PLAY THERAPY ART EXPRESSION MEDIA MENGGAMBAR UNTUK MENGURANGI STRESS ANAK JALANAN KORBAN PELECAHAN SEKSUAL
Zakki Nurul Amin, S.Pd. Edwindha Prafitra Nugraheni, S.Pd., Kons. Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
[email protected] [email protected]
Abstrak Kehidupan anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Salah satunya yang saat ini sering menjadi sorotan adalah kasus kekerasan, eksploitasi, dan pelecahan seksual. Secara psikologis anak jalanan belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh. Sementara itu dengan kompleksitas permasalahan yang ada, seringkali tidak dapat dihindari stress yang dialami oleh anak jalanan, dalam hal ini stress akibat pelecahan seksual. Artikel ini ditulis sebagai salah satu upaya untuk menjawab isu permasalahan sosial tersebut. Play therapy art expression media menggambar dengan lima R tahap terapi ini yakni : Relating (Berhubungan), Releasing (Melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali), Reexperience (Mengalami kembali), dan Resolving (Memecahkan) harapannya dapay digunakan sebagai salah satu intervensi dalam membantu mengurangi stress pada anak jalanan korban pelecahan seksual. Kata kunci: Play Therapy Art Expression Media Menggambar, Stress, Anak Jalanan Korban Pelecahan Seksual Pendahuluan Anak jalanan adalah fenomena nyata penyebab munculnya permasalahan sosial yang kompleks dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Keberadaan anak jalanan diabaikan dan tidak dianggap ada oleh sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat awam. Anak jalanan, dipercaya semakin tahun semakin meningkat jumlahnya. Menurut data Badan Pusat Statistik jumlah anak jalanan saat ini kurang lebih 154.861 jiwa (data Badan Pusat Statistik, dalam http://www.bps.go.id). Sebagian besar terdapat di Ibu Kota Jakarta, dan sebagain lainnya tersebar dalam kota-kota besar lainnya di wiliayah Indonesia seperti Surabaya, Makassar, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Batam. Di wilayah Semarang khususnya, pekerjaan yang dilakukan anak jalanan bermacammacam. Di tengah-tengah derita dan penyiksaan yang mereka alami, mereka tetap harus berjuang mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Pekerjaan yang dilakukan seperti pengamen, tukang semir, penjual koran, ciblek, pedagang asongan dan sisanya bekerja apa saja, termasuk menjadi mayeng (pemungut barang sampah). Anak jalanan terse-
H
Alamat korespondensi: Gedung A2, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229
but menyebar di berbagai titik kota Semarang, di antaranya kawasan Tugu Muda, Simpang Lima, pasar Johar, Bundaran Kalibanteng, Perempatan Metro, Pasar Karangayu, dan Swalayan ADA Banyumanik (Jawa Pos, 21 Juli 2008, dalam Wijayanti, 2010). Kehidupan anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang mengancam anak jalanan misalnya kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan lain, komunitas dewasa, Satpol PP, bahkan kekerasan seksual; penggunaan pil, alkohol dan rokok; dan penyakit-penyakit menular seperti HIV/AIDS (Wijayanti, 2010). Dalam penelitian Widyatwati, dkk (2005), menyebutkan pula bahwa anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai jenis dan bentuk kekerasan baik fisik maupun seksual, namun mereka umumnya tidak berdaya menghadapi kekerasan tersebut. Anak jalanan berada dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan jelas dan tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak seperti keluarga, masyarakat, dan negara. Kondisi nyata di lapangan, permasalahan yang saat ini sering menjadi sorotan adalah kasus kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak jalanan. Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000) da-
ISBN 968-602-14132-1-0
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
lam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris. Di kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Kemudian, belum lama ini ada pemberitaan melalui media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri (Radar Semarang dan Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000 dalam Shalahuddin, 2010). Secara psikologis anak jalanan adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan sering menimbulkan berbagai konflik dan benturan dalam diri anak jalanan. Oleh karena itu secara psikologis, anak jalanan sangat rentan mengalami stress, kecemasan, dan depresi. Stress secara khsuus megacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang dinilai mengancam atau membahayakan. Hal-hal yang menimbulkan stress disebut dengan stressor, di mana stressor-stressor yang ada akan memicu terjadinya kecemasan dan depresi, yang dampak lebih jauh lagi akan mengarahkan perilaku akan pada sikap-sikap negatif dan melanggar norma. Beberapa bentuk dari akibat stress anak jalanan akan mudah berperilaku antisosial: berkelahi, mencuri, merampas, dan memeras. Play therapy digunakan untuk memunculkan kekuatan terapeutik dari bermain yang digunakan untuk menolong konseli mencegah dan memecahkan masalah dan mencapai perkembangan yang optimal. Play Therapy digunakan sebagai alat diagnosis dan penyembuhan. Sedangkan menggambaar sebagai wujud dari art expresiion merupakan salah satu bentuk permainan yang dapat digunakan untuk mengenali simbol non verbal dan metafora yang dikomuniksikan dengan proses kreatif, yang mungkin sukar diekspresikan dengan kata-kata atau dengan modalitas lainnya (Loekmono, 2012). Therapy ini selain dapat mengungkap stressor anak, tindakan melukis itu sendiri dapat bersifat menyembuhkan karena memulai proses menguasai suatu kejadian dan keadaan sehingga membuat anak lebih berdaya, sehingga harapnnya dapat membantu anak
jalanan yang mengalam stress untuk mengurangi bahkan mengatasi stressnya. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengajukan artikel program intervensi komunitas anak jalan dengan menggunakan Play Therapy Art Expression Menggunakan Media Menggambar Untuk Mengurangi Stress Anak Jalanan. Harapannya dengan progam intervensi ini dapat digunakan untuk membantu anak-anak jalanan khususnya, terkait permasalahan dan stress yang dialami. Definisi a. Anak Jalanan Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 (dalam Pugara, 2010) disebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup di jalanan dan anak yang menghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membiayai hidupnya, baik yang masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Menurut Shalahuddin (2000), yang dimaksudkan anak jalanan adalah individu yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan tidak hanya menunjuk pada "jalanan" saja, melainkan juga tempat tempat lain seperti pasar, pusat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal, dan stasiun. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat umum. b. Stress pada Anak Jalanan Sebenarnya stres merupakan hal yang senantiasa dialami oleh manusia dalam kesehariannya dan merupakan suatu bagian yang tidak terelakkan dari proses perjalanan kehidupannya. Hampir setiap saat manusia berada dalam situasi stres, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam berhubungan dengan masyarakat. Proses perjalanan tersebut pada akhirnya dapat memunculkan stres. Clifford T. Morgan, dkk., 1986, dalam Tanti (2007) berpendapat bahwa terminologi stress mengacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai
125
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
mengancam atau membahayakan. Keadaan fisik, lingkungan sosial dan situasi sosial yang mengakibatkan stress disebut stressor. Stressor tertentu mengakibatkan keadaan stress kemudian mengarahkan pada munculnya respon-respon tertentu baik berupa respon fisik pada tubuh (sakit perut, pusing, jantung berdebar, dan sebagainya), atau respon psikologis seperti kecemasan dan depresi. Sedangkan yang terkait beberapa masalah yang sering dijumpai dan menjadi stressor oleh anak jalanan Departemen Kesehatan juga menyebutkan permasalahannya yakni (1) lingkungan kumuh, udara tercemar, sengatan matahari, dan gas kendaraan bermotor, (2) perilaku berisiko pelanggaran hukum, (3) pengaruh dan tekanan kelompok sosial, (4) stres, dan (5) rawan terhdap kekerasan. Lebih jauh lagi sebagai dampak dari permasalahan-persamalahan tersebut antara lain : 1. Rentan terkena penyakit infeksi, seperti ISPA, diare, tifus, hepatitis, dan kulit maupun rawan masalah gizi. 2. Sulit memperoleh akses pelayanan kesehatan di lingkungan tempat tinggal anak jalanan. 3. Perilaku berisiko di antara anak jalanan yang dapat menyebabkan penyakit menular seksual, seperti GO, sifilis, dan HIV/AIDS sebagai akibat perilaku seks bebas. 4. Pengaruh dan tekanan kelompok yang mengakibatkan anak jalanan minum alkohol, merokok, dan menyalahgunakan NAPZA yang berdampak bagi kesehatan. 5. Akibat stres, anak jalanan mudah berperilaku antisosial: berkelahi, mencuri, merampas, dan memeras. 6. Banyak terjadi kasus perkosaan, sodomi, dan pelecehan seksual lain. c. Pelecahan Seksual Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak aduan kekerasan pada anak di tahun 2010. Menurut Sutrisno (2010) Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi kepada anak adalah kekerasan seksual sebanyak 45,7 persen (53 kasus), kekerasan fisik sebanyak 25 persen (29 kasus), penelantaran sebanyak 20,7 persen (24 kasus), dan kekerasan psikis 8,6 persen (10 kasus). Kekerasan seksual yang biasa dilakukan adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif seperti rasa malu, ma-
rah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan (Annisa, 2007). Triwijati (dalam journal.unair.ac.id), mengemukakan bahwa pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual merupakan suatu bentuk perilaku berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak atau tidak dikehendaki oleh korban karena dapat menimbulkan reaksi negatif pada diri korban. Pelecehan seksual sebenarnya bukan soal seks. Intinya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas, sekalipun pelaku mencoba meyakinkan korban dan dirinya sendiri bahwa ia melakukannya karena seks atau romantisme. Dengan kata lain, pelaku baru merasa "berarti" ketika ia bisa dan berhasil merendahkan orang lain secara seksual. Lebih jauh lagi Annisa (2007), menyebutkan bahwa bentuk pelecehan seksual ini sangat luas seperti main mata, siulan nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan imingiming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual sampai perkosaan. Pelecehan juga dapat berupa komentar atau perlakuan negatif yang berdasar pada gender, karena pada dasarnya pelecehan seksual merupakan pelecehan gender, yaitu pelecehan yang didasarkan atas gender seseorang. d. Play Therapy Art Expression (Terapi Bermain Ekspresi Seni) Bila diamati, pendekatan play therapy (terapi bermain), tampaknya lebih menyentuh dengan aspek-aspek perkembangan pada anak dan sesuai dengan karakteristik hubungan sosial anak-anak jalanan yang cenderung tidak menyukai suatu yang serius. Terapi bermain, sebagai salah satu intervensi kesehatan mental, dirancang untuk membantu anak-anak tumbuh gembira dalam dunianya. Untuk itu, konseling dengan pendekatan bermain menjadi suatu pendekatan yang layak untuk dipergunakan dalam rangka membantu anak yang mengalami stres dengan alasan, pertama, masa anak adalah masa bermain. Konseling dengan cara bermain, berarti telah menempatkan anak dalam habitatnya. Kedua, kecenderungan anak belum seluruhnya mampu mengungkapkan perasaan, ketakutan, kecemasan, dan kegelisahannya melalui bahasa verbal. Maka, melalui terapi bermain, segala
126
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
bentuk ekspresi perasaan anak yang ditekan akan terungkap. Hal yang ketiga, masa anak disebut juga masa operasional konkret. Dengan media permainan, anak akan lebih leluasa mengungkapkan suasana perasaannya melalui benda atau alat-alat permainan yang konkret. Dengan demikian, suasana konseling dapat terbangun dengan hangat, antara konselor dengan anak (klien). Menurut Freud dan Erikson (dalam Santrock, 1999) bermain sangat berguna dalam suatu proses penyesuaian diri dan dapat membantu anak dalam mengatasi kecemasan dan masalah yang terjadi. Berbagai tekanan yang mereka alami akan menurun ketika mereka melakukan suatu permainan sehingga anak dapat melakukan pola coping terhadap masalah yang mereka alami. Lebih lanjut, Goleman (2001) menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada dua penyembuhan sekaligus yang dapat terjadi dalam proses permainan. Pertama, ingatan (traumatik) yang terwujud dalam bentuk permainan akan berada dalam konteks kecemasan tingkat rendah sehingga dapat mengumpulkan ingatan tentang trauma. Kedua, dalam permainan, anak-anak dapat memegang kendali, ke mana arah akhir cerita akan dibawa. Oleh karena itu anak-anak merasa berada dalam posisi pihak yang menang dan mereka dapat mengendalikan keadaan serta menjadi lebih berdaya. Dengan demikian, berarti anak telah memiliki kunci menuju penyembuhan akan stressnya. Terapi bermain mampu menciptakan suatu hubungan yang harmonis dan dinamis antara konselor dengan anak (klien). Dengan terapi ini, sangat memungkinkan tercipta suatu relasi yang aman bagi anak untuk mengekspresikan dan melakukan eksplorasi ke dalam dirinya yang berupa pikiran, perasaan, pengalaman, dan tingkah lakunya. Disebut terapi bermain karena dalam pelaksanaannya menggunakan alat-alat permainan. Setiap permainan memiliki makna simbolis yang dapat membantu konselor untuk dapat mendeteksi sumber-sumber permasalahan anak. Sukmanigrum (2001) menyebutkan, sekurangnya ada lima bentuk alat permainan. Pertama, alat permainan ekspresi seni, seperti: pensil, cat air, lilin, krayon. Kedua, alat permainan khayal, seperti: boneka, pedang-pedangan, atau pistolpistolan, Ketiga, alat bermain konstruksi seperti: balok susun, lego. Keempat, bentuk games, seperti: congklak, domino, ular tangga, kartu, dan yang kelima, alat permainan lempar, seperti: bola, dan papan dart. Menurut Sukmanigrum (2001), terapi bermain berdampak positif bagi pertumbuhan kesehatan mental anak. Terapi bermain tidak hanya
memfasilitasi anak dalam mengungkapkan emosinya, tetapi juga membantu terapis (konselor) untuk mendeteksi apa yang menjadi sumber ketakutan. mereka. Ketakutan yang dibawa ke alam bawah sadar akan terbawa melalui jenis dan pilihan permainan yang mereka lakukan. Salah satu teknik dalam terapi bermain yang dapat digunakan untuk membantu anak yang mengalami trauma akibat kekerasan adalah dengan menggunakan teknik menggambar. Teknik ini berkembang karena adanya kecendrungan anak belum mampu mengekspresikan diri, pikiran dan peresaan mereka secara tepat untuk disampaikan kepada orang lain dengan menggunakan kata-kata. Menurut Sujanto (1980) yang digambar anak adalah yang penting-penting saja Anak menggambar apa yang diketahui, bukan yang dilihat. Selain dapat mengungkap ekspresi stress, media seni melukis atau menggambar cenderung mampu mereduksi serta mengeliminasi sumbersumber keteganggan, sehingga lambat laun akan berpengaruh kepada pemulihan anak. Pandangan ini berdasarkan temuan yang disampaikan Goleman (2001) bahwa salah satu cara untuk memperoleh gambar yang melekat dalam pikiran anak adalah melalui seni karena seni itu sendiri merupakan medium alam tak sadar. Jalur ini seringkali digunakan untuk mengobati anakanak yang mengalami trauma. Terkadang, seni dapat membuka jalan bagi anak untuk membicarakan saat mengerikan yang tidak akan berani mereka bicarakan dengan cara lain. Menggambar dapat menjadi solusi bagi anak dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan baik yang positif maupun yang negatif tentang diri, orang tua, keluarga, dan dunianya. Menurut Djiwandono (2005) gambar memberikan arti kepada konselor jika dihubungkan dengan anak-anak yang terluka, mengasingkan diri, kecewa, dan tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada orang dewasa. Konselor dapat menangkap sekilas perasaan dan pikiran yang tidak disadari dalam gambar anak yang tidak dapat diobservasi dalam model terapeutik yang lain. Gambar dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan katarsis dengan membebaskan perasaan dan memecahkan konflik secara aman. Proses menggambar dan hasilnya sebagai cara untuk membebaskan konflik, mengalami kembali suatu kejadian, menyalurkan kembali melalui sublimasi, dan memecahkannya. Djiwandono (2005) berpendapat melalui proses yang artistik, media menggambar dan hasil akhir memberikan arti (1) membangun hubungan dengan anak, (2) mengukur kebutuhan anak, (3)
127
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
meminta informasi diagnostik, (4) membebaskan emosi melalui katarsis, dan (5) memudahkan pertumbuhan. Jadi, seni melukis atau menggambar, selain dapat mengungkap stressor anak, tindakan melukis itu sendiri dapat bersifat menyembuhkan karena memulai proses menguasai suatu kejadian dan keadaan sehingga membuat anak lebih berdaya. Prosedur Pelaksanaan a. Penjelasan Umum Pendekatan play therapy art expression, akan lebih menyentuh dengan aspek-aspek perkembangan pada anak dan sesuai dengan karakteristik hubungan sosial anak-anak jalanan yang cenderung tidak menyukai suatu yang serius. Terapi ini dengan menggunakan media menggambar, sebagai salah satu intervensi kesehatan mental, dirancang untuk membantu anak-anak tumbuh gembira dalam dunianya. Terapi ini menjadi suatu pendekatan yang layak untuk dipergunakan dalam rangka membantu anak mengungkap ekspresi stress, mereduksi serta mengeliminasi sumber-sumber ketegangan, sehingga lambat laun akan berpengaruh kepada pemulihan anak. Gambar memberikan arti kepada konselor jika dihubungkan dengan dinamika psikologis anak-anak, msalnya anak yang terluka, mengasingkan diri, kecewa, dan tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada orang dewasa. Konselor dapat menangkap sekilas perasaan dan pikiran yang tidak disadari dalam gambar anak yang tidak dapat diobservasi dalam model terapeutik yang lain. Selain itu gambar dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan katarsis dengan membebaskan perasaan, stressor, dan memecahkan konflik secara aman. Prinsip-prinsip dalam terapi bermain sebagaimana dijelaskan oleh Axline (dalam Christiana, 2008) adalah sebagai berikut : (1) Terapis harus menciptakan suasana yang hangat, hubungan yang bersahabat dengan anak; (2) Terapis menerima anak sebagaimana adanya; (3) Terapis harus mengembangkan perasaan permisif dalam hubungan anak; (4) Terapis harus waspada terhadap perasaan anak yang diekspresikan dan direfeksikan kembali dalam bentuk tingkah laku; (5) Terapis diharpkan mengahargai kemampuan anak dalam memcehkan masalahnya sendiri jika diberi kesempatan untuk melakukannya; (6) Terapis tidak diperkenankan langsung menegur perbuatan anak, atau intervensi nilai ; (7) Terapis jangan cepat-cepat melakukan terapi; (8) Terapis
hanya mengembangkan keterbatasasn-keterbatasan yang diperlukan dalam menarik anak untuk terapi, dan pada kenyaatannya akan membuat anak sadar akan tanggung jawabnya dalam hubungan terapis. Ketika konselor siap untuk memulai terapi bermain, hal yang dibutuhkan adalah beberapa mainan dan materi mainan untuk memudahkan komunikasi dengan anak. Materi atau bahan mainan harus dipilih atau diseleksi untuk memudahkan pelaksanaan terapi kepada anak. Mainan harus sederhana, mempunyai konstruksi yang kuat dan sehat, mudah bagi anak memanipulasi dan inajinasi. Seperti yang diungkapkan Ginott (dalam Christiana, 2008) memilih mainan secara rasional harus (1) memudahkan dalam mengembangkan kontak dengan anak; (2) membangkitkan dan mendorong katarsis; (3) membantu mengembangkan insight; (4) melengkapi dalam mengetes realita; (5) sebagai media untuk terjadinya perubahan. Sebagain besar terapis Axline, Ginott, Landreth (dalam Christiana, 2008) setuju bahwa mainan dan materi peramainan harus memudahkan timbulnya ekspresi anak, mendorong kreativitas, membantu anak-anak menyalurkan emosinya dan memberikan jalan keluar bagi ekspresi agresif. Mainan dan meteri permainan diberakan untuk masing-masing tujuan terapi dan bagaimana menggunakannya. Bentuk-bentuk terapi bermain dapat dilakukan memalui berbagai media, dalam hal ini akan lebih dikhusukan play therapy art expression menggunakan media menggambar. b. Tahap-Tahap Pelaksanaan Lima tahap dalam proses bermain meliputi 5 terapi R: Relating (berhubungan), Releasing (melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali) kejadian-kejadian pengalamanpengalaman, hubungan-hubungan, Reexperience (mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara yang memudahkan penegrtian baru, dan Resolving (memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru dalam bermain. c. Contoh Aplikasi Dalam penerapan play therapy art expression menggunakan media menggambar dibutuhkan alat-alat dan bahan-bahan untuk menunjang penerapan terapi oleh konselor. Adapun bahanbahan yang perlu disiapkan adalah alat tulis pensil, crayon warna dan buku gambar A4. Adapun contoh aplikasinya akan dijelaskan berdasarkan penjabaran dari tahap-tahap pelaksanaan Terapi Bermain:
128
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
1. Relating (berhubungan), dalam tahap ini konselor mencoba membina dan membangun rapport dengan anak, menciptakan hubungan yang dekat, hangat, nyaman, percaya, rileks, dan bebas berekspresi dengan tidak kaku dan canggung. Tahap awal ini menjadi sangat penting karena menjadi awal dibentuknya therapeutic alliance antara konselor dan konseli. Pada tahap ini untuk membangun rapport yang baik dapat dilakukan dengan perkenalan, melakukan gamegame ice breaking, menyampaikan maksud dan tujuan, dan mengenali kondisi dinamika hubungan untuk memberikan terapi. 2. Releasing (melegakan) perasaan. Dalam tahap ini konselor melakukan penerimaan (acceptance) kepada konseli, memahami kondisi dengan empathic understanding, memberikan reassurance, serta menegaskan bahwa kehadirannya menerima apapun kondisi konseli. 3. Re-Creating (menciptakan kembali) kejadian-kejadian pengalaman-pengalaman, hubungan-hubungan. Dalam tahap ini konselor mencoba mengungkapkan kembali kejadian-kejadian dan pengalaman yang dialami konseli yang belum dapat terselesaikan (unfinishing business) atau masih menggangu dalam benak konseli, terkadang pengalaman yang dialami konselilah sebagai faktor penyebab stress yang dialaminya. Oleh karena itu dalam tahap ini konselor mencoba memunculkan kembali untuk menciptakan kesadaran konseli terkait stress yang dialaminya. 4. Reexperience (mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara yang memudahkan pengertian baru. Setelah konseli memahami pengalaman dan hubungan-hubungan yang menyebabkan stress, konseli mulai merasakan kembali pengalaman-pengalaman stress yang ia alami. Pada tahap ini konselor mengembangkan harapan-harapan, kebutuhan, serta pemahaman baru yang lebih positif dari diri konseli terkait pengalaman stess yang dialaminya. 5. Resolving (memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru dalam bermain. Setelah konseli memahami pengalaman-pengalaman stressnya, serta mampu mengembangkan harapan dan pemahaman baru yang lebih positif, pada tahap ini konseli diminta mengekspresikan pengalaman, stress, masalah, dan juga harapan-harapannya ke dalam media yang telah disediakan dengan cara menggambar.
d. Evaluasi dan Tindak Lanjut Dalam terapi ini, evaluasi dilakukan ketika proses terapi berlangsung dan melalui hasil/ gambar yang dibuat oleh anak-anak. Ketika proses berlangsung, konselor memahami dinamika psikologis anak yang ditujukan baik secara verbal maupun non verbal. Sedangkan evaluasi hasil dilakukan dengan mengintrepetasi makna dan pesan yang tertera dalam gambar anak, jika diperlukan konselor dapat pula meminta anak menceritakan dan menjelaskan maksud dan arti gambar yang dibuatnya. Gambar yang dibuat anak akan memiliki beberapa pemaknaan, antara bermakna positif dan negatif, ataupun bermakna biasa saja terkait dinamika psikologis anak. Sedangkan sebagai tindak lanjut dalam terapi ini adalah dengan melihat hasil evaluasi, dimana apabila dirasa dalam proses terapai ini ditemukan pengalaman-pengalaman atau stressor yang masih belum dapat ditemukan pemecahannya sendiri oleh konseli, maka dapat dilanjutkan dengan melakukan pelayanan konseling secara individual untuk lebih mengintenskan terapi bantuan. Simpulan Pendekatan play therapy art expression menggunakan media menggambar, digunakan sebagai salah satu intervensi dalam membantu untuk mengurangi stress pada anak jalanan korban pelecahan seksual. Terapi ini menjadi suatu pendekatan yang layak untuk dipergunakan dalam rangka membantu anak mengungkap ekspresi stress, mereduksi serta mengeliminasi sumbersumber keteganggan, sehingga lambat laun akan berpengaruh kepada pemulihan anak. Dalam terapi ini pula konselor membantu konseli untuk menemukan pikiran dan perasaan yang terdalam melalui karya seni dan yang bermakna, dan membantu mereka untuk memperoleh insight dan pertimbangan, sehingga berkembang lebih baik pemahaman dari diri sendiri dan menghubungkan orang-orang disekitarnya. Lima tahap dalam proses bermain meliputi 5 terapi R: Relating (Berhubungan), Releasing (Melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali) kejadian-kejadian pengalamanpengalaman, hubungan-hubungan, Reexperience (Mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara yang memudahkan pengertian baru, dan Resolving (Memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru dalam bermain.
129
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
Daftar Pustaka Annisa, Rifka. 2007. Pelecehan Seksual. Available at http://www.kesrepro.info [accessed 2012/02/11] Christiana, Elisabeth. 2008. Teknik Terapi Bermain pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Pendidikan Dasar Universitas Negeri Surabaya. Djiwandono, Sri Esti. W. 2005. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Goleman, D. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Loekmono, Lobby. 2012. Indonesia Butuh Konselor. Disampaikan dalam diskusi panel nasional UKSW Salatiga 25 Februari 2012. Pugara, Miqdad Azizta. 2010. Program Kreativitas Mahasiswa Konsep "Zona Sejahtera" Sebagai Upaya Preventif Terhadap Kriminalisasi Penanganan Anak Jalanan. Available at http:// pugara.blogspot.com [accessed 2011/04/01] Santrock, J.W. 1999. Life Span Development. New York: Mc Graw Hill (Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia). Shalahudin, Odi. 2000. Anak Jalanan (Studi Kasus atas Persoalan Sosial). Available at http://odishalahuddin.wordpress.com [accessed 2011/11/23]
Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru. Sukmaningrum, E. 2001. Terapi Bermain Sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma Pada Anak. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Unpad. Sutrisno, Elvan Dany. 2010. KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual pada Anak di Tahun 2010. Available at http://www.detiknews.com [accessed 2012/02/12] Tanti, Rias. 2007. Stres dan Kehidupan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Penelitian Sosial Triwijati, N.K. Endah. (n.d) Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Available at journal.unair. ac.id [accessed 2012/02/10] Widyatwati, Ken, dkk. 2005. Kekerasan terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Semarang). Laporan Penelitian. Semarang: Universitas Diponegoro. Available at http://eprints.undip.ac.id/21648/2/611-kifs-06.pdf [accessed 2011/11/22] Wijayanti, Pratiwi. 2010. Aspirasi Hidup Anak Jalanan Semarang. Intisari Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
130