Pendahuluan Dalam masyarakat Timor - Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah fenomena yang sangat menarik. Fenomena ini sering terjadi ketika ada peristiwa kematian, di mana orang yang masih hidup dapat berkomunikasi dengan roh orang yang telah meninggal dunia, lewat seorang medium atau perantara. Dalam bahasa Timor mereka mengenalnya dengan sebutan Nitsae atau Nitusae. Fenomena Nitusae ini diwariskan turun-temurun dari nenek moyang masyarakat Timor. Nitusae atau Nitsae berasal dari kata Nitu dan Sae.1 Nitu biasanya dalam bahasa Timor dipakai untuk istilah mayat, namun Nitu juga merupakan istilah umum dalam bahasa Timor bagi arwah-arwah atau roh-roh yang melambangkan kuasa kematian.2 Dan Sae mengandung arti „masuk‟ atau „naik atau memanjat‟. Jadi Nitusae merupakan „roh yang masuk‟. Roh yang masuk ke dalam tubuh orang yang hidup guna memberitahukan tujuan dan maksudnya yang belum tersampaikan. Dalam beberapa kasus, roh itu menggunakan medium untuk berbicara kepada keluarga tentang hal-hal yang harus diketahui oleh keluarga, baik itu bersifat privasinya atau yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dari roh tersebut dan bagaimana perlakuan keluarga terhadap jasad dari si mati.3 Ketika terjadinya penyampaian pesan, orang yang dirasuki itu atau orang yang menjadi medium tidak menyadarinya, namun ada juga orang yang menjadi medium secara sadar menyampaikan maksud dari roh orang yang sudah meninggal tersebut, dengan merasa terdorong untuk memberitahukan pesan. Adapun respon dari keluarga 1
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 12 Maret 2012 P. Middlekoop, Atomi PAh Meto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 89. 3 Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol 2
9
adalah mendengarkan dan menuruti apa yang menjadi kehendak roh orang yang telah meninggal itu. Fenomena ini hanya berlangsung selama jasadnya belum dikuburkan atau dalam hitungan tiga hari setelah menghembuskan nafas. Dan yang paling sering mengalami atau kemasukan roh adalah kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki.4 Fenomena Nitusae ini juga terjadi pada warga jemaat GMIT Efata Huko‟u di desa Oesena, kecamatan Amarasi Timur, kabupaten Kupang, yang merupakan tempat penelitian penulis. Sebagai orang Kristen mereka memandang kematian merupakan sebuah perpisahan antara jiwa dan raga. Dimana jiwa pergi meninggalkan raga dan langsung menuju ke tempat yang sangat damai, yaitu ke pangkuan Bapa di Sorga dan tidak lagi bersentuhan dengan kehidupan orang yang masih hidup. Namun dalam kenyataanya Jemaat ini juga mempercayai dan mengalami apa yang dimaksud dengan fenomena Nitsae atau Nitusae. Hampir di banyak peristiwa kematian yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, pengalaman-pengalaman akan fenomena Nitusae selalu terjadi. Roh orang yang telah meninggal berbicara kepada keluarga lewat setiap orang yang diinginkan roh itu untuk menjadi medium. Fenomena ini cukup banyak terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, maka penulis ingin mengetahui “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Fenomena Nitusae di Jemaat Efata Huko’u Oesena”. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penyusun mengangkat pokok permasalahan yang akan menjadi panduan dalam penyusunan jurnal ini yakni, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena? 4
Hasil Wawancara dengan Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th
10
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena. Manfaat dari penelitian ini bagi gereja yaitu, agar gereja dapat mengetahui pengaruh kepercayaan Nitusae terhadap kehidupan warga jemaatnya, dan mengambil sikap sehingga gereja dapat membimbing dan mengarahkan warga jemaatnya dalam ajaran gereja yang ada. Pendekatan penelitian yang penulis ambil adalah pendekatan Kualitatif, yaitu pendekatan yang mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae di dalam Jemaat Huko‟u Oesena, dusun Satu, Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Penulis menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi langsung, untuk mendapat informasi dengan melihat dan mendengarkan apa yang dilakukan dan dikatakan para informan berdasarkan pengalaman mereka. Yang diwawancarai informan kunci di atas yaitu orang-orang yang pernah mengalami Nitusae, orang-orang yang pernah menyaksikan peristiwa Nitusae dan pendeta serta juga majelis gereja. Penelitian dilakukan di Jemaat Huko‟u Oesena, Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Konsep-Konsep Tentang Fenomena Nitusae Kematian adalah pengalaman yang tidak bisa disangkal dalam kehidupan setiap makhluk hidup termasuk manusia. Kematian adalah sesuatu yang belum dimengerti manusia, suatu pengalaman yang tidak dapat terjejaki. Manusia merasa tidak aman 11
dan tidak berdaya bila menghadapi kematian, musuh yang begitu menakutkan, musuh yang tidak memandang usia, kekayaan maupun kedudukan.5 Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati baik itu melalui proses alamiah, mati secara tidak wajar dan mati dengan pertolongan (atau tidak) secara medis.6 Di lingkungan orang Timor kematian dan kehidupan dialami sebagai dua kuasa yang bertentangan, seperti dua kutub yang berlawanan, sebagai drama yang berjalan terus, pada saat ini di sini dan pada saat lain di sana, dan yang melibatkan manusia dalam tindakannya. Pada latar belakangnya kita temui pandangan bahwa ada suatu keseimbangan yang statis antara kehidupan dan kematian. Atau boleh dikatakan juga: suatu aliran timbal
balik seperti antara dua bejana yang saling berhubungan.7
Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tidak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kematian. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar kematian itu. Akibat dari kematian adalah dukacita bagi semua. Dukacita (grieve) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, terkejut, putus asa, kecemasan akan perpisahan, sedih dan kesepian menyertai karena kita kehilangan orang yang kita cintai. (Averill, 1968 dalam Santrock). Sedangkan menurut Bowbly (Santrock) ada empat stadium dukacita, yaitu: Stadium 1, merupakan fase awal dari keputusasaan yang ditandai dengan mati rasa dan protes. Penolakan mungkin segera dan luapan kemarahan dan penderitaan adalah sering. Stadium mungkin berlangsung singkat sampai beberapa hari dan dapat dialami kembali secara berkala oleh orang yang 5
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987) , 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Kematian. diunduh tanggal 06 maret 2012. Jam 13.17 WIB. 7 P. Middlekoop, Atomi PAh Meto, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 41. 6
12
sedang berdukacita dalam keseluruhan proses berkabung. Stadium 2, adalah fase merindukan dan mencari-cari orang yang telah meninggal. Fase ini ditandai dengan kegelisahan fisik dan pengikatan perhatian terhadap orang yang telah meninggal. Fase ini dapat berjalan selama beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun dalam bentuk yang semakin melemah. Stadium 3, dalam fase ini digambarkan sebagai fase disorganisasi dan putus asa, kenyataan kehilangan mulai menghilang. Perasaan seperti mengadakan gerakan-gerakan adalah dominan dan orang yang berdukacita tampak menarik diri, apatis dan tanpa gairah. Insomnia dan penurunan berat badan dapat terjadi, demikian juga perasaan bahwa kehidupan kehilangan arti. Orang yang berdukacita mungkin terus-menerus menghidupkan kembali kenangan akan orang yang telah meninggal dan perasaan kecewa yang tidak dapat dihindari terjadi jika orang yang berdukacita menyadari bahwa kenangan hanyalah kenangan. Stadium 4, merupakan fase reorganisasi, selama mana aspek yang menyakitkan secara akurat dari dukacita mulai menghilang dan orang yang berdukacita mulai merasa kembali ke kehidupan. Orang yang telah meninggal sekarang dikenang dengan rasa kegembiraan dan juga kesedihan dan bayangan orang yang telah meninggal menjadi dipendam.8 Kematian terjadi
saat di mana tubuh berhenti berfungsi, roh atau jiwa
dipercayai sebagai yang terus ada (immortality).9 Dalam kepercayaan orang Yahudi roh ketika meninggalkan raga, roh itu akan pergi ke dalam Sheol,
dan dalam
Kekristenan roh yang meninggalkan raga akan dibawah ke dalam pangkuan Bapa Sorgawi, dengan kata lain roh yang meninggalkan raga tidak ada lagi dalam dunia dan tidak bersentuhan dengan kehidupan orang yang masih hidup. Namun dalam
8 9
Santrock, J.W, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) John Hick, Philosophy of Religion, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), 121.
13
pandangan agama-agama pribumi khususnya dalam pandangan masyarakat Timor, roh yang telah meninggalkan raga tidak serta- merta pergi jauh-jauh meninggalkan tubuhya, bahkan mereka akan pergi menempati tempat di balik sebuah pohon. Hal ini disebabkan karena masyarakat Timor mempercayai sewaktu-waktu kalau perlu roh bisa masuk dalam seseorang untuk menyampaikan pesan kepada keluarganya yang ditinggalkan.10 Dan roh yang meninggalkan raga juga dapat menjadi perantara bagi manusia yang hidup untuk berhubungan dengan Tuhannya, karena roh tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Berbicara mengenai roh, kita perlu memahami animisme yang memiliki akar kata anima yang berarti roh. Menurut Taylor, Animisme adalah suatu kepercayaan terhadap adanya roh-roh yang berdiam pada semua benda baik itu benda hidup maupun benda mati. Selanjutnya ia menjelaskan tentang tiga macam kepercayaan umum yang berkaitan dengan adanya roh sesudah kematian yang diambil dari animisme dalam tahap awalnya. Pertama, adalah kepercayaan bahwa roh melayanglayang di atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup, terkadang malah mengunjungi rumahnya dulu. Kedua, kepercayaan pada metapsikosis dari roh ke dalam makhluk-makhluk lain, manusia, hewan dan tumbuhan. Ketiga, konsep mengenai tempat kediaman istimewa di dunia lain. Roh itu melanjutkan kehidupan yang mirip dengan kehidupan duniawi, atau diganjar atau dihukum menurut perbuatan-perbuatan mereka ketika hidup di dunia.11 Dunia Roh
10 11
Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri, (Diktat Dogmatika), 225. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), 69.
14
Skema dunia Animisme Dunia Fisik
Roh-roh ini dipercayai dapat menangkal kejahatan, menghilangkan musibah atau menjamin kesejahteraan, dengan kata lain kepercayaan pada roh merupakan suatu rasa kebutuhan, maka dari itu roh-roh dipuja dalam bentuk pemujaan roh-roh individual atau kelompok. Orang-orang hidup dapat berkomunikasi dengan roh dan arwah orang-orang mati, ini disebut dengan spiritualisme atau spiritualism. Dalam ritual yang disebut séance, roh-roh atau arwah-arwah bisa diajak berdialog. Spiritualisme ini muncul dalam berbagai bentuk diseluruh dunia. Antara lain di Indonesia muncul dalam permainan jailangkung, nyi putut, nini towo, dan permainan mangkuk. Dalam berbagai acara yang diadakan para spiritis, seringkali dipertunjukan hal-hal aneh, seperti memadamkan atau menyalakan lampu listrik tanpa menyentuh saklar dan memindahkan kursi, meja, tanpa dilakukan oleh manusia.12 Dalam masyarakat Timor, roh orang yang telah meninggal dipercayai bisa masuk ke dalam tubuh salah satu anggota keluarga baik itu laki-laki yang dianggap kuat maupun perempuan yang dianggap lemah dalam budaya Timor (Patriakhal). Dalam pandangan mereka kedua gender ini rentan dijadikan medium oleh roh orang yang telah meninggal, tanpa melihat kuat atau lemahnya orang tersebut. Namun berdasarkan penuturan, yang paling sering mengalami atau kemasukan roh adalah kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki.
12
Dr. Surya Kusuma, S.Th., M.Min, Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen (Yogyakarta: Andi, 2012), 56.
15
Secara psikologi, laki- laki dan perempuan yang dianggap sebagai dua gender yang rentan dijadikan sebagai medium oleh roh orang meninggal tersebut, memiliki perbedaan yaitu; laki-laki gemar menjelajah dan menyelidiki alam sekitarnya, suka mencoba, mencari, dan melihat-lihat. Aktif, mengambil inisiatif, suka mengkritik dan memprotes, rasio dan logika lebih utama. Lebih melihat garis besar. Sedangkan perempuan suka menyayangi, merawat mengatur, Perhatiannya untuk sesama manusia. Reaktif, menanggapi, lebih mudah terpengaruh dan menyayangi, perasaan lebih utama. Perhatiannya sampai kepada yang detail-detail.13 Menurut Dagun (1992), laki-laki dan perempuan memiliki berbagai perbedaan sifat. Perbedaan sifat tersebut antara lain, laki-laki sangat agresif, sangat bebas, tidak emosional hampir memendam emosi, tidak mudah terpengaruh, sangat percaya diri, sangat objektif, tidak ada ketergantungan dan tidak suka berbicara. Sedangkan perempuan tidak agresif, tidak bebas, sangat emosional, tidak memendamkan emosi, mudah terpengaruh, tidak percaya diri, sangat subjektif, tergantung dan sangat suka berbicara. Selain itu laki-laki dan perempuan juga berbeda dari segi fisik, emosi, perilaku seksual dan kecerdasan.14 Perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga dijelaskan oleh Bill & Pam Farrel (2002) serta John Gray (2001) dalam masing-masing bukunya. Menurut Bill & Pam Farrel, Laki-laki memproses kehidupan dalam kotak-kotak. Sama seperti kue Wafer yang tersusun atas kotak yang dipetak-petak yang saling terpisah dan berdiri sendiri, demikian juga para laki-laki memproses hidupnya.15
13
Keuskupan Agung Semarang, Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 14. Dagun, M.S, Psikologi keluarga (PT. Rineka Cipta, 1992) 15 Bill & Pam Farrel, Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi (Jogjakarta: Andi, 2002), 4. 14
16
Pikiran, perasaan dan tanggapan laki-laki terhadap kenyataan hidup terbagi dalam kotak-kotak. Tiap masalah atau perasaan ada ruangnya sendiri dan tidak punya sangkut paut langsung dengan masalah atau perasaan lain. Ia seolah-olah melupakan rumah dan keluarganya. Ketika seorang laki-laki berada di tempat kerja, ia bekerja dan tidak peduli dengan hal-hal lain. Ketika sedang berada di garasi, ia tidak memusingkan diri dengan hal lain. Ia benar-benar ada di garasi. Itu sebabnya laki-laki biasa terlihat asyik sendiri dengan dunianya (menghabiskan waktunya di kotak itu) dan tidak memusingkan diri dengan hal lain yang terlepas dari kotak itu.16 Berbeda dengan
laki-laki, Bill & Pam Farrel (2002:6) mengibaratkan
perempuan sebagai Bakmi. Jika kita memperhatikan Bakmi dalam sebuah piring, guratan mie yang satu berkait atau bersentuhan dengan guratan mie lainnya. Karena itu akan kewalahan jika mencoba untuk menelusuri satu guratan mie dari ujung yang satu ke ujung yang lain, karena guratan-guratan itu bertumpang-tindih. Akibatnya kita bisa saja berpindah ke guratan mie lainnya. Beginilah cara perempuan berpikir dan mengelola perasaan dan tanggapan-tanggapan lainnya atas sebuah masalah. Dengan demikian setiap pemikiran dan persoalan mereka berkaitan dengan pemikiran dan persoalan lainnya.17 Sebagian besar perempuan berusaha mengkaitkan kotak hidup yang satu dengan kotak yang lain dalam menimbang dan membuat keputusan. Cepat-cepat memecahkan satu masalah yang kait-mengait dengan banyak masalah lain adalah
16
17
Ibid Bill & Pam Farrel, Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi (Jogjakarta: Andi, 2002), 5.
17
tindakan penyangkalan. Dalam percakapan perempuan bisa menyatukan aspek logika, emosi, estetis, religius bahkan juga interpretasi.18 John Gray pun menjelaskan dalam bukunya Mars and Venus Together Forever mengibaratkan Laki-laki dari Mars dan Perempuan dari Venus, bila sedang menghadapi persoalan. Penduduk Planet Mars, kata John Gray, tidak pernah membicarakan apa yang merisaukan hatinya. Mereka juga tidak membutuhkan nasehat orang lain untuk keluar dari persoalan. Orang-orang di Mars akan masuk ke dalam ''gua'' pribadinya untuk merenungkan masalahnya, mengunyahnya terus menerus demi mencari penyelesaian sendiri. Laki-laki suka menyendiri saat mereka memiliki persoalan. Jika sudah menemukan jalan keluar, mereka akan keluar dari ''gua'' itu dan bekerja lagi. Kalau pemecahan masalah tidak ditemukan, orang-orang di Mars akan melakukan sesuatu untuk melupakan kesulitan-kesulitan itu, misalnya membaca surat kabar atau permainan. Dengan melepaskan pikiran-pikiran dari masalah itu, lambat laun ia dapat beristrahat. Berbeda dengan penduduk di Venus, bila penduduk Venus sedang menghadapi masalah atau tegang, mereka akan mencari seseorang untuk menceritakan secara detail masalah-masalahnya. Setelah berbagi perasaan mengenai kebingungannya, penduduk Venus akan merasa lebih enak. Mereka senang jika mempunyai teman-teman yang penuh cinta, yang dapat berbagi perasaan serta kesulitan-kesulitan. Mereka menceritakan persoalan kepada orang lain bukan untuk mencari pemecahan masalah, melainkan mencari keringanan. Mereka membutuhkan seseorang untuk mendengar dengan setia dan empati. Orang-orang di Venus merasa dirinya dihargai dan dicintai jika perasaan-perasaannya didengarkan. Mereka tidak butuh nasehat pada waktu menceritakan persoalan-persoalan, mereka 18
Ibid
18
hanya mengharapkan orang lain (suami) mendengar dengan setia dan empati.19 Perbedaan sifat-sifat demikian tidaklah mutlak, melainkan secara relatif lebih menonjol.20 Perbedaan-perbedaan ini juga dijelaskan oleh APA (American Psychological Association). Menurut APA perempuan memiliki kecenderungan hampir dua kali lebih besar dari pada laki-laki untuk mengalami depresi. Perbedaan gender sebagian besar juga disebabkan karena jumlah stress yang dihadapi perempuan lebih besar. Perbedaan gaya coping juga dapat membantu menjelaskan lebih besarnya kerentanan perempuan untuk terkena depresi. Ketika depresi laki-laki lebih cenderung mengalihkan pikirannya sementara perempuan lebih cenderung memperbesar depresi dengan cara merenungkan perasaan dan kemungkinan penyebabnya. Ketika depresi, perempuan akan lebih cenderung duduk di rumah dan berpikir tentang perasaan mereka sementara laki-laki akan pergi keluar rumah untuk mengalihkan pikiran mereka dan laki-laki juga seringkali beralih ke alkohol (Nevid, dkk, 2005).21 Dengan demikian semakin jelas untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae yang dialami oleh jemaat Efata Huko‟u Oesena. Fenomena Nitusae di Jemaat Efata Huko’u Oesena Kondisi Geografis Dusun Satu, desa Oesena merupakan salah satu wilayah yang berada dalam pemerintahan kabupaten Kupang kecamatan Amarasi Timur. Wilayah tersebut
19
John Gray, Mars and Venus Together Forever (Jakarta: Gramedia, 2000) Keuskupan Agung Semarang, Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 14. 21 Bertakis, K.D. 2001. Women Are Far More Likely Than Man To Have their Depression Diagnosed by Their Primary Care Doctors. http://achpr.gov/research 20
19
merupakan wilayah didataran tinggi dan merupakan daerah dingin. Jarak tempuh dari jalan utama Oesao untuk sampai ke desa Oesena kira-kira memakan waktu 25-30 menit, dikarenakan kondisi jalan yang berliku-liku serta keadaan fisik jalan yang berlubang-lubang. Jalan yang menghubungkan antara tiga dusun di dalam desa Oesena masih merupakan jalan tanah dan juga berbatu-batu. Keadaan lingkungan desa Oesena masih sangat hijau dengan banyaknya pohon-pohon. Desa ini juga berada dekat dengan wilayah Hutan Lindung. Dalam kepercayaan orang Timor hutan merupakan tempat tinggalnya arwah atau roh, sehingga hutan akan dijaga dengan sangat baik oleh mereka. Letak rumah warga yang satu dengan yang lainnya juga cukup berjauhan,
hal ini disebabkan karena
pekarangan rumah setiap keluarga sangat luas. Ketika pada malam hari desa Oesena khususnya dusun Satu ini sangatlah gelap dan sepi disebabkan karena jarak rumah yang berjauhan, banyaknya pepohonan dan penerangan di daerah ini sangat kurang. Berbeda dengan keadaan siang hari. Ekonomi, Sosial - Budaya, Pendidikan, Agama Bercocok tanam adalah mata pencaharian utama di dusun Satu, desa Oesena. Menurut penuturan bapak Miklon Elimelek Tofas selaku kepala dusun Satu, dari penduduk 527 jiwa hanya 2 orang yang profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil, sisanya rata-rata adalah sebagai petani yang menggarap lahannya sendiri. Tanaman yang digarap dilahan atau sawah bermacam-macam jenisnya, misalnya padi, singkong, cabai, jagung dan lain sebagainya. Hasil dari penggarapan lahan atau sawah tersebut, sebagiannya akan mereka gunakan sebagai makanan sehari-hari
20
mereka, dan sebagiannya lagi akan mereka jual ke pasar untuk mendapatkan uang sebagai pengerak ekonomi mereka. Pada saat musim panen, hasil panen mereka juga akan dilelangkan di gereja sebagai persepuluhan mereka. Pada bulan-bulan tertentu seperti bulan April, masyarakat setempat akan memulai menenun kain ikat untuk pergelaran acara adat dan juga untuk dijual. Kegiatan penenunan ini didominasi oleh kaum perempuan, dan yang merupakan tugasnya seorang perempuan Timor untuk dapat membuat tenun ikat. Dari mata pencaharian diatas, rata-rata warga dusun Satu memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah. Warga dusun Satu desa Oesena, rata-rata berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya ada 14 orang yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Namun beberapa dari mereka seusai menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi, mereka mencari pekerjaan di kota Kupang dan menetap disana demi pekerjaan mereka, hanya sesekali mereka kembali ke kampung halaman untuk berlibur atau menjenguk keluarga. Budaya yang paling melekat dalam masyarakat dusun Satu desa Oesena adalah gotong-royong di antara mereka. Mereka dengan senang hati saling membantu dalam menyiapkan apapun yang dibutuhkan oleh keluarga yang lain dalam menggelarkan acara, baik itu pernikahan, acara adat ataupun kematian. Diundang ataupun tanpa diundang mereka akan berbondong-bondong datang membantu, ada yang datang dengan membawa barang-barang atau makanan yang dibutuhkan ataupun hanya sekedar menyumbangkan tenaga. Kegotong-royongan ini tidak terlepas dari adanya perkawinan yang terjadi diantara orang-orang di desa Oesena
21
tersebut, sehingga hubungan sosial mereka sangatlah tinggi dikarenakan adanya hubungan kekeluargaan. Dalam dusun ini juga terdapat kebiasaan yang unik ketika musim panen tiba, jemaat dan gereja akan bersepakat melaksanakan kebaktian di lahan atau sawah, sebelum melakukan panen raya. Kebiasaan tersebut muncul karena pada waktu-waktu sebelumnya ketika musim panen tiba secara khusus pada hari minggu gereja kosong disebabkan jemaat pergi ke ladang untuk memanen. Maka dari itu Gereja mulai menyikapinya dengan mengadakan ibadah kontekstual, yang berupa kebaktian panen raya di ladang terbuka tempat biasanya para petani memanen. Mayoritas masyarakat dusun Satu desa Oesena merupakan anggota Gereja Masehi Injili di Timor jemaat Efata Huko‟u Oesena. Kekerabatan Jemaat Efata Huko’u Oesena Jemaat Efata Huko‟u Oesena merupakan jemaat yang berada dalam wilayah desa Oesena. Desa Oesena sendiri terbagi atas tiga dusun, dusun satu, dusun dua dan dusun tiga. Dalam dusun satu inilah Jemaat Efata Huko‟u Oesena berada. Jumlah penduduknya yang tergolong sedikit yaitu 527 jiwa, menyebabkan terjadinya interaksi sosial yang sangat tinggi. Hubungan kekerabatan di antara mereka juga tidak terlepas dari adanya pernikahan antara anggota keluarga dalam desa atau dusun tersebut, dan tidak juga menutup kemungkinan terjadinya pernikahan antara warga dusun tersebut dengan orang luar dusun atau desa. Sebagai contoh ada beberapa anggota keluarga yang mengambil pasangannya dari luar wilayah tersebut bahkan dari suku yang berbeda. 22
Di antara mereka juga terjadi pernikahan sedarah, kurang lebih empat sampai lima keluarga mengambil pasangan di antara anggota keluarganya sendiri atau dalam istilah mereka disebut „istri rumah‟, dan hal ini dianggap biasa oleh warga jemaat tersebut. Bukti tingginya hubungan kekerabatan di antara mereka terlihat pada saat terjadi perayaan pernikahan, kematian atau acara adat, yang melibatkan semua warga jemaat untuk turut serta mengambil bagian dalam peristiwa tersebut. Mereka datang dengan atau tanpa diundang untuk membantu menyukseskan atau membantu melancarkan kegiatan yang diadakan oleh keluarga dalam dusun tersebut. Hubungan kekerabatan ini juga dapat terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari, yaitu ketika mereka bertemu satu dengan yang lainnya dalam perjalanan melewati dusun atau dimanapun mereka bertemu, mereka akan saling menyapa dengan kata “Salamat atau selamat”. Kebiasaan mengucapkan kata “salamat atau selamat” ini sebagai bentuk dari rasa kekeluargaan, yang pada kenyataannya dilatarbelakangi juga oleh adanya hubungan pernikahan antara anggota keluarga dalam dusun tersebut atau pernikahan sedarah. Hal lain yang melatar belakangi sikap saling menyapa tersebut juga disebabkan karena adanya faktor pekerjaan yang sama, yaitu bertani dan berkebun serta juga warga dusun satu ini memiliki tempat beribadah yang sama, yaitu Gereja Masehi Injili di Timor jemaat Efata Huko‟u Oesena.
23
Fenomena Nitusae Dalam setiap peristiwa kematian ada prosesi (tahap-tahap) yang dilakukan sebelum penguburan jenazah, waktu penguburan dan setelah penguburan. Bagi orang Timor, secara khusus dusun Satu desa Oesena, prosesi atau tahap-tahap itu perlu dilakukan demi menghormati yang meninggal dan juga sebagai bagian penguatan bagi keluarga. Untuk melaksanakan prosesi itu pihak keluarga inti akan mengumpulkan segenap anggota keluarga untuk membicarakan apa-apa saja yang diperlukan untuk prosesi pemakaman, kapan penguburannya, dan juga berapa banyak dana yang harus dikeluarkan untuk prosesi itu dan untuk mengadakan acara ucapan syukur (mengucap syukur bagi berpulangnya salah satu anggota keluarga kehadirat Tuhan). Biasanya dalam peristiwa kematian, penguburan jenazah akan dilakukan pada hari ketiga setelah yang meninggal menghembuskan nafasnya, hal ini dilakukan untuk memperpanjang waktu bagi keluarga yang belum hadir agar dapat melihat wajah dari yang meninggal untuk terakhir kalinya.22 Selama tiga hari tersebut (atau lebih) pada setiap malamnya selalu ada kegiatan mete atau begadang. Para keluarga, tetangga dan kerabat akan datang dan duduk-duduk sambil menyanyikan lagu-lagu rohani untuk menghibur keluarga hingga larut malam, bahkan tidak menutup kemungkinan hingga subuh. Kedatangan mereka untuk menghibur ini, akan ditanggapi pihak keluarga inti yang berduka untuk menyediakan minuman dan makanan (kue), bagi para pelayat yang datang untuk menghibur hingga larut malam. Dalam kebiasaan orang Timor, hampir semua anggota keluarga yang perempuan akan selalu berada di dekat jenazah, ketimbang 22
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 26 April 2013
24
kaum laki-laki. Dalam banyak kasus kematian yang terjadi di desa Oesena, perempuan-perempuan akan lebih banyak meluapkan kesedihannya dengan cara menangis sambil berbicara. Kesedihan mereka akan semakin bertambah ketika ada keluarga, tetangga atau kerabat yang datang untuk melayat dengan berbagai-bagai pertanyaan masygul, seperti; kapan? bagaimana? kok bisa? kasian eh (kasihan ya), eh mo bilang apa le (mau bagaimana lagi, sudah terjadi). Dalam kesempatan ini gereja akan mengambil waktu dua (2) malam (atau lebih sebelum jenazah dikebumikan) secara berturut-turut untuk mengadakan ibadah penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Lamanya hari dan prosesi atau tahap-tahap ini memungkinkan kejadian Nitusae terjadi.23 Seperti yang dialami oleh Yawan Damaris Mnir (24) dan Elsy Renate (27) dengan pengalaman Nitusae yang berbeda. Nitusae yang dialami Yawan Damaris Mnir anak perempuan dari bapak almarhum Marthen Mnir, merupakan Nitusae yang terjadi pada saat meninggalnya bapak Marthen Mnir. Dituturkan bahwa bapak Marthen Mnir meninggal dunia karena kanker mulut. Kematian ini menimbulkan duka yang amat dalam bagi keluarga Mnir khususnya bagi Yawan, anak perempuan yang paling dekat dengan almarhum bapak Marthen Mnir. Fenomena Nitusae dialami oleh Yawan sejak ayahnya menghembuskan nafas terakhir sampai pada saat penguburan, Yawan selalu mengeluarkan kata-kata “lidah sakitlidah sakit” dalam ketidaksadaran dirinya.24 Fenomena Nitusae yang terjadi pada saat ada persitiwa kematian juga dialami oleh Elsy Renate, dimana ayahnya yang bernama Ayub Tofas meninggal dunia, karena sakit. Namun dalam fenomena ini Elsy dimasuki oleh dua (2) roh, roh yang pertama adalah ayahnya Ayub Tofas dan roh
23 24
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 26 April 2013 Hasil Wawancara dengan Sovia Masneno pada tanggal 24 April 2013
25
yang kedua adalah almarhumah ibunya Margaretha Tofas-Renate. Masing-masing roh ini bergantian mengunakan tubuh
Elsy sebagai medium untuk memberikan
pesan-pesan atau nasehat-nasehat kepada keluarganya, antara lain (pesan dari roh almarhum bapak Ayub Tofas)“kalian harus saling basayang di dalam keluarga, kaka-adik harus saling basayang, apa yang pernah bapa buat (yg baik) itu juga yang harus di lakukan,” (Pesan dari roh almarhumah ibu Margaretha Tofas-renate )“sayang basong punk adik elsy”. “katong pigi sudah”.25 Kebanyakan fenomena Nitusae dipercayai terjadi pada saat peristiwa kematian berlangsung, namun pada kenyataannya tidak demikian, karena ada fenomena Nitusae yang tidak terjadi pada saat peristiwa kematian itu berlangsung. Ada fenomena Nitusae yang terjadi pada kegiatan adat dan pada waktu-waktu tertentu. Hal ini penulis temukan terjadi pada keluarga bapak Herman Yulius Masneno, yang terjadi sehari setelah acara adat berlangsung, yaitu acara adat Nasa Eba Nonoh, Nasa Nut Nonoh, yang diterjemahkan menjadi “Menaikan Marga dan Menurunkan Marga” atau “Melepaskan Marga dan Mengganti Marga”. Acara adat ini dilakukan karena kedua anak perempuan bapak Herman Yulius Masneno, semenjak kecil hingga berumur 24 tahun dan berumur 16 tahun tidak mengenakan marga Masneno sebagai marga mereka dalam sistem Patriakhal. Namun mereka mengenakan marga ibu sebagai marga mereka. Hal ini terjadi karena semenjak kecil kedua anak perempuan bapak Herman sering mengalami sakit-sakit, sehingga memaksa bapak Herman untuk memberikan marga istrinya kepada kedua anak perempuannya. Setelah mereka dewasa, barulah marga bapak Herman Masneno
25
Hasil wawancara terhadap ibu Dortia Teriposa Tofas pada tanggal 24 April 2013
26
dikenakan pada kedua anaknya. Acara ini berlangsung di rumah almarhum ayah dari bapak Herman Masneno.26 Fenomena Nitusae yang tidak terjadi pada peristiwa kematian juga dialami oleh ibu Dortia Teriposa Tofas. Ketika itu keluarga ibu dortia, memiliki rencana untuk membangun “rumah” bagi almarhumah mamanya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Namun pembicaraan mereka hanya sekedar pembicaraan. Tanpa diduga beberapa bulan kemudian terjadilah fenomena Nitusae pada ibu Dortia, yang kala itu sedang mengalami sakit panas bahkan seluruh keluarganya sedang sakit panas yang sama.27 Fenomena Nitusae yang berlangsung pada saat tidak ada peristiwa kematian, merupakan fenomena yang terjadi karena masih adanya janji atau rencana yang belum terpenuhi dari orang yang hidup kepada orang yang telah meninggal.28 Secara umum fenomena Nitusae terjadi dengan gejala awal, seorang medium atau yang akan mengalami Nitusae tiba-tiba pingsan atau tidak menyadarkan diri. Pada saat seseorang tidak menyadarkan diri dan diduga akan mengalami Nitusae, orang yang berada di sekitarnya akan mencoba menyadarkannya dengan cara mencubit-cubit, mengelitik, mengajak berbicara dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena ingin membuktikan apakah orang tersebut benar-benar tidak menyadarkan diri. Jika memang demikian orang yang mengalami ketidaksadaran diri tersebut tidak bereaksi karena sakit dicubit dan merasa digelitik, namun merespon dengan mulai berbicara. Di saat itulah fenomena Nitusae dipercayai terjadi, dengan
26
Hasil wawancara terhadap bapak Herman Yulius Masneno pada tanggal 24 April 2013 Hasil wawancara terhadap ibu Dortia Teriposa Tofas pada tanggal 28 Hasil wawancara terhadap bapak Miklon E. Tofas pada tanggal 24 April 2013 27
27
bukti orang yang mengalami Nitusae mulai berbicara dengan suara dan intonasi yang sama dengan orang yang meninggal.29 Roh yang masuk ke dalam tubuh orang yang hidup akan memberitahukan tujuan dan maksudnya yang belum tersampaikan. Orang yang dimasuki roh orang yang telah meninggal ini akan menyampaikan pesan atau keinginan hatinya yang belum tercapai atau belum sempat dikatakan kepada keluarga. Setelah Nitusae terjadi, orang yang mengalaminya akan segera sadar namun ada pula yang membutuhkan waktu beberapa saat untuk tersadar. Ketika dia telah sadar kembali, yang dia rasakan hanyalah rasa sakit karena cubitan, dan jika ditanyakan kembali apa yang dia katakan ketika mengalami Nitusae, dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya (pada saat hilang kesadaran). Faktor-Faktor Terjadinya Fenomena Nitusae Peristiwa kematian merupakan sebuah misteri bagi kebanyakan orang. Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan. Apa yang terjadi di balik kematian masih menjadi misteri dan perdebatan banyak orang. Namun pada umumnya manusia mempercayai bahwa di balik kematian masih ada dunia lain. Secara sederhana Nitusae selalu berkaitan dengan peristiwa kematian menurut kepercayaan masyarakat setempat. Fenomena Nitusae tidak pernah diduga datangnya dan pada siapa yang akan mengalaminya, namun walaupun demikian aspek kepercayaan seseorang dan aspek psikologisnya sangat menentukan terjadinya fenomena Nitusae.
29
Hasil Wawancara dengan Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th pada tanggal 27 April 2013
28
A. Faktor Kepercayaan Dalam masyarakat Timor khususnya dusun Satu desa Oesena, terdapat kepercayaan bahwa pada waktu seseorang menghembuskan nafas terakhir, roh-nya tidak serta-merta pergi jauh-jauh meninggalkan jazadnya, tetapi masih berada di sekeliling jazadnya selama kurun waktu tiga hari sebelum akhirnya roh itu pergi ke balik pohon. Pohon atau hutan dipercayai sebagai tempat tinggal bagi roh-roh atau jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal. Nitusae merupakan salah satu kepercayaan yang masih dipegang oleh dusun Satu desa Oesena. Kepercayaan tersebut berkaitan dengan kematian seseorang yang melibatkan roh dari orang yang meninggal dan yang dapat masuk ke dalam raga seseorang dalam waktu-waktu tertentu, dengan tidak memandang siapa yang akan mengalami Nitusae tersebut. Siapa pun dapat mengalami Nitusae. Pada kenyataan yang terjadi, memang agak sulit untuk membedakan antara orang-orang yang benar-benar mengalami Nitusae dengan orang yang hanya mengalami ketidaksadaran diri. Berdasarkan satu konsep sederhana mengenai kepercayaan masyarakat tentang roh orang yang telah meninggal masih tetap bersemayam di sekitar raganya walaupun “ia” telah meninggal dunia. Konsep pemikiran masyarakat Dusun Satu Desa Oesena sama dengan konsep di atas mengenai kepercayaan orang yang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dipercayai bahwa roh masih berada di sekitar jasadnya, maka dari itu ketika ada seseorang yang kehilangan kesadaran diri dan tidak dapat mengendalikan diri secara penuh, orang tersebut dianggap mengalami kemasukan roh atau dalam masyarakat Oesena dikenal dengan Nitusae.
29
Konsep pemikiran tersebut memang tidak dapat disalahkan, karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah mewarisi kepercayaan yang menganggap bahwa roh yang telah meninggalkan raga masih akan tetap berada di sekitar raganya dalam kurun waktu tertentu. Kepercayaan pada roh biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan suatu bentuk komunikasi dengan mereka untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah atau menjamin kesejahteraan. Komunikasi dengan yang adikodrati menjadi suatu nilai pada dirinya sendiri. Komunikasi dengan roh mengambil bentuk pemujaan roh-roh individual atau kelompok-kelompok roh. Menurut Taylor,
dalam
kepercayaan umum yang berkaitan dengan adanya jiwa sesudah kematian mempercayai bahwa jiwa melayang-layang di atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup, terkadang malah mengunjungi rumahnya dulu. B. Faktor Psikologi Pada dasarnya manusia adalah makluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk mengisi kehidupannya agar dapat terus maju. Manusia tanpa sesamanya tidaklah mampu untuk tetap bertahan dalam menjalani harinya, sehingga hubungan antara manusia dan sesamanya menyebabkan adanya saling ketergantungan. Kondisi seperti ini terlebih lagi dirasakan di dalam hubungan antar keluarga atau di dalam keluarga inti, yaitu kakek, nenek, ayah, ibu serta anak dan cucu. Hubungan keluarga inti selalu menimbulkan rasa saling memiliki, merasa saling bertanggung jawab untuk mendatangkan kebaikan bagi seluruh anggota keluarga dan terutama mengalami pengalaman mental yang saling terkait. Keintiman sebuah keluarga memiliki dampak yang sangat baik bagi kehidupan setiap anggotanya, namun ternyata keintiman sebuah keluarga juga dapat 30
menimbulkan perasaan negatif ketika keintiman itu diperhadapkan pada peristiwa kematian dari salah satu anggota keluarga. Rasa penolakan akan sebuah kenyataan kematian dari anggota keluarga yang lain menandakan bahwa rasa memiliki itu sangat tinggi. Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tidak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kematian. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar kematian itu. Dalam meresponi sebuah peristiwa kematian di dalam sebuah keluarga, setiap anggota keluarga – laki-laki dan perempuan – mengekspresikannya dengan berbedabeda. Sebagai seorang laki-laki – anak atau cucu dari orang yang meninggal, suami atau menantu – yang dikenal lebih mengutamakan logika atau rasio akan meresponnya dengan tindakan yang lebih tegar, dibandingkan dengan perempuan – anak atau cucu dari orang yang meninggal, istri atau menantu – yang terkenal lebih mengutamakan perasaan mereka, maka ketika ada anggota keluarga yang meninggal akan lebih meluapkan perasaan mereka dengan menangis, walaupun hal tersebut bukanlah hal yang mutlak dan bahkan dapat terjadi sebaliknya. Namun dalam kasus yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, hampir semua anggota keluarga yang perempuan akan lebih banyak meluapkan kesedihannya dengan cara menangis sambil berbicara. Kesedihan mereka akan semakin bertambah ketika ada keluarga, tetangga atau kerabat yang datang untuk melayat dengan berbagai-bagai pertanyaan masygul, seperti; kapan? bagaimana? kok bisa? kasian eh (kasihan ya), eh mo bilang apa le (mau bagaimana lagi, sudah terjadi).
31
Berdasarkan fenomena Nitusae yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, penulis menyimpulkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami Nitusae dibanding laki-laki. Hal ini juga ditegaskan oleh Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th. Rentannya perempuan yang mengalami Nitusae dikarenakan perempuan lebih mengutamakan perasaannnya. Seperti yang dijelaskan oleh Dagun mengenai perbedaan sifat laki-laki dan perempuan. Perempuan sangat emosional, ia tidak memendam emosi, mudah terpengaruh dan suka berbicara. Sifat ini berbanding terbalik dengan laki-laki. Jadi ada dua (2) faktor penyebab terjadinya fenomena Nitusae. Pertama dikarenakan oleh faktor kepercayaan terhadap roh yang meninggalkan raganya, tidak serta-merta pergi jauh-jauh meninggalkan raganya atau jazadnya, selama kurun waktu tiga hari sebelum akhirnya roh itu pergi ke balik pohon. Kepercayaan ini telah mengakar dalam masyarakat dusun Satu desa Oesena. Kedua faktor psikologi, secara umum Fenomena Nitusae dapat dialami oleh semua orang, baik itu laki-laki maupun perempuan. Namun yang paling sering mengalami fenomena Nitusae di dusun Satu desa Oesena adalah perempuan, dikarenakan perempuan lebih mengutamakan perasaan, mudah terpengaruh, dan sangat suka berbicara dibandingkan laki-laki. Kesimpulan Kematian merupakan hal yang mutlak akan terjadi atau dialami oleh setiap makhluk yang bernafas, tidak terkecuali manusia. Setiap orang baik itu orang tua atau pun orang muda, kaya atau pun miskin, pintar atau pun bodoh, berhikmat ataupun tidak berhikmat, semuanya akan mengalami yang namanya kematian. Seperti yang dikatakan oleh kitab Pengkhotbah 2:16b yang berbunyi; “Dan, ah, orang yang 32
berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh!”. Semua orang diperhadapkan pada kenyataan yang memilukan, yaitu kematian. Bagi sebagian orang kematian itu menakutkan, dan bagi sebagiannya lagi kematian itu bahagia. Semuanya itu tergantung pada pandangan masing-masing pribadi dalam memandang kematian. Setiap orang akan mengambarkannya berbedabeda sesuai dengan pengalaman mental di seputaran kematian, seperti halnya fenomena Nitusae. Fenomena Nitusae adalah keyakinan terhadap roh orang mati yang masuk kedalam tubuh orang yang masih hidup. Nitusae ini berkaitan dengan keadaan psikologis seseorang yang diperkuat dengan kepercayaan masyarakat sekitar. Nitusae berpengaruh dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena karena mereka masih percaya bahwa roh orang mati bisa masuk kedalam tubuh orang yang masih hidup dan dapat berkomunikasi dengan keluarganya. Dari
fenomena ini
penulis melihat bahwa terdapat hal yang positif dan juga yang negatif. Positifnya ialah ketika fenomena Nitusae itu memberikan pesan yang baik bagi keluarga dan negatifnya ialah ketika fenomena Nitusae itu memberikan pesan yang tidak baik bagi keluarga dan juga dampak negatif dari Nitusae adalah banyak orang semakin terpengaruh dengan kepercayaan terhadap roh yang masih berada di sekitar jazadnya. Saran Penulis menyarankan kepada semua pihak untuk tetap jeli dalam menyingkapi fenomena Nitusae, karena fenomena Nitusae dapat menghasilkan hal yang positif dan juga hal yang negative. 33
Bagi gereja, penulis menyarankan agar dapat memberikan pemahaman dan arahan kepada jemaat mengenai kepercayaan Nitusae yang mempengaruhi kehidupan kekristenan jemaatnya. Sehingga jemaat dapat
34
DAFTAR PUSTAKA Bill & Pam Farrel. Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi. Jogjakarta: Andi, 2002. Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Penerbit Kanisius: Yokyakarta, 2002. Ghazali, A.Muchtar. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta, 2011. Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press, 2004. Hick, John. Philosophy of Religion. New Jersey: Prentice Hall, 1990. Hunt, Gladys. Pandangan Kristen Tentang Kematian. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. Honing, Jr. A.G. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Keuskupan Agung Semarang. Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. Koentjaraningrat. Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1967. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia 1981. Kusuma, Surya. Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen. Yogyakarta: Andi, 2012. P. Middlekoop. Atomi PAh Meto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985. 35
Pals, Daniel L. Seven Theories Of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD, 2011. Santrock, J.W. Life Span Development: Perkembangan asa Hidup. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Solso, Robert L. dkk. Psikologi Kongnitif. Jakarta: Erlangga, 2008. Timo, Ebenhaizer I Nuban. Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri. (Diktat Dogmatika) Usman, Husaini. Purnomo. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Van Peursen. C. A. Tubuh Jiwa Roh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983. Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986. Bertakis, K.D. 2001. Women Are Far More Likely Than Man To Have their Depression Diagnosed by Their Primary Care Doctors. http://achpr.gov/research Kematian. http://id.wikipedia.org/wiki/. diunduh tanggal 06 maret 1012. Jam 13.17 WIB.
36