengan Teori Hukum Pembangunan, dan oleh Satjipto Rahardjo terkenal dengan Teori Hukum Progresif, untuk selanjutnya Romli Atmasasmita memperkenalkan suatu pemikiran yang brilian dan konstruktif dengan mengetengahkan Teori Hukum Integratif. Atas kedua konstruksi teori hukum dimaksud, Romli Atmasasmita memberikan konklusi dan/atau kesimpulan bahwa jika hukum menurut Mochtar adalah merupakan sistem norma (system of 21
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
norms), sedangkan menurut Satjipto Rahardjo hukum sebagai sistem perilaku(system of behavior) dan dalam hal ini kemudian Romli Atmasasmita memberikan konstruksi pemikirannya yaitu kedua teori hukum dimaksud dilengkapi yang beliau menyebutkan bahwa hukum dapat diartikan dan seharusnya juga diartikan sebagai sistem nilai (system of values). Untuk selanjutnya Romli Atmasasmita mengatakan bahwa ketiga konstruksi teori hukum dimaksud, terutama dalam perspektif hakikat hukum, disimpulkannya dalam satu wadah pemikiran, yang disebutkannya dengan istilah “tripartie character of the Indonesian legal theory of social and Bureucratic Engineering (SBE)”. Berkenaan dengan hal ini Romli Atmasasmita menegaskan bahwa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan Ideologi bangsa Indonesia, itulah yang dinamakan oleh Romli Atamasasmita sebagai “Teori Hukum Integratif”. Dalam bagian ini Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa kinerja BSE dengan ketiga karakter tersebut di atas dapat dijelaskannya bahwa setiap langkah pemerintah dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum merupakan kebijakan berlandaskan sistem norma dan logika berupa asas dan kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum harus dapat diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita membangun negara hukum yang demokratis. Negara hukum demokratis dapat terbentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human right), dan akses masyarakat memperoleh keadilan (access to justice). Dalam konteks Indonesia, ketiga pilar tersebut harus diikat oleh Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan hukum pada masyarakat dan birokrasi sehingga bersama-sama mewujudkan sistem birokrasi yang bersih dan bebas KKN. Lebih lanjut dijelaskan oleh Romli Atmasasmita terutama dalam aspek pandangan
hukum. Pandangan Teori Hukum Integratif berbeda pandangan dengan Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, karena Teori Hukum Integratif tidak hanya menjadi landasan pengkajian masalah pembangunan nasional dalam konteks “inward looking”, melainkan juga dalam konteks pengaruh hubungan internasional ke dalam sistem kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan dalam praktik hubungan internasional di tengah era globalisasi sering terjadi bahwa negara berkembang termasuk Indonesia telah menjadi “korban” dari sikap negara maju yang bersifat hipokrit dan lebih mementingkan kepentingan nasionalnya dari kepentingan kemajuan bersama bangsa-bangsa negara berkembang untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan bernegara yang seimbang, berkeadilan dan berkemakmuran secara bersama. Berdasarkan dan sekaligus merujuk kepada ketiga konstruksi pemikiran dan teori hukum yang telah dijelaskan penulis pada bagian di atas, maka sebagai topik sentral yang dianalisis dalam bagian ini maka hal-hal yang berkenaan untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam seharusnya pihak Pemerintah Kota Batam dan semua pihak dan/atau lembaga yang terkait dalam konteks melaksanakan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua dimaksud secara konsisten, fokus dan berkelanjutan melaksanakan secara utuh dan bertanggung jawab semua produk peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah guna menerbitkan sertipikat (tanda bukti hak), demi manusia dan kemanusiaan khususnya bagi saudara-saudara kita masyarakat Kampung Tua dimaksud. Menurut pendapat penulis, agar dalam mengimplementasikan seluruh produk peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah dimaksud, kepada aparatur negara sebagai pemegang kekuasaan di ranah birokrasi haruslah tetap mempedomani konstruksi grand theory Jeremy Bentham, middle theory W.Friedmann, dan Karl Friedrich von Savigny sebagai aplied theory dengan sekaligus dengan melakukan penggabungan dan/atau integrasi dengan ketiga teori Mochtar Kusumaatmadja dengan teorinya yaitu Teori Hukum Pembangunan, oleh teori Satjipto Rahardjo dengan teorinya Teori Hukum 22
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Progresif, dan dengan teori Romli Atmasasmita dengan Teori Hukum Integratif. Sejalan dengan hal tersebut di atas hal yang lebih penting seharusnya dilaksanakan oleh aparat birokrasi Pemerintah Kota Batam dan pihak lain terkait dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua itu adalah dengan peneguhan sikap moral, dan metal yang baik, jujur, bersih dan ikhlas untuk melaksanakan segala bentuk peraturan dan perundang-undangan tersebut, yaitu dalam rangka memberikan jaminan dan sekaligus perlindungan terhadap aset dan harta kekayaan masyarakat Kampung Tua, yaitu berupa satuan bidang tanah belum bersertipkat yang selama ini sudah turun-temurun dikuasainya dan hal itu menurut pendapat penulis sebagai harta kekayaan masyakarat Kampung Tua dalam perspektif “karakteristik lokal” yang harus mendapatkan perlindungan secara paripurna oleh negara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut penulis menegaskan, hal dimaksud untuk saat ini bahwa perwujudan perilaku para aparatur negara di jajaran birokrasi yaitu untuk mengedapan dan sekaligus meneguhkan moral, mental yang baik, jujur, bersih dan ikhlas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan publik hal itu tidak dapat ditunda lagi dalam pelaksanaannya secara konkrit di lapangan, karena secara kasat mata perilaku para aparatur negara dalam menunaikan tugasnya sebagai pelayan publik tersebut, secara faktual di lapangan lebih mengutamakan kepada kepentingan pribadi dan/atau golongan, dan bahkan menurut pendapat penulis perilaku birokrasi dimaksud sudah mengarah pada praktik yang sifatnya transaksional. Dari sisi sifat kekhususan yang dimiliki Pemerintah Kota Batam, terutama dalam konteks pelaksanaan prinsip-prinsip sistem dan manajemen pemerintah dalam era otonomi daerah, dimana untuk wilayah Kota Batam juga ditetapkan sebagai daerah Free Trade Zone (FTZ)selain Kabupaten Karimun dan Kabupaten Bintan, dimana keberadaan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat sebagai pemegang tunggal Hak Pengelolaan (HP) untuk hak atas tanah di Wilayah Kota Batam,sekali lagi penulis menegaskan bahwa unjuk kerja dan perilaku dari semua aparatur birokrasi, tentu dalam hal
ini adalah Pemerintah Kota Batam, pihak Badan Pengusahaan (BP Batam), dan pihak Kantor Pertanahan Kota Batam dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam sebagaimana dimaksud harus melakukan gerakan revolusi mental, moral guna melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya dalam melaksanakan pelayanan publik dengan gerakan yang masif untuk menunaikan unjuk kerja yang baik, jujur, bersih dan ikhlas. Sikap mental yang dimaksudkan sekali lagi menurut pendapat penulis harus dipersembahkan aparatur negara sebagai pemegang mandat guna dan untuk melaksanakan semua seluk beluk administrasi negara dalam ranah struktural birokratis untuk memberikan pelayanan publik yang paripurna kepada masyarakat, guna menegakan hukum yang sejati. Dalam perspektif pelaksanaannya menurut pendapat penulis bahwa hukum yang sejati itu juga harus dilaksanakan sesuai dan berdasarkan jiwa rakyat agar hukum itu dapat direspon dan mendapat dukungan sepenuhnya terutama dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) guna mewujudkan tertib sosial dalam kehidupan masyarakat dan sekaligus hal itu dapat mempercepat lahirnya rasa kebahagian masyarakat dan pada akhirnya keadaan itu juga akan memberikan kontribusi konkrit dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Demikian juga halnya dalam konteks pelaksanaan semua produk peraturan perundang-undangan di bidang politik Agraria dan/atau Pertanahan yang lebih khusus lagi semua produk peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah, sekali lagi menurut pendapat penulis kepada Pemerintah Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), dan pihak, Kantor Pertanahan Kota Batam dalam mengimplementasikan semua produk peraturan hukum dimaksud haruslah mengedepankan dan sekaligus mengutamakan pemberian jaminan terhadap berlangsungnya hak komunal terutama atas satuan bidang tanah yang selama ini telah dikuasai secara faktual sebagai tempattinggal dan permukiman masyarakat adat di wilayah Kampung Tua, yang semua proses dan pentahapan pelaksanaan 23
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
kegiatan pendaftaran tanah dimaksud harus dilaksanakan secara fokus, sungguh-sungguh berdasarkan getaran hati dan jiwa rakyat masyarakat adat di wilayah Kampung Tua itu sendiri. Sejalan dengan hal dimaksud lebih dalam von Savigny mengatakan bahwa tugas penting di bidang hukum bukan sibuk membuat aturan ini dan aturan itu.Sebaliknya, yang perlu diingatkan adalah menggali mutiara nilai hukum dalam kandungan kehidupan rakyat. Begitu juga, persoalan utama dalam pengelolaan hukum , bukan membentuk asas atau doktrin secara artifisial. Tetapi menemukan asas dan doktrin dalam nilai-nilai hukum yang hidup. Kita harus mengenal, menemukan, dan memahami nilai-nilai dari hukum sejati itu dalam kancah kehidupan bangsa pemiliknya. Dan untuk memahami nilai-nilai hukum itu, tidak tersedia cara lain kecuali menyelami inti jiwa dari rakyat. Jiwa rakyat itu, bukanlah sesuatu yang dekaden dan statis. Ia merupakan mosaik yang terkonstruksidari proses sejarah, dan akan terus berproses secara historis. Oleh karena itu, perlu kelengkapan metode budaya dan historis. Konstruksi, pemikiran dan teori hukum sebagaimana yang telah dibentangkan oleh von Savigny ituterutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam tersebut seharus dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam dan pihak lain terkait, agar dalam pelaksanaannyalancar, mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat adat di Kampung Tua demi mempercepat selesainya sertipikat (tanda bukti hak) atas satuan bidang tanah masyarakat Kampung Tua yang memang selama ini sebagian besar belum memiliki sertipikat yang seharusnya diterbitkan oleh Negara. Dalam pada itu untuk lebih mempercepat keberhasilannya, seharusnya pihak Pemerintah Kota Batam dan pihak lainyang terkait dalam pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut memadukannya dengan teori sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Talcott Parsons yang terkenal dengan Teori Hukum Mekanisme Integrasi. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu subsistem dalam sistem sosial yang lebihbesar. Di
samping hukum, terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbedabeda. Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik, dan ekonomi. Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu mesti dipertahankan. Sub sistem ini berfungsi mempertahankan pola-pola dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada aturanaturan sebagai aturan main bersama(ruleof the game). Fungsi utama sub-sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik bersangkut-paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya adalah pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan. Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya materil yang dibutuhkan menopang hidup sistem. Tugas sub-sistem ekonomi adalah menjalankan fungsi adaptasi berupa kemampuan menguasai sarana-sarana dan fasilitas untuk kebutuhan sistem. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa posisi dan keberadaan empat sub-sistem itu, selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat, juga serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial. Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub-sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah yang ditugaskan menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga sub-sistem yang lain itu. Inilah yang disebut fungsi integrasi dari hukum dalam teori Parsons. Berkenaan yang dijelaskan di atas, bahwa posisi hukum begitu sentraldi sini. Ia harus mampu “menjinakan” sub-sub sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa salingbertabrakan. Sebab, seperti dikatakan di atas, setiap sub-sistem logika, mekanisme, dan tujuan yang berbeda. Di satu sisi, sub-sistem budaya cenderung konservatif dan setia mempertahankan pola-pola ideal. Pada sisi yang lain, sub-sistem ekonomi sangat dinamis dan cendrung melahirkan terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal budaya. Sedangkan sub-sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan realitas sumberdaya materil itu. Keadaan yang rentan benturan itu, harus ditangani oleh hukum lewat fungsi pengintegrasiannya agar tiap sub24
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
sistem berjalan serasi dan sinergis demi lestarinya sistem. Dapat dimengerti, Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem. Steeman benar, apa yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap aturan main yang normatif. Pola normatif inilah yang mesti dipandang sebagai unsur teras dari sebuah sistem sebagai sebuah struktur yang berintegrasi. Terhadap keberadaan teori Parsons ini lebih lanjut Bredemeier memberikan pendapatnya, bahwa beliau mengatakan fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat. Kedudukannya sebagai suatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlansung dalam masyarakat, menyebabkan hukum harus terbuka menerima masukanmasukan dari bidang ekonomi, politik dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran-keluaran yang produktif dan berdaya guna. Dari sub-sistem politik, hukum butuh dukungan personil, kebijakan, kewenangan, dan kekuasaan yang memadai. Dari sub-sistem ekonomi, hukum butuh sokongan modal, keahlian, sarana, dan prasarana. Sedangkan dari sub-sistem budaya, hukum membutuhkan input nilai, moral, dan kearifan. Masukan dari sub-sub sistem yang lain itu, harus dimanfaatkan dan diolah oleh sub-sistem hukum untuk meningkatkan kemampuan fungsi integrasi. Sumbangan personil dan kewenangan dari subsistem politik, harus dimanfaatkan untuk memperkokoh legitimasi. Sumbangan modal dan sarana dari sub-sistem ekonomi, harus didayagunakan untuk menciptakan organisasi yang efektif dan efisien. Sedangkan sumbangan nilai dan moral dari sub-sistem budaya, harus dimanfaatkan untuk melahirkan keputusankeputusan yang adil dan objektif. Relevan dengan format dan konstruksi dari anyaman teori hukum baik itu yang telah dikemukan oleh von Savigny, Parsons, maupun oleh Bredemeier di atas, maka dalam melaksanakan terhadap seluruh rangkaian proses dan pentahapan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua itu tidak ada kata lain yang dapat disampaikan, melainkan semua bangunan konstruksi teori hukum itu seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang
terkait guna percepatan penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) atas satuan bidang tanah milik dan kepunyaan masyarakat adat di wilayah KampungTua dimaksud.Dalam pendekatan praktis, operasional dan empiris di lapangan bahwa dalam konteks pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dimaksud beberapa hal pokok yang seharusnya segara dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam dan pihak lain terkait, yaitu berupa: Pertama, Pemerintah Kota Batam harus mempunyai iktikad yang baik dan tulus untuk mengakui dan sekaligus memberikan jaminan dan perlindungan terhadap keberadaan komunitas masyarakat adat di wilayah Kampung Tua. Menurut pendapat penulis hal ini sangat penting dilaksanakan secara konkrit dalam suatu tindakan politik hukum yaitu kepada Pemerintah Kota Batam bersama para wakil rakyat pada yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam segera membentuk (law making process) lahirnya Peraturan Daerah tentang pengakuan sekaligus memberikan jaminan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat yang berada di wilayah Kampung Tua. Mengenai tindakan politik ini menurut Parsons menempati salah satu unsur penting dalam memberikan makna dan aktualisasi terhadap hukum dalam perspektif aksiologis, karena dengan diakui dan dilindunginya oleh negara atas keberadaan masyarakat adat dimaksud sekaligus hal itu akan memberikan kontribusi sumbangan yang sangat signifikan terutama untuk memberikan penguatan nilai dan moral yaitu dari sub-sistem budaya, sehingga puncaknya akan memberikan nilai yang baik dan kondusif pada saat pelaksanaan dan/atau penegakan hukum (law enforcement) atas kegiatan pendaftaran tanah tersebut, yaitu dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) terhadap satuan bidang tanah di wilayah KampungTua tersebut. Seiring dengan itu bahwa hal lain berupa dampak yang sifatnya positif juga akanterjadi yaitu di bidang ekonomi. Artinya dengan produk hukum yang seperti itu, maka dalam ranah sub-sistem ekonomi sekaligus akan mampu memberikan sumbangan dan kontribusi yang lebih konkrit untuk memberikan sokongan modal kerja bagi masyarakat Kampung Tua, karena hak atas tanah yang telah memiliki sertipikat apabila dijadikan agunan untuk mendapatkan modal kerja nilai ekonomisnya 25
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan hak atas tanah yang belum memiliki sertipikat(tanda bukti hak). Sedangkan dari aspek politik dengan bentuk hukum seperti itu tentu akan memberikan sumbangan dan kontribusi yang positif bahwa dengan bentuk keluaran produk politik tersebut akan sekaligus mampu membantu dalam rangka percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah KampungTua, karena dalam kenyataannya negara telah bergerak untuk melahirkan produk hukum yang berlandaskan kepada jiwa rakyat (volkgeist). Kedua, Pihak Pemerintah Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam),dan pihak Kantor Pertanahan Kota Batam dalam implementasinya yaitu untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua dimaksud, dalam teknis pelaksanaanya menurut pendapat penulis harus segera melaksanakan teori sebagaimana dikemukakan oleh Parsons yaitu dengan penerapan Teori Hukum Mekanisme Integrasi. Menurut pendapat penulis hal ini sangat tepat untuk dilakukan dalam suasana dan iklim pelaksanaan rezim pemerintahan pada Era Otonomi Daerah, dimana di wilayah administrasi pemerintahan Kota Batam diterapkan suatu kebijakan politik hukum oleh pemerintah bahwa sebagian besar wilayah Kota Batam ditetapkan sebagai salah satu kawasan Free Trade Zone (FTZ) selain Kabupatan Karimun dan Kabupatan Bintan, yang pada kenayataannya sebagian besar hak katas tanah di wilayah Kota Batam diberikan oleh negarasebagai pemegang haknya adalah Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dengan status Hak Pengelolaan (HP). Dengan penerapan teori Parsons dimaksud diharapkan akan tercipta koordinasi yang terintegratif antara pihak Pemerintah Kota Batam di satu sisi dengan pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) di sisi lain, tentu dengan tetap melibatkan koordinasi yang terintegratif dengan pihak instansi dan/atau lembaga yang terkait dalam hal ini adalah pihak Kantor Pertanahan Kota Batam. Hal ini dimaksudkan agar pelaksananan semua rangkaian proses dan pentahapan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua tersebut berjalan lancar dan dapat mempercepat tercapainya maksud dan tujuan yang ditetapkan salah satu diantaranya untuk percepatan penerbitan sertipikat (tanda
bukti hak). Sejalan dengan hal ini, tentu dalam pelaksanaannya semua pihak juga sekaligus menerapkan teori Jeremy Bentham sebagai grand theory, teori W. Friedmann sebagai middle theory, dan teori von Savigny sebagai aplied theory sebagai postulat dan/atau dasar yang digunakan guna menerapkan secara teknis teori hukum Parsons dimaksud. Untuk mengatasi sulitnya tercipta mekanisme integrasi diantara ketiga lembaga dan/atau instansi penting dalam upaya mempercepatan pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua khususnya dan di wilayah Kota Batam pada umumnya, maka melalui mekanisme terintegratif itu pemerintah pusat dalam waktu yang secepat-cepatnya mengeluarkan suatu produk hukum positip paling tidak dalam bentuk Peraturan Pemerintah, karena secara normatif hal ini sudah diamanatkan dan diperintahkan sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 53Tahun 1999. Dalam penjelasan yang lebih teknis dan praktis operasional yang berkenaan dengan implementasi pengaturan hukum untuk melaksanakan pendaftaran tanah dalam rangka percepatan penerbitan sertipikat di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, utamanya di Kelurahan Batu Besar, untuk selanjutnya dalam bagian ini akan dibentangkan oleh penulis sifatnya lebih praktis/operasional. Artinya, setelah dilakukannya analisis dari berbagai kiat dan starategi yaitu dengan memahami dari beberapa konstruksi teori hukum di atas, dan telah dipahaminya dari berbagai produk pengaturan hukum mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut,maka untuk itu lebih lanjut akan dianalisis secara konkrit khususnya mengenai tindakan koordinasi yang terintegratif dari semua pemangku kepentingan (stake holders) yang berada di wilayah Pemerintahan Kota Batam. Pada titik ini akan diverifikasi tindakan teknis di lapangan yaitu mulai dari Pemerintah Kota Batam, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam, Kantor Pertanahan Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan pihak Dinas Kehutanan Kota Batam serta pihak lain yang terkait. Sejalan dengan hal tersebut di atas dan berdasarkan hasil penelitian penulis di lapangan, bahwa semua pihak yang telah disebutkan pada 26
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
bagian di atas belum memperlihatkan tindakan yang konkrit dan nyata untuk melakukan koordinasi yang terintegratif. Dalam bagian ini dapat dikemukakan bahwa antara Pemerintah Kota Batam dengan pihak Badan Pengusahaan Batam belum mempunyai kesepakatan yang konkrit mengenai penetapan peta padu serasi khususnya yang menyangkut tentang penetapan zona peruntukan hak atas tanah di wilayah Kota Batam, khususnya di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa dan lebih khusus lagi yaitu di Kelurahan Batu Besar. Menurut hemat penulis penetapan peta padu serasi dan penetapan penatagunaan hak atas tanah sebagaimana yang disebutkan di atas sangatlah penting dilakukan dalam waktu yang secepatnya, karena melalui peta dimaksud secara teknis akan digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan pengukuran secara kadasteral oleh petugas juru ukur Kantor Pertanahan Kota Batam. Sejalan dengan itu ada kebijakan teknis lainnya yang harus dituntaskan. Hal yang dimaksud adalah yang berkenaan dengan pembagian tugas pokok, fungsi serta kewenangan terkait dengan penetapan penatagunaan hak atas tanah di wilayah Kota Batam dan khususnya di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa. Berdasarkan hasil penelitian penulis sampai saat ini belum dituntaskan. Menurut penulis tindakan hukum mengenai penetapan dan sekaligus kesepakatan mengenai pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang harus dijelaskan secara rinci dalam peta penatagunaan hak atas tanah dimaksud adalah merupakan salah satu dokumen penting yang harus segera diselesaikan, karena tanpa adanya dokumen tersebut dapat memicu munculnya konflik yang berkepanjangan mengenai status dan keberadaan hak atas tanah di wilayah Kampung Tua, terutama di wilayah Kelurahan Batu Besar. Dalam bagian ini dapat dijelaskan pula mengenai keberadaan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sebagai institusi yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan kebijakan publik khususnya berkaitan dengan pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) atas ditetapkannya Kota Batam sebagai salah satu kawasan FTZ di luar Kabupaten Bintan dan Karimun. Berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang
dalam konteks melaksanakan kebijakan FTZ dimaksud, keberadaan Badan Pengusahan (BP Batam) telah mendapat mandat dari negara yaitu sebagai pemegang tunggal Hak Pengelolaan (HP)76 atas satuan bidang tanah di wilayah Kota Batam tidak terkecuali untuk wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Berkenaan dengan hal ini menurut hemat penulis sekali lagi menegaskan bahwa hak-hak atas tanah yang telah dikuasai oleh masyarakat di wilayah Kampung Tua dimaksud harus dijamin dan dilindungi oleh negara, hal ini sejalan dengan perintah dan amanat Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat77 beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindakan konkrit selanjutnya berkenaan dengan implementasi pendaftaran tanah khususnya di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, tindakan konkrit lainnya yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam terutama dalam rezim Otonomi Daerah hal mana keberadaan Pemerintah Kota Batam merupakan bagian daerah otonom mempunyai kewenangan tunggal untuk melaksanakan sistem pemerintahan daerah di Kota Batam, seharusnya dalam hal ini Pemerintah Kota Batam segera melakukan revisi dan/atau perubahan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Penataan Ruang. Tindakan hukum dan langkah politik hukum sebagaimana dimaksudkan menurut hemat penulis juga merupakan salah satu kebijakan yang sangat strategis yang harus segera dilakukan, tentu dalam melaksanakan proses pembentukan Perda dimaksud (law making process) Pemerintah Kota Batam bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam harus melibatkan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), pihak Kementerian Kehutanan dan dengan melibatkan seluruh peran serta aktif seluruh masyarakat Kota Batam, sebagai bagian yang integral pemilik dan pemangku kepentingan (stake holders). Dalam pendekatan teori hukum positif bahwa keberadaan Perda Tata Ruang Pemerintah Kota Batam sebagaimana disebutkan di atas adalah merupakan salah satu dokumen yang penting 27
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
dan dominan terutama dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, utamanya di wilayah Kelurahan Batu Besar. Pada sisi lain, bagi Kantor Pertanahan Kota Batam sendiri keberadaan dokumen Perda Tata Ruang Pemerintah Kota Batam tersebut, dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Kota Batam dan khususnya di wilayah Kampung Tua dimaksud, bahwa dokumen ini merupakan salah satu acuan dasar yang akan digunakan oleh Kantor Pertanahan Kota Batam dalam memproses permohonan hak untuk penerbitan sertipikat terhadap hak atas tanah yang dimohonkan oleh masyarakat dimaksud, karena dalam Perda Tata Ruang tersebut sekaligus akan dijelaskan mengenai peta peruntukan, penatagunaan serta pemanfaatan hak atas tanah di suatu wilayah agar tidak bertentangan dengan perencanaan penataan ruang secara umum di Kota Batam. Lazimnya di dalam suatu Perda Penataan Ruang akan ditetapkan secara rinci mengenai alokasi peruntukan lahan, baik itu untuk kawasan permukiman/perumahan, kawasan perindustrian, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pariwisata dan penetapan peruntukan kawasan lainnya.78 Dalam pendekatan yang lebih teknis lazimnya keberadaan Perda Penataan Ruang ini juga digunakan sebagai dasar hukum dan sekaligus dasar secara teknis operasional oleh petugas juru ukur secara kadasteral oleh pihak Kantor Pertanahan untuk menentukan penetapan titik ikat atas keberadaan suatu bidang tanah terutama dalam konteks melakukan proses atas permohonan hak untuk penerbitan sertipikat. Tindakan hukum lainnya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam dalam konteks melakukan proses dan kegiatan pendaftaran tanah khususnya di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, yang utamanya terdapat di Kelurahan Batu Besar, Pemerintah Kota Batam dalam waktu yang secepatnya harus melakukan pengukuran ulang secara konkrit di lapangan terhadap satuan bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat Kampung Tua terutama dalam hal menetapkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT PBB). Agar tidak pekerjaan ini berlarut-larut menurut hemat penulis seharusnya hal itu
dilakukan secara bersama dan terpadu antara Pemerintah Kota Batam dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah dengan pihak Kantor Pertanahan Kota Batam untuk melakukan pengukuran masif dan sistematik secara kadasteral yang dilaksanakan oleh petugas juru ukur dari Kantor Pertanahan Kota Batam. Dalam pada itu agar terjadi sinkronisasi data hasil pengukuran untuk menetapkan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap satuan bidang tanah masyarakat Kampung Tua dimaksud seharusnya hasil produk pengukuran ini, semua data SPPT PBB tersebut harus diinput dalam suatu data yang tunggal dan permanen mengenai luas dan ukurannya yang terdata dalam suatu database yang terintegrasi secara online di pusat data di Kantor Dinas Pendapatan Pemerintah Kota Batam dan tersimpan pula data yang sama pada pusat data di Kantor Pertanahan Kota Batam. Hal ini penting dilakukan agar dalam pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya di wilayah Kampung Tua tersebut, dapat terwujud dalam waktu yang cepat karena data SPPT PBB yang dimiliki masyarakat sudah sinkron dan berkesesuaian, dan hal ini sekaligus akan memudahkan ketika pemohon mengajukan pendaftaran hak atas tanahnya untuk mendapatkan sertipikat terutama dalam memenuhi kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB). Lebih lanjut pada bagian ini penulis menegaskan bahwa Pemerintah Kota Batam dalam konteks untuk melaksanakan percepatan pendaftaran tanah khususnya di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, harus segera menuntaskan perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penataan Ruang. Menurut pendapat penulis dalam proses pembentukannya (law making process) pihak Pemerintah Kota Batam bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam harus melibatkan secara aktif pihak Badan Pengusahan (BP Batam) sebagai pemegang Hak Pengelolaan terhadap sebagian besar hak atas tanah yang ada di wilayah Kota Batam. Hal ini penting dilakukan dengan memperhatikan amanat Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang secara paradigmatik telah menegaskan dalam konsideransnya yaitu bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri nusantara, 28
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan analisis sebagaimana yang diuraikan pada bagian di atas, menurut hemat penulis semua tindakan hukum dalam konteks implementasi kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, terutama di Kelurahan Batu Besar tersebut, akan dapat terlaksana dengan baik, berjalan lancar sesuai dengan jadwal dan target yang ditetapkan apabila konstruksi beberapa teori yang sudah dibentangkan penulis dalam jurnal ini yaitu dengan menerapkan teori Jeremy Bentham sebagai grand theory, teori W. Friedmann sebagai middle theory dan teori Friedrich Karl von Savigny sebagai teori aplikasi (aplied theory) harus dilaksanakansecara bertanggung jawab, focus sebagaimana mestinya.
posisi yang strategis, dominan dan penting, dimana atas hasil produk dalam berbagai peraturan perundang-undangan itu untuk selanjutnya akan digunakan sebagai dasar hukum positif oleh eksekutif dalam konteks melaksanakan sistem dan manajemen pemerintahan dan segala bentuk pelayanan publik. Demikian strategis, dominan dan pentingnya kedudukan para wakil rakyat dalam hubungannya melaksanakan salah satu fungsinya untuk melaksanakan tugas pokok di bidang legislasi, maka menurut pendapat penulis para wakil rakyat sebagai legislator itu harus mengkikis habis perilaku yang berhubungan dengan sikap antipati79. Oleh karena sikap antipati diasumsikan menempati pengaruh yang begitu kuat kepada sikap mental dan moral bagi para legislator tersebut. Pada sisi lain bahwa munculnya faktor kendala yang memberikan kontribusi penyumbatan untuk pelaksanaan pelayanan publik kepada masyarakat lazimnya muncul dari ranah eksekutif. Secara empris yang terjadi di lapangan, para aparat pelayanan publik utamanya para pejabat publik dalam era pemilihan langsung oleh rakyat, belakangan ini kualitas dan perhatiannya tidak dekat dan/atau menjauh untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, semuanya selalu ditumpangi dengan pertimbangan untung dan rugi dari sisi kepentingan politik. Artinya dengan pola pemilihan langsung oleh masyarakat, biasanya seorang pejabat publik seperti untuk jabatan Bupati, Wali Kota dan/atau Gubernur baru rajin dan sering turun ke bawah ke tengah-tengah kehidupan masyarakat apabila menjelang dan momen dilaksanakannya pemilihan langsung. Para pejabat publik itu selalu saja menumpangkan kegiatannya dalam agenda proyek-proyek pembangunan yang sejatinya untuk membiayai proyek-proyek tersebut adalah bersumber dari uang keringat rakyat baik itu yang berasal dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) maupun yang bersumber dari Anggaran dan Pedapatan Belanja Negara (APBN). Dalam spektrum yang lain bahwa faktor kendala yang memperlambat terlaksananya kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, satu diantaranya adalah disebabkan
Kendala Struktural Dalam Perspektif Politis Dalam konteks penyelenggaraan sistem dan manajemen pemerintahan di Indonesia terutama dalam pendekatan konstitusional dalam praktiknya wajib dilaksanakan dengan mengedepankan serta meneguhkan paham kedaulatan rakyat dan negara hukum. Untuk itu dalam melaksanakan semua aspek sistem pemerintahan dan/atau pelayanan publik haruslah dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait yang semuanya itu dengan menjunjung tinggi prinsip dan ciri-ciri negara hukum yang bertanggung jawab, dengan kata lain semua aspek sistem manajemen pemerintahan dimaksud harus dijalankan dengan mengutamakan asas legalitas dan sekaligus untuk meneguhkan paham positivistik hukum. Berkenaan dengan hal ini tentu peranan para wakil rakyat yang sejatinya berfungsi sebagai legislator dalam membentuk segala bentuk peraturan dan perundang-undangan menempati 29
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
masih buruknya pelaksanaan sistem administrasi pemerintahan yang belum dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab dan tidak mengindahkan prinsip yang saling mengawasi dan mengimbangi (check’s and balances) prinsip ini sesungguhnya harus dilaksanakan oleh aparatur Negara sebagai pelayan publik yang diberi mandat oleh masyarakat guna melaksanakan segala bentuk dan sistem manajemen pemerintahan dalam ranah birokrasi pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam norma hukum yaitu dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat sepenuhnya dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam pendekatan yang sifatnya filosofis (philosophy of paradigm) bahwa pasal ini mengandung salah satu prinsip dasar bahwa kepada penyelenggara negara dan pemerintahan dalam hal ini eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib menunaikan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check’s and balances). Oleh karena dalam pelaksanaan sistem dan manajemen pemerintahan khususnya di lingkungan pemerintahan Kota Batam belum sepenuhnya melaksanakan prinsip dimaksud maka akibatnya pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua tersebut sampai saat ini belum terlaksana sebagaimana mestinya sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Berkenaan dengan hal ini keterlibatan dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat khususnya masyarakat di wilayah Kampung Tua pada kenyataannya dalam melaksanakan segala bentuk program kegiatan pendaftaran tanah tersebut belum dilibatkan dan diberdayakan sepenuhnya secara aktif. Menurut pendapat penulis, seharusnya pihak pemerintah Kota Batam, pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), dan pihak Kantor Pertanahan Kota Batam serta pihak lain yang terkait dalam hal melaksanakan seluruh rangkaian proses kegiatan pendaftaran tanah dimaksud harus fokus melaksanakan kegiatan penyuluhan, pembimbingan dan/atau sosialisasi untuk menyampaikan secara lugas dan tuntas atas semua produk peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dimaksud. Dalam hal ini penting juga dilakukan suatu
bentuk pendekatan ”yang membumi” yang ditujukan khusus kepada masyarakat di wilayah Kampung Tua yaitu melakukan pendekatan secara kekeluargaan dengan mengusung prinsip kekeluargaan dan gotong royong terutama dalam melakukan pembinaan sekaligus memberikan kepastian dan perlindungan terhadap keberadaan sistem kekeluargaan masyarakat adat di wilayah Kampung Tua dan dengan tetap memperhatikan perasaan hukum masyarakat adat yang berlandaskan kepada jiwa rakyat (volkgeist) melalui adat istiadat dan kebiasaan yang telah menjadi hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat Kampung Tua dimaksud. Perlu dipahami oleh aparatur Negara yang melaksanakan segala bentuk pelayanan publik dan sistem manajemen pemerintahan terutama ditujukan kepada pemerintah Kota Batam dan semua jajaran yang terkait dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua tersebut, bahwa keberadaan suatu hak atas tanah adalah merupakan hubungan yang abadi dan magis (bersifat ketuhanan) antara pemilik hak atas tanah itu dengan Tuhan sang pencipta. Artinya melalui keyakinan ini pihak pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang terkait dalam menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah dimaksud seharusnya bersikap hati-hati jangan sempat terjadi tindakan dan/atau perilaku yang menimbulkan ketersinggungan perasaan dan hati masyarakat. Oleh karena itu dalam konteks pertanggung jawaban hak asasi manusia dimana sesungguhnya warga masyarakat di wilayah Kampung Tua tersebut adalah sebagai Warga Negara Republik Indonesia yang sah, sekali lagi penulis berpendapat seharusnya negara hadir untuk segera menunaikan kewajibannya dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status hak kepemilikan atas satuan bidang tanah milik dan kepunyaan masyarakat adat di Kampung Tua tersebut. Lebih lanjut menurut pendapat penulis kepada aparatur Negara yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah tersebut harus mempunyai kesadaran hati nurani yang tulus dan ikhlas. Relevan dengan penjelasan di atas dan berbicara tentang kesadaran nurani, rasa kebenaran, dan harus melakukan apa yang benar haruslah didukung dengan sikap mental dan moral yang baik. Konstruksi mental dan moral 30
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
yang baik itu harus didukung dengan moralitas pejabat dan aparatur negara yang baik yang pada intinya harus taat dan patuh untuk menjalankan semua perintah hukum, normanorma yang baik yang bermuara kepada kehendak Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini dimaksudkan tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh aparat pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang terkait guna melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua tesebut haruslah harus benar-benar memahami dan sekaligus menjunjung tinggi norma hukum adat yang berlaku dalam tatanan sosial kehidupan masyarakat di Kampung Tua tersebut. Sejalan dengan hal ini seharusnya pemerintah Kota Batam pro aktif untuk menunaikan kewajibannya dalam hal memberikan pelayanan publik kepada masyarakat di wilayah Kampung Tua melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak tanah yang sah dan kuat menurut hukum, karena selama ini masyarakat Kampung Tua dimaksud telah menunaikan kewajibannya untuk membayar segala pajak dan retribusi lainnya yang ditetapkan oleh negara melalui pemerintah Kota Batam. Dalam kondisi inilah yang dimaksudkan penulis, bahwa negara harus bersikap adil kepada rakyatnya salah satu diantaranya keadilan yang sangat ditunggu rakyat khususnya bagi masyarakat Kampung Tua, maka kepada pemerintah Kota Batam dan seluruh pihak yang terkait wajib menunaikan tugasnya guna melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) terhadap satuan bidang tanah hak dan milik serta kepunyaan masyarakat adat di Kampung Tua tersebut. Sejalan dengan penjelasan di atas, bahwa untuk selanjutnya akan dibentangkan penjelasan mengenai faktor kendala stuktural terutama dalam perspektif politis yang terjadi di Indonesia berkenaan dengan karut marutnya pelaksanaan kebijakan politik hukum Agraria dan/atau bidang Pertanahan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak), tentu dalam hal ini secara langsung hal itu juga turut mempengaruhi melambatnya pelaksanaan pendaftaran tanah diwilayah Kampung Tua,
Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Untuk selanjutnya, dalam hal ini akan dijelaskan pula adanya kendala-kendala yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia termasuk pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, yang akan dijelaskan dalam dua aspek penting yaitu mengenai “pelaksanaan hak menguasai negara”, dan politik hukum mengenai pelaksanaan dan aktualisasi “mengenai tanah masyarakat hukum adat”. Dalam pendekatan teoretis konseptual bahwa format dan konstruksi politik hukum agararia dan pertanahan khusus yang berkenaan dengan pemberian Hak Menguasai Negara oleh bangsa Indonesia sesungguhnya dalam pendekatan aksiologis mempunyai maksud dan tujuan yang baik dan hakiki. Hal itu dimaksudkan melalui Hak Menguasai Negara untuk selanjutnya Negara mempunyai kewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi hak atas itu terutama yang berhubungan dengan kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah diwajibkan harus mampu memberikan dan sekaligus membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun kenyataan dan realitas yang terjadi secara empiris di lapangan bahwa dari semua kebijakan politik hukum di bidang agraria dan pertanahan yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah melalui mandat dan tugas yang telah diberikan oleh negara tersebut kenyataannya belum mampu memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada seluruh rakyat di Indonesia secara adil dan merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih ironis lagi kenyataan yang terjadi di lapangan hal yang berkenaan dengan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh para pengusaha berskala besar baik itu pengusaha dari dalam negeri maupun asing. Penguasaan fisik hak atas tanah itu yang dikuasai oleh para pengusaha tersebut biasanya diperuntukan bagi usaha perkebunan, real estate dan/atau perumahan, kondominium, pariwisata dan industri. Konstruksi dan format kebijakan politik pertanahan seperti inilah yang mendapat 31
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
kritikan dan sekaligus tuntutan yang berkelanjutan dari seluruh lapisan masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah, dan situasi serta keadaan ini sekaligus menyulut emosi rakyat yaitu semakin banyaknya konflik dan sengketa di bidang pertanahan yang membuat kegaduhan politik baik itu di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Dalam bagian ini lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa kasus-kasus dan/atau konflik sengketa tentang tanah yang muncul kepermukaan selama ini sangat didominasi karena faktor penguasaan lahan tanah yang tidak adil dan tidak seimbang bahkan ada indikasi meminggirkan hak-hak dasar rakyat bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada masyarakatnya khusus yang berkenaan dengan hak kepemilikan atas satuan bidang tanah yang telah dikuasinya secara turun-temurun. Banyak contoh sengketa dan konflik pertanahan yang dapat disajikan, satu diantaranya seperti kasus tanah yang terjadi di Mesuji Lampung, kasus tanah yang terjadi di Provinsi Riau, Papua, dan diberbagai daerah lainnya. Pada kenyataanya bahwa dari kasuskasus pertanahan tersebut secara empiris di lapangan telah memicu terjadinya konflik horisontal yang berkepanjangan. Dalam hal ini masyarakat terus melakukan protes dan tuntutan kepada pemerintah, karena selama ini pemerintah telah memberikan hak penguasan hak tanah yang tidak terbatas kepada pihak korporasi, dan yang lebih memprihatinkan bahwa hak penguasaan tanah yang diberikan kepada korporasi itu belum tentu akan memberikan kontribusi manfaat kepada masyarakat, namun kenyataannya hal itu menimbulkan kerusakan fungsi kemampuan lingkungan hidup secara berkelanjutan, dan hal ini sekaligus akan memicu timbulnya persoalan struktural di bidang kemiskinan yang permanen. Dengan telah dilakukannya pengalihan hak tanah itu kepada pihak korporasi secara langsung warga masyarakat itu akan kehilangan mata pencahariannya baik itu sebagai petani, pekebun, peternak dan/atau petambak ikan dan keadaan ini secara langsung membuat mereka terpapar dalam kesengsaraan, hidupnya merana, tidak bahagia dan hidupnya sengsara. Keadaan ini sekaligus akan menciptakan kemiskinan yang struktural dan berkelanjutan bagi warga masyarakat tersebut. Sejalan dengan
hal ini banyak contoh peristiwa faktual yang terjadi di lapangan, seperti yang terjadi terutama di Pulau Jawa, keadaan lahan pertanian semakin sempit karena tidak ada perluasan pencetakan lahan sawah baru sebagai lahan sawah pertanian, dan sejalan dengan perjalanan waktu pertambahan penduduk dari tahun ke tahun pertumbuhannya terus meningkat tajam dan drastis. Untuk itu di Pulau Jawa saat ini sebagian besar warga masyarakat yang profesinya sebagai petani tatapi mereka tidak punya lahan/tanah pertanian. Sebagian besar lahan pertanian di Pulau Jawa itu dimiliki oleh warga masyarakat yang ekonominya mampu yang pada umumnya mereka tinggal di kota-kota. Dalam posisi ini warga masyarakat petani itu statusnya hanya “menjadi buruh tani” yang penghasilannya sehari-hari hanya mengharap belas kasihan dari tuan tanah yang memiliki hak atas tanah pertanian tersebut. Atas keadaan dan fakta inilah negara harus segera hadir untuk segera mempertanggung jawabkan keadaan yang tidak adil ini, dalam upaya mempercepat memotong mata rantai kemiskinan petani di desa-desa. Jika kebijakan politik hukum ini tidak segera dilakukan oleh Negara dan/atau Pemerintah, maka warga masyarakat petani Indonesia akan tetap menjadi “kuli dan buruh di negaranya sendiri”. Kita harus segara insyaf bahwa Indonesia yang diberi karunia dan anugerah oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai Negara Agraris dan Negara Maritim serta Negara Kepulauan, bahwa saat ini kita belum mampu berswasembada di bidang pangan, bahkan ada indikasi Indonesia sudah terlanda “krisis kedaulatan pangan”, karena pada kenyataannya untuk memenuhi pasokan beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari masyarakat, negara Indonesia saat ini masih terus melakukan import untuk membeli beras dari negara Thailand dan Vietnam. Faktor kendala lain yang sifatnya struktural juga masih terjadi di lapangan, yaitu setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kenyataan yang ada di lapangan bahwa implementasi undangundang ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintahsebagaimana mestinya sesuai dengan maksud dan tujuan yang telah ditegaskan/diamanatkan dalam undang-undang 32
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
dimaksud. Secara faktual masih banyak pulaupuluh kecil yang jumlahnya tersebar begitu banyak di Indonesia khususnya di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, termasuk di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam yang sesungguhnya keberadaannya juga merupakan bagian dari pulau-pulau kecil di Indonesia, dankhusus mengenai hak atas tanah masyarakatnya sampai saat ini belum dilakukan pendaftaran oleh pemerintah. Dalam hal ini lebih lanjut dapat dijelaskan, bahwa penulis sebenarnya terlibat aktif dalam Panitia Khusus (Pansus) guna membahas, merumuskan dan sekaligus mengesahkan dalam sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Periode 20042009 dalam konteks lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud. Pada saat itu penulis bertindak sebagai anggota Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia (DPR-RI) di Komisi IV yang salah satu mitra kerjaKomisi IV DPRRI adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dimaksud, sesungguhnya penulis telah memperjuangkan terwujudnya “norma hukum” bahwa negara harus hadir untuk memberikan perlindungan atas keberadaan hak atas tanah di wilayah pulau-pulau kecil, yang memang pada kenyataannya masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal di daerah pulau-pulau kecil tersebut umumnya masyakarat hukum adat dan satuan bidang tanahnya belum dilakukan pendaftaran tanah dan belum memiliki sertipikat (tanda bukti hak). Sejalan dengan hal ini dapat dijelaskan, sebenarnya dalam tataran kemauan politik (political will) utamanya pada tingkat pemerintahan di pusat telah mempunyai kebijakan politik hukum yang konkrit dalam konteks memberikan perlindungan dan jaminan terhadap tanah masyarakat hukum adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud. Hanya dalam implementasinya di daerah dan dari hasil verifikasi penulis di lapangan amanat undang-undang dimaksud belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah di daerah. Khusus untuk wilayah Kota Batam,
memang terdapat hambatan struktural. Hal ini disebabkan untuk wilayah Kota Batam sebagian besar wilayahnya khusus mengenai status dan hak kepemilikan tanahnya dikuasai oleh Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dengan status Hak Pengeloaan. Dengan kondisi seperti ini seberat apapun masalahnya, seharusnya pihak Pemerintah Kota Batam segera melakukan kebijakan yang konkrit dan fokus untuk melakukan koordinasi yang terintegratif dengan pihak BP Batam. Atas hasil koordinasi yang konkrit itu salah satu bentuk keluaran keputusan yang harus dihasilkan adalah dengan membentuk peraturan bersama khusus mengenai pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan sekaligus mengatur tentang penetapan zona-zona dan/atau wilayah mana saja yang masuk kepada wilayah Hak Pengelolaan (HP) oleh BPBatam, dan penetapan wilayah mana saja yang masuk dan merupakan wilayah pemerintahan Kota Batam. Namun dalam hal ini penulis mengingatkan, khusus untuk wilayah di Kampung Tua penguasaan atas satuan bidang tanah masyarakatnya tidak boleh diserahkan kepada pihak BPBatam, akan tetapi wajib diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam. Untuk selanjutnya dalam bagian ini akan dijelaskan faktor kendala yang menjadi penghambat dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, tentunya termasuk juga terlambatnya pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, akan dijelaskan aspek melambatnya negara untuk bergerak cepat dan merespon atas tuntutan dari masyarakat hukum adat yang selama ini meraka telah memohon kepada negara untuk diberikan jaminan perlindungan yang berkaitan dengan status tanah masyarakat adat sebagai harta komunal masyarakat hukum adat itu sendiri. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa berdasarkan pendekatan normatif dan filosofi sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lazimnya disingkat dengan UUPA, bahwa keberadaan hukum tanah di Indonesia itu adalah menganut dan bersendikan kepada hukum adat. Artinya tanah yang tidak dikuasai oleh negara sesungguhnya adalah tanah masyarakat hukum 33
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
adat. Tanah masyarakat hukum adat mengandung nilai-nilai kesetaraan karena tanah tersebut bukan dimiliki satu orang tetapi milik komunal. Meskipun konstruksi UUPA telah mengatur keberadaan tanah masyarakat hukum adat sedemikian rupa, akan tetapi dalam praktiknya sangat jauh dari yang dimaksud undang-undang. Banyak tanah masyarakat hukum adat justru dimilik oleh segelintir orang yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan. Sementara anggota masyarakat hukum adat hidupnya semakin miskin karena tidak memiliki lahan untuk dikelola dan dikuasasinya. Cetak biru atas setumpuk permasalahan dan/atau konflik serta sengketa mengenai keberadaan tanah masyarakat hukum adat, yang siklus terjadinya sengketa tanah masyarakat hukum adat itu melibatkan tiga pihak, yaitu pada satu sisi warga masyarakat adat yang dirugikan bahkan tidak diperlakukan adil, pihak Negara dalam hal ini pihak Pemerintah Kabupaten dan Kota, dan di pihak lainnya adalah pihak Kementerian Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, jika hal itu dianalisis dalam pendekatan konstitusi Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2), yang menegaskan bahwa kedaulatan rayat sepenuhnya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar, dalam hal ini sesungguhnya negara telah melakukan pelanggaran konstitusi. Sejalan dengan hal ini untuk selanjutnya dapat dijelaskan, bahwa dalam pendekatan paradigmatik konstitusional (constitutional of paradigm) dan pendekatan paradigmatik filosofis (phylosophy of paradigm) sesungguhnya norma hukum yang dikonstruksikan dalam Pasal 1 ayat (2) konstitusi dimaksud salah satu prinsip yang harus diwujudkan oleh negara dalam konteks melaksanakan sistem manajemen pemerintahan dan pembangunan bahwa “negara wajib meneguhkan paham kedaulatan rakyat”. Sejalan dengan hal ini, terhadap pelaksanaan pendaftaran atas tanah masyarakat hukum adat di wilayah Kampung Tua tersebut, adalah merupakan salah satu bentuk konkrit untuk menunaikan peneguhan paham kedaulatan rakyat, dalam rangka negara memberikan
perlindungan terhadap keberadaan tanah masyarakat hukum adat dan/atau tanah hak ulayat. Relevan dengan konstruksi normatif yang sangat paradigmatik itu, maka sekali lagi penulis menegaskan negara harus sesegera mungkin untuk menunaikan kewajibannya untuk dan guna meneguhkan paham kedaulatan rakyat tersebut. Dalam pada itu dapat dijelaskan, kemungkinan secara faktual diasumsikan negara saat masih belum mampu menyelesaikan segala bentuk konflik yang terjadi atas sengketa tanah yang terjadi terutama yang berkaitan dengan tanah masyarakat hukum adat, dan/atau disebabkan adanya keterbatasan dukungan anggaran, serta belum kondusifnya koordinasi yang integrasi antara Pemerintah Kota Batam dengan pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan pihak lain yang terkait untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah secara komprehensif dan holistik di wilayah Kampung Tua dimaksud. Dalam kaitan ini, menurut pendapat penulis seharusnya negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Batam dan pihak lain terkait dapat segera melakukan tindakan tahap awal dalam rangkaian melaksanakan proses pendaftaran tanah masyarakat hukum adat di wilayah Kampung Tua tersebut. Salah satu tindakan dan/atau pekerjaan konkrit yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam dan pihak lain terkait, dalam hal ini terutama pihak Kantor Pertanahan Kota Batam dapat melakukan pendaftaran sepihak atas keberadaan satuan bidang tanah di wilayah Kampung Tua tersebut, yaitu dengan cara melakukan “pencatatan dalam daftar tanah”. Pekerjaan pencatatan ini menurut pendapat penulis harus segera dilakukan yaitu dalam upaya memberikan perlindungan dan sekaligus memberikan kepastian hukum atas keberadaan hak tanah masyarakat hukum adat di wilayah Kampung Tua itu, tujuannya adalah untuk melindungi atas tindakan keserakahan berupa pencaplokan dan pengambilalihan dari pihak ketiga yang mempunyai kepentingan, terutama dalam hal ini untuk menghentikan tindakan kesewenangan dari pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) yang sampai saat ini terus melakukan penekanan kepada warga masyarakat adat di Kampung Tua, dimana sebagian besar tanah warga masyarakat di Kampung Tua itu akan dimasukan merupakan 34
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
bagian dari luas bidang tanah Hak Pengelolaan (HP) yang dikuasai dan sebagai pemegang haknya yaitu Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Untuk selanjutnya dalam membahas substansi ini akan dijelaskan penulis hal-hal yang sifatnya lebih praktis operasional. Dalam hal ini akan dijelaskan beberapa faktor kendala yang secara empiris terjadi di lapangan dan sekaligus akan dijelaskan format solusi dan/atau penyelesaian dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dalam perspektif pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya di Kelurahan Batu Besar. Dengan kata lain, dalam bagian ini substansi penjelasan tersebut adalah merupakan salah satu bagian penting dan bertujuan guna dan untuk menemukan format dan bentuk penyelesaian format kebijakan publik yang harus dilakukan oleh pemerintah tentunya dalam hal ini Pemerintah Kota Batam, yang berhubungan erat dengan perwujudan dan sekaligus percepatan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua tersebut, yang sasaran akhirnya dapat memberikan suatu keadaan dan suasana yang bahagia, memberikan kepastian hukum81 dan sekaligus dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara ekonomis di wilayah Kampung Tua dimaksud.
pendaftaran tanah tersebut agar dalam pelaksanaannya segera melakukan respon yang cepat dengan mengutamakan revolusi mental dan moral yang baik guna menindaklanjuti suara batin, hati dan nurani masyarakat Kampung Tua untuk segera dilaksanakannya pendaftaran tanah tersebut. Dalam hubungan ini Lawrence M. Friedman memberikan penegasan bahwa hukum yang telah disahkan dan telah diundangkan sesungguhnya memang harus dijalankan oleh masyarakat dengan pengutamaan untuk kepentingan umum dan sekaligus untuk mewujudkan rasa keadilan82 bagi seluruh masyarakat. Konstruksi pemikiran yang telah dikonstatir pada bagian di atas adalah merupakan pendapat yang brilian yang telah diketengahkan oleh Lawrence M. Friedman, dan menurut pendapat penulis format pemikiran dan konstruksi pendapat dimaksud sangat relevan dengan konten yang dibahas dalam tulisan ini, dan penulis menambahkan khususnya yang ditujukan kepada seluruh aparatur negara yang mempunyai tugas pokok, fungsi dan kewenangan dalam hal memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dan dalam hal ini untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua tersebut harus mempunyai kemauan yang ikhlas untuk mengimplementasikan dalam tindakannya yaitu untuk melakukan revolusi mental, moral, iktikad yang baik, jujur dan ikhlas serta mempunyai kemauan yang tulus untuk membahagiakan masyarakat melalui getaran hati dan nurani serta batin dari seluruh lapisan masyarakat Kampung Tua yang selama ini memang mereka sudah sangat merindukan kehadiran negara untuk segera melakukan kegiatan pendaftaran tanah terhadap satuan bidang tanah masyarakat hukum adat di wilayah Kampung Tua dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak). Faktor kendala yang bersifat internal lainnya yang juga turut mempengaruhi terjadinya perlambatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua menurut hemat penulis satu diantara kendalanya adalah koordinasi yang tidak terintegratif. Dalam hal ini dimaksudkan terutama dalam pelaksanaan rezim otonomi daerah, bahwa pihak yang bertanggung jawab sebagai pemangku kepentingan dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah
Kendala Internal Salah satu yang merupakan faktor kendala internal adalah persoalan yang berhubungan dengan dampak suara batin dari masyarakat Kampung Tua yang belum cepat direspon oleh pihak Pemerintah Kota Batam dan pihak lainnya dalam konteks pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua tersebut. Hal ini dimaksudkan dari hasil verifikasi penulis di lapangan saat ini yang terjadi bahwa pihak Pemerintah Kota Batam dan pihak lain yang terkait kurang memiliki kepekaan dan kepedulian untuk segera merespon suara batin dan hati nurani masyarakat Kampung Tua untuk segera dilakukannya kegiatan pendaftaran tanah tersebut. Berkenaan dengan hal dimaksud dalam hal ini penulis sangat patut memberikan himbauan khususnya yang ditujukan kepada para aparatur negara yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kegiatan 35
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
dimaksud, adalah pihak Pemerintah Kota Batam. Berdasarkan hasil penelitian penulis pihak Pemerintah Kota Batam belum melakukan langkah kebijakan publik yang terkoordinatif dengan pihak lainnya yang berhubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah tersebut. Sejalan dengan keterangan di atas, pada pihak lain secara internal koordinasi yang dilakukan oleh pejabat struktural di tingkat Kecamatan dengan pihak Kelurahan termasuk dengan para Rukun Tetangga dan Rukun Warga, khususnya mengenai pemberian jaminan perlindungan hukum atas keberadaan hak atas tanah masyarakat Kampung Tua tersebut juga belum optimal dilakukan, dalam hal ini contoh yang dapat dikemukakan untuk melakukan pendataan fisik yang terkait dengan pemasangan patok tanda batas, ukuran serta luas masingmasing satuan bidang tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat di Kampung Tua tersebut, juga belum terlaksana dengan baik. Dalam pada itu Perkumpulan Masyarakat Selayar (Permas) yang selama ini telah dibentuk oleh tokoh-tokoh masyarakat Selayar yang secara faktual merupakan bagian terbesar masyarakat di Kampung Tua, terutama di Kelurahan Batu Besar, bahwa keberadaan Permastersebut juga belum mendapat pembinaan secara berkelanjutan dari pihak Pemerintah Kota Batam dan jajarannya. Menurut hemat penulis seharusnya Pemerintah Kota Batam melalui pihak Kantor Kecamatan dan Kelurahan setempat melakukan pembinaan dan sekaligus memberikan advokasi/bimbingan kepada perkumpulan masyarakat ini dalam rangka melakukan proses penguatan dari status badan hukum atas lahir dan terbentuknya perkumpulan masyarakat dimaksud, dan sejalan dengan ini seharusnya pula Pemerintah Kota Batam mengalokasikan pendanaan yang cukup untuk pembinaan Perkumpulan Masyarakat Selayar tersebut dalam upaya untuk melakukan kegiatan segala bentuk penyuluhan dan pembinaan serta pemberdayaan terutama dari sisi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkenaan dengan pengetahuan hukum dan semua substansi peraturan perundang-undangan yang bekaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat hak atas tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar. Dalam pada itu secara internal pihak Dinas
Pertanahan Pemerintah Kota Batam juga belum melakukan koordinasi yang terintegratif secara maksimal dengan pihak dinas terkait di internal Pemerintah Kota Batam. Hal ini dimaksudkan penulis yaitu belum dilaksanakannya koordinasi teknis yang terintegratif antara Dinas Pertanahan Permerintah Kota Batam dengan pihak Dinas Pendapatan Pemerintah Kota Batam, terutama dalam hal melakukan pendataan ulang secara konkrit dan sekaligus pengukuran secara fisik di lapangan terhadap satuan peta bidang tanah masyarakat Kampung Tua yaitu dalam rangka menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB). Data SPPT PBB ini memang dalam aspek hukum pembuktian belum merupakan alat bukti kepemilikan yang sah atas satuan bidang tanah yang dikuasai masyarakat, akan tetapi data SPPT PBB ini sewaktu-waktu sangat diperlukan masyarakat sebagai pemohon dalam konteks melengkapi persyaratan terutama yang berhubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertipikat (tanda bukti hak). Pada sisi lain dokumen SPPT PBB ini juga merupakan bukti yang penting dalam menghitung kewajiban pembayaran pajak kepada Negara dalam bentuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan dokumen ini merupakan salah satu persyaratan penting untuk dapat dipenuhinya permohonan penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut. Kendala lain secara internal adalah berkenaan dengan belum dilakukannya pembinaan kepada masyarakat Kampung Tua. Seharusnya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)84pada tingkat Kantor Kelurahan utamanya di Kantor Kelurahan Batu Besar segera membentuk Kelompok Satuan Kerja (Satker) yang lebih fokus untuk melakukan pembinaan terhadap seluruh komponen masyarakat di Kampung Tua tersebut. Hal ini dimaksukan agar keberadaan dan eksistensi masyarakat Kampung Tua terutama dalam mendapatkan perlindungan hukum atas satuan bidang tanah masyarakat Kampung Tua yang secara turun-temurun telah dikuasainya secara fisik dapat terpenuhi. Sejalan dengan hal ini menurut hemat penulis karena masyarakat Kampung Tua tersebut secara geografis tempat permukimannya di wilayah pesisir di Kecamatan Nongsa, seharusnya menurut undang-undang mendapatkan jaminan 36
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
perlindungan yaitu berdasarkan UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang harus dilindugi satuan wilayah sebagai tempat permukiman dan perumahan yang permanen, yang dalam pelaksanaannya harus diselaraskan dengan amanat dan perintah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lebih lanjut menurut pendapat penulis bahwa keberadaan masyarakat di Kampung Tua tersebut terutama terhadap status kepemilikan hak atas tanah, sesungguhnya dalam pendekatan aksiologis bahwa satuan bidang tanah masyarakat Kampung Tua di maksud seharusnya negara memberikan perlindungan yang seutuhnya terutama dalam upaya meneguhkan amanat Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan untuk hal ini pemerintah bersama wakil rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) segera mengesahkan proses pembentukan undangundang terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUUPMA) yang sudah masuk di dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR-RI periode 20092014.85
peraturan yang sifatnya teknis yang khusus mengatur tentang pembagian tugas pokok dan fungsi serta kewenangan yang berhubungan dengan kebijakan peruntukan dan penataan ruang terhadap satuan bidang tanah di wilayah Kota Batam termasuk di wilayah Kampung Tua. Hal ini dalam pendekatan hukum positif, seharusnya Pemerintah Kota Batam beserta jajarannya mendesak Pemerintah Pusat untuk segera membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Secara eksplisit mengenai hal ini terutama pembentukan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan harus sudah diterbitkan selambatlambatnya dua belas bulan sejak tanggal diresmikannya Kota Batam. Menurut hemat penulis kebijakan dan tindakan hukum sebagaimana dimaksudkan segera perlu dituntaskan, karena apabila hal itu tidak dilakukan akan menjadi faktor penghambat yang sangat dominan yang dapat mempengaruhi perlambatan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua untuk dan guna mendapatkan sertipikat hak atas tanah (tanda bukti hak). Dalam pada itu tindakan hukum tersebut secara teknik operasional sangat diperlukan bagi pihak Kantor Pertanahan Kota Batam dalam melakukan pengukuran hak atas tanah secara kadasteral dalam rangka melakukan pendaftaran tanah di Kampung Tua tersebut. Pada sisi lain kendala yang sifat eksternal adalah yang berkenaan dengan minimnya dukungan politik anggaran baik itu yang berasal dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Batam, maupun angaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari Pemerintah Pusat, dalam hal ini dari Kementerian terkait yang berhubungan dengan pendaftaran tanah yaitu dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di
Kendala Eksternal Dari hasil penelitian di lapangan kendala yang bersifat eksternal dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya di Kelurahan Batu Besar, menurut hasil penelitian penulis merupakan salah satu faktor kendala yang sifat dan bentuknya rumit untuk diselesaikan dalam waktu yang cepat. Faktor kendala yang sifatnya eksternal itu satu diantaranya adalah belum terlaksananya koordinasi yang konkrit, terpadu dan terintegrasi antara Pemerintah Kota Batam pada satu sisi, dengan pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) pada sisi lain. Contoh konkrit yang dapat disajikan penulis yang berkenaan dengan hal ini bahwa sampai sekarang antara pihak Pemerintah Kota Batam dengan pihak Badan Pengusahan Batam (BP Batam) sebagai pemegang tunggal atas Hak Pengelolaan terhadap hak-hak atas tanah di wilayah Kota Batam, termasuk di wilayah Kampung Tua belum menuntaskan suatu 37
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Jakarta. Hal ini dimaksudkan penulis sangat penting segera ditemukan jalan penyelesaiannya karena dukungan politik anggaran yang cukup dan memadai dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut merupakan salah satu unsur penting guna mendukung percepatan pendaftaran tanah itu sendiri. Dalam pada itu dapat juga dijelaskan berkenaan dengan faktor kendala yang sifatnya eksternal yaitu masih kurangnya tenaga juru ukur yang profesional dari pihak Kantor Pertanahan Kota Batam. Kekurangan terhadap tenaga juru ukur tersebut menurut pendapat penulis harus segera diatasi oleh Pemerintah Pusat, karena dari sisi kebijakan politik anggaran untuk melakukan rekruitmen tenaga juru ukur dimaksud adalah merupakan kewenangan pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia di Jakarta berdasarkan perkembangan terakhir yang diperoleh penulis, pada saat ini Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah merespon terhadap kekurangan juru ukur pertanahan tersebut yang telah merencanakan akan merekrut juru ukur baru sebanyak sepuluh ribu orang dengan target pendaftaran tanah untuk menerbitkan sertipikat (tanda bukti hak) sebanyak lima juta bidang tanah bersertifikat secara nasional di Indonesia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat ini dari hasil verifikasi penulis di lapangan terutama pada Kantor Pertanahan Kota Batam sampai saat ini belum terlaksana. Apabila kebijakan untuk merekrut tenaga juru ukur pertanahan yang baru tersebut mengalami keterlambatan, maka sudah dapat dipastikan program pendaftaran tanah di wilayah Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya di Kelurahan Batu Besar, juga akan mengalami ketersumbatan dan perlambatan. Untuk mengatasi hal ini seharusnya untuk sementara pihak Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan berbagai Universitas dan Perguruan Tinggi lain di daerah utamanya untuk merekrut dari hasil lulusan Program Studi Teknik yang secara khusus telah menguasai seluk beluk pekerjaan pengukuran bidang tanah secara kadasteral yang berhubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah. Dan sejalan dengan ini seharusnya pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melakukan kebijakan khusus yang sifatnya crash program, yaitu khusus ditujukan kepada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) di Yogyakarta untuk membuka kelas khusus pendidikan kejuruan tenaga juru ukur pertanahan tingkat Diploma 3 (D3) dan/atau tingkat Strata 1 (S1) dengan meningkatkan volume dan kapasitas siswa yang akan dididik dan tentunya terhadap kegiatan ini harus didukung dengan sumber dana yang cukup memadai dengan melakukan langkah revolusi politik anggaran yang dapat diperjuangkan dan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam waktu yang secepatnya. Berkenaan dengan hal yang dimaksud kenyataan empiris di lapangan sampai saat ini masih belum tercipta hubungan yang kondusif antara pihak Pemerintah Kota Batam dengan pihak Badan Pengusahan (BP Batam) yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang pertanahan berkaitan dengan peruntukan dan penatagunaan hak atas tanah di wilayah Kota Batam. Permasalahan ini menurut pendapat penulis belum dapat diselesaikan sampai saat ini, salah satu penyebabnya adalah belum dikeluarkannya oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah yang mengatur secara khusus hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam. Dalam pada itu perintah Pasal 21 ayat (1) undang-undang dimaksud telah menegaskan dengan terbentuknya Kota Batam sebagai daerah otonom, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya mengikutsertakan Badan Otorita Batam yang sekarang disebut Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Lebih tegas lagi dalam konteks pembentukan Peraturan Pemerintah mengenai hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) itu, dalam Pasal 21 ayat (4) undang-undang dimaksud 38
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Peraturan Pemerintah tersebut harus diterbitkan selambat-lambatnya dua belas bulan sejak tanggal diresmikannya Kota Batam. Berdasarkan hasil verifikasi di lapangan oleh penulis bahwa sampai saat ini Peraturan Pemerintah khusus mengenai pembagian hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) belum juga dituntaskan oleh pihak Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia. Sejalan dengan hal ini yaitu puncaknya pada awal bulan Mei 2016 yang lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Komisi VI yang salah satu mitra kerjanya Kementerian Badan Usaha Milik Negara, melakukan kunjungan kerja dengan pihak Gubernur Provinsi Kepulauan Riau beserta jajarannya, pada saat itu hadir Ketua Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam mengajukan interupsi kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Komisi VI dimaksud untuk mengingatkan Presiden Republik Indonesia agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah khusus yang mengatur mengenai hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sebagaimana yang telah diperintahkan dan sekaligus dimanatkan dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tersebut. Relevan dengan penjelasan di atas menurut pendapat penulis untuk mempercepat terbentuknya Peraturan Pemerintah tersebut seluruh stake holders pemangku kepentingan Pemerintah Kota Batam secepat mungkin agar membentuk Satuan Kerja (Satker) yang sifatnya adhoc dengan melibatkan seluruh peran serta aktif masyarakat untuk melakukan langkahlangkah yang proaktif satu diantaranya melaksanakan kegiatan verifikasi terhadap semua persoalan yang berkenaan dengan itu dan hasil verifikasi tersebut harus segera disampaikan kepada Pemerintah Pusat secara formal dan didukung serata didorong oleh anggota Dewan Pewakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari berbagai Partai Politik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang daerah pemilihannya berasal dari Provinsi Kepulauan Riau. Berkenaan dengan kendala lain yang sifatnya
eksternal terutama untuk melakukan proses pendaftaran hak atas tanah masyarakat Kampung Tua tersebut adalah yang berkaitan dengan kewajiban pemohon untuk membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Dalam pelaksanaannya pengenaan Uang Wajib Tahunan Otorita tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat pemohon untuk penerbitan sertipikat hak atas tanahnya, karena masyarakat pemohon dalam konteks ini juga harus membayar pajak rutin atas Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap hak atas tanah yang akan dimohonkan sertipikatnya. Menurut pendapat penulis pengenaan dan/atau pembebanan Uang Wajib Tahunan Otorita dimaksud pemberlakuannya harus dilokalisir yang dasar pertimbangannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat pemohon. Dengan kata lain pengenaan UWTO dimaksud harus diklasifikasikan berdasarkan tingkat penghidupan dan kemampuan ekonomi masyarakat di Kota Batam, tidak dikenakan secara merata. Dalam pada itu berdasarkan hasil verifikasi di lapangan bahwa tingkat kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah Kampung Tua sebagian besar masih rendah karena sumber mata pencahariannya hanya mengharapkan dari hasil tangkapan sumber daya laut sebagai nelayan. Perkembangan terakhir menunjukkan potensi sumber daya laut di wilayah pesisir Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, sudah sangat menurun sehingga mempengaruhi tingkat penghasilan nelayan masyarakat di wilayah Kampung Tua. Untuk mendukung kehidupan sehari-hari dengan kenyataan yang demikian para nelayan dimaksud sebagian telah beralih profesi sebagai pekerja dan buruh kasar tenaga harian lepas baik itu yang bekerja sebagai tukang di proyek pembangunan perumahan/developer dan sebagian bekerja sebagai buruh pada pabrik-pabrik galangan kapal di sekitar Kota Batam. Salah satu bentuk solusi untuk mengatasi persoalan dan beban masyarakat berkenaan dengan pembebanan UWTO bagi masyarakat Kampung Tua yang akan mengajukan pendaftaran hak atas tanahnya untuk mendapatkan sertipikat (tanda bukti hak), oleh karenanya sekali lagi penulis mengusulkan 39
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
kepada Pemerintah Kota Batam bersama dengan pihak Badan Pengusahan (BP Batam) untuk segera mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar melakukan revisi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewajiban UWTO dimaksud sesuai dengan yang direkomendasikan pada bagian di atas. Perkembangan terakhir penolakan dari seluruh masyarakat dan para kaum pengusaha di Kota Batam atas pemberlakuan kenaikan tarif UWTO dimaksud yang akan berindikasi dapat menimbulkan keguncangan situasi kehidupan politik lokal di Kota Batam. Pada tanggal 27 Oktober 2016 sebanyak dua puluh delapan pengusaha besar dan yang berpengaruh di Kota Batam telah mengadakan pertemuan untuk menyusun agenda dengan satu tekad menolak kebijakan baru oleh BP Batam yang telah menaikkan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Dalam agendanya mereka akan melaksanakan pemasangan pamflet di setiap rumah dan tempat usaha yang pada intinya mereka menolak pembayaran UWTO tersebut. Gerakan penolakan dimaksud akan dilakukan secara besar-besaran yang ditujukan kepada Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) pada tanggal 31 Oktober 2016 secara serentak di Kota Batam. Dalam pada itu dapat disampaikan agenda gerakan penolakan ini akan dilanjutkan penutupan seluruh tempat usaha di Batam secara serentak mulai tanggal 7-9 November 2016, sebagai aksi protes terhadap kenaikan tarif baru UWTO dimaksud. Dalam agenda aksi protes selanjutnya akan dilakukan demonstrasi besar-besaran yang ditujukan kepada pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Atas situasi dan keadaan ini menurut pendapat penulis sangat memprihatinkan, karena secara langsung hal itu akan menyulut terjadinya guncangan dan kegaduhan suasana kehidupan politik baik hal itu pada tingkat lokal di Kota Batam maupun secara nasional. Secara langsung keadaan yang demikian juga akan mempengaruhi melambatnya pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) untuk wilayah Kota Batam pada umumnya dan secara khusus di wilayah Kampung Tua. Guna menyelesaikan hal dimaksud menurut pendapat penulis pihak Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) melalui Pemerintah Pusat untuk segera
melakukan langkah-langkah kebijakan politik praktis untuk menemukan bentuk penyelesaian secara konstruktif dan komprehensif dengan mengedepankan perintah dan amanat sebagaimana telah ditegaskan dalam Konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perintah dan amanat sebagaimana telah ditegaskan dalam konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 33 yang harus dijadikan dasar hukum. Dalam hal ini perlu diingatkan oleh penulis secara paradigmatik konstitusional (constitutional of paradigm), bahwa sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksud telah memberikan amanat dan perintah yang tegas bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Artinya, dasar hukum pemberlakuan UWTO dimaksud menurut pendapat penulis harus diverifikasi kebenarannya secara normatif dalam pendekatan hukum positif, dan hal ini sekaligus dalam rangka meneguhkan paham kedaulatan rakyat dan paham negara hukum vide Pasal 1 ayat (2) dan (3) Konstitusi Negara dimaksud, yang intinya pemberlakuan UWTO tersebut wajib diatur dan ditetapkan dengan undangundang. Pada sisi lain kendala yang sifatnya eksternal sebagaian besar jenis dan macam hak atas tanah yang diterbitkan oleh pihak Kantor Pertanahan Kota Batam atas hasil pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud bentuknya berstatus Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Hal ini terjadi adanya penetapan kebijakan dari pihak Badan Pengusahan Batam (BP Batam) sebagai pemegang Hak Pengelolaan pada dasarnya sertipikat (tanda bukti hak) harus dikeluarkan dalam bentuk Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Berkenaan dengan hal ini penulis mengusulkan dengan pertimbangan status hak atas tanah masyarakat Kampung Tua dimaksud sesungguhnya merupakan tanah yang bersifat komunal yang menjunjung tinggi pelaksanaan yang bersendi kepada hukum adat, maka penulis mengusulkan tanah masyarakat Kampung Tua terhadap hasil pendaftaran tanah dimaksud sertipikat (tanda bukti hak) atas tanah itu harus dikeluarkan dalam bentuk sertipikat dengan 40
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016 3 Dalam perspektif yuridis terutama dari aspek fungsi hukum, bahwa keberadaan sertipikat dimaksud bagi pemegang haknya dapat memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan hukum dan keadilan terhadap satuan bidang tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Relevan dengan hal ini bandingkan Idham, Kebijakan Hukum Pertanahan Anti Wong Cilik, Analisis Peraturan Presiden No. 36/2005, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yoyakarta, 2005. 4 Dalam pendekatan aksiologis (kebermanfaatan), sesungguhnya hak atas tanah yang telah bersetipikat diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat pemegang hak atas tanah tersebut. Menurut penulis hal ini sekaligus akan mengeliminir terjadinya kesenjangan sosial. Mengenai hal ini perhatikan lebih lanjut Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits, Seri Debat Publik Seputar Reformasi, Opini Masyarakat-Dari Krisis ke Reformasi, Demokratisasi dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Kompas, Jakarta, 1999. 5 Dalam pendekatan praktis di lapangan, bahwa tanda bukti hak dimaksud lazimnya disebut sertipikat atas penguasaan hak atas tanah. Bagi pemegang haknya terutama dikaitkan dengan tindakan politik hukum konsolidasi tanah utamanya untuk daerah perkotaan, maka apabila dilaksanakan oleh pemerintah penataan suatu kota melalui konsolidasi tanah kepada pemegang hak atas tanah dimaksud akan mendapatkan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang utama. Mengenai ini bandingkan Oloan Sitorusyang telah memberikan pendapatnya berkenaan dengan tujuan kebijakan tanah perkotaan, lebih lanjut perhatikan Oloan Sitorus Balans Sebayang, Konsolidasi Tanah Perkotaan, Suatu Tinjauan Hukum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yoyakarta, 1996. 6 Secara etimologis yang dimaksudkan dengan kebijakan adalah merupakan pernyataan prinsip sebagai landasan pengaturan dalam pencapaian suatu sasaran. Lihat lebih lanjut Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, Institute for SME Empowerment, Jakarta, 2002. 7 Dalam pendekatan asas pelaksanaan otonomi daerah dimaksud pada intinya dikembangkan atas dasar asas otonomi (desentralisasi) dan tugas pembantuan yang diberikan kewenangan kepada daerah. Relevan dengan hal ini perhatian Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. 8 Pondasi dasar yang dimaksudkan bahwa semua produk peraturan perundang-undangan berkenaan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud menurut hemat penulis juga merupakan bagian kehendak negara untuk melakukan program pembangunan hukum secara berkelanjutan guna meneguhkan tegaknya paham negara hukum. Mengenai hal ini bandingkan Herman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi 1,2 dan 3, Universitas Indonesia, Jakarta, tanpa tahun. 9 Frasa konstruksi dimaksud dapat diartikan susunan atau bagian-bagian. Mengenai hal ini lihat lebih dalam pengertian konstruksi sebagaimana dikemukakan oleh
status ”Hak Milik”. Berdasarkan penjelasan di atas khususnya berkenaan dengan beberapa faktor kendala dan/atau penghambat dalam konteks melaksanakan pendaftaran hak atas tanah masyarakat Kampung Tua untuk mendapatkan sertipikat sebagaimana dimaksud, maka pada bagian ini maka selanjutnya penulis memberikan rekomendasi untuk mengatasi berbagai faktor kendala dan sekaligus guna menemukan bentuk dan format penyelesaian terhadap percepatan dan keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya di Kelurahan Batu Besar sebagaimana dimaksud, seharusnya Pemerintah Kota Batam dan semua lembaga yang terkait segera melaksanakan langkah kebijakan publik dan politik hukum dengan mengedepankan beberapa teori yang telah dibentangkan oleh penulis sebelumnya dalam jurnal ini. Daftar Pustaka: 1 Pengertian pendaftaran tanah tersebut lebih lanjut dapat diperhatikan pendapat yang telah diketengahkan oleh A.P. Parlindungan. Beliau memberikan arti pengertian pendaftaran tanah tersebut dalam kaitannya dengan politik landreform, disebutkannya bahwa salah satu arti pendaftaran tanah tersebut adalah merupakan bagian dari kegiatan landreform itu sendiri. Perhatian A.P. Parlindungan, Serba-Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung, 1994. 2 UUPA dimaksud adalah merupakan sumber pokok hukum positif dalam konteks melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, dan sekaligus merupakan peraturan dasar pokok-pokok agraria. Dari sisi proses pembentukannya UUPA dimaksud pertama kali dilaksanakan oleh panitia agraria di Yogyakarta pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan panitia agraria Jakarta tahun 1951, dan panitia Suwahyo Tahun 1955, kemudian Rancangan oleh Soenarjo 1958 dan Rancangan Sadjarwo 1960. Puncaknya pada hari Sabtu, tanggal 24 September 1960 RUU yang telah disetujui oleh DPRGR disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria dan telah diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 104, kemudian penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 yang secara efektif mulai berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu pada tanggal 24 September 1960. Perhatikan lebih lanjut J. Kartni Soedjendro, Tafsir Sosial Hukum PPAT – Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yoyakarta, 2001.
41
Zona Hukum
10
11
12
13
14
15
16
Vol. 10, No. 2, 2016
Badudu – Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Telah ditegaskan pada bagian di atas kegiatan pendaftaran tanah merupakan induk dari kegiatan landreform. Mengenai hal ini lihat Eddy Ruchiyat, Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah, berdasarkan Undang-Undang (Prp) Tahun 1960, Armico, Bandung, 1983. Dalam pendekatan filsafat yang dimaksudkan dengan positivisme yuridis bahwa peranan hukum dimaksud dalam konteks pendekatan hukum bahwa hukum itu ditafsirkan merupakan suatu gejala dari hukum itu sendiri dan dari aspek mazhabnya disebut dengan mazhab positivisme. Relevan dengan hal ini, perhatikan lebih lanjut Theo Huijbers, Filasafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982. Relevan dengan makna kedaulatan rakyat dalam konteks pendaftaran tanah dimaksud telah dikemukakan oleh Iman Soetiknjo. Dalam hal ini lebih lanjut perhatikan Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994. Yang dimaksudkan dengan paradigmatik konstitusional bahwa dalam melaksanakan seluruh kebijakan pendaftaran tanah di Indonesia secara praktik harus bersumber dan merujuk atas perintah dalam undang-undang yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar penegakan hukum di bidang pendaftaran tanah dapat mempercepat tercapainya tujuan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Berkenaan dengan hal ini bandingkan Munaddjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku II: Nasional, Bina Cipta, Jakarta, 1985. Aktualiasi prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud telah dikonstruksikan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disingkat dengan UUPA, yaitu sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 dengan istilah sifat sosialisme. Menurut hemat penulis sifat sosialisme ini berkenaan dengan perlindungan hak atas tanah hukum adat dan/atau hak ulayat. Mengenai ini lihat lebih lanjut Sudargo Gautama, tafsiran undang undang pokok agraria, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Sejalan dengan hal yang telah disebutkan di atas, perhatikan pendapat J. Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, 2001. Hal tersebut dimaksudkan penulis bahwa pemerintah dan/atau negara dengan dasar sebagai pemegang amanat untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dimaksud haruslah memperhatikan sekaligus melindungi hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Kampung Tua yang telah diyakini sebagai jiwa rakyat yang bersumber dari sendi-sendi hukum adat. Relevan dengan hal ini bandingkan Winahyu Erwiningsih, Aktualisasi Hukum Agraria Guna Menunjang Otonomi Daerah, dalam Jurnal Hukum, Ius Quia Iustum, No: 13 Vol 7 - 2000, Pembaharuan Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yoyakarta.
17 Salah satu sasaran yang akan dicapai atas dilaksanakannya kegiatan pendaftaran tanah dimaksud adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang haknya yaitu di lahan tanah sebagai tapak permukiman lingkungan perumahan warga masyarakat di Kampung Tua, dalam upaya menata lingkungan perumahan yang lebih sehat. Mengenai hal ini bandingkan Andi Hamzah, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Rhineka Cipta, Jakarta, 2000. 18 Tersumbatnya pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua menurut pendapat penulis sebagian besar kendala dimaksud disebabkan rumitnya sistem birokrasi pertanahan di Indonesia karena berbagai faktor sebagaimana dimaksud. Hal ini bandingkan Peter J Burns, The Leiden Legacy, Concepts of Law in Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999. 19 Kendala struktural sebagaimana dimaksudkan di atas dalam pendekatan filsafat hukum ada relevansinya dengan kedudukan manusia di hadapan hukum. Dalam sistem pemerintahan bahwa seluruh produk hukum dimaksud tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan kemakmuran dan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Dalam hal ini bandingkan dengan pendapat E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002. 20 Menurut pendapat penulis, bahwa sesungguhnya dalam pendekatan aksiologi, salah satu maksud dan tujuan dilaksanakannya otonomi daerah dimaksud adalah dalam upaya merespon tuntutan modernisasi dalam upaya menata kehidupan yang lebih efisien guna meraih kemajuan dalam era persaingan global demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bandingkan A.A. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996. 21 Dalam pendekatan praktis operasional dan dikaitkan dengan politik hukum di bidang pertanahan sesungguhnya penataan ruang dimaksud memiliki salah satu tujuan yang mulia satu diantaranya untuk mengatur sistem pemilikan tanah dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan hal ini bandingan Eddy Ruchiyat, pelaksanaan landreform dan jual-gadai tanah, Berdasarkan Undang-Undang No.56 (Prp) Tahun 1960, Armico, Bandung, 1983. 22 Salah satu tujuan yang akan dicapai atas pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud yaitu dalam rangka menjaga sumber hayati kelautan yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, sebagai salah satu sumber potensi Sumber Daya Alam laut untuk menopang sumber mata pencahariannya. Mengenai hal ini bandingkan Elfindri, Jemmy Rumengan, dkk, Manajemen Pembangunan Kepulauan, Baduose Media, Yogyakarta, 2009. 23 Dalam pendekatan yang sifatnya praktis operasional bahwa penatagunaan hak atas tanah dimaksud juga merupakan subsistem kegiatan pendaftaran tanah dalam konteks menyelenggarakan perekaman atas hak tanah itu sendiri. Relevan dengan hal ini bandingkan A.P. Parlindungan, Serba Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung, 1984.
42
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
24 Kelambanan untuk menyelesaikan data dimaksud menurut hemat penulis merupakan salah satu faktor penyebab guna melakukan percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua dan sekaligus memunculkan persoalan antara hukum, manusia dan kenyataannya. Berkenaan dengan hal ini bandingkan Judiantoro dan Hartono Widodo, Mencari Hukum, Suatu Pemikiran, Alumni, Bandung, 1983. 25 Menurut pendapat penulis salah satu tujuan yang akan dicapai atas pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud terutama dari aspek politik hukum di bidang lingkungan hidup adalah dalam upaya menjaga keseimbangan pranata kehidupan sosial di wilayah Kampung Tua tersebut. Mengenai hal ini perhatian lebih lanjut Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Sofmedia, Medan, 2011. 26 Untuk mempercepat terwujudnya koordinasi yang terintegratif sebagaimana yang disebutkan pada bagian di atas, menurut pendapat penulis tindakan konkrit pada langkah awal yang harus dilakukan oleh semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud harus dimulai dari tindakan yang mengedepankan moralitas dan hukum. Berkenaan dengan hal ini bandingkan B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Alumni, Bandung, 2002. 27 Hal-hal pokok lainnya mengenai pendaftaran tanah di Indonesia telah dikemukakan oleh Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto. Terkait dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona Sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. 28 Menurut pendapat penulis dalam rezim otonomi daerah meskipun penguasa di daerah diberikan hak otonom untuk mengurus rumah tangganya sendiri seharusnya hak otonom itu dijalankan dalam upaya memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat khususnya yang berkenaan dengan pendaftaran tanah. Sejalan dengan hal ini bandingkan Samuel P.. Huntington, Bentuan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Qalam, Yogyakarta, 2002. 29 Pemohon yang dimaksudkan adalah warga masyarakat Kampung Tua, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, khususnya di Kelurahan Batu Besar, yang selama ini hak atas tanahnya sebagian besar belum mendapatkan pelayanan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat. Menurut hemat penulis kenyataan ini sangat bertentangan terhadap beberapa hal pokok substansi yang terkandung dalam UUPA yaitu satu diantaranya Negara/Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat di Kampung Tua tersebut. Mengenai hal ini bandingkan Abdurrahman, Tentang dan Sekitar UUPA, Alumni, Bandung, 1984. 30 Dari aspek politik hukum penerapan kebijakan Free Trade Zone (FTZ) dimaksud adalah dalam merespon tuntutan daerah Kota Batam sebagai suatu daerah yang sangat strategis sebagai daerah perdagangan, jas dan industri, yang diharapkan menjadi salah satu lokomotif terdepan untuk kemajuan perekonomian nasional. Berkenaan dengan hal dimaksud lebih lanjut bandingkan H.A. Dj. Nihin, Paradigma Baru
31
32
33
34
35
36
43
Pemerintahan Daerah Menyongsong Mellenium Ketiga, Mardi Mulyo, Jakarta, 1999. Hal diatas telah dikemukakan oleh Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988. Untuk mengatasi persoalan yang sudah sangat mengkhawatirkan tersebut yang dapat menyumbat percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua menurut hemat penulis pihak pemerintah Kota Batam dan semua pihak yang terkait harus secepatnya melakukan tindakan yang konkrit dengan melakukan upaya yang fokus, untuk mendorong motivasi guna peningkatan kesadaran hukum masyarakat di Kampung Tua dengan suatu tekad untuk memberikan pelayanan publik yang sebaik-baiknya demi kepentingan manusia dan kemanusiaan khususnya masyarakat Kampung Tua dalam hal pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat dan sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pemegang haknya. Sejalan dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Radisman F.S. Sumbayak, Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum, IND-HILL, Co ’85, Jakarta, 1985. Perda dimaksud menurut hemat penulis harus segera dituntaskan oleh Pemerintah Kota Batam salah satu tujuannya adalah untuk memberikan garansi dan perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat Kampung Tua yang pendapat penulis sudah merupakan tanah hak ulayat sebagai tiang kedua dari tanah masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat Kampung Tua dimaksud. Relevan dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Sejak RR Tahun 1854, Alumni, Bandung, 1991. Proses pendekatan sebagaimana yang telah diterangkan pada bagian diatas, ada hubungannya dengan pendapat A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1991. Secara aksiologis salah satu maksud dan tujuan yang akan diwujudkan dalam konteks politik hukum atas pelaksanaan undang-undang mengenai tata ruang dimaksud juga harus diintegrasikan terhadap pengertian kepentingan umum dalam konteks pelaksanaan politik hukum pertanahan khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua, yang pada intinya menurut hemat penulis negara harus hadir memberikan perlindungan dan jaminan hukum kepada warga masyarakat Kampung Tua, yang sebagian besar masih lemah kemampuan ekonominya untuk melaksanakan program pendaftaran tanah secara sistematik yang pembiayaannya ditanggung oleh negara. Mengenai hal ini bandingkan Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988. Kerangka teori dan kerangka konsep sebagaimana dimaksudkan pada hakekatnya adalah dalam rangka mempertanggungjawabkan tentang hakekat ilmu itu sendiri, yaitu untuk memberikan penjelasan hal yang berkenaan dengan ontologi (membahas tentang apa yang ingin diketahui), epistimologi (bagaimana
Zona Hukum
37
38
39
40
41
42
43
Vol. 10, No. 2, 2016
cara/proses mendapatkan pengetahuan) dan aksiologi (untuk mengetahui nilai kegunaan/manfaat pengetahuan tersebut), guna mempertanggung jawabkan kebenaran. Bandingkan Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. Secara paradigmatik mengenai kerangka teori dan konsep ini perhatikan lebih lanjut, Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penulisan jurnal Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000. Dalam perspektif yang sifatnya teoretis konseptual paling tidak beberapa landasan teori yang disampaikan dalam jurnal ini sesungguhnya merupakan pisau analisis untuk memecahkan terhadap persoalan yang dibentangkan. Relevan dengan hal ini terutama berkenaan dengan fungsi teori dimaksud lebih lanjut bandingkan Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, PPM, Jakarta, 2003. Untuk mempercepat terwujudnya kebermanfaatan atas dilaksanakannya kegiatan pendaftaran tanah dimaksud, menurut pendapat penulis dalam melakukan analisis pemecahan permasalahannya sesungguhnya tidak hanya dibahas dari satu aspek disiplin ilmu, karena dalam pelaksanaannya banyak aspek lain yang turut mempengaruhinya. Oleh karena itu menurut penulis harus dilakukan integrasi antar disiplin ilmu. Mengenai hal ini bandingkan Lili Rasjidi, Manajemen Riset Antardisiplin, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991. Pendapat besar Jeremy Bentham, yang sekaligus digunakan sebagai Grand Theory, pada intinya menegaskan bahwa dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya dibidang hukum. Untuk selanjutnya perhatikan H.Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Untuk mewujudkan suasana kehidupan masyarakat yang bahagia terutama bagi masyarakat Kampung Tua terhadap hak kepemilikannya atas satuan bidang tanah yang telah dikuasainya secara turun-temurun keinginan yang paling dirindukan oleh masyarakat saat ini yaitu diterbitkannya sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang telah dikuasainya. Hal ini menurut pendapat penulis sekaligus akan memberikan alat bukti yang kuat dan jaminan pemberian kepastian hukum. Berkenaan dengan hal ini bandingkan Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004. Terkait dengan hal tersebut diatas, lebih lanjut dapat diperhatikan Julia Brannen, Memadu Metode Penulisan jurnal Kualitatif dan Kuantitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Untuk selanjutnya menurut hemat penulis dalam konstelasi membahas permasalahan dalam penulisan jurnal ini konstruksi grand theory dimaksud harus didukung dengan pemikiran-pemikiran yang sifatnya
44
45
46
47
48
49
44
teoretis dan hal ini sangat berhubungan dengan proses pengumpulan data yang diperlukan. Relevan dengan hal ini bandingkan Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Frasa revolusi nasional menurut pendapat penulis bukanlah merupakan tindakan fisik yang sifatnya anarkis, melainkan hal itu dimaksudkan guna merumuskan untuk tercapainya tujuan hukum, yaitu dalam rangka mewujudkan suatu keadilan terutama dalam konteks pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Relevan dengan hal ini bandingkan Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Untuk mewujudkan percepatan rasa kebahagian bagi masyarakat Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, dalam hal pelaksanaan pendaftaran tanah kembali ditegaskan oleh penulis bahwa Pemerintah Kota Batam harus segera secara proaktif dan konsisten melaksanakan seluruh produk peraturan perundang-undangan untuk meneguhkan paham hukum positif di Indonesia. Lebih lanjut mengenai hal ini bandingkan Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. Dalam hubungan ini perhatikan lebih lanjut H. Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Sofmedia, Medan, 2012. Dalam pelaksanaannya middle theory sebagaimana yang dimaksudkan terutama dalam melaksanakan pendaftaran tersebut, menurut pendapat penulis juga digunakan sebagai salah satu dasar untuk mewujudkan rasa kebahagian bagi masyarakat Kampung Tua untuk segera mendapatkan sertipikat terhadap satuan bidang tanah yang telah dikuasainya secara turun-temurun, karena pada kenyataannya yang selama ini dirasakan masyarakat proses untuk mendapatkan sertipikat dimaksud sangat sulit, satu diantara penyebabnya adalah hak atas tanah masyarakat di Kampung Tua tersebut sebagian besar dikuasai oleh Badan Pengusahan (BP Batam) sebagai pemegang Hak Pengelolaan. Bandingkan A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem U.U.P.A (UndangUndang Pokok Agraria), Mandar Maju, Bandung, 1989. Sesungguhnya rasa kebahagian dan kemakmuran yang harus dirasakan masyarakat Kampung Tua, dalam hal terwujudnya pendaftaran hak atas tanah dalam rangka penerbitan sertipikat sebagaimaan dimaksud, sesungguhnya juga merupakan kebahagiaan bagi pemerintah dan negara terutama dalam konteks memberikan makna yang sesungguhnya terhadap arti sebuah kemerdekaan kepada masyarakat dan bangsanya. Mengenai hal ini lebih lanjut bandingkan A.P. Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Mandar Maju, Bandung, 2001. Dalam pendekatan teoretis konseptual bahwa keberadaan suatu norma hukum dimaksud merupakan turunan dari filsafat hukum itu sendiri, dan hal dimaksud dapat pula dikatakan merupakan induk dari
Zona Hukum
50
51
52
53
54 55
56
Vol. 10, No. 2, 2016
semua refleksi teoretis tentang hukum. Mengenai hal ini lebih lanjut perhatikan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000. Dalam hubungan ini ada kaitannya tentang kebermaknaan filsafat hukum dalam konteks pelaksanaan segala bentuk produk perundangundangan. Perhatikan lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975. Sejalan dengan hal dimaksud M. Solly Lubis, telah mengetengahkan pendapatnya bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah haruslah sesuai dengan sistem kehidupan nasional bangsa dan negara Indonesia. Bandingkan M. Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989. Kenyataan yang terjadi di lapangan masyarakat di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, saat ini kondisinya sudah sangat apatis dan berpasrah diri dalam hal menghadapi tersumbatnya pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertipikat. Menurut hemat penulis harus ada langkah yang sporadis untuk dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam beserta jajarannya dengan mengedepankan integritas moral yang baik guna segera melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dimaksud berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Berkenaan dengan hal ini bandingkan H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Edisi I, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1998. Sebagaimana dimaklumi bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah di Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, dalam pendekatan praktis operasional sesungguhnya hal itu merupakan tindakan yang objektif dari politik hukum landreform di Indonesia, yang mempunyai sasaran akhir adalah untuk mewujudkan rasa kebahagiaan khususnya bagi masyarakat di Kampung Tua tersebut. Relevan dengan hal ini perhatian lebih lanjut Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya Dengan Landreform di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990. H.Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, Op.cit.,. Menurut hemat penulis salah satu strategi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam, untuk mewujudkan percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah dimaksud seharusnya memberikan perhatian, dan perlindungan terhadap Hak Milik dan Hak Komunal masyarakat di Kampung Tua mengenai satuan bidang tanah yang telah dikuasainya dalam waktu yang lama. Mengenai hal ini bandingkan Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni, Bandung, 1986. Relevan dengan hal ini Idham telah mengemukakan pendapatnya terkait dengan hal yang diuraikan di atas pada muara terakhir dalam konteks pembentukan
57
58
59
60
61
62
45
peraturan perundang-undangan terdapat kaitan yang sangat erat. Untuk selanjutnya bandingkan Idham, Paradigma Pembentukan Undang-Undang, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2005. Dalam pendekatan paradigmatik filosofis konstruksi norma hukum yang dikonstatir dalam Pasal 16 UUPA dimaksud sesungguhnya dibentuk dari sendi-sendi hukum adat. Sejalan dengan hal ini perhatikan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum adat dalam UUPA dan untuk selanjutnya bandingkan pula Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta, 1985. Dalam pendekatan praktis operasional bentuk konkrit atas pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah termasuk di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam sebagaimana dimaksud, sesungguhnya tindakan itu adalah berkenaan dengan hak menguasai dari negara guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga masyarakat, mengenai status hak kepemilikannya terhdap tanah dimaksud. Relevan dengan hal ini bandingkan A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Alumni, Bandung, 1990. Secara etimologis yang dimaksud dengan buku tanah adalah merupakan kumpulan dari asli/originali sertipikat (tanda bukti hak) suatu bidang tanah yang telah terdaftar dan diterbitkan sertipikatnya, dan dalam perspektif politik hukum ekonomi bahwa tanah yang telah memiliki sertipikat mempunyai nilai jaminan yang lebih tinggi jika dibandingkan terhadap hak atas tanah yang belum bersertipikat, namum dari aspek pemanfaatannya dalam pendekatan fungsi sosial bagi pemegang hak atas tanah dimaksud harus tetap mengedepankan kepentingan umum. Lebih lanjut mengenai hal ini bandingkan C.F.G. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, tanpa tahun. Dalam pendekatan metodologi hal dimaksud juga merupakan penelitian hukum yang bersifat doktrinal, artinya pangkal data yang digunakan adalah bersumber dari data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), dan untuk mendapatkan jawaban yang kritis untuk menuju kebenaran hal tersebut harus didukung dengan tindakan yang sifatnya empiris. Mengenai hal ini lebih lanjut bandingkan berkenaan dengan metodologi penelitian dengan rasionalisme. Lebih lanjut bandingkan H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000. Upaya untuk melakukan integrasi sebagaimana dimaksudkan sesungguhnya adalah dalam konteks untuk mengetahui secara mendalam yang berpusat dari hal-hal yang sifatnya teoretis konseptual. Berkenaan dengan hal ini terutama terkait dengan untuk mengetahui yang umum dan pengetahuan yang teoretis, perhatikan lebih lanjut Mahadi, Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 1991. Tindakan konkrit atas studi kepustakaan dimaksud sesungguhnya adalah melakukan inventarisasi data sekunder yang berupa bahan hukum hukum prime, sekunder dan tertier atau dengan kata lain melakukan inventarisasi mengenai hukum positif. Berkenaan
Zona Hukum
63
64
65 66
67 68
69
Vol. 10, No. 2, 2016
dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Muhamad Kadafi dan Idham, Metodologi Penelitian Hukum, Perdana Publishing, Medan, 2016, hal. 85. Kegiatan dimaksud juga merupakan bentuk epistomologi yang merupakan bagian dari metode ilmiah itu sendiri. Bandingkan Jemmy Rumengan dan Idham, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2015. Salah satu maksud dan tujuan diterapkannya kebijakan FTZ untuk wilayah Kota Batam yang merupakan suatu kebijakan dan politik hukum negara sesungguhnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang diharapkan Kota Batam sebagai salah satu kawasan FTZ diharapkan mampu menjadi lokomotif yang produktif dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional, yang dalam pelaksanaan kebijakannya harus berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi berkaitan dengan penegakan Indonesia sebagai negara hukum. Bandingkan lebih lanjut Muhammad Kadafi dan Idham, Etika Berwarganegara Dalam Perspektif Nasional Karakter Building Bangsa, Perdana Publishing, Medan, 2015. Keberadaan Kampung Tua dimaksud menurut pendapat penulis harus mendapatkan perlindungan dan sekaligus jaminan dari negara untuk mempertahankan keberlanjutan dan kelestariannya sebagai komunitas masyarakat adat. Oleh karenanya satuan bidang tanah yang telah dikuasai secara turuntemurun oleh masyarakat Kampung Tua dimaksud harus dipertahankan sifat komunalistik religius yang berkenaan dengan hak atas tanah. Relevan dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Oloan Sitorus dan Nomadyawati, Hak Atas Tanah dan Kondominium, Suatu Tinjauan Hukum, Dasamedia Utama, Jakarta, 1995. Lebih lanjut lihat Riduwan, Op.cit. Perhatikan lebih lanjut Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003. Perhatikan, Anju Dwivedi, Metodologi Pelatihan Partisipatif, Amanah, Bantul, 2003. Untuk mempercepat dilakukannya proses guna penerbitan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah seseorang, termasuk di wilayah Kampung Tua, sesungguhnya negara harus proaktif untuk melakukan pendaftaran tanah. Bersamaan dengan itu kepada warga masyarakat yang menguasai hak atas tanah yang belum memiliki sertipikat semestinya juga harus segera melakukan pendaftaran hak atas tanahnya. Berkenaan dengan hal ini perhatian lebih lanjut Effendi Peranginangin, Praktek Hukum Agraria, Mengamankan Hak Atas Tanah, Esa Study Club, Jakarta, 1982. Sebagai landasan yang sifatnya filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang bahagia dalam konteks pelaksanaan pendaftaran tanah menurut pendapat penulis harus sesuai dengan dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Dalam pada itu sebagai landasan konstitusionalnya harus berdasarkan amanat konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar
70
71
72
73
74
46
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai hal ini lebih lanjut bandingkan tentang aspek hukum yang perlu diperhatikan dan dipecahkan dalam rangka pengembangan kota, lihat lebih lanjut A.P. Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, Alumni, Bandung, 1981. Penjelasan mengenai masyarakat Bugis dari Provinsi Sulawesi Selatan yang berjuang membuka Kampung Tua di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, sebagaimana dimaksud hal tersebut berdasarkan keterangan dan jawabannya dari Bapak M. Syahid Yusri, sebagai Ketua Rukun Warga 01, Kelurahan Batu Besar, sekaligus yang bersangkutan saat ini menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Masyarakat Selayar (Permas) yang dibentuk pada tahun 2014. Wawancara dimaksud dilakukan penulis bertempat di Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, pada hari Senin, 24 Oktober 2016, pukul 16:40 WIB. Seluruh produk peraturan perundang-undangan dimaksud, menurut pendapat penulis harus merupakan pedoman dan menjadi dasar bagi pihak Pemerintah Kota Batam beserta pihak dan/atau lembaga terkait dalam rangka melaksanakan pendaftaran tanah di Kampung Tua. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya mampu mempercepat terwujudnya fungsi hukum berkenaan dengan penegakan hukum itu sendiri, yaitu dari hasil pelaksananaan pendaftaran tanah dimaksud dapat mewujudkan kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweck-massigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Lebih lanjut perhatian Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Substansi pokok yang diatur dalam Perda Tata Ruang dimaksud sesungguhnya adalah yang berkenaan dengan perencanaan untuk memanfaatkan ruang khususnya yang berkaitan dengan penatagunaan hak atas tanah di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Relevan dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Robert R. Wright dan Sussan Webber Wright, Land Use, West Publishing Company, St. Paul, Minnesota, 1985. Dalam perspektif aksiologis kemampuan fungsi lingkungan hidup khususnya di wilayah Kampung Tua sesungguhnya guna mempertahankan sekaligus memberikan jaminan perlindungan terhadap kemampuan ekonomi tanah yang berwawasan lingkungan. Berkenaan dengan hal ini perhatikan lebih lanjut Raldi Hendro Koestoer, Perspektif Lingkungan Desa – Kota, Teori dan Kasus, UI Press, Jakarta, 1977. Dalam pendekatan praktik operasional terutama untuk melaksanakan pendaftaran tanah di Kampung Tua tersebut, bahwa keberadaan peta dimaksud akan digunakan sebagai dasar oleh Kantor Pertanahan Kota Batam dalam melakukan pengurusan secara kadasteral dan dokumen dimaksud merupakan salah satu dokumen penting dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dalam konteks pendaftaran hak atas tanah yang belum berstatus untuk mendapatkan sertipikat, lazimnya pendaftaran tanah seperti itu pada saat rezim pemerintahan Seoharto dikenal dengan pendaftaran dengan slogan Prona
Zona Hukum
75
76
77
78
Vol. 10, No. 2, 2016
(Proyek Nasional Agraria). Mengenai hal ini perhatian lebih lanjut Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona Sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rokonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012. Secara epistimologis yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan (HP) adalah hak penguasaan, dalam bahasa Belanda disebut Beheersrecht. Menurut pendapat penulis Hak Pengelolaan khususnya di wilayah Kota Batam sebagian besar saat ini pemegang hak tunggalnya adalah Badan Pengusahan (BP Batam), seharusnya dalam konteks pendaftaran tanah Pemerintah Kota Batam bersama Badan Pengusahan (BP Batam), memberikan jaminan sekaligus perlindungan terhadap keberlangsungan satuan bidang tanah masyarakat Kampung Tua untuk segera dilakukan pendaftaran dalam rangka penerbitan sertipikat, karena dalam tatanan kehidupan masyarakat di Kampung Tua secara faktual telah dilaksanakan prinsip-prinsip hukum adat dalam menata kehidupan sosialnya. Mengenai hal ini bandingkan Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah penguasan Tanah dan Pemilikan Tanah, Rajawali, Jakarta, 1985. Dalam Naskah Akademik RUU Pertanahan yang saat ini proses pembahasannya sedang dilakukan oleh Panitia Khusus (Pansus) di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) norma hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap tanah masyarakat hukum adat telah dirumuskan sedemikian rupa. Artinya, untuk waktu yang akan datang keberadaan tanah masyarakat hukum adat/tanah hak ulayat secara politik hukum pertanahan wajib mendapatkan perlindungan dari negara. Demikian juga halnya terhadap hak atas tanah masyarakat Kampung Tua, menurut hemat penulis harus mendapatkan perlindungan dari Pemerintah Kota Batam dan/atau pihak lembaga negara yang terkait. Jika hal ini dilakukan menurut pendapat penulis sekaligus dapat dan mampu menyelesaikan benturan yang merupakan fenomena hukum khususnya bagi masyarakat Kampung Tua terkait dengan belum diperolehnya sertipikat terhadap hak atas tanah yang telah dikuasai secara turun-temurun. Berkenaan dengan hal ini bandingkan Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Hal yang dimaksudkan adalah untuk mendukung secara sistemik keberhasilan Pemerintah Kota Batam dalam konteks penyediaan tanah untuk kepentingan infrastruktur kota yang komprehensif, dan dalam pelaksanaannya harus diintegrasikan dengan pihak Badan Pengusahan (BP Batam) sebagai pemegang Hak Pengelolaan dalam rangka mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Mengenai hal ini lebih lanjut bandingkan G.
79
80
81
82 83
84
85
47
Kartasapoetra, dkk, Masalah Pertanahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1986. Jeremy Bentham, Teori Perundang Undangan, Prinsp-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Nuansa, Bandung, 2006. Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013. Dalam pendekatan aksiologi kepastian hukum yang dimaksudkan terutama yang berkenaan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat (tanda bukti hak) terhadap satuan bidang tanah di wilayah Kampung Tua tersebut, sesungguhnya mempunyai maksud yang hakiki yaitu dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak privat atas tanah itu sendiri, untuk dan kepentingan masyarakat Kampung Tua. Mengenai hal ini lebih lanjut bandingkan Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang Berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994. Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2009. Politik anggaran yang dimaksudkan adalah untuk mendukung optimalisasi dalam hal membiayai kegiatan pendaftaran tanah khususnya di Kampung Tua, yang mempunyai tujuan negara dapat melakukan pelayanan publik kepada masyarakat di Kampung Tua dalam rangka memberikan kepastian hukum berupa sertipikat (tanda bukti hak) terhadap hak atas tanah yang telah dikuasai masyarakat di wilayah Kampung Tua, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Berkenaan dengan hal ini lebih lanjut perhatian Nurmadjito, Refleksi Hukum Birokrasi, Indonesiasatu Publisher, Jakarta, 2009, hal. 13. Relevan dengan hal ini menurut pendapat penulis jika hal dimaksud dapat terwujudnya rasa kebahagian bagi masyarakat Kampung Tua sekaligus dapat mewujudkan sistem politik kehidupan masyarakat yang madani. Bandingkan lebih lanjut M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat di Kampung Tua, yaitu dengan Novrial, sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, yang menegaskan bahwa status kepemilikan hak atas tanah masyarakat Kampung Tua, alas haknya hanya berupa surat pernyataan kepemilikan lahan secara di bawah tangan. Wawancara dilakukan penulis bertempat di Kelurahan Batu Besar, pada hari Selasa, 25 Oktober 2016, pukul 15:30 WIB. Keterangan lebih lanjut mengenai proses dan perkembangan RUU Perlindungan Masyarakat Adat tersebut saat ini pembahasannya terhenti di DPR-RI, padahal substansi RUU tersebut naska akademiknya (NA) sudah lengkap disiapkan sedemikian rupa sebelumnya oleh pengusul RUU tersebut. Hal ini menurut penulis terjadi karena lemahnya perhatian pemerintah dan para wakil rakyat di DPR-RI untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tersebut, dan disinyalir adanya distorsi kepentingan politik dari
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
pihak-piha tertentu yang sengaja menghambat disahkannya RUU tersebut. Berkenaan dengan substansi ini penulis telah melakukan wawancara dengan Ibu Dian di Sekretariat Badan Legislasi DPRRI, pada hari Rabu, 26 Oktober 2016, pukul 15:12 WIB.
48