BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebelum tahun 1990an, perekonomian Jepang merupakan salah satu terbesar didunia setelah Amerika Serikat. Secara struktural dan pertumbuhan ekonomi Jepang sangat baik. Ketika dua krisis energi terutama minyak pada tahun 1973 akibat invasi Irak dan 1979 akibat Revolusi Iran membuat beberapa negara maju yang menghandalkan pada sektor industri mengalami stagnansi ekonomi akibat rendahnya pasokan minyak mereka, hal ini justru tidak berlaku di Jepang. Jepang masih menikmati tingginya pertumbuhan gross domestic product (GDP) dengan rata-rata diatas 4-7 % pertahunnya. Bahkan pada akhir 1990an, gross national product (GNP) Jepang berada di posisi pertama di dunia mengalahkan Amerika Serikat. Namun pertumbuhan ekonomi Jepang yang sangat tinggi hanya bertahan hingga awal tahun 1992. 1 Periode setelah 1992 merupakan periode dimana Jepang justru mengalami stagnansi pertumbuhan, periode ini biasa disebut the lost decade. Jepang mengalami resesi ekonomi atau the lost decade pada awal tahun 1990an akibat pecahnya atau berhentinya fenomena bubble economy pada akhir 1980an. Penyebab the lost decade menurut para ahli ekonomi sangat beragam, seperti kesalahan kebijakan fiskal, liquidity trap, pasar yang mulai jenuh dengan investasi akibat terlalu besarnya investasi pada periode bubble economy, serta persoalan dalam intermediasi finansial. 2 Namun yang menjadi penyebab utamanya adalah ketika Bank of Japan menaikkan suku bunga bank dari 2.5 % menjadi 3.25 % pada Mei 1989 bahkan pada Agustus 1990 menaikkan suku bunga hingga 6%. Kenaikkan suku bunga ini sangat berpengaruh terhadap harga saham (stock price) di Nikkei, pada desember 1989 sebagai puncaknya nilai harga saham jatuh 40% di tahun 1990, capital loss pada saat itu diperkirakan menembus angka 307 triliun yen, harga saham jatuh ke angka 45% pada tahun 1992 dan capital loss diperkirakan hingga 178 triliun pada tahun tersebut.3 Dampak terbesar dari the lost decade di Jepang selain turunnya pertumbuhan ekonomi adalah besarnya kredit bermasalah atau nonperforming loans (hutang yang gagal dibayar oleh 1
Kuepper, Justin, Japan’s Lost Decade: Brief History & Lessons (daring),
, diakses 5 Mei 2014 2 Hayashi, Fumio, The 1990s In Japan : A lost Decade, September 10, 2001, hal 207, :casee.asu.edu/upload/Prescott/2002-Hayashi-REDThe%201990s%20in%20Japan%20A%20Lost%20Decade.pdf, diakses pada 13 Mei 2014 3 Iyoda, Mitsuhiko, Postwar Japanese Economy: Lessons of Economic Growth and the Bubble Economy, New York: Springer, 2010, hal 69
3
peminjam) yang dialami beberapa institusi perbankan Jepang. Jatuhnya harga saham secara tajam membuat semakin besarnya beban hutang yang ditanggung oleh bank-bank besar serta institusi finansial di Jepang. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah menyediakan anggaran yang cukup besar yang berasal dari uang publik (sebagian besar hasil dari pajak) untuk menyelamatkan bank-bank tersebut dengan menerapkan kebijakan “too big to fail policy”. Oktober 1998, pemerintah Jepang mereformasi birokrasi ekonomi dan finansial mereka dengan berhasilnya diet meloloskan 1) undang-undang Financial System Revitalization, yang membuat Kementerian Finansial (Finance Ministry atau 大蔵省; Ōkura-shō) kehilangan otoritas mereka menjadi supervisor sektor perbankan di Jepang dan menciptakan Financial Services Agency sebagai institusi pembuat kebijakan yang independen yang bertanggung jawab mengawasi performa bank, sekuritas dan perdagangan mata uang dan insuransi dengan tujuan menstabilkan sistem finansial di Jepang. 2) Financial Revitalization Law, yang memberikan otorisasi penggunaan dana sebesar $515 milyar—jumlah yang lebih besar daripada yang di otorisasikan oleh Amerika Serikat ketika merespons krisis finansial tahun 2008 dan 2009—untuk menyelamatkan institusi finansial Jepang. 4 Meskipun akhirnya sektor finansial Jepang di reformasi secara total pada tahun 1998, namun yang menjadi perhatian adalah kenapa pemerintah Jepang baru melakukan reformasi ketika dampak yang terjadi sudah cukup parah. Sektor finansial di Jepang memang terkenal dengan resistensi mereka terhadap perubahan-perubahan kearah liberalisasi . Setiap adanya perubahan untuk lebih meliberalisasi akan selalu ada penolakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun birokrat. Dalam reformasi tersebut salah satu bank yang diselamatkan oleh pemerintah Jepang adalah Long-Term Credit Bank of Japan (LTCB). Namun untuk LTCB selain melakukan rekapitalisasi aset, pemerintah Jepang juga mereformasi atau meliberalisasi peraturan mengenai investasi asing, hal ini dikarenakan Long-Term Credit Bank pada akhirnya diakuisisi oleh pihak asing yaitu Ripplewood Holdings dari Amerika Serikat. Long-Term Credit Bank of Japan (株式会社日本長期信用銀行 Kabushiki-kaisha Nippon Chōki Shin'yō Ginkō) dibentuk pada tahun 1952 dibawah arahan Shigeru Yoshida, merupakan salah satu dari tiga bank milik Jepang yang bidang operasionalnya khusus mengenai pinjaman jangka panjang ke industri. Peran LTCB sangat krusial untuk industrialisasi Jepang paska Perang Dunia II dengan cara memberikan dana investasi ke industri-industri berkembang terutama investasi berupa pinjaman jangka panjang, menjalin 4
Collapse of the Bubble Economy in Japan , diakses pada 6 Mei 2014
(daring),
4
kerjasama yang erat dengan birokrat elit di Ministry of Finance (MoF) and Ministry of International Trade and Industry (MITI). Karena usahanya khusus untuk meminjamkan uang ke industri-industri Jepang, LTCB memiliki hubungan yang cukup erat diantara industri Jepang dan pemerintah sebagai masterplan. Namun ketika terjadi stagnansi ekonomi pada masa bubble economy, LTCB pada tahun 1998 dinyatakan bangkrut serta aset mereka dinasionalisasikan. Dibawah Financial Revitalization Law, pemerintah mengambil alih non-performing loans (hutang yang tidak memberikan keuntungan) dari LTCB menggunakan uang publik sebagai tindakan penyelamatan LTCB secara menyeluruh dan pemerintah berkewajiban mencari pembeli dari LTCB yang sudah diselamatkan tersebut. Dalam pencarian pembeli potensial, pemerintah melakukan pendekatan terhadap beberapa perusahaan finansial dalam keiretsu serta pihak asing. Pada akhirnya terdapat dua pembeli yang berpotensial untuk dipilih oleh pemerintah Jepang, yaitu koalisi Chuo Trust Bank dan Mitsui Trust Bank (akhirnya mereka melakukan merger) dan Ripplewood Holdings, perusahaan finansial Amerika Serikat. Kekecewaan masyarakat Jepang terjadi ketika pemerintah Jepang justru memilih Ripplewood Holdings sebagai pembeli sah dan pada Maret 2000 LTCB diakuisisi oleh Ripplewood Holdings. Kritik masyarakat semakin besar terhadap kasus akuisisi LTCB, mereka tidak menyukai pihak asing mengambil keuntungan dari bank yang diselamatkan oleh pemerintah disaat krisis dengan menggunakan uang hasil dari pajak. November 1999, Iwata Junsuke politisi Democratic Party of Japan (DPJ) menyatakan di Diet bahwa pemerintah Jepang seharusnya lebih giat mencari pembeli dari Jepang daripada menjual LTCB ke pihak asing dengan harga diskon. 5
2. Rumusan Masalah 1) Mengapa pemerintah Jepang, setelah mengalami resesi sejak 1988 akhirnya melakukan liberalisasi sektor finansial pada tahun 1998? 2) Bagaimana proses liberalisasi sektor finansial tersebut dalam proses penjualan LongTerm Credit Bank of Japan kepada Ripplewood Holdings?
5
Suginohara, Masako, The Politics of Economic Nationalism in Japan : Backlash against Inward Foreign Direct Investment , Asian Survey, Vol.48, No. 5 (September 2008), California: University of California Press, hal 849
5
3.
Landasan Konseptual a) Developmantal States Perekonomian Jepang menganut sistem developmental state, dimana pemerintah menerapkan peraturan yang sangat ketat terhadap beberapa sektor ekonomi, termasuk sektor finansial. Sistem finansial Jepang memiliki motif untuk memberikan keuntungan terhadap kepentingan politik dari kelompok sosial yang berkuasa, seperti bank atau industri, pemerintah dan institusi-institusi birokrasi. Intervensi-intervensi yang dilakukan oleh pemerintah maupun MOF dalam sistem finansial memiliki tujuan untuk menciptakan hasil yang lebih baik terhadap kepentingan politik dan keamanan untuk mempromosikan industrialisasi dan membatasi pertumbuhan tingkat inefisiensi melalui regulasi finansial.6 Selain itu Konsep developmental state digunakan oleh pemerintah Jepang dalam sistem finansial melalui interlocking personal diantara politisi (pemerintah dan Liberal Democratic Party), birokrat (MOF) dan elit bisnis dalam menentukan setiap kebijakan-kebijakan yang akan diimplementasikan. Praktik tersebut menekankan terhadap wewenang pemerintah dalam membuat undang-undang dan otoritas kuat MOF dalam mengatur sistem finansial sesuai dengan kepentingan ketiga aktor tersebut. Pemerintah Jepang membuat jaringan politik antara MOF dan perusahaan finansial untuk melakukan sinkronisasi kebijakan, peraturan main dan informasi apa saja yang harus beredar dalam sistem finansial. Sistem developmental state pada sektor finansial hanya mampu bertahan hingga terjadi krisis finansial Asia tahun 1997. Regulasi yang ketat terhadap sektor finansial berakibat jatuhnya beberapa perusahaan finansial. Perusahaan finansial Jepang yang relatif lebih sehat kondisinya tidak mampu lagi menolong perusahaan finansial yang mengalami krisis. Pemerintah meskipun mengisyaratkan tidak akan membiarkan perusahaan finansial mengalami kebangkrutan, namun mengalami dilema akibat tekanan dari pemerintah akibat menggunakan uang publik dalam jumlah yang sangat besar.
6
Lukauskas, Arvid, Financial Restriction and the Developmental State in East Asia, Toward a More Complex Political Economy (daring), diakses 17 September 2014
6
b) Institusionalisme Institusionalisme merupakan suatu pendekatan dalam studi ilmu ekonomi, sosial dan politik untuk mempelajari mengenai apa itu institusi, apa dampak institusi terhadap organisasi atau aktor (aktor merupakan entitas yang berinteraksi dan terpengaruh terhadap institusi) didalamnya, serta potensi terjadinya perubahan dalam institusi. Institusi sendiri didefinisikan sebagai seperangkat peraturan kerja (working rules) yang dapat digunakan sebagai penentu siapa yang dapat membuat kebijakan disuatu arena, kebijakan atau langkah apa yang diizinkan dan dilarang, prosedur seperti apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus dan tidak harus disediakan, dan apa imbalan yang harus diberikan ketika aktor melakukan sesuatu.7 Dalam penelitian ini akan menggunakan institusionalisme sebagai pendekatan untuk melihat aktor apa yang berpengaruh dalam institusi, bagaimana suatu institusi secara struktural membentuk preferensi dari aktor atau membatasi kebiasaan aktor, dan bagaimana institusi dapat berubah. Perubahan secara institusi berarti ada perubahan strategi dari aktor yang mengakibatkan perubahan equilibrium institusi tersebut. Perubahan strategi dari aktor diakibatkan adanya jarak antara kecepatan perubahan lingkungan dengan lambatnya adaptasi dari institusi politik dan ekonomi. Jarak ini muncul dalam bentuk kegagalan performa dan skandal.8 Sistem finansial Jepang sebagai suatu institusi merupakan sebuah hasil equilibrium dari interaksi dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah, ministry of finance dan perusahaan finansial. Interaksi dan strategi ketiga aktor tersebut berubah ketika sistem finansial tidak mampu mengikuti perubahan lingkungan, dalam kasus ini krisis finansial. Kegagalan performa yang dihasilkan oleh sistem finansial Jepang dengan jatuhnya beberapa perusahaan finansial membuat ketiga aktor mempertanyakan kapasitas dan integritas dari sistem finansial Jepang. Ditambah dengan skandal korupsi yang melibatkan MOF dan beberapa eksekutif perusahaan terkait alokasi dana penyelamatan terhadap perusahaan membuat keyakinan masyarakat terhadap MOF mengalami erosi. Jatuhnya beberapa sektor finansial dan korupsi yang terjadi membuat pemerintah LDP tidak memiliki dukungan dari masyarakat, hal ini yang membuat pemerintah LDP merevisi strategi mereka untuk meliberalisasi sektor finansial. 7
Ostro, Elinor, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action, Cambridge University Press, Cambridge, 1990, hal 51 8 Toya, Tetsuro, The Political Economy of the Japanese Financial Big Bang: Institutional Change in Finance and Public Policy Making, Oxford University Press, New York, 2006, hal 40
7
4.
Argumen Utama Reformasi finansial yang terjadi pada tahun 1996 diakibatkan besarnya tekanan dari masyarakat terhadap pemerintah akibat semakin buruknya kondisi finansial dan skandalskandal yang terbukti menunjukkan indikasi praktik korupsi antara MOF dan perusahaan finansial. Tekanan tersebut mengakibatkan turunnya popularitas dari partai berkuasa dalam pemerintah yaitu LDP dan puncaknya pada tahun 1993, LDP kehilangan poisis mayoritas mereka dalam pemilihan umum yang sudah bertahan semenjak 1955. Kondisi tersebut membuat pemerintah Jepang merevisi strategi mereka untuk tidak bertahan dalam sistem finansial yang berbasiskan hubungan erat antara pemerintah, MOF dan perusahaan finansial dalam menjalankan sistem finansial, dan berubah menjadi sistem finansial yang lebih liberal. Selain itu dengan pemerintah sebagai inisiasi melakukan reformasi, hal ini diduga akibat adanya perubahan komposisi kekuatan atau pengaruh aktor dalam sistem finansial di Jepang. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap bagaimana sistem finansial di Jepang berjalan. Sehingga reformasi sektor finansial pada tahun 1998 merupakan sebuah proses akumulasi dari perubahan komposisi kekuatan dari aktor yang berpengaruh dalam sistem finansial.
5.
Jangkauan Penelitian Tinjauan penelitian akan dibatasi pada peristiwa atau kondisi penting yang memengaruhi Jepang untuk meliberalisasi pada the lost decade pada akhir periode 1980an, krisis finansial di Asia pada tahun 1997, serta periode liberalisasi sektor finansial tahun 1996 hingga 1998.
6.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian bersifat kualitatif dengan dukungan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan studi literatur atau kajian pustaka. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari beberapa situs resmi yang menyediakan informasi terkait reformasi sektor finansial Jepang dari situs resmi pemerintah Jepang dan organisasi internasional, serta beberapa situs berita internasional yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari buku, jurnal ilmiah, serta data-data kuantitatif dari organisasi internasional baik berupa media cetak maupun digital. Proses analisis data menggunakan pendekatan teknik analisis data kualitatif. Teknik ini terdiri dari tiga proses yang berkesinambungan, mulai dari mereduksi data, berupa 8
manipulasi, integrasi, transformasi dan meringkas data terkait dengan kategori data yang sudah terorganisir. Pengorganisasian data merupakan pengumpulan informasi yang terkait dengan penelitian dan mengkategorisasi informasi tersebut menjadi kelompok yang spesifik, sehingga data-data yang diperoleh terstruktur dengan baik untuk mempermudah menjawab persoalan penelitian. Terakhir interpretasi terhadap data-data yang sudah diperoleh melalui pengambilan keputusan, identifikasi pola, pengembangan serta penjelasan terhadap informasi-informasi yang didapat.
7.
Sistematika Penulisan BAB I berisi tentang latar belakang masalah , rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesa, jangkauan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan dari penelitian ini. BAB II menggambarkan kondisi dan penyebab dari pertanyaan dan sekaligus menjawab pertanyaan dalam penelitian ini. BAB III merupakan bagian dari jawaban terhadap pertanyaan mengenai studi kasus dalam penelitian ini. BAB V berisi tentang kesimpulan penelitian yang menjawab rumusan masalah dari penelitian ini.
9